Anda di halaman 1dari 27

PENYAKIT MENULAR SEKSUAL

( HIV/AIDS)

SALSABILA PUTERI RACHMAN

190401019

FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN

PROGRAM STUDI DIII KEBIDANAN

UNIVERSITAS PUANGRIMAGGALATUNG TAHUN

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Penyakit Menular Seksual” dengan tepat waktu.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Kebidanan Komunitas. Selain itu,
makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang HIV/AIDS.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Andi Sabriaksa, SKM., M. Kes


selaku dosen Mata Kuliah Kebidanan Kmonitas. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada
semua pihak yang telah membantu diselesaikannya makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik
yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Sengkang, 5 Juni 2021

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.....................................................................................................................

Daftar Isi..............................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A Latar Belakang.........................................................................................................

B Rumusan Masalah....................................................................................................

C Tujuan......................................................................................................................

a) Tujuan umum...............................................................................................

b) Tujuan Khusus.............................................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A Definisi Penyakit Menular Seksual.........................................................................

B Klasifikasi................................................................................................................

C Gejala.......................................................................................................................

D Komplikasi...............................................................................................................

E Penyebab..................................................................................................................

F Diagnosisi................................................................................................................

G Pencegahan..............................................................................................................

H Penatalaksanaan PMS..............................................................................................

BAB III METODE PENULISAN

A Pengumpulan Data dan Informasi...........................................................................

B Pengolahan Data dan Informasi...............................................................................

C Analisis dan Sintesis................................................................................................


BAB IV PEMBAHASAN

A Penyebaran virus HIV/AIDS...................................................................................

B Faktor Resiko HIV/AIDS........................................................................................

BAB V PENUTUP

a. Kesimpulan..............................................................................................................

b. Saran........................................................................................................................

Daftar Pustaka......................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

HIV adalah penyakit menular pembunuh nomor satu di dunia. Menurut data dari World
Health Organization (WHO) tahun 2017 menyatakan bahwa 940.000 orang meninggal karena
HIV. Ada sekitar 36,9 juta orang yang hidup dengan HIV pada akhir tahun 2017 dengan 1,8 juta
orang menjadi terinfeksi baru pada tahun 2017 secara global. Lebih dari 30% dari semua infeksi
HIV baru secara global diperkirakan terjadi di kalangan remaja usia 15 hingga 25 tahun. Diikuti
dengan anak-anak yang terinfeksi saat lahir tumbuh menjadi remaja yang harus berurusan
dengan status HIV positif mereka. Menggabungkan keduanya, ada 5 juta remaja yang hidup
dengan HIV (WHO, 2017). Pada tahun 2017, angka kejadian Infeksi HIV dan AIDS baru pada
remaja di ASIA dan Pasifik menunjukkan bahwa terdapat 250.000 remaja yang menderita HIV
dan AIDS. Infeksi HIV baru telah mengalami penurunan sebesar 14% sejak tahun 2010. Ada
penurunan 39% orang meninggal karena HIV & AIDS (UNAIDS, 2017). Menurut data
Direktorat Jenderal Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Kemenkes RI menyatakan bahwa
jumlah kasusu HIV dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2017 mengalami kenaikan setiap
tahunnya.

HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus, sebuah virus yang menyerang
sistem kekebalan tubuh manusia.AIDS singkatan dari Acquired Immune Deficiency
Syndrome.AIDS muncul setelah virus (HIV) menyerang sistem kekebalan tubuh.Sistem
kekebalan tubuh menjadi lemah, dan satu atau lebih penyakit dapat timbul. Karena lemahnya
sistem kekebalan tubuh tadi, beberapa penyakit bisa menjadi lebih berat daripada biasanya
(Spiritia, 2015). Penyakit AIDS telah menjadi masalah internasional karena dalam waktu singkat
terjadi peningkatan jumlah penderita dan melanda semakin banyak negara. Dikatakan pula
bahwa epidemi yang terjadi tidak saja mengenai penyakit (AIDS ), virus (HIV) tetapi juga
reaksi/dampak negatif berbagai bidang seperti kesehatan, sosial, ekonomi, politik, kebudayaan
dan demografi. Hal ini merupakan tantangan yang harus dihadapi baik oleh negara maju maupun
negara berkembang (Siregar, 2004).Orang yang terkena HIV/AIDS sangat mudah tertular oleh
berbagai macam penyakit karena sistem kekebalan tubuh penderita yang menurun.HIV/AIDS
bisa menular ke orang lain melalui hubungan seks (anal, oral, vaginal) yang tidak terlindungi
(tanpa alat pengaman kondom) dengan orang yang telah terinfeksi HIV, jarum suntik, tindik, tato
yang tidak steril yang dipakai bergantian, mendapat tranfusi darah dari orang yang darahnya
mengandung virus HIV positif dan ibu yang positif HIV kepada bayinya ketika dalam
kandungan, saat melahirkan atau melalui ASI (Parikesit, 2008). Sumber penularan yang utama
HIV/AIDS pada ibu rumah tangga adalah dari pasangannya sendiri atau suami.Berdasarkan data
disebutkan bahwa heteroseksual merupakan penyebab utama HIV/AIDS.Kementrian Kesehatan
RI menyebutkan kasus AIDS paling tinggi adalah pada kelompok heteroseksual yaitu sebesar
26.158.Suami yang sering menggunakan jasa pekerja seks komersial besar untuk menularkan
HIV/AIDS pada istrinya. Penyakit menular masih menjadi masalah utama kesehatan masyarakat
di Indonesia dan masih sering timbul sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) yang menyebabkan
kematian penderitanya (FKM USU, 2008).Sampai saat ini obat dan vaksin yang diharapkan
dapat membantu memecahkan masalah penanggulangan HIV/AIDS belum ditemukan.Salah satu
alternatif dalam upaya menanggulangi problematik jumlah penderita yang terus meningkat
adalah upaya pencegahan yang dilakukan semua pihak yang mengharuskan kita untuk tidak
terlibat dalam lingkungan transmisi yang memungkinkan dapat terserang HIV (Siregar, 2004).

Data orang dengan HIV/AIDS di Kabupaten Kendal tahun 2015-2016 mencapai 1176
orang. Pengidap terbanyak adalah dari kalangan pekerja seks sebanyak 136,34% dan ibu rumah
tangga yang berjumlah 98,25% (DKK Kendal,2016).Untuk menanggulangi HIV/AIDS
pemerintah Indonesia telah mengupayakan dengan bermacam cara.Penanggulangan HIV/AIDS
dilakukan melalui lima kegiatan yaitu;

1. Pemeriksaan diagnostik HIV/AIDS;

2.Promosi kesehatan;

3.Pencegaha penularan HIV/AIDS;

4. Pengobatan,perawatan dan dukungan;

5. Rehabilitasi. Menurut Kemenkes RI (2014), pelayanan pencegahan, perawatan, dukungan dan


pengobatan HIV/AIDS dicapai melalui Voluntary Counseling and Testing (VCT).

