Anda di halaman 1dari 39

PPH ORANG PRIBADI &

BADAN
SUHANDA

FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS ANDALAS


JURUSAN AKUNTANSI
Daftar Isi

1. PENGANTAR...............................................................................................................1
2. SUBJEK DAN OBJEK PPh..............................................................................................1
2.1 Subjek pajak Pajak Penghasilan...............................................................................6
2.2 Jenis Wajib Pajak: Wajib Pajak dalam Negeri dan Wajib Pajak Luar Negeri...........6
2.3 Pengecualian Subjek Pajak.......................................................................................9
3. OBJEK PAJAK PENGHASILAN.....................................................................................10
4. PENGURANGAN ATAS PENGHASILAN BRUTO..........................................................18
5. PELAKSANAAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN ORANG & BADAN...................................20
6. PERHITUNGAN PPh ORANG PRIBADI........................................................................22
7. PERHITUNGAN PPh BADAN......................................................................................30
7.1 Subjek & Perhitungan PPh Badan..........................................................................30
7.2 Penghitungan PPh Terutang...................................................................................31

1
PAJAK PENGHASILAN (PPh) WAJIB PAJAK ORANG
PRIBADI (OP) DAN BADAN

1. PENGANTAR

Modul Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan ini, membahas
tentang perhitungan dan pelaksanaan kewajiban pajak penghasilan atas orang
pribadi dan badan. Pembahasan materi dimulai dengan membahas tentang subjek
pajak penghasilan, objek pajak penghasilan, pengurangan atas penghasilan
penghasilan bruto, perhitungan pajak yang terutang dan terakhir membahas tentang
pelaporan pelaksanaan kewajiban pajak penghasilan. Terdapat dua tujuan dalam
pembahasan modul, yang pertama tujuan yang bersifat umum dan khusus. Masing-
masing tujuan tersebut sebagai berikut:

Tujuan umum

 Peserta dapat memahami tentang pelaksanaan kewajiban pajak penghasilan


Orang Pribadi dan Badan

Tujuan khusus

 Peserta kursus dapat menghitung pajak terutang orang pribadi dan Badan
 Pserta kursus diharapakan dapat memahami teknis pelaporan pelaksanaan
kewajiban pajak penghasilan orang dan Badan

2. SUBJEK DAN OBJEK PPh

Inti pembahasan tentang pajak penghasilan adalah tentang berapa pajak yang harus dibayar.
Terdapat dua hal harus ditentukan terlebih dahulu sebelum menentukan jumlah pajak yang
harus dibayar; pertama siapa subjeknya? dan kedua apakah penghasilan tersebut merupakan
objek pajak atau tidak. Subjek pajak yang sudah memiliki penghasilan yang dapat
dikenakan pajak, disebut dengan Wajib Pajak. Wajib Pajak merupakan subjek yang

2
mempunyai penghasilan yang dapat dikenakan pajak penghasilan, sehingga harus
melaksanakan kewajiban untuk membayar pajak penghasilan. Subjek yang belum
mempunyai penghasilan yang memenuhi kriteria, maka belum dapat diperlakukan sebagai
Wajib Pajak. Misalkan sebagai karyawan yang sudah mempunyai penghasilan diatas PTKP
maka wajib melaksankan pembayaran pajak. Penentuan pajak terutang merupakan hasil
dari perkalian tarif dengan dasar pengenakan pajak. Dasar Pengenakan Pajak (DPP) disebut
dengan penghasil kena pajak. Penghasilan Kena Pajak setiap WP berbeda-beda, tergantung
jenis dan kondisi WP.

Gambar 1: Elemen Penting Perhitungan Pajak Terutang

Subjek

Wajib
Siapa Pajak

Objek

PPh

DPP

Jumlah PPh
Terutang

Tarif

2.1 DASAR HUKUM

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan telah mengalami


beberapa kali perubahan dan terakhir tahun 2020 dilakukan perubahan melalui UU
No. 11/2020 tentang Citpa Kerja pada Klaster Perpajakan. Undang-undang Cipta

3
Kerja yang memuat klaster perpajakan, resmi berlaku dan diundangkan awal
November 2020 dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Undang-Undang Cipta Kerja memuat klaster perpajakan yang tercantum


pada Bab VI terkait Kemudahan Berusaha. Empat (4) undang-undang perpajakan
yang diatur dalam UU Cipta Kerja adalah:

