Anda di halaman 1dari 9

Definisi Miskonsepsi dalam Memahami

Konsep Suatu Pembelajaran


Written By Wawasan Edukasi  Saturday, March 25, 2017  Add Comment

Wawasan Edukasi - Miskonsepsi atau konsepsi merupakan sebuah kejadian dimana seseorang
salah menafsirkan sebuah konsep. “Konsepsi merupakan tafsiran yang dilakukan oleh seseorang”
(Tayubi, 2005). Miskonsepsi atau salah konsep dapat dialami oleh siapa saja. Bukan hanya pada
pelajaran fisika, miskonsepsi juga dapat terjadi pada semua mata pelajaran.

Miskonsepsi didefinisikan sebagai kesalahan pemahaman yang mungkin terjadi selama atau
sebagai hasil dari pengajaran yang baru saja diberikan, berlawanan dengan konsepsi-konsepsi
ilmiah yang dibawa atau berkembang dalam waktu lama (Mosik, 2010).

Kesalahan yang terjadi ini bisa disebabkan karena pemahaman siswa itu sendiri. Setiap manusia
memliki pemikirannya sendiri dan terkadang membuat kesimpulan atas apa yang telah
dialaminya. Beberapa diantaranya menyimpulkan sebuah kejadian secara harfiah saja tanpa ada
telaah lebih lanjut dan tidak dihubungkan dengan konsep-konsep yang lainnya. Kelemahan ini
terjadi karena siswa tidak mampu menghubungkan atau tidak dapat menemukan korelasi antara
konsep yang satu dengan yang lainnya sehingga membuat mereka menjadi bingung dan sebuah
kesalahan pemahaman dapat terjadi disini. Sebelum mereka memasuki kelas, setiap siswa
memiliki konsep dan teori sendiri, kemudian informasi yang baru akan disesuaikan dengan
struktur kognitif yang sudah ada (Mosik, 2010). Oleh karena siswa juga memiliki pemikirannya
sendiri dan apabila yang sedang dipikirkan itu adalah sebuah kebenaran menurut dirinya maka
tidak ada yang bisa merubah pemikirannya. Berbeda jika orang tersebut sadar dengan
pemikirannya dan menyadari bahwa yang sedang dipikirkan atau dipahami itu adalah pemikiran
yang salah maka miskonsepsi disini dapat teratasi.
Fisika merupakan salah satu cabang ilmu yang didalamnya terdapat banyak sekali konsep-
konsep yang berkaitan dengan kejadian sehari-hari. Dalam belajar fisika, seringkali siswa hanya
menghafal rumus-rumus fisika tanpa memahami konsep sehingga cenderung mengalami
kesulitan dalam menerapkan materi fisika dalam kehidupan sehari-hari (Adriana, 2012).
Kebiasaan siswa yang hanya menghafal rumus-rumus fisika tanpa memahami konsepnya juga
akan semakin menghambat siswa dalam belajar fisika, karena fisika bukan hanya sekedar
menghafal rumus akan tetapi pemahaman konsep dasar untuk menunjang pada konsep lanjutan
yang lebih rumit dan menuntut untuk terus mengaitkan beberapa konsep sekaligus.

Tennyson & Park, dalam Schunk (2012; 412) mengajarkan konsep mecakup tahapan-tahapan
sebagai berikut:
1. Menentukan struktur konsep untuk dapat memberikan contoh guna mengenali sifat-sifat
penting dan sifat-sifat variabel.

2. Mendefinisikan konsep dalam terma sifat yang penting, dan menyiapkan beberapa contoh
dengan sifat yang penting dan sifat yang beragam

3. Menyusun contoh-contoh dalam rangkaian berdasarkan sifat-sifat, dan memastikan


bahwa contoh-contoh itu memiliki berbagai sifat di dalam rangkaian yang berisi contoh-
contoh dari tiap konsep

4. Mengatur dan menampilkan rangkaian dalam terma divergensi dan kesulitan contoh-
contoh, dan menyusun contoh di dalam rangkaian apapun mengacu pada pengetahuan
terkini pembelajar.
Mengajarkan konsep kepada siswa juga dapat dilakukan dengana cara “concept mapping”
(Gabel, 2003). Menurutnya, concept mapping dapat membantu siswa untuk fokus dalam
memahami hubungan antara beberapa konsep yang berkaitan, sehingga siswa dapat
mengingatnya dalam waktu yang cukup lama. Meskipun Concept mapping akan membuat siswa
merasa bosan, akan tetapi cara ini menurut Gabel akan lebih efektif dalam mengajarkan konsep
ketika seorang guru melakukannya dengan variasi metode yang menarik.

