SAP Autisme
SAP Autisme
DI SUSUN OLEH:
(KELOMPOK 5)
1. Elisa Apriana
2. Erna Andi
3. Firman Tegar Diaz
4. Mila Ruswanti
5. Savitri Nielvana D
6. Vera Wahyu Utari
Dari beberapa pendapat pengertian diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa dengue
haemoragic fever adalah suatu penyakit yang disebabkan virus dengue golongan arbovirus
yang ditularkan oleh gigitan nyamuk aedes aegypti dan dapat mengakibatkan kematian
2. Etiologi
Penyebab dengue hemorhagic fever (DHF) dinamakan virus dengue tipe 1, tipe 2, tipe
3,tipe 4. Vektor dari DHF adalah Aedes aegypti, aedes albopictus, aedes aobae, aedes cooki,
aedes hakanssoni, aedes polynesis, aedes pseudoscutellaris, aedes rotumae (Sumarmo,
2009).
Virus dengue termasuk Flavivirus secara serologi terdapat 4 tipe yaitu tipe1, tipe 2, tipe
3, tipe 4. Dikenal 3 macam arbovirus Chikungunyam Onyong-nyong dari genus Togavirus
dan West Nile Fever dari genus Flavivirus, yang mengakibatkan gejala demam dan ruam
yang mirip DB (Widagdo, 2011).
3. Tanda dan gejala
Kriteria kliniknya yaitu demam tinggi mendadak dan terus menerus selama 2-7 hari
dengan sebab yang tidak jelas dan hamper tidak dapat dipengaruhi oleh antipiretika,
manifestasi perdarahan: manipulasi (uji tourniquet positif) dan spontan (petekie, ekimose,
perdaharahan gusi, hematemesis atau melena), pembesaran hati, dan syok. Sedangkan
kriteria laboratoriknya adalah trombositopenia: jumlah trombosit ≤ 100.000/mm3 dan
hemokonsentrasi : meningginya nilai hematocrit atau Hb ≥20% dibandingkan dengan nilai
pada masa konvalesense (Rampengan, 2012).
Berdasarkan rincian gejalanya, demam dengue dapat dibagi atas empat derajat, yaitu :
Tabel 2.1 Derajat demam dengue
Trombosit berfungsi sebagai pembekuan darah dan penghentian perdarahan, begitu pula
kerusakan dinding pembuluh darah trombosit akan berkumpul di situ, dan menutup
lubang kebocoran dengan saling melekat, berkelompok menggumpal dan kemudian
dilanjutkan dengan proses pembekuan darah, jumlah trombosit 150.000-450.000
keping/mm3.
d. Plasm Plasma
merupakan bagian yang encer tanpa sel-sel darah, berwarna kekuningan hampir 40% terdiri
dari air. Struktur dinding kapiler tersusun atas 1 lapisan uniseluler sel-sel endotelial dan
di sebelah luarnya dikelilingi membran dasar ada 2 jalan penghubung yaitu celah
intraseluler yang merupakan celah tipis diantara sel-sel endotelial. Tiap celah ini
diselingi sekelompok protein yang mengikat sel endotelial agar bersama-sama. Celah
tersebut berada di tepi endotelial, pada sel endotelial terdapat juga banyak gelombang
plasmalemal untuk menghambat paket plasma kecil/cairan ekstraselular.
Proses pemindahan dan cairan melalui difusi, zat-zat yang larut dalam lemak dapat berdifusi
secara langsung melewati dinding endotelial kapiler, zat yang larut dalam lemak
terutama O2 dan CO2. Zat yang larut dalam air hanya dapat berdifusi melalui pori-pori
interseluler pada membran kapiler. Zat tersebut misalnya natrium, klorida dan ari itu
sendiri.a darah
Tekanan dalam kapiler cenderung mendorong cairan dan zat terlarutnya melewati pori-pori
kapiler ke dalam ruang interstisial, sebaliknya tekanan osmotik yang ditimbulkan oleh
protein plasma cenderung menimbulkan gerakan cairan osmosis dari ruang interstisial ke
dalam darah. Tekanan osmotik ini mencegah hilangnya volume cairan yang cukup
bermakna dari darah ke dalam ruang interstisial.
e. Patofisiologi
Virus dengue masuk ke dalam tubuh kemudian akan beraksi dengan antibody dan
terbentukalah kompleks virus antibody, dalam sirkulasi akan mengaktivasi system
komplemen, akibat aktivasi C3 dan C5 akan dilepas C3a dan C5a, dua peptida yang
berdaya untuk melepaskan histamin dan merupakan mediator kuat sebagai faktor
meningginya
pemeabilitas dinding pembuluh darah. Peningkatan permeabilitas dinding kapiler
mengakibatkan berkurangnya volume plasma, sehingga terjadi hipotensi,
hemokonsentrasi, dan hipoproteinemia serta efusi dan renjatan (syok) (Suriadi, 2010).
f. pathway
Arbovirus (melalui
Beredar dalam aliran darah Infeksi virus dengue (viremia)
nyamuk
aedes
Trombositopen
Renjatan hipovolemik dan
M erangsang &
hipocensi
mengaktivasi factor
pembekuan
Kebocoran plasma
DIC
Resikosyok (hipovolemik)
Kekurangan volume cairan Ke extravaskuler
g. Komplikasi
Menurut Widagdo (2012) komplikasi DBD adalah sebagai berikut
1) Gagal ginjal.
2) Efusi pleura.
3) Hepatomegali.
4) Gagal jantung
h. Pemeriksaan penunjang
Menurut Susalaningrum,R. (2013) pada pemeriksaan darah
pasien DHF akan dijumpai sebagai berikut.
1) Hb dan PCV meningkat (> 20 %).
2) Trmbisitopenia (< 100.000/ml).
3) Leukopenia (mungkin normal atau lekositosis)
4) Ig.D dengue positif
5) Hasil pemeriksaan kimia darah menunjukkan hipoproteinemia,
hipokloremia, hiponatremia.
6) Urin dan pH darah mungkin meningkat.
7) Asidosis metabolik: pCO2 < 35-40 mmHg, HCO3 rendah.
8) SGOT/SGPT mungkin meningkat.
i. Pencegahan
Menurut Prasetyono, D.S (2013) pencegahan yang dilakukan dengan cara menghindari
gigitan nyamuk di waktu pagi sampe sore, karena nyamuk aedes aktif di siang hari
(bukan malam hari). Hindari pula lokasi yang banyak nyamuknya di siang hari, terutama
di daerah yang ada penderita DBD-nya. Berikut beberapa cara paling efektif dalam
mencegah penyakit DBD:
1) Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) melalui pengelolaan sampah padat, modifikasi
tempat perkembangbiakan nyamuk hasil samping kegiatan manusia, dan perbaikan
desain rumah.
1) Pemeliharaan ikan pemakan jentik (ikan adu/ikan cupang) di tempat air kolam
2) Pengasapan (fogging) dengan menggunakan malathion dan fenthion.
3) Memberikan bubuk abate (themophos) pada tempat-tempat penampungan air, seperti
gentong air, vas bunga, kolam dan lain-lain.
j. Penatalaksanaan
Menurut WHO, (2009) Tatalaksana DHF yaitu :
1) Tatalaksana Demam Berdarah Dengue tanpa syok
Anak dirawat di rumah sakit
Berikan anak banyak minum larutan oralit atau jus buah, air tajin, air sirup, susu, untuk
mengganti cairan yang hilang akibat kebocoran plasma, demam, muntah/diare. Berikan
parasetamol bila demam. Jangan berikan asetosal atau ibuprofen karena obat-obatan ini
dapat merangsang terjadinya perdarahan.
Berikan infus sesuai dengan dehidrasi sedang:
- Berikan hanya larutan isotonik seperti Ringer laktat/asetat
- Kebutuhan cairan parenteral
Berat badan < 15 kg : 7 ml/kgBB/jam
Berat badan 15-40 kg : 5 ml/kgBB/jam
Berat badan > 40 kg : 3 ml/kgBB/jam
- Pantau tanda vital dan diuresis setiap jam, serta periksa laboratorium
(hematokrit, trombosit, leukosit dan hemoglobin) tiap 6 jam
- Apabila terjadi penurunan hematokrit dan klinis membaik, turunkan jumlah cairan
secara bertahap sampai keadaan stabil.
Cairan intravena biasanya hanya memerlukan waktu 24–48 jam sejak kebocoran pembuluh
kapiler spontan setelah pemberian cairan. Apabila terjadi perburukan klinis berikan
tatalaksana sesuai dengan tata laksana syok terkompensasi (compensated shock).
