Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Landasan Teori


II.1.1 Fisiologi Metabolisme Glukosa
Karbohidrat terdapat dalam berbagai bentuk, yaitu monosakarida, dan
unit-unit kimia yang kompleks, seperti disakarida dan polisakarida. Karbohidrat
yang sudah ditelan akan dicerna menjadi monosakarida dan diabsorpsi terutama
dalam duodenum dan jejenum proksimal. Setelah diabsorpsi, kadar glukosa yang
ada di darah sebagian besar bergantung pada hati yang (1) mengekstraksi glukosa,
(2) mensintesis glikogen, dan (3) melakukan glikogenolisis. Dalam jumlah yang
lebih sedikit, jaringan perifer seperti jaringan otot dan jaringan adiposa juga ikut
berperan dalam mempertahankan kadar glukosa dalam darah (Price & Wilson,
2015).
Jumlah glukosa yang diambil dan dilepaskan oleh hati dan yang digunakan
oleh jaringan-jaringan perifer bergantung pada keseimbangan fisiologis dari
beberapa hormon yaitu (1) hormon yang menurunkan kadar glukosa darah, atau
(2) hormon yang meningkatkan kadar glukosa darah. Insulin merupakan hormon
yang menurunkan glukosa darah, dibentuk oleh sel-sel beta di pulau langerhans
pankreas. Hormon yang meningkatkan kadar glukosa darah, antara lain: (1)
glukagon yang disekresi oleh sel-sel alfa di pulau langerhans pankreas, (2)
epinefrin yang disekresi oleh medulla adrenal dan jaringan kromafin lain, (3)
glukokortikoid yang disekresi oleh korteks adrenal, dan (4) growth hormone yang
disekresi oleh kelenjar hipofisis anterior. Glukagon, epinefrin, glukokortikoid, dan
growth hormone, membentuk suatu pelawan mekanisme regulator yang mencegah
timbulnya hipoglikemia akibat pengaruh insulin (Price & Wilson, 2005).

II.1.2 Fisiologi Hormon Insulin


Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino,
dihasilkan oleh sel beta kelenjar pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada
rangsangan pada sel beta, insulin disintesis dan kemudian disekresikan kedalam
darah sesuai kebutuhan tubuh untuk keperluan regulasi glukosa darah. Secara

5
6

fisiologis, regulasi glukosa darah yang baik diatur bersama dengan hormon
glukagon yang disekresikan oleh sel alfa kelenjar pankreas. Dalam keadaan
fisiologis, insulin disekresikan sesuai dengan kebutuhan tubuh normal oleh sel
beta dalam dua fase, sehingga sekresinya berbentuk biphasic. Seperti
dikemukakan, sekresi insulin normal yang biphasic ini akan terjadi setelah adanya
rangsangan seperti glukosa yang berasal dari makanan atau minuman. Sekresi fase
1 (acute insulin secretion responce) adalah sekresi insulin yang terjadi segera
setelah ada rangsangan terhadap sel beta, fase ini berlangsung relatif cepat dan
berkontribusi besar dalam pengendalian kadar glukosa postprandial untuk
mencegah terjadinya hiperglikemia akut setelah makan. Sekresi fase 2 (sustained
phase, latent phase) adalah fase dimana sekresi insulin kembali meningkat secara
perlahan dan bertahan dalam waktu yang relatif lama. Sekresi insulin di fase 2
belangsung relatif lama, apabila sekresi fase 1 tidak adekuat maka akan terjadi
mekanisme kompensasi dalam bentuk peningkatan sekresi insulin pada fase 2.
Pada saat terjadi kelainan atau penyakit, sekresi fase 2 akan banyak dipengaruhi
oleh fase 1 (Sudoyo dkk, 2009).

Sumber: Sudoyo dkk, 2009


Gambar 1 Dinamika Sekresi Insulin Setelah Makan pada Keadaan
Normal dan Keadaan Disfungsi Sel Beta

Gambar 1 memperlihatkan dinamika sekresi insulin pada keadaan nomal,


Toleransi Glukosa Terganggu (Impaired Glucose Tolerance = IGT), dan DM tipe-
7

2 (Type 2 diabetes mellitus = Type 2DM). Setelah insulin di sekresi, pada jaringan
perifer seperti jaringan otot dan lemak, insulin akan berikatan dengan sejenis
reseptor (insulin receptor substrate) yang terdapat pada membran sel tersebut.
Ikatan antara insulin dan reseptor akan mengahasilkan semacam sinyal yang
berguna bagi proses regulasi atau metabolisme glukosa didalam sel otot dan
lemak. Untuk mendapatkan proses metabolisme glukosa yang normal, selain
diperlukan mekanisme serta dinamika sekresi yang normal, dibutuhkan juga aksi
insulin yang berlangsung normal. Rendahnya sensitivitas atau tingginya resistensi
jaringan tubuh terhadap insulin merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya
DM tipe-2. Gangguan baik dari produksi maupun aksi insulin, menyebabkan
gangguan pada metabolisme glukosa, dengan berbagai dampak yang
ditimbulkannya. Faktor tidak adekuatnya sekresi insulin (defisiensi insulin) dan
kurang sensitifnya jaringan tubuh terhadap insulin (resistensi insulin), disertai
faktor lingkungan (enviroment) adalah faktor penyebab DM tipe-2 (Sudoyo dkk,
2009).

