Anda di halaman 1dari 17

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Bersuci atau dalam istilah Islam disebut “Thaharah” . Thaharah mempunyai


makna yang luas tidak hanya sebatas berwudhu saja, thaharah adalah mensucikan diri,
pakaian, dan tempat sholat dari hadas dan najis menurut syariat Islam. Hukum taharah
ialah wajib di atas tiap-tiap mukallaf lelaki dan perempuan. Dalam hal ini banyak ayat Al-
qur`an dan hadits Nabi Muhammad saw, menganjurkan agar kita senantiasa menjaga
kebersihan lahir dan batin. Tharah mengandung dua makna penting, yaitu kesucian dari
hadas dan najis. Tharah juga menjadi faktor utama atau kunci umat islam dalam
melaksanakan ibadah, terutama dalam ibadah shalat karena sebelum melaksanakan shalat
harus terlebih dahulu bersuci dari hadas dan najis, taharah juga merupakan tindakan
penting yang bersifat wajib bagi yang ingin melaksanakan shalat, selain sebagai syarat
sahnya shalat dan ibadah lainnya, tindakan taharah dianjurkan karena memiliki hikmah
dan kebijaksanaan daripadanya. Hikmah dan kebijaksanaan bersuci adalah implementasi
bahwa agama islam mengakui adanya fitrah dalam diri manusia, dan manusia mempunyai
kecendrungan yaitu dengan kebiasaan hidup sehat dan menghindari sesuatu yang kotor.
Bersuci juga menjaga kemuliaan dan kewibawaan umat islam dan bersuci juga
merupakan perbuatan dalam menjaga kesehatan

1
B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian thaharah secara Bahasa dan istilah?
2. Apa saja Macam-macam Bersuci/thaharah (hadas dan najis)?
3. Apa saja macam-macam Alat Bersuci (air, batu, dan kayu/kertas)?
4. Bagaimana Cara Bersuci (bersuci dari najis, wudhu, dan mandi junub)?
5. Apa itu Tayammum? Dan apa saja yang menyebabkan tayammum?

C. Tujuan
1. Memahami pengertian thaharah/bersuci secara bahasa dan istilah
2. Mengetahui macam-macam Bersuci/thaharah (hadas dan najis)
3. Mengetahui macam-macam alat bersuci/thaharah.
4. Dapat memptaktikkan cara bersuci dari najis dan hadas
5. Mengetahui sebab-sebab tayammum dan dapat mempraktikkannya

BAB II

2
PEMBAHASAN

A. Pengertian thaharah

Thaharah menurut bahasa artinya “bersih” Sedangkan menurut istilah syara’


thaharah adalah bersih dari hadas dan najis. Suci dari hadats ialah dengan mengerjakan
wudlu, mandi dan tayamum, sedangkan suci dari najis ialah menghilangkan najis yang
ada di badan tempat dan pakaian. Selain itu thaharah dapat juga diartikan mengerjakan
pekerjaan yang membolehkan shalat, berupa wudhu, mandi, tayamum dan menghilangkan
najis.
Hukum Thaharah
Dalil thaharah tertulis dalam Quran surat Al Baqarah ayat 222. Allah SWT
berfirman menyukai orang-orang yang bertaubat dan bersuci
َ‫ۚ ِإ َّن ٱهَّلل َ يُ ِحبُّ ٱلتَّ ٰ َّوبِينَ َوي ُِحبُّ ۡٱل ُمتَطَه ِِّرين‬

Artinya: Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang
yang menyucikan diri.
Selain itu, dalam hadits riwayat Muslim, Rasulullah SAW, " Allah tidak
menerima sholat yang tidak disertai dengan bersuci."
B. Macam-macam thaharah
Pembagian thaharah ada dua, yakni bersuci dari hadats berupa melakukan
wudhu, mandi, dan tayamum. Kemudian, bersuci dari najis berupa menghilangkan
najis yang ada di badan, tempat dan pakaian. Adapun yang macam dari hadas dan
najis sebagai berikut :
1. Hadas
Hadas adalah keadaan tidak suci pada orang yang telah baligh dan berakal
sehat. Hadas dibedakan menjadi dua yaitu hadas besar dan hadas kecil.
a. Hadas Kecil
Mengutip Ensiklopedi Islam, hadas kecil yang sudah disepakati para ahli fikih
diantaranya adalah keluar air kencing, air besar (tinja), angin, mazi (air putih
bergetah yang keluar sewaktu mengingat senggama atau sedang bercanda), dan
wadi (semacam cairan putih kental yang keluar dari alat kelamin mengiringi air
kencing) yang semuanya terjadi dalam keadaan sehat.