2) Tatalaksana Demam Berdarah Dengue dengan Syok
Perlakukan hal ini sebagai gawat darurat. Berikan oksigen 2-4 L/menit secarra nasal. Berikan
20 ml/kg larutan kristaloid seperti Ringer laktat/asetat secepatnya. Jika tidak
menunjukkan perbaikan klinis, ulangi pemberian kristaloid 20 ml/kgBB secepatnya
(maksimal 30 menit) atau pertimbangkan pemberian koloid 10-20ml/kgBB/jam
maksimal 30 ml/kgBB/24 jam. Jika tidak ada perbaikan klinis tetapi hematokrit dan
hemoglobin menurun pertimbangkan terjadinya perdarahan tersembunyi; berikan
transfuse darah/komponen. Jika terdapat perbaikan klinis (pengisian kapiler dan perfusi
perifer mulai membaik, tekanan nadi melebar), jumlah cairan dikurangi hingga 10
ml/kgBB/jam dalam 2-4 jam dan secara bertahap diturunkan tiap 4-6 jam sesuai kondisi
klinis dan laboratorium. Dalam banyak kasus, cairan intravena dapat dihentikan setelah
36-48 jam. Ingatlah banyak kematian terjadi karena pemberian cairan yang terlalu
banyak daripada pemberian yang terlalu sedikit.
3) Tatalaksana komplikasi perdarahan
Jika terjadi perdarahan berat segera beri darah bila mungkin. Bila tidak, beri koloid dan
segera rujuk.
BAB III
DANGUE SINDROM SYOK
Spektrum klinis infeksi virus dengue bervariasi tergantung dari faktor yang
mempengaruhi daya tahan tubuh dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus.
Dengan demikian infeksi virus dengue dapat menyebabkan keadaan yang bermacam-
macam, mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), demam ringan yang tidak spesifik
(undifferentiated febrile illness), Demam Dengue, atau bentuk yang lebih berat yaitu
Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Dangue sindrom syok (DSS).
B. Etiologi
Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan oleh virus
dengue, yang termasuk genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Virus mempunyai empat
serotipe yang dikenal dengan DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4; dengan serotipe DEN-3
yang dominan di Indonesia dan paling banyak berkaitan dengan kasus berat. Terdapat reaksi
silang antara serotipe Dengue dengan Flavivirus lainnya. Infeksi oleh salah satu serotipe
Dengue akan memberikan imunitas seumur hidup, namun tidak ada imunitas silang dengan
jenis serotipe lain.
C. Epidemiologi
Saat ini, infeksi virus dengue menyebabkan angka kesakitan dan kematian paling banyak
dibandingkan dengan infeksi arbovirus lainnya. Setiap tahun, di seluruh dunia, dilaporkan
angka kejadian infeksi dengue sekitar 20 juta kasus dan angka kematian berkisar 24.000 jiwa.
Sampai saat ini DBD telah ditemukan di seluruh propinsi di Indonesia, dan 200 kota telah
melaporkan adanya kejadian luar biasa. Incidence rate meningkat dari 0,005 per 100,000
penduduk pada tahun 1968 menjadi berkisar antara 6-27 per 100,000 penduduk (1989-1995).
Mortalitas DBD cenderung menurun hingga 2% tahun 1999.
Pola berjangkit infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara.
Pada suhu yang panas (28-32°C) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes akan
tetap bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di Indonesia, karena suhu udara dan
kelembaban tidak sama di setiap tempat, maka pola waktu terjadinya penyakit agak
berbeda untuk setiap tempat. Di Jawa pada umumnya infeksi virus dengue terjadi mulai
awal Januari, meningkat terus sehingga kasus terbanyak terdapat pada sekitar bulan
April-Mei setiap tahun.
E. Patogenesis
Patogenesis DBD dan SSD masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua
teori yang banyak dianut adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary
heterologous infection) dan hipotesis immune enhancement.
Halstead (1973) menyatakan mengenai hipotesis secondary heterologous infection.
Pasien yang mengalami infeksi berulang dengan serotipe virus dengue yang heterolog
mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD/Berat. Antibodi
heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi
dan membentuk kompleks antigen antibodi kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari
membran sel leukosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus
tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel
makrofag (respon antibodi anamnestik)
Dalam waktu beberapa hari terjadi proliferasi dan transformasi limfosit dengan
menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Terbentuknya virus kompleks
antigen-antibodi mengaktifkan sistem komplemen (C3 dan C5), melepaskan C3a dan
C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah sehingga plasma
merembes ke ruang ekstravaskular. Volume plasma intravaskular menurun hingga
menyebabkan hipovolemia hingga syok.
Hipotesis kedua antibody dependent enhancement (ADE), suatu proses yang akan
meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai
tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian
menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan
perembesan plasma kemudian hipovolemia dan syok. Perembesan plasma ini terbukti
dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan
terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Virus dengue dapat
mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan replikasi baik
pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan
genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus dan
viremia, peningkatan virulensi dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah
Gambar 3. Patogenesis Syok pada DBD
No
FASE KEGIATAN PENYULUH KEGIATAN PESERTA WAKTU
.
1. Pra Interaksi Menyiapkan Satuan Acara 3 menit
Penyuluhan & bahan untuk
leaflet.
Menentukan kontrak waktu
& materi dengan Orang tua
klien (anak) satu hari
sebelum penyuluhan
dilakukan
2. Kerja Membuka kegiatan dengan Menjawab salam 1 menit
mengucapkan salam.
KRITERIA EVALUASI
5. Evaluasi Struktur
Kesiapan materi
Kesiapan SAP
Kesiapan media : leaflet
Peserta hadir ditempat penyuluhan
Penyelenggaraan penyuluhan dilaksanakan di poli anak RSUD. Abdul Wahab Sjahranie
Samarinda
Pengorganisasian penyelenggaraan penyuluhan dilakukan sebelumnya
6. Evaluasi Proses
Fase dimulai sesuai dengan waktu yang direncanakan.
Peserta antusias terhadap materi penyuluhan
Peserta mengajukan pertanyaan dan menjawab pertanyaan secara benar
Suasana penyuluhan tertib
Tidak ada peserta yang meninggalkan tempat penyuluhan
Jumlah hadir dalam penyuluhan minimal 10 orang ibu.
7. Evaluasi Hasil
Orang tua klien (anak) dapat :
Menjelaskan pengertian DBD
Menjelaskan penyebab DBD
Menjelaskan tanda dan gejala DBD
Menjelaskan cara perawatan pada anak DBD di rumah sebelum di bawa ke rumah sakit
Menjelaskan kapan anak harus di bawa ke rumah sakit
Menjelaskan cara pencegahan DBD di rumah
DAFTAR PUSTAKA
1. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam Berdarah Dengue. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi IV. Jilid III. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Indonesia. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2010
5. Dengue Virus Infection. Centers for Disease Control and Prevention. Division of Vector
Borne and Infectious Diseases. Atlanta : 2010
A. Latar Belakang
Kesehatan merupakan sesuatu yang amat penting dalam kehidupan manusia. Dalam
mencapai manusia yang sehat secara fisik, manusia harus tahu bahwa sistem imunlah yang
bekerja dalam menangkal semua penyakit yang menyerang tubuh kita. Di dalam melindungi
tubuh kita, sistem imun memiliki kelainan-kelainan yang ada baik akibat keturunan ataupun
akibat penyakit. Salah satu kelainan tersebut adalah hemofilia.
Hemofilia adalah penyakit perdarahan akibat kekurangan faktor pembekuan darah
yang diturunkan (herediter) secara sex-linked recessive pada kromosom X (Xh). Meskipun
hemofilia merupakan penyakit herediter tetapi sekitar 20-30% pasien tidak memiliki riwayat
keluarga dengan gangguan pembekuan darah, sehingga diduga terjadi mutasi spontan akibat
lingkungan endogen maupun eksogen.
Sampai saat ini dikenal 2 macam hemofilia yang diturunkan secara sex-linked
recessive yaitu :
Hemofilia A (hemofilia klasik), akibat defesiensi atau disfungsi faktor
pembekuan VIII (F VIIIc).
Hemofilia B (Christmas disease) akaibat defesiensi atau disfungsi F IX (faktor
Christmas)
Sedangkan hemofilia C merupakan penyakit perdarahn akibat kekurangan faktor XI yang
diturunkan secara autosomal recessive pada kromosom 4q32q35.
