Anda di halaman 1dari 14

PERIODE PERTENGAHAN

Discovery learning ini ditujukan untuk memenuhi salah satu tugas dari mata

kuliah pengantar studi islam pada fakultas tarbiyah program studi manajemen

pendidikan islam semester 1

Oleh :

EVIA JUMAIDA
862312021015
NUR AINUNG
862312021014
KHUMAIRAH F.RAIS
862312021011
ALIYA ARIANTY RUSLY
862312021018
FIRLA ALIFIA ZALZABILAH
862312021008
RISALDI
862312021005
A.MUH.SYAHWAN SYAHNAN
863212021013

Dosen pembimbing :
FATMAWATI, S.Pd.I., M.Pd.

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)


BONE 2021
A. PERIODE DISENTEGRASI

Masa disintegrasi dalam bidang politik sebenarnya telah mulai

terjadi pada akhir zaman Bani Umayyah, tetapi memuncak di masa Bani

Abbasiyah. Wilayah kekuasaan Bani Umayyah, dari awal berdirinya

sampai masa keruntuhannya, sejajar dengan batas-batas wilayah

kekuasaan Islam. Hal ini berbeda dengan masa pemerintahan Bani Abbas.

Kekuasaan dinasti ini tidak pernah diakui di Spanyol dan seluruh Afrika

Utara, kecuali Mesir. Secara riil, daerah-daerah itu berada di bawah

kekuasaan gubernur-gubernur propinsi bersangkutan. Hubungannya

dengan khalifah ditandai dengan pembayaran upeti.

Pada masa pemerintahan Bani Abbas, tidak ada usaha untuk

merebut jabatan khilafah dari tangan Bani Abbas. Rakyat membiarkan

jabatan khalifah tetap dipegang Bani Abbas. Hal ini terjadi karena khalifah

sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa

diganggu gugat lagi. Sedangkan kekuasaan dapat didirikan di pusat

maupun di daerah yang jauh dari pusat pemerintahan dalam bentuk

dinasti-dinasti kecil yang merdeka. Ada kemungkinan bahwa para khalifah

Abbasiyah sudah cukup puas dengan pengakuan dari propinsi-propinsi

tertentu, dengan pembayaran upeti itu.

Akibat dari kebijaksanaan yang lebih menekankan pembinaan

peradaban dan kebudayaan Islam daripada persoalan politik itu, propinsi-

propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani

Abbas. Kecuali Bani Umayyah di Spanyol dan Idrisiyyah di Marokko,

propinsi-propinsi itu pada mulanya tetap patuh membayar upeti selama

mereka menyaksikan Baghdad stabil dan khalifah mampu mengatasi


pergolakan-pergolakan yang muncul. Namun pada saat wibawa khalifah

sudah memudar, mereka melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad.

Menurut Watt, sebenarnya keruntuhan kekuasaan Bani Abbas

mulai terlihat sejak awal abad kesembilan. Fenomena ini bersamaan

dengan datangnya pemimpin-

pemimpin yang memiliki kekuatan militer di propinsi-propinsi

tertentu yang membuat mereka benar-benar independen. Kekuatan militer

Abbasiyah waktu itu mulai mengalami kemunduran. Sebagai gantinya,

para penguasa Abbasiyah mempekerjakan orang-orang profesional di

bidang kemiliteran, khususnya tentara Turki dengan sistem perbudakan

baru seperti diuraikan di atas. Pengangkatan anggota militer Turki ini,

dalam perkembangan selanjutnya teryata menjadi ancaman besar terhadap

kekuasaan khalifah. Apalagi pada periode pertama pemerintahan dinasti

Abbasiyah, sudah muncul fanatisme kebangsaan berupa gerakan syu'u

arabiyah (kebangsaan/anti Arab). Gerakan inilah yang banyak memberikan

inspirasi terhadap gerakan politik, disamping persoalan-persoalan

keagamaan. Nampaknya, para khalifah tidak sadar akan bahaya politik dari

fanatisme kebangsaan dan aliran keagamaan itu, sehingga meskipun

dirasakan dalam hampir semua segi kehidupan, seperti dalam

kesusasteraan dan karya-karya ilmiah, mereka tidak bersungguh-sungguh

menghapuskan fanatisme tersebut, bahkan ada diantara mereka yang justru

melibatkan diri dalam konflik kebangsaan dan keagamaan itu.

Dinasti-dinasti yang lahir dan melepaskan diri dari kekuasaan

Baghdad pada masa khilafah Abbasiyah, diantaranya terdiri dari bangsa

Persia, Turki, Kurdi, dan Arab.


Mendekati masa akhir kekuasaan Abbasiyah, tentara Turki

berhasil merebut kekuasaan khalifah, sehingga khalifah bagaikan boneka

yang tidak dapat berbuat apa-apa. Selanjutnya kekuasaan Abbasiyah

dikuasai oleh Bani Buwaih. Bani Abbasiyah tetap diakui, tetapi kekuasaan

dipegang oleh sultan-sultan Buwaihi.

Kekuasaan dinasti Buwaihi atas Baghdad kemudian dirampas oleh

Dinasti Seljuk. Seljuk adalah seorang pemuka suku bangsa Turki yang

berasal dari Turkestan. Kekuasaan dinasti saljuk, memicu terjadinya

perang salib dalam beberapa tahap, yang menyebabkan semakin

melemahnya kekuasaan Islam, ditambah lagi serangan tentara Mongolia

yang bersekutu dengan gereja –gereja kristen, sehingga

menghancurleburkan pusat –pusat kekusaan Islam, sampai jatuhnya

Bagdad ke Tangan Khulagu Kan .

B. PRIODE KEMUNDURAN

Penyebab kemunduran peradaban Islam menurut Ibnu Khaldun

disebabkan oleh dua faktor, yaitu internal dan eksternal. Semenjak

periode kedua dari periode Islam klasik, benih-benih kemunduran telah

tampak.

Sejarah dunia mencatat bahwa pengaruh Islam pernah menduduki

posisi penting dalam peradaban global. Istilahnya adalah masa kejayaan

Islam atau the Islamic Goden Age, yang mendominasi sejak abad ke-8

hingga 13 Masehi. Berbagai cabang ilmu pengetahuan dari peradaban

Yunani Kuno diterjemahkan dengan masif. Selain itu, para ilmuwan

muslim juga gencar menulis buku dan karya-karya ilmiah atau berupa

penemuan.
Selain perpustakaan, institusi pendidikan juga tumbuh subur.

Bahkan, tiga universitas tertua di dunia berdiri di masa kejayaan Islam

yang terus langgeng hingga sekarang, yaitu Universitas Al-Karaouine di

Maroko, Universitas Al-Azhar di Mesir, dan Universitas Nizamiyya di

Baghdad.

Dalam sejarah masa kejayaan Islam, semenjak era Kekhalifahan

Rasyidin hingga Kesultanan Utsmaniyah, muncul tokoh-tokoh muslim

yang amat berpengaruh dan menghasilkan karya atau penemuan di

masing-masing bidang keilmuannya.

Banyak ilmuwan teologi maupun sains yang lahir di masa

kejayaan Islam, seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Al-Kindi, Ibnu Khaldun,

Al-Idrisi, dan lainnya.

Faktor Penyebab Kemunduran Peradaban Islam :

1. Ibnu Khaldun, pakar sejarah dan sosiologi klasik menjelaskan bahwa

kemunduran peradaban Islam disebabkan karena faktor internal dan

eksternal di tubuh pemerintahan Islam.

Pertama, faktor internal muncul dari menguatnya materialisme,

yaitu kegemaran penguasa untuk menerapkan gaya hidup bermewah-

mewahan. Sementara itu, korupsi, kolusi, nepotisme, dan dekadensi

moral tumbuh subur di badan pemerintahan.

Kedua, faktor eksternal muncul dari ketidakpuasan tokoh dan

intelektual di negaranya. Akibatnya, mereka yang punya kapabilitas dan

integritas pindah ke negara lain (braindrain) yang mengurangi Sumber

Daya Manusia (SDM) terampil di negara Islam.

Akibatnya, orang-orang yang mengisi posisi pemerintahan

bukanlah orang yang kapabel yang menyebabkan menurunnya


produktivitas. Jangka panjangnya, pengembangan sistem politik dan

pengetahuan juga turut menurun. Padahal, Nabi Muhammad SAW

pernah bersabda: "Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka

tunggulah kehancurannya." (H.R. Bukhari).

SEJARAH KEMUNDURAN PERADABAN ISLAM

Dalam uraian "Penyebab Kemunduran Peradaban Islam pada

Abad Klasik" yang diterbitkan Jurnal Pemikiran Islam, Syamruddin

Nasution menjelaskan sejarah kemunduran peradaban Islam sebagai

berikut:

 Kemunduran Dinasti Abbasiyah

Kemunduran Dinasti Abbasiyah dimulai dari pemerintahan

Khalifah Al-Muktasim (833-842). Khalifah ini dipandang tidak cakap

dalam menjalankan pemerintahan.

Namun, karena kepercayaan bahwa jabatan khalifah harus

dipimpin oleh orang-orang keturunan Quraisy, alih-alih keturunan non-

Arab, maka khalifah pendahulunya, Al-Makmun menyerahkan jabatan

kepada saudaranya, Al-Muktasim.

Padahal, saat itu pengaruh orang-orang Persia dan Turki amat

kuat di tubuh pemerintahan Islam. Akibatnya, jabatan khalifah seakan

hanya simbol. Keputusan-keputusan penting disetir oleh bawahan-

bawahannya. Setelah masa pemerintahan Al-Muktasim, khalifah-khalifah

di bawahnya berada dalam dominasi orang-orang Persia dan Turki.

Konflik internal mencari pengaruh yang lebih kuat ini membuat sistem

pemerintahan menjadi keropos. Akhirnya, pada abad ke-11 M, kekuatan

orang-orang Turki semakin kuat dengan hadirnya pengaruh Turki Seljuk.


Kemunduran Dinasti Abbasiyah juga disebabkan luasnya wilayah

kekuasaan yang tidak diimbangi dengan kapabilitas pemimpinnya. Pada

saat bersamaan, sistem keuangan negara tidak stabil dan kontestasi

politik yang demikian kuat menyebabkan Dinasti Abbasiyah kian

terpuruk.

 Kemunduran Dinasti Umayyah Andalusia

Setelah Dinasti Umayyah runtuh di Timur Tengah, kekuasaan

berpindah ke Andalusia (Spanyol) berkat pelarian Abdurrahman,

keturunan Bani Umayyah yang berhasil menegakkan pengaruh di

wilayah semenanjung Iberia ini.

Di Andalusia, ia mendirikan Dinasti Umayyah II yang sempat

menjadi pusat peradaban dan kebudayaan Islam. Kemudian, pada masa

khalifah Hajib Al-Mansur, mulai tampak benih-benih kemunduran di

pemerintahan Islam. Khalifah Hajib Al-Mansur mengambil-alih tampuk

kekhalifahan dari khalifah sebenarnya, Hisyam II, yang saat itu masih

berusia 11 tahun. Lantaran dipandang masih terlalu muda dan belum

pantas menjalankan negara, Hajib Al-Mansur mencoba mengambil-alih

pengaruh Hisyam II. Hajib Al-Mansur mempengaruhi para tentara

Andalusia. Akibatnya, amat sedikit tentara yang setia pada khalifah.

Selanjutnya, Hisyam II tak memiliki pilihan lagi kecuali

mempercayakan jabatan khalifah kepada Hajib Al-Mansur.

Setelah Khalifah Hajib Al-Mansur wafat, terjadi perebutan

kekuasaan di tubuh pemerintahan Dinasti Umayyah yang menjadikan

kacaunya sistem politik masa itu.

Pada 1013, Dewan Menteri menghapuskan jabatan khalifah dan

Andalusia terpecah ke banyak negara kecil. Dinasti Umayyah di


Andalusia kemudian memasuki masa kemunduran yang dikenal dengan

periode mulul al-thawaif.

Sejak itu, jabatan pemerintahan hanya menjadi simbol belaka.

Penguasanya adalah orang-orang Berber yang menyetir keputusan-

keputusan politik dan kebijakan Dinasti Umayyah di Andalusia.

 Kemunduran Dinasti Fatimiyyah

Dinasti Fatimiyyah mengalami kemuduran di masa khalifah Al-Hakim

Biamrillah. Usai ia meninggal, 8 khalifah sesudahnya jatuh pada

problem korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Sejak khalifah Al-Zafir (1021-1036) sampai khalifah terakhir Al-

Adid (1160-1171 M), para pejabat pemerintahan tenggelam dalam

kemewahan duniawi.

Urusan pemerintahan diserahkan kepada perdana menteri yang

mengambil dominasi di tubuh pemerintahan. Akibatnya, jabatan

khalifah hanya menjadi lembang negara, sedangkan pengaruh politik

berada di tangan para Perdana Menteri yang menjabat.

Selain itu, di masa khalifah Al-Hakim Biamrillah, terdapat konflik

antara aliran Sunni dan Syiah. Khalifah ini menganut aliran Syiah dan

ia mengangkatnya sebagai mazhab resmi negara. Padahal, mayoritas

penduduk Mesir berpaham Sunni.

Akibatnya, terjadi konflik antara rakyat dan penguasa. Apalagi

para qadhi dan hakim dipaksa mengeluarkan putusan sesuai dengan

ajaran Syiah yang melahirkan jurang perbedaan besar antara penduduk

dan sistem hukumnya.


C. TIGA KERAJAAN BESAR (TURKI USMANI DI TURKI,

MUGHAL DI INDIA, DAN SYAFAWI DI IRAN)

A. Sejarah Berdiri Dinasti Usmani

Kata Usman diambil dari pendiri pertama dinasti ini, yaitu Usman

ibn Erthogril ibn Sulaiman Syah dari suku Qayigh Ogbus Turki. Kerajaan

ini berasal dari suku pengembara yang bermukim di wilayah Asia Tengah.

Mereka tergolong suku Kayi, salah satu suku di Turki Barat yang terancam

gelombang keganasan serbuan bangsa Mongol.Usmani adalah dinasti

besar dan lama di dunia. Sejak tahun 1300 hingga tahun 1922 M kerajaan

ini telah diperintah oleh sebanyak 36 sultan. Usman adalah sultan pertama,

kemudian diikuti sultan lainnya dengan berdasarkan pada hubungan darah

dan garis keturunan bapak.

Dinasti Usmani mempertahankan etos ideal lama mereka, melihat

diri mereka sebagai awak perbatasan, berdedikasi untuk melakukan jihad

melawan musuh-musuh Islam. Kebanyakan penduduk Usmani bangga

menjadi bagian dari negara Syariat. Al –Qur’an mengajarkan bahwa umat

yang hidup menurut hukum Allah akan makmur.

Kerajaan Usmani menerima banyak pengaruh dari luar sistem monarki

absolut yang diterapkannya berasal dari Persia. Kebiasaan melakukan

perang merupakan pengaruh Asia Tengah. Konsep pemerintahannya

berasal dari Romawi Timur. Huruf, ilmu pengetahuan, dan agamanya

berasal dari Arab. Dapat dikatakan bahwa pengaruh terbesar yang

diterimanya berasal dari Arab.

Hubungan antara Islam dengan kerajaan Usmani mungkin tidak

sepenuhnya disadari oleh orang dewasa ini. Bendera kerajaan Usmani

bergambar bulan sabit dan bintang. Banyak negara muslim lainnya


menggunakan bendera bergambar itu. Kerajaan Usmani bersifat eklektik

yaitu memungkinkan terciptanya sistem kenaikan pangkat atau status yang

didasari pada kemampuan, terlepas dari latar belakang kasta atau kelas

sosial seseorang. Bilamana seseorang telah menjadi Muslim, terlepas

apakah mereka orang Arab, Slav, Armenia, atau orang Turki maka ia

berhak untuk menduduki jabatan tinggi di wilayah kerajaan, kecuali

jabatan sultan yang merupakan satu-satunya jabatan yang ditentukan

berdasarkan hubungan darah. Dengan demikian, faktor hubungan

keluarga, keturunan, dan kebangsawanan tidaklah menentukan dalam

banyak jabatan kerajaan. Pusat pemerintahan kerajaan Usmani adalah

istana Topkali di Istanbul. Selama 400 tahun istana Topkali menjadi pusat

kekuasaan Usmani dan dewasa ini dipromosikan sebagai “museum

terbesar dan terkaya di dunia”. Istana ini terletak di atas tanah seluas 14

hektar dan menghadap ke tiga lautan.

B. Sultan Dinasti Usmani

Dinasti Usmani berkuasa kurang lebih selama tujuh abad. Adapun sultan-

sultanya adalah sebagai berikut :

Dinasti Shafawi Persia

Sejarah Berdirinya Dinasti Shafawi

Kata Safawi berasal dari kata “syafi”, suatu gelar bagi nenek moyang

Sultan Shafawi yaitu Shafi al- Din Ishaq al- Ardabili, pendiri dan

pemimpin thariqah shafawiyah.

Pada mulanya di Persia tepatnya di Ardabil, sebuah kota di

Azerbeijan, terdapat sebuah gerakan thariqah yaitu orang-orang yang

menghususkan pada pembinaan dan pengarahan spiritual kagamaan.


Pada umumnya para sarjana sepakat bahwa dinasti Shafawi

merupakan peletak dasar bagi negara Persia Modern (Iran). Alasan untuk

hal ini misalnya dikemukakan oleh Bernard Lewis bahwa Shafawi telah

berhasil memperbaiki hukum, membuat pemerintahan yang stabil dan

teratur serta memerintah di hampir seluruh Iran oleh dinasti yang didirikan

orang asli Persia sendiri. Alasan yang disebut sekarang ini, menjadi

pertanda bahwa Shafawi mampu mengembalikan kedaulatan rakyat Persia

atas negerinya sendiri. Ini merupakan yang pertama kali semenjak

penguasaan orang Arab atas Persia delapan setengah abad sebelumnya.

Meski demikian, ada pula yang menyangsikan kesepakatan umum diatas.

Kesangsian itu didasarkan pada masalah kebangsaan Persia. Sarjana yang

mengemukakan hal itu adalah Hamka. Menurutnya, sebelum dinasti

Shafawi berdiri, banyak bangsa lain memasuki Persia, terutama setelah

kerajaan Iran keturunan Sasanid jatuh ketangan kaum muslim.

Perkembangan dan Kemajuan Dinasti Shafawi

Kemajuan yang dicapai dinasti Shafawi tidak hanya terbatas di bidang

politik. Tetapi di bidang yang lain, kesultanan ini juga mengalami berbagai

kemajuan. Kemajuan-kemajuan itu adalah antara lain sebagai berikut.

1. Bidang sosial.

Mengadakan pembenahan administrasi dengan cara

pengaturan pengontrolan dari pusat.

2. Bidang agama.

Abbas I menerapkan paham toleransi atau lapang dada yang sangat

besar.

3. Bidang ekonomi.
Salah satu jalur dagang laut antara negara Timur dan Barat yang

biasa diperebutkan oleh Belanda, Inggris dan Prancis, akhirnya

menjadi milik kerajaan Shafawi.

4. Bidang ilmu pengetahuan.

Tradisi keilmuan terus berkembang.

5. Bidang seni.

Bidang seni, kemajuan terlihat dari gaya arsitektur bangunan.

Seperti Masjid Syah yang dibangun apada tahun 1603 M.

Keruntuhan Dinasti Shafawi


Ada beberapa penyebab kemunduran dan kehancuran dinasti Shafawi,

diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Adanya konflik yang berkepanjangan dengan kerajaan Turki Usmani.

Berdirinya Shafawi bermadzab syi’ah menjadi ancaman bagi kerajaan

Turki Usmani.

2. Terjadinya degradasi moral yang melanda sebagian pemimpin kerajaan

Shafawi.

3.Pasukan Ghulam (budak-budak) yang dibentuk oleh Abbas I tidak

mempunyai semangat perjuangan yang tinggi.

4.Seringkali terjadi konflik intern dalam bentuk perebutan kekuasaan di

kalangan keluarga istana.

C. Dinasti Mughal India

Asal- Usul Kesultanan Mughal

Kesulatanan Mughal merupakan kelanjutan dari kesultanan Delhi.

Sebab ia menandai puncak perjuangan panjang untuk membentuk sebuah

imperium India Muslim yang didasarkan pada sebuah sintesa antara

warisan bangsa Persia dan bangsa India.


Kesultanan Mughal ini didirikan oleh Zahiruddin Muhammad Babur

(1526-1530 M). Secara geneologis Babur merupakan cucu Timur Lenk

dari pihak ayah dan keturunan Jenghi Khan dari pihak ibu. Ayahnya Umar

Mirza, penguasa Ferghana. Babur mewarisi daerah Ferghana dari orang

tuanya ketika ia masih berusia 11 tahun. Ia berambisi dan bertekad akan

menaklukkan Samarkand yang menjadi kota penting di Asia Tengah pada

masa itu. Pada mulanya ia mengalami kekalahan tetapi karena mendapat

bantuan dari dinasti Shafawi, Ismail akhirnya berhasil menaklukkan

Samarkand pada tahun 1494 M.

Kesultanan Mughal merupakan warisan kebesaran Timur Lenk,

dan bukan warisan keturunan India yang asli. Meskipun demikan,

kesultanan Mughal telah memberi warna tersendiri bagi peradaban orang-

orang India yang sebelumnya identik dengan agama Hindu.

Babur bukanlah orang India. Syed Mahmudannasir menulis, “Dia

bukan orang Mughal, didalam memoarnya dia menyebut dirinya orang

Turki. Akan tetapi, cukup aneh. Kesultanan yang didirikannya dikenal

sebagai kesultanan Mughal. Sebenarnya Mughal menjadi sebutan umum

bagi para petualang yang suka perang dari Persia di Asia Tengah, dan

meskipun Timur Lenk dan semua pengikutnya menyumpahi nama itu

sebagai nama musuhnya yang paling sengit. Nasib merekalah untuk dicap

dengan nama itu”.

Raja- raja Mughal

Selama masa pemerintahannya Kerajaan Mughal dipimpin oleh

beberapa orang raja. Raja-raja yang sempat memerintah adalah:

1. Zahiruddin Muhammad Babur (1526-1530) adalah : Raja pertama

sekaligus pendiri Kerajaan Mughal. Masa kepemimpinannnya digunakan


untuk membangun fondasi pemerintahan. Awal kepemimpinannya, Babur

masih menghadapi ancaman pihak-pihak musuh, utamanya dari kalangan

Hindu yang tidak menyukai berdirinya Kerajaan Mughal.

2. Tahta kesultanan Mughal diteruskan oleh anaknya yang bernama

Nashiruddin Humayun (1530- 1556 M).

3. Akbar Khan (1556- 1605 M). Gelarnya adalah Sultan Abdul Fath

Jalaluddin Akbar Khan.

4. Jahangi (1605- 1627 M), adalah putra Akbar. Masa pemerintahannya

kurang lebih 23 tahun.

5. Syah Jehan (1628- 1658 M).

Kemajuan yang Dicapai Kesultanan Mughal

1. Bidang politik dan militer.

Sistem yang menonjol adalah politik Sulh-e-Kul atau toleransi

universal.

2. Bidang ekonomi.

Memajukan pertanian terutama untuk tanaman padi,

kacang, tebu, rempah-rempah, tembakau dan kapas.

3. Bidang seni dan arsitektur.

Ciri yang menonjol dari arsitektur Mughal adalah pemakaian

ukiran dan marmer yang timbul dengan kombinasi warna-warni.

Bangunan yang menimbulkan ciri ini antara lain : Benteng Merah,

istana- istana, makam kerajaan dan yang paling mengagumkan adalah

Taj Mahal di Aghra.

Anda mungkin juga menyukai