Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH SEMINAR

MODEL PENYELESAIAN DILEMA ETIK KASUS DO NOT RESUCITATE


(DNR) BERDASARKAN PENDEKATAN TEORI POTTER DAN PERRY

Dosen Pembimbing : Ns. Setyoadi, M.Kep.,Sp.Kep. Kom


Disusun Untuk Memenuhi Penugasan Kelompok
MK: Etika dan Hukum dalam Keperawatan

Oleh Kelompok 3
Kristianto Nugroho 176070300111002
Irine Yunila Prastyawati 176070300111006
Nabilah Siregar 176070300111009
Lanawati 176070300111015
Fidiana Kurniawati 176070300111020
Annisa Rahmania 176070300111024
Rizka Ayu Nafi’ah 176070300111029
Istha Leanni Muskananfola 176070300111033
Ali Rahmanto 176070300111037
Siti Roslinda 176070300111039
Zulkifli 176070300111041
Srikandi Puspa Amandaty 176070300111044
Nadia Oktiffany 176070300111048
Eman Sulaeman 176070300111054

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
KATA PENGANTAR

Puji Syukur patut kami haturkan kepada Tuhan YME, karena rahmat, kasih dan
berkat-Nya, kami Kelompok 3 dapat menyelesaikan pembuatan makalah seminar
“MODEL PENYELESAIAN DILEMA ETIK KASUS DO NOT RESUCITATE
(DNR) BERDASARKAN PENDEKATAN TEORI POTTER DAN PERRY” tepat
waktu. Pembuatan makalah seminar ini tentunya tidak lepas dari bantuan berbagai
pihak, oleh karena itu kami ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ns. Setyoadi, M.Kep.,Sp.Kep. Kom, selaku pembimbing dalam pembuatan
makalah seminar ini dan selalu mendukung, mengarahkan kami dalam pembuatan
makalah seminar ini.
2. Teman – teman PSMK 2017, yang selalu mendukung dan memotivasi kami.
3. Semua pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan pembuatan
makalah seminar ini.
Semoga Tuhan membalas kebaikan Anda yang telah membantu kami.
Pembuatan makalah seminar ini tentunya memiliki kekurangan. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan. Terima Kasih dan Semoga
Bermanfaat.

Malang, April 2018

Kelompok 3
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Do not resuscitation (DNR) merupakan bentuk keputusan pasien atau keluarga
dimana saat pasien mengalami henti jantung, maka pasien tidak dilakukan resusitasi
jantung paru. DNR bisa dilakukan oleh berbagai faktor, seperti faktor pasien,
keluarga, dan tenaga kesehatan lain (Amestiasih & Nekada, 2017). Keputusan DNR
untuk tidak dilakukannya resusitasi jantung paru biasanya dituliskan oleh dokter yang
memberikan perawatan kepada pasien pada catatan medis pasien. Keputusan
mengenai DNR tidak bisa dibatalkan setelah pindah tempat perawatan. Dalam
kondisis ideal, pengambilan keputusan DNR harus dipertimbangkan setiap 24 jam
serta harus memperhatikan berbagai resiko seperti anestesm resiko, sifat, keuntungan
dan kerugian yang lain (Baradero, Davrit, & Siswandi, 2009).
Berdasarkan hasil penelitian Becerra et al., (2010), 1.446 pasien di General
Internal Medicine Department of the Geneva University Hospitals menyatakan
tindakan DNR berdasarkan instruksi dokter sebesar 21,2 %, setelah tindakan CPR
61,7 %, dan 17,1 % tidak ada indikasi dari keduanya. Dari hasil pengambilan data
terdapat 106 perintah DNR, yang 56 orang telah dibahas dengan pasien maupun
keluarga dan 50 orang tidak dibahas. Menurut hasil penelitian Skrifvars et al., (2003)
didapatkan sejumlah 1143 (77%) pasien tidak dilakukan resusitasi saat keadaan
memburuk. Prevalensi terhadap tindakan DNR ini sangat berbeda antara di Ruang
Intensif dengan ruang rawat inap, yang sebagian besar perintah DNR dilakukan di
unit perawatan intensif daripada di ruang rawat inap.