3
Sementara hilangnya akal karena pingsan, gila, atau mabuk, oleh jumhur
ulama dikiaskan sebagaimana keadaan ketika tertidur, dan termasuk ke dalam
hadas kecil.
Ada pula hadas kecil yang masih dalam perdebatan, yaitu segala najis yang
keluar dari tubuh, tidur, menyentuh wanita dengan tangan atau dengan anggota
tubuh lain yang sensitif, menyentuh zakar, memakan makanan yang dibakar api,
tertawa dalam sholat, dan membawa mayat.

b. Hadas Besar
Hadas besar terjadi pada orang yang dalam keadaan janabah (orangnya disebut
junub) dan wanita dalam keadaan haid. Untuk mensucikan diri, seorang junub
atau wanita haid wajib melakukan mandi.
Dasar hukumnya ada pada firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah; 5-6)

‫_ق َوا ْم َس_حُوْ ا بِ ُرءُوْ ِس_ ُك ْم‬ _ِ ِ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اِ َذا قُ ْمتُ ْم اِلَى الص َّٰلو ِة فَا ْغ ِسلُوْ ا ُوجُوْ هَ ُك ْم َواَ ْي_ ِديَ ُك ْ_م اِلَى ْال َم َراف‬
َ‫ضى اَوْ ع َٰلى َسفَ ٍر اَوْ َج ۤا َء اَ َح_ ٌد ِّم ْن ُك ْم ِّمن‬ ٓ ٰ ْ‫َواَرْ ُجلَ ُك ْم اِلَى ْال َك ْعبَ ْي ۗ ِن َواِ ْن ُك ْنتُ ْم ُجنُبًا فَاطَّهَّرُوْ ۗ_ا َواِ ْن ُك ْنتُ ْم َّمر‬
‫ص ِع ْيدًا طَيِّبًا فَا ْم َسحُوْ ا بِ ُوجُوْ ِه ُك ْ_م َواَ ْي ِد ْي ُك ْ_م ِّم ْنهُ ۗ َما ي ُِر ْي_ ُد‬ َ ‫ْالغ َۤا ِٕى ِط اَوْ ٰل َم ْستُ ُم النِّ َس ۤا َء فَلَ ْم تَ ِج ُدوْ ا_ َم ۤا ًء فَتَيَ َّم ُموْ ا‬
َ‫ج َّو ٰل ِك ْن ي ُِّر ْي ُد لِيُطَهِّ َر ُك ْ_م َولِيُتِ َّم نِ ْع َمتَهٗ َعلَ ْي ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُكرُوْ ن‬ ‫هّٰللا‬
ٍ ‫ُ لِيَجْ َع َل َعلَ ْي ُك ْم ِّم ْن َح َر‬

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan salat,


maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan
(basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah.
Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus)
atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka
bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu
dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak
membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu
bersyukur.

dan firman lainnya yang artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang haid.
Katakanlah: ‘haid itu adalah suatu kotoran.’... (QS Al Baqarah [2]: 222).
Selain itu, tanpa bersuci dari hadas besar, seorang muslim juga tak bisa
melaksanakan ibadah salat, berdiam diri di masjid, memegang mushaf Alquran,

4
dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW: “Allah
SWT tidak akan menerima sedekah dari hasil ghulul [korupsi], tidak pula
menerima shalat tanpa bersuci,” (H.R. Abu Daud).
Dalam uraian "Pola Hidup Bersih Sesuai dengan Ketentuan Syariat Islam" yang
diterbitkan Kementerian Agama RI, disebutkan beberapa kondisi yang
menjadikan seseorang berhadas besar, sebagai berikut:
 Melakukan hubungan seksual;
 Keluar sperma (mani);
 Menstruasi (haid);
 Melahirkan; Nifas (keluar darah setelah melahirkan); dan
 Meninggal dunia.
Artinya, usai terjadi hal-hal di atas, seorang muslim mesti menyucikan dirinya sendiri
agar terbebas dari hadas besar tersebut. Kecuali, untuk poin terakhir, ketika ia
meninggal dunia, maka orang lain yang akan memandikannya sebelum dikafani dan
disalatkan.

2. Najis
Najis menurut bahasa adalah sesuatu yang menjijikkan, sedangkan menurut
istilah adalah sesuatu yang haram seperti perkara yang berwujud cair (darah,
muntah muntahan dan nanah), setiap perkara yang keluar dari dubur dan qubul
kecuali mani. Untuk melakukan kaifiat mencuci benda yang kena najis, terlebih
dahulu akan diterangkan bahwa najis terbagi atas tiga bagian:
a) Najis mugallazah (tebal)
Najis mughallazah artinya adalah najis dengan tingkatan berat. Najis berat
adalah suatu materi (benda) yang kenajisannya ditetapkan dalil yang pasti
(qat'i).
Contoh yang termasuk dalam najis mugallazah yaitu, najis yang berasal dari
anjing dan babi (termasuk kotoran dan air liurnya).
b) Najis mukhaffafah (ringan)
misalnya kencing bayi Iaki-Iaki kurang dari 2 tahun yang belum memakan
makanan apa-apa kecuali air susu ibu saja (ASI).

c) Najis Mutawassitah (pertengahan)