Hal ini dapat menunjukkan bahwa VCT sebagai upaya untuk penanggulangan
HIV/AIDS.VCT berperan dalam pencegahan dan pengobatan pada klien HIV/AIDS. VCT
merupakan layanan yang ditetapkan secara global.VCT merupakan strategi kesehatan
masyarakat yang efektif untuk melakukan pencegahan sekaligus pintu masuk untuk mendapatkan
layanan menejeme kasus dan perawatan, dukungan, dan pengobatan bagi orang dengan
HIV/AIDS.Konseling dalam VCT adalah kegiatan konseling yang menyediakan dukungan
psikologis, pengetahuan HIV/AIDS dan informasi, pencegahan penularan HIV/AIDS,
mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggungjawab, pengobatan antiretroviral dan
memastikan pemecahan masalah yang berhubungan dengan HIV/AIDS yang bertujuan untuk
perubahan perilaku yang lebih sehat dan aman (Pedoman Pelayanan VCT,2006).Konseling pra
dan pasca tes memberi manfaat bagi kondisi kesehatan klien HIV/AIDS.Pra tes konseling
bermanfaat memberikan dukungan bagi klien melalui tes laboratorium, sedangkan post tes
konseling memberikan keuntungan klien dalam suatu pencegahan, pengobatan, perawatan, dan
dukungan setelah mengetahui status HIV/AIDS.

Kasus HIV di Indonesia pada tahun 2016 tercatat 41.250 kasus dan data terakhir hingga
Desember 2017 tercatat 48.300 kasus. Sedangkan kasus AIDS di Indonesia pada tahun 2016
tercatat 10.146 kasus dan data terakhir hingga Desember 2017 tercatat 9.280 kasus.

Faktor risiko HIV/AIDS yang paling banyak ditemukan di DIY adalah heteroseksual (51%).
Hanya sebagian kecil HIV/AIDS yang disebabkan oleh transfusi darah dan biseksual (1%).
Selain itu, masih banyak kasus HIV/AIDS yang belum diketahui penyebab pastinya (25%).1
Jumlah kasus HIV/AIDS tertinggi di DIY terdapat di Kabupaten Sleman yaitu pada tahun 2015
berjumlah 1.038 kasus dan pada tahun 2016 berjumlah 1.220 kasus.

Virus HIV menghancurkan dan merusak fungsi sel kekebalan, sehingga individu yang
terinfeksi secara bertahap menjadi imunodefisiensi. Imunodefisiensi menghasilkan peningkatan
kerentanan terhadap berbagai macam infeksi, kanker dan penyakit lain yang orang dengan sistem
kekebalan yang sehat dapat melawan. Tahap paling lanjut dari infeksi HIV adalah AIDS, yang
dapat berlangsung dari 2 hingga 15 tahun untuk berkembang tergantung pada individu. AIDS
didefinisikan oleh perkembangan kanker tertentu, infeksi, atau manifestasi klinis berat lainnya.2
Penyakit HIV adalah virus yang menyerang sel darah putih di dalam tubuh (limfosit) yang
mengakibatkan turunnya kekebalan tubuh manusia dan membuatnya lebih rentan terhadap
berbagai penyakit, sulit sembuh dari berbagai penyakit infeksi oportunistik dan bisa
menyebabkan kematian.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat diambil suatu rumusan
masalah, yaitu “Adakah hubungan antara lama terdiagnosa dengan kualitas hidup orang dengan
HIV/AIDS ?“
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara lama terdiagnosa dengan kualitas hidup orang dengan
HIV/AIDS di Yayasan Victory Plus.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui tingkat kualitas hidup orang dengan HIV/AIDS di Yayasan Victory
Plus.
b. Mengetahui variabel luar meliputi umur, pendidikan, pekerjaan, lama terapi
ARV, dan penghasilan pada orang dengan HIV/AIDS di Yayasan Victory Plus.
c. Mengetahui Relative Risk (RR) dari variabel lama terdiagnosa HIV setelah
dikontrol dengan variabel luar.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Penyakit menular Seksual

Infeksi menular seksual atau penyakit menular seksual adalah infeksi yang menular
melalui hubungan intim. Penyakit ini dapat ditandai dengan ruam atau lepuhan dan rasa nyeri
di area kelamin. Ada banyak jenis penyakit menular seksual, di antaranya chlamydia, gonore,
sifilis, trikomoniasis, dan HIV.

Penyakit menular seksual adalah penyakit yang bisa menular lewat hubungan intim.
Kondisi yang juga dikenal dengan infeksi menular seksual (IMS) ini dapat menyebar
melalui kontak seksual lewat vagina, anus, atau mulut tanpa proteksi dengan
penderita.Terdapat lebih dari 20 jenis penyakit menular seksual. Beberapa jenisnya yang
umum meliputi klamidia, herpes genitalis, gonore, HIV/AIDS, kutil kelamin, sifilis,
hepatitis B, dan trikomoniasis.

Sesuai namanya, penyakit menular seksual menyebar melalui hubungan intim, baik secara
vaginal, anal, maupun oral. Tidak hanya hubungan intim, penularan juga dapat terjadi melalui
transfusi darah dan berbagi jarum suntik dengan penderita. Infeksi juga dapat ditularkan dari ibu
hamil ke janin, baik selama kehamilan atau saat persalinan.

Penyakit menular seksual tidak selalu menimbulkan gejala atau bisa hanya menyebabkan
gejala ringan. Oleh karena itu, tidak heran beberapa orang baru mengetahui dirinya menderita
penyakit menular seksual setelah muncul komplikasi atau ketika pasangannya terdiagnosis
menderita penyakit menular seksual.

B. Klasifikasi

1. Sifilis
Sifilis disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum. Penyakit yang juga dikenal dengan sebutan
“raja singa” ini menimbulkan luka pada alat kelamin atau mulut. Melalui luka inilah penularan
akan terjadi.

2. Gonore

Gonore, yang dikenal juga dengan kencing nanah, disebabkan oleh bakteri Neisseria
gonorrhoeae. Penyakit ini menyebabkan keluarnya cairan dari penis atau vagina dan rasa nyeri
ketika buang air kecil. Bakteri penyebab gonore juga dapat menimbulkan infeksi di bagian tubuh
lain, jika terjadi kontak dengan sperma atau cairan vagina.

3. Human papillomavirus (HPV)

Infeksi menular seksual ini disebabkan oleh virus dengan nama yang sama, yaitu HPV. Virus
HPV dapat menyebabkan kutil kelamin hingga kanker serviks pada perempuan. Gejala kanker
serviks stadium awal sering kali tidak khas bahkan tak bergejala. Penularan HPV terjadi melalui
kontak langsung atau melakukan hubungan seksual dengan penderita.

4. Infeksi HIV

Infeksi HIV disebabkan oleh human immunodeficiency virus yang menyerang sistem


kekebalan tubuh. Penyebaran virus ini dapat terjadi melalui hubungan seks tanpa kondom,
berbagi penggunaan alat suntik, transfusi darah, atau saat persalinan.

5. Chlamydia

Penyakit infeksi menular seksual ini disebabkan oleh bakteri Chlamydia trachomatis. Pada
wanita, chlamydia menyerang leher rahim. Sedangkan pada pria, menyerang saluran keluar urine
di penis. Penularan dapat terjadi dari luka pada area kelamin.

6. Trikomoniasis

Penyakt menular seksual ini disebabkan oleh parasit Trichomonas


vaginalis. Penyakit trikomoniasis bisa menimbulkan keputihan pada wanita atau malah tidak
menimbulkan gejala, sehingga sering kali seseorang secara tidak sadar menularkan penyakit ini
ke pasangan seksualnya.