Resuscitation Council UK (2007) menyatakan pengambilan keputusan tindakan
DNR dikarenakan beberapa pertimbangan diantaranya adalah adanya kemungkinan
hasil keadaan klinis pasien, kemungkinan pasien untuk hidup kembali setelah
dilakukan CPR, keinginan pasien untuk mengakhiri hidupnya, hak asasi manusia
(Wood & Wainright 2007), kemungkinan pasien mengalami rasa sakit atau
penderitaan yang tidak terkendali, serta tingkat kesadaran pasien dan keberadaan
lingkungannya (Moule & Albarran, 2009). Keputusan untuk DNR idealnya harus
disetujui dalam tim kesehatan, dan jika perlu, dengan pasien atau dengan walinya.
Dokter yang bertanggung jawab sepenuhnya terhadap tindakan DNR dan dalam
beberapa kasus perawat senior juga memungkinkan. (Moule & Albarran, 2009).
Berdasarkan hasil penelitian dari Becerra et al., (2010) menyatakan faktor-faktor
yang berhubungan dengan pengambilan keputusan DNR meliputi keadaan
komorbiditas penyakit pasien, pilihan dari keluarga pasien, usia pasien dan
keterbatasan kapasitas dalam pengambilan keputusan. Dalam hal ini, hal yang
berhubungan antara penyakit pasien dengan pengambilan keputusan tindakan DNR
juga dipengaruhi lamanya rawat inap pasien; pengakuan sebelum perawat intensif,
diagnosis utama pasien yaitu meliputi kanker, psikiatrik, penyakit jantung dan PPOK;
prognosis penyakit; kualitas hidup pasien; dan ketersediaan obat di Rumah Sakit.
Berdasarkan hasil penelitian dari Skrifvars et al., (2003) menyatakan alasan
pengambilan keputusan tindakan DNR tanpa adanya instruksi DNR adalah penyakit
terminal, usia lansia, dan status fungsional tubuh yang rendah.
Etik dan legal dalam tindakan DNR diantaranya meliputi otonomi, not
malefiency, beneficial dan justice. Otonomi yaitu menghargai hak pasien untuk
menerima atau menolak perawatan apa pun, tidak melakukan tindakan yang
membahayakan pasien (not malefiency) atau bahkan lebih tepat, tidak ada kerusakan
lebih lanjut, bermanfaat (beneficial) yaitu mengimplikasikan bahwa penyedia layanan
kesehatan harus memberikan manfaat demi kepentingan terbaik bagi pasien/individu
sambil menyeimbangkan manfaat dan risiko serta keadilan (justice) berarti kewajiban
untuk mendistribusikan sumber daya kesehatan yang terbatas dalam masyarakat, dan
keputusan mendapat perlakuan dalam keadilan dan kesetaraan (Gullo et al., 2014).
Perawat perlu memiliki keterampilan komunikatif, etos kerja dan advokasi, dan
keahlian dalam hubungan terapeutik, komunikasi seputar pengambilan keputusan
DNR dan pemahaman tentang norma-norma kelembagaan dalam pendidikan,
kesehatan, hukum, dan kebijakan publik yang dilakukan para perawat bertanggung
jawab memberikan informed consent dalam pengambilan keputusan DNR (Bjorklun
& Lund, 2017).
Refleksi bagi tenaga profesional perlu menghargai adanya keinginan pasien
terhadap keadaan DNR. Menghormati keinginan, dan mengijinkan pasien meninggal
dengan bermartabat sesuai harapan pasien maupun keluarga. Keputusan DNR
merupakan salah satu bentuk penghormatan tenaga kesehatan kepada hak otonomi
yang dimiliki pasien dan keluarga. Selain untuk menghormati hak otonomi yang
dimiliki pasien, pertimbangan lain karena rendahnya harapan hidup yang dimiliki
pasien (Amestiasih & Nekada, 2017). Tetapi perlu diingat bahwa saat melakukan
persetujuan DNR, terjadi dilema yang dialami perasat dan tenga kesehatan lain.