5
Najis dengan tingkatan sedang, artinya semua najis yang tidak termasuk dalam
najis Mukhaffafah maupun Mugallazah. Contoh najis ini biasanya ditemukan
pada air seni serta tinja manusia, bangkai (kecuali ikan dan belalang), dan air
susus hewan yang diharamkan.
yaitu najis yang lain daripada kedua macam yang diatas. Najis ini dibagi
menjadi dua bagian:
 Najis hukmiah yaitu yang kita yakini adanya, tetapi tidak nyata zat,
bau, rasa, dan warnanya, seperti kencing yang sudah lama kering,
sehingga sifat-sifatnya telah hilang.
 Najis ‘ainiyah, yaitu yang masih ada zat, warna, rasa, dan baunya,
kecuali warna atau bau yang sangat sukar menghilangkannya, sifat
ini dimaafkan.
C. Macam-macam alat bersuci (air, batu, dan kayu/kertas)
Alat thaharah atau istinja merupakan benda yang tidak tercampur dengan kotoran
yang dapat mensucikan tubuh kita dari segala hadas atau kotoran yang dimana bentuk
tersebut bukanlah barang yang berharga. Berikut merupakan alat-alat untuk ber thaharah
sebagai berikut

1. Air

Dari buku Fiqih Thaharah, air yang bisa digunakan untuk thaharah adalah air suci
yang menyucikan. Air ini disebut dengan air mutlak. Ait mutlak merupakan air yang
murni dan tidak tercampur oleh najis, berikut merupakan beberapa contoh air mutlak
yang dapat digunakan untuk ber thaharah yaitu air hujan, air laut, air sungai, air sumur,
air es, dan air embun.

2. Benda yang dapat menyerap kotoran

Ketika tidak mendapatkan air terdapat beberapa benda yang diperbolehkan untuk
dapat mensucikan diri. Benda itu merupakan Batu, kertas, kayu dan berbagai jenisnya
yang dapat menyerap kotoran, dalam ajaran islam benda-benda tersebut di perkhususkan
untuk menghilangkan najis.

 Cara penggunaannya

6
Di antara alat yang bisa digunakan untuk ber-istinja’ adalah air, batu, kayu dan
kertas. Dengan menggunakan alat-alat ini, maka tuiuan istinja’ akan tercapai..
Adapun cara yang paling baik adalah dengan menggunakan bahan yang keras dan
juga air sekaligus.
Yaitu, dengan mendahulukan menggunakan kertas dan yang semacamnya,
kemudian diikuti dengan menggunakan air, karena benda najis itu akan hilang dengan
kertas ataupun batu, dan bekasnya akan hilang dengan menggunakan air.
 Menggunakan Air, Batu, Kayu Dan Kertas
Menggunakan air saja adalah lebih baik daripada menggunakan batu saja atau yang
seumpamanya. Karena, air mampu menghilangkan zat najis dan juga bekasnya.
Berbeda dengan batu, benda kertas dan yang seumpamanya.
Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik, bahwa ketika ayat ke-108 Surah At-
Taubah turun, yaitu, "... Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan
diri...."

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Wahai kaum Anshar!


Sesungguhnya Allah Ta’ala telah memuji kalian berkaitan dengan masalah bersuci.
Apakah (jenis-jenis) bersuci yang telah kamu lakukan?” Mereka menjawab, "Kami
berwudhu untuk shalat, mandi karena jinabah dan ber-istinja' dengan air." Rasul
berkata, " Pahalanya adalah untuk kalian, maka hendaklah kalian mengamalkannya.”
Riwayat lbnu Majah, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi dan sanadnya hasan. Hadits ini
didukung oleh kata-kata Ibnu Abbas, “Ayat berikut ini diturunkan kepada penduduk,
“Di dalamnya ada orang yang ingin membersihkan diri, dan Allah mengasihi orang
yang menyucikan dirinya!" Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya
kepada mereka tentang cara bersuci lalu mereka menjawab, "Kami menggunakan batu
dan disusuli dengan air." (Nashbur Rayah, jilid 1 halaman 218 dan seterusnya)

Pertama, hendaklah najis yang keluar itu belum kering. Jika ia sudah kering, maka
wajib menggunakan air ketika membersihkannya.
Kedua, jangan sampai najis itu berpindah tempat dari tempat keluarnya dan melekat
pada tempat yang lain itu. Dan jangan sampai najis itu melewati tempat keluarnya.
Jika ia melewati dan berada ditempat lain, maka untuk membersihkannya wajib
menggunakan air. Ini merupakan kesepakatan ulama.

7
Ketiga, janganlah najis itu bercampur dengan benda lain yang basah, baik benda itu
najis ataupun suci. Jika ia bercampur dengan benda lain yang kering, maka tidaklah
mengapa.
Keempat, hendaklah najis yang keluar itu melewati saluran yang biasa. Oleh sebab
itu, penggunaan batu atau seumpamanya tidak cukup apabila najis yang keluar itu
tidak melewati saluran biasa, seperti keluar melewati jalur bekam, ataupun melewati
satu lubang yang terbuka di bawah usus meskipun saluran yang asal tersumbat secara
kebetulan. Juga, tidak memadai ber-istinja’dengan kertas dan yang seumpamanya
untuk menyucikan air kencing seorang khunsa musykil, meskipun yang keluar itu
melewati salah satu dari dua kemaluannya. Karena, kemungkinan ia adalah kemaluan
yang lebih. Begitu juga kertas tidak memadai untuk menyucikan air kencing yang
keluar dari zakar yang tertutup kulup apabila air kencingnya telah mengenai kulit
kulupnya.