 UU PPh, yaitu Undang-Undang UU No. 7/1983 tentang Pajak Penghasilan


jo. UU No. 36/2008.
 UU PPN dan PPnBM, yaitu Undang-Undang UU No. 8/1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (PPnBM) jo. UU No. 42/2009.
 UU KUP, yaitu Undang-Undang No. 16/2009 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan (KUP) jo. UU No. 6/1983.
 UU PDRD, yaitu Undang-Undang No. 28/2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah (PDRD)

Tujuan Klaster Perpajakan di UU Cipta Kerja, sebagai penyesuaian dari berbagai


aspek pengaturan terkait investasi yang belum masuk dalam Undang-Undang (UU)
Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem
Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Perubahan undang-undang dalam
klaster perpajakan di UU Cipta Kerja lebih kepada hal-hal yang berkaitan dengan
ekosistem investasi. Beberapa perubahan dalam UU PPh berdasarkan Undang-
Undang Cipta Kerja sebagai berikut:

1. Tidak Kena Pajak atas Dividen

Penghasilan dividen yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri yang
diperoleh Wajib Pajak (WP) orang pribadi atau badan diinvestasikan di
Indonesia dengan jumlah paling sedikit 30% dari laba setelah pajak, serta bagi
WP Badan syaratnya sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek Indonesia
sebelum DJP menerbitkan surat ketetapan pajak dividen tersebut, tidak
dikenakan pajak penghasilan.

4
Jika dividen dan penghasilan setelah pajak dari suatu BUT di luar negeri
yang diinvestasikan di Indonesia kurang dari 30% dari jumlah laba setelah
pajak, maka ketentuannya:

 Atas dividen dan penghasilan setelah pajak yang diinvestasikan


dikecualikan dari PPh
 Atas selisih dari 30% laba setelah pajak dikurangi dengan dividen
diinvestasikan dikenai PPh
 Atas sisa laba setelah pajak dikurangi dengan dividen yang
diinvestasikan tidak dikenai PPh

2. Tarif PPh dari Bunga Turun

Penurunan tarif PPh Pasal 26 atas penghasilan bunga. Ini merupakan


penambahan dalam Pasal 26 tentang PPh pada klaster perpajakan UU Cipta
Kerja, yakni pada ayat (1b) yang menyebutkan; Tarif sebesar 20% dari
jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan bunga termasuk
premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian
utang, dapat diturunkan dengan Peraturan Pemerintah (PP).

3. Ketentuan Pemajakan WNI dan WNA

Penegasan tentang Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) dan Subjek Pajak Luar
Negeri (SPLN). Artinya, baik WNI maupun WNA memiliki kewajiban sama
terkait pajak penghasilan di dalam negeri maupun ketika WNI berada di luar
negeri. Ketentuan ini merupakan perubahan pada Pasal 2 UU PPh.

Semua jenis penghasilan yang diperoleh WNA (orang atau badan) di


wilayah hukum Indonesia menjadi objek pajak yang bisa dipungut pemerintah
karena menjadi SPDN. Sedangkan bagi WNI, dapat menjadi SPLN jika
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui Badan Usaha Tetap
(BUT) di Indonesia dan memperoleh penghasilan dari Indonesia dengan tidak
menjalankan usaha atau melalui BUT di Indonesia. Berikut bunyi pasal tentang
WNI atau WNA jadi subjek pajak dalam negeri di UU Cipta Kerja, yang tertuang
dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a:

Orang pribadi yang merupakan WNI maupun WNA, yang;

5
 Bertempat tinggal di Indonesia;
 Berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan; atau
 Dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk
bertempat tinggal di Indonesia

Bunyi pasal tentang WNI atau WNA yang jadi subjek pajak luar negeri di UU Cipta
Kerja, tertuang dalam Pasal 2 ayat (4) huruf a, b, c, dan d:

 Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia;


 WNA yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka
waktu 12 bulan;
 WNI yang berada di luar Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu
12 bulan serta memenuhi persyaratan:

Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia atau yang
dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.

4. Tidak Dikenakan Pajak; Pengecualian dari objek pajak untuk WNA

WNA yang merupakan subjek pajak dalam negeri tidak dikenakan pajak
penghasilan jika tidak memenuhi kriteria tertentu sesuai ketentuan. Ini merupakan
penambahan dalam Pasal 4 tentang PPh pada klaster perpajakan. Dalam Pasal 4 ayat
(1a), bahwa WNA yang telah menjadi SPDN dikenai PPh hanya atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dengan ketentuan; memiliki keahlian
tertentu; berlaku selama 4 tahun pajak yang dihitung sejak menjadi SPDN. Tapi
pengecualian pengenaan PPh tidak berlaku bagi WNA yang memanfaatkan
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan negara
mitra. Semua Pasal 4 ayat (1a), ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria keahlian
tertentu serta tata cara pengenaan PPh bagi WNA tersebut akan diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan.

