Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH “METODOLOGI STUDI ISLAM”

Disusun Guna Memenuhi Tugas Kuliah “Metodologi


Studi Islam”

Dosen Pengampu: Dr. H. Iman Fadhilah, M.S.I.

Disusun Oleh :

1. Fathiatun Ni’mah (21106011175)

2. Maimuna Putri Nafisa (21106011175)

3. Ahmad Muthohar (21106011249)

FAKULTAS AGAMA ISLAM

PROGRAM STUDI AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG

2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum. Wr. Wb.

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah Yang


Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik
dan hidayah-Nya lah makalah dengan judul "Metodologi
Studi Islam" dapat diselesaikan. Selanjutnya shalawat
dan salam kami hanturkan kepada junjungan Nabi besar
Muhammad saw dan segenap keluarganya, para sahabat,
tabi-tabi'in sampai kepada orang-orang yang mukmin
yang telah memperjuangkan Islam sampai saat ini dan
bahkan sampai akhir zaman. Kami sangat berharap
makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai apa-apa saja
yang terdapat dalam pembahasan metodologi studi
islam. Semoga makalah yang telah disusun ini dapat
berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya.

Wassalamu’alaikum. Wr. Wb.

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Pembahasan

BAB II PEMBAHASAN

A. Islam dan Globalisasi

B. Modernisme, Puritanisme, Fundamentalisme


dan Radikalisme Islam

C. Eksklusif dan inklusif dalam Islam

D. Islamisasi dan Sains

E. Pluralisme Agama Agama

BAB III PENUTUP

Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam adalah agama kasih sayang “Rohmatan Lil


Alamin”, universal. Islam itu din (agama), dunya (dunia)
dan daulah (negara/politik); Islam adalah sistem
keyakinan dan sistem hukum dan sebagai agama yang
sempurna yang didesain Tuhan sampai akhir zaman.
Islam itu risalah yang universal untuk semua manusia
yang pasti relevan bagi setiap perkembangan zaman dan
tempat. Namun ahir-ahir ini banyak sekali wacana
penerapan ajaran Islam yang jauh dari konsep agama itu
sendiri. Ada yang keterlaluan memahami ke-Universalan
Islam, ada juga yang tidak tahu ke-Universalan Islam.
Semua itu karena kurangnya pemahaman pelaku dengan
subtansi ajaran Islam itu sendiri. Ahirnya, muncul
banyak pola pikir seperti Moderenisme, Puritanisme,
Fundamentalisme, Radikalisme dan masih banyak lagi
dengan memasukkan pada konsep agama.

B. Rumusan masalah:

1. Bagaimana Islam dan globalisasi?

2. Bagaimana Moderenisme, Puritanisme,


Fundamentalisme dan Radikalisme Islam?
3. Bagaimana Islamisasi Sain, Eksklusif, Inklusif
dan Pluralisme agama agama?

C. Tujuan pembahasan

1. Untuk mengetahui Islam dan globalisasi?

2. Untuk mengetahui Moderenisme, Puritanisme,


Fundamentalisme dan Radikalisme Islam?

3. Untuk mengetahui Islamisasi Sains, Eksklusif,


Inklusif dan Pluralisme agama agama?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Islam dan Globalisasi


Ketika membahas globalisasi, otomatis tak bisa
terelakkan dengan yang namanya teknologi komunikasi.
Sekarang ini, dunia dengan segala perkembangannya dan
kecanggihannya, sulit untuk membedakan, mana yang
dilegalkan oleh agama dan mana yang tidak. Karena,
dalam bentuk apapun sesuatu sudah terfasilitasi dengan
mudah dan cepat. Mulai yang berbentuk ibadah atau
bahkan yang berbentuk kriminal. Dari sini, tinggal
diarahkan kemana manfaat teknologi tersebut.

Umat islam saat ini dalam posisi sangat


menghawatirkan. Diantara mereka, ada yang cukup
maju, namun terbatas dalam dunia teknologi, bukan
penemu teknologi. Lebih parah lagi, mayoritas umat
Islam banyak yang sangat terlambat dalam mengikuti
teknologi tersebut. Tak cukup berhenti di sini, masih
adanya umat Islam yang tidak mau menggunakan
teknologi karena melihat dari satu aspek kemudlorotan.