Perawat di suatu sisi harus memberikan pelayanan terbaik kepada pasien dan
keluarga. Bentuk perawatan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup sampa
saat menjelang ajal. Perawat harus memberikan dukungan termasuk memberikan
resusitasi jantung paru kepada pasien saat terjadi henti jantung. Tetapi jika pasien
memberikan persetujuan untuk dilakukan DNR, maka perawat atupun tenaga
kesehatan tidak boleh memberikan resusitasi jantung paru kepada pasien. Karena
pertimbangan tersebut, maka terjadi dilema yang dialami perawat. Banyaknya kasus
DNR yang terjadi di rumah sakit, terutama pada bangsal penyakit kronis, ataupun
ICU, mendorong penulis untuk mengangkat dilema etis mengenai persetujuan
dilakukannya DNR.

1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah seminar ini adalah untuk mengetahui dan
memahami proses pengambilan keputusan etik kasus Do Not Resucitate (DNR)
berdasarkan teori Potter dan Perry.
BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1 DNR
2.1.1 Definisi
Menurut Wong, yang dikutip dalam Krisanty et al (2009) Resusitasi Jantung
Paru (RJP) adalah suatu cara untuk memfungsikan kembali jantung dan paru. RJP
atau yang sering disebut Cardio Pulmonary Resusitation (CPR) adalah suatu teknik
bantuan hidup dasar yang bertujuan untuk memberikan oksigen ke otak dan jantung
sampai ke kondisi layak, dan mengembalikan fungsi jantung dan pernafasan ke
kondisi normal (Nettina, 2006). Keadaan ini bisa disebabkan karena korban
mengalami serangan jantung (heart attack), tenggelam, tersengat arus listrik,
keracunan, kecelakaan, dan lain-lain. Pada kondisi napas dan denyut jantung berhenti,
sirkulasi darah dan transportasi oksigen juga berhenti sehingga dalam waktu singkat
organ-organ tubuh terutama organ vital akan mengalami kekurangan oksigen yang
berakibat fatal bagi korban dan mengalami kerusakan.
DNR atau Do Not Resuscitate adalah suatu perintah yang memberitahukan 
tenaga medis untuk tidak melakukan CPR. Hal ini berarti bahwa dokter,  perawat, dan
tenaga emergensi medis tidak akan melakukan usaha CPR emergensi bila pernapasan
maupun jantung pasien berhenti.
2.1.2 Epidemiologi DNR
Prevalensi perintah DNR bervariasi dengan pengaturan dan populasi pasien
(0% -90%); sekitar 70% pasien rawat inap memiliki hak DNR pada saat kematian.
Namun, banyak dari mereka yang melakukan perintah DNR ditulis dalam beberapa
hari sebelum kematian, sehingga berfungsi sebagai penanda pengganti untuk
kematian yang akan datang daripada hasil dari keputusan yang direncanakan. CPR
dilakukan pada sekitar 1% dari penerimaan rumah sakit dan di 30% dari kematian
rumah sakit. Beberapa penelitian menunjukkan kelangsungan hidup yang terbatas
setelah CPR. Dari pasien yang menjalani CPR di rumah sakit, sekitar 10 akan
terjadinya kembalinya sirkulasi spontan, dan sekitar 1 dari 10 akan bertahan hidup
untuk pemecatan di rumah sakit. Dari pasien yang berhasil diresusitasi dan
dipulangkan, sekitar 1 dari 4 bertahan hidup. lebih dari 5 tahun. Situasi yang
membawa prognosis yang lebih baik termasuk status baseline yang sehat, usia yang
lebih muda, menyaksikan henti jantung, irama awal fibrilasi ventrikel, resusitasi
cardiopulmonary kurang dari 10 menit, dan pernafasan (dibandingkan dengan jantung
Penangkapan). Untuk pasien yang bertahan hidup setelah resusitasi, status fungsional
mereka tetap dapat diterima dan dikaitkan dengan status pra-rumah sakit mereka.