5. Pengaturan Dana Setoran Haji; Pengelolaan dana setoran Biaya


Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH)

Terkait pengelolaan dana setoran BPIH ini merupakan penambahan dalam Pasal 4
tentang PPh pada klaster perpajakan pada huruf o dan p. Dalam Pasal 4 ayat (3)
huruf o, disebutkan:Dana setoran BPIH dan/atau BPIH khusus, dan penghasilan dari

6
pengembangan keuangan haji dalam bidang atau instrumen keuangan tertentu,
diterima Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), yang ketentuannya diatur dalam
PMK. Sedangkan dalam Pasal 4 ayat (3) huruf p, tertulis: Sisa lebih yang
diterima/diperoleh badan usaha atau lembaga sosial dan keagamaan yang terdaftar
pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana
dan prasarana sosial dan keagamaan dalam jangka waktu paling lama 4 tahun sejak
diperolehnya sisa lebih tersebut, atau ditempatkan sebagai dana abadi yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan PMK

2.1 Subjek pajak Pajak Penghasilan


Subjek pajak merupakan elemen penting sistim pajak penghasilan. Sistim pajak penghasilan
yang digunakan oleh Indonesai bersufat subjektif dan berdasarkan asas domisili. Oleh sebab
itu, berapa pajak yang harus dibayar ke negara perlu diketahui pertama kali siapa yang
bertanggunjawab atas pajak yang dibayar. Pengenakan pajak dan mekanisme perhitungan
pajak tergantung pada jenis subjek pajaknya. Pasal 2 UU No.7/1983 sebagaimana diubah
dengan UU No.11/2020 menyatakan Subjek Pajak Penghasilan terdiri dari:

a. 1. Orang Pribadi; dan

2. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak
b. Badan
c. Bentuk Usaha Tetap (BUT)

Pajak penghasilan merupakan pajak subjektif dan berdasarkan asas domisili. Pajak
penghasilan dikenakan tergantung kondisi subjeknya, antara WP Pribadi dengan WP orang
Pribadi penentuan kapan menjadi WP dan bagaimana menghitung PPh terutang berbeda.
Oleh sebab itu, penting untuk memahami tentang subjek pajak PPh terlebih dahulu.
Pentingnya subjek PPh hal ini, juga tergambar urutan pembahasan pada Undang-undang
Pajak Penghasilan. Terkait ketentuan subjek pajak diatur pada pasal 2 sampai pasal 4. Objek
Pajak penghasil diatur setelah subjek PPh yakni pada pasal 4 sampai pasal 5.

2.2 Jenis Wajib Pajak: Wajib Pajak dalam Negeri dan Wajib Pajak Luar
Negeri
Subjek pajak dalam negeri atau luar negeri dibedakan berdasarkan domisili bukan
atas kewarganegaraan, desain UUP PPh asas yang digunakan berdasarkan domisili

7
bukan kebangsaan. Oleh sebab itu, WNA dapat diperlakukan sebagai WPDN apabila
memenuhi syarat lama domisili di Indonesia. Pada kondisi yang lain, WNI dapat
saja berstatus WPLN apabila memenuhi syarat domisili yang dipersyaratkan dalam
regulasi.

Subjek pajak dalam negeri adalah:

a. orang pribadi, baik yang merupakan Warga Negara Indonesia maupun warga
negara asing, yang:

1. bertempat tinggal di Indonesia;

2. berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan; atau . dalam suatu tahun pajak berada
di Indonesia dan b badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi
kriteria:

Subjek pajak luar negeri adalah:

a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia,

b. warga negara asing yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; c Warga
Negara Indonesia yang berada di luar Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan
puluh tiga) hari dalam persyaratan:

1. tempat tinggal;

2. pusat kegiatan utama;

3. tempat menjalankan kebiasaan;

4. status subjek pajak; dan/atau

5. persyaratan tertentu lainnya yang ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan


tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan; dan

8
SUBJEKPAJAK
Objek Pajak
Orang Pribadi
SUBJEK PAJAK Seluruh Penghasilan
DALAM NEGERI Badan

Warisan yang
SUBJEK belum terbagi • Penghasilan dari kegiatan operasi
PAJAK dan harta yang dimiliki/dikuasai
Orang • Penghasilan kantor pusat
Pribadi
SUBJEK PAJAK • Penghasilan lainnya yang diperoleh
LUAR NEGERI sehubungan dengan penghasilan
kantor pusat
BUT
Badan