Karena keminiman umat Islam dalam penguasaan


teknologi dan sains, umat Islam menjadi kelompok yang
terbelakang. Disisi lain, umat non islam sangat maju
dengan berbagai teknologi. Ahirnya, dampak dari
globalisasi akan menimbulkan berbagai reaksi yang
bermacam-macam. Atang Abdul Hakim
mengelompokkan reaksi itu dalam empat golongan besar
akibat globalisasi. Yaitu, tradisionalis, modernis,
revivalis dan transformatif.
1. Tradisionalis

Pemikir tradisionalis, meyakini bahwa perjalanan umat


islam, baik adanya kemajuan dan kemunduran adalah
ketentuan dari Tuhan. Hanya Tuhan yang tahu tentang
semua itu, baik dari segi hikmah kemajuan atau
kemunduran umat islam. Karena menurut mereka,
mahluk tidak tau tentang gambaran besar mengenai
sekenario Tuhan. Sedangkan kemajuan dan kemunduran
umat islam dinilai sebagai ujian dari Tuhan atas
keimanan umat islam.

2. Modernis

Dalam masyarakat barat, moderenisme mengandung arti


pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk mengubah
paham-paham dan intitusi-intitusi lama untuk
disesuaikan pada zaman atau suasana baru yang
ditimbulkan oleh pengetahuan atau teknologi. Oleh
karena itu, modernsme lebih mengacu pada dorongan
untuk melakukan perubahan-perubahan, karena paham-
paham dan intitusi-intitusi yang lama sudak tidak relevan
sebagai solusi kehidupan.

Kaum moderenis percaya bahwa, aspek kemunduran


umat islam, lebih banyak disebabkan adanya kesalahan
sikap mental, budaya atau teologi mereka. Artinya, umat
islam terbelakang karena mereka melakukan sakralitas
terhadap semua bidang kehidupan.

3. Revivalisme

Revivalisme adalah gerakan untuk membangkitkan atau


menghidupkan kembali perasaan keagamaan yang
kukuh. Kecendrungan kelompok ketiga ini mengenai
kemunduran umat Islam dalam arus globalisasi adalah
revivalis, baik faktor eksternal maupun internal. Artinya,
umat islam menggunalkan idiologi lain (yang masih
kolot), bukan merujuk pada sumbernya langsung (Al-
Qur’an), sebagai acuan dasar bertindak. Dan biasa
disebut dengan istilah kaum fundamentalisme. Seperti
yang dikatakan Syafiq Hasim, bahwa contoh kelompok
ini adalah wahabisme dari tokoh Mohammad Abduh dan
Muhammad Jamaluddin Al-afghani. Menurut kelompok
ini, islam harus menjawab tantangan di era modern,
untuk menjawab moderenitas ini, konsep teologi yang
harus dipakai adalah teologi liberal.

Artinya dengan cara kembali kepada Al-Quran, Al-


Sunnah serta tidak terikat dengan metode lama.

4. Transformatif

Gerakan Transformatif merupakan alternatif atau jalan


keluar dari tiga golongan diatas. Mereka beranggapan
bahwa, keterbelakangan umat islam akan era globalisasi
disebabkan oleh ketidak seimbangan sistim dan setruktur
ekonomi, politik dan kultur. Oleh karena itu, agenda
mereka melakukan trensformasi (menata ulang) terhadap
struktur. Artinya, semua elemen harus disama ratakan
dalam hal pemerolehan fasilitas teknologi, agar
keterbelakangan tidak muncul.

B. Modernisme, Puritanisme, Fundamentalisme dan


Radikalisme Islam

Nurcholish Madjid berpendapat bahwa Moderenisme


dalam islam adalah rasionalisasi yang ditopang oleh
dimensi-demensi moral, dengan berpijak pada prinsip
iman kepada Tuhan yang maha Esa, dan bukan
westernisasi (budaya barat). Sebab westernisme ialah
suatu total kehidupan dimana faktor paling menonjol
adalah sekularisme.

Puritanisme adalah paham kemurnian ajaran atau


kepercayaan. Menurut Syafiq Hasim, puritanisme sama
dengan gerakan fundamentalisme. Yakni, memurnikan
ajaran kepada sumber asalnya (Al-Quran dan Al-
Sunnah).

Fundamentalis adalah Faham kepanutan teguh pada


pokok ajaran kepercayaan ; gerakan agama Kristen
modern yang menekankan sekumpulan kepercayaan dan
penafsiran harfiyah terhadap kitab suci. Radikalisme
faham politik kenegaraan yang menghendaki adanya
perubahan dan perombakan besar sebagai jalan untuk
macapai taraf kemajuaan.