Menurut pendapat ulama selain ulama madzhab Maliki, menggunakan kertas dan
yang seumpamanya untuk mengusap darah haid ataupun nifas adalah mencukupi.
Begitu juga -menurut pendapat yang azhar di kalangan ulama madzhab Syafi'i dan di
kalangan ulama madzhab Hambali dan Hanafi- sudah cukup apabila seseorang
menggunakan batu untuk mengusap apa saja yang keluarnya jarang seperti darah,
wadi dan juga madzi. Ataupun, untuk membersihkan najis yang sudah berceceran
tidak seperti kebiasaan kebanyakan orang, tetapi tidak sampai melewati bagian
pantatnya (yaitu pantat sebelah dalam yang terlindung ketika seseorang berdiri), dan
juga tidak melewati bagian kepala zakarnya (yaitu bagian ujung dari tempat khitan
atau kadar tempat tersebut memang zakarnya terpotong).

Menurut pendapat ulama Madzhab Maliki, seseorang tidak boleh ber-istijmar dengan
menggunakan batu untuk membersihkan mani, air madzi dan darah haid, melainkan ia
wajib menggunakan air untuk menghilangkan air mani, darah haid dan darah nifas,
juga darah istihadhah jika memang istihadhah tersebut tidak datang setiap hari,
meskipun hanya sekali. Jika ia datang setiap hari, maka ia dimaafkan sama seperti
lelaki atau perempuan yang senantiasa keluar air kencing. Jika keadaannya demikian,
maka tidak bisa menghilangkannya.
Begitu juga menurut pendapat ulama Madzhab Maliki, untuk menghilangkan air
kencing perempuan, baik perawan atau janda, maka harus menggunakan air. Karena

8
ia sering melewati tempat keluarnya hingga bagian anggota yang biasanya digunakan
untuk duduk.

Apakah Tiga Buah Merupakan Syarat dalam Istinja’ dengan Batu?


Ulama Madzhab Hanafi dan Maliki berkata, “Sunnah menggunakan tiga batu,
dan tidaklah wajib. Dan apabila menggunakan kurang dari tiga, maka sudah cukup,
jika bilangan itu memang sudah dapat membersihkannya. Maksud bersih di sini
adalah hilangnya najis dan juga basahnya najis, hingga batu yang telah digunakan itu
tidak terdapat lagi najis apapun lagi kecuali dalam kadar yang paling minimal. Oleh
sebab itu, apa yang wajib menurut pendapat ulama madzhab Maliki dan sunnah
menurut pendapat ulama madzhab Hanafi adalah bersihnya tempat istinja', bukannya
jumlah batu yang digunakan. Ini berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam yang lalu, "Siapa yang beristijmar, maka hendaklah ia mengganjilkan
bilangannya. Siapa yang melakukan demikian, maka itulah adalah baik, dan siapa
yang tidak melakukannyo, maka tidaklah berdosa."
Ulama madzhab Syafi'i dan Hambali berpendapat bahwa yang diwajibkan
adalah bersihnya tempat istinja' dan juga sempurnanya tiga buah batu, ataupun dengan
tiga kali usapan meskipun hanya dengan menggunakan tiga sudut dari sebiji batu. Jika
tempat istinja' belum juga bersih dengan menggunakan tiga buah batu, maka wajib
dibersihkan dengan batu yang keempat dan seterusnya, hingga tidak bekas najisnya
hilang kecuali yang memang hanya bisa dihilangkan dengan menggunakan air
ataupun batu yang kecil. Karena, itulah (suci) yang menjadi tujuan istinja'. Dalil
mereka adalah beberapa hadits yang telah lalu. Di antaranya adalah, "Hendaklah
kamu beristinja' dengan menggunakan tiga buah batu."
Juga, hadits riwayat Muslim dari Salman, "Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam melarang kami ber-istinja' dengan bilangan batu yang kurang dari tiga biji."
Dalam redaksi lain disebutkan, "dengan tiga sudut dari sebuah batu."
Apabila seseorang menggunakan lebih dari tiga buah batu, maka dia
mengganjilkan bilangannya. Karena, berdasarkan riwayat Asy-Syaikhan dari Abu
Hurairah, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Apabila
salah seorang di antara kamu beristijmar, maka beristijmarlah dengan bilangan yang
ganjil."
Hukum wajib yang ditunjukkan oleh hadits ini telah dihapus oleh hadits lain
riwayat Abu Dawud, "Barangsiapa beristijmar, hendaklah ia mengganjilkan