Penghasilan yang diperoleh dari


Non BUT
Indonesia

Contoh WNI sebagai Wajib Pajak Luar Negri

Contoh: PER-02/PJ/2009 Tentang Pekerja WNI di Luar Negri


Pasal 1
Dalam PerDirJen Pajak ini, yg dimaksud dengan Pekerja Indonesia di Luar Negeri
adalah orang pribadi WNI yg bekerja di luar negeri lebih dari 183hari dalam
jangka waktu 12 bulan.
Pasal 2
Pekerja Indonesia di Luar Negeri sdd Pasal 1 merupakan Subjek Pajak Luar
Negeri.
Pasal 3
Atas penghasilan yg diterima atau diperoleh Pekerja Indonesia di LN sdd Pasal 1
sehubungan dengan pekerjaannya di LN dan telah dikenai pajak di luar negeri,
tidak dikenai Pajak Penghasilan di Indonesia
Pasal 4
Dalam hal Pekerja Indonesia di LN sdd Pasal 1 menerima atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia maka atas penghasilan tersebut dikenai Pajak
Penghasilan sesuai ketentuan yang berlaku.

Ketentuan pasal 2 pada peraturan dirjen pajak yang menyatakan bahwa pekerja
Indonesia yang bekerja di luar negeri besrtatus sebagai WP Luar Negeri. Lebih
lanjut pada pasal 3 ditegaskan bahwa penghasilan diluar negeri yang sudah
dikenakan pajak oleh negara dimana WNI berkerja tidak dikenakan pajak lagi di
Indonesia

9
Perbandingan Kewajiban Pajak; WPDN VS WPLN

Pengelompokan subjek pajak menjadi WPDN dan WPLN berimplikasi pada


perbedaan pelaksanaan kewajiban perpajakan masing-masingnya. Undang-undang
PPh menganut asas domisili oleh karena itu atas penghasilan yang diterima oleh
WPDN dikenakan seluruhnya baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia sedangkan WPLN hanya dikenakan atas yang bersumber dari Indonesia.
Selain, perbedaan terletak pada sumber penghasilan yang dikenakan, juga berbeda
atas tarif yang dikenakan dan kewajiban pelaporan atas SPT. Wajib Pajak Dalam
Negri dikenakan tarif pasal 17 sedangkan dikenakan tarif tunggal atau berdasarkan
atas Treaty. Aspek administrasi seperti pelaporan dan pemotongan, WPDN
diwajibkan melakukan pemotongan atas penghasilan yang diberikan pada WP lain
dan wajib menyampaikan SPT, sedangkan WPLN diwajibkan atas dua hal tersebut.
Berikut ringakasan pebandingan Kewajiban Pajak antar WPDN dengan WPLN.

Perbandingan Kewajiban Pajak antara WPDN dengan WPLN

No Uraian WPDN WPLN

1 Ruang lingkup penghasilan Seluruh Hanya


yang menjadi objek pajak penghasilan baik penghasilan yang
yang berasal dari bersumber dari
indonesia Indonesia
2 Dasar pengenakan pajak Penghasilan Neto Penghasilan Bruto
3 Tarif Tarif Pasl 17 Tarif sepadan/Tax
treaty
4 Kewajiban pelaporan SPT Wajib Tidak wajib

2.3 Pengecualian Subjek Pajak


Tidak semua subjek pajak dapat menjadi WP dengan alasan hubungan timbal balik
antar negara dan terkait organisasi internasional yang Indonesai merupakan anggota
organisasi internasional tersebut. Berikut pengecualian subjek pajak:

a. Kantor perwakilan negara asing;

b. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara
asing dan orang yang diperbantukan/ yang bekerja dan bertempat tinggal

10
bersama mereka dengan syarat :Bukan warga negara Indonesia; dan di
Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau
pekerjaannya tersebut; serta Negara bersangkutan memberikan perlakuan
timbal balik;

c. Organisasi - organisasi internasional, yang ditetapkan Menkeu, dengan


syarat: Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; dan Tidak
menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya
berasal dari iuran para anggota;

d. Pejabat - pejabat perwakilan organisasi internasional dengan syarat bukan


warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan
lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

3. OBJEK PAJAK PENGHASILAN

Objek pajak penghasilan adalah penghasilan yang merupakan setiap tambahan


kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh WP baik yang berasal dari
Indonesia maupun luar Indonesia yang dapat konsumsi atau untuk menambah
kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun,
termasuk:

a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus,
gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan
lain dalam Undang-Undang ini;

b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;

c. laba usaha;

d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk

1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan


badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;

11
2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu,
atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan
lainnya

3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,


pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan
dalam bentuk apa pun;

