A. Latar Belakang
Congenital Rubela Syndrome (CRS) adalah suatu kumpulan gejala yang merupakan
akibat infeksi virus rubela selama kehamilan. Virus rubela termasuk dalam famili
togaviridae dengan genus rubivirus. Virus rubela umumnya menyebabkan penyakit
yang ringan, 50% orang yang terinfeksi rubela tidak terdiagnosis. Namun bila infeksi
rubela terjadi pada masa awal kehamilan akan menyebabkan abortus, lahir mati atau
cacat berat (birth defect) apabila bayi tetap hidup. Risiko infeksi dan cacat congenital
paling besar terjadi selama trimester pertama kehamilan. Bayi dengan CRS biasanya
menunjukkan satu atau lebih gejala berupa gangguan pendengaran, kelainan mata,
kelainan jantung, retardasi mental dan cacat seumur hidup lainnya. Gangguan
pendengaran adalah kelainan tunggal yang paling sering.
CRS pertama kali dilaporkan pada tahun 1941 oleh Norman Greg, dokter spesialis
mata Australia, yang menemukan katarak bawaan pada 78 bayi yang ibunya
mengalami infeksi rubela di awal kehamilannya. Ibu yang mengalami infeksi rubela
pada minggu 1-10 kehamilan akan melahirkan 90% bayi dengan CRS. Risiko terjadinya
CRS menurun dengan semakin meningkatnya usia kehamilan ibu, yaitu bila infeksi
rubela terjadi pada minggu 11-12: 33% bayi terkena CRS, minggu 13-14: 11% bayi
terkena CRS , minggu 15-16: 24% bayi terkena CRS dan minggu ≥ 17: 0% (Miller E Lancet
1982)
.
CRS dapat dicegah dengan imunisasi rubela. Manfaat utama imunisasi rubela
berhubungan secara langsung dengan pencegahan infeksi pada janin selama
kehamilan. Pada tahun 2009, sebanyak 130 negara telah mengintegrasikan rubela ke
dalam program imunisasi rutin. Vaksin yang tersedia saat ini adalah Measles Rubela
(MR) atau Measles, Mumps Rubela (MMR). Imunisasi rubela dapat memberikan
kekebalan serupa dengan infeksi rubela secara alamiah, yaitu diasumsikan akan
bertahan seumur hidup (WHO Fact Sheet 2012).
Global
Sebelum dilakukan imunisasi rubela, insidens CRS adalah 0,1-0,2/1000 kelahiran hidup.
Estimasi global menunjukkan bahwa jumlah bayi yang lahir dengan CRS pada tahun 2008
melebihi 110.000, hal ini menunjukkan rubela sebagai penyebab utama cacat bawaan yang
dapat dicegah. Estimasi tahun 2008 menunjukkan bahwa beban CRS tertinggi adalah di
Asia Tenggara (sekitar 48%) dan Afrika (sekitar 38%). Berdasarkan data dari WHO setiap
tahun terjadi 236 kasus CRS di negara berkembang dan meningkat 10 kali lipat saat terjadi
epidemi.
Indonesia
Indonesia melakukan pilot project penelitian surveilans CRS di RS Hasan Sadikin Bandung
dan RS Sardjito Yogyakarta pada tahun 2013 dengan hasil sebagai berikut:
RS dr. Hasan Sadikin Bandung
o Prospektif Newborn screening: Oktober – November 2013, dari 701 bayi lahir
dilakukan skrining berdasarkan algoritma CRS dan didapatkan ada 5 pasien yang
dilakukan pemeriksaan laboratorium dan hasilnya negatif.
o Prospektif infant: 10 October – 29 November 2013 terdapat 38 bayi CRS, dengan
kelainan terbanyak yaitu Congenital Heart Diseases (44,7%) dan Cerebral Palsy
(21,1%). Setelah dilakukan skrining berdasarkan algoritma CRS didapatkan tidak
ada kasus yang pasti CRS.
o Retrospektif: periode 1 Januari 2008 – 28 Januari 2014 dilakukan review register di
komputer berdasarkan ICD 10 pada 2368 rekam medis yang sesuai kriteria CRS
dari WHO, ditemukan 684 data rekam medis, terdapat 181 kasus yaitu Suspek CRS
136 kasus (114%), CRS klinis 38 kasus (36%), pasti CRS 7 kasus (14%). Seluruh
kasus pasti CRS berusia 0 – 40 bulan.