Jadi miskonsepsi yang sering terjadi pada siswa adalah perbedaan konsep yang melekat pada
ingatan siswa dan diyakini itu benar ternyata tidak sesuai dengan konsepsi yang dipegang oleh
para ilmuan. Miskonsepsi pada siswa dapat diatasi jika siswa sudah merasa bahwa konsepsi yang
diyakininya selama ini ternyata salah. Jika siswa belum sadar akan kesalahan konsepsinya maka
miskonsepsi tidak akan bisa diatasi. Membuat siswa tersadar akan kesalahan konsepsi adalah
tugas bagi pengajar dan harus diupayakan bagaimanapun caranya. Miskonsepsi pada siswa
cenderung melekat selamanya karena konsepsi bisa juga dibilang sebuah keyakinan yang terus
dipegang oleh siswa seperti halnya keyakinan seorang siswa terhadap sebuah agama. Dibutuhkan
peran sebuah media pembelajaran agar pesan yang hendak disampaikan kepada siswa dapat
diterima dengan.

a. Sudut Pandang Konstruktivisme Mengenai Miskonsepsi Fisika Siswa

Miskonsepsi yang terjadi pada siswa secara filosofis dapat dijelaskan oleh pandangan filsafat
konstruktivisme. Seperti yang telah diketahui bahwa pandangan aliran konstruktivisme ini
berkeyakinan bahwa pengetahuan yang diperoleh siswa sifatnya tidak datang begitu saja.
Menurut pandangan konstruktivisme, peserta didik sebagai subjek pembelajaranlah yang harus
aktif mengembangkan pengetahuan mereka sebagai bentuk tanggung jawabnya sebagai
pembelajar (Saefuddin & Berdiati, 2015: 13). Ilmu pengetahuan itu dibentuk sendiri oleh siswa
dengan penalaran-penalaran siswa baik itu yang belum terarah dan yang sudah terarah dengan
adanya buku panduan, guru pengajar dan lingkungan siswa berada.
Oleh karena siswa sendiri yang mengkonstruksi pemahaman melalui apa saja yang telah dialami
oleh siswa itu sendiri, bisa jadi pemahaman awal terhadap suatu konsep yang dipahami terjadi
kesalahan sebelum dilakukannya pendidikan formal yang dilakukan oleh seorang guru atau
sebuah lembaga. Konstruksi pemahaman ini terbentuk karena pengalaman yang diamali oleh
siswa itu sendiri selama hidup. Pemahaman awal yang dimiliki oleh siswa sebelum diadakannya
pendidikan formal inilah yang dinamakan dengan prakonsepsi atau konsep awal siswa (Suparno,
2013; 31).

Prakonsepsi atau pengetahuan awal yang dibangun oleh siswa sebelum adanya pembelajaran
formal sering kali tidak cocok degan konsep para ilmuan yang telah disepakati bersama yang
pada akhirnya menjadikan siswa mengalami sebuah miskonsepsi. Prakonsepsi dapat membantu
siswa dalam memahami dan mengkoreksi sendiri mengenai kesalahan-kesalahan konsepsi yang
telah diyakini oleh siswa (Hung, 2006). Pemahaman siswa yang tidak sejalan dengan
pemahaman para ilmuan terkadang dapat dengan mudah diluruskan ketika siswa diberikan
sebuah pengalaman langsung dengan disertai penjelasan yang mudah dipahami oleh siswa baik
itu dalam segi bahasa dan segi konteks. Kekeliuran konsep terkadang juga akan sulit diluruskan
jika konsep tersebut berkaitan dengan kehidupan sehari-hari dan seringkali berguna dalam
keseharian siswa. Karena ilmu pengetahuan sifatnya adalah konstruksi dari pemahaman siswa,
baik itu dengan bantuan buku panduan, pemahaman dari guru, akan tetapi nalar siswa tetap
berjalan sehingga siswa akan terus membangun pengetahuannya sendiri. Pengetahuan yang
terbentuk akan berbeda pada setiap siswa meskipun mereka mendapatkan bahan yang sama, guru
yang sama, dan buku yang sama.