9
bilangannya. Siapa yang melakukan (demikian), maka itulah yang baik, dan siapa
yang tidak (melakukan demikian), maka tidaklah berdosa."
Adapun bilangan basuhan ketika beristinja' dengan air, maka menurut
pendapat yang ashah, adalah mengikut kepada perasaan hingga hati merasa puas dan
yakin bahwa tempat itu sudah bersih, ataupun dengan munculnya dugaan kuat bahwa
tempat itu sudah bersih. Inilah pendapat yang ashah dari Imam Ahmad. Abu Dawud
berkata, "lmam Ahmad ditanya tentang sejauh mana batasan ber-istinja' dengan air."
Lalu dia menjawab, "(Hingga) bersih."
Tidak ada riwayat dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
berkenaan dengan masalah ini yang menetapkan jumlah tertentu (ketika istinja’) dan
Rasul juga tidak menyuruh menggunakan jumlah tertentu. Ada juga riwayat yang
bersumber dari Imam Ahmad bahwa dia berpendapat, bilangannya adalah tujuh kali
basuhan (Muraqil Falah halaman 8; Al-Mughni jilid 1 halaman 161 dan seterusnya;
Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 46).
Oleh sebab itu, yang diwajibkan dalam istinja' adalah adanya zhan (dugaan
kuat) bahwa najis tersebut telah hilang. Dan tidaklah mengapa menguji bau najis
dengan tangan, karena kewujudan bau najis itu menunjukkan bahwa najis itu masih
ada di tempat yang berkenaan. Oleh karena itu jika memang masih ada bau, maka
tangan tersebut dihukumi terkena najis.

Cara Ber-lstinja'
Hendaklah seseorang menuangkan air ke atas tangan kirinya sebelum dia menyentuh najis,
kemudian dia membasuh qubulnya, yaitu saluran air kencing, dan membasuh seluruh
zakarnya apabila keluar air madzi. Kemudian barulah membasuh dubur diikuti dengan
mencurahkan air, dan menggosok dengan tangan kiri. Hendaklah dia membungkukkan badan
sedikit kemudian menggosoknya (dubur) dengan cermat sehingga tempat itu menjadi bersih.
Ber-istinja' dengan menggunakan tangan kanan tidak dianjurkan. Begitu juga menyentuh
zakar dengan tangan kanan (Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 36; Tabyinul Haqa’iq jilid 1
halaman 78).
Seseorang yang sedang berpuasa hendaklah tidak memasukkan jarinya ke dalam dubur,
karena tindakan itu dapat membatalkan puasa.

Cara Ber-Istijmar

10
Hendaklah batu pertama digunakan untuk mengusap, dimula dari bagian depan ke arah
bagian belakang, dan batu kedua digunakan untuk bagian belakang ke arah bagian depan.
Kemudian batu yang ketiga digunakan untuk mengusap seperti ketika menggunakan batu
yang pertama, yaitu dm arah depan ke arah belakang, jika memang buah zakar dalam keadaan
tergantung karena -jika buah zakar tidak tergantung- dikhawatirkan ia akan terkena kotoran.
Dan apabila zakar itu turun (rapat), maka ketika menggunakan batu yang ketiga hendaknya
menggerakannya seperti ketika menggerakkan batu yang kedua, yaitu dari arah belakang ke
depan.
Adapun perempuan hendaklah memulainya dari arah depan ke arah belakang supaya kelamin
depannya tidak terkena najis (Muraqil Falah halaman 8).

Ulama madzhab Syafi'i (Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 45; Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman
27) berpendapat bahwa meratakan setiap satu batu ke semua bagian tempat (keluar najis)
adalah sunnah, yaitu memulakan dengan batu yang pertama dari bagian depan sebelah kanan
dubur, kemudian mendorongnya dengan perlahan mengelilingi dubur hingga kembali ke
tempat semula. Begitu juga dengan batu yang kedua, tetapi hendaklah memulakannya dari
bagian depan sebelah kiri. Sementara, batu ketiga digunakan untuk membersihkan kedua
belah sisinya dan juga bagian keluarnya najis yang dinamai musrabah.
D. Cara bersuci (bersuci dari najis, wudhu, dan mandi junub)
1. Bersuci dari najis
- Cara bersuci dari najis mughallazah
Cara menyucikannya dengan menghilangkan terlebih dahulu wujud benda
najis tersebut. Kemudian, dicuci dengan air bersih sebanyak tujuh kali dan
salah satunya menggunakan tanah.
Dalil menyucikan najis mughallazah termaktub dalam hadits yang
diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda,

ٍ ‫ِإ َذا َولَ َغ ْال َك ْلبُ فِى اِإل نَا ِء فَا ْغ ِسلُوهُ َس ْب َع َمرَّا‬
ِ ‫ت َو َعفِّرُوهُ الثَّا ِمنَةَ فِى التُّ َرا‬
‫ب‬

Artinya: "Ketika anjing menjilat bejana, maka basuhlah tujuh kali dengan
dicampuri debu pada awal pembasuhannya." (HR. Muslim).

