Anda di halaman 1dari 6

Penanganan Infeksi HSV pada kehamilan

Bab I

Pendahuluan

1.1 Latar belakang

Infeksi virus herpes simpleks (HSV) merupakan penyakit yang umum terjadi di seluruh

dunia. Infeksi HSV yang ditularkan dari ibu hamil ke janin dapat menyebabkan penyakit yang

signifikan dan bahkan kematian pada janin. Ada dua jenis virus HSV, yaitu tipe 1 (HSV-1) dan

tipe 2 (HSV-2), dan keduanya dapat menyebabkan penyakit pada neonatus. Kemajuan dalam

terapi antivirus pada saat ini, telah meningkatkan luaran klinis pada neonatus yang terkena,

namun morbiditas dan mortalitas masih tetap signifikan pada bayi dengan penyakit HSV invasif

(James, Sheffield and Kimberlin, 2014).

Infeksi HSV pada kehamilan dapat terjadi secara primer maupun berulang, keduanya

dapat menyebabkan efek pada janin yang dikandungnya berupa abnormalitas pada neonatus.

Selain itu HSV dapat menyebabkan gambaran klinis yang lebih berat pada infeksi yang

mengenai ibu hamil dibandingkan ibu yang tidak hamil. Infeksi primer terutama pada herpes

genitalis bisa menimbulkan infeksi yang lebih berat pada neonatus, terlebih pada penderita yang

belum memiliki antibodi terhadap HSV. Infeksi HSV pada neonatus didapatkan pada saat

kehamilan, intrapartum atau post partum (Djojosugito, 2017).


Infeksi HSV-1 dan HSV-2 masih sering terjadi di negara maju maupun negara

berkembang. Hal ini berhubungan dengan kemampuan infeksi virus yang bisa bertahan seumur

hidup. Meskipun HSV-1 atau HSV-2 dapat menyebabkan infeksi genital, HSV-1 biasanya lebih

umum menyebabkan lesi pada orolabial sedangkan HSV-2 lebih sering menyebabkan lesi

genital. Prevalensi ini sekarang dibeberapa tempat sudah mengalami perubahan, dimana HSV-1

menjadi virus dominan yang menyebabkan 60% -80% herpes genital pada kelompok tertentu

wanita usia . Antara 20% dan 30% wanita hamil memiliki antibodi terhadap HSV-2 . Wanita

yang tidak mempunyai atau mempunyai antibodi yang tidak cukup terhadap HSV-2 dan HSV-1

memiliki peluang hampir 4% untuk tertular HSV-1 atau HSV-2 selama kehamilan (James,

Sheffield and Kimberlin, 2014).

Berdasar hasil data rumah sakit, frekuensi infeksi HSV pada neonatus di Amerika Serikat

bervariasi menurut populasi pasien, dengan tingkat infeksi mulai dari 1 kasus per 12.500

kelahiran hidup (8 per 100.000) hingga 1 per 1700 kelahiran hidup (60 per 100.000). Dalam

sebuah studi retrospektif didapatkan angka infeksi HSV neonatus adalah 12,2 kasus per 100.000

kelahiran hidup dari tahun 1995 hingga 2003. Data kejadian infeksi HSV neonatal ini serupa

dengan data infeksi perinatal pada infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) sebelum

munculnya penggunaan rutin obat antiretroviral pada kehamilan. Angka kejadian infeksi

neonatus pada infeksi HSV lebih tinggi daripada sifilis kongenital, toksoplasmosis, dan rubella

kongenital (Pinninti and Kimberlin, 2013).

Infeksi herpes simpleks genitalis di Divisi IMS URJ Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD

Dr. Soetomo Surabaya dalam kurun waktu 5 tahun, sebanyak 102 pasien, yaitu 1,8% dari 5.838

pasien Divisi IMS URJ Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya atau 0,08%

dari 120.385 pasien yang datang ke URJ Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo
Surabaya. Mayoritas status kehamilan pasien herpes simpleks genitalis di Divisi IMS URJ

Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode tahun 2011-2015 terbanyak

adalah tidak hamil 48,3%, hamil 17,2% dan tanpa data 34,5% (Bonita and Dwi, 2017). Di

Indonesia belum ada data epidemiologi infeksi HSV pada neonatus.

1.2 Permasalahan Infeksi HSV pada Kehamilan

Identifikasi infeksi primer HSV genital saat hamil mengalami kesulitan karena sebagian

besar infeksi HSV pada kehamilan, sebagaimana infeksi HSV pada ibu yang tidak hamil, adalah

infeksi asimtomatik sehingga sering tidak terdiagnosis atau terjadi kesalahan dalam diagnosis.

Dengan demikian hampir 80% wanita yang melahirkan bayi yang terinfeksi HSV tidak

mengetahui bahwa sebelumnya telah memiliki riwayat lesi HSV genital. Penularan dari ibu ke

anak dapat terjadi in utero (5%), selama periode peripartum (85%) atau postnatal (10%). HSV

tidak ditularkan melalui ASI, penularan HSV pasca kelahiran disebabkan oleh kontak langsung

dengan orang yang menyebarkan virus, biasanya melalui lesi orolabial atau kulit lainnya. Karena

meningkatnya insiden infeksi HSV-1 genital, sebagian besar infeksi HSV neonatus sekarang

disebabkan oleh HSV-1 (James, Sheffield and Kimberlin, 2014).