Penyakit ini pertama kali dikenal pada keluarga Judah yaitu sekita abad kedua
sesudah Masehi di Talmud. Pada awal abad ke-19 sejarah baru hemofilia baru dimulai
dengan dituliskannya silsilah keluarga Kerajaan Inggris mengenai penyakit ini oleh
Otta (1803). Sejak itu hemofilia dikenal dengan kelainan pembekuan darah yang
diturunkan secara X-linked recessive, sekitar setengah abad sebelum hukum Mandel
diperkenalkan. Selanjutnya legg pada tahun 1872 berhasil membedakan hemofilia dari
penyakit gangguan pembekuan darah lainnya berdasarkan gejala klinis, yaitu berupa
kelainan yang diturunkan dengan kecenderungan perdarahan otot serta sendi yang
berlangsung seumur hidup. Pada permulaan abad 20 hemofilia masih didiagnosis
berdasarkan riwayat keluarga dan gangguan pembekuan darah. Pada tahun 1940-1950
para ahli baru berhasil mengidentifikasi defisiensi F VIII dan F IX pada hemofilia A
dan Hemofilia B. pada tahun 1970 berhasil diisolasi F VIII dari protein pembawanya
di plasma, yitu faktor von Willebrand (F vW), sehingga sekarang dapat dibedakan
kelainan perdarahan akibat hemofilia A dan penyakit van Willebrand. Memasuki abad
21, pendekatan diagnostik dengan teknologi yang maju serta pemberian faktor
koagulasi yang diperlukan mampu membawa pasien hemofilia melakukan aktivitas
seperti orang lainnya tanpa hambatan.
Penyakit ini bermanifestasi klinis pada laki-laki. Angka kejadian hemofilia A
sekitar 1:10.000 orang dan hemofilia B sekitar 1:25.000-30.000 orang. Belum ada
angka mengenai kekerapan di Indonesia saat ini. Kasus hemofilia A lebih sering
dijumpai disbanding kasus hemofilia B, yaitu berturut-turut mencapai 80-85% dan 10-
15% tanpa memandang ras, geografi dan keadaan sosial ekonomi. Mutasi gen secara
spontan diperkirakan mencapai 20-30% yang terjadi pada pasien tanpa riwayat
keluarga (Ilmu Penyakit Dalam, 2010). Berdasarkan survei yang dilakukan oleh
World Federation of Hemofilia (WFH) pada tahun 2010, terdapat 257.182 penderita
kelainan perdarahan di seluruh dunia, di antaranya dijumpai 125.049 penderita
hemofilia A dan 25.160 penderita hemofilia B. Penderita hemofilia mencakup 63%
seluruh penderita dengan kelainan perdarahan. Penyakit von Willebrand merupakan
jenis kelainan perdarahan yang kedua terbanyak dalam survei ini setelah hemofilia
yaitu sebesar 39.9%.
Sebagai seorang mahasiswa keperawatan, kita harus memahami konsep dasar
tentang penyakit hemofilia ini agar dapat menjadi acuan kita dalam melakukan asuhan
keperawatan pada pasien dengan hemofilia dan meningkatkan kualitas hidup pasien
dengan hemofilia agar tetap dapat melakukan aktivitasnya seperti biasa.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang kami buat maka muncul keinginan kami sebagai
calon perawat untuk membahas masalah penyakit hemofilia guna untuk memperdalam ilmu
pengetahuan mengenai penyakit hemofilia agar dapat menjadi acuan dan konsep dasar kami
untuk melakukan asuhan keperawatan pasien dengan hemofilia.
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
Tujuan umum dari pembuatan makalah ini adalah untuk memberi tahu kepada pembaca
khususnya bagi kalangan perawat agar mengetahui apa itu hemofilia dan apa saja asuhan
keperawatan pasien dengan hemofilia.
2. Tujuan khusus
Secara khusus dalam menyusun makalah ini adalah penulis bertujuan untuk memenuhi tugas
dalam mata kuliah sistem imun & hematologi yang telah diberikan oleh dosen
pembimbing serta mahasiswa dapat mampu :
a. Mengetahui definisi hemofilia
b. Mengetahui klasifikasi hemofilia
c. Mengetahui etiologi hemofilia
d. Mengetahui patofisiologi hemofilia
e. Mengetahui manifestasi klinis hemofilia
f. Mengetahui pemeriksaan penunjang hemofilia
g. Mengetahui penatalaksanaan hemofilia
BAB II
SATUAN ACARA PENYULUHAN
Tahapan Kegiatan
No Waktu
Kegiatan Penyuluh Sasaran
A. Definisi
Hemofilia berasal dari bahasa Yunani Kuno, yang terdiri dari dua kata yaitu haima yang
berarti darah dan philia yang berarti suka/cinta atau kasih sayang; hemofilia berarti penyakit
suka berdarah. Hemofilia adalah penyakit gangguan koagulasi herediter yang diturunkan
secara X-linked resesif. Gangguan terjadi pada jalur intrinsik mekanisme hemostasis
herediter, di mana terjadi defisiensi atau defek dari faktor pembekuan VIII (hemofilia A) atau
IX (hemofilia B). Biasanya bermanifestasi pada anak laki-laki namun, walaupun jarang,
hemofilia pada wanita juga telah dilaporkan. Wanita umumnya bertindak sebagai karier
hemofilia.
Hemofilia merupakan gangguan koagulasi herediter atau didapat yang paling sering
dijumpai, bermanifestasi sebagai episode perdarahan intermiten. Hemofilia disebabkan oleh
mutasi gen faktor VIII (F VIII) atau faktor IX (F IX), dikelompokkan sebagai hemofolia A
dan hemofilia B. Kedua gen tersebut terletak pada kromosom X, sehingga termasuk penyakit
resesif terkait-X (Ginsberg,2008). Oleh karena itu, semua anak perempuan dari laki-laki yang
menderita hemofilia adalah karier penyakit, dan anak laki-laki tidak terkena. Anak laki-laki
dari perempuan yang karier memiliki kemungkinan 50% untuk menderita penyakit hemofilia.
Dapat terjadi wanita homozigot dengan hemofilia (ayah hemofilia, ibu karier), tetapi keadaan
ini sangat jarang terjadi. Kira-kira 33% pasien tidak memiliki riwayat keluarga dan mungkin
akibat mutasi spontan (Hoffbrand, Pettit, 1993).
Hemofilia merupakan kelainan perdarahan herediter terikat faktor resesif yang
dikarakteristikkan oleh defisiensi faktor pembekuan esensial yang diakibatkan oleh mutasi
pada kromosom X (Wiwik Handayani, 2008)
Hemofilia adalah penyakit perdarahan akibat kekurangan faktor pembekuan darah
yang diturunkan (herediter) secara sex-linked recessive pada kromosom X (Xh). Meskipun
hemofilia merupakan penyakit herediter tetapi sekitar 20-30% pasien tidak memiliki riwayat
keluarga dengan gangguan pembekuan darah, sehingga diduga terjadi mutasi spontan akibat
lingkungan endogen maupun eksogen (Aru et al, 2010).
Hemofilia adalah kelompok gangguan perdarahan yang diturunkan dengan
karakteristik defisiensi faktor pembekuan darah. Hemofilia adalah kelainan perdarahan
kongenital terkait kromosom X dengan frekuensi kurang lebih satu per 10.000 kelahiran.
Jumlah orang yang terkena di seluruh dunia diperkirakan kurang lebih 400.000. Hemofilia A
lebih sering dijumpai daripada hemofilia B, yang merupakan 80-85% dari keseluruhan
(Dorland’s Ilustrated Medical Dictionary, 29/E. 2002).
B. Klasifikasi
Menurut Hadayani (2008) hemofilia dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu sebagai berikut.
1. Hemofilia A; dikarakteristikkan oleh defisiensi F VIII, bentuk paling umum yang
ditemukan, terutama pada pria.
2. Hemofilia B; dikarakteristikkan oleh defesiensi F IX yang terutama ditemukan pada pria.
3. Penyakit Von Willebrand dikarakteristikkan oleh defek pada perlekatan trombosit dan
defesiensi F VIII dapat terjadi pada pria dan wanita.
Hemofilia juga dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Hemofilia A disebabkan oleh defisiensi F VIII clotting activity (F VIIIC) dapat karena
sintesis menurun atau pembekuan F VIIIC dangan struktur abnormal.