- Cara bersuci dari najis mukhaffafah (ringan)

11
Cara menyucikan najis tingkatan ringan ini yaitu membasahi benda yang
terkena najis dengan air sampai basah. Tanpa perlu dikucek atau pun diperas.
Hal tersebut dicontohkan oleh Rasulullah dalam sebuah hadits berikut,

‫ب ب ِْن َأبِياَأْل ْس َو ِد ع َْن‬


ِ ْ‫ث َح َّدثَنَا ِه َشا ٌم ع َْن قَتَا َدةَ ع َْن َأبِي َحر‬ ِ ‫ص َم ِد بْنُ َع ْب ِد ْال َو‬
ِ ‫ار‬ َّ ‫َح َّدثَنَا َع ْب ُد ال‬
‫ض ُح‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم بَوْ ُل ْال ُغاَل ِم يُ ْن‬
َ ِ ‫ال قَا َل َرسُو ُل هَّللا‬ َ َ‫ي هَّللا ُ َع ْنهُ ق‬ ِ ‫َأبِي ِه ع َْن َعلِ ٍّي َر‬
_َ ‫ض‬
‫ط َع َما فَِإ َذا طَ ِع َما ُغ ِس َل بَوْ لُهُ َما‬ ْ َ‫اريَ ِة يُ ْغ َس ُل قَا َل قَتَا َدةُ هَ َذا َما لَ ْم ي‬
ِ ‫َعلَ ْي ِه َوبَوْ ُل ْال َج‬

Artinya: "Telah meriwayatkan kepada kami Abdush Shamad bin Abdul Warits
telah menceritakan kepada kami Hisyam dari Qatadah dari Abu Harb bin Abul
Aswad dari bapaknya Ali, dia berkata bahwa Rasulullah bersabda, " Air
kencing bayi laki-laki (cara membersihkannya) cukup diperciki air, sedangkan
air kencing bayi perempuan dicuci."
Qatadah berkata: "Cara seperti ini apabila keduanya (bayi laki-laki dan
perempuan) belum makan makanan (selain ASI), akan tetapi apabila telah
makan maka air kencing keduanya harus dicuci." (HR. Imam Ahmad).
Diriwayatkan oleh Ummu Qois bahwa ia datang dengan seorang bayi laki-laki
yang belum makan apa-apa, maka Rasul menempatkan bayi itu di tempat
sholatnya. Lalu bayi tersebut kencing dan Rasul memercikkan air ke tempat
tersebut tanpa membasuhnya. (HR. Bukhari dan Muslim).
- Cara bersuci dari najis mutawasittah (pertengahan)
Najis ini dibagi menjadi dua dan cara meyucikan keduanya pun berbeda:
 Mutawassitah hukumiyah, artinya najis yang diyakini wujudnya, tetapi
tidak ada bau, rasa, ataupun wujudnya. Misalnya, air seni yang sudah
mengering. Untuk menyucikannya cukup disiram air di atasnya.
 Mutawassitah 'ainiyah, adalah najis yang masih meninggalkan wujud,
bau, maupun rasanya. Cara menyucikannya dengan dibasuh sampai hilang
wujud, bau, atau pun rasa. Rasa dikecualikan bila sangat sulit dihilangkan.
2. Cara bersuci dengan berwudhu
Wudhu menurut bahasa berarti bersih. Menurut istilah syara’ berarti
membasuh anggota badan tertentu dengan air suci yang menyucikan (air mutlak)
dengan tujuan menghilangkan hadas kecil sesuai syarat dan rukunnya. Thaharah
dengan berwudhu dilakukan dengan menghilangkan hadas kecil ketika hendak

12
melaksanakan sholat. Dalam islam wudhu merupakan salah satu syarat sah untuk
melakukan shalat. Seseorang yang akan melakukan wudhu hendaknya melakukan niat
dengan sebagai berikut :

Nawaitul wudhuu'a liraf'il-hadatsil-ashghari fardhal lillaahi ta'aalaa.

Artinya: "Aku niat berwudu untuk menghilangkan hadas kecil karena Allah."

Hal ini dikuatkan firman Allah SWT :


ْ ‫_ق َوٱمۡ َس _ح‬
‫ُوا‬ ۡ
ِ _ِ‫وا ُو ُج__وهَ ُكۡ_م َوَأ ۡي_ ِديَ ُكۡ_م ِإلَى ٱل َم َراف‬
_ْ ُ‫ٱغ ِس _ل‬ َّ ‫ٰيََٓأيُّهَ__ا ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ_ ٓ_و ْا ِإ َذا قُمۡ تُۡ_م ِإلَى‬
ۡ َ‫ٱلص _لَ ٰو ِة ف‬
‫بِ ُر ُءو ِس ُكمۡ َوَأ ۡر ُجلَ ُكمۡ ِإلَى ۡٱل َك ۡعبَ ۡي ۚ ِن‬
yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah
kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.. (QS Al
Maa’idah:6)
juga sabda Nabi SAW yang artinya: “Allah tidak menerima sholat tanpa
bersuci...” (HR Muslim).
3. Cara bersuci dengan mandi junub