Selain itu, RS dr. Sutomo Surabaya juga telah melakukan surveilans CRS selama 15
tahun, dengan hasil sebagai berikut:
o Tahun 1993-2003 : 39 kasus CRS
Penularan
Virus rubela ditularkan melalui droplet saluran pernafasan saat batuk atau bersin. Bayi
dengan CRS masih dapat mengekskresi virus rubela sampai usia 27 bulan, namun
sebagian besar sudah habis sebelum usia 1 tahun (WHO 2011). Virus bisa ditemukan di sekret
nasofaring sebanyak 80% pada bayi dengan CRS pada bulan pertama kehidupannya,
kemudian menurun menjadi sekitar 62% pada umur 1 – 4 bulan; 33% pada umur 5-8 bulan,
11% pada umur 9 – 12 bulan, dan hanya sekitar 3% pada tahun ke dua kehidupannya
(Cooper 1967)
. Bayi dengan CRS yang mengekskresikan virus rubela dapat menularkan
penyakitnya (bersifat infeksius) sehingga tindakan pencegahan infeksi yang memadai
harus selalu dilakukan (Benenson 1995). Tindakan pencegahan ini sangat penting, khususnya
terhadap wanita hamil yang tidak mempunyai kekebalan.
Jika seorang bayi dicurigai menderita CRS, maka prosedur isolasi harus dipertimbangkan
dengan seksama, terutama bagi bayi-bayi yang menjalani perawatan. Perlu diwaspadai
bagi petugas kesehatan yang merawat penderita CRS dapat tertular dan menularkan CRS
kepada orang lain dan menyebabkan terjadinya KLB (WHO 2011). Petugas kesehatan yang
boleh kontak dengan bayi-bayi ini adalah petugas yang telah dipastikan kebal terhadap
infeksi rubela. Bayi dengan CRS dapat infeksius/menularkan rubela dalam waktu 1 tahun
sampai terbukti hasil laboratoriumnya negatif rubela. Wanita hamil tidak boleh terpapar bayi
dengan CRS.
Gambar 1. Ekskresi Virus Rubela pada Bayi dan Anak dengan CRS
Pemberian satu dosis imunisasi rubela dapat memberikan kekebalan serupa dengan
infeksi rubela secara alamiah, yaitu diasumsikan akan bertahan seumur hidup (WHO Fact
D. Definisi kasus
CRS adalah suatu kumpulan gejala penyakit yang dibagi dalam dua kelompok besar
yaitu kelompok A dan kelompok B.
Kelompok A Kelompok B
Gangguan pendengaran Purpura
Penyakit jantung kongenital Splenomegali
Katarak kongenital Microcephaly
Glaukoma kongenital Retardasi mental
Pigmentary retinopathy Meningoensefalitis
Penyakit “Radiolucent bone”
Ikterik yang muncul dalam waktu 24 jam
setelah lahir
Penyakit jantung kongenital yang termasuk ke dalam kriteria suspek CRS adalah:
1. Patent Ductus Arteriosus (PDA), kecuali pada bayi prematur
2. Atrial Septal Defect (ASD)
3. Ventricular Septal Defect (VSD)
4. Pulmonary Stenosis (PS)
Bayi prematur dengan PDA , jika tidak menutup dalam 2 bulan dengan atau
tanpa pemberian terapi, maka dikategorikan suspek CRS.