4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah,bantuan, atau


sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan,
badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan sepanjang tidak ada
hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di
antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan

5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak


penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam
perusahaan pertambangan;

e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya


dan pembayaran tambahan
f. pengembalian pajak;
g. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang;
h. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada
i. pemegang polis.
j. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
k. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
l. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
m. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah
tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
n. keuntungan selisih kurs mata uang asing;

12
o. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
p. premi asuransi; o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari
anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau
pekerjaan bebas;
q. p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak;
r. q. penghasilan dari usaha berbasis syariah; r. imbalan bunga sebagaimana
dimaksud dalam Undang- Undang yang mengatur mengenai ketentuan
umum dan tata cara perpajakan; dan
s. surplus Bank Indonesia.

Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:

a. 1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil
zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan
yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan
yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang
diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah
dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan

2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk
yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan
kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;

b. warisan;

c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai
pengganti penyertaan modal;
d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib

13
Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak,
Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang
menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15;
e. pembayaran dari perusahaan asuransi karena kecelakaan, atau karena
meninggalnya orang yang tertanggung, dan pembayaran asuransi beasiswa;
f. dividen atau penghasilan lain dengan ketentuan sebagai berikut:
1 dividen yang berasal dari dalam negeri yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak: a) orang pribadi dalam negeri sepanjang dividen tersebut
diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
dalam jangka waktu tertentu; dan/atau b) badan dalam negeri;
2 dividen yang berasal dari luar negeri dan penghasilan setelah pajak dari
suatu bentuk usaha tetap di luar negeri yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak badan dalam negeri atau Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri, sepanjang diinvestasikan atau digunakan untuk mendukung
kegiatan usaha lainnya di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
dalam jangka waktu tertentu, dan memenuhi persyaratan berikut: a)
dividen dan penghasilan setelah pajak yang diinvestasikan tersebut
paling sedikit sebesar 30% (tiga puluh persen) dari laba setelah pajak
atau b) dividen yang berasal dari badan usaha di luar negeri yang
sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek diinvestasikan di
Indonesia sebelum ketetapan pajak atas dividen tersebut
sehubungan dengan penerapan Pasal 18 ayat (2) Undang- Undang ini;

dividen yang berasal dari luar negeri sebagaimana dimaksud pada angka 2
merupakan:

a) dividen yang dibagikan berasal dari badan usaha


b) di luar negeri yang sahamnya diperdagangkan di bursa efek;
atau
c) dividen yang dibagikan berasal dari badan usaha di luar
negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek
sesuai dengan proporsi kepemilikan saham;

14
4. Dalam hal dividen sebagaimana dimaksud pada angka 3 huruf b dan penghasilan
setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap di luar negeri sebagaimana dimaksud
pada angka 2 diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
kurang dari 30% (tiga puluh persen) dari jumlah laba setelah pajak
sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf a) berlaku ketentuan:

a) atas dividen dan penghasilan setelah pajak yang diinvestasikan


tersebut, dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan;
b) atas selisih dari 30% (tiga puluh persen) laba setelah pajak
dikurangi dengan dividen dan/atau penghasilan setelah pajak
yang diinvestasikan sebagaimana dimaksud dalam huruf a)
dikenai Pajak Penghasilan; dan

c) atas sisa laba setelah pajak dikurangi dengan dividen dan/atau penghasilan
setelah pajak yang diinvestasikan sebagaimana dimaksud pada huruf a)
serta atas selisih sebagaimana dimaksud pada huruf b), tidak dikenai Pajak
Penghasilan;

5. dalam hal dividen sebagaimana dimaksud pada angka 3 huruf b) dan penghasilan
setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap di luar negeri sebagaimana dimaksud
dalam angka 2, diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebesar lebih dari 30% (tiga puluh persen) dari jumlah laba setelah pajak
sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf a), berlaku ketentuan:

a) atas dividen dan penghasilan setelah pajak yang diinvestasikan tersebut,


dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan; dan

b) atas sisa laba setelah pajak dikurangi dengan dividen dan/atau


penghasilan setelah pajak yang diinvestasikan sebagaimana dimaksud
pada huruf a), tidak dikenai Pajak Penghasilan;

6. dalam hal dividen yang berasal dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya
tidak diperdagangkan di pajak atas dividen tersebut sehubungan dengan penerapan
pasal 18 ayat (2) Undang-Undang ini, dividen dimaksud tidak dikecualikan dari
pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada angka 2;