Hadas besar disucikan dengan cara mandi junub. Mandi ini bersifat wajib bagi
seorang Muslim yang berakal sehat. Mandi junub/wajib merupakan salah satu
thaharah untuk menghilangkan atau mensucikan dari hadas besar seperti haid, nifas
dan keluarnya sperma pada zakar laki-laki. Mandi wajib dapat dilakukan dengan
mengalirkan air ke seluruh tubuh dari ujung kepala hingga ujung kaki. Mandi wajib
harus dibarengi dengan niat sebagai berikut:

Nawaitul ghusla liraf'il-hadatsil-akbari fardhal lillaahi ta'aala

Artinya: "Aku niat mandi untuk menghilangkan hadats besar dari janabah,
fardhu karena Allah ta'ala."

Mandi junub juga tercantum dalam QS An-Nisa ayat 43:

‫وا َما تَقُولُونَ َواَل ُجنُبً__ا ِإاَّل َع__ابِ ِري‬ ْ ‫صلَ ٰوةَ َوَأنتُمۡ ُس ٰ َك َر ٰى َحتَّ ٰى ت َۡعلَ ُم‬ ْ ‫وا اَل ت َۡق َرب‬
َّ ‫ُوا ٱل‬ ْ ُ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬
‫_د ِّمن ُكم ِّمنَ ۡٱلغَٓاِئ ِط َأ ۡو ٰلَ َم ۡس _تُ ُم‬ٞ _‫ى َأ ۡو َعلَ ٰى َس _فَ ٍر َأ ۡو َج_ ٓا َء َأ َح‬ _ٰٓ _ ‫ض‬
َ ‫وا َوِإن ُكنتُم َّم ۡر‬ ْ ۚ ُ‫يل َحتَّ ٰى ت َۡغت َِس _ل‬
ٍ ِ‫َس _ب‬
‫ُوا بِ ُوجُو ِه ُكۡ_م َوَأ ۡي ِدي ُكمۡۗ ِإ َّن ٱهَّلل َ َكانَ َعفُ ًّوا َغفُورًا‬ _ْ ‫ص ِع ٗيدا طَيِّبٗ ا فَٱمۡ َسح‬ َ ‫وا‬ _ْ ‫ُوا َمٓاءٗ فَتَيَ َّم ُم‬
ْ ‫ٱلنِّ َسٓا َء فَلَمۡ تَ ِجد‬

13
Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, jangan-lah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri
masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekadar berlalu saja, hingga
kamu mandi.”

E. Tayammum
1. Pengertian tayammum
Tayamum secara bahasa ialah sengaja atau menyengaja. Adapun tayamum
secara istilah syariat, bermakna tata cara bersuci dari hadast dengan cara mengusap
wajah dan kedua telapak tangan dengan menggunakan sha’id (tanah atau debu) yang
bersih dan dengan cara-cara tertentu.

Tharah tayamum merupakan salah satu cara bersuci untuk menggantikan


mandi dan wudhu apabila tidak ditemukannya alat alat untuk ber thaharah. Syarat
tayamum yaitu dengan menggunaka tanah yang suci dan tidak tercampur dengan
benda apapun. Tayamum juga memiliki niat sebagai berikut:

Nawaitut tayammuma lisstibaahatishsholaati fardhol lillaahi taala

Artinya: "Saya niat tayamum agar diperbolehkan melakukan fardu karena Allah."

Dan menurut hadist Hudzaifah R.A yang diriwayatkan oleh Muslim


disebutkan: “Dan tanah atau debunya dijadikan bagi kita sebagai alat bersuci, apabila
kita tidak mendapatkan air”. HR. Muslim (522). Berdasarkan dalil tersebut, tayamum
ini merupakan cara bersuci menggunakan tanah atau debu yang suci dan kekhususan
yang diberikan oleh Allah SWT kepada umat islam, sebagai pengganti air ketika
bersuci.
2. Sebab-Sebab Diperbolehkan Tayamum
Tayamum dapat dilakukan sebagai pengganti wudhu karena adanya beberapa
sebab, diantaranya adalah:
1) Tidak adanya air
2) Berada di tempat yang jauh dari air.
3) Tidak mampu menggunakan air, seperti orang lemah atau orang dipenjara.
4) Karena Sakit, jika memakai air akan memperlambat sembuhnya sehingga
dikhawatirkan akan semakin parah bila menggunakan air.