2. Hemofilia B disebabkan karena defisiensi F IX .
F VIII diperlukan dalam pembentukkan tenase complex yang akan mengaktifkan F X.
defisiensi F VIII menganggu jalur intrinsic sehingga menyebabkan berkurangnya
pembentukkan fibrin. Akibatnya terjadilah gangguan koagulasi. Hemofilia diturunkan
secara sex-linked recessive. Lebih dari 30% kasus hemofilia tidak disertai riwayat
keluarga, mutasi timbul secara spontan (I Made Bakta, 2006).
Hemofilia adalah diatesis hemoragik yang terjadi dalam 2 bentuk: hemofiia A,
defisiensi faktor koagulasi VIII, dan hemofilia B, defisiensi faktor koagulasi IX.
Kedua bentuk ditentukan oleh sebuah gen mutan dekat telomer lengan panjang
kromosom X (Xq), tetapi pada lokus yang berbeda, dan ditandai oleh pendarahan
intramuskular dan subkutis; perdarahan mulut, gusi, bibir, dan lidah; hematuria; serta
hemartrosis.
1. Hemofilia A, hemofilia yang paling umum ditemukan, keadaan terkait –X yang
disebabkan oleh kekurangan faktor koagulasi VIII. Disebut juga hemofilia klasik
2. Hemofilia B, jenis hemofilia yang umum ditemukan, keadaan terkait-X yang disebabkan
oleh kekurangan faktor koagulasi IX. Disebut juga chrismast disease. Hemofilia B
Leyden, bentuk peralihan defisiensi faktor koagulasi IX, tendensi perdarahan menurun
setelah pubertas.
3. Hemofilia C, gangguan autosomal yang disebabkan oleh kekurangan faktor koagulasi XI,
terutama terlihat pada orang turunan Yahudi Aohkenazi dan ditandai dengan episode
berulang perdarahan dan memar ringan, menoragia, perdarahan pascabedah yang hebat
dan lama, dan masa rekalsifikasi dan tromboplastin parsial yang memanjang. Disebut
juga plasma tromboplastin antecedent deficiency. PTA deficiency, dan Rosenthal
syndrome. (Dorland’s Ilustrated Medical Dictionary, 29/E. 2002).
Derajat penyakit pada hemofilia :
1. Berat : Kurang dari 1 % dari jumlah normal. Penderita hemofilia berat dapat mengalami
beberapa kali perdarahan dalam sebulan. Kadang-kadang perdarahan terjadi begitu saja
tanpa sebab yang jelas.
2. Sedang: 1% – 5% dari jumlah normalnya. Penderita hemofilia sedang lebih jarang
mengalami perdarahan dibandingkan hemofilia berat. Perdarahan kadang terjadi akibat
aktivitas tubuh yang terlalu berat, seperti olahraga yang berlebihan.
3. Ringan : 6 % – 50 % dari jumlah normalnya. Penderita hemofilia ringan mengalami
perdarahan hanya dalam situasi tertentu, seperti operasi, cabut gigi, atau mengalami luka
yang serius (Betz, Cecily Lynn. 2009).
C. Etiologi
Hemofilia disebabkan oleh factor gen atau keturunan. hemofilia A dan B, kedua gen
tersebut terletak pada kromosom X, sehingga termasuk penyakit resesif terkait –X. Oleh
karna itu semua anak perempuan dari laki-laki yang menderita hemofilia adalah karier
penyakit, dan anak laki-laki tidak terkena. Anak laki-laki dari perempuan yang kerier
memiliki kemungkinan 50% untuk menderita penyakit hemofilia dapat terjadi pada wanita
homozigot dengan hemofilia (ayah hemofilia, ibu karier) tetapi keadaan ini sangat jarang
terjadi .kira-kira 30% pasien tidak memiliki riwayat keluarga dan mungkin akibat mutasi
spontan (Hoffbrand, Pettit, 1993).
Hemofilia juga dapat disebabkan oleh mutasi gen. (Muscari, Mary E. 2005)
Menurut Robbins (2007) 70-80% penderita Hemofilia mendapatkan mutasi gen
resesif X-linked dari pihak Ibu. Gen F VIII dan F IX terletak pada kromosom X dan bersifat
resesif., maka penyakit ini dibawa oleh perempuan (karier, XXh) dan bermanifestasi klinis
pada laki-laki (laki-laki, XhY); dapat bermanifestasi klinis pada perempuan bila kromosom X
pada perempuan terdapat kelainan (XhXh). Penyebab hemofilia karena adanya defisiensi
salah satu faktor yang diperlukan untuk koagulasi darah akibat kekurangna faktor VIII atau
XI, terjadi hambatan pembentukan trombin yang sangat penting untuk pembentukan normal
bekuan fibrin fungsional yang normal dan pemadatan sumbat trombosit yang telah terbentuk
pada daerah jejas vaskular. Hemofilia A disebabkan oleh defisiensi F VIII, sedangkan
hemofilia B disebabkan karena defisiensi F IX.
Terdapat faktor risiko pada penyakit hemofilia yaitu riwayat keluarga dari duapertiga
anak-anak yang terkena menunjukkan bentuk bawaaan resesif terkait-x. Hemofilia A
(defisiensi faktor VIII terjadi pada 1 dari 5000 laki-laki. Hemofilia B ( defisiensi faktor IX)
terjadi pada seperlimanya.
D. Patofisiologi
Hemofilia adalah penyakit kelainan koagulasi darah congenital karena anak
kekurangan faktor pembekuan VIII (hemofilia A) atau faktor IX (hemofilia B, atau penyakit
Christmas). Penyakit kongenital ini diturunkan oleh gen resesif terkait-X dari pihak ibu. F
VIII dam F IX adalah protein plasma yang merupakan komponen yang yang diperlukan untuk
pembekuan darah; faktor-faktor tersebut diperlukan untuk pembentukan bekuan fibrin pada
tempat cidera vascular (Cecily Lynn Betz, 2009)
Proses hemostasis tergantung pada faktor koagulasi, trombosit dan pembuluh darah.
Mekanisme hemostasis terdiri dari respons pembuluh darah, adesi trombosit, agregasi
trombosit, pembentukan bekuan darah, stabilisasi bekuan darah, pembatasan bekuan darah
pada tempat cedera oleh regulasi antikoagulan, dan pemulihan aliran darah melalui proses
fibrinolisis dan penyembuhan pembuluh darah.
Cedera pada pembuluh darah akan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah dan
terpaparnya darah terhadap matriks subendotelial. Faktor von Willebrand (vWF) akan
teraktifasi dan diikuti adesi trombosit. Setelah proses ini, adenosine diphosphatase,
tromboxane A2 dan protein lain trombosit dilepaskan granul yang berada di dalam trombosit
dan menyebabkan agregasi trombosit dan perekrutan trombosit lebih lanjut. Cedera pada
pembuluh darah juga melepaskan tissue faktor dan mengubah permukaan pembuluh darah,
sehingga memulai kaskade pembekuan darah dan menghasilkan fibrin. Selanjutnya bekuan
fibrin dan trombosit ini akan distabilkan oleh faktor XIII.
Kaskade pembekuan darah klasik diajukan oleh Davie dan Ratnoff pada tahun
1950an dapat dilihat pada Gambar 1. Kaskade ini menggambarkan jalur intrinsik dan
ekstrinsik pembentukan thrombin. Meskipun memiliki beberapa kelemahan, kaskade ini
masih dipakai untuk menerangkan uji koagulasi yang lazim dipakai dalam praktek sehari-hari.
Pada penderita hemofilia dimana terjadi defisit F VIII atau F IX maka pembentukan
bekuan darah terlambat dan tidak stabil. Oleh karena itu penderita hemofilia tidak berdarah
lebih cepat, hanya perdarahan sulit berhenti. Pada perdarahan dalam ruang tertutup seperti
dalam sendi, proses perdarahan terhenti akibat efek tamponade. Namun pada luka yang
terbuka dimana efek tamponade tidak ada, perdarahan masif dapat terjadi. Bekuan darah yang
terbentuk tidak kuat dan perdarahan ulang dapat terjadi akibat proses fibrinolisis alami atau
trauma ringan.
Defisit F VIII dan F IX ini disebabkan oleh mutasi pada gen F8 dan F9. Gen F8
terletak di bagian lengan panjang kromosom X di regio Xq28, sedangkan gen F9 terletak di
regio Xq27.2,14 Terdapat lebih dari 2500 jenis mutasi yang dapat terjadi, namun inversi 22
dari gen F8 merupakan mutasi yang paling banyak ditemukan yaitu sekitar 50% penderita
hemofilia A yang berat. Mutasi gen F8 dan F9 ini diturunkan secara x-linked resesif
sehingga anak laki-laki atau kaum pria dari pihak ibu yang menderita kelainan ini. Pada
sepertiga kasus mutasi spontan dapat terjadi sehingga tidak dijumpai adanya riwayat keluarga
penderita hemofilia pada kasus demikian.