II.1.3 DM Tipe-2
II.1.3.1 Definisi
Pengertian DM menurut American Diabetes Assosiation (ADA) adalah
suatu kelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan keadaan
hyperglycaemia yang disebabkan karena kelainan sekresi insulin, gangguan kerja
insulin atau keduanya, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada
organ-organ seperti mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah (Fitriyani, 2012). DM
adalah gangguan metabolik yang secara genetik dan klinis termasuk heterogen
dengan manifestasi klinis berupa hilangnya toleransi glukosa. Jika telah
berkembang penuh secara klinis, maka DM ditandai dengan hiperglikemia puasa
dan postprandial, aterosklerotik dan penyakit vaskular mikroangiopati, dan
neuropati. Manifestasi klinis hiperglikemia biasanya sudah bertahun-tahun
mendahului timbulnya kelainan klinis dari penyakit vaskularnya (Price & Wilson,
2005).
Hyperglycaemia adalah salah satu manifestasi klinis dari penyakit DM
yang disebabkan karena kekurangan insulin, gangguan kerja insulin, ataupun
8

karena kedua alasan tersebut. DM dikategorikan menjadi 4 tipe berdasarkan


penyebab dasar dan gejala klinis, yaitu DM tipe-1, DM tipe-2, DM gestasional,
dan tipe spesifik lainnya. DM tipe-2 merupakan diabetes yang paling sering
terjadi (Sari, 2016). DM tipe-2 adalah penyakit gangguan metabolik yang di
tandai oleh kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas dan atau resistensi insulin (Fatimah, 2015).
DM tipe-2 merupakan penyakit yang muncul karena perubahan pola
makan di kota-kota yang telah bergeser dari pola makan tradisional yang
mengandung banyak karbohidrat dan serat dari sayuran, ke pola makan ke barat-
baratan, dengan komposisi makanan yang terlalu banyak mengandung protein,
lemak, gula, garam dan mengandung sedikit serat. Cara hidup yang sangat sibuk
dengan pekerjaan dari pagi hingga malam pada orang yang bekerja di perkantoran
dan hanya duduk di belakang meja menyebabkan kurangnya waktu untuk
berolahraga. Obesitas, aktivitas fisik, pola makan, hipertensi, merokok dan
riwayat keluarga menderita DM adalah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
kejadian DM tipe-2 (Sudoyo dkk, 2009).
DM adalah penyakit kronis serius yang terjadi karena pankreas tidak dapat
memproduksi hormon insulin (hormon yang mengatur kadar glukosa dalam
darah) yang cukup, atau karena tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan
insulin yang dihasilkan oleh pankreas (World Health Organization, 2016). DM
adalah kondisi dimana tingginya kadar glukosa dalam darah yang ditandai dengan
kadar gula darah puasa (GDP) > 126mg/dl atau gula darah sewaktu ≥ 200mg/dl
(WHO, 2006). Pada perjalanan penyakitnya, diabetes akan menimbulkan berbagai
komplikasi baik yang akut maupun yang kronis atau menahun apabila tidak
dikendalikan dengan baik. DM merupakan salah satu penyakit degeneratif yang
tidak dapat disembuhkan tetapi dapat dikendalikan, artinya apabila seseorang
sudah didiagnosis DM, maka seumur hidupnya akan menderita DM (Toharin dkk,
2015). DM biasa disebut dengan the silent killer karena penyakit ini dapat
mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam manifestasi
klinis seperti gangguan penglihatan mata, katarak, penyakit jantung, penyakit
ginjal, impotensi seksual, luka sulit sembuh, gangren, infeksi paru, gangguan
pembuluh darah, stroke dan sebagainya (Trisnawati & Setyorogo, 2013).
9

II.1.3.2 Klasifikasi

Tabel 1 Klasifikasi Etiologis DM

Destruksi sel beta, Umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut


Tipe 1 a. Autoimun
b. Idiopatik

Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi


Tipe 2 insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai
resistensi insulin

a. Defek genetik fungsi sel beta


b. Defek genetik kerja insulin
c. Penyakit eksokrin pankreas
d. Endokrinopati
Tipe lain
e. Karena obat atau zat kimia
f. Infeksi
g. Sebab imunologi yang jarang
h. Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM

DM gestasional

Sumber: Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2015

II.1.3.3 Epidemiologi
DM adalah penyebab utama kematian di dunia, 44,9% penduduk di dunia
meninggal akibat DM di usia kurang dari 60 tahun. Prevalensi DM lebih tinggi di
negara berkembang dibandingkan negara maju. Persentase kejadian DM di negara
berkembang adalah 90,2%, sedangkan di negara maju 61,6% (IDF, 2014).
Menurut WHO, populasi pasien DM di seluruh dunia meningkat dari 108 juta
pasien pada tahun 1980 menjadi 422 juta pasien di tahun 2014. Prevalensi pasien
DM pada usia diatas 18 tahun meningkat dari 4.7% pada tahun 1980 menjadi
8.5% pada tahun 2014. Diabetes adalah penyebab utama kebutaan, kegagalan
ginjal, serangan jantung, stroke, dan amputasi pada ekstremitas bawah. Pada tahun
2012, diperkirakan sekitar 1.5 juta kematian disebabkan karena DM, dan 2.2 juta
kematian karena kadar glukosa yang tinggi (WHO, 2016). Indonesia menduduki
urutan ke-7 di dunia untuk jumlah penderita DM pada tahun 2015 yaitu sekitar 10
10

juta orang menderita DM, dan diperkirakan jumlah ini akan meningkat menjadi
16.2 juta orang pada tahun 2040 (IDF, 2015).
Berdasarkan hasil pemeriksaan glukosa darah, parameter yang dianalisis
adalah proporsi DM, gula darah puasa terganggu, dan toleransi glukosa terganggu.
Tabel 2 menunjukkan proporsi DM pada penduduk umur ≥15 tahun berdasarkan
hasil pemeriksaan laboratorium dengan cut off points merujuk pada ADA 2011
dan gejala khas pada pasien DM. Proporsi DM di Indonesia sebesar 6,9 persen
dengan proporsi DM cenderung lebih tinggi pada wanita (Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan, Pemerintah RI, 2013).

Tabel 2 Proporsi DM pada Umur ≥ 15 Tahun Menurut Karakteristik


Tahun 2013
Karakteristik DM (%)
Jenis kelamin
Laki-laki 5,6 %
Wanita 7,7%
Indonesia 6,9 %
Sumber: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan, Pemerintah RI,
2013

Berdasarkan kajian data Riskesdas tahun 2013 perkiraan jumlah penderita


DM di provinsi Jawa Barat sekitar 418.110 jiwa (Pusat Data dan Informasi
Kementerian Kesehatan, Pemerintah RI, 2014). DM merupakan penyakit yang
termasuk ke dalam kategori 10 penyakit terbanyak rawat jalan rumah sakit di Kota
Cimahi tahun 2014, yaitu sebanyak 3.274 kasus pada usia 15 – 44 tahun dan
11.041 kasus pada usia 45 - >75 tahun (Dinas Kesehatan Pemerintah Kota
Cimahi, 2014).

II.1.3.4 Etiologi dan Patofisiologi


Patogenesis DM menurut Perkeni (2015) yang menyebabkan kerusakan
utama pada pasien DM adalah resistensi insulin pada otot dan hepar serta
kegagalan sel beta pankreas. Selain otot, hepar dan sel beta terdapat organ lain
yang menimbulkan terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2.
Terdapat 8 hal yang menyebabkan terjadinya patogenesis pada DM tipe-2 yang
11

dikenal sebagai omnious octet. Omnious octet atau 8 hal yang menyebabkan
toleransi glukosa pada DM tipe-2 adalah sebagai berikut:
a. Kegagalan Sel Beta Pankreas
Fungsi sel beta pankreas sangat berkurang pada saat pasien telah
didiagnosis sebagai penderita DM tipe-2.
b. Liver
Glukoneogenesis terjadi pada penderita DM tipe-2 yang
mengalami resistensi insulin berat sehingga menyebabkan
produksi glukosa basal oleh liver .
c. Otot
Akibat gangguan fosforilasi tirosin menyebabkan timbulnya
gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis
glikogen dan penurunan oksidasi glukosa sehingga semua ini
menyebabkan gangguan kinerja insulin yang multipel di
intramioselular.
d. Sel Lemak
Peningkatan proses lipolisis dan kadar asam lemak bebas dalam
plasma disebabkan oleh sel lemak yang resisten terhadap efek
antilipolisis dari insulin. Glukoneogenesis akan dirangsang oleh
peningkatan kadar asam lemak bebas yang akan menyebabkan
resistensi insulin di liver dan otot. Sekresi insulin juga terganggu
apabila kadar asam lemak yang tinggi.
e. Usus
Pada saat mengkonsumsi glukosa terjadi respon insulin yang besar
bila dibandingkan dengan pemberikan glukosa secara intravena.
Terdapat efek yang dikenal sebagai incretin yang disebabkan oleh
2 hormon yaitu GLP-1(glucagon-like polypeptide-1) dan GIP
(glucose dependent insulinotrophic polypeptide atau disebut juga
gastric inhibitory polypeptide). Defisiensi GLP-1 dan resisten
terhadap GIP didapatkan pada penderita DM tipe-2. Keberadaan
enzim DPP-4 memecah incretin sehingga incretin hanya berkerja
selama beberapa menit saja. Terjadi penyerapan karbohidrat pada
12