15
7. pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari luar negeri tidak melalui
bentuk usaha tetap yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan dalam negeri
atau Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dikecualikan dari pengenaan Pajak
Penghasilan dalam hal penghasilan tersebut diinvestasikan di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu dan memenuhi
persyaratan berikut:

a) penghasilan berasal dari usaha aktif di luar negeri; dan

b) bukan penghasilan dari perusahaan yang dimiliki di luar negeri;

8. pajak atas penghasilan yang telah dibayar atau terutang di luar negeri atas
penghasilan sebagaimana dimaksud pada angka 2 dan angka 7 berlaku
ketentuan:

a) tidak dapat diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang;

b)tidak dapat dibebankan sebagai biaya atau pengurang penghasilan; dan/atau

c) tidak dapat dimintakan pengembalian kelebihan pembayaran pajak;

9. dalam hal Wajib Pajak tidak menginvestasikan penghasilan dalam jangka


waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada angka 2 dan angka 7, berlaku
ketentuan:

a) penghasilan dari luar negeri tersebut merupakanpenghasilan pada tahun


pajak diperoleh; dan
b) b) Pajak atas penghasilan yang telah dibayar atau terutang di luar negeri atas
penghasilan tersebut merupakan kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 Undang-Undang ini;

10. ketentuan lebih lanjut mengenai:

a) kriteria, tata cara dan jangka waktu tertentu untuk investasi sebagaimana
dimaksud pada angka 1, angka 2, dan angka 7;

b) tata cara pengecualian pengenaan pajak penghasilan sebagaimana


dimaksud pada angka 1, angka 2, dan angka 7; dan c) perubahan batasan

16
dividen yang diinvestasikan sebagaimana dimaksud pada angka 4 dan angka
5 diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan;

c) iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya


telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja
maupun pegawai;
d) penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun
sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan

i. bagian laba atau sisa hasil usaha yang diterima atau diperoleh anggota dari
koperasi, perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-
saham,persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit
penyertaan kontrak investasi kolektif; j. dihapus; k. penghasilan yang diterima atau
diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha
yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat
badan pasangan usaha tersebut:

1. merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan


kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan; dan

2. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia; beasiswa yang


memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; m. sisa lebih yang diterima
atau diperoleh badan lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan
dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada
instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana
dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian pengembangan, dalam
jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih
tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan; dan

17
n. bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan

o.dana setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dan/atau BPIH khusus,
dan penghasilan dari pengembangan keuangan haji dalam bidang atau instrumen
keuangan tertentu, diterima Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan
p.sisa lebih yang diterima/diperoleh badan atau lembaga sosial dan keagamaan yang
terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam
bentuk sarana dan prasarana sosial dan keagamaan dalam jangka waktu paling lama
4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, atau ditempatkan sebagai
dana abadi yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.

Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), warga negara
asing yang telah menjadi subjek pajak dalam negeri dikenai Pajak Penghasilan
hanya atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia, dengan
ketentuan:
a. memiliki keahlian tertentu, dan
b. berlaku selama 4 (empat) tahun pajak yang dihitung
sejak menjadi subjek pajak dalam negeri.

Termasuk dalam pengertian penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) berupa penghasilan yang diterima atau
diperoleh warga negara asing sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan di
Indonesia dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan di luar
Indonesia.

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) tidak berlaku terhadap warga
negara asing yang memanfaatkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
antara pemerintah Indonesia dan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda tempat warga negara asing memperoleh
penghasilan dari luar Indonesia.

18
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria keahlian tertentu serta tata cara pengenaan
Pajak Penghasilan bagi warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1a)
diatur

4. PENGURANGAN ATAS PENGHASILAN BRUTO

Pajak penghasilan dikenakan atas tambahan kemampuan ekonomi yang dapat


menambah kekayaan atau konsumsi WP. Tambahan kemampuan ekonomis yang
dapat menambah kekayaan atau konsumsi dihitung dengan mengurangkan
penghasilan bruto dengan biaya yang dikeluarkan dalam rangka memperoleh,
menagih dan mempelihara penghasilan. Biaya-biaya atau pengeluaran yang boleh
dikurangkan atas penghasilan bruto menurut UU Pajak Penghasilan antara lain:

(1) Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak
dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan:

a. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti


dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi
kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
b. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi
pemegang saham, sekutu, atau anggota;
c. pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:
1. cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan
badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna
usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan
konsumen, dan perusahaan anjak piutang;
2. cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan
bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial;
3. cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin
Simpanan;
4. cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;

19
5. cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha
kehutanan; dan
6. cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat
pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan
limbah industri,yang ketentuan dan syarat-syaratnya
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan;

d. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi


dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang
pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung
sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;

e. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang


diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan
makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau
imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang
berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

f. jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang


saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai
imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;

g. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali
sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai
dengan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang
diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk
atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah;

h. Pajak Penghasilan;

20
i. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi
WajibPajak atau orang yang menjadi tanggungannya;

j. gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan


komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;

k. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi


pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-
undangan di bidang perpajakan.

