Anda di halaman 1dari 7

PENUGASAN ESAI

Anemia Defisiensi Besi pada Masyarakat di Wilayah Pesisir

Rima Cahyati Kusumadewi


H1A021142

Pertanyaan Nomor 7
(1065 kata)

Blok Keterampilan Belajar


Tahun Ajar 2021-2022
Anemia merupakan salah satu penyakit global serius yang sering dialami anak-anak
dan ibu hamil. Diperkirakan sekitar 42% balita dan 40% ibu hamil di seluruh dunia menderita
penyakit ini. Secara umum, anemia diartikan sebagai kondisi ketika konsentrasi hemoglobin
dalam darah berada di bawah kisaran normal, baik yang berhubungan dengan faktor nutrisi
maupun tidak (Kurniawan et al., 2006; Taylor, 2021). Kasus anemia ini masih sering terjadi
di negara berkembang termasuk Indonesia. Wilayah pesisir merupakan salah satu daerah
yang penduduknya rentan terkena anemia. Hasil penelitian di salah satu daerah pesisir di
Makassar, Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi anemia pada anak sekolah di daerah
tersebut sekitar 39,42% dengan tingkat pemenuhan asupan zat besi di bawah standar Angka
Kecukupan Gizi (AKG) yaitu sekitar 53,61% (Manampiring, 2008 dalam Supardin, Hadju &
Sirajuddin, 2013). Mengetahui pentingnya perhatian akan anemia ini, penulis mengangkat
topik tentang anemia di pesisir pantai. Esai ini akan membahas beberapa poin penting, yaitu
faktor penyebab anemia di pesisir pantai; peran pemerintah dan fasilitas kesehatan untuk
mengatasi anemia, terutama yang terjadi di pesisir pantai; serta upaya lain yang dapat
diterapkan di Indonesia untuk mengatasi anemia di pesisir pantai dengan mengamati solusi
permasalahan serupa di negara lain.

Secara umum, penyebab anemia ada berbagai macam, mulai dari kekurangan
beberapa unsur penting pada makanan seperti zat besi, asam folat, vitamin B12, dan vitamin
A, sampai karena beberapa penyakit infektif seperti malaria, TBC, HIV, dan infeksi parasit
(Taylor, 2021). Namun, diasumsikan bahwa sebagian besar anemia yang terjadi disebabkan
oleh kekurangan asupan zat besi (UNICEF/UNU/WHO/MI dalam Kurniawan et al., 2006).
Berdasarkan data dari Manampiring (2008) yang telah dikemukakan di atas, dapat dilihat
bahwa anemia di wilayah pesisir pantai umumnya dapat disebabkan oleh kekurangan asupan
zat besi pada penduduk di wilayah pesisir.

Lantas, faktor apa saja yang mungkin menyebabkan kekurangan asupan zat besi pada
masyarakat pesisir sehingga menyebabkan anemia? Jika ditelaah, ada banyak faktor yang
memungkinkan anemia defisiensi besi (Iron deficiency anemia/IDA) pada penduduk di
wilayah pesisir. Faktor-faktor tersebut dapat berupa faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal penyebab anemia defisiensi besi yaitu kemampuan tubuh dalam mengabsorpsi
zat besi. Kemampuan tubuh dalam mengabsorpsi zat besi dipengaruhi oleh faktor lingkungan
dan zat makanan lain yang dikonsumsi (Özdemir, 2015; Fitriany & Saputri, 2018). Faktor
eksternal yaitu faktor yang berasal dari luar tubuh penderita dan akan menjadi fokus bahasan
pada esai ini. Faktor eksternal dapat berhubungan dengan penyebab anemia defisiensi besi
secara langsung maupun tidak. Faktor yang berhubungan langsung yaitu pola konsumsi
nutrisi masyarakat di wilayah pesisir, sedangkan faktor yang berhubungan secara tidak
langsung misalnya faktor sosial, ekonomi, dan kebiasaan atau pola hidup masyarakat pesisir.