14
5) Karena dalam perjalanan.
Sebagaimana yang telah disyari’atkan berdasarkan dalil Al Qur’an dan as-
Sunnah. Allah SWT berfirman30 :

ْ ‫د ِّمن ُكم ِّمنَ ۡٱلغَٓاِئ ِط َأ ۡو ٰلَ َم ۡستُ ُم ٱلنِّ َس_ٓا َء فَلَمۡ تَ ِج_ د‬ٞ ‫ض ٰ ٓى َأ ۡو َعلَ ٰى َسفَ ٍر َأ ۡو َجٓا َء َأ َح‬
ٗ‫ُوا َم__ٓاء‬ َ ‫َوِإن ُكنتُم َّم ۡر‬
ُ‫ُوا بِ ُوجُو ِه ُكمۡ َوَأ ۡي ِدي ُكم_ ِّم ۡن ۚه‬
ْ ‫ص ِع ٗيدا_ طَيِّبٗ ا فَٱمۡ َسح‬ ْ ‫فَتَيَ َّم ُم‬
َ ‫وا‬

Artinya: “Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari
tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak
mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang bersih (suci), maka
usaplah muka dan kedua tanganmu dengan tanah itu”. (QS. AlMaidah: 6)
Jadi tayamum merupakan pengganti wudhu atau mandi sebagai keringanan
bagi orang yang tidak dapat menggunakan air karena halangan, seperti sakit atau
dalam perjalanan yang sulit menemukan air atau karena memang tidak adanya air.
3. Tata Cara Tayamum Adapun tata cara tayamum adalah:
1) Membaca basmalah dan niat.
“Aku niat bertayamum untuk dapat mengerjakan sholat fardhu karena
Allah”.
2) Menempelkan kedua telapak tangan di dinding (tempat) yang berdebu.
3) Menipiskan tanah atau debu dengan meniup kedua telapak tangan.
4) Mengusapkan tanah atau debu ke muka dengan sekali usapan.
5) Menempelkan kedua telapak tangan di dinding lain / tempat lain yang
berdebu.
6) Menipiskan tanah atau debu dengan meniup kedua telapak tangan.
7) Mengusapkan tanah atau debu ke tangan kanan dan kiri sampai siku
dengan sekali usapan.
8) Berdoa sebagaimana doa sesudah wudhu.
Dalam melakukan tayamum, ada hal yang perlu diperhatikan, yaitu
tayamum itu dilakukan dengan dua tepukan, tepukan yang pertama untuk
wajah dan tepukan selanjutnya untuk kedua tangan sampai siku.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
Dari Ibnu Umar R.A, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
“Tayamum itu dengan dua tepukan: tepukan untuk wajah dan tepukan
untuk kedua tangan sampai siku”. (HR. Daruquthni)

15
BAB III

PENUTUPAN

A. Kesimpulan
Islam menganjurkan agar kita selalu menjaga kebersihan, baik itu
kebersihan anggota tubuh (badani) maupun kebersihan rohani. Kebersihan
badani tercermin dengan bagaimana umat muslim selalu bersuci, baik sebelum
mereka melakukan ibadah menghadap Allah SWT maupun dalam setiap akan
melakukan aktivitasnya.
Pada hakikatnya tujuan bersuci adalah agar umat muslim terhindari dari
kotoran yang menempel di badan, sehingga secara sadar atau tidak sengaja
membatalkan rangkaian ibadah kita kepada Allah SWT. Namun, yang terjadi
sekarang adalah, banyak umat muslim hanya tahu saja bahwa bersuci itu
sebatas membasuh badan dengan air tanpa mengamalkan rukun-rukun bersuci
lainnya sesuai syariat Islam. Bersuci atau dalam istilah Islam disebut
“Thaharah” . Thaharah mempunyai makna yang luas tidak hanya sebatas
berwudhu saja, thaharah adalah mensucikan diri, pakaian, dan tempat sholat
dari hadas dan najis menurut syariat islam.
Bersuci dari hadas dan najis adalah syarat sahnya seorang muslim dalam
mengerjakan ibadah tertentu. Berdasarkan pengertian tersebut sebenarnya
banyak sekali manfaat yang bisa kita ambil dari fungsi thaharah. Taharah
sebagai bukti bahwa Islam amat mementingkan kebersihan dan kesucian.

16
DAFTAR PUSTAKA
"Macam-Macam Najis dan Contohnya, Ada Apa Saja?"
selengkapnya https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5699590/macam-macam-najis-dan-
contohnya-ada-apa-saja.

http://repo.iain-tulungagung.ac.id/8632/5/BAB%20II.pdf
Shalat, Tata Cara. "Shalat Fardlu." TC Shalat - blog.umy.ac.id

"Tata Cara Mandi Junub Sesuai Sunah"


https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20211008144637-289-705233/tata-cara-mandi-
junub-sesuai-sunah.

Rumaisha, Azizah. "Ibadah Bersuci (Toharoh) dan Gaya Hidup Sehat." (2018).

https://baitsyariah.blogspot.com/2019/09/alat-alat-sifat-dan-cara-ber-istinja.html
https://republika.co.id/berita/q7lr36320/mengenal-pengertian-hadas-jenis-dan-konsekuensi-
hukumnya

Zein, S. H. S. (2020). Peningkatan hasil belajar Materi Tayamum Mata pelajaran


Fiqih melalui metode Edutainment pada siswa kelas III-A MIN 1 kota Surabaya (Doctoral
dissertation, UIN Sunan Ampel Surabaya).

17

Anda mungkin juga menyukai