CRS klinis
Bayi berusia <1 tahun dengan:
dua gejala klinis dari kelompok A; atau
satu gejala klinis dari kelompok A dan satu gejala klinis dari kelompok B
CRS Pasti
Kasus suspek CRS dengan pemeriksaan laboratorium menunjukkan hasil salah satu
diantara berikut:
jika usia bayi <6 bulan: IgM rubela positif
jika usia bayi 6 bulan - <1 tahun:
IgM dan IgG rubela positif; atau
IgG dua kali pemeriksaan (dengan selang waktu 1 bulan) positif
Gambar 3. Diagram Alur Penentuan Kasus CRS pada Bayi Usia < 6 Bulan
Selama sampel kedua belum diperiksa, maka kasus dinyatakan pending maksimal
sampai bayi berusia <6 bulan. Bila sampai batas waktu tersebut sampel darah
kedua belum diperiksa, maka kasus diklasifikasikan sesuai alur pada gambar 3.
Sedangkan bila suspek kasus CRS ditemukan pada usia 6 bulan - <1 tahun, maka
diagram alur penentuan klasifikasinya adalah sebagai berikut:
Bukan CRS
Gambar 4. Diagram Alur Penentuan Kasus CRS pada Bayi Usia 6 bulan - <1 tahun
Bayi berusia 6 bulan - <1 tahun dengan hasil IgM negatif (IgM -) dan IgG positif
(IgG +) harus dilakukan pemeriksaan Ig M dan IgG kedua dengan jarak 1 bulan atau
maksimal sampai bayi berusia <1 tahun.
Selama sampel kedua belum diperiksa, maka kasus dinyatakan pending maksimal
sampai bayi berusia <1 tahun. Bila sampai batas waktu tersebut sampel darah
kedua belum diperiksa, maka kasus diklasifikasikan sesuai alur pada gambar 4.
KEGIATAN
Dokter Spesialis • Konfirmasi diagnosis • Melakukan skrining kelainan • Perencanaan operasi jantung
Jantung Anak • Edukasi awal jantung jika ada indikasi dan
• Melakukan echokardiografi memungkinkan
• Pelacakan kelainan yang ada,
melakukan konsultasi ke:
• Poli Mata Anak, dan atau
• Poli THT
dan
• Poli Infeksi Anak
Dokter Spesialis • Konfirmasi diagnosis • Melakukan skrining kelainan mata • Perencanaan operasi mata
Mata • Edukasi awal • Pelacakan kelainan yang ada, jika ada indikasi dan
melakukan konsultasi ke: memungkinkan
• Poli Jantung Anak, dan atau
• Poli THT
dan
• Poli Infeksi Anak
A. Tujuan Umum
Memantau kecenderungan kejadian kasus CRS di Indonesia.
B. Tujuan Khusus
Terlaksananya pengumpulan data CRS di rumah sakit sentinel;
Terlaksananya deteksi dan isolasi bayi dengan CRS secara cepat;
Tersedianya analisis data CRS untuk melengkapi base line data sebagai bahan
advokasi pelaksanaan imunisasi rubela;
Tersedianya analisis data CRS untuk mengetahui dampak imunisasi rubela;
Terdiseminasinya hasil analisis/informasi kepada unit terkait;
A. Kebijakan
Pengendalian rubela/CRS di Indonesia akan dicapai tahun 2020 sesuai dengan
rekomendasi WHO SEARO.
B. Strategi
Mengintegrasikan imunisasi rubela dalam program imunisasi nasional pada
tahun 2017 – 2018;
Mengintegrasikan surveilans rubela ke dalam surveilans campak berbasis kasus
individu;
Melaksanakan surveilans CRS di rumah sakit sentinel;
Melakukan konfirmasi laboratorium terhadap suspek CRS di laboratorium
rujukan nasional.