Menurut Rahimi Sabirin, Fundamentalisme adalah


gerakan Radikalisme pemikiran.

Fundamentalisme Islam adalah gerakan pemikiran yang


menolak bentuk pemahaman agama yang terlalu rasional
apalagi kontekstual, sebab bagi mereka, yang demikian
itu tidak memberikan kepastian. Maka dari itu,
memahami teks-teks keagamaan secara rigid (kaku) dan
literalis (murni apa yang tertulis) merupakan alternatif
yang mereka tonjolkan.

Menurut Syafiq Hasim, Fundamentalisme Islam secara


garis besar dapat di bagi menjadi dua kelompok besar,
pertama Fundamentalisme Islam yang merujuk pada
wahabisme. Kedua Fundamentalisme Islam yang
merujuk kepada model Syi’ah, gerakan ini mengalami
perkembangannya pada tahun 1979 menyusul
kemenangan Revolusi Islam di Iran dengan pimpinan
Imam Ayatullah Khomeini, sebagai simbol
fundamentalisme dunia Islam.

1. Wahhabisme

Banyak kalangan yang mengatakan bahwa munculnya


Fundamentalisme Islam saat ini berakar dari istilah
Salafi. Kaum Salafi adalah gerakan yang menyerukan
dirinya kepada tradisi Salaf atau di kenal dengsn
generasi 4 abad setelah nabi, dan setelah 4 abad itu
disebut dengan istilah generasi kholaf. Kemudian slogan
ini dipakai untuk pengikut Muhammad abduh yang juga
santri seorang idiolog islam Muhammad Jamaluddin Al
afgan. Dasar klaim gerakan ini adalah ingin
mengembalikan ortodoksi syariat dengan memurnikan
ajaran islam sesuai dengan Al-Quran dan Al-Sunnah.
Namun, hal yang patut di garis bawahi, mereka tidak
mau bila dikatakan sebagai kelompok yang mengikuti
tokoh tertentu, termasuk Muhammad Abdul Wahab.

Menurut Abdul Hadi Abdurrohman, bahwa gerakan ini


awal mulanya dipandegani oleh shohibul Madzhab
Hambali, Ahmad Ibnu Hambal (164 -241 H.) kemudian
deteruskan oleh Ibnu Taymiyah abad ke VII H.
kemudian dibakukan oleh Muhammad Bin Abdul
Wahhab pada abad XII H. di Jazirah Arab dan sampai
sekarang menjadi gerakan mayoritas di Arab yang di
kenal dengan istilah wahhabisme. Akidah menurut
mereka tidak bisa dijadikan pegangan kecuali dari teks,
sedangkan akal menyesatkan. Karena para sahabat tidak
pernah memakai logika untuk memahami ajaran, tidak
seperi filosop dan ahli kalam.

Menurut Abu Al-fadl, Cirri dari kelompok ini, adalah


cara penafsiran teologis mereka cenderung mengucilkan
kelompok non islam, bahkan kelompok islam lain yang
tidak sama dengan teologi yang mereka punya. Dalam
konsep jihad, kelompok ini lebih ekstrim karena model
penafsiran yang mereka pakai dan sering mengutip ayat-
ayat yang memerintahkan peperangan.

2. Syi’isme

Syi’isme adalah kelompok Fundamentalisme Islam yang


merujuk kepada model syi’ah, yakni mengembalikan
ajaran kepada sumbernya namun dengan idiologi yang
dicetuskan oleh syiah. Gerakan ini mengalami
perkembangannya pasca kemenangan Revolusi Islam di
Iran dengan pimpinan Imam Ayatullah Khomeini, tahun
1979.

Radikalisme adalah gerakan yang ditandai empat hal.


Pertama, sikap tidak toleran atau tidak mau menghargai
keyakinan orang lain. Kedua, sikap fanatik atau
menganggap dirinya yang paling benar. Ketiga, sikap
eksklusif atau membedakan diri dari kebiasaan umat
islam mayoritas. Keempat, sikap revolusioner, yaitu
kecendrungan menggunakan kekerasan sebagai
pencapaian tujuan. Umumnya, radikalisme muncul
karena pemaham agama yang tertutup dan tekstual.
Kelompok radikalisme selalu merasa kelompok yang
paling memahami ajaran Tuhan. Makanya mereka kerap
sekali mengkafirkan atau menganggap sesat orang lain.