Pola konsumsi nutrisi merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap
terjadinya anemia. Jika konsumsi nutrisi yang mengandung zat besi rendah atau di bawah
standar, maka hal tersebut berpotensi menyebabkan anemia. Berdasarkan studi yang
dilakukan Hamidah (2017) terhadap masyarakat pesisir Indramayu, sumber nutrisi dominan
masyarakat di wilayah tersebut berasal dari konsumsi hewani berupa hasil laut. Sedangkan
konsumsi masyarakat akan sumber pangan nabati masih terbilang rendah secara keseluruhan.
Selain itu, berdasarkan studi yang dilakukan Supardin, Hadju, dan Sirajuddin (2013) pada
anak sekolah dasar di wilayah pesisir Makassar, anak sekolah dasar di wilayah tersebut jarang
mengonsumsi makanan yang mengandung zat besi tinggi seperti daging merah, misalnya
sapi. Bahkan, mereka sering mengonsumsi teh serta sumber zat besi non heme berupa
sayuran hijau. Padahal, menurut Tayel dan Ezzat (2015), penyerapan zat besi heme tidak
terlalu terpengaruh oleh kehadiran zat makanan lain sehingga memungkinkan penyerapannya
lebih tinggi daripada zat besi non heme yang penyerapannya dipengaruhi oleh kehadiran zat
makanan lain. Kandungan tanin dalam teh juga dapat menghambat penyerapan zat besi di
dalam tubuh, terutama jika dikonsumsi mendekati waktu makan (Machmud, Hatma & Syafiq,
2019).

Pola kebiasaan sarapan pagi juga menjadi faktor yang memengaruhi terjadinya
anemia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Leba, Manongga dan Boeky (2019) terhadap
anak sekolah dasar di wilayah pesisir dan non pesisir Kota Kupang, sebanyak 46% anak
dengan frekuensi sarapan pagi yang tidak rutin menderita anemia. Diperoleh juga bahwa dari
anak-anak sekolah dasar yang sarapan pagi, sekitar 62% menderita anemia karena kontribusi
energi saat sarapan yang kurang. Hal ini membuktikan bahwa kontribusi energi saat sarapan
mempunyai peran yang penting untuk mencegah anemia.

Selain pola konsumsi, faktor sosial dan ekonomi masyarakat pesisir juga
kemungkinan mengambil peran penting dalam kasus anemia di pesisir pantai. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan Hamidah (2017) pula, ditemukan bahwa profesi sebagian besar
kepala keluarga di daerah pesisir Indramayu adalah sebagai nelayan. Hal ini berdampak pada
pola konsumsi masyarakat di wilayah tersebut yang rata-rata sama setiap harinya dengan
susunan jenis makanan yang relatif sama pula. Selain itu, ditemukan pula bahwa pendidikan
tertinggi sebagian besar masyarakat di wilayah tersebut hanya mencapai jenjang sekolah
dasar. Hal ini berkaitan dengan tingkat pengetahuan dan kesadaran masyarakat yang rendah
mengenai pola konsumsi untuk mencegah anemia. Faktor profesi juga berpengaruh terhadap
ekonomi masyarakat. Jika nelayan di daerah pesisir tidak mendapat pemasukan yang cukup,
maka mungkin akan sulit untuk menyediakan sumber gizi seimbang sebagai salah satu
pencegahan anemia defisiensi besi.

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah


melakukan berbagai upaya untuk mengatasi anemia. Upaya tersebut dapat dikategorikan
menjadi upaya preventif (pencegahan) dan represif (penanggulangan). Contoh upaya
preventif yang telah dilakukan adalah penyuluhan kesehatan tentang anemia pada ibu hamil,
publikasi buku Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Anemia pada Remaja Putri dan
Wanita Usia Subur, serta kampanye mengenai anemia dan pencegahannya menggunakan
berbagai jenis media. Upaya represif yang dilakukan yaitu pemberian suplemen Tablet
Tambah Darah (TTD), terutama pada remaja putri dan wanita usia subur. Berdasarkan
penelitian pada remaja putri Kupang (NTT) pada tahun 2002, penggunaan TTD selama 16
minggu secara mingguan terbukti lebih efektif meningkatkan kadar hemoglobin dan serum
feritin dibandingkan pengonsumsian TTD selama 4 siklus menstruasi selama 4 hari berturut
saat menstruasi. Pemberian TTD 1 kali seminggu juga dilakukan oleh beberapa negara seperti
India, Bangladesh, serta Vietnam, dan terbukti program tersebut mampu menurunkan
prevalensi anemia di negara tersebut. Upaya lain yang dapat dilakukan adalah fortifikasi
bahan makanan menggunakan zat besi. Belum ditemukan literatur yang membuktikan adanya
program fortifikasi bahan makanan yang dilakukan oleh Kemenkes RI secara nasional, tetapi
sudah ada beberapa studi mengenai pembuktian efektivitas fortifikasi zat besi di Indonesia.
Penelitian yang dilakukan pada ibu hamil menunjukkan bahwa pemberian biskuit ubi jalar
terfortifikasi dengan frekuensi tiga kali seminggu selama 2 bulan mampu menaikkan kadar
hemoglobin dari angka sekitar 9,87 menjadi sekitar 11,89 (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2018; Pujiastutik et al., 2020).