Untuk mengetahui beban penyakit (disease burden) CRS perlu dibangun sistem
surveilans CRS yang dapat dilakukan melalui pelaksanaan surveilans di RS pada bayi
dengan cacat bawaan lahir dan dilakukan di bagian Anak (jantung, tumbuh kembang,
perinatologi, neurologi, infeksi) , bagian Mata, bagian THT.
Pelaksanaan surveilans CRS di RS bila melibatkan seluruh rumah sakit (RS) baik
swasta, pemerintah maupun pelayanan kesehatan akan memerlukan sumber daya yang
sangat besar, oleh sebab itu pada saat ini hanya dilakukan sistem surveilans sentinel di
beberapa RS. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi adanya masalah CRS tersebut
dan kecenderungannya berdasarkan waktu. Secara bertahap lokasi sentinel akan
diperluas sehingga data yang didapat akan lebih representatif.
2. Ibu hamil, melalui pemantauan ibu hamil yang terinfeksi atau dicurigai terinfeksi
rubela
Saat ini surveilans CRS yang dilaksanakan di Indonesia baru melalui deteksi
pada bayi di RS sentinel
4. Penemuan Kasus:
Pada umumnya kasus CRS melakukan terapi ke RS sesuai keluhan yang ada,
biasanya ke divisi Anak (jantung, tumbuh kembang, neurologi, perinatologi,
infeksi), divisi THT dan divisi Mata.
Semua suspek CRS akan dilakukan tata laksana surveilans CRS yang meliputi :
1. Pencatatan pada form CRS1
2. Pengambilan spesimen darah 1-2 cc
3. Pengiriman spesimen serum ke laboratorium nasional campak-rubela
4. Pemeriksaan di setiap divisi Anak, THT dan Mata
5. Pelaporan menggunakan web PD3I atau form list CRS
6. Pengambilan dan pemeriksaan spesimen darah kedua (jika diperlukan)
7. Pengolahan dan analisa data
5. Pengambilan spesimen:
a. Anak Usia <6 bulan:
Dilakukan pengambilan spesimen darah sebanyak 1-2 cc agar
mendapatkan serum untuk pemeriksaan IgM rubela. Spesimen diambil
oleh RS sesuai kesepakatan yang ditetapkan oleh masing-masing RS.
Spesimen tersebut sebagian dapat diperiksa di laboratorium RS untuk
kepentingan klinis, sementara sisanya disimpan pada suhu 2-80C.
Spesimen yang telah disimpan akan dikirim ke laboratorium nasional
campak-rubela untuk dilakukan pemeriksaan untuk kepentingan
surveilans CRS. Pengiriman tersebut dapat dilakukan langsung oleh
koordinator data RS atau diambil oleh petugas surveilans PD3I dinas
kesehatan provinsi.
Jika hasil menunjukkan IgM negatif (IgM-) dan IgG positif (IgG+), maka
dilakukan pengambilan spesimen serum untuk pemeriksaan IgM dan
IgG kedua untuk pemeriksaan IgG dengan jarak 1 bulan atau maksimal
sampai bayi berusia <1 tahun. Pengambilan spesimen kedua ini menjadi
tanggung jawab petugas surveilans PD3I dinas kesehatan provinsi
berkoordinasi dengan koordinator data RS. Spesimen yang telah diambil
sebagian dapat diperiksa di laboratorium RS dan sebagian dikirim ke
laboratorium nasional campak-rubela.
Bila sistem web PD3I tidak berfungsi, data CRS yang telah diinput ke dalam form list
CRS dilaporkan kepada petugas surveilans PD3I dinas kesehatan provinsi pada
tanggal 15 setiap bulannya (termasuk laporan nihil), dan ditembuskan ke petugas
surveilans PD3I Pusat melalui email epidataino@gmail.com
C. Peran Provinsi
1. Penemuan kasus
Petugas surveilans PD3I dinas kesehatan provinsi melakukan surveilans aktif di
RS sentinel setiap minggu dengan melakukan:
- review register untuk mencari kemungkinan adanya kasus yang lolos;
- melakukan koordinasi dengan koordinator data RS untuk memastikan form
CRS 1 telah terisi dengan lengkap;
- mengkoordinasikan pengambilan spesimen darah kedua (jika diperlukan).