Namun demikian, banyak korban resusitasi jantung paru yang sebelumnya
diberhentikan secara mandiri untuk rehabilitasi atau diberikan fasilitas perawatan
terampil.
2.1.3 Prinsip dasar DNR
2.1.3.1 Kriteria DNR
Secara umum, terdapat dua kriteria dilakukan DNR yaitu :
1) Perintah DNR dapat diminta oleh pasien dewasa yang kompeten mengambil
keputusan, telah mendapat penjelasan dari dokternya, atau bagi pasien yang
dinyatakan tidak kompeten, keputusan dapat diambil oleh keluarga terdekat, atau
wali yang sah yang ditunjuk oleh pengadilan, atau oleh surrogate decision-maker
2) Dengan pertimbangan tertentu, hal-hal di bawah ini dapat menjadi bahan diskusi
perihal DNR dengan pasien/walinya:
(1) Kasus-kasus dimana angka harapan keberhasilan pengobatan rendah atau CPR
hanya menunda proses kematian yang alami
(2) Pasien tidak sadar secara permanen
(3) Pasien berada pada kondisi terminal
(4) Ada kelainan atau disfungsi kronik dimana lebih banyak kerugian dibanding
keuntungan jika resusitasi dilakukan
2.1.3.2 Menghormati keinginan pasien dan keluarganya
1) Kecuali perintah DNR dituliskan oleh dokter untuk seorang pasien, maka dalam
kasus-kasus henti jantung dan henti napas, tenaga emergensi wajib melakukan
tindakan resusitasi
2) Ketika memutuskan untuk menuliskan perintah DNR, dokter tidak boleh
mengesampingkan keinginan pasien maupun walinya
3) Perintah DNR dapat dibatalkan (atau gelang DNR dapat dimusnahkan)
2.1.4 Pedoman bagi Tenaga Medis terhadap DNR
2.1.4.1 Pedoman Bagi Dokter
Pedoman yang dikeluarkan oleh British Medical Association dan Royal College of
Nursing mengatakan bahwa perintah DNR hanya boleh dikeluarkan setelah diskusi
dengan pasien atau keluarga mereka. Meskipun mungkin sulit untuk berdiskusi
dengan pasien dan keluarga mereka tentang apakah untuk pasien dapat hidup kembali
atau tidak, tapi bagaimanapun juga diskusi terhadap keluarga pasien diperlukan untuk
mengambil keputusan dilakukan atau tidaknya CPR. Beberapa hal yang dapat
melegalkan DNR adalah :
1) Jika kondisi pasien adalah sedemikian rupa sehingga resusitasi tidak mungkin
berhasil
2) Jika pasien dengan mental yang baik secara konsisten menyatakan atau
menandatangani bahwa dia tidak ingin diresusitasi
3) Jika ada pemberitahuan lanjutan atau kemauan hidup yang mengatakan pasien
tidak ingin diresusitasi
4) Jika resusitasi berhasil tidak akan berada dalam kepentingan terbaik pasien karena
akan menyebabkan kualitas hidup yang buruk.
2.2 Prinsip Etik
Menurut Butts (2013) terdapat prinsip utama dalam melakukan praktek
profesional untuk menghindari dilema etik dan pengambilan keputusan yaitu :
(1) Menghormati pasien (otonomi) dalam bentuk kepercayaan, kerahasiaan, dan
menghormati martabat manusia, menghormati keputusan pasien
(2) Menguntungkan (beneficience) yaitu melakukan promosi kesehatan dan
kesejahteraan melalui informasi yang tepat kepada pasien, pencegahan penyakit
dan dalam tindakan keperawatan selalu memberikan manfaat untuk pasien
(3) Tidak membahayakan (non maleficence) yang ditujukan kepada pasien, keluarga,
kelompok, dan masyarakat
(4) Keadilan (justice) memberikan tindakan perawatan yang adil tanpa membedakan.