Menurut Rahimi Sabirin, radikalisme terbagi menjadi


dau kelompok. Yakni, radikalisme pemikiran (yang
sering disebut dengan kelompok fundamentalis) dan
radikalisme dalam tindakan (yang sering disebut dengan
teroris).

C. Eksklusif dan inklusif dalam Islam

Secara etimologi kata inklusif dan ekslusif merupakan


pengadopsian bahasa Inggris “inclusive” dan “exlusive”
yang masing-masing memiliki makna “termasuk di
dalamnya” dan “tidak termsuk didalamnya/terpisah”.

Masalah inklusif dan ekslusif dalam Islam merupakan


kelanjutan dari pemikiran/gagasan modernisme kepada
wilayah yang lebih spesifik setelah pluralisme, tepatnya
pada bidang teologi. ~ Teologi Ekslusif ~ tanpa
menyisakan ruang toleransi untuk berempati, apalagi
simpati; “bagaimana orang lain memandang agamanya
sendiri”. Seperti sudah menemukan kesimpulan, kita
sering kali menilai dan bahkan menghakimi agama orang
lain, dengan memakai standar teologi agama kita sendiri.
Pun pula sebaliknya, orang lain menilai bahkan
menghakimi kita, dengan memakai standar teologi
agamanya sendiri. Jelas ini suatu mission imposible
untuk bisa saling bertemu, apalagi sekedar toleran.
Hasilnya justru perbandingan terbaliknya. Masing-
masing agama malah menyodorkan proposal “klaim
kebenaran” dan “klaim keselamatan” yang hanya ada
pada agamanya sendiri-sendiri, sementara pada agama
lain dituduh salah, menyimpang, bahkan menyesatkan.
Ide utama dari teologi inklusif adalah pemahamannya
untuk memahami pesan Tuhan. Semua kitab suci (injil,
Zabur, Taurat dan Qur‟an) itu pesan Tuhan, diantaranya
pesan Taqwa.

‫َاب ِمن‬َ ‫وا ْال ِكت‬ْ ُ‫ص ْينَا الَّ ِذينَ ُأوت‬
َّ ‫ض َولَقَ ْد َو‬ِ ْ‫ت َو َما فِي اَألر‬ ِ ‫َوهَّلل ِ َما فِي ال َّس َما َوا‬
‫ت َو َما فِي‬ ِ ‫اوا‬ َ ‫ُوا فَِإ َّن هّلِل ِ َما فِي ال َّس َم‬
ْ ‫وا هَّللا َ َوِإن تَ ْكفُر‬
ْ ُ‫قَ ْبلِ ُك ْم َوِإيَّا ُك ْم َأ ِن اتَّق‬
ِ ْ‫اَألر‬
‫ض َو َكانَ هَّللا ُ َغنِيًّا َح ِميدًا‬

Artinya: Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan


yang di bumi, dan sungguh Kami telah memerintahkan
kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan
(juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah. Tetapi
jika kamu kafir, maka (ketahuilah), sesungguhnya apa
yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan
Allah dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (QS,
4:131)

Taqwa disini bukan sekedar tafsiran klasik, seperti sikap


patuh kehadirat Tuhan. Sebagaimana Cak Nur paparkan
bahwa :

“Pesan Tuhan itu bersifat universal dan merupakan


kesatuan esensial semua agama samawi, yang mewarisi
agama Arab, yakni Yahudi (Nabi Musa), Kristen (Nabi
Isa), dan Islam (Nabi Muhammad). Lewat firman-Nya
Tuhan menekankan agar kita berpegang teguh kepada
agama Itu,