saluran pencernaan yang dibantu dengan kerja enzim alfa-


glukosidase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida
yang diserap usus dan meningkatkan glukosa darah setelah makan.
f. Sel Alpha Pankreas
Saat puasa terjadi sintesis glukagon dalam plasma meningkat yang
diproduksi oleh sel alpha. Peningkatan glukagon dalam plasma
menyebabkan produksi glukosa dalam keadaan basal oleh hepar
meningkat dibanding dengan individu yang normal.
g. Ginjal
Pada penderita diabetes terjadi peningkatan ekspresis gen SGLT-2
(Sodium Glukose co-Transporter). Gen SGLT-2 berperan untuk
menyerap kembali sekitar 90% glukosa yang terfiltrasi di ginjal
pada bagian convulated tubulus proksimal, sedangkan 10% akan
diabsorpsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan
asenden, yang pada akhirnya tidak ada glukosa di dalam urin.
h. Otak
Insulin dapat menekan nafsu makan yang hebat. Pada penderita
obesitas yang menderita DM tipe-2 ataupun tidak menderita DM
tipe-2 didapatkan insulin dalam darah yang tinggi yang merupakan
mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini
asupan makanan meningkat akibat resistensi insulin yang terjadi di
otak.

II.1.3.5 Faktor Risiko


DM tipe-2 adalah tipe diabetes yang prevalensinya paling banyak, dan
berkaitan dengan beberapa faktor yaitu faktor yang tidak dapat di modifikasi,
faktor yang dapat dimodifikasi, dan faktor lainnya (Fatimah, 2015). Menurut
American Diabetes Association (ADA) tahun 2017 bahwa DM berkaitan dengan
faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi meliputi riwayat keluarga dengan DM
(first degree relative), usia ≥45 tahun dan riwayat melahirkan bayi dengan berat
badan lahir bayi >4kg atau riwayat pernah menderita DM gestasional. Faktor
risiko yang dapat dimodifikasi meliputi obesitas berdasarkan IMT ≥25kg/m2 atau
13

lingkar perut ≥80 cm pada wanita dan ≥90 cm pada laki-laki, aktivitas fisik, diet
tidak sehat, hipertensi, dan dislipidemia (Fatimah, 2015).
a. Jenis Kelamin
Wanita lebih rentan menderita penyakit kronis seperti diabetes, dan
lebih rentan menderita cacat dibandingkan dengan laki-laki.
Diperkirakan tahun 2015-2050 bahwa mayoritas kasus DM terjadi
pada wanita dikarenakan kurangnya aktivitas fisik yang lebih sering
terjadi pada wanita dibandingkan pria dalam semua sub kelompok
populasi (Syamiyah, 2014). Wanita lebih sering terkena DM karena
pengaruh hormonal pada saat memasuki usia reproduksi. Sindroma
siklus bulanan (premenstrual syndrome) dan pasca-menopouse
membuat distribusi lemak tubuh menjadi mudah terakumulasi akibat
proses hormonal yang terjadi pada wanita usia reproduksi (Wahyuni,
2013).
b. Usia
Usia 15-49 tahun adalah usia rawan pada wanita untuk menderita DM
karena dipengaruhi oleh perubahan hormonal seperti pada saat wanita
mengalami premenstrual syndrome dan pasca-menopause (Wahyuni,
2013). Teori yang ada mengatakan bahwa seseorang dengan usia >45
tahun memiliki peningkatan risiko terhadap terjadinya DM dan
intoleransi glukosa yang disebabkan oleh faktor degeneratif yaitu
menurunnya fungsi tubuh, khususnya kemampuan dari sel β dalam
memproduksi insulin untuk memetabolisme glukosa (Betteng, 2014 ).
Wanita lebih berisiko mengidap diabetes karena secara fisik wanita
memiliki peluang peningkatan Indeks Masa Tubuh (IMT) yang lebih
besar, terutama wanita yang berada pada usia reproduksi yaitu usia
15-49 tahun (Wahyuni, 2013).
c. Riwayat Melahirkan Bayi >4kg
Wanita yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan berat lebih
dari 4kg dianggap berisiko terhadap kejadian DM tipe 2. Wanita yang
pernah melahirkan bayi dengan berat lebih dari 4kg biasanya dianggap
sebagai pre-diabetes (Syamiyah, 2014).
14