Secara umum, beberapa hal tersebut bertujuan mempertahankan keluhuran
profesi perawat yang ditulisakan dalam bentuk kode etik serta pelaksanaannya
diawasi oleh dewan kehormatan etik. Hal ini juga dikemukakan oleh Verpeet,
Dierckx De Casterle, Van Arend, & Gastmans (2005) yang menyatakan bahwa
beberapa hal yang harus dipatuhi perawat dalam melakukan keputusan etis adalah :
(1) Semua individu memiliki hak yang sama untuk mendapatkan asuhan
keperawatan
(2) Altruism (altruisme) merupakan nilai keperawatan umum diberbagai negara yang
didefinisikan sebagai sifat perawat dalam memberikan bantuan kesehatan dan
kesejahteraan kepada pasien, keluarga, masyarakat dan tidak mementingkan diri
sendiri
(3) Autonomy in decision making (otonomi dalam pengambilan keputusan)
didefinisikan sebagai hak pasien atas dirinya sendiri, hak untuk menerima atau
menolak perawatan, dan perawat menghormati dan menerima setiap keputusan
pasien dengan terlebih dahulu memberikan penjelasan terhadap setiap tindakan
yang akan dilakukan
(4) Precision and accuracy in caring (presisi dan akurasi dalam merawat)
didefinisikan sebagai bentuk perawatan yang tepat, aman, sesuai,
multidimensional yang diberikan kepada pasien berdasarkan pada keterampilan
klinis, pengetahuan keperawatan demi pemenuhan kebutuhan pasien,
peningkatan kesehatan serta pengurangan rasa sakit pasien
(5) Responsibility (tanggung jawab) yaitu perawat bertanggung jawab atas
pemberian layanan kesehatan berbasis bukti dan penelitian yang valid, serta
bertanggung jawab atas tindakan dan tugas dengan menjaga komitmen
pemenuhan hak pasien
(6) Human relationship (hubungan manusia) yaitu memberikan perawatan melalui
hubungan yang humanistik, efisien, dan efektif, dan saling menghormati serta
pengertian
(7) Individual and professional competency (kompetensi individu dan profesional)
diartikan dengan bentuk kompetensi dan pengembangan pribadi perawat
sehingga menghasilkan pengetahuan dan ketrampilan klinis yang berguna untuk
memberikan perawatan secara holistic
(8) Sympathy (simpati) erat kaitannya dengan bentuk pemahaman perawat terhadap
pasien dan keluarganya
(9) Trust (kepercayaan) didefinisikan sebagai usaha perawat untuk mendapatkan
kepercayaan dari pasien yang ditunjukkan melalui kejujuran dalam kata-kata dan
praktik keperawatan.
2.3 Hukum pada DNR
Dalam pertimbangan legal dan etis, American Heart Association (AHA)
sebagai salah satu acuan yang banyak digunakan di dunia menyatakan bahwa, RJP
tidak diindikasikan pada semua pasien. Pada pasien dengan kondisi terminal,
penyakit yang tidak reveersibe lserta penyakit dengan prognosis kematian yang
hamper dapat dipastikan tidak perlu dilakukan RJP (Sa’id, 2016). Dalam beberapa
organisasi profesi seperti perawat dan dokter anastesi, pasien yang dinyatakan dewasa
secara hokum serta telah mendapat informasi dan memahami betul implikasi
keputusannya, berhak menolak prosedur. Sehingga, DNR dianggap sebagai dokumen
medis legal yang mencerminkan keputusan dan keinginan pasien akan menghindari
upaya dalam mempertahankan kehidupan.