Wanita pembawa sifat hemofilia dapat juga menderita gejala perdarahan walaupun
biasanya ringan. Sebuah studi di Amerika Serikat menemukan bahwa 5 di antara 55 orang
penderita hemofilia ringan adalah wanita (Muscari, Mary E. 2005).
Gambar.1
E. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis yang sering terjadi pada klien dengan hemofilia adalah adanya
perdarahan berlebihan secara spontan setelah luka ringan, pembengkakan, nyeri, dan
kelainan-kelainan degeneratife pada sendi, serta keterbatasan gerak. Hematuria spontan dan
perdarahan gastrointestinal juga kecacatan terjadi akibat kerusakan sendi (Handayani, Wiwik,
2008).
Pada penderita hemofilia ringan perdarahan spontan jarang terjadi dan perdarahan
terjadi setelah trauma berat atau operasi,. Pada hemofilia sedang, perdarahan spontan dapat
terjadi atau dengan trauma ringan. Sedangkan pada hemofilia berat perdarahan spontan sering
terjadi dengan perdarahan ke dalam sendi, otot dan organ dalam. Perdarahan dapat mulai
terjadi semasa janin atau pada proses persalinan. Umumnya penderita hemofilia berat
perdarahan sudah mulai terjadi pada usia di bawah 1 tahun. Perdarahan dapat terjadi di
mukosa mulut, gusi, hidung, saluran kemih, sendi lutut, pergelangan kaki dan siku tangan,
otot iliospoas, betis dan lengan bawah. Perdarahan di dalam otak, leher atau tenggorokan dan
saluran cerna yang masif dapat mengancam jiwa.
Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (2006) dalam
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam menyatakan bahwa Hemartrosis paling sering ditemukan
(85%) dengan lokasi berturut-turut sebagai berikut, sendi lutut, siku, pergelangan kaki, bahu,
pergelangan tangan dan lainnya. Sendi engsel lebih sering mengalami hemartrosis
dibandingkan dengan sendi peluru karena ketidakmampuannya menahan gerakan berputar
dan menyudut pada saat gerakan volunter maupun involunter, sedangkan sendi peluru lebih
mampu menahan beban tersebut karena fungsinya.
Hematoma intramaskuler terjadi pada otot – otot fleksor besar, khususnya pada otot
betis, otot-otot region iliopsoas (sering pada panggul) dan lengan bawah. Hematoma ini
sering menyebabkan kehilangan darah yang nayata. Pendarahan intracranial bisaterjadi secara
spontan atau trauma yang menyebabkan kematian. Retriperitoneal dan retrofaringeal yang
membhayakan jalan nafas dan mengancam kehidupan.Kulit mudah memar, Perdarahan
memanjang akibat luka, Hematuria spontan, Epiktasis, Hemartrosis (perdarahan pada
persendian menyebabkannyeri, pembengkakan, dan keterbatasan gerak, Perdarahan jaringan
lunak. Pembengkakan, keterbatasan gerak, nyeri dan kelainan degenerative pada persendian
yang lama kelamaan dapat mengakibatkan kecacatan (Aru et al, 2010).
Tabel.1 Hubungan aktivitas F VIII dan F IX dengan manifestasi klinis
perdarahan.
Berat Sedang Ringan
Aktivitas F VIII/F IX U/ml
<0,01 (<1) 0,01-0,05 (1-5) >0,05 (>5)
(%)
Frek Hemofilia A (%) 70 15 15
Frek Hemofilia B (%) 50 30 20
Usia awitan ≤ 1 tahun 1-2 tahun 2 tahun
Gejala neonates Sering PCB Sering PCB Tak pernah PCB
Kejadian ICB Jarang ICB Jarang sekali ICB
Perdarahan otot/sendi Tanpa trauma Trauma ringan Trauma cukup kuat
Perdarahan SSP Resiko tinggi Resiko sedang Jarang
Perdaran post-op Sering dan fatal Butuh bebat Pada operasi besar
Perdarahan oral (trauma,
Sering terjadi Dapat terjadi Kadang terjadi
cabut gigi)
PCB : post circumsional bleeding
ICB : intracranial hemorrhage
F. Gejala & Tanda Klinis
Gejala-gejala dan tanda klinis untuk hemofilia biasanya sangat spesifik dan
umumnya penderita hemofilia mempunyai gejala-gejala klinis yang sama, hemofilia A
dan hemofilia B secara klinis sangat sulit untuk dibedakan. Keluhan-keluhan dan
tanda-tanda klinis penderita hemofilia sering diinterpretasikan kurang tepat oleh para
dokter sehingga kadang-kadang dapat membahayakan si penderita sendiri.
Gejala-gejala klinis pada penderita hemofilia biasanya mulai muncul sejak masa
balita pada saat anak mulai pandai merangkak, berdiri, dan berjalan di mana pada saat
itu karena seringnya mengalami trauma berupa tekanan maka hal ini merupakan
pencetus untuk terjadinya perdarahan jaringan lunak (soft tissue) dari sendi lutut
sehingga menimbulkan pembengkakan sendi dan keadaan ini kadang-kadang sering
disangkakan sebagai arteritis rematik, pembengkakan sendi ini akan menimbulkan
rasa sakit yang luar biasa. Perdarahan spontan biasanya terjadi tanpa adanya trauma
dan umumnya sering terjadi pada penderita hemofilia berat.
Selain persendian perdarahan oleh karena trauma atau spontan sering juga terjadi
pada lokasi yang lain diantaranya yaitu perdarahan pada daerah ileopsoas, perdarahan
hidung (epistaxis).
Pada penderita hemofilia sedang dan ringan gejala-gejala awal muncul biasanya
pada waktu penderita hemofilia mulai tumbuh kembang menjadi lebih besar, di mana
pada saat itu si anak sering mengalami sakit gigi dan perlu dilakukan ekstraksi gigi
atau kadang-kadang giginya terlepas secara spontan dan kemudian terjadi perdarahan
yang sukar untuk dihentikan, dan tidak jarang biasanya pada penderita hemophilia
ringan baru diketahui seseorang menderita hemofilia saat penderita menjalani
sirkumsisi/sunatan yang menyebabkan terjadi perdarahan yang terus menerus dan
kadang-kadang dapat menyebabkan terjadi hematom yang hebat pada alat
kelaminnya.
Perdarahan merupakan gejala dan tanda klinis khas yang sering dijumpai pada
kasus hemofilia. Perdarahan dapat timbul secara spontan atau akibat trauma ringan
sampai sedang serta dapat timbul saat bayi mulai belajar merangkak. Manifestasi
klinik tersebut tergantung pada beratnya hemofilia (aktivitas faktor pembekuan).
Tanda perdarahan yang sering dijumpai yaitu berupa hemartrosis, hematom subkutan
atau intramuskular, perdarahan mukosa mulut, perdarahan intrakranial, epistaksis dan
hematuria. Sering pula dijumpai perdarahan yang berkelanjutan pasca operasi kecil
(sirkumsisi, ekstraksi gigi).
Hemartrosis paling sering ditemukan (85%) dengan lokasi berturut-turut sebagai
berikut, sendi lutut, siku, pergelangan kaki, bahu, pergelangan tangan dan lainnya.
Sendi engsel lebih sering mengalami hemartrosis dibandingkan dengan sendi peluru,
karena ketidakmampuannya menahan gerakan berputar dan menyudut pada saat
gerakan voluntar maupun involunter, sedangkan sendi peluru lebih mampu menahan
beban tersebut karena fungsinya.
Hematoma intramuskular terjadi pada otot-otot fleksor besar, khususnya pada otot
betis, otot-otot regio iliopsoas (sering pada panggul) dan lengan bawah. Hematoma ini
sering menyebabkan kehilangan darah yang nyata, sindrom kompartemen, kompresi
saraf dan kontraktur otot.
Perdarahan intrakranial merupakan penyebab utama kematian, dapat terjadi
spontan atau sesudah trauma. Perdarahan retroperitoneal dan retrofaringeal yang
membahayakan jalan nafas dapat mengancam kehidupan.