karena hakikaat dasar agama-agama itu (sebagai pesan


Tuhan) adalah satu dan sama. Agama Tuhan, pada
esensinya sama, baik yang diberikan kepada Nabi Nuh,
Musa, Isa atau kepada Nabi Muhammad. Kesamaan
yang dimaksud Cak Nur, terletak pada kesamaan dalam
pesan besar, yakni paham Ketuhanan Yang Maha Esa
atau Monoteisme, istilah inti ajaran para Nabi dan Rasul
Tuhan. Hal tersebut sejalan pula dengan Ibn Taymiyah
yang menyatakan bahwa meskipun syari’atnya
bermacam-macam. Maka kata Nabi Muhammad SAW,
“Bahwa kami golongan para Nabi, agama kami adalah
satu”. Yakni risalah tawhid yang berlandasan kepada
kepasrahan kehadirat Tuhan. Bahkan, “kesadaran
ketuhanan” (Taqwa) yang sifatnya monoteistik (Tauhid)
merupakan implikasi langsung dari al-Islam itu sendiri.
Al-Islam adalah al-din (tunduk patuh). “Sesungguhnya
ikatan (al-din) disisi Allah adalah sikap pasrah (al-Islam)
demikian firman Tuhan”. Sikap pasrah tersebut
merupakan inti dasar teologi inklusif dari pandangan:
kesatuan kemanusiaan yang berangkat dari konsep ke-
Maha Esa Tuhan. Dimana akhirnya sikap pasrah
merupakan titik temu semua agama (ajaran) yang benar,
sebagai upaya menuju Tuhan Yang Maha Esa.
Berdasarkan pemaparan tersebut maka dapat ditarik
kesepahaman sementara bahwa bangunan epistimologi
inklusifisme dalam Islam diawalai dengan tafsiran al-
Islam sebagai sikap pasrah kehadirat Tuhan. Dimana
kepasrahan ini menjadi karakteristik pokok semua agama
yang benar, yakni bersikap berserah diri kepada Tuhan
(world view al-Qur‟an). Dimana secara esensialnya
wacana inklusif dan ekslusif dalam Islam, terutama yang
berkenaan dengan konsep taqwa, tawhid (monoteisme)
dan al-Islam (sikap pasrah).

D. Islamisasi dan Sains

Islam dan sains adalah konteks yang mempunyai


peranan besar dalam kehidupan. Agama menjadi bagian
integral dari keseluruhan kehidupan manusia. Sementara
sains capaian besar yang dibawa oleeh peradaban
modern.

Agama dan sains mempunyai cara kerja yang khas, ada


beberapa hal yang mempertemukan keduanya, namun
dari keduanya sering dipertentangkan. Tantangan
terhadap kepercayaan beragama bukan berasal dari
pertentangan isi ilmu pengetahuan dan agama. Karena
keduanya saling melengkapi. Artinya, agama akan
semakin meyakinkan bila di topang dengan sains, dan
sains pun muncul karena adanya pengalaman, dan salah
satu wahana pengalaman adalah agama. Kemudian jika
ada pertentangan antara agama dengan sains, maka
muara perbedaan itu justru pada pandangan bahwa
metode ilmiyah adalah sebagai penyebab atas kebenaran.
Karena, pembuktian sains akan agama belum tentu hal
yang dimaksud oleh agama itu sendiri.

E. Pluralisme Agama Agama

Pluralitas adalah sebagai "menerima perbedaan" atau


menerima perbedaan yang banyak".

Berkenaan dengan munculnya paham pluralisme


terutama pluralism agama beberapa tahun terakhir ini,
maka wacana tentang pluralisme agama menjadi tema
penting yang banyak mendapat sorotan dari sejumlah
cendikiawan muslim sekaligus nampaknya juga
memunculkan pro dan kontra dikalangan para pemikir,
cendikiawan dan para tokoh agama. Lebih lebih ketika
MUI dalam Munas ke 7 pada bulan Juli 2005 yang lalu
di Jakarta telah mengharamkan pluralisme agama, yang
isiny :

1. Pluralism, Sekualarisme dan Liberalisme agama


sebagaimana dimaksud pada bagian pertama adalah
paham yang bertentangan dengan ajaran agama islam.

2. Umat Islam haram mengikuti paham Pluralisme


Sekularisme dan Liberalisme Agama.

3. Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat islam wajib


bersikap ekseklusif, dalam arti haram mencampur
adukan aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah dan
ibadah pemeluk agama lain.
4. Bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama
pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah
sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah,
umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan
pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang
tidak saling merugikan.

maka persoalan ini telah mencuat kepermukaan. Bila


dicermati, maka perbedaan ini nampaknya berkaitan
dengan term pluralism agama-budaya, perbedaan
didalam memahami isyarat-isyarat ayat al-Qur'an tentang
pluralitas maupun tentang klaim kebenaran dalam suatu
agama.