Di Indonesia mengacu pada peraturan Menteri Kesehatan no 37 tahun 2014
mengenai penentuan kematian serta pemanfaatan organ, DNR dapat dianggap sebagai
bagian dari bentuk euthanasia. Meskipun secara hukum euthanasia juga masih belum
jelas kedudukannya, akan tetapi hal ini dapat dikenakan KUHP pasal 344 bab XIX
tentang kejahatan terhadap nyawa. Demikian pula halnya dengan keputusan DNR
yang dilakukan oleh pasien bahkan sebelum masuk perawatan, hal ini juga belum
diatur secara hukum. Sehingga, apabila pasien yang pernah mengambil keputusan
DNR sebelumnya tidak dapat mengajukan tututan pada petugas kesehatan apabila
dilakukan tindakan penyelamatan nyawa.
2.4 Pengambilan Keputusan Etik berdasarkan Teori Potter dan Perry
Perawat memiliki tanggung jawab untuk membuat keputusan klinis yang tepat,
dan akurat. Seorang perawat harus memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam
memutuskan sesuatu hal terkait proses perawatan pada pasien karena seperti yang
diketahui bahwa setiap pasien memiliki masalah yang unik yang dipengaruhi oleh
beberapa faktor, misalnya faktor kesehatan fisik, gaya hidup, budaya, hubungan
dengan keluarga, lingkungan sekitar, dan pengalaman, sehingga terkadang perawat
tidak memiliki gambaran yang jelas terkait kebutuhan pasien dan perawat harus bisa
berpikir kritis, mengeksplorasi, menganalisis, serta menginterpretasi hal-hal yang
diungkapkan pasien untuk menemukan solusi yang tepat bagi pasien tersebut. (Potter,
P. A., Perry, A. G., Stockert, P., & Hall, 2013).
Berpikir kritis merupakan proses penilaian mengenai gejala atau keluhan yang
diungkapkan pasien, proses pemikiran, serta proses pengambilan keputusan mengenai
apa yang harus dilakukan terkait perumusan diagnosa, dan pengobatan yang akan
dilakukan untuk pasien tersebut (Facione, N. C., & Facione, 2008). Menurut Facione,
N & Facione, P (1996), terdapat 7 konsep berpikir kritis, yaitu (1) mencari kebenaran,
dimana perawat harus berani, jujur, dan objektif dalam mengidentifikasi masalah
yang ada; (2) keterbukaan pikiran, dimana perawat dituntut untuk bertoleransi
terhadap segala pandangan yang berbeda, dan menghormati hak orang lain untuk
berpendapat; (3) analitivitas, dimana perawat harus menganalisis situasi yang dapat
menimbulkan masalah, mengantisipasi kemungkinan yang akan terjadi, dan
menggunakan pengetahuan berbasis bukti; (4) sistematis, berkaitan dengan tindakan
yang fokus, terstruktur, dan selalu bekerja kerasa di setiap tindakan yang ada; (5)
percaya diri, dimana perawat harus mempercayai penalaran dan insting yang
dimilikinya; (6) selalu ingin tahu, dimana perawat harus bersemangat dalam proses
memperoleh ilmu pengetahuan; (7) matang, dimana setiap solusi yang ada harus
dipikirkan secara benar .