Lesi genital berulang menimbulkan risiko penularan neonatus yang lebih kecil

dibandingkan infeksi primer, kemungkinan karena fetus sudah mempunyai antibodi pelindung

yang masuk menuju fetus secara transplasenta pada infeksi berulang. Dalam sebuah penelitian

didapatkan peningkatan risiko penularan sebesar 57% pada wanita dengan infeksi genital

primer, dibandingkan 2% pada lesi genital berulang. Faktor yang berhubungan dengan

peningkatan risiko penularan HSV dari ibu ke anak termasuk deteksi HSV-1 atau HSV-2 pada

serviks atau genitalia eksterna melalui kultur virus atau polymerase chain reaction (PCR), durasi

ketuban pecah, lesi kulit neonatus misalnya penggunaan elektroda pada kulit kepala janin atau
adanya tindakan instrumentasi pada persalinan pervaginam (James, Sheffield and Kimberlin,

2014).

Risiko infeksi HSV intrauterin meningkat pada ibu hamil yang menderita infeksi HSV.

Transmisi virus intrauterin dapat terjadi pada awal kehamilan (sebelum usia kehamilan 20

minggu) dan bisa menyebabkan abortus, stillbirth dan anomali kongenital. Anomali kongenital

tersebut berupa kelainan mata (chorioretinitis, microphtalmia, katarak), kerusakan neurologis

(kalsifikasi intrakranial, microcephali), growth retardation dan kelainan perkembangan

psikomotor. Jika infeksi HSV terjadi pada saat intrapartum atau post partum maka dapat

menyebabkan infeksi pada neonatus berupa penyakit HSV yang terlokalisir pada kulit, mata dan

atau mulut, encephalitis HSV dengan atau kelainan pada kulit, mata, mulut dan HSV diseminata

berupa disfungsi organ berat dengan mortalitas mencapai 80% tanpa terapi (Djojosugito, 2017).

Infeksi HSV yang terjadi pada akhir trimester kehamilan meningkatkan risiko terjadinya infeksi

neonatal sekitar 30-50% dibandingkan infeksi pada awal kehamilan sebesar 1%. Infeksi primer

HSV pada saat trimester dua atau tiga dapat menimbulkan prematuritas dan abnormalitas pada

fetus karena lebih berisiko untuk mentransmisikan virus kepada janin (Djojosugito, 2017).

Risikonya paling besar ketika seorang wanita memperoleh infeksi baru (herpes genital primer)

pada trimester ketiga, terutama dalam waktu 6 minggu sebelum melahirkan, karena virus yang

masih ada dan belum ada pembentukan antibodi ibu yang bisa ditrasfer ke janin (Frame, 1989).

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Mengurangi angka morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi dengan melakukan

penapisan dan mencegah penularan infeksi dari ibu ke janin


1.3.2 Tujuan Khusus

a. Memberikan rekomendasi berdasarkan bukti ilmiah kepada para klinisi dalam

melakukan penapisan dan usaha pencegahan penularan infeksi HSV dari ibu ke

janin.

b. Menjadi panduan dalam melakukan penapisan dan usaha pencegahan penularan

infeksi HSV dari ibu ke janin di tingkat masyarakat, pelayanan primer dan rumah

sakit

1.4 Sasaran

Semua tenaga kesehatan di pelayanan primer dan rumah sakit serta institusi yang ada di

masyarakat yang berhubungan langsung dengan program penapisan dan pencegahan infeksi HSV

dari ibu ke janin .

Daftar Pustaka :

1. Bonita, L. and Dwi, M. (2017) ‘Gambaran Klinis Herpes Simpleks Genitalis ( A

Retrospective Study : Clinical Manifestation of Genital Herpes Infection )’, Periodical of

Dermatology and Venereology, 29(1), pp. 30–35.

2. Djojosugito, F. A. (2017) ‘Infeksi Herpes Simpleks Dalam Kehamilan’, Jurnal Ilmu

Kedokteran, 10(1), p. 1. doi: 10.26891/jik.v10i1.2016.1-4.

3. Frame, L. E. (1989) ‘Management of genital herpes infection in pregnancy’, Obstetrics

and Gynecology, 73(1), pp. 140–141.

4. James, S. H., Sheffield, J. S. and Kimberlin, D. W. (2014) ‘Mother-to-child transmission

of herpes simplex virus’, Journal of the Pediatric Infectious Diseases Society,

3(SUPPL1). doi: 10.1093/jpids/piu050.


5. Pinninti, S. G. and Kimberlin, D. W. (2013) ‘Maternal and neonatal herpes simplex virus

infections’, American Journal of Perinatology, 30(2), pp. 113–120. doi: 10.1055/s-0032-

1332802.

Anda mungkin juga menyukai