d. Riwayat Menderita DM Gestasional


Saat kehamilan, terjadi perubahan hormonal dan metabolik.
Perubahan metabolik ditandai dengan peningkatan kadar glukosa
dalam darah akibat pemenuhan kebutuhan energi untuk ibu dan janin.
Perubahan hormonal ditandai dengan meningkatnya hormon esterogen
dan hormon progestin. Peningkatan hormon esterogen dan hormon
progestin mengakibatkan keadaan jumlah/ fungsi insulin ibu tidak
optimal dan terjadi perubahan kinetika insulin dan resistensi terhadap
efek insulin. Efek dari resistensi insulin ini mengakibatkan kadar gula
darah ibu hamil tinggi sehingga terjadilah DM gestasional (Saldah,
2013). Wanita yang memiliki riwayat pernah menderita DM
gestasional merupakan individu yang berisiko untuk menderita DM
tipe-2 pada suatu saat kelak (Sudoyo dkk, 2009). Orang yang
menderita DM gestasional memiliki risiko 3-5% untuk menjadi DM di
masa mendatang (Rahmawati dkk, 2016).
e. Riwayat Keluarga
Timbulnya penyakit DM tipe-2 sangat dipengaruhi oleh faktor
genetik. Karena jika terjadi mutasi gen akan menyebabkan kekacauan
metabolisme yang berujung pada timbulnya DM tipe-2. Jika kedua
orang tua memiliki DM maka risiko keturunannya untuk menderita
DM adalah 75%. Orang yang memiliki ibu dengan DM memiliki
risiko 10-30% lebih besar daripada orang yang memiliki ayah dengan
DM. Hal ini dikarenakan penurunan gen sewaktu dalam kandungan
lebih besar dari ibu.
f. Aktivitas Fisik dan Pola Makan
Kurangnya aktivitas fisik menyebabkan jumlah energi yang
dikonsumsi melebihi jumlah energi yang dikeluarkan, sehingga
menimbulkan kelebihan energi yang akan disimpan di jaringan
adipose berupa lemak. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya
resistensi insulin yang berkembang menjadi DM tipe-2 (Garnita,
2012).
15

g. Riwayat Merokok
Pengaruh nikotin terhadap insulin di antaranya menyebabkan
penurunan pelepasan insulin akibat aktivasi hormon katekolamin,
pengaruh negatif pada kerja insulin, gangguan pada sel β pankreas dan
perkembangan ke arah resistensi insulin (Ario, 2014).
h. Hipertensi
Seseorang dikatakan hipertensi jika sistolik ≥ 140 mmHg atau
diastolic ≥91mmHg. Hipertensi akan menyebabkan resistensi insulin
sehingga terjadi hyperinsulinemia yang merupakan mekanisme
kompensasi tubuh agar kadar glukosa dalam darah kembali normal.
Mekanisme mengenai hipertensi menyebabkan resistensi insulin
masih belum jelas, namun diduga bila tidak diatasi maka akan
mengalami gangguan Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) yang dapat
memicu kerusakan sel beta dan terjadilah DM tipe-2 (Fitriyani, 2012).
i. Indeks Masa Tubuh (IMT)
Indeks masa tubuh dihitung sebagai berat badan dalam kilogram (kg)
dibagi tinggi badan dalam meter dikuadratkan (m2) dan tidak terkait
dengan jenis kelamin. Penggunaan IMT hanya berlaku untuk orang
dewasa yang berusia 18 tahun ke atas. IMT tidak diterapkan pada
bayi, anak, remaja, ibu hamil dan olahragawan, serta tidak dapat
diterapkan dalam keadaan khusus (penyakit lainnya), seperti edema,
asites, dan hepatomegaly (Fathmi, 2012).

Berat badan (kg)


IMT =
Tinggi badan (m2)

Indeks masa tubuh banyak digunakan di rumah sakit untuk mengukur


status gizi pasien karena IMT dapat memperkirakan ukuran lemak
tubuh yang sekalipun hanya estimasi, tetapi lebih akurat daripada
pengukuran berat badan saja. Pengukuran IMT lebih banyak
dilakukan pada orang yang kelebihan berat badan atau yang lebih
berisiko untuk menderita penyakit DM, penyakit jantung, stroke,
16

hipertensi, osteoarthritis, dan beberapa penyakit lain seperti kanker


(Fathmi, 2012).

Tabel 3 Pembagian Indeks Masa Tubuh Menurut Perkeni (2011)


IMT (Kg/m2)
Berat badan kurang (Underweight) <18,5
Berat badan normal (Normoweight) 18,5-22,9
Berat badan berlebih (Overweight) ≥23,0
Dengan risiko 23,0-24,9
Obese I 25,0-29,9
Obese II >30
Sumber: Fathmi, 2012

Hasil IMT yang masuk kategori obesitas perlu diwaspadai. Obesitas


merupakan faktor risiko yang berperan penting terhadap penyakit DM
(Fathmi, 2012). Penyebab obesitas adalah kurangnya aktivitas fisik
serta tingginya konsumsi karbohidrat, protein, dan lemak yang
merupakan faktor risiko dari obesitas yang menyebabkan
meningkatnya Asam Lemak atau Free Fatty Acid (FFA) di dalam sel.
Peningkatan FFA ini akan menurunkan translokasi transporter glukosa
ke membran plasma, dan menyebabkan terjadinya resistensi insulin
pada jaringan otot dan adipose (Garnita, 2012).
j. Dislipidemia
Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan
peningkatan maupun penurunan fraksi lipid dalam plasma.
Dislipidemia terbagi atas dua, dislipidemia primer dan dislipidemia
sekunder. Dislipidemia primer adalah dislipidemia yang tidak
diketahui sebabnya, sedangkan dislipidemia sekunder merupakan
dislipidemia akibat adanya penyakit yang mendasari, seperti sindrom
nefrotik, DM, dan hipertiroidisme. Selain itu dislipidemia dapat juga
dibagi atas profil lipid yang menonjol, seperti hiperkolesteroemia,
hipertrigliseridemia, isolated low HDL-cholesterol, dan dislipidemia
campuran. Kelainan fraksi lipid yang paling utama adalah kenaikan
17