(2) Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang


mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan untuk
dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan atau
amortisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 11A.

5. PELAKSANAAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN ORANG & BADAN

Perhitungan pajak penghasilan baik orang pribadi atau badan pada prinsipnya sama
yakni atas tambahan kemampuan ekonomis.

Uraian Orang Pribadi Badan

Penghasilan Bruto XXX XXX

Pengurangan (Biaya-Biaya XXX XXX


Zakat/sumbagan keagamaan
Penghasilan Netto XXX XXX
Penghasilan Tidak Kena Pajak XXX XXX
XXX XXX
Penghasilan Kena Pajak
XXX XXX
Pajak terutang
XXX XXX
Kredit Pajak
XXX XXX
PPh yang Masih Harus Dibayar

21
Perhitungan Pajak Terutang; Tarif Pajak x Penghasilan Kena Pajak

Bagi Orang Pribadi yang memilih menggunakan pembukuan dikenakan tarif Pasal
17 UU PPh yang berlaku progresif berdasarkan jumlah penghasilan yang
diterima, yang dirincikan sebagai berikut:

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak

sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh 5%


juta rupiah) (lima persen)

di atas Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) 15%


sampai dengan Rp 250.000.000,00 (dua (lima belas persen)
ratus lima puluh juta rupiah)

di atas Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh 25%


juta rupiah) sampai dengan Rp500.000.000,00 (dua puluh lima persen)
(lima ratus juta rupiah)
di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) 30%
(tiga puluh persen)

● 5% untuk Penghasilan sampai dengan Rp 50 Juta

● 15% untuk Penghasilan diatas Rp 50 Juta – 250 Juta

● 25% untuk Penghasilan diatas Rp 250 Juta – 500 Juta

● 30% untuk Penghasilan diatas Rp 500 Juta

Kredit Pajak

Kredit Pajak merupakan pajak yang telah dibayarkan kepada pihak lain, sehingga dapat
diperlakukan sebagai pengurang dari jumlah pajak terutang dalam tahun pajak yang
bersangkutan. Kredit Pajak tidak berlaku untuk penghasilan yang pengenaan pajaknya
bersifat final. Kredit pajak dapat berupa PPh yang dibayar sendiri maupun PPh yang
dipungut atau dibayar di luar negeri oleh wajib pajak dalam negeri. Artinya, pajak yang
telah dilunasi dalam tahun berjalan, baik yang dibayar sendiri oleh wajib pajak
maupun yang dipotong serta dipungut oleh pihak lain dapat dikreditkan terhadap

22
pajak yang terutang pada akhir tahun pajak. Kredit Pajak PPh meliputi beberapa jenis
yaitu :

● Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21

● Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22

● Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23

● Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 24

● Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25

● Kredit Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 yang bersifat tidak final

PPh Kurang/Lebih Bayar

Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak lebih besar dibandingkan kredit
pajaknya, maka nilai kekurangan pembayaran tersebut dikenal dengan istilah PPh
Kurang Bayar (PPh Pasal 29). Nilai kekurangan inilah yang harus dibayarkan oleh wajib
pajak ke kas negara sebelum SPT Tahunan PPh disampaikan.

Sebaliknya, apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih
kecil dibandingkan kredit pajaknya, setelah dilakukan pemeriksaan, maka kelebihan
tersebut dikenal dengan istilah PPh Lebih Bayar (PPh Pasal 28A). Kelebihan
pembayaran pajak tersebut dapat dilaporkan ke Kantor Pajak dan akan dianggap
sebagai permohonan dari Wajib Pajak untuk meminta pengembalian kelebihan pajak
(restitusi) atau atas kelebihan pembayaran pajak tersebut wajib pajak dapat memilih untuk
dikompensasikan ke masa pajak berikutnya

6. PERHITUNGAN PPh ORANG PRIBADI

Pada dasarnya terdapat tiga mekanisme perhitungan PPh OP yang dibedakan berdasarkan
jumlah penghasilan dan penggunaan metode pencatatan atau pembukuan yang
dilakukan, yaitu:

1. Mekanisme Umum

Bagi orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan, perhitungan pajaknya dilakukan


dengan menggunakan mekanisme perhitungan biasa sesuai ketentuan tarif pada UU PPh
Pasal 17. Perhitungan dengan mekanisme seperti tergambar pada gambar...Penghitungan
pajak terutang dihitung atas penghasilan kena pajak. Penghasilan kena pajak dihitung

23
dihitung dengan mengurangkan penghasilan bruto dengan 1) biaya yang diperbolehkan
sebagai pengurangan penghasilan bruto dan kedua dikurangkan dengan PTKP, seperti
tergambar secara ringkas pada gambar...