Kegiatan ini diintegrasikan dengan kegiatan surveilans aktif AFP dan PD3I
lainnya.
Tata cara review register surveilans CRS di RS :
a. Identifikasi kasus CRS melalui register di bagian Anak (jantung, tumbuh
kembang, neurologi, perinatologi, unit infeksi), bagian THT dan bagian Mata;
b. Apabila ditemukan kasus minimal dengan gejala /diagnosa dari kelompok A,
ambil buku rekam medis penderita untuk di konsultasikan dengan koordinator
di RS tersebut;
c. Jika memenuhi kriteria suspek CRS, maka berkoordinasi dengan tim CRS RS
untuk dilakukan tata laksana surveilans CRS.
d. Hasil review register dilaporkan mingguan termasuk laporan nihil (zero report),
yang terintegrasi dengan Surveilans AFP dan Campak.
Mengingat kasus CRS sangat jarang, maka perlu dibangun komunikasi yang
intensif antara petugas surveilans PD3I dinas kesehatan provinsi dengan tim CRS
RS agar kasus CRS di RS tidak ada yang lolos.
Analisis data CRS sama halnya dengan analisis data rutin, prinsip orang, tempat dan
waktu yang akan menjawab pertanyaan siapa, kapan, dimana, mengapa dan
bagaimana suatu kasus CRS akan dapat memberikan masukan kepada program
imunisasi. Oleh sebab itu tidak boleh ada dari komponen diatas yang tidak bisa
dijawab agar hasil investigasi secara tepat dapat mengarahkan program dalam
upaya penanggulangan. Dengan penyajian data dalam bentuk tabel, grafik dan
spotmap akan membantu analisis yang akan dilakukan.
Nomor EPID adalah suatu nomor-kode yang khas bagi setiap penderita CRS dan ditentukan
sesuai dengan tata-cara penentuan nomor EPID.
Memberikan kode identitas yang khas bagi setiap penderita CRS untuk kepentingan
pencatatan pelaporan dan pengelolaan spesimen.
Untuk menghubungkan data klinis, epidemiologis, demografis dan laboratorium.
Menghindari kemungkinan duplikasi dalam pencatatan dan pelaporan kasus CRS.
Pemberian nomor EPID dilakukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi yang membawahi
wilayah dimana rumah sakit sentinel berada.
Daftar nomor EPID harus disimpan di provinsi yang membawahi wilayah tempat rumah
sakit sentinel berada. Bila nomor EPID sudah digunakan atau salah diberikan, nomor
tersebut tidak boleh dipakai lagi.
Setiap kasus CRS diberi nomor EPID. Tata cara penomoran EPID pada kasus CRS
sama dengan tatacara pemberian nomor EPID AFP, tetapi didahului dengan huruf
CRS.(Lihat Pedoman AFP).
A. Pemantauan
Pemantauan terhadap pelaksanaan surveilans CRS harus dilakukan untuk menjaga
kualitas pelaksanaan surveilans CRS. Tujuan utama pemantauan surveilans CRS adalah
untuk melihat apakah sistem yang ada berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Pemantauan
ini harus diikuti dengan upaya mengidentifikasikan dan memecahkan masalah yang dihadapi
bila pelaksanaan surveilans CRS tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Pemantauan harus dilakukan secara rutin sehingga dapat mengidentifikasi masalah yang
menghambat pelaksanaan surveilans CRS sedini mungkin. Pemantauan dilakukan terhadap:
Jejaring tim surveilans CRS RS dan dinas kesehatan provinsi
Penemuan kasus di semua rumah sakit sentinel.