kadar kolesterol total (>240mg/dl), kolesterol LDL (>160mg/dl),


kenaikan kadar trigliserida (>200mg/dl) serta penurunan kadar HDL.
Dislipidemia merupakan faktor risiko DM tipe-2 (Jorgy, 2015).
k. Sindrom Polikistik Ovarium
Sindrom ovarium polikistik adalah suatu kelainan pada wanita yang
ditandai dengan adaya hiperandrogenisme dengan anovulasi kronik
yang saling berhubungan dan tidak disertai dengan kelainan pada
kelenjar adrenal maupu kelenjar hipofisis. Keadaan ini disebabkan
karena adanya kelainan genetik yaitu peningkatan aktivitas sitokrom
p-450c17 (enzim yang diperlukan untuk pembentukan androgen
ovarium) yang menyebabkan hiperandrogenisme dan resistensi
insulin. Resistensi insulin pada sindrom polikistik ovarium
menyebabkan peningkatan kadar gula darah plasma sehingga berisiko
untuk menderita DM (Maharani, 2002)

II.1.3.6 Gejala Klinis


Menurut Perkeni (2015) gejala klinis pada pasien DM adalah sebagai
berikut:
a. Gejala yang paling sering terjadi pada DM adalah poliuria, polidipsia,
polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak diketahui sebabnya.
b. Gejala lain seperti merasa lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, dan
tejadi disfungsi ereksi pada pria, dan pruritus vulva pada wanita
Menurut American Diabetes Association (ADA) pada tahun 2015 gejala
DM adalah sebagai berikut:
a. Sering buang air kecil
b. Merasa sangat haus dan merasa sangat lapar meskipun setelah makan
c. Kelelahan hebat
d. Pandangan kabur
e. Luka atau memar yang lambat untuk sembuh
f. Kesemutan, nyeri, atau mati rasa pada tangan atau kaki
18

II.1.3.7 Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan cara melakukan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria
(Perkeni 2015).

Tabel 4 Kriteria Diagnosis DM


Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada asupan
kalori minimal 8 jam
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2 jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral
(TTGO) dengan beban glukosa 75 gram.
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik
Atau
Pemeriksaan HbA1c ≥ 6,5% dengan menggunakan Metode yang terstandarisasi oleh
National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP)
Sumber: Perkeni, 2015

Menurut Perkeni tahun 2015, jika hasil pemeriksaan tidak memenuhi


kriteria normal atau kriteria DM maka akan digolongkan ke dalam kelompok pre-
diabetes yaitu, Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) dan Glukosa Darah Puasa
Terganggu (GDPT).
a. Glukosa darah puasa terganggu (GDPT) : Hasil pemeriksaan glukosa
plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa
plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa
plasma 2 jam <140 mg/dl.
b. Toleransi glukosa terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa
plasma 2 jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma
puasa <100 mg/dl.
c. Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
19

d. Diagnosis pre-diabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil


pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.

Tabel 5 Kadar Tes Laboratorium Darah Untuk Diagnosis Diabetes dan


Pre-diabetes
Glukosa plasma 2
Glukosa darah
HbA1c (%) jam setelah TTGO
puasa (mg/dL)
(mg/dL)
Diabetes ≥6,6 ≥ 126mg/dL ≥ 200mg/dL
Pre-diabetes 5,7-6,4 100-125 140-199
Normal <5,7 <100 <140
Sumber: Perkeni, 2015

Menurut Perkeni tahun 2015 untuk menegakkan diagnosis DM tipe-2 dan


pre-diabetes pada kelompok risiko tinggi yang menunjukkan gejala klasik DM
dapat dilakukan pemeriksaan penyaring. Pemeriksaan penyaring ini dilakukan
pada kelompok berisiko seperti:
a. Kelompok dengan berat badan lebih (IMT ≥23 kg/m2) yang disertai
dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai berikut:
1) Aktivitas fisik yang kurang.
2) First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM
dalam keluarga).
3) Kelompok ras/etnis tertentu
4) Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan Berat
Badan Lahir (BBL) > 4 kg atau mempunyai riwayat DM
gestasional (DMG)
5) Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi
untuk hipertensi).
6) HDL <35 mg/dL dana tau trigliserida >250 mg/dL.
7) Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.
8) Riwayat pre-diabetes
9) Obesitas berat, akantosis nigrikans, riwayat penyakit
kardiovaskular
20

b. Usia >45 tahun tanpa faktor risiko diatas.


Kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan glukosa plasma normal
sebaiknya diulang setiap 3 tahun, kecuali pada kelompok pre-diabetes
pemeriksaan diulang setiap 1 tahun. Pada keadaan yang tidak memungkinkan dan
tidak tersedia fasilitas pemeriksaan TTGO, maka pemeriksaan penyaring dengan
menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler, diperbolehkan untuk
menentukan diagnosis DM. Dalam hal ini harus diperhatikan adanya perbedaan
hasil pemeriksaan glukosa darah plasma vena dan glukosa darah kapiler (Perkeni,
2015).