Memasuki abad 21 dimana orang mulai sulit


membedakan mana yang benar dan mana yang salah,
ahirnya ada sekelompok orang muncul sebagai gerakan
teologi pluralis (akidah terbuka). Kelompok yang
dimotori oleh jaringan islam liberal (JIL) ini mengusung
pemahaman yang ia peroleh dari Al-Qur’an sebagai
aqidah terbuka, yakni menerima semua kepercayaan
tanpa terkecuali atau menganggap semua agama adalah
sama (benar). Dan kebenaran itu bersifat relative.

Awalnya golongan ini muncul hanya karena bosan akan


racikan teologi lama yang mereka anggap sudah
ketinggalan zaman dan malah membawa banyak
kontroversi bahkan perpecahan di dalam tubuh umat
islam sendiri. Oleh karenanya mereka saat ini telah
meramu resep teologi sendiri yang berbeda dengan
konsep yang sudah ada. Menurut mereka, masyarakat
modern kini sudah saatnya untuk bersikap toleran dan
terbuka menerima keyakina pihak manapun, walaupun
berbeda agama.

Dalam pandangan Islam, faham pluralime adalah sikap


menghargai dan toleran kepada pemeluk agama lain,
adalah mutlak untuk dijalankan, sebagai bagian dari
keberagaman (pluralitas). Namun anggapan bahwa
semua agama adalah sama (pluralisme) tidak
diperkenankan, dengan kata lain tidak menganggap
bahwa Tuhan yang 'kami' (Islam) sembah adalah Tuhan
yang 'kalian' (non-Islam) sembah.

BAB III

PENUTUP
Kesimpulan

Ada tiga pola pemikiran Islam tersebut di atas (yaitu :


Tradisionalisme, Modernisme, dan Fundamentalisme)
masing-masing memiliki sisi kesamaan dan juga
memeiliki kekurangan. Tradisionalisme, karena terlalu
jauh menyatu dengan budaya lokal dan cenderung
bertahan dengan produk pemikiran lampau, sangat
selektif terhadap gagasan-gagasan baru. Ia tidak
mempunyai keberanian mendobrak gagasan-gagasan
ulama salaf sehingga nyaris mandul.

Sedangkan modernisme, karena terbelenggu oleh


rutinitas mengolah lembaga-lembaga pembaharuannya
mengakibatkan kehilangan kesegaran orientasi.
Disamping itu, karena slogannya untuk kembali kepada
Al-Qur’an dan Al-Sunnah, juga penentangannya pada
tradisi, mempunyai penolakan atas warisan khazanah
klasik Islam. Inilah yang mengakibatkan modernisme
mengalami kekeringan intelaktual. Sementara itu,
fundamentalisme juga tidak cukup menyakinkan
mengingat ia sebenarnya hanyalah bentuk keberagamaan
yang reaktif atas fenomena eksternal. Inilah yang
mengakibatkan sangat rapuh dalam rumusan konsepsi
dan konstruksi pemikrannya.

Saran kajian

Kajian ilmiah ini masih sangat umum, artinya belum


menggolongkan kelompok tertentu untuk dimasukkan
pada Moderenisme, Puritanisme, Fundamentalisme,
Pluralisme dan Radikalisme. Dan alangkah lebih lengkap
lagi jika dimasukkan juga kelompok kelompok tertentu
yang ada di Indonesia. Untuk itu, harus ada kajian yang
lebih spesifik dan kongkrit, biar kita bisa menghukumi
mana golongan di sekitar kita yang masuk pada gerakan
gerakan diatas.

DAFTAR PUSTAKA

Hakim, Atang Abd. dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi


Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004

Al-Barri, M. Dahlan, Kamus Ilmiyah Populer, Surabaya:


Arkola, 2005
Hasim, Syafiq, Fundamentalisme Islam, Jakarta: Afkar,
2002

Madjid, Nurcholish, Islam Kemoderenan dan


keindonesianan, Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2008

Sabirin, Rahimi, Islam & Radikalisme, Jakarta: Center


For Moderate Muslim, 2007

Maftukhin, dkk., Nuansa Setudi Islam, Yogyakarta:


Teras, 2010

Tim Saluran Teologi Lirboyo, Akidah Kaum Sarungan,


Lirboyo: Tamatan Aliyah Lirboyo, 2005

Nurul Hakim, Islam Dalam Takaran Ekslusif Dan


Inklusif

Keputusan Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS


VII/MUI/II/2005 Tentang Pluralisme, Liberalisme dan
Sekularisme

Anda mungkin juga menyukai