Pencatatan dan pelaporan kasus sampai dengan klasifikasi final.
Adekuasi spesimen dan penyebab spesimen tidak adekuat.
Berdasarkan identifikasi masalah dilakukan upaya perbaikan agar kinerja surveilans CRS
dapat ditingkatkan.
B. Evaluasi
Evaluasi terhadap surveilans CRS dilakukan secara berkala untuk melihat keberhasilan
surveilans CRS dalam mencapai tujuannya. Indikator yang digunakan adalah indikator kinerja
surveilans dan sejauh mana surveilans CRS dapat mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Evaluasi di rumah sakit sentinel dapat dilakukan dengan:
Menelaah register RS pada suatu periode tertentu (hospital record review = HRR). Untuk
menilai sensitifitas penemuan kasus di RS dengan cara mengecek ada atau tidaknya
kasus CRS yang dilaporkan.(Lihat tata cara surveilans aktif RS pada BAB II).
Mengecek keteraturan dan konsistensi kunjungan surveilans aktif rumah sakit (SARS)
untuk mencari kasus.
Identifikasi penyebab rendahnya sensitifitas penemuan kasus di RS.
Waktu dan cara pengambilan spesimen yang tepat diperlukan untuk memperoleh hasil
dan interpretasi yang tepat pula. Uji diganostik untuk konfirmasi CRS dilakukan untuk
melihat antibodi dan deteksi antigen. Waktu pengambilan spesimen menentukan tes
laboratorium yang akan dilakukan.
Pemeriksaan Serologi bertujuan untuk membantu menegakkan diagnosa dengan
mendeteksi adanya antibody spesifik dari virus rubela dan antibody bawaan. Spesimen
yang digunakan adalah serum.
Pemeriksaan isolasi bertujuan untuk identifikasi virus rubela dan pemeriksaan genotipe
ataupun epidemiologi molekular. Spesimen yang digunakan urin atau usap tenggorok.
2. Spesimen Adekuat
a. Spesimen Darah : Spesimen diterima di laboratorium tidak lebih dari 5 hari sejak
pengambilan dan dalam kondisi baik.
b. Spesimen Urin dan usap tenggorok : Spesimen dikirim ke laboratorium tidak lebih
dari 24 jam sejak pengambilan dan dalam kondisi baik.
Kriteria kondisi baik :
Volume cukup (serum 1 cc dan urin minimal 10 ml)
Dalam kondisi dingin (2-8oC)
Waktu pengiriman (transport) tidak lebih dari 48 jam
1. Pengambilan Spesimen
SERUM
1. Prosedur steril harus diikuti dalam pengambilan dan penanganan spesimen
2. Darah diambil 3 ml dengan menggunakan syringe atau vacutainer
3. Jika menggunakan syringe pindahkan darah ke tabung sentrifuge/vacutainer segera
beri identitas nama pasien
4. Biarkan tabung yang berisi darah dalam posisi berdiri selama 30-60 menit lalu
sentrifuge dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit.
5. Bila tidak ada centrifuge, diamkan selama 30 menit – 1 jam pada suhu ruangan
sampai serum terpisah atau maksimal 24 jam di dalam refrigerator
6. Serum diambil dengan menggunakan pipet steril, masukkan ke dalam wadah serum
dengan tutup ulir luar. Beri label sesuai form kasus (nama, no epid dan tanggal ambil).
URINE
1. Urin yang diambil sebaiknya urin pagi hari
2. Diperlukan 10-50 ml dari urin untuk setiap kasus dan di tampung dalam wadah bertutup
dan steril.