Ketika individu dihadapkan pada suatu masalah atau dihadapkan pada suatu
pilihan, maka individu harus membuat keputusan. Pengambilan keputusan merupakan
hasil dari berpikir kritis yang bertujuan untuk menyelesaikan suatu masalah. Untuk
membuat sebuah keputusan, individu harus mengetahui masalah atau situasi yang
terjadi serta menilai semua pilihan yang ada. Individu tersebut harus
mempertimbangkan masing – masing pilihan yang ada, menguji kemungkinan
pilihan, mempertimbangkan konsekuensi dari sebuah pilihan, dan membuat
keputusan akhir (Potter, P. A., Perry, A. G., Stockert, P., & Hall, 2013). Sama halnya
dengan seorang perawat. Perawat pun dituntut untuk dapat mengambil keputusan
klinis ketika dihadapkan pada suatu pilihan terkait perawatan pada pasiennya. Mereka
harus mengidentifikasi masalahnya terlebih dahulu, mempertimbangkan pilihan, dan
menentukan solusi dari permasalahan yang dialami dengan tetap mengutamakan
keinginan, keselamatan, dan kenyamanan pasiennya (Potter, P. A., Perry, A. G.,
Stockert, P., & Hall, 2013). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Park (2012)
menyatakan bahwa terdapat model pembuatan keputusan etis terpadu, diantaranya (1)
menyatakan masalah etis, dimana sebelum mengambil keputusan etis, perawat harus
memahami masalahnya terlebih dahulu; (2) mengumpulkan informasi tambahan dan
menganalisis masalah, dimana perawat harus mengetahui informasi yang dibutuhkan
dalam masalah tersebut. Informasi bisa didapatkan dari pasien sendiri, keluarga
pasien, profesional kesehatan lainnya; (3) mengembangkan dan menganalisis
alternatif dan membandingkan hasilnya, dimana perawat harus mengembangkan
alternatif yang ada serta menganalisisnya. Perawat tidak dapat membuat keputusan
etis hanya berdasarkan konsekuensi yang akan terjadi saja, namun perawat juga harus
mempertimbangkan hak pasien; (4) memilih alternatif terbaik dan menjelaskan
keputusan yang telah dibuat, dimana tujuan dari pengambilan keputusan etis adalah
agar pasien dan pihak lain merasa puas atas solusi yang telah ditemukan dan
diberikan. Perawat harus menemukan dan memutuskan solusi yang terbaik; (5)
mengembangkan strategi untuk keberhasilan dalam menerapkan alternatif yang
dipilih dan mengambil tindakan, dimana perawat harus yakin terhadap pilihannya,
serta mengaplikasikannya; (6) mengevaluasi, dimana perawat perlu mengevaluasi
dampak dari keputusan yang telah dipilih. Proses pengambilan keputusan mungkin
perlu ditinjau ulang atau dapat dipertimbangkan strategi lain bila belum tercapai hasil
yang maksimal.
Model pengambilan keputusan berdasarkan teori Potter dan Perry :
1) Menunjukkan maksud baik, mempunyai anggapan bahwa semua orang
mempunyai maksud baik untuk menjelaskan masalah yang ada.
2) Mengidentifikasi semua orang penting, menganggap bahwa semua orang yang
terlibat dalam proses pengambilan keputusan merupakan orang penting dan perlu
di dengar pendapatnya.
3) Mengumpulkan informasi yang relevan, informasi yang revelan meliputi data
tentang pilihan klien, sistem keluarga, diagnosis dan prognosis medis,
pertimbangan social dan dukungan lingkungan.
4) Mengidentifikasi prinsip etik yang dianggap penting
5) Mengusulkan tindakan alternative
6) Melakukan tindakan terpilih
BAB 3
DESKRIPSI KASUS

Seorang lansia perempuan berusia 75 tahun dengan riwayat CVA iskemik


sebelumnya, sedang berada di dalam ambulans untuk menuju ke Rumah Sakit setelah
anaknya menelepon petugas EMS karena mendapati ibunya jatuh terkulai lemas
sambil memegang kepala dan mengeluh kepalanya sakit seperti akan pecah. Dari
hasil pengkajian dengan sang anak, diketahui jika sebelumnya ibunya tersebut sudah
sering Masuk Rumah Sakit (MRS) karena mengalami dua kali serangan CVA
iskemik. Melihat keadaan ibunya yang semakin lemas selama di ambulans, sang anak
segera mengambil kitab dan dengan tekun membacanya di samping ibunya. Tidak
lama kemudian, keadaan sang ibu semakin memburuk sehingga perawat ambulans
dengan segera memulai pemasangan intubasi ETT. Namun, dengan sigap sang anak
meminta perawat untuk menghentikan proses tersebut dan berkata dengan tegas,
“mengapa kalian tidak bias membiarkan ibuku meninggal dengan tenang dan
mendengarkan keinginannya untuk yang terakhir kali?”