Hematuria masif sering ditemukan dan dapat menyebabkan kolik ginjal tetapi
tidak mengancam kehidupan. Perdarahan pasca operasi sering berlanjut selama
beberapa jam sampai beberapa hari, yang berhubungan dengan penyembuhan luka
yang buruk.
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan PT (Partial Tromboplstin) dan APPT (Activated Partial Tromboplastin
Time). Bila masa protombin memberi hasil normal dan APPT memanjang, memberi
kesan adanya defisiensi (kurang dari 25%) dari aktivitas satu atau lebih factor koagulasi
plasma (F XII, F XI, F IX, F VIII)
2. Pemeriksaan kadar factor VIII dan IX. Bila APPT pada pasien dengan perdarahan yang
berulang lebih dari 34 detik perlu dilakukan pemeriksaan assay kuantitatif terhadap F VIII
dan F IX untuk memastikan diagnose.
3. Uji skrining koagulasi darah :
a. Jumlah trombosit (normal 150.000-450.000 tombosit per mm3 darah)
b. Masa protombin (normal memerlukan waktu 11-13 detik)
c. Masa tromboplastin parsial (meningkat, mengukur keadekuatan faktor koagulasi
intrinsik)
d. Assays fungsional terhadap faktor VIII dan IX (memastikan diagnosis)
e. Masa pembekuan trombin (normalnya 10-13 detik)
1. Biopsi hati (kadang-kadang) digunakan untuk memperoleh jaringan untuk pemeriksaan
patologi dan kultur.
2. Uji fungsi faal hati (kadang-kadang) digunakan untuk mendeteksi adanya penyakit hati
(misalnya, serum glutamic-piruvic transaminase [SPGT], serum glutamic-oxaloacetic
transaminase [SGOT], fosfatase alkali, bilirubin). (Betz & Sowden, 2002)
A. Perbedaan Proses Pembekuan Darah antara Orang Normal dengan Penderita Hemofilia
Proses Pembekuan Darah pada Orang Normal
1. Ketika mengalami perdarahan berarti
terjadi luka pada pembuluh darah (yaitu
saluran tempat darah mengalir keseluruh
tubuh), lalu darah keluar dari pembuluh.
2. Pembuluh darah mengerut/mengecil.
3. Keping darah (trombosit) akan menutup
luka pada pembuluh.
4. Faktor-faktor pembeku da-rah bekerja
membuat anyaman (benang-benang
fibrin) yang akan menutup luka
sehingga darah berhenti mengalir keluar
pembuluh.
A. Penatalaksanaan
1. Terapi Suportif
a. Melakukan pencegahan baik menghindari luka atau benturan
b. Merencanakan suatu tindakan operasi serta mempertahankan kadar aktivitas faktor
pembekuan sekitar 30-50%
c. Lakukan Rest, Ice, Compressio, Elevation (RICE) pada lokasi perdarahan untuk
mengatasi perdarahan akut yang terjadi.
d. Kortikosteroid, untuk menghilangkan proses inflamasi pada sinovitis akut yang
terjadi setelah serangan akut hemartrosis
e. Analgetik, diindikasikan pada pasien hemartrosis dengan nyeri hebat, hindari
analgetik yang mengganggu agregasi trombosit
f. Rehabilitasi medik, sebaiknya dilakukan sedini mungkin secara komprehensif dan
holistic dalam sebuah tim karena keterlambatan pengelolaan akan menyebabkan
kecacatan dan ketidakmampuan baik fisik, okupasi maupun psikososial dan edukasi.
Rehabilitasi medic atritis hemofilia meliputi : latihan pasif/aktif, terapi dingin dan
panas, penggunaan ortosis, terapi psikososial dan terapi rekreasi serta edukasi.
3. Terapi lainnya
a. Pemberian DDAVP (desmopresin) pada pasien dengan hemofili A ringan sampai
sedang. DDAVP meningkatkan pelepasan factor VIII.
b. Pemberian prednisone 0.5-1 mg/kg/bb/hari selama 5-7 hari mencegah terjadinya
gejala sisa berupa kaku sendi (atrosis) yang mengganggu aktivitas harian serta
menurunkan kualitas hidup pasien Hemofilia (Aru et al, 2010)
c. Transfusi periodik dari plasma beku segar (PBS)
d. Hindari pemberian aspirin atau suntikan secara IM
e. Membersihkan mulut sebagai upaya pencegahan
f. Bidai dan alat orthopedic bagi pasien yang mengalami perdarahan otak dan sendi
(Hadayani, Wiwik, 2008)
B. Komplikasi
Menurut Handayani (2008), komplikasi yang dapat terjadi pada pasien hemofilia
adalah perdarahan intrakranium, infeksi oleh virus imunodefisiensi manusia sebelum
diciptakannya F VIII artificial, kekakuan sendi, hematuria spontan dan perdarahan
gastrointestinal, serta resiko tinggi terkena AIDS akibat transfusi darah.
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita hemofilia (Cecily Lynn Betz, 2009) :
1. Arthritis
2. Sindrom kompartemen
3. Atrofi otot
4. Kontraktur otot
5. Paralisis
6. Perdarahan intracranial
7. Kerusakan saraf
8. Hipertensi
9. Kerusakan ginjal
10. Splenomegali
11. Hepatitis
12. Sirosis
13. Infeksi HIV karena terpajan produk darah yang terkontaminasi
14. Antibody terbentuk sebagai antagonis F VIII dan IX
15. Reaksi tranfusi alergi terhadap produk darah
16. Anemia hemolitik
17. Thrombosis
18. Nyeri kronis
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hemofilia merupakan gangguan koagulasi herediter atau didapat yang paling sering
dijumpai, bermanifestasi sebagai episode perdarahan intermiten. Hemofilia disebabkan oleh
mutasi gen faktor VIII (F VIII) atau faktor IX (F IX), dikelompokkan sebagai hemofolia A
dan hemofilia B. Kedua gen tersebut terletak pada kromosom X, sehingga termasuk penyakit
resesif terkait-X,
Pada penderita hemofilia dimana terjadi defisit F VIII atau F IX maka pembentukan
bekuan darah terlambat dan tidak stabil. Oleh karena itu penderita hemofilia tidak berdarah
lebih cepat, hanya perdarahan sulit berhenti. Pada perdarahan dalam ruang tertutup seperti
dalam sendi, proses perdarahan terhenti akibat efek tamponade. Namun pada luka yang
terbuka dimana efek tamponade tidak ada, perdarahan masif dapat terjadi. Bekuan darah yang
terbentuk tidak kuat dan perdarahan ulang dapat terjadi akibat proses fibrinolisis alami atau
trauma ringan.
Gambaran klinis yang sering terjadi pada klien dengan hemofilia adalah adanya
perdarahan berlebihan secara spontan setelah luka ringan, pembengkakan, nyeri, dan
kelainan-kelainan degeneratife pada sendi, serta keterbatasan gerak. Hematuria spontan dan
perdarahan gastrointestinal juga kecacatan terjadi akibat kerusakan sendi (Handayani, Wiwik,
2008).
Menurut Handayani (2008), komplikasi yang dapat terjadi pada pasien hemofilia
adalah perdarahan intrakranium, infeksi oleh virus imunodefisiensi manusia sebelum
diciptakannya F VIII artificial, kekakuan sendi, hematuria spontan dan perdarahan
gastrointestinal, serta resiko tinggi terkena AIDS akibat transfusi darah.
B. Saran
Hemofilia adalah penyakit keturunan yang tidak dapat di cegah maka untuk penderita hemophilia
kami sarankaan agar tetap sabar dan berusaha untuk pengobatan rutin. Dan berusahasa agar
menjaga kesehatan dan mencegah dampak dari hemofilia.
DAFTAR PUSTAKA
Aru et al. 2009. Ilmu Penyakit dalam Jilid II: Edisi V. Jakarta: Interna Publishing
Hoffard, A.V. 2005. Hematologi: Edisi IV. Jakarta: EGC
I Made Bakta. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC
Betz, Cecily L.. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik E/3. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Dorland’s Ilustrated Medical Dictionary, 29/E. 2002. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC
Handayani, Wiwik. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan
Sistem Hematologi. Jakarta: Salemba Medika
Sudoyo, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 2 Edisi 4. Jakarta : Departemen
Ilmu Penyakit dalam Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia
Muscari, Mary E.. 2005. Panduan Belajar: Keperawatan Pediatrik, E/3. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC
Corwin, Elizabeth J. 2008. Buku Saku Patofisiologi, Ed. 3. Jakarta: EGC.