Berkaitan dengan aliran konstruktivisme, kesalahan pemahaman pada umumnya lazim terjadi.
Perbedaan dalam membangun pemahaman merupakan hal yang wajar bagi orang yang sedang
belajar. Konstruksi pemahaman yang dilakukan oleh siswa juga dapat melatih siswa bagaimana
membangun pemahaman yang benar. Dengan adanya perbedaan dalam mengkonstruksi
pemahaman menunjukkan bahwa siswa benar-benar memperoleh pengetahuannya sendiri. Dari
perbedaan pemahaman ini menunjukkan kepada guru bahwa sesungguhnya, siswa tidak boleh
dipaksa untuk memahami pengetahuan yang dimiliki oleh guru sebelum siswa melakukan
konstruksi pemahaman. Pemaksaan ini akan membuat siswa malas berfikir dan juga malas untuk
mencari tahu kebenaran sesungguhnya. Dalam mengatasi permasalahan ini, seorang guru
dituntut untuk dapat menjelaskan sebuah konsep yang salah kepada siswa dengan runtut dan
sistematis disertai dengan sebuah bentuk contoh konkrit atau yang mendekati konkrit agar
abstraksi yang terdapat dalam benak atau ingatan siswa menjadi jelas.

Menurut teori kognitif yang dikemukakan oleh Piaget, tahapan perkembangan kognitif anak
dimulai dari tahap sensorimotor yang berhubungan dengan hal-hal yang konkrit sampai dengan
tahapan formal atau abstrak yang menuntut siswa untuk mampu mengembangan pemahaman dan
mengkoneksikan pemahaman yang telah dimiliki untuk memperdalam atau sebagai landasan
untuk memasuki konsep yang lebih rumit. Karena pemahaman siswa dimulai dari hal yang
konkrit kemudian menuju hal yang abstrak, maka untuk mempermudah siswa dalam memperoleh
pemahaman atau mengkonstruksi pemahaman yang menuju ke tahap abstrak dibutuhkan
kematangan dalam memahami sebuah konsep yang kongkrit. Mengapa siswa harus memahami
persoalan pada tahapan pemahaman konkrit secara baik? Karena dikhawatirkan siswa belum
memiliki kemampuan untuk mengeneralisasikan pemahaman pada tahaman konkrit ke
pemahaman pada tahapan abstrak, belum mampu berfikir secara logis dan sistematis untuk
memahami suatu persoalan pada tahapan abstrak. Siswa yang belum siap mengkonstruksi
pemahaman pada tahapan abstrak akan mengakibatkan kekeliruan pada pemahaman yang sedang
dibangunnya yang berujung pada munculnya miskonsepsi. Dari persoalan ini, menjadi suatu hal
yang penting bagi seorang guru untuk memilih dan menunjukkan contoh-contoh yang konkrit
dalam upaya menyederhanakan pemahaman yang abstrak kepada siswa dengan bantuan sebuah
media pembelajaran. 
   
b.    Faktor yang Menyebabkan Miskonsepsi
Miskonsepsi yang terjadi pada siswa disebabkan oleh banyak faktor. Selain berasal dari diri
siswa, miskonsepsi juga dapat dipengaruhi oleh cara penyampaian guru, metode mengajar yang
digunakan kurang tepat, buku ajar yang keliru atau yang lainnya. Secara lebih jelas Liliawati
(2009) menyebutkan beberapa faktor yang menyebabkan miskonsepsi pada siswa diantaranya
yaitu kondisi siswa, guru, metode mengajar, buku dan konteks. Sejalan dengan itu, Yuliati
(2015) berpendapat bahwa aspek-aspek yang menyebabkan miskonsepsi adalah siswa itu sendiri,
guru dan metode pembelajaran yang digunakan guru di dalam kelas. Sedangkan menurut Hung
(2006) penyebab terjadi miskonsepsi pada pelajaran fisika karena banyaknya rumus yang
berkaitan antara satu dan yang lainnya dan siswa tidak dapat mengkoneksikannya dengan baik.
Bukan hanya itu, kesalahpahaman yang berkembang berdasarkan persepsi diperoleh dari
interaksi sehari-hari dengan dunia fisik juga dapat membuat miskonsepsi dalam diri siswa
terjadi.