Tabel 6 Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Sebagai Ketentuan Penyaring


dan Diagnosis DM (mg/dl)
Bukan DM Belum pasti DM DM

Kadar glukosa darah Plasma vena <100 100-199 ≥200


sewaktu (mg/dl) Darah kapiler <90 90-199 ≥200
Kadar glukosa darah Plasma vena <100 100-125 ≥126
puasa (mg/dl) Daah kapiler <90 90-99 ≥100
Sumber: Perkeni, 2015

II.1.3.8 Tujuan Penatalaksanaan


Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup
penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan DM menurut perkeni tahun 2015
meliputi:
a. Tujuan jangka pendek: menghilangkan gejala klinis DM, memperbaiki
kualitas hidup pasien, dan Mengurangi risiko komplikasi akut.
b. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas
penyulit mikroangiopati dan makroangiopati pada pasien.
c. Tujuan akhir pengelolaan adalah menurunkan morbiditas dan
mortalitas DM.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa
darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien
secara komprehensif.
21

II.1.3.9 Penatalaksanaan Non Medikamentosa


Penatalaksanaan non medikamentosa untuk pasien DM yang memiliki
IMT lebih dari kriteria normal adalah pasien perlu mengikuti program penurunan
berat badan dengan cara melakukan diet makanan sehat, yaitu disarankan
konsumsi makanan karbohidrat kompleks, makanan tinggi serat dan mengurangi
makanan yang mengandung banyak lemak jenuh. Selain disarankan diet makanan
sehat pasien disarankan melakukan olahraga 3-4 kali seminggu untuk
memaksimalkan program penurunan berat badan (Perkeni, 2015).

II.1.3.10 Penatalaksanaan Medikamentosa


Terapi medikamentosa untuk pasien DM diberikan bersamaan dengan
pengaturan pola makan yang sehat dan olahraga yang rutin (Gaya hidup sehat).
Terapi yang diberikan terdiri dari obat anti-hiperglikemia oral dan suntikan
insulin. Pemilihan obat anti-hiperglikemia oral yang diberikan harus
mempertimbangkan keamanan, efektifitas, penerimaan pasien, ketersediaan dan
harga, dengan demikian pemilihan obat harus didasarkan kebutuhan/kepentingan
penyandang DM secara perseorangan. Berdasarkan cara kerjanya obat anti-
hiperglikemia oral dibagi menjadi 5 golongan:
a. Pemacu sekresi insulin (Insulin Secretagogue) yaitu sulfonilurea dan
glinid.
b. Peningkat sensitivitas terhadap insulin yaitu metformin dan
tiazolidindion (TZD).
c. Penghambat absorbsi glukosa di saluran pencernaan yaitu penghambat
alfa glukosidase yaitu acarbose.
d. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV) yaitu sitagliptin dan
linagliptin.
e. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2) yaitu
canagliflozin, empagliflozin, dapagliflozin dan ipragliflozin (Perkeni,
2015).
22

II.1.3.11 Komplikasi
Pada penderita DM yang tidak terkontrol dapat terjadi komplikasi
metabolik akun maupun komplikasi vaskuler yang kronik, baik mikroangiopati
maupun makroangiopati. Komplikasi kronis yang dapat terjadi akibat DM yang
tidak terkendali adalah:
a. Kerusakan saraf (Neuropati)
b. Kerusakan ginjal (Nefropati)
c. Kerusakan mata (Retinopati)
d. Penyakit jantung coroner (PJK)
e. Hipertensi dan stroke
f. Penyakit pembuluh darah perifer
g. Gangguan pada hati
h. Penyakit paru
i. Gangguan saluran cerna
j. Infeksi (Ndraha, 2014)

Hipertensi merupakan suatu faktor risiko utama untuk penyakit


kardiovaskular dan komplikasi mikrovaskular seperti nefropati dan retinopati.
Selain menjadi faktor risiko DM tipe-2, hipertensi juga dapat memperburuk
komplikasi DM (Syamiyah, 2014). Merokok mingkatkan kejadian diabetes dan
memperburuk homeostasis glukosa dan komplikasi DM yang kronis. Merokok
berhubungan kuat dengan komplikasi mikrovaskuler, onset dan perkembangan
nefropati diabetes (Syamiyah, 2014).
23