World federation of Hemophilia, Canada.2005.
Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah, Ed.8. Jakarta: EGC.
Doenges, E Marilynn, dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan pedoman untuk
perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: EGC.
PENYULUHAN KESEHATAN
AUTISME
BAB I
PENDAHULUAN
SATUAN ACARA PENYULUHAN
Sasaran : Orangtua dan Orang dewasa yang sedang berkunjung di Poliklinik Anak
A. Latar Belakang
Setiap anak memiliki hak untuk hidup dan bertumbuh kembang secara optimal, maka
anak membutuhkan pemenuhan kebutuhan fisik dan biologis, kebutuhan kasih sayang dan
emosi, serta kebutuhan stimulasi. Akan tetapi seringkali orangtua dan keluarga di rumah kurang
memiliki pengetahuan, keterampilan maupun waktu untuk memberikan kebutuhan stimulasi
sehingga sebagian besar kebutuhan yang dipenuhi adalah kebutuhan fisik dan biologis saja.
Selama ini kebutuhan stimulasi diberikan pada saat anak sudah berusia 3 atau 4 tahun pada
jenjang Taman Kanak-Kanak atau kelompok bermain, sedangkan untuk usia kurang dari 2
tahun belum banyak mendapat stimulasi tumbuh kembang yang memadai. Untuk dapat
memfasilitas kebutuhan stimulasi tersebut secara komprehensif maka dibutuhkan suatu wahana
yang dapat membantu keluarga memberikan stimulasi tumbuh kembang dan perawatan anak
yang optimal. Ciri anak sehat adalah tumbuh dengan baik, tingkat perkembangannya sesuai
dengan tingkat umurnya, tampak aktif / gesit dan gembira, mata bersih dan bersinar, nafsu
makan baik, bibir dan lidah tampak segar, pernapasan tidak berbau, kulit dan rambut tampak
bersih dan tidak kering, serta mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan. (Soegeng, Santoso.
2008).
Autisme adalah gangguan perkembangan pervasif, atau kualitatif pada komunikasi verbal
dan non verbal, aktivitas imajinatif dan interaksi sosial timbal balik berupa kegagalan
mengembangkan hubungan antar pribadi (umur 30 bulan), hambatan dalam pembicaraan,
perkembangan bahasa, fenomena ritualistik dan konvulsif serta penarikan diri dan kehilangan
kontak dengan realitas.
Masalah perilaku yang biasa seperti bising, gelisah atau melukai diri sendiri dapat diatasi
dengan obat klorpromasin atau tioridasin. Keadaan tidak dapat tidur dapat memberikan
responsedatif seperti kloralhidrat, konvulsi dikendalikan dengan obat anti konvulsan.
Hiperkinesis yang jika menetap dan berat dapat ditanggulangi dengan diit bebas aditif atau
pengawet. Dapat disimpulkan bahwa terapi pada autisme dengan mendeteksi dini dan tepat
waktu serta program terapi yang menyeluruh dan terpadu.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum :
Setelah dilakukan pendidikan kesehatan selama 1 × 30 menit, diharapkan Orang tua
mampu memahami ilmu tentang autisme serta perawatan pada anak dengan autisme.
2. Tujuan Khusus:
Setelah mendapatkan pendidikan kesehatan selama 1 × 30 menit, Audiens mampu
menjelaskan :
a) Audiens dapat menjelaskan pengertian tentang autisme.
b) Audiens dapat menjelaskan penyebab autisme.
c) Audiens dapat menjelaskan tentang jenis autisme.
d) Audiens dapat menjelaskan karakteristik autisme.
e) Audiens dapat menjelaskan tentang perawatan autisme di rumah.
BAB II
PELAKSANAN
A. Pelaksanaan Kegiatan
1. Materi ( Terlampir )
a) Pengertian autisme
b) Jenis autisme
c) Penyebab autisme
d) Karakteristik autisme
e) Deteksi dini autisme
f) Terapi anak autis di rumah
2. Sasaran / Target
Sasaran : Orang tua dan Orang dewasa
Target : Anak-anak, Orang tua dan Dewasa
3. Metode
Ceramah
Tanya jawab
6. Pengorganisasian
Moderator : Erna Andi
Presenter : Vera Wahyu Utari
Observer : Firman tegar Diaz
Fasilitator : Savitri Nielvana Damayanti, Elisa Apriana dan Mila Ruswanti
Setting Tempat
: Moderator
: Presenter
: Fasilitator
: Observer
: Peserta
B. Kegiatan Penyuluhan
Kegiatan
No. Kegiatan Penyuluhan Waktu
I. Pembukaan
Moderator memberikan
salam
Moderator
memperkenalkan anggota
penyuluh
Audiens
Moderator menjelaskan
mendengarkan dan 5 Menit
tentang topik penyuluhan
memperhatikan
Moderator membuat
kontrak
Moderator menjelaskan
tujuan penyuluhan
II. Pelaksanaan
Menggali pengetahuan
peserta tentang pengertian
autisme
Memberikan
reinforcement dan
meluruskan konsep
Menjelaskan pengertian Audiens 15 Menit
dari autisme mendengarkan dan
Menjelaskan penyebab memperhatikan
dari autisme
Menjelaskan karakteristik
autisme
Menginformasikan cara
deteksi dini autisme
Edukasi terapi anak
dengan autis di rumah
Penutupan
Presenter menyimpulkan Audiens
materi mendengarkan dan
10 menit
Presenter mengadakan memperhatikan
evaluasi mengenai materi Audiens bertanya
yang telah diberikan Audiens menjawab
Moderator menyimpulkan salam
hasil diskusi
Moderator menutup acara
dan memberi salam
C. Rencana Evaluasi
1. Struktur :
a) Persiapan media
Media yang akan digunakan dalam penyuluhan semuanya lengkap dan siap
digunakan. Media yang digunakan adalah leaflet dan slide.
b) Persiapan materi
Materi yang akan diberikan dalam penyuluhan sudah disiapkan dan akan
disebarluaskan dalam bentuk leaflet yang berisi gambar dan tulisan
c) Audiens penyuluhan diambil dari audiens yang pada hari tersebut datang berkunjung
di poliklinik anak RSUD AWS.
2. Proses penyuluhan :
a) Kegiatan penyuluhan yang akan diberikan diharapkan berjalan lancar dan sasaran
memahami tentang penyuluhan yang diberikan
b) Dalam proses penyuluhan diharapkan terjadi interaksi atau feedback antara penyuluh
dan sasaran
c) Peserta diharapkan memperhatikan materi yang diberikan
d) Sasaran diharapkan kehadirannya 80% dan tidak ada yang meninggalkan tempat saat
penyuluhan berlangsung
3. Hasil penyuluhan :
a) Jangka Pendek
(1) Sasaran mengerti sekitar 80% dari materi yang diberikan
(2) Sasaran memahami tentang konsep autisme secara teori
b) Jangka Panjang
(1) Meningkatkan pengetahuan sasaran mengenai perawatan anak autisme sehingga
dapat diaplikasikan di rumah
(2) Dapat menjadi agen perubahan dengan cara membagikan pesan tentang perilaku
hidup sehat kepada anggota keluarga yang lain dan masyarakat.
BAB III
MATERI PENYULUHAN MENGENAI
PERAWATAN ANAK AUTISME
A. Anak Sehat
1. Konsep Anak
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih
dalam kandungan terdapat dalam Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak. Pasal tersebut menjelaskan bahwa, anak adalah siapa saja yang belum berusia 18
tahun dan termasuk anak yang masih didalam kandungan, yang berarti segala kepentingan
akan pengupayaan perlindungan terhadap anak sudah dimulai sejak anak tersebut berada
didalam kandungan hingga berusia 18 tahun (Damayanti,2008)
2. Kebutuhan Dasar Anak
Kebutuhan dasar untuk tumbuh kembang anak secara umum digolongkan menjadi
kebutuhan fisik-biomedis (asuh) yang meliputi, pangan atau gizi, perawatan kesehatan
dasar, tempat tinggal yang layak, sanitasi, sandang, kesegaran jasmani atau rekreasi.
Kebutuhan emosi atau kasih saying (Asih), pada tahun-tahun pertama kehidupan, hubungan
yang erat, mesra dan selaras antara ibu atau pengganti ibu dengan anak merupakansyarat
yang mutlakuntuk menjamin tumbuh kembang yang selaras baik fisik, mental maupun
psikososial. Kebutuhan akan stimulasi mental (Asah), stimulasi mental merupakan cikal
bakal dalam proses belajar (pendidikan dan pelatihan) pada anak. Stimulasi mental ini
mengembangkan perkembangan mental psikososial diantaranya kecerdasan, keterampilan,
kemandirian, kreaktivitas, agama, kepribadian dan sebagainya.