Kondisi siswa dalam kelas sangat bervariasi, tidak jarang dalam satu kelas terdapat siswa dengan
berbagai macam latar belakang budaya maupun bahasa. Penggunaan bahasa keseharian yang
digunakan dalam belajar dan diskusi dapat memicu kesalahpahaman akan maksud dari sebuah
kalimat. Miskonsepsi pada siswa dapat teratasi jika siswa tersebut menyadari akan keselahannya
sendiri. Jika tidak ada yang bisa membuktikan secara eksplisit keselahan konsepnya, maka siswa
akan cenderung mempertahankan apa yang diyakininya itu adalah suatu kebenaran menurutnya.

Miskonsepsi juga dapat timbul diakibatkan karena penguasaan dan pemahaman seorang guru
akan sebuah materi yang disampaikan kepada siswa tidak mendalam. Seorang guru juga dituntut
harus dapat menyampaikan materi kepada siswa dengan jelas dengan kata-kata yang terstruktur.
Penggunaan kosa kata yang mudah dimengerti juga akan meminimalis terjadinya miskonsepsi.
Penggunaan kata dalam menyampaikan sebuah penjelasan hendaknya disesuaikan dengan
kondisi siswa baik itu usia ataupun penalaran siswa. Oleh karenanya banyak pendapat bahwa
prakonsepsi sangat penting untuk dilakukan. Prakonsepsi dapat membantu siswa dalam
memahami dan mengkoreksi sendiri mengenai kesalahan-kesalahan konsepsi yang telah diyakini
oleh siswa (Hung, 2006).

Metode mengajar berkaitan juga dengan penggunaan alat peraga atau media pembelajaran yang
digunakan dalam membantu menejelaskan materi. Pemilihan metode mengajar dan alat peraga
yang kurang tepat juga dapat menyebabkan miskonsepsi. Misalnya seorang siswa yang
melakukan pratikum namun tidak selesai. Siswa tersebut merasa yakin bahwa yang benar
hanyalah yang telah mereka temukan, padahal yang mereka temukan datanya tidak lengkap.
Faktor terjadinya miskonsepsi yang berasal dari buku salah satunya yaitu penggunaan bahasa
yang terlalu sulit dan kompleks. Tidak semua anak dapat mencerna dengan baik apa yang tertulis
dalam buku, akibatnya siswa menyalah artikan maksud dari isi buku tersebut. Penggunaan
gambar dan diagram dapat pula menimbulkan miskonsepsi pada diri anak.

Dalam hal ini penyebab khusus dari miskonsepsi yaitu penggunaan bahasa dalam kehidupan
sehari-hari, teman, serta keyakinan dan ajaran agama. Diskusi kelompok yang tidak efektif,
misalnya kelompok didominasi oleh beberapa orang dan diantara mereka ada yang mengalami
miskonsepsi, maka dia akan mempengaruhi teman-temannya yang lain.

c. Penelusuruan Minskonsepsi Siswa


Mengatasi permasalahan miskonsepsi yang dialami siswa tidak akan mungkin dapat dilakukan
jika tidak mengetahui sejauh mana miskonsepsi yang dialami siswa. Mengetahui miskonsepsi
siswa dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu melakukan tes, wawancara, dan miskonsepsi
(Purba, 2007). Menggunakan instrument tes argumentasi seorang guru dapat menganalisis
seberapa banyak siswa memiliki konsepsi-konsepsi yang tidak sesuai dengan konsep ilmiah.
Miskonsepsi dapat diatasi dengan pembuatan materi yang ditujukan khusus untuk mengatasi
konsep-konsep yang sering salah (Gabel, 2003).

Mengetahui miskonsepsi siswa dapat dilakukan yaitu menggunakan metode CRI (Certainly of
Response Index) sebuah penelitian yang dilakukan oleh Hasan (1999) dan diadopsi oleh Tayubi
(2005). Penelusuran miskonsepsi siswa menggunakan metode CRI ini didasarkan pada jawaban
yang diberikan oleh siswa. Penilaian CRI dilakukan oleh responden dengan memberikan
penilaian terhadap jawaban yang diberikan, seberapa yakin siswa tersebut dalam menjawab soal-
soal yang diberikan. Kepastian jawaban tercermin dari skala CRI yang diberikan. Semakin
rendah CRI yang diberikan menandakan bahwa terdapat keragu-raguan terhadap konsep yang
dikuasainya. Sebaliknya, nilai CRI yang tinggi menandakan bahwa dia memiliki keyakinan
terhadap konsep yang dimilikinya. Kriteria penilaian yang digunakan pada teknik CRI adalah
skala nol sampai dengan lima. Angka 0 menunjukkan bahwa siswa benar-benar tidak memahami
materi apa yang sedang dipelajarinya (Tottaly guessed answer). Angka 1 menunjukkan bahwa
siswa memberikan jawaban dengan cara menebak (Almost a guess). Angka 2 menunjukkan
bahwa siswa menjawab dengan keragu-raguan / tidak yakin (Not sure). Angka 3 menunjukkan
bahwa siswa menjawab dengan yakin (sure). Sedangkan angka 4 menunjukkan bahwa siswa
menjawab soal dengan benar-benar yakin dan memahami konsep (certain). Selanjutnya dalam
melakukan penelusuran mengenai miskonsepsi yang terjadi pada siswa adalah membedakan
mana siswa yang benar-benar mengalami miskonsepsi dan mana siswa yang tidak mengalami
miskonsepsi, adalah dengan memberikan pertanyaan pada siswa dan kemudian siswa diminta
untuk memberikan jawaban kepastian terhadap jawaban yang sudah dipilihnya.