II.2 Penelitian Terkait

Tabel 7 Penelitian Terkait


Nama dan Tahun
No. Judul Penelitian Persamaan dan Perbedaan
Penelitian
1. Najah Syamiyah, Faktor Risiko Kejadian a. Persamaan
2014 DM Tipe-2 Pada 1) Populasi yang diteliti
Wanita di Puskesmas berjenis kelamin wanita
Kecamatan 2) Beberapa variabel
Pesanggrahan Jakarta independen sama yaitu
Selatan Tahun 2014. riwayat keluarga dan
hipertensi
b. Perbedaan
1) Beberapa variabel
independen berbeda yaitu
IMT dan usia
2) Desain penelitian case
control
3) Metode pengambilan sample
adalah simple random
sampling dengan teknik
sampling purposive
sampling
2. Erniati, 2012 Faktor-faktor yang a. Persamaan
berhubungan dengan 1) Desain penelitian cross
kejadian DM tipe-2 sectional
pada lanjut usia di pos b. Perbedaan
pembinaan terpadi 1) Variabel independen berbeda
Kelurahan cempaka yaitu obesitas dan usia
putih tahun 2012 2) Metode pengambilan sample
adalah simple random
sampling
3) Pengambilan data
menggunakan wawancara
dan pengukuran gula darah
24

dengan glucosemeter
3. Gaby Hasanah Faktor-faktor yang a. Persamaan
Jorgy, 2015 berhubungan dengan 1) Desain penelitian Cross
kejadian DM tipe 2 sectional
pada wanita dewasa di 2) Variabel independen sama
daerah perkotaan di yaitu umur, IMT, Hipertensi,
Indonesia tahun 2013 riwayat keluarga
b. Perbedaan
1) Teknik sampling yang
digunakan adalah total
sampling

4. Richardo Betteng, Analisis faktor risiko a. Persamaan


2014 penyebab terjadinya 1) Beberapa variabel
DM tipe-2 pada wanita independen sama yaitu usia
usia produktif di dan aktivitas fisik
puskesmas wawonasa b. Perbedaan
1) Rancangan penelitian
mengunakan metode
kualitatif, yang
menghasilkan data deskriptif
berupa tulisan hasil dari
wawancara pada informan.

5. Wahyu Ratri Faktor risiko kejadian a. Persamaan


Sukmaningsih, DM tipe 2 di wilayah 1) Beberapa variabel

2016 kerja puskesmas independen sama yaitu


purwodiningratan riwayat keluarga dan
Surakarta aktivitas fisik
b. Perbedaan
1) Desain penelitian case
control
2) pengambilan sample dengan
Teknik proportionate
stratified random sampling
25

II.3 Kerangka Teori

Aktifitas Pola makan


Dislipidemia IMT Usia Riwayat diabetes
fisik buruk
gestasional

Obesitas
- Kadar kolesterol Wanita usia
Output energi dan intake Wanita Lansia
total dan LDL reproduksi (Pasca- Sekresi Progesterone,
nutrisi tidak seimbang
(Syndrome pre- menopause) Estrogen dari Plasenta
- HDL Kadar kolesterol menstruasi)
total dan LDL

Intake energi lemak tubuh Faktor Resistensi


Asam lemak bebas berlebihan lebih mudah degeneratif Insulin
dari lemak visceral terakumulasi
Hipertensi
Triasilgliserol (TAG) Berat Fungsi sel
Hambatan banyak terbentuk di badan beta pankreas
Resistensi kerja insulin jaringan berlebih
insulin
Obesitas
transprter glukosa Gangguan sinyal insulin
ke membrane pada sel hepatosit dan
plasma adiposit

Riwayat
Keluarga Resistin Adiponectine
Hormone Hormone
Merokok
Mutasi
genetik Indikasi Sensitivitas
resistensi insulin Insulin Nikotin mengaktivasi
Katekolamin
Gangguan
metabolisme
glukosa
Resistensi Penurunan
Insulin pelepasan insulin

Sensitifitas insulin terhadap sel Sekresi Insulin

Hiperglikemi
a Riwayat melahirkan
Pra-diabetes bayi >4kg
Prevalensi
DM tipe-2
penyakit

Sumber, Price
Sumber& Wilson,
: Price & Wilson,2005; Syamiyah,
2005, Wahyuni, 2014;2014,
2013, Syamiyah, Fathmi, 2013;
Fathmi, 2013, Perkeni, 2015 Faktor yang diteliti

Perkeni, 2005 Faktor yang tidak diteliti

Bagan 1 Kerangka Teori

II.4 Kerangka Konsep

Variabel Independen
 Usia
Variabel Dependen
 Riwayat keluarga
 Aktivitas fisik Pasien DM tipe-2 pada
wanita
 IMT
 Hipertensi

Bagan 2 Kerangka Konsep


26

II.5 Hipotesa Penelitian


H1: Terdapat hubungan antara usia dengan kejadian DM tipe-2 pada
pasien wanita di RS Dustira Kota Cimahi periode April-Mei 2018.
H2: Terdapat hubungan antara riwayat keluarga dengan kejadian DM tipe-
2 pada pasien wanita di RS Dustira Kota Cimahi periode April-Mei
2018.
H3: Terdapat hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian DM tipe-2
pada pasien wanita di RS Dustira Kota Cimahi periode April-Mei
2018.
H4: Terdapat hubungan antara Indeks Masa Tubuh dengan kejadian DM
tipe-2 pada pasien wanita di RS Dustira Kota Cimahi periode April-
Mei 2018.
H5: Terdapat hubungan antara Hipertensi dengan kejadian DM tipe-2 pada
pasien wanita di RS Dustira Kota Cimahi periode April-Mei 2018.

Anda mungkin juga menyukai