3. Secepatnya pot urin ditutup rapat lalu dimasukkan ke dalam kantong plastik dan diikat
kuat lalu beri identitas (nama, no epid, tanggal ambil) dan simpan di suhu 2-8oC
C. Penyimpanan Spesimen
Serum dan usap tenggorok harus disimpan dalam kondisi 2-8oC hingga dikirim maksimal 5
hari untuk serum dan 24 jam untuk usap tenggorok. Jika serum dan usap tenggorok disimpan
lebih lama maka simpan di freezer -20oC dan dikirim ke laboratorium dengan kondisi beku
menggunakan dry ice. Pengulangan pembekuan dan pencairan (freezing thawing) akan
mempengaruhi stabilitas antibodi. Urine disimpan di suhu 4oC dan kirim segera ke
laboratorium (< 24 jam). Semua spesimen sebaiknya dikirim ke laboratorium rujukan sesegera
mungkin.
D. Pengiriman Spesimen
1. Tabung serum / usap tenggorok dimasukkan dalam plastik yang telah diberi tissue / kertas
yang bisa menyerap untuk menyerap jika terjadi kebocoran, ikat yang rapat/selotip lalu
masukkan dalam wadah primer (box plastik). 1 tabung dimasukkan ke dalam 1 plastik
2. Masukkan form ke dalam plastik terpisah dengan spesimen
3. Masukkan wadah primer dan wadah urin ke dalam specimen carrier yang telah diberi ice
pack 4-5 buah. Tata sedemikian rupa hingga posisi spesimen tetap berdiri dan tidak pecah
saat terjadi goncangan
4. Letakkan form di bagian atas dan tutup
5. Jika pengiriman menggunakan dry ice, letakkan dry ice di bagian bawah dan sekeliling
specimen carrier lalu letakkan serum di bagian tengah. Lalu tambahkan ice pack di bagian
atas.
6. Segera kirim ke laboratorium rujukan
Tata cara pemberian nomor spesimen oleh laboratorium adalah sebagai berikut:
A. Identitas
Nama bayi: ............................................................................. Jenis Kelamin: Laki-laki Perempuan
Tanggal lahir: ___ /___ /___ (umur dalam bulan: ….........bulan)
Alamat: .....................................................................................................................................................
..................................................................................................................................................................
Tanggal notifikasi: ………..…… Tanggal investigasi: ………………. Tanggal pelaporan: …........………
Tempat bayi dilahirkan: ............................................................................................................................
Nama ibu: .................................................................................................................................................
Umur kehamilan saat bayi dilahirkan: .........……. minggu Berat badan bayi: …..…...……gram
C. Riwayat kehamilan :
Jumlah kehamilan sebelumnya: ...............................................................................................................
Apakah selama kehamilan terakhir ini Ibu pernah didiagnosa rubela dengan konfirmasi lab?
Bila ya, tanggal kejadian___/___/___
Apakah selama kehamilan terakhir ini Ibu pernah terpapar atau berkontak dengan orang yang menderita
ruam makulopapular?
Bila ya, umur kehamilan saat itu: ….......…….minggu.
Jelaskan dimana: ……………...................................................................................................................
E. Klasifikasi Final
CRS pasti (konfirmasi lab) CRS klinis Bukan CRS
Jika Bukan CRS, jelaskan:........................................................................................................................
Tanggal: ____/____/____
Provinsi : ................................................................................................................................................................................................
RS: .............................................................................................................................................................................................................
Nama Supervisor : ..............................................................................................................................................................................
Waktu Supervisi : ...............................................................................................................................................................................
B. Surat Keputusan RS untuk Tim Surveilans CRS …........................................................................ (Ada / Tdk Ada)
Jika Ada, Nomor SK: .....................................................................................................................................................................
D. Sarana Penunjang:
1. Formulir Investigasi Surveilans CRS ..........................................................................................(Ada/Tdk Ada)
2. Formulir Retrospektif Surveilans CRS........................................................................................(Ada/Tdk Ada)
3. Clinical Pathway pasien CRS...........................................................................................................(Ada/Tdk Ada)
Jika ada, jelaskan: ................................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................................................................