Selain program-program yang dilakukan pemerintah di atas, kesadaran dari


masyarakat juga sangat dibutuhkan untuk mengurangi kasus anemia yang terjadi di
Indonesia, khususnya yang terjadi di daerah pesisir.

Anemia defisiensi besi pada masyarakat, khususnya di wilayah pesisir, membutuhkan


perhatian yang lebih dari pemerintah Indonesia. Ada berbagai faktor yang menyebabkan
anemia defisiensi besi pada masyarakat wilayah pesisir, di antaranya faktor pola konsumsi
nutrisi serta faktor sosial dan ekonomi di wilayah pesisir itu sendiri. Untuk mengatasi anemia
defisiensi besi, pemerintah telah melakukan berbagai upaya, mulai dari upaya pencegahan
sampai upaya penanggulangan.
Daftar Pustaka

Fitriany, J. and Saputri, A. I. (2018) ‘Anemia Defisiensi Besi. Jurnal’, Jurnal Kedokteran dan
Kesehatan Malikussaleh, 4(2).

Hamidah, I. (2017) ‘Studi tentang pola konsumsi masyarakat pesisir Indramayu’, Mangifera
Edu: Jurnal Biologi dan Pendidikan Biologi, 1(2), pp. 46–51.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2018) Pedoman Pencegahan dan


Penanggulangan Anemia pada Remaja Putri dan Wanita Usia Subur (WUS).

Kurniawan, Y. A. I. et al. (2006) ‘Anaemia and iron deficiency anaemia among young
adolescent girls from peri urban coastal area of Indonesia’, Asia Pacific Journal of Clinical
Nutrition, 15(3), pp. 350–356.

Leba, I. S., Manongga, S. and Boeky, D. (2019) ‘Studi Kebiasaan Sarapan Pagi dan
Pengaruhnya Terhadap Status Anemia dan Prestasi Belajar Anak Sekolah Dasar di Wilayah
Pesisir dan Non Pesisir’, Lontar : Journal of Community Health, 1(2), pp. 38–47. doi:
10.35508/ljch.v1i2.2158.

Machmud, P. B., Hatma, R. D. and Syafiq, A. (2019) ‘Tea Consumption and Iron-Deficiency
Anemia among Pregnant Woman in Bogor District , Indonesia’, Media Gizi Mikro Indonesia,
10(2), pp. 91–100. Available at: https://doi.org/10.22435/mgmi.v10i2.1384.

Özdemir, N. (2015) ‘Iron deficiency anemia from diagnosis to treatment in children’, Turk
Pediatri Arsivi, 50(1), pp. 11–19. doi: 10.5152/TPA.2015.2337.

Pujiastutik, Y. E. et al. (2020) ‘EFIKASI FORTIFIKASI SEBAGAI DETERMINAN


ANEMIA KEHAMILAN DENGAN BISKUIT SWEET POTATO ( Ipomoea batatas L.)
EFICACY OF FORTIFED AS DETERMINANT ANEMIA PREGNANCY WITH SWEET
POTATO ( Ipomoea Batatas L. ) COOKIES’, Jurnal Wiyata, 7(1), pp. 69–77.

Supardin, N., Hadju, V. and Sirajuddin, S. (2013) HUBUNGAN ASUPAN ZAT GIZI
DENGAN STATUS HEMOGLOBIN PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI WILAYAH PESISIR
KOTA MAKASSAR TAHUN 2013. Universitas Hasanuddin.

Tayel, D. I. and Ezzat, S. (2015) ‘Anemia and Its Associated Factors among Adolescents in
Alexandria, Egypt Related papers’, International Journal of Health Sciences and Research
(IJHSR), 5(10), pp. 260–271. Available at: www.ijhsr.org (Accessed: 1 September 2021).
Taylor, A. (2021) Anaemia, World Health Organization. Available at:
https://www.who.int/health-topics/anaemia#tab=tab_1 (Accessed: 29 August 2021).

Anda mungkin juga menyukai