    Berikut adalah daftar miskonsepsi yang terjadi pada siswa dari hasil penelitian yang dilakukan
oleh Saputri & Nursaniah (2015) menggunakan teknik CRI.

1. Menggambarkan proses benda dapat dilihat mata    -    Mahasiswa menganggap dapat
terlihat mata apabila benda disinari sumber cahaya, termasuk cahaya dari matam-   
Mahasiswa menganggap bahwa benda dapat dilihat setelah disinari cahaya pantul dari
mata

2. Melukiskan bayangan benda pada cermin datar    -    Mahasiswa menganggap bayangan
bersifat nyata

3. Menunjukkan sudut datang pada peristiwa pemantulan cahaya pada cermin datar    -   
Mahasiswa menganggap sudut datang terbentuk antara sinar datang dengan bidang pantul

4. Menganalisis panjang gelombang cahaya pada dua medium dengan indeks bias berbeda   
-    Mahasiswa menganggap indeks bias sebanding dengan panjang gelombang

5. Menganalisis pergeseran sinar bias pada dua medium dengan indeks bias yang berbeda   
-    Mahasiswa menganggap jalannya sinar dari medium rapat ke kurang rapat dibelokkan
mendekati garis normal, dan sebaliknya

6. Menggambarkan sinar bias pada prisma    -    Mahasiswa menganggap jalannya sinar bias
pada prisma lurus tanpa dibelokkan

7. Menunjukkan sudut kritis pada peristiwa pembiasan cahaya    -    Mahasiswa


menganggap sudut kritis terbentuk dari sinar datang dengan sudut bias lebih dari 900

8. Menjelaskan konsep perbesaran bayangan    -    Mahasiswa menganggap jika bayangan


benda lebih kecil dibandingkan benda maka tidak terjadi perbesaran

9. Menggambarkan jalannya sinar pada mata rabun dekat    -    Mahasiswa menganggap
pada rabun dekat bayangan benda jatuh didepan retina
    Sedangkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Suwarna (2014) terhadap calon guru
menggunakan teknik CRI diperoleh hasil seperti di bawah ini.

1    Menentukan jumlah bayangan pada dua cermin datar yang saling membentuk sudut    Sedang
2    Menghitung tinggi bayangan pada cermin datar    Rendah
3    Mendeskripsikan sifat bayangan pada cermin datar    Rendah
4    Mengidentifikasi sifat pemantulan cahaya pada cermin    Rendah
5    Menghitung titik pusat kelengkungan pada cermin cekung    Rendah
6    Menghitung jarak bayangan pada cermin cekung    Rendah
7    Menghitung selisih jarak benda pada cermin cekung    Sedang
8.    Menyebutkan sifat pada cermin cembung    Sedang
9    Mengidentifikasi sifat pembiasan pada lensa    Rendah
10    Menyebutkan sinar-sinar istimewa pada lensa cembung    Rendah
11    Menentukan letak ruangan bayangan pada lensa cembung    Sedang
12    Menghitung jarak bayangan pada lensa cembung    Sedang
13    Menyebutkan fungsi lensa pada mata    Tinggi
14    Menyebutkan fungsi alat optik    Tinggi
15    Menyebutkan sifar bayangan pada lup    Tinggi
16    Menghitung letak benda pada lup    Rendah
17    Menentukan perbesaran angular pada lup    Rendah
18    Menentukan titik dekat mata pada penderita hipermetropi    Rendah
19    Menentukan titik jauh pada penderita miopi    Rendah

Anda mungkin juga menyukai