BAB 4
PEMBAHASAN
BAB 5
SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Amestiasih, T., & Nekada, C. D. Y. (2017). Hubungan Pengetahuan Perawat Tentang
Do Not Resuscitation ( DNR ) Dengan Sikap Merawat Pasien Di Icu Rsud
Panembahan Senopati Bantul, 4(2), 138–141.
Baradero, M., Davrit, M. W., & Siswandi, Y. (2009). Prinsip dan Praktik
Keperawatan Perioperatif (1st ed.). Jakarta: EGC.
Bjorklund, P & Lund, D, M. (2017). Informed consent and the aftermath of
cardiopulmonary resuscitation: Ethical considerations. Nursing Ethics DOI :
10.1177/0969733017700234
Gullo, A, Ristagno, G, Gurrieri, C. (2014). Resuscitation Translational Research,
Clinical Evidence, Education, Guidelines. New York: Springer
Maria Becerra, M, Hurst, S, A, Perron, N, J, Cochet , S, Elger, B, S. (2010). Do Not
Attempt Resuscitation’ and Cardiopulmonary Resuscitation’ in an Inpatient
Setting: Factors Influencing Physicians’ Decisions in Switzerland.
Gerontology,57:414–421
Moule, P & Albarran, J. (2009). Practical Resuscitation for Healthcare Professional.
USA : Blackwell Publishing
Skrifvars, M, B, Hilden, H,M, Finne, P, Rosenberg, P,H, Castren, M, (2003).
Prevalence of 'do not attempt resuscitation' orders and living wills among
patients suffering cardiac arrest in four secondary hospitals.
Resuscitation,58(1):65-71.
Ewanchuk, M, & Brindley, P.G. (2006). Ethics review: Perioperative do-not-
resuscitate orders – doing ‘nothing’ when ‘something’ can be done. doi:
10.1186/cc4929)
Krisanty et al,. (2009). Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta. Trans info
Media.
Loertscher, L, Reed, D.A, Bannon, M.P, Mueller, P.S, & Bakardjiev, A.G. . (2010).
Cardiopulmonary Resuscitation and Do-Not-Resuscitate Orders: A Guide for
Clinicians. The American Journal Of Medicine. doi:
10.1016/j.amjmed.2009.05.029
Nettina, Sandra M. (2006). Manual of Nursing Practice. Eight edition. Philadelphia.
London. New York. Lippincott Williams and Wilkins. A Wolter Kluwer
Company. Lippincott.
Facione, N. C., & Facione, P. A. (2008). Critical thinking and clinical judgment. A
Teaching Anthology, 1–13.
Park, E. J. (2012). An integrated ethical decision-making model for nurses. Nursing
Ethics, 19(1), 139–159. https://doi.org/10.1177/0969733011413491
Potter, P. A., Perry, A. G., Stockert, P., & Hall, A. (2013). Fundamentals of Nursing
Eight Edition (eight edit). Elsevier Health Sciences.
Sa’id, A.N., Mrayyan, M. (2016) Do Not Resuscitate: An Argumentative Essay. J
Palliat Care Med. DOI:10.4172/2165-7386.1000254
Kementerian Kesehatan RI. (2014). Undang-Undang No. 37 tahun 2014 Penentuan
Kematian Dan Pemanfaatan Organ Donor. Retrieved from http://rscm.co.id
Butts, J. B. (2013). Ethics in Professional Nursing Practice. Elselvier.
Verpeet, E., Dierckx De Casterle, B., Van Arend, A. Der, & Gastmans, C. A. E.
(2005). Nurses’ views on ethical codes: A focus group study. Journal of
Advanced Nursing, 51(2), 188–195. https://doi.org/10.1111/j.1365-
2648.2005.03513.x

Anda mungkin juga menyukai