7. Hepatitis B dan hepatitis C


Penyakit ini disebabkan oleh virus hepatitis, dan dapat mengakibatkan gangguan hati kronis
hingga kanker hati. Virus ini ditemukan dalam darah atau cairan tubuh penderita. Selain melalui
hubungan seksual, virus ini bisa menular melalui jarum suntik yang dipakai bersama dan
transplantasi organ.

8. Tinea cruris

Infeksi menular seksual yang disebabkan oleh jamur ini menyerang kulit di sekitar alat
kelamin, paha bagian dalam, dan bokong. Tinea cruris ditandai dengan ruam merah yang terasa
gatal pada kulit yang terinfeksi. Penularannya adalah melalui kontak langsung dengan penderita
atau menyentuh benda yang telah terinfeksi.

9. Herpes genital

Herpes genital disebabkan oleh infeksi virus. Virus ini bersifat tidak aktif atau bersembunyi di
dalam tubuh tanpa menyebabkan gejala. Penyebarannya terjadi melalui kontak langsung dengan
pasangan yang telah terinfeksi.

10. Candidiasis

Penyakit ini disebabkan oleh jamur Candida. Candidiasis ditandai dengan ruam atau lepuhan


yang muncul pada kulit, terutama area lipatan kulit. Sama seperti infeksi menular seksual
lainnya, penularan penyakit ini dapat terjadi melalui hubungan seksual dengan penderita.

11. Granuloma inguinale

Granuloma inguinale atau donovanosis adalah penyakit menular seksual yang disebabkan


oleh infeksi bakteri Klebsiella granulomatis.  Kondisi ini ditandai dengan munculnya benjolan
dan luka di selangkangan, penis, anus, atau di skrotum.

C. Gejala

Gejala Klinis Ketika Tertular Penyakit Menular Seks

Banyak yang tidak menyadari kalau mereka terinfeksi oleh PMS, termasuk beberapa wnaita yang
terkena infeksi chlamydia. Bila tidak diobati, chlamydia dapat mempengaruhi fertilitas
wanita. Sebanyak 50% wanita dan 10% pria yang terinfeksi dengan gonorrhea tidak ada gejala.
Segera lakukan pemeriksaan jika Anda menemukan gejala-gejala berikut ini: 

1. Nyeri saat buang air kemih


2. Gatal, rasa terbakar atau perasaan kesemutan pada alat kelamin
3. Luka, bintik-bintik atau benjolan pada alat kelamin dan anus
4. Serbuk hitam atau titik-titik putih pada celana dalam (dapat menandakan telur kutu)

Untuk pengetahuan Anda, setiap gejala yang muncul berbeda-beda pada jenis kelamin.
Berikut apa gejala yang muncul jika pada wanita:

1. Keputihan bewarna kuning atau hijau


2. Keputihan yang berbau
3. Pendarahan diluar sikluas haid atau setelah berhubungan intim
4. Nyeri saat berhubungan
5. Nyeri perut bawah

Demikian gejala tertular penyakit menular seks pada wanita. Pun kondisi gejala yang berbeda
muncul pada jenis kelamin pria. Karena selain secara fisiologis berbeda, meskipun sebagian
besar penyakit yang tertular sama, namun kondisi gejala yang muncul berbeda.  
Berikut adalah pennjelasan gejala yang muncul pada jenis kelamin pria, ketika pria tertular
penyakit menular seks:

1. Keluarnya cairan dari penis


2. Iritasi pada alat kelamin

Paparan gejala-gejala diatas belum menentukan secara pasti 100% Anda


terkena PMS,  namun tidak ada salahnya lakukan pemeriksakan untuk mendapatkan kejelasan
dari gejala yang dialami.
Bagaimana cara agar aman saat berhubungan intim? Gunakan kondom untuk melindungi Anda
dari tertularnya PMS. Meskipun penggunaan kondom masih berisiko, pencegahan yang paling
baik adalah tidak melakukan hubungan seks bebas dan bertanggung jawab penuh pada kesehatan
diri.

D. Komplikasi

Deteksi dan penanganan terhadap penyakit menular seksual perlu dilakukan sejak dini. Jika
dibiarkan, penyakit menular seksual dapat menyebabkan beberapa komplikasi berikut:

1. Peradangan pada mata


2. Radang sendi
3. Nyeri panggul
4. Radang panggul
5. Infertilitas
6. Penyakit jantung
7. Kanker serviks
8. Kanker anus
Penyakit menular seksual juga dapat menyebabkan komplikasi pada kehamilan. Beberapa
penyakit menular seksual, seperti gonore, chlamydia, HIV, dan sifilis dapat menular dari ibu
hamil ke janinnya selama kehamilan atau saat persalinan. Kondisi ini dapat
memicu keguguran dan gangguan kesehatan atau cacat lahir pada bayi.

E. Penyebab

Penyakit menular seksual disebabkan oleh beberapa virus dan bakteri yang menyebar melalui
cairan tubuh seperti treponema pallidum (sifilis), neisseria gonorrhoeae (gonore), clamidia
trachomatis (klamidia), human papilomavirus (kutil kelamin), human immunodeficiency
virus (HIV).

F. Diagnosis

Tes HIV harus mengikuti prinsip berupa 5 komponen dasar yang telah disepakati secara global
yaitu 5C (informed consent, confidentiality, counseling, correct test results, connections to care,
treatment and prevention services). Prinsip 5C harus diterapkan pada semua model layanan
testing dan konseling (TK) HIV. Alur layanan tes HIV dapat dilihat pada lampiran 1.
Ketersediaan rujukan efektif ke fasyankes yang menyediakan terapi ARV (connections to care,
treatment and prevention services) merupakan komponen yang sangat penting setelah diagnosis
HIV. Pada studi observasi populasi kunci di 4 kota Indonesia menunjukkan bahwa kemungkinan
memulai terapi ARV lebih besar jika tes dilakukan pada tempat yang juga menyediakan layanan
pencegahan serta perawatan, dukungan, dan pengobatan (PDP).8 Suatu tinjauan pustaka
sistematis mengenai pelaksanaan tes dan konseling atas inisiatif petugas kesehatan juga
menunjukkan bahwa dukungan sistem kesehatan merupakan komponen penting untuk
kelangsungan penanganan ODHA.

1. Tes diagnosis HIV

Diagnosis HIV dapat ditegakkan dengan menggunakan 2 metode pemeriksaan, yaitu


pemeriksaan serologis dan virologis.

a. Metode pemeriksaan serologis

Antibodi dan antigen dapat dideteksi melalui pemeriksaan serologis. Adapun metode
pemeriksaan serologis yang sering digunakan adalah

1) rapid immunochromatography test (tes cepat)

2) EIA (enzyme immunoassay)

Secara umum tujuan pemeriksaan tes cepat dan EIA adalah sama, yaitu mendeteksi antibodi saja
(generasi pertama) atau antigen dan antibodi (generasi ketiga dan keempat). Metode western blot
sudah tidak digunakan sebagai standar konfirmasi diagnosis HIV lagi di Indonesia.
b. Metode pemeriksaan virologis Pemeriksaan virologis dilakukan dengan pemeriksaan DNA
HIV dan RNA HIV. Saat ini pemeriksaan DNA HIV secara kualitatif di Indonesia lebih banyak
digunakan untuk diagnosis HIV pada bayi. Pada daerah yang tidak memiliki sarana pemeriksaan
DNA HIV, untuk menegakkan diagnosis dapat menggunakan pemeriksaan RNA HIV yang
bersifat kuantitatif atau merujuk ke tempat yang mempunyai sarana pemeriksaan DNA HIV
dengan menggunakan tetes darah kering (dried blood spot [DBS]). Pemeriksaan virologis
digunakan untuk mendiagnosis HIV pada :

1) bayi berusia dibawah 18 bulan.

2) infeksi HIV primer.

3) kasus terminal dengan hasil pemeriksaan antibodi negatif namun gejala klinis sangat
mendukung ke arah AIDS.

4) konfirmasi hasil inkonklusif atau konfirmasi untuk dua hasil laboratorium yang berbeda.

Hasil pemeriksaan HIV dikatakan positif apabila:

1) tiga hasil pemeriksaan serologis dengan tiga metode atau reagen berbeda menunjukan hasil
reaktif. 2) pemeriksaan virologis kuantitatif atau kualitatif terdeteksi HIV.

Strategi pemeriksaan yang digunakan diasumsikan mempunyai sensitivitas minimal 99% (batas
bawah IK 95%) dan spesifisitas minimal 98% (batas bawah IK 95%), sehingga menghasilkan
nilai duga positif sebesar 99% atau lebih. Strategi pemeriksaan yang dilakukan di laboratorium
atau di komunitas harus memberikan hasil yang sama. Strategi ini dapat diaplikasikan pada
semua format tes serologis. Semua personel yang terlibat, baik tenaga laboratorium maupun
pekerja kesehatan yang telah dilatih, dalam melakukan tes, termasuk pengambilan spesimen,
prosedur pemeriksaan, pelaporan status HIV harus berpedoman pada strategi tes ini. Kombinasi
tes cepat atau kombinasi tes cepat dan EIA dapat memberikan hasil yang lebih baik
dibandingkan dengan kombinasi EIA/western blot.

2. Diagnosis infeksi HIV pada anak berusia <18 bulan

Mortalitas tertinggi balita terinfeksi HIV yang tidak mendapatkan terapi terjadi pada usia
pertama kehidupan. Diagnosis dini merupakan salah satu upaya untuk menghindari kematian
tersebut. Diagnosis definitif infeksi HIV pada anak berusia <18 bulan hanya dapat dilakukan
dengan menggunakan tes Virologis (lampiran 2). Uji serologis tidak dapat digunakan untuk
menegakkan diagnosis definitif infeksi HIV pada anak berusia <18 bulan karena terdapat transfer
transplasental antibodi maternal terhadap HIV.

Spesifitas PCR RNA HIV mencapai 100% saat lahir, usia 1, 3, dan 6 bulan. Spesifitas tersebut
tidak berbeda dengan spesifitas PCR DNA HIV. Uji yang dilakukan segera saat lahir akan
mendeteksi
Bayi yang terinfeksi intrauterin. Uji PCR RNA HIV dapat mengidentifikasi bayi terinfeksi HIV
sebesar 25-85% pada usia satu minggu pertama; 89% pada usia satu bulan; 90-100% pada usia 2-
3. Uji PCR DNA HIV mempunyai spesifitas sebesar 99,8% saat lahir, dan 100% pada usia 1,3,
dan 6 bulan. Uji PCR DNA HIV dapat mengidentifikasi bayi terinfeksi HIV sebesar 20-55%
pada usia satu minggu pertama; 90% pada usia 2-4 minggu; 100% pada usia 3-6 bulan.

Penentuan saat pemeriksaan yang tepat untuk mendiagnosis infeksi HIV pada bayi ditentukan
oleh beberapa faktor, di antaranya estimasi saat infeksi terjadi (intrauterin, intrapartum, pasca-
natal), sensitivitas, spesifisitas dan nilai duga uji yang digunakan; risiko mortaitas terhadap usia;
dan retensi pemeriksaan sampai dengan tata laksana. World
HealthOrganizationmerekomendasika pemeriksaan uji virologis pertama dilakukan pada usia 4-6
minggu. Bayi dengan risiko tinggi harus mendapatkan pemeriksaan PCR tambahan pada saat
lahir dan usia 4 bulan (jika hasil PCR pertama Negatif).

3. Uji PCR DNA HIV mempunyai spesifitas sebesar 99,8% saat lahir, dan 100% pada usia 1,3,
dan 6 bulan. Uji PCR DNA HIV dapat mengidentifikasi bayi terinfeksi HIV sebesar 20-55%
pada usia satu miinggu pertama; 90% pada usia 2-4 minggu; 100% pada usia 3-6 bulan.
Penentuan saat pemeriksaan yang tepat untuk mendiagnosis iInfeksi HIV pada bayi ditentukan
oleh beberapa faktor, di antaranya estimasi saat infeksi terjadi (intrauterin, intrapartum, pasca-
natal), sensitivitas, spesifisitas dan nilai duga uji yang digunakan; risiko mortalitas terhadap usia;
dan retensi pemeriksaan sampai dengan tata laksana. World HealthOrganization
merekomendasikan pemeriksaan uji virologis pertama dilakukan pada usia 4-6 minggu. Bayi
dengan risiko tinggi harus mendapatkan pemeriksaan PCR tambahan pada saat lahir dan usia 4
bulan (jika hasil PCR pertama negatif).

3. Diagnosis HIV pada anak > 18 bulan, remaja dan dewasa

Terdapat tiga jenis tes antibodi untuk menegakkan diagnosis HIV pada anak >18 bulan, remaja,
dan dewasa (lampiran 3). Hasil pemeriksaan anti-HIV dapat berupa reaktif, non-reaktif (negatif),
dan tidak dapat ditentukan (inkonklusif). Hasil yang belum terkonfirmasi didapatkan jika tes
HIV pertama reaktif namun pemeriksaan tambahan tidak dilakukan pada kunjungan yang sama
untuk konfirmasi diagnosis HIV. Hal ini terjadi pada daerah yang menerapkan satu kali
pemeriksaan, suatu Pendekatan yang dinamakan “tes untuk triase”. Konselor dan penyedia
layanan tes bertanggung jawab menjelaskan bahwa hasil yang didapatkan bukan merupakan
diagnosis HIV dan memerlukan konfirmasi serta merujuk klien dengan hasil reaktif ke tempat
dimana diagnosis HIV dapat ditentukan. Pasien dimotivasi untuk sesegera mungkin ke fasilitas
pemeriksaan selanjutnya.

4. Tes ulang pada periode jendela


Pada sebagian besar kondisi, konseling pasca-tes menganjurkan pasien dengan hasil tes HIV
negatif untuk melakukan tes ulang. Tes ulang dimaksudkan untuk mengeluarkan kemungkinan
infeksi akut pada periode yang terlalu dini untuk melakukan tes diagnostik (periode jendela).
Meski demikian tes ulang hanya perlu dilakukan pada individu dengan HIV negatif yang baru
saja mendapat atau sedang memiliki risiko pajanan. Pada beberapa orang terduga terpapar secara
spesifik atau berisiko tinggi dapat disarankan tes ulang setelah 4 hingga 6 minggu. Orang
berisiko tinggi seperti populasi kunci, dianjurkan melakukan tes ulang secara regular setiap
tahun. Tes ulang memberikan kesempatan untuk memberikan kepastian diagnosis HIV secara
dini dan untuk mendapatkan edukasi mengenai pencegahan HIV. Pada daerah dengan prevalens
tinggi, tes ulang HIV pada wanita hamil dapat dilakukan pada kehamilan lanjut, persalinan, atau
sesegera mungkin setelah persalinan.

H. Pencegahan

1. Pencegahan penularan infeksi HIV dengan pengobatan ARV

Studi HIV preventiontrialnetwork (HPTN) 052 membuktikan bahwa terapi ARV merupakan
pencegahan penularan HIV paling efektif saat ini. Pemberian ARV lebih dini dapat menurunkan
penularan HIV sebesar 93% pada pasangan seksual non-HIV (pasangan serodiskordan). Supresi
kadar viralload dengan menggunakan ARV terbukti berhubungan dengan konsentrasi virus pada
sekresi genital yang rendah Upaya pencegahan dengan menggunakan ARV ini merupakan
bagian dari treatment as prevention (TasP).

2. Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak

Tansmisi vertikal merupakan metode penularan infeksi HIV dari seorang ibu kepada bayinya
melalui salah satu tahapan yaitu pada saat intrauterin, intrapartum, atau pasca-natal (saat
menyusui). Transmisi vertikal berperan sebagai metode penularan utama (92%) infeksi HIV pada
anak berusia <13 tahun. Transmisi intrauterin terjadi melalui penyebaran hematogen melewati
plasenta atau ascendinginfection ke cairan dan membran amnion. Transmisi saat persalinan
terjadi melalui kontak mukokutan antara bayi dengan darah ibu, cairan amnion, dan
sekretservikovaginalsaat melewati jalan lahir. Transmisi saat persalinan juga dapat teradi melalui
ascendinginfection dari serviks serta transfusi fetalmaternal saat uterus berkontraksi pada saat
persalinan. Sebelum ditemukannya metode intervensi preventif yang efektif, angka transmisi
vertikal HIV pada bayi yang tidak mendapat asI sebesar 15–30%, sedangkan bayi yang mendapat
ASI sebesar 25–45%. Transmisi vertikal intrauterin memiliki risiko sebesar 5-10%, sedangkan
saat persalinan sebesar 10-20%. Pada populasi yang mendapatkan ASI risiko penularan infeksi
HIV pada saat menyusui adalah sebesar 5-20%. Intervensi pencegahan penularan infeksi HIV
dari ibu ke anak yang efektif dapat menurunkan angka transmisi vertikal hingga kurang dari 2%.
Apabila ibu diketahui terinfeksi HIV, upaya pencegahan selanjutnya bertujuan agar bayi yang
dilahirkan terbebas dari HIV, serta ibu dan bayi tetap hidup dan sehat. Upaya ini terdiri dari
pemberian terapi ARV pada ibu hamil, persalinan yang aman, pemberian terapi ARV profilaksis
pada bayi dan pemberian nutrisi yang aman pada bayi. Bagan tata laksana pencegahan penularan
HIV dari ibu ke anak dapat dilihat pada lampiran 4 dan 5.

a. Pemberian terapi ARV bagi ODHA hamil

Metode paling efektif untuk mencegah transmisi vertikal HIV adalah dengan menurunkan
jumlah virus HIV dalam darah ibu. Efektivitas penggunaan ARV maternal untuk mencegah
transmisi vertikal dibuktikan dalam telaah sistematik yang dilakukan oleh Siegfried, dkk.
Seluruh ibu hamil dengan infeksi HIV harus diberi terapi ARV, tanpa melihat jumlah CD4.
Kehamilan sendiri merupakan indikasi pemberian ARV yang dilanjutkan seumur hiidup.
Pemeriksaan CD4 dapat dilakukan untuk memantau hasil pengobatan, namun bukan sebagai
acuan untuk memulai terapi

b. Prosedur persalinan yang aman

Dua pertiga transmisi vertikal infeksi HIV pada populasi ibu tidak menyusui terjadi pada masa
akhir kehamilan hingga persalinan. Telaah sistematik terhadap 15 studi kohortprospektif untuk
mengetahui hubungan antara prosedur bedah sesar dengan transmisi vertikal HIV dilakukan oleh
theinternationalPerinatal HIV Group terhadap 8.533 pasangan ibu dan anak. Studi tersebut
membuktikan bahwa prosedur bedah sesar elektif menurunkan risiko transmisi vertikal HIV
sebesar50% bila dibandingkan dengan metode persalinan lain [RO 0,43 (IK 95% 0,33–0,56)].
Efektivitas persalinan bedah sesar untuk mencegah transmisi HIV mulai diteliti kembali setelah
era penggunaan ARV maternal profilaksis meluas. Boer, dkk. Melakukan studiKohort pada 143
ODHA hamil di Belanda yang sebagian besar (62%) melakukan persalinan per vaginam. Studi
tersebut melaporkan tidak didapatkan transmisi vertikal pada semua bayi [0% (IK 95% 0–2,1%).
Studi kohort pada 8.977 ODHA hamil dalam kurun waktu tahun 2000–2010 di Perancis
melaporkan tidak didapatkan perbedaan bermakna kejadian transmisi vertikal HIV terhadap
metode persalinan pada kelahiran cukup bulan (≥37 minggu). Studi kohort yang dilakukan pada
2.297 ODHA hamil dalam kurun waktu tahun 2002–2013 di Amerika Serikat dan Puerto Rico
memberikan hasil yang serupa. Studi ini menyimpulkan metode persalinan tidak berpengaruh
terhadap kejadian transmisi vertikal HIV pada ODHA hamil yang dalam terapi ARV.

c. Pemberian profilaksis ARV untuk bayi lahir dari ibu HIV

Seluruh bayi lahir dari ibu HIV wajib mendapatkan ARV profilaksis. Pemberian ARV
profilaksis dengan dosis sesuai gestasi (lampiran 5) sebaiknya mulai diberikan pada usia 6-12
jam s etelah lahir, atau setidak-tidaknya kurang dari usia 72 jam. Pemberian ARV pada bayi
yang lahir dari ibu HIV bertujuan untuk mencegah transmisi HIV yang terjadi terutama pada saat
persalinan dan menyusui. Prinsip pemberian ARV profilaksis pada bayi lahir dari ibu HIV adalah
sebagai pencegahan pasca-pajanan (PPP) yang bertujuan untuk menurunkan risiko infeksi HIV
setelah mendapat pajjanan potensial.

d. Nutrisi untuk bayi lahir dari ibu terinfeksi HIV

Nutrisi merupakan salah satu hal terpenting untuk mewujudkan pertumbuhan dan perkembangan
bayi yang poptimal. Tidak dapat dipungkiri ASI adalah nutrisi terbaik untuk bayi pada masa
enam bulan pertama kehidupan. Praktik menyusui berkontribusi memenuhi nutrisi bayi secara
optimal, melindungi terhadap infeksi yang sering didapat pada usiia balita, menurunkan
mortalitas secara signifikan, dan memiliki efek kontrasepsi kepada ibu. Risiko tertinggi transmisi
virus HIV pada periode pasca-natal terjadi pada hari–hari pertama laktasi saat kolostrum
diproduksi. Kolostrum dilaporkan memiliki jumlah virus tertinggi dibandingkan produksi ASI
selanjutnya, meskipun begitu risiko transmisi HIV melalui ASI tetap ada sampai pemberian ASI
dihentikan. Menyusui terbukti berperan dalam proses transmisi vertikal. Penelitian observasional
pada 672 bayi dari ibu terinfeksi HIV yang tidak terbukti mengalami transmisi vertikal HIV
intrauterin namun angka transmisi vertikal pasca-natal saat akhir usia 1, 12, 18, dan 24 bulan
berturut-turut adalah 3.5%; 7%; 8,9%; dan 10,3%. Uji klinis acak yang membagi 401 pasangan
ibu dan bayi di Kenya ke dalam kelompok menyusui dan susu formula, menyimpulkan sebesar
16,2% transmisi vertikal HIV diakibatkan oleh menyusui. Transmisi vertikal HIV pasca-natal
tersebut berkontribusi terhadap hampir setengah (42%) dari angka transmisi vertikal HIV.

e.kotrimoksazol untuk bayi lahir dari ibu terinfeksi HIV

Angka kematian anak terinfeksi HIV lebih tinggi bila dibandingkan dengan anak terpajan HIV
maupun anak yang tiidakterinfesi dan tidak terpajan HIV. Sebagian besar mortalitas dan
morbiditas tersebut diakibatkan oleh diare dan pneumonia. Pencegahan infeksi oportunistik
merupakan salah satu manajemen utama pada anak terinfeksi HIV. Kotrimoksazol merupakan
preparat kombinasi tetap dua obat yaiitutrimetoprim dan sulfametoksazol yang memiliki aktivitas
antimikroba berspektrum luas terhadap bakteri, jamur, dan protozoa. Pemberian profilaksis
kotrimoksazol terbukti menurunkan mortalitas pada anak terinfeksi HIV dengan mencegah
infeksi oportunistik, diare, pneumonia, dan malaria

3. Pencegahan transmisi HIV pasca-pajanan

Pencegahan pasca-pajanan adalah pemberian terapi ARV dalam waktu singkat untuk mengurangi
kemungkinan didapatnya infeksi HIV setelah terpapar ketika bekerja atau setelah kekerasan
Seksual. Pemberian terapi ARV dapat mengurangi kemungkinan penularan infeksi HIV. Studi
awal pemberian ARV profilaksis dilakukan pada binatang. Pemberian AZT profilaksis pada
binatang segera setelah pajanan infeksi HIV dapat menurunkan risiko penularan hingga 81%.
Penelitian pada binatang tersebut menunjukkan dibutuhkan penggunaan ARV selama 28 hari
untuk maksimalkan pencegahan serokonversi HIV. Keefektifan terapi ARV profilaksis semakin
diperkuat dengan keberhasilannya mencegah transmisi vertikal infeksi HIV dari ibu kepada bayi.
Pada setiap pajanan, orang yang terpajan harus dinilai oleh petugas kesehatan.

1. Gunakan kondom setiap kali berhubungan seks

Jika Anda tidak mengetahui status HIV pasangan Anda, gunakanlah kondom setiap kali Anda
melakukan hubungan seks vaginal, anal maupun oral. Untuk wanita, bisa menggunakan kondom
wanita.

2. Hindari perilaku seksual yang berisiko

Seks anal adalah aktivitas seks yang memiliki risiko tertinggi dalam penularan HIV. Pelaku
maupun penerima seks anal sama-sama berisiko untuk tertular HIV, hanya saja penerima seks
anal berisiko lebih tinggi. Karena itu, disarankan untuk melakukan hubungan seks yang aman,
serta gunakan kondom untuk mencegah penularan HIV.

3. Hindari penggunaan jarum bekas

Hindari penggunaan jarum bekas saat menyuntikkan obat. Penularan HIV melalui tato dan tindik
juga berisiko terjadi jika memakai jarum tato yang tidak disterilisasi dengan baik atau
menggunakan tinta tato yang terkontaminasi. Sebelum melakukan tato atau tindik, pastikan
jarum masih steril.

4. Lakukan pre-exposure prophylaxis (PrEP)

PrEP merupakan metode pencegahan HIV dengan cara mengonsumsi antiretroviral bagi mereka
yang berisiko tinggi tertular HIV, yaitu:

 Yang memiliki lebih dari satu pasangan seksual


 Yang memiliki pasangan dengan HIV positif
 Pengguna jarum suntik yang berisiko dalam 6 bulan terakhir, atau mereka yang sering
berhubungan seksual tanpa pengaman

Pemahaman dan stigma yang salah mengenai penularan HIV merupakan salah satu kendala
dalam penanggulangan penyakit ini. Untuk mendapatkan informasi lebih lanjut dan pemeriksaan
dini terkait HIV, Anda bisa berkonsultasi dengan dokter melalui VCT.
BAB III METODE PENULISAN
A. Pengumpulan Data dan Informasi

Data dan informasi yang mendukung penulisan dikumpulkan dengan melakukan


penelusuran pustaka, pencarian sumber-sumber yang relevan dan pencarian data melalui
internet. Data dan informasi yang digunakan yaitu data dari skripsi, media elektronik, dan
beberapa pustaka yang relevan. Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan yaitu:

1. Sebelum analisis data dilaksanakan, terlebih dahulu dilakukan studi pustaka yang
menjadi bahan pertimbangan dan tambahan wawasan untuk penulis mengenai lingkup
kegiatan dan konsep-konsep yang tercakup dalam penulisan
2. Untuk melakukan pembahasan analisis dan sintesis data-data yang diperoleh,
diperlukan data referensi yang digunakan sebagai acuan, dimana data tersebut dapat
dikembangkan untuk dapat mencari kesatuan materi sehingga diperoleh suatu solusi
dan kesimpulan.

B. Pengolahan Data dan Informasi


Beberapa data dan informasi yang diperoleh pada tahap pengumpulan data, kemudian
diolah dengan menggunakan suatu metode analisis deskriptif berdasarkan data sekunder.

C. Analisis dan Sintesis


Aspek-aspek yang akan dianalisis yaitu perkebunan kelapa sawit sebagai komoditi strategis
nasional dengan permasalahan lingkungan akibat dari pengembangan perkebunan kelapa
sawit. Sintesis yang dijelaskan yaitu alternatif solusi untuk mengatasi permasalah yang
dianalisis.
BAB IV PEMBAHASAN

A. PENYEBARAN/PENULARAN HIV/AIDS

Penyakit HIV merupakan salah satu penyakit yang disebabkan adanya paparan virus dalam
tubuh. Virus human immunodeficiency menjadi salah satu penyebab seseorang mengalami
penyakit HIV. Virus HIV yang masuk dalam tubuh nyatanya dapat menyebabkan hancurnya sel
CD4. Sel CD4 sendiri merupakan bagian dari sel darah putih yang membantu tubuh dalam
melawan adanya infeksi dalam tubuh.

Semakin banyak sel CD4 yang hancur, kondisi ini jumlah sel CD4 semakin menurun. Kondisi
inilah yang menyebabkan tubuh tidak dalam melawan infeksi maupun zat berbahaya lainnya
yang dapat memicu gangguan kesehatan pada tubuh. Dengan begitu, pengidap HIV sangat rentan
terserang penyakit.

Fakta penularan HIV AIDS:

1. Melalui darah: HIV AIDS dapat menular melalui darah. Pada kasusnya, HIV AIDS bisa
menular melalui darah dengan penggunaan jarum suntik yang digunakan bersama-sama,
misalnya dengan menggunakan jarum suntik saat membuat tato atau dengan
menggunakan NAPZA suntik. Selain penggunaan jarum, HIV AIDS juga bisa tertular
apabila anda bercumbu dengan pasangan yang mengidap HIV apabila ada luka terbuka
pada mulut pasangan anda. Terakhir, HIV bisa ditularkan melalui penerimaan donor
darah dari penderita HIV.
2. Hubungan seks: Berhubungan seks tanpa pengaman dan berganti-ganti pasangan akan
meningkatkan kemungkinan bagi seseorang untuk  terkena maupun tertular HIV AIDS.
Karena saat berhubungan seks, cairan vagina dan sperma akan tertukar.
3. Air Susu Ibu: Seorang ibu dengan HIV AIDS bisa menularkan anaknya melalui ASI. ASI
yang dikonsumsi dapat memengaruhi tingkat penularan pada anak sebesar 25-30%.
Mitos penularan HIV/AIDS:

1. Melalui udara: HIV tidak bisa ditularkan melalui udara. Meskipun anda berada satu
ruangan dengan ODHA dan menghirup udara yang sama, anda tidak akan tertular.
2. Melalui keringat: meskipun keringat merupakan salah satu cairan tubuh selain cairan
vagina dan sperma, tetapi jika anda secara tidak sengaja bersentuhan dengan ODHA yang
sedang berkeringat atau setelah berolahraga di gym anda tidak akan tertular HIV.
3. Saat bercumbu: bercumbu akan membuat anda dan orang lain bertukar cairan, tetapi anda
tidak akan tertular HIV. Kecuali, jika mulut orang tersebut memiliki luka terbuka dan
berdarah.
4. Berjabat tangan: berjabat tangan dengan ODHA tidak akan membuat anda tertular HIV.
5. Berpelukan: berpelukan secara dekat atau intim dengan ODHA juga tidak akan membuat
anda tertular HIV karena anda tidak bertukar cairan apapun.
6. Melalui peralatan makan: HIV tidak menular melalui air liur meskipun anda bertukar
sendok, garpu, hingga sedotan dengan ODHA.

HIV dapat ditularkan melalui cairan tubuh, termasuk darah, air mani, cairan vagina, dan air susu
ibu yang terinfeksi HIV. Siapa pun dari segala usia, ras, maupun jenis kelamin bisa terinfeksi
HIV, termasuk bayi yang lahir dari ibu dengan HIV.

Beberapa metode penularan HIV antara lain adalah melalui:

1. Hubungan seks

Penularan HIV dapat terjadi melalui hubungan seksual tanpa kondom, baik itu melalui vagina,
anal, maupun seks oral. Selain itu seseorang yang suka berganti-ganti pasangan seksual juga
lebih berisiko untuk terkena HIV.

2. Penggunaan jarum suntik

HIV dapat ditularkan melalui jarum suntik yang terkontaminasi darah orang yang terinfeksi HIV.
Berbagi pakai jarum suntik atau menggunakan jarum suntik bekas membuat seseorang berisiko
sangat tinggi tertular penyakit, termasuk HIV.

3. Kehamilan, persalinan atau menyusui

Seorang ibu yang terinfeksi HIV dan mengandung atau menyusui berisiko tinggi untuk
menularkan HIV kepada bayinya. Penting untuk berkonsultasi dengan dokter jika Anda adalah
penderita HIV yang tengah hamil agar risiko penularan HIV pada bayi bisa ditekan.
4. Transfusi darah

Dalam sebagian kasus, penularan HIV juga bisa terjadi melalui transfusi darah. Namun, kejadian
ini semakin jarang terjadi karena adanya penerapan uji kelayakan donor, termasuk donor darah,
organ ataupun donor jaringan tubuh. Dengan pengujian yang layak, penerima donor darah
memiliki risiko yang rendah untuk terinfeksi HIV.

Berikut ini adalah cara penularan tidak terduga atau kurang umum yang dapat menyebabkan
Anda mengidap virus HIV dan kemudian AIDS:

1. Seks oral

Semua bentuk hubungan seks oral dianggap berisiko rendah untuk penularan virus HIV, tetapi
bukan berarti mustahil. Risiko penularan dari seks oral masih tetap ada.

Bahkan, risiko tersebut bisa semakin besar jika Anda melakukan ejakulasi di dalam mulut dan
tidak menggunakan kondom maupun pelindung mulut lain (seperti dental dan/kondom wanita).

Penularan HIV dapat terjadi saat Anda merangsang atau mengulum kelamin pasangan yang
terinfeksi HIV dengan lidah dan Anda sedang memiliki luka atau sariawan terbuka di dalam
mulut.

Bagaimana dengan ciuman? Jika ciuman hanya terjadi pertukaran liur saja, virus HIV tidak akan
menyebar.

Berbeda jika saat berciuman terdapat luka, sariawan, atau kontak darah antara Anda dan
pasangan yang memiliki virus HIV, penularan dapat terjadi.

Hal yang sama juga berlaku bila bibir atau lidah Anda tak sengaja tergigit oleh pasangan selama
berciuman, luka baru itu dapat menjadi gerbang masuk bagi virus HIV melalui air liur pasangan.

2. Donor darah dan cangkok organ

Transfusi darah langsung dari donor darah yang terinfeksi berisiko tinggi untuk menularkan virus
HIV.
Namun, penularan virus HIV melalui donor darah dan cangkok organ termasuk kurang umum.
Pasalnya, ada seleksi yang cukup ketat bagi calon pendonor sebelum melakukan donor darah.

Pendonor darah atau organ biasanya menjalani pemeriksaan terlebih dahulu, termasuk tes darah
HIV.
Hal ini bertujuan untuk meminimalisir penularan HIV dengan cara donor organ dan darah.

Risiko lolosnya darah yang terinfeksi HIV hingga digunakan untuk transfusi sebenarnya kecil.
Ini karena pendonor darah dan organ cangkok wajib melalui proses seleksi yang ketat.

Jadi, transfusi darah yang diterima dan nantinya diberikan kepada orang yang membutuhkan
darah sebenarnya aman.

Jika ternyata ada satu saja donasi yang terlambat diketahui positif, darah akan langsung dibuang
sementara organ calon pencangkokan juga tidak akan dipakai.

Sayangnya, beberapa negara berkembang mungkin tidak memiliki teknologi atau peralatan
terkait untuk menguji semua darah dan mencegah penularan HIV/AIDS.

Mungkin ada beberapa sampel sumbangan produk darah yang telah diterima ternyata
mengandung HIV. Untungnya, kejadian ini terhitung langka.

3. Digigit oleh orang dengan HIV

Menurut sebuah penelitian tahun 2011 dari jurnal AIDS Research and Therapy, ada
kemungkinan biologis yang menyatakan gigitan sesama manusia dapat menjadi cara penularan
HIV yang tak terduga.
Air liur selama ini diteliti kurang efektif sebagai perantara pembawa virus HIV karena punya
sifat penghambat virus. Namun, kasus yang diteliti dalam jurnal tersebut terbilang unik.

Dalam jurnal tersebut diceritakan bahwa jari tangan seorang pria sehat non-HIV yang memiliki
diabetes digigit oleh anak angkatnya yang positif HIV. Jari tangan pria tersebut digigit cukup
keras dan dalam sehingga bagian dalam kukunya berdarah.

Beberapa waktu setelah digigit, pria tersebut dinyatakan positif HIV dan terdeteksi memiliki
viral load tinggi setelah mengalami demam HIV tinggi dan berbagai infeksi.
Para dokter dan peneliti pada akhirnya menyimpulkan sementara bahwa air liur bisa menjadi
media penyebaran HIV, meski belum yakin benar bagaimana mekanisme pastinya.