3. Tingkat Perkembagan Anak
Menurut Damayanti (2008), karakteristik anak sesuai tingkat perkembangan :
a) Usia bayi (0-1 tahun)
Pada masa ini bayi belum dapat mengekspresikan perasaan dan pikirannya
dengan kata-kata. Oleh karena itu, komunikasi dengan bayi lebih banyak
menggunakan jenis komunikasi non verbal. Pada saat lapar, haus, basah dan perasaan
tidak nyaman lainnya, bayi hanya bisa mengekspresikan perasaannya dengan
menangis. Walaupun demikian, sebenarnya bayi dapat berespon terhadap tingkah laku
orang dewasa yang berkomunikasi dengannya secara non verbal, misalnya
memberikan sentuhan, dekapan, dan menggendong dan berbicara lemah lembut.
Ada beberapa respon non verbal yang biasa ditunjukkan bayi misalnya
menggerakkan badan, tangan dan kaki. Hal ini terutama terjadi pada bayi kurang dari
enam bulan sebagai cara menarik perhatian orang. Oleh karena itu, perhatian saat
berkomunikasi dengannya. Jangan langsung menggendong atau memangkunya karena
bayi akan merasa takut. Lakukan komunikasi terlebih dahulu dengan ibunya.
Tunjukkan bahwa kita ingin membina hubungan yang baik dengan ibunya.
b) Usia pra sekolah (2-5 tahun)
Karakteristik anak pada masa ini terutama pada anak dibawah 3 tahun adalah
sangat egosentris. Selain itu anak juga mempunyai perasaan takut pada ketidaktahuan
sehingga anak perlu diberi tahu tentang apa yang akan akan terjadi padanya.
Misalnya, pada saat akan diukur suhu, anak akan merasa melihat alat yang akan
ditempelkan ke tubuhnya. Oleh karena itu jelaskan bagaimana akan merasakannya.
Beri kesempatan padanya untuk memegang thermometer sampai ia yakin bahwa alat
tersebut tidak berbahaya untuknya.
Dari hal bahasa, anak belum mampu berbicara fasih. Hal ini disebabkan karena
anak belum mampu berkata-kata 900-1200 kata. Oleh karena itu saat menjelaskan,
gunakan kata-kata yang sederhana, singkat dan gunakan istilah yang dikenalnya.
Berkomunikasi dengan anak melalui objek transisional seperti boneka. Berbicara
dengan orangtua bila anak malu-malu. Beri kesempatan pada yang lebih besar untuk
berbicara tanpa keberadaan orangtua. Satu hal yang akan mendorong anak untuk
meningkatkan kemampuan dalam berkomunikasi adalah dengan memberikan pujian
atas apa yang telah dicapainya.
c) Usia sekolah (6-12 tahun)
Anak pada usia ini sudah sangat peka terhadap stimulus yang dirasakan yang
mengancam keutuhan tubuhnya. Oleh karena itu, apabila berkomunikasi dan
berinteraksi sosial dengan anak diusia ini harus menggunakan bahasa yang mudah
dimengerti anak dan berikan contoh yang jelas sesuai dengan kemampuan
kognitifnya.
Anak usia sekolah sudah lebih mampu berkomunikasi dengan orang dewasa.
Perbendaharaan katanya sudah banyak, sekitar 3000 kata dikuasi dan anak sudah
mampu berpikir secara konkret.
d) Usia remaja (13-18)
Fase remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari akhir masa anak-anak
menuju masa dewasa. Dengan demikian, pola piker dan tingkah laku anak merupakan
peralihan dari anak-anak menuju orang dewasa. Anak harus diberi kesempatan untuk
belajar memecahkan masalah secara positif. Apabila anak merasa cemas atau stress,
jelaskan bahwa ia dapat mengajak bicara teman sebaya atau orang dewasa yang ia
percaya. Satu hal yang akan mendorong anak untuk meningkatkan kemampuan dalam
berkomunikasi adalah dengan memberikan pujian atas apa yang telah dicapainya.
B. AUTIS
1. Pengertian Autis
Autisme berasal dari kata ‘auto’ yang berarti ‘sendiri’. Penyandang autisme seakan-
akan hidup di dunianya sendiri. Autismee adalah gangguan perkembangan pervasif pada
anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif,
bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial. Autismee adalah gangguan perkembangan
khususnya terjadi pada masa anak-anak, yang membuat seseorang tidak mampu
mengadakan interaksi sosial dan seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri. Pada anak-anak
biasa disebut dengan Autismee Infantil. Autisme adalah gangguan perkembangan otak yang
mempengaruhi kemampuan penderita dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang
lain. Di samping itu, autisme juga menyebabkan gangguan perilaku dan membatasi minat
penderitanya.
Autis adalah perkembangan kompleks secara khas muncul selama tiga tahun pertama
kehidupan. Gangguan pervasif merupakan gangguan yang ditandai dengan kelainan
kualitatif dalam interaksi sosial baik dalam timbal balik dan dalam pola komunikasi
(Maslim,2005). Menurut Sunu (2012) autis merupakan salah satu gangguan tumbuh
kembang anak yang berupa sekumpulan gejala akibat adanya kelainan syaraf tertentu yang
menyebabkan fungsi otak tidak dapat bekerja secara normal sehingga mempengaruhi
tumbuh kembang serta kemampuan komunikasi, perilaku, kognitif dan interaksi sosial.
a.
A.
B.
C. Jenis Autisme
1. Autismee Klasik
Adanya kerusakan saraf sejak lahir, karena sewaktu mengandung, ibu terinfeksi virus,
seperti rubella, atau terpapar logam berat berbahaya seperti merkuri dan timbal yang
berdampak menagacaukan proses pembentukan sel-sel saraf di otak janin.
2. Autismee Regresif
Autismee regresif muncul saat anak berusia antara 12 sampai 24 bulan. Sebelumnya
perkembangan anak relatif normal, namun tiba-tiba saat usia anak meninjak 2 tahun
kemampuan anak merosot. Yang tadinya sudah bisa membuat kalimat 2 sampai 3 kata
berubah diam dan tidak lagi berbicara. Kesimpulan yang beredar di klangan ahli menyebutkan
autismee regresif muncul karena anak terkontaminasi langsung oleh faktor pemicu. Yang
paling disorot adalah paparan logam berat terutama merkuri dan timbal dari lingkungan.
D. Penyebab Autisme
1. Gangguan neurobiologis yang mempengaruhi fungsi otak sedemikian rupa sehingga anak
tidak mampu berinteraksi dan berkomunikasi dengan dunia luar secara efektif.
2. Faktor genetik
3. Gangguan kekebalan
E. Karakteristik Autisme
1. Berkeinginan dan senang melakukan kegiatan yang mengulang-mengulang
2. Sangat sedikit sekali berbicara sebagai media komunikasi
3. Selalu melakukan keasyikan melalui benda-benda tertentu yang menunjukkan bahwa
seolah-olah hanya itu kegiatan yang ia lakukan
4. Senang tidur bermalas-malasan atau duduk menyendiri dengan tampak acuh, muka pucat,
dan mata sayu dan selalu memandang ke bawah.
5. Selalu diam sepanjang waktu
6. Jika ada pertanyaan terhadapnya, jawabannya sangat pelan dengan nada monoton, kemudian
dengan suara yang aneh ia akan mengucapkan atau menceritakan dirinya dengan beberapa
kata, kemudian diam menyendiri lagi
7. Tidak pernah bertanya, tidak menunjukkan rasa takut, tidak punya keinginan yang
bemacam-macam serta tidak menyenangi sekelilingnya
8. Tidak tampak ceria
9. Tidak peduli terhadap lingkungannya kecuali pada benda yang disukainya misalnya boneka.
10. Tidak mau dipeluk
11. Hambatan dalam komunikasi verbal dan non-verbal
12. Secara fisik terlalu aktif atau sama sekali kurang aktif
13. Anak autis mengalami keterlambatan berbicara, mungkin menggunakan bahasa dengan cara
yang aneh atau tidak mampu bahkan tidak mau berbicara sama sekali.
Sasanti, Yuniar, (2003), Masalah Perilaku pada Gangguan Spektrum Autism (GSA) , Jakarta:
Konferensi Nasional Autisme-I