2. PPh Final PP 23 tahun 2018

Bagi orang pribadi yang tidak menyelenggarakan pembukuan, maka akan dikenakan PPh
yang bersifat final sesuai dengan tarif dan ketentuan yang ditetapkan pada PP 23 tahun
2018.

3. Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN)

Bagi orang pribadi yang tidak menyelenggarakan pembukuan, namun mengajukan


pemberitahuan kepada DJP untuk menggunakan NPPN, maka perhitungan pajak
dilakukan dengan terlebih dahulu menetapkan jumlah penghasilan neto berdasarkan
ketentuan norma yang ditetapkan pada PER-17/PJ/2015, kemudian pajak dihitung
berdasarkan tarif pada UU PPh Pasal 17. Pembagian mekanisme perhitungan yang berbeda
dapat dijelaskan lebih rinci melalui skema berikut ini.

Norma Perhitungan Penghasilan Neto (NPPN)

Konsep perhitungan ini merupakan ketentuan yang dikeluarkan oleh Direktorat


Jenderal Pajak untuk menentukan jumlah penghasilan neto bagi wajib pajak yang
tidak menyelenggarakan pembukuan. Pengusaha yang menggunakan norma
penghitungan dikenakan pajak menggunakan tarif UU PPh Pasal 17.

Norma Penghitungan Penghasilan Neto ini bisa digunakan oleh Wajib Pajak yang:

- Peredaran usaha bruto kurang dari Rp. 4,8 Milyar dalam satu tahun.
- Hanya melakukan pencatatan (tidak melakukan pembukuan).
- Menyampaikan Surat Pemberitahuan kepada DJP untuk menggunakan
NPPN sebagai metode perhitungan PPh OP.

Jenis Pekerjaan Bebas yang dalam menghitung Pajak Penghasilan dapat


menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto adalah sebagai berikut :

1 Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara,
akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris.

24
2 Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang
sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model,
peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari.
3 Olahragawan.
4 Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator.
5 Pengarang, peneliti, dan penerjemah.
6 Agen iklan.
7 Pengawas atau pengelola proyek.
8 Perantara.
9 Petugas penjaja barang dagangan.
10 Agen asuransi.
11 Distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau
penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.

Pengurangan atas Penghasilan Bruto


Pengurangan atas penghasilan bruto atas orang pribadi selain biaya yang dikeluarkan dalam
rangka memperoleh, menagih dan memelihara penghasilan, juga termasuk beberapa hal
yang diperbolehkan menurut ketentuan sebagai berikut.

25
a) 1. Biaya jabatan; biaya jabatan merupakan pengurang yang diperoleh bagi pegawai
tetap yang menerima penghasilan dari pemberi kerja. Biaya jabatan ditetapkan
sebesar 5% dari penghasilan bruto dengan maksimum Rp 6 juta/tahun.
2. Biaya pensiun, bagi pegawai yang sudah pensiun dan menerima pensiun secara
teratur dikenakan biaya pensiun sebesar 5% dari penghasilan bruto dengan
maksimum Rp 2,4 juta/tahun.
b) Zakat dan sumbagan keagamaan lainnya, pengeluaran terkait sumbangan
keagamaan dalam bentuk nama dan nama apapun dapat dikurangkan pada
penghasilan bruto sepanjang pada lembaga atau badan yang ditetapkan oleh
pemerintah.
c) Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), PTKP bukan merupakan pengeluaran yang
dilakukan secara tunai maupun tidak tetapi semacam perkiraan yang ditetapkan
peraturan tentang biaya untuk kebutuhan hidup WP dan keluarga. Penghasilan tidak
kena pajak ditetapkan berdasarkan status WP. Berikut jumlah PTKP untuk WP dan
tanggungannya. Berikut tarif PTKP sesuai PMK 101/2016 yang masih berlaku
hingga PTKP 2021:

1. Bagi WP OP akan menjadi Rp54.000.000

2. WP yang sudah menikah, mendapat tambahan sebesar Rp4.500.000

3. Tambahan untuk istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami


menjadi Rp54.000.000

4. Tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam
garis keturunan lurus, termasuk anak angkