Makalah Mu'jijat Al Qur'an
Makalah Mu'jijat Al Qur'an
PENDAHULUAN
Mukjizat adalah sebuah peristiwa, urusan, perkara yang luar biasa yang dibarengi
dengan tantangan dan tidak bisa dikalahkan.makalah ini membahas tentang mukjizat al-quran
Diantara kemurahan Allah terhadap manusia, adalah bahwa Dia tidak saja menganugerahkan
fitrah yang suci yang dapat membimbingnya kepada kebaikan, bahkan juga dari masa kemasa
mengutus seorang rasul yang membawa kitab sebagai pedoman hidup dari Allah dan
mengajak manusia untuk beribadah kepada-Nya semata. Setiap rasul yang diutus selain
membawa kitab yang didalamnya mengandung kabar gembira dan peringatan, juga Allah
bekali mereka dengan berbagai mukjizat untuk membantu mereka dalam berbagai kesulitan
dan tantangan dari masyarakat yang menolak risalahnya sesuai dengan tingkat dan pola pikir
masyarakatnya.
Nabi Muhammad Saw., diutus ketika masyarakat Arab ahli dalam bahasa dan sastra.
Dimana-mana diadakan musabaqah (perlombaan) dalam menyusun syair atau khutbah,
petuah dan nasehat. Syair-syair yang dinilai indah, digantung dika’bah sebagai penghormatan
kepada penggubahnya sekaligus untuk dapat dinikmati oleh yang melihat dan membacanya.
Penyair mendapat kedudukan yang sangat istimewa dalam masyarakat Arab.
Pada saat turunnya al-Quran sebenarnya orang-orang Arab adalah masyarakat yang
paling mengetahui tentang keunikan dan keistimewaan al-Quran serta ketidak mampuan
mereka untuk menyususun seumpamanya. Namun diantara mereka tidak mengakuinya,
bahkan suatu kali mereka menyatakan bahwa al-Quran adalah syair, al-Quran adalah sihir
ulung atau pendukunan. Karenanya al-Quran datang menantang mereka untuk menyusun
semacam al-Quran, ternyata mereka tidak mampu menyusun seperti susunan al-Quran yang
indah dan bersastra tinggi, maka jelaslah kemukjizatan al-Quran. Untuk mengkaji lebih lanjut
tentang mukjizat al-Qur an, maka dalam makalah ini akan dibahas tentang pengertian
mukjizat, macam-macam mukjizat, bentuk dan tahapan tantangan al-Quran, aspek-aspek
kemukjizatan al-Quran, paham ash-sharfah, dan penutup.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mukjizat
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa kata mukjizat diartikan
sebagai kejadian (peristiwa) yang sukar dijangkau oleh kemampuan akal manusia.[2] Kata
mukjizat terambil dari bahasa Arab ( أعجزa’jaza) yang berarti melemahkan atau menjadikan
tidak mampu.[3] Sedangkan kata ( أعجزa’jaza) itu sendiri berasal dari kata ‘( عجزajaza) yang
berarti tidak mempunyai kekuatan (lemah).[4] Pelakunya (yang melemahkan) dinamai
mukjiz, dan bila kemampuannya melemahkan pihak lain amat menonjol sehingga mampu
membungkam lawan, maka dinamai( معجزةmu’jizat). Tambahan ta marbuthah pada akhir kata
itu mengandung makna mubalaghah (superlatif).[5]
Dengan redaksi yang berbeda, mukjizat didefinisikan pula sebagai sesuatu yang luar
biasa yang diperlihatkan Allah melalui para nabi dan rasul-Nya sebagai bukti atas kebenaran
pengakuan kenabian dan kerasulannya.[6] Dalam al-Quran, kata ‘ajaza dalam berbagai
bentuk terulang sebanyak 26 kali dalam 21 surat dan 25 ayat.[7]. Dalam Kamus al-Mu’jam
al-Washith, mukjizat diartikan:
“Sesuatu (hal atau urusan) yang menyalahi adat kebiasaan yang ditampakkan Allah diatas
kekuasaan seorang nabi untuk memperkuat kenabiannya.” [8]
“Suatu hal atau peristiwa luar biasa yang disertai tantangan dan selamat (tidak ada yang
sanggup) menjawab tantangan tersebut.”
Sedangkan menurut M. Qurais Shihab ada empat unsur yang harus menyertai sesuatu
sehingga ia dinamakan mukjizat. Keeempat unsur itu adalah:
Yang dimaksud luar biasa adalah sesuatu yang berada diluar jangkauan sebab akibat
yang diketahui secara umum hukum-hukumnya.
Apabila hal-hal yang luar biasa terjadi bukan dari seseorang yang mengaku nabi, ia
tidak dinamai mukjizat.
Bila yang ditantang berhasil melakukan hal yang serupa, maka ini berarti bahwa
pengakuan sang penantang tidak terbukti.[13]
B. Macam-Macam Mukjizat
Secara garis besar mukjizat dapat dibagi dalam dua bagian pokok, yaitu mukjizat
yang bersifat hissiyah (material indrawi), dan mukjizat yang bersifat ‘aqliyah (rasional).[14]
Mukjizat nabi-nabi terdahulu semuanya merupakan jenis pertama. Mukjizat mereka bersifat
material dan indrawi dalam arti keluarbiasaan tersebut dapat disaksikan atau dijangkau
langsung lewat indra oleh masyarakat tempat nabi tersebut menyampaikan risalahnya, seperti
perahu nabi Nuh yang dibuat atas petunjuk Allah sehingga mampu bertahan dalam situasi
ombak dan gelombang yang demikian dahsyat; tidak terbakarnya nabi Ibrahim dalam
kobaran api; tongkat nabi Musa yang berobah menjadi ular; penyembuhan yang dilakukan
nabi Isa atas izin Allah dan lain-lain. Semuanya bersifat material indrawi, terbatas pada lokasi
tempat nabi tersebut berada dan berakhir dengan wafatnya masing-masing nabi. Berbeda
dengan mukjizat nabi Muhammad Saw, sifatnya bukan material indrawi, tetapi ‘aqliyah
(dapat dipahami oleh akal). Karena sifatnya yang demikian, maka ia tidak terbatas pada suatu
tempat atau masa tertentu. Mukjizat al-Quran dapat dijangkau oleh setiap orang yang
menggunakan akalnya, kapan dan dimanapun berada.[15]
Perbedaan ini disebabkan oleh dua hal pokok. Pertama, para nabi sebelum nabi
Muhammad Saw., ditugaskan untuk masyarakat dan masa tertentu. Karena itu, mukjizat
mereka hanya berlaku untuk masa dan masyarakat tersebut, tidak untuk sesudah mereka. Ini
berbeda dengan nabi Muhammad Saw., yang diutus untuk seluruh umat manusia hingga akhir
zaman, sehingga bukti kebenaran ajarannya harus selalu siap dipaparkan kepada setiap orang
yang ragu kapanpun dan dimanapun mereka berada.
Namun demikian dapat disimpulkan, Pertama, Bahwa mukjizat itu luar biasa dalam
mengatasi segala persoalan manusia, tiada yang kuasa membuatnya, selain Allah menentukan
ketentuan tersebut. Kedua, bahwa antara mukjizat nabi yang satu dengan lainnya adalah sama
fungsinya, yaitu untuk memainkan peranannya dan mengatasi kepandaian kaumnya,
disamping membuktikan kekuasaan Allah diatas segala-galanya.[17]
Tantangan yang datang dari al-Quran terdiri dari dua bentuk, yaitu:
1. Tantangan umum
Tantangan ini ditujukan kepada semua golongan, baik kaum filosof, cendikiawan,
ulama, dan hukama, serta semua manusia tanpa kecuali, orang Arab atau orang Ajam, orang
putih atau orang hitam, mukmin atau kafir. Hal ini dijelaskan Allah dalam al-Quran surat al-
Isra’ ayat 88.
2. Tantangan khusus
Tantangan ini ditujukan khusus kepada orang-orang Arab, terutama bagi orang-orang
kafir Quraisy. Tantangan bertanding khusus ini terbagi atas dua macam, yaitu :
1. Tantangan yang bersifat kulli (keseluruhan), yaitu tantangan dengan seluruh al-Quran
mengenai hukum-hukumnya, keindahan bahasanya, balaghahnya dan kejelasannya. Hal ini
dijelaskan Allah dalam surat al-Thuur ayat 34.
2. Tantangan yang bersifat juz’i (sebagian), yaitu tantangan untuk mendatangkan sepuluh
surat atau satu surat saja yang menyerupai surat-surat al-Quran. Hal ini sebagaimana
dijelaskan Allah dalam surat Hud ayat 13 dan surat al-Baqarah ayat 23.[18] Adapun tahapan-
tahapan tantangan al-Quran adalah sebagai berikut:
“Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal al-Quran itu jika mereka
termasuk orang-orang yang benar.” (Al-Thuur : 34).
Dalam satu riwayat dinyatakan bahwa ketika ayat ini turun untuk menantang orang-orang
kafir Quraisy yang meragukan dan menolak kebenaran al-Quran, maka mereka berdalih
“kami tidak mengetahui sejarah umat terdahulu” (yang merupakan sebagian kandungan al-
Quran).
Adapun yang dimaksud dengan kalimat ( بحديثbihadiitsin) dalam ayat diatas adalah tandingan
al-Quran, namun ternyata mereka tidak mampu mendatangkan sesuatu yang menyamai al-
Quran.
Kedua, Allah meringankan tantangan, yaitu menantang untuk membuat sepuluh surat saja
yang menyamai al-Quran, sebagaimana dinyatakan Allah Swt., dalam surat Hud ayat 13,
Ketiga, Allah meringankan lagi tantangan, yaitu tantangan untuk membuat satu surat
saja yang menyamai al-Quran, sebagaimana firman Allah Swt., dalam surat Yunus ayat 38,
َ َأ ْم يَقُولُونَ ا ْفتَ َراهُ قُلْ فَْأتُوا بِسُو َر ٍة ِم ْثلِ ِه َوا ْدعُوا َم ِن ا ْستَطَ ْعتُ ْم ِم ْن دُو ِن هَّللا ِ ِإ ْن ُك ْنتُ ْم
)38 :صا ِدقِينَ (يونس
“Atau patutkah mereka berkata, “Dia (Muhammad) membuat-buatnya?”, Katakanlah (kalau
benar tuduhan kamu itu), maka buatlah satu surah semacamnya dan panggillah siapapun yang
dapat kamu panggil selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar.” (Yunus : 38).
Tiga tahapan tantangan tersebut semuanya disampaikan ketika nabi Muhammad Saw.,
masih berada di Mekkah.
Keempat, Ketika nabi sudah hijrah ke Madinah Allah menantang kembali dengan
tantangan yang lebih ringan lagi yaitu membuat satu surat yang hampir sama dengan al-
Quran, sebagaimana dapat dipahami dalam surat al-Baqarah ayat 23,
َ ب ِم َّما نَ َّز ْلنَا َعلَى َع ْب ِدنَا فَْأتُوا بِسُو َر ٍة ِم ْن ِم ْثلِ ِه َوا ْدعُوا ُشهَدَا َء ُك ْم ِم ْن دُو ِن هَّللا ِ ِإ ْن ُك ْنتُ ْم
)23 :صا ِدقِينَ (البقرة ٍ وَِإ ْن ُك ْنتُ ْم فِي َر ْي
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Quran yang kami wahyukan kepada hamba
kami (Muhammad), maka buatlah satu surat yang seumpamanya dan panggillah penolong-
penolongmu selain Allah jika kamu orang-orang yang benar.” (al-Baqarah : 23).
Ayat 23 yang terdapat dalam surat al-Baqarah ini mirip redaksinya dengan ayat 38
dalam surat Yunus. Perbedaannya antara lain pada kalimat (fa’tuu bisuuratin mitslihi dan
fa’tuu bisuuratin min mitslihi). Kata ( منmin) disini diartikan “lebih kurang”, sehingga
dengan demikian tantangan ini lebih rendah daripada tantangan sebelumnya yang menuntut
membuat satu surah tanpa menggunakan kata (منmin) atau “lebih kurang”.
Memang sejak semula Allah telah menegaskan bahwa siapapun dan kapanpun al-
Quran tetap menjadi mukjizat dan tidak dapat ditandingi. Hal ini dapat kita pahami dari
firman Allah dalam surat al-Isra’ ayat 88,
)88 :ْض ظَ ِهيرًا(اإلسراء ُ ان اَل يَْأتُونَ بِ ِم ْثلِ ِه َولَوْ َكانَ بَ ْع
ٍ ضهُ ْم لِبَع ِ ت اِإْل ْنسُ َو ْال ِج ُّن َعلَى َأ ْن يَْأتُوا بِ ِم ْث ِل هَ َذا ْالقُرْ َء
ِ قُلْ لَِئ ِن اجْ تَ َم َع
“Katakanlah (hai Muhammad): Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk
membuat yang serupa al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa
dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu sebagian yang lain.” (al-Isra’ : 88).
Dengan demikian jelaslah bahwa tahap demi tahap tantangan al-Quran, ternyata tidak
seorangpun sanggup untuk memenuhi tantangan tersebut, terutama orang-orang Arab kafir
Quraisy yang dengan terang-tarangan tidak menerima kebenaran al-Quran. Dengan demikian
jelaslah mukjizat al-Quran yang benar-benar diwahyukan Allah untuk nabinya Muhammad
Saw., yang ummi.
D. Aspek-Aspek Kemukjizatan Al Quran
a. Sebagian ulama berpendapat bahwa segi kemukjizatan al-Quran adalah sesuatu yang
terkandung dalam al-Quran itu sendiri, yaitu susunan yang tersendiri dan berbeda dengan
bentuk puisi orang Arab maupun bentuk prosanya, baik dalam permulaannya, maupun suku
kalimatnya.
b. Sebagian yang lain berpendapat bahwa segi kemukjizatan al-Quran itu terkandung dalam
lafal-lafalnya yang jelas, redaksinya yang bernilai sastra dan susunannya yang indah, karena
nilai sastra yang terkandung dalam al-Quran itu sangat tinggi dan tidak ada bandingannya.
c. Ulama lain berpendapat bahwa kemukjizatan itu karena al-Quran terhindar dari adanya
pertentangan, dan mengandung arti yang lembut dan memuat hal-hal ghaib diluar
kemampuan manusia dan diluar kekuasaan mereka untuk mengetahuinya.
d. Ada lagi ulama yang berpendapat bahwa segi kemukjizatan al-Quran adalah keistimewaan-
keistimewaan yang nampak dan keindahan-keindahan yang terkandung dalam al-Quran, baik
dalam permulaan, tujuan maupun dalam menutup setiap surat.[20]
Imam al-Qurtubi dalam tafsirnya al-Jami’i Ahkamil Quran menyebutkan sepuluh segi
kemukjizatan al-Quran, sementara al-Zarkani dalam kitabnya Manahilul Irfan mencatat
empat belas segi kemukjizatan al-Quran.[21] Perbedaan pendapat ulama diatas diketahui
sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing. Jadi bukan berbeda dalam menentukan
batasan-batasan kemukjizatan al-Quran, karena aspek-aspek kemukjizatan al-Quran tidak
hanya terbatas pada aspek-aspek tertentu yang mereka sebutkan.[22] Adapun aspek-aspek
kemukjizatan al-Quran adalah:
2. Uslubnya (susunannya) yang menakjubkan, jauh berbeda dengan segala bentuk susunan
bahasa Arab.
4. Syariat yang sangat rinci dan sempurna melebihi setiap undang-undang buatan manusia.
5. Mengabarkan hal-hal ghaib yang tidak bisa diketahui kecuali dengan wahyu.
10. Berpengaruh terhadap hati para pengikutnya dan orang-orang yang memusuhinya.[23]
Susunan gaya bahasa dalam al-Quran tidak bisa disamakan oleh apapun, karena al-
Quran bukan susunan syair dan bukan pula susunan prosa, namun ketika al-Quran dibaca
maka ketika itu terasa dan terdengar mempunyai keunikan dalam irama dan ritmenya.
Cendikiawaan Inggris, Marmaduke Pickthall dalam The Meaning of Glorious Quran,
menulis: “Al-Quran mempunyai simfoni yang tidak ada taranya dimana setiap nada-nadanya
bisa menggerakkan manusia untuk menangis dan bersuka-cita”.[24]
Al-Quran muncul dengan uslub yang sangat baik dan indah, mengagumkan orang-
orang Arab karena keserasian dan keindahannya, keharmonisan susunannya. Didalamnya
terkandung nilai-nilai istimewa yang tidak akn terdapat dalam ucapan manusia.
3. Keagungannya
Al-Quran mempunyai kemegahan ucapan yang luar biasa yang berada diluar
kemampuan manusia untuk menguasainya atau mendatangkan persamaannya. Kandungan al-
Quran dapat mempengaruhi jiwa-jiwa pendengarnya dan dapat melembutkan hati-hati yang
keras.
Al-Quran memuat petunjuk yang detail mengenai sebagian ilmu pengetahuan umum
yang telah ditemukan terlebih dahulu dalam al-Quran sebelum ditemukan oleh ilmu
pengetahuan modern. Tiori al-Quran itu sama sekali tidak bertentangan dengan tiori-tiori
ilmu pengetahuan modern, baik itu ilmu alam, arsitek dan fisika, geografi dan kedokteran.
7. Menepati janji
Al-Quran senantiasa menepati janji dalam setiap apa yang telah dikabarkannya serta
dalam setiap janji Allah kepada hamba-Nya, baik janji mutlak seperti janji Allah untuk
menolong rasul-Nya, maupun janji terbatas yaitu janji yang bersyarat seperti harus memenuhi
syarat takwa, sabar, menolong agama Allah, dan sebagainya.
E. Paham As-Sharfah
As-Sharfah terambil dari akar kata ( صرفSharafa) yang berarti memalingkan, dalam
pengertian bahwa Allah memalingkan manusia dari upaya membuat semacam al-Quran,
sehingga seandainya tidak dipalingkan, manusia akan mampu. Dengan kata lain,
kemukjizatan al-Quran dianggap oleh paham as-sharfah lahir dari faktor eksternal, bukan dari
al-Quran itu sendiri.[26]
Sementara al-Murtadha dari golongan Syiah berpendapat bahwa makna as-sharfah itu
adalah mencabut, yaitu Allah mencabut pengetahuan dan rasa bahasa yang mereka miliki
yang dibutuhkan untuk menyusun kalimat serupa al-Quran.[28] Jika kita perhatikan kedua
pendapat diatas, mereka menganggap bahwa al-Quran bukan merupakan mukjizat dengan
Zat-Nya, tetapi kemukjizatan itu karena dua hal:
1. Penggerak Ilahi yang melemahkan mereka untuk bertanding akhirnya mereka bermalas-
malasan.
2. Faktor luar yang melambangkan bakat kefasihan dan kemampuan sastra mereka.[29]
Dalam hal ini Muhammad Abd Azhim al-Zarkani memandang bahwa tuduhan
penafian I’jaz al-Quran terhadap aliran Mu’tazilah dan kaum Syi’ah secara keseluruhan
hanya disebabkan segelintir tokohnya yang dalam kasus ini an-nazham dan al-Murtadha
merupakan tuduhan yang kurang etis mengingat terlalu banyak pengikut Mu’tazilah dan
kaum Syi’ah yang pengakuannya tentang kemukjizatan al-Quran yang lebih kurang sama
dengan kaum muslimin pada umumnya. Bahkan dari kalangan Ahli Sunnah sekalipun
sesunguhnya ada yang membenarkan kemungkinan as-sharfah itu terjadi, diantaranya adalah
Abu Ishak al-Isfariyini.[30]
Dalam pada itu Al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillani mengatakan bahwa, salah satu hal
yang membatalkan pendapat tentang shirfah adalah, kalaulah menandingi al-Quran itu
mungkin, tetapi mereka dihalangi oleh shirfah, maka kalam Allah itu tidak mukjizat,
melainkan shirfah itulah yang mukjizat. Dengan demikian, kalam tersebut tidak mempunyai
kelebihan apapun atas kalam yang lain.[31] Selain Abu Bakar al-Baqillani, pendapat tentang
as-sharfah menurut Muhammad Ali as-Shabuniy juga dikatakan salah dan tidak bisa
dipertanggung jawabkan karena tidak sesuai dengan kenyataan. Hal itu menurutnya karena
beberapa faktor:
1. Kalau pendapat ini benar, kemukjizatan itu akan berada pada unsur pemalingan dan tidak
dalam al-Quran itu sendiri.
2. Kalau pendapat dengan pemalingan ini benar, pasti hal itu unsur melemahkan bukan
kemukjizatan. Karena perbuatan itu sama saja halnya kita memotong lidah seseorang
kemudian kita paksa dia bicara.
3. Kalau ada penggerak yang melemahakan mereka untuk bertanding, mereka pasti sudah
malas dan tidak mungkin menghalang-halangi Nabi untuk berdakwah.
4. Seandainya ada faktor yang timbul secara mendadak, menghalangi mereka berbicara tegas
pasti mereka akan mengumumkan hal itu kepada khalayak ramai.
5. Bilamana pemalingan itu betul terjadi, pasti bagi kita sekarang akan bisa menandingi al-
Quran, begitu juga bagi mereka yang tekun dalam sastra Arab pada setiap masa, tentu mereka
akan bisa menerangkan kedustaan pengakuan kemukjizatan al-Quran.[32]
Semuanya itu (tentang pendapat as-sharfah) menurut hemat penulis adalah tidak
benar, yang benar adalah bahwa usaha untuk mendatangkan semisal al-Quran sama sekali
tidak akan terlaksana menurut kemampuan makhluk.
BAB III
PENUTUP
Al-Quran adalah mukjizat nabi Muhammad Saw., terbesar yang sifatnya ‘aqliyah
sehingga berlaku sepanjang zaman karena dapat dijangkau oleh perkembangan akal manusia.
Kemukjizatan al-Quran terletak pada aspek keindahan bahasanya, kabar berita yang
dibawanya, keluasan isi materi yang terkandung didalamnya maupun dari segi-segi lainnya,
dan tidak ada seorang manusiapun sampai kapanpun dapat menandinginya. Mukjizat al-
Quran merupakan hal-hal yang luar biasa yang terdapat didalam al-Quran itu sendiri, bukan
datang dari luar al-Quran, karenanya paham as-sharfah tidak dapat diterima. Demikianlah
makalah ini disampaikan dalam seminar mata kuliah al-Quran, penulis menyadari bahwa
masih banyak kekurangan dan kekeliruan baik literature yang digunakan maupun susunan
bahasanya, untuk itu kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat diharapkan.
Hanya kepada Allahlah kita menyerahkan diri.
DAFTAR PUSTAKA
Ansari, Ibnu Mansur Jamaluddin Muhammad bin Mukarram al-, Lisan al-Arab, Beirut: al-
Dar al-Misriyah, 1990.
Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Figh, cet. 8, terj. Noer Iskandar al-Barsany dan Moh.
Tolchah Mansoer, Kairo: Dar al-‘Ilm:1978.
Munawwar, Said Aqil Husain al-, I’jaz al-Quran dan Metodelogi Tafsir, Semarang: Dimas,
1994.
Qattan, Manna’ al-, Mabahis fi Ulum al-Quran, Beirut: Maktabah Wahbah, 2004.
Rafi’i, Mustafa Shadiq al-, ‘Ijaz al-Quran wa al-Balaghah an-Nabawiyyah, Beirut: Dar al-
Kutub al-Arabi, 1990.
Sayuti, Jalaluddin al-, al-Itqan fi Ulum al-Qur an, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2000.
Shabuniy, Muhammad Ali al-, Studi Ilmu al-Quran, terj. Aminuddin, Bandung: Pustaka
Setia, 1999.
Shiddiqiey, T.M. Hasbi al-, Mu’djizat al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Shihab, M. Qurais , Mukjizat al-Qur an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah
dan Pemberitaan Gaib, cet II, Bandung: Mizan, 2007.
Suma, Muhammad Amin, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran 3, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004.
Sya’rawi, Muhammad al-Mutawalli al-, Mukjizat al-Quran, terj. Muhammad Ali dan
Abdullah, Surabaya: Bungkul Indah, 1995.
Poerwodarminto, WJS, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1976.
Zarkani, Muhammad Abdul ‘Azim al-, Manahilul Irfan fi Ulum al-Quran, Beirut: Dar al-
Kutub al-‘Ilmiyah, 1988.