Diperlukan penelitian dan pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan cara penularan HIV yang
satu ini.
4. Pakai mainan seks (sex toys)
Penetrasi seks, entah itu lewat vaginal (penis ke vagina), oral (alat kelamin dan mulut), atau anal
(penis ke dubur), dengan pasangan yang mengidap HIV dan AIDS bisa membuat Anda tertular.

Tidak hanya lewat kelamin ke kelamin secara langsung, penggunaan benda atau mainan seperti
boneka seks berisiko menularkan penyakit, termasuk HIV. Kondisi tersebut semakin berisiko
jika mainan seks yang Anda pakai tidak dilapisi pelindung.
Penularan virus HIV dan AIDS dari satu orang ke yang lainnya sering terjadi ketika mainan seks
dipakai bergantian. Bila Anda atau pasangan mengidap HIV, jangan menggunakan mainan seks
secara bergantian dalam satu sesi bercinta.

Virus HIV memang umumnya tidak bisa hidup lama-lama di permukaan benda mati. Namun,
mainan seks yang masih basah oleh sperma, darah, atau cairan vagina bisa saja menjadi perantara
virus berpindah ke orang lain.

5. Melakukan piercing, sulam alis, tato alis, sulam bibir


Menindik bagian tubuh atau membuat tato juga dapat meningkatkan risiko penularan HIV. Cara
penularan HIV pada proses ini terjadi apabila saat proses menindik dan membuat tato, kulit yang
ditusuk kemudian terluka hingga mengeluarkan darah.
Jika alat dipakai secara bergantian, bisa saja orang yang terinfeksi HIV meninggalkan bekas
darahnya yang mengandung virus.
Sebenarnya melakukan sulam alis, tato alis, dan sulam bibir cukup aman untuk kesehatan.
Namun, tren kecantikan yang sedang naik daun ini juga dapat menjadi cara penularan HIV dan
AIDS.
Hal ini bisa terjadi jika proses tersebut dilakukan oleh pegawai yang tidak berpengalaman dan
tidak menggunakan peralatan steril. Pasalnya, prosedur sulam atau tato wajah ini melibatkan
pengirisan kulit terbuka.

Untuk mencegah penyebaran HIV, sebelum Anda duduk dan disulam alis atau bibirnya, pastikan
bahwa semua peralatan yang digunakan masih steril.

6. Bekerja di rumah sakit

Mungkin sekilas Anda berpikir bahwa petugas medis adalah orang paling sehat karena memiliki
akses dan pengetahuan yang mumpuni tentang kesehatan.

Namun, selain pengguna narkoba yang berbagi jarum suntik secara sengaja, risiko penularan
HIV juga tinggi pada tenaga medis.
Tenaga medis ini meliputi dokter, perawat, petugas laboratorium, hingga petugas pembersih
limbah fasilitas kesehatan lewat perantara alat medis.

Jarum suntik dapat menjadi perantara virus HIV saat darah pasien yang positif HIV dapat
berpindah kepada petugas kesehatan jika mereka memiliki luka terbuka yang tidak terlindungi
oleh pakaian.

HIV juga dapat ditularkan ke petugas kesehatan lewat cara berikut:

 Jika jarum suntik yang telah dipakai oleh pasien positif HIV tidak sengaja tertancap ke petugas
kesehatan (disebut juga needle-stick injury).
 Jika darah yang terkontaminasi HIV mengenai membran mukosa, seperti mata, hidung, dan
mulut.

 Lewat peralatan kesehatan lain yang digunakan tanpa disterilkan.

Meski begitu, peluang penyebaran virus HIV di antara petugas medis di fasilitas kesehatan
melalui jarum suntik bekas tergolong kecil.

B. Faktor Risiko PMS

1. Berhubungan seksual tanpa pengaman

Penetrasi vaginal atau anal dari pasangan yang terinfeksi tanpa menggunakan kondom
meningkatkan risiko penyakit menular seksual (STD).
Penggunaan kondom yang tidak benar juga dapat meningkatkan risiko Anda mengalami infeksi
menular seksual (STD).
Seks oral bisa menyebabkan STD walau risikonya lebih kecil. Infeksi tersebut dapat menyebar
jika Anda tidak menggunakan kondom.
2. Berhubungan seksual dengan lebih dari satu pasangan

Semakin banyak orang yang melakukan hubungan seksual bebas dengan Anda, risiko terkena
penyakit seksual akan semakin tinggi.
3. Punya riwayat terkena penyakit kelamin

Pernah mengidap penyakit kelamin membuat memungkinkan Anda terkena lagi.


4. Siapapun yang dipaksa melakukan hubungan seksual

Mengalami pemerkosaan atau pelecehan seksual merupakan hal yang sulit.


Namun, penting bagi Anda untuk segera memeriksakan kondisi pada dokter.
Anda mungkin akan menerima perawatan dan dukungan emosional.
5. Penyalahgunaan alkohol dan narkoba

Penyalahgunaan zat dapat membuat Anda melakukan perilaku berisiko yang mengakibatkan
penularan penyakit kelamin.
6. Obat suntik

Berbagi jarum suntik dapat menyebarkan banyak infeksi serius, termasuk HIV, hepatitis B, dan
hepatitis C.
7. Berusia muda

Setengah dari pengidap penyakit infeksi menular seksual (IMS) berusia di antara 15-24 tahun.

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Infeksi menular seksual atau penyakit menular seksual adalah infeksi yang menular

melalui hubungan intim. Penyakit ini dapat ditandai dengan ruam atau lepuhan dan rasa nyeri

di area kelamin. Ada banyak jenis penyakit menular seksual, di antaranya chlamydia, gonore,

sifilis, trikomoniasis, dan HIV.

Penyakit menular seksual adalah penyakit yang bisa menular lewat hubungan intim. Kondisi
yang juga dikenal dengan infeksi menular seksual (IMS) ini dapat menyebar melalui kontak
seksual lewat vagina, anus, atau mulut tanpa proteksi dengan penderita.Terdapat lebih dari 20
jenis penyakit menular seksual. Beberapa jenisnya yang umum meliputi klamidia, herpes
genitalis, gonore, HIV/AIDS, kutil kelamin, sifilis, hepatitis B, dan trikomoniasis

B. Saran

 Program nasional PIS-PK tentang penyakit tidak menular khususnya hipertensi


sudah berjalan dengan baik. Namun, untuk beberapa daerah masih belum
tersampaikan dengan baik. Sehingga perlunya usaha lebih untuk meningkatakan
pemahaman dan kesadaran penderita hipertensi tentang penyakitnya.
 Penyamarataan dan inovasi program dari puskesmas lebih ditingkatkan, karena di
beberapa puskesmas sangat intensif dalam menjalankan program tetapi tidak
dengan beberapa puskesmas lainnya
DAFTAR PUSTAKA

Ahluwalia V.K, Ahluwalia M. 2005. HIV/AIDS transmission, prevention and alternative


therapies. New Delhi: Lotus Press.

Anita. 2000. Penyebaran dan usaha pencegahan AIDS. Dalam R.H Nasution, C. Anwar, D.P.
Nasution: AIDS: Kita bisa kena kita bisa cegah. Medan: Penerbit Monora. p.35-41

WHO. HIV/AIDS. Available from : http://www.who.int/topics/hiv_ aids /en/. 2.

Centers for Disease Control and Prevention. Basic information about HIV and AIDS. Available
from: http://www.cdc.gov/hiv/topics/basic/.

Anda mungkin juga menyukai