Anda di halaman 1dari 15

ASHABAH BIN NAFSI, ASHABAH BIL GHAIRI, ASHABAH MA’AL

GHAIRI
Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas

Mata Kuliah :Fiqh Mawaris

Dosen Pengampu : Dr. H. Mashudi, M,Ag.

Di susun oleh :

1. Alanda Aulya Basyir (1902026078)


2. Farida (1902026083)
3. Mohammad Aldi Nazar Amrullah (1902026086)
4. Shafira Nurulita Putri (1902026103)

HUKUM PIDANA ISLAM C-2

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS WALISONGO SEMARANG

2020

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ahli waris merupakan orang-orang yang menerima harta peninggalan (mewarisi) orang
yang meninggal, baik karena keluarga, pernikahan, maupun karena memerdekakan
hamba sahaya. Seluruh ahli waris tidak mesti berada dalam derajat atau tingkatan yang
sama. Dengan demikian, pemberiannya didahulukan sesuai dengan martabat yang lebih
tinggi tingkatannya salah satunya adalah Ashabah. Ashabah merupakan ahli waris yang
mengambil seluruh sisa harta waris setelah ashhabul furudh mengambil dan menerima
bagiannya juga termasuk yang menguasai harta waris karena ia menjadi ahli waris
tunggal. Di mana ia termasuk orang yang kuat kekerabatannya dengan ayah. Yakni: Anak
laki-laki, Cucu laki-laki (keturunan anak laki-laki), Saudara kandung laki-laki. Saudara
laki-laki seayah, Paman (saudara kandung ayah).
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahsa adalah:
1. Apa pengertian dari Ashabah?
2. Bagaimana dasar hukum yang memuat tentang Ashabah?
3. Siapa saja yang menjadi ahli waris Ashabah?
4. Apa saja macam-macam Ashabah?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan yang akan dibahas adalah :
1. Untuk mengetahui pengertian dari Ashabah.
2. Untuk mengetahui dasar hukum yang memuat tentang Ashabah.
3. Untuk mengetaui susunan ahli waris Ashabah.
4. Untuk mengetahui macam-macam Ashabah.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ashabah

Ashabah adalah orang-orang yang mendapatkan sisa harta dari peninggalan simayit
setelah ashabul furud bagian-bagian yang telah ditentukan bagi mereka dan pembagiannya
tidak ditetapkan dalam salah satu dari enam macam pembagian harta warisan yang telah
ditetapkan oleh Al-Quran. Singkatnya, yang dimaksud dengan ashabah adalah keluarga laki-
laki yang dekat dari pihak ayah. Apabila tidak ada sisa harta dalam setelah ashabul furudh
menerima bagiannya maka ashabah tidak mendapatkan apa-apa.

Ahli waris ashabah ini harus menunggu sisa pembagian dari ahli waris yang telah
ditentukan bagiannya, dan keistimewaaan ashabah ini ia dapat menghabiskan seluruh sisa
harta simayit, apabila ahli waris yang ditentukan bagiannya sudah mengambil apa yang
menjadi hak-nya.1

Adapun bagian yang akan diperoleh oleh ahli waris ashobah dapat terjadi sebagai berikut:

1. Mendapat seluruh harta warisan si mayit, dengan syarat si mayit hanya meninggalkan
ahli waris dia sendiri.

2. Berbagi sama di antara para ashobah, apabila si mayit meninggalkan beberapa ashobah
yang sederajat.

3. Mendapat seluruh sisa lebih dari ahli waris, apabila si mayit meninggalkan ahli waris
yang menurut ketentuan hukum mendapat bagian tertentu.

4. Mendapat dua bagian yang laki-laki dan yang perempuan mendapat satu bagian apabila
di dalamnya ada perempuan yang sederajat.

1
Surahwadi K. dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam,(Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 96.
3
5. Apabila harta warisan sudah terbagi habis oleh ahli waris yang telah tertentu bagian,
maka ashobah tidak mendapat bagian sama sekali.

Berdasarkan penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa ahli warisashabah menerima


harta warisan di antara dua, yaitu menerima seluruh harta warisan atau menerima sisa harta
setelah dibagikan kepada ahli warisashabul furudh.

Dalil Al-Quran yang menyatakan bahwa para ashabah mendapatkan harta waris adalah
surah An-nisa’ ayat 176:

َ ‫ك ا ْمرٌُؤ ِإ ِن ۚ ْال َكاَل لَ ِة فِي ُي ْفتِي ُك ْم هَّللا ُ قُ ِل َيسْ َت ْف ُتو َن‬


‫ك‬ َ َ‫ْس َهل‬ ٌ ‫ك َما نِصْ فُ َفلَ َها ُأ ْخ‬
َ ‫ت َولَ ُه َولَ ٌد لَ ُه لَي‬ َ ‫ِإنْ َي ِر ُث َها َوه َُو ۚ َت َر‬
‫ُأْل‬
ِ ‫ان َفلَ ُه َما ْاث َن َتي‬
ۗ ‫ْن َكا َن َتا َفِإنْ ۚ َولَ ٌد لَ َها َي ُكنْ لَ ْم‬ َ ‫ْن َح ِّظ م ِْث ُل َفل َِّلذ َك ِر َو ِن َسا ًء ِر َجااًل ِإ ْخ َو ًة َكا ُنوا َوِإنْ ۚ َت َر‬
ِ ‫ك ِممَّا ُّلثلُ َث‬ ِ ‫ا ْن َث َيي‬

ُ‫َعلِي ٌم َشيْ ٍء ِب ُك ِّل َوهَّللا ُ ۗ َتضِ لُّوا َأنْ لَ ُك ْم هَّللا ُ ُي َبيِّن‬


Artinya: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah
memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak
mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki
mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika
saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-
saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua
orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak
sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.

Pada surah An-nisa’ ayat 176 di atas tidak disebutkan bagian saudara kandung. Namun,
yang disebutkan justru saudara kandung akan menguasai (mendapatkan bagian) seluruh harta
peninggalan yang ada bila ternyata pewaris tidak mempunyai keturunan.2

B. Dasar Hukum Ashabah

Dasar hukum ashabah dijelaskan pada Al-qur’an dan Hadist

2
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Hukum Waris Dalam Islam, (Depok: Palapa Alta Utama, 2013), hal 62.
4
1. Al-qur’an

Dalil Al-Qur’an yang dimaksud ialah:

‫ك ِممَّا ال ُّس ُدسُ ِم ْن ُه َما َوا ِح ٍد لِ ُك ِّل َوَأِل َب َو ْي ِه‬ َ ‫ث َفُأِل ِّم ِه َأ َب َواهُ َو َو ِر َث ُه َولَ ٌد لَ ُه َي ُكنْ لَ ْم َفِإنْ َۚولَ ٌد لَ ُه َك‬
َ ‫ان ِإنْ َت َر‬ ُّ ْ‫َفِإن‬
ُ ُ‫ۚالثل‬

َ ‫ال ُّس ُدسُ َفُأِل ِّم ِه ِإ ْخ َوةٌ لَ ُه َك‬


ۚ‫ان‬
Artinya: “dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga”
(an-Nisa’: 11).

Dalam ayat ini disebutkan bahwa bagian kedua orang tua (ibu dan bapak) masing-masing
mendapatkan seperenam (1/6) apabila pewaris mempunyai keturunan. Tetapi bila pewaris
tidak mempunyai anak, maka seluruh harta peninggalannya menjadi milik kedua orang tua.
Ayat tersebut juga telah menegaskan bahwa bila pewaris tidak mempunyai anak, maka ibu
mendapat bagian sepertiga (1/3). Namun, ayat tersebut tidak menjelaskan berapa bagian
ayah. Dari sini dapat kita pahami bahwa sisa setelah diambil bagian ibu, dua per tiganya (2/3)
menjadi hak ayah. Dengan demikian, penerimaan ayah disebabkan ia sebagai ‘ashabah.

Dalil Al-Qur’an yang lainnya ialah (artinya) “jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak
mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki
mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak.” (an-Nisa’:
176).

Pada ayat ini tidak disebutkan bagian saudara kandung. Namun, yang disebutkan justru
saudara kandung akan menguasai (mendapatkan bagian) seluruh harta peninggalan yang ada
bila ternyata pewaris tidak mempunyai keturunan. Kemudian, makna kalimat “wahuwa
yaritsuha” memberi isyarat bahwa seluruh harta peninggalan menjadi haknya. Inilah makna
‘ashabah.

2. Hadist

Sedangkan dalil dari As-Sunnah adalah apa yang disabdakan Rasulullah saw:
5
‫اِئض ِبَأهْ لِ َها َف َما َبق َِي َفه َُو َِأل ْولَى َرج ٍُل َذ َك ٍر‬
َ ‫َأ ْل ِحقُوا ْال َف َر‬.

Artinya: “Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang tersisa
menjadi hak laki-laki yang paling utama.” (HR Bukhari)
Hadits ini menunjukkan perintah Rasulullah saw. agar memberikan hak waris kepada
ahlinya. Maka jika masih tersisa, hendaklah diberikan kepada orang laki-laki yang paling
utama dari ‘ashabah.

Ada satu keistimewaan dalam hadits ini menyangkut kata yang digunakan Rasulullah
dengan menyebut “dzakar” setelah kata “rajul”, sedangkan kata “rajul” jelas menunjukkan
makna seorang laki-laki. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari salah paham, jangan
sampai menafsirkan kata ini hanya untuk orang dewasa dan cukup umur. Sebab, bayi laki-
laki pun berhak mendapatkan warisan sebagai ‘ashabah dan menguasai seluruh harta warisan
yang ada jika dia sendirian. Inilah rahasia makna sabda Rasulullah saw. dalam hal
penggunaan kata “dzakar”.

C. Susunan Ahli Waris Ashabah

Ahli waris yang masuk golongan ashabah ada 14 (empat belas) golongan, yaitu:3

1. Anak laki-laki.

2. Anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu laki-laki) terus ke bawah.

3. Ayah.

4. Kakek laki-laki terus ke atas.

5. Saudara laki-laki kandung.

6. Saudara laki-laki se-ayah.

7. Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung.

8. Anak laki-laki dari saudara laki-laki se-ayah.

3?
Moh. Rifaa’I, Ilmu Fiqh Islam Lengkap, (Semarang: CV Toha Putra, 1978), hal. 518-519.
6
9. Paman kandung.

10. Paman se-ayah.

11. Anak laki-laki dari paman laki-laki kandung.

12. Anak laki-laki dari paman laki-laki se-ayah.

13. Laki-laki yang memerdekakan.

14. Perempuan yang memerdekakan.

D. Macam-Macam Ashabah

Para ulama membagi ashabah dalam tiga kategori, yaitu:4

1. Ashabah bi nafsih, yaitu orang yang menjadi ashabah disebabkan oleh dirinya sendiri,
maksdunya adalah ashabah yang menjadi ashabah disebabkan karena kedudukannya.
Ashabah bi nafsih merupakan semua laki-laki yang nasabnya dengan orang yang
meninggal tidak diselangi oleh perempuan. Mereka adalah :

a. Anak laki-laki

b. Cucu laki-laki dari pihak anak laki-laki

c. Ayah

d. Kakek dari pihak ayah

e. Saudara laki laki sekandung

f. Saudara laki-laki seayah

g. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung

h. Anak laki- laki dari saudara laki-laki seayah

i. Paman sekandung
4
Ash-Shabuni, Pembagian Waris, hal 60-73. Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al-Ma’arif, 1994), hal, 339-
347. Dian Kairul Umam, Fiqh Mawaris, hal. 75-94. Amir Syarifuddin, Hukum kewarisan, hal. 233-249.
7
j. Paman seayah

k. Anak laki-laki dari pihak paman sekandung

l. Anak laki-laki dari pihak paman seayah

m. Mu’tiq (orang laki-laki yang memerdekakan budak)

n. Ashabah mu’tiq

Dalam pengertian lain ashabah bi nafsi adalah setiap laki-laki yang antara dia dan si
mayyit tidak ada ahli waris perempuan, atau yang langsung berlangsung dengan si mayyit
tanpa ada hubungan ahli waris perempuan. Dalil warisnya adalah firman Allah SWT

َ ‫ال ُّس ُدسُ َفُأِل ِّم ِه ةٌِإ ْخ َو لَ ُه َك‬....


ۚ ْ‫ان َفِإن‬

Artinya: “….. jika yang meninggal itu tidak memiliki anak dan ia diwarisi oleh kedua
orangtuanya (ibu bapak) maka ibu memperoleh 1/6
(QS. An-Nisa’: 11).

Kondisi ahli waris ashabah bi nafsi ada tiga, yaitu mendapatkan semua harta jika ia hanya
sendirian, mendapatkan sisa bagian setelah dibagi-bagikan kepada ashabul furud, dan jika
seluruh warisan habis dibagikan, ia tidak mendapatkan warisan.

1) Ashib mendapat seluruh warisan jika ia hanya sendirian. Contoh pertama, seseorang
wafat meninggalkan ayah dalam hal ini ayah mendapat semua harta warisan sebagai
ashabah, contoh kedua seseorang wafat meninggalkan ayah dan saudara kandung laki-
laki dalam hal ayah mendapatkan semua harta warisan, sedangkan saudara kandung laki-
laki terhalang oleh (mahjub).

2) Ashib mendapatkan sisa warisan, setelah warisan itu dibagi-bagikan kepada ashabul
furud lebih dahulu. Contohnya seseorang wafat meninggalkan ibu dan ayah dalam hal ini
ibu memperoleh 1/3 dari harta warisan sedangkan ayah memperoleh sisanya.

3) Jika harta warisan telah habis dibagi kepda yang berhak, ashabah tidak mendapatkan
harta warisan. Contohnya seseorang wafat meninggalkan saudara kandung perempuan

8
dan saudara perempuan se ayah, dua saudara perempuan se ibu, dan paman dalam hal ini
saudara kandung perempuan memperoleh ½ bagian dari harta warisan sedangkan saudara
perempuan seayah memperoleh 1/6 untuk melenkapi 2/3, dua saudara perempuan seibu
memperoleh 1/3 bagian sedangkan paman sebagai ashabah tidak memperoleh harta
warisan. 5

2. Ashabah bil ghairi, yaitu orang yang menjadi ashabah karena orang lain, dan mereka
sama-sama menerima ashabah. Mereka adalah;

a. Anak perempuan bersama dengan anak laki-laki

b. Cucu perempuan bersama dengan cucu laki-laki

c. Saudara perempuan sekandung bersama dengan saudara laki-laki sekandung

d. Saudara perempuan seayah berama dengan saudara laki-laki seayah

Contoh kasus a : Seseorang wafat meninggalkan seorang anak kandung laki-laki dan
seorang anak kandung perempuan, dalam hal ini seluruh harta warisan dibagi diantara
mereka berdua, sebagai ashabah dengan ketentuan bagian laki-laki adalah dua kali lipat
bagian perempuan.

Contoh kasus b: Seseorang wafat maninggalkan cucu laki-laki dan dua cucu perempuan,
dalam hal ini harta warisan menjadi milik mereka berdua sebagai ashabah dengan ketentuan
bagian laki-laki adalah dua kali lipat bagian perempuan.

Contoh kasus c: Seseorang wafat meninggalkan saudara kandung laki-laki dan


perempuan, dala hal ini harta warisan menjadi milik mereka berdua, sebagai ashabah dengan
ketentuan bagian laki-laki adalah dua kali lipat dari bagian perempuan.

Contoh kasus d: Seseorang wafat meninggalkan saudara laki-laki seayah dan saudara
perempuan seayah, dalam hal ini harta warisan menjadi milik mereka berdua sebagai ashabah
dengan ketentuan laki-laki adalah dua kalilipat bagian perempuan.

5
M. Thaha Abu Ela, Hukum Waris, (Solo: Tiga Serangkai, 2007), hal 402-403
9
Ketentuan yang berlaku, apabila mereka bergabung menerima bagian ashabah maka
bagian ahli waris laki-laki adalah dua kali bagian perempuan. Dasar hukumnya terdapat
dalam firman Allah:

ِ ‫َر ۖ َأوْ اَل ِد ُك ْم فِي هَّللا ُ يُو‬ ‫ُأْل‬


... ۚ ‫صي ُك ُم‬ ِ ‫ا ْنثَيَي ِْن َحظِّ ِم ْث ُل لِل َّذك‬

Artinya: “Allah telah menetapkan bagian warisan anak-anakmu untuk seorang anak laki-
laki sama dengan dua orang anak perempuan” (QS. An-Nisa’: 11). Ashabah bil ghair
memiliki dua sisi yaitu,

1) Ashabah, yaitu wanita yang memiliki hak waris setengah dari harta warisan jika ia sendiri
atau dua sepertiga jika ia berdua atau lebih.

2) Ghair, yaitu laki-laki yang bergabung bersama wanita karena berada pada derajat yang
sama dan memiliki hubungan kekerabatan yang sangat kuat.

Adapun beberapa contoh dari ashabul bil ghair yaitu:

 Seseorang wafat meninggal anak perempuan, ibu, dan paman, dalam hal ini anak
perempuan memperoleh ½ dari harta warisan, ibu memperoleh 1/6 berdasarkan furudh
dan paman mendapatkan sisanya ashabah

 Seseorang wafat meninggalkan 2 anak perempuan, istri, dan paman, dalam hal ini dua
anak perempuan memperoleh 2/3 bagian berdasarkan ketentuan furudh, istri
mendapatkan 1/8 bagian berdasarkan ketentuan furudh, dan paman mendapatkan sisanya
ashabah.

 Seseorang wafat meninggalkan ayah, ibu, anak laki-laki, dan anak perempuan dalam hal
ini, ayah memperoleh 1/6 bagian berdasarkan ketentuan furdh, ibu memperoleh 1/6
bagian berdasarkan ketentuan furudh, dan anak laki-laki dan anak perempuan
mendapatkan sisanya sebagai ashabah dengan ketentuan bagian kali-laki adalah dua kali
lipat bagian perempuan.6

6
Ibid, hal. 409.
10
Dalam pengertian lain ashabah bil ghair adalah warisan dengan kaidah bagian laki-laki
adalah dua kali lipat bagian perempuan. Dalam penjelasan kedua ashabah bil ghair adalah
setiap wanita yang berhak memperoleh setengah dari harta warisan jika ia hanya sendirian
atau 2/3 jika berdua atau lebih.

3. Ashabah ma’al ghairi, yaitu orang yang menjadi ashabah karena orang lain, tetapi orang
lain itu tidak menerima ashabah. Mereka adalah:

 Saudara perempuan sekandung, jika bersama dengan anak perempuan atau cucu
perempuan dari anak laki-laki.

 Saudara perempuan seayah, jika bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan
dari anak laki-laki

Contoh kasus a: Seseorang wafat meninggalkan seorang anak perempuan cucu


perempuan dan saudara kandung perempuan, dalam hal ini seorang anak perempuan
memperoleh ½ dari harta warisan, cucu perempuan memperoleh 1/6 dari harta warisan
untuk melengkapi 2/3, dan saudara kandung perempuan memperoleh sisa sebagai
ashabah

Contoh kasus b : Seorang wanita wafat meninggalkan suami, ibu, dua anak perempuan,
dan saudara perempuan seayah, dalam hal ini suami memperoleh ¼ dari harta warisan, ibu
memperoleh 1/6 dari harta warisan, dua anak perempuan memperoleh 2/3 bagian.

Dari contoh diatas dapat diketahui bahwa ashabah ma’al ghair memiliki dua kondisi
dalam warisan:

 Ia mewarisi apa yang tersisa setelah ashabul furud sebagai mana dalam contoh pertama.

 Ia tidak mewarisi apapun. Hal itu terjadi jika seuruh harta warisan telah habis dibagikan
kepada asbabul furud.

Contoh Perhitungan Waris Ashabah

Seorang meninggal dengan meninggalkan ahli waris:

11
 Suami
 4 Anak Lk

 Nenek

 4 Anak Perempuan

Berapakah bagian yang diperoleh masing-masing ahli waris bila tirkah atau harta
peninggalan si mayit berjumlah Rp. 54.360.000,- ?

Jawab:  
Bagian Akar Harta Waris:AM = Hasil
Ahli Waris
Waris Masalah (AM)=12 4.530.000 perkalian
Suami 1/4 12 x 1/4 = 3 x 4.530.000 Rp.13.590.000
Nenek 1/6 12 x 1/6 = 2 x 4.530.000 Rp. 9.060.000
4 Anak Laki-laki dan Karena mendapat sisa,
Sisa x 4.530.000 Rp. 31.710.000
Perempuan maka hasilnya (12-5) = 7 
*NB: Akar Masalah berjumlah 12 diambil dari penyebut 4 dan 6

Ketentuan garis pembagian waris adalah 2:1 untuk laki-laki dengan perempuan, maka
perhitungannya adalah:

 Anak laki-laki berjumlah 4, karena mendapat 2 bagian, maka setiap 1 anak laki-laki
dikalikan 2. Jadinya seperti ini: 1 x 2 + 1 x 2 + 1 x 2 + 1 x 2 = 8 untuk anak laki-laki. 
 Untuk anak perempuan tetap berjumah 4

Selanjutnya adalah 12 dibagi dengan Hasil perkalian yang diperoleh anak laki-laki dan
perempuan yang terdapat di dalam tabel.
1. Anak perempuan = Rp.31.710.000 : 12 = Rp.2.642.500 untuk setiap 1 orang anak
perempuan. Karena ada 4 anak perempuan, maka hasil tersebut dikali dengan 4.
Hasilnya adalah Rp. 2.642.500 x 4 = Rp. 10.570.000 untuk 4 orang anak perempuan.
2. Anak laki-laki = Rp.2.642.500 x 2 (karena ketentuan 2:1) = Rp.5.285.000 untuk setiap 1
anak laki-laki. Sedangkan untuk 4 orang anak laki-laki, maka Rp.5.285.000 x 4 =
Rp.21.140.000
12
Kesimpulannya adalah:
 Suami mendapatkan harta waris sebesar Rp.13.590.000
 Nenek mendapatkan harta waris sebesar Rp.9.060.000

 4 orang anak laki-laki mendapatkan harta waris sebesar Rp.21.140.000

 4 orang anak perempuan mendapatkan harta waris sebesar Rp.10.570.000

Jika semuanya dijumlahkan, maka akan mendapat hasil Rp.54.360.000. Ini sesuai dengan
perhitungan harta wairs yang dimiliki oleh si mayit.7

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ashabah adalah orang-orang yang mendapatkan sisa harta dari peninggalan simayit
setelah ashabul furud bagian-bagian yang telah ditentukan bagi mereka dan pembagiannya
tidak ditetapkan dalam salah satu dari enam macam pembagian harta warisan yang telah

7
http://yuk-menikah.blogspot.com/2018/02/macam-macam-ashabah-dan-contoh-perhitungan.html , diakses pada
tanggal 27 April 2020, pukul 15:38 WIB.
13
ditetapkan oleh Al-Quran. Dasar hukum yang memuat tentang Ashabah berasal dari Al-
Qur’an dan Hadist.
Ahli waris yang masuk golongan ashabah ada 14 (empat belas) golongan, yaitu: Anak
laki-laki, Anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu laki-laki) terus ke bawah, Ayah, Kakek
laki-laki terus ke atas, Saudara laki-laki kandung, Saudara laki-laki se-ayah, Anak laki-laki
dari saudara laki-laki kandung, Anak laki-laki dari saudara laki-laki se-ayah, Paman
kandung, Paman se-ayah, Anak laki-laki dari paman laki-laki kandung, Anak laki-laki dari
paman laki-laki se-ayah, Laki-laki yang memerdekakan, Perempuan yang memerdekakan.

Para ulama membagi ashabah dalam tiga kategori, yaitu:

1. Ashabah bi nafsih, yaitu orang yang menjadi ashabah disebabkan oleh dirinya sendiri,
maksdunya adalah ashabah yang menjadi ashabah disebabkan karena kedudukannya.

2. Ashabah bil ghairi, yaitu orang yang menjadi ashabah karena orang lain, dan mereka
sama-sama menerima ashabah.

3. Ashabah ma’al ghairi, yaitu orang yang menjadi ashabah karena orang lain, tetapi orang
lain itu tidak menerima ashabah.

DAFTAR PUSTAKA

Surahwadi K. dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam,(Jakarta: Sinar Grafika, 2004).

Muhammad Ali Ash-Shabuni, Hukum Waris Dalam Islam, (Depok: Palapa Alta Utama, 2013)

Moh. Rifa’I, Ilmu Fiqh Islam Lengkap, (Semarang: Cv Toha Putra, 1978)

14
Ash-shabuni, pembagian waris..., hlm. 60-73. Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al-
Ma’rif,1994) hlm. 339-347. Dian Kairul Umam, Fiqh Mawaris, hlm. 75-94. Amir Syarifuddin,
hukum Kewarisan, hlm. 233-249.

M. Thaha Abul Ela Khalifah, Hukum Waris, (Cet., 1. Solo: Tiga Serangkai, 2007)

http://yuk-menikah.blogspot.com/2018/02/macam-macam-ashabah-dan-contoh-perhitungan.html
, diakses pada tanggal 27 April 2020, pukul 15:38 WIB.

15

Anda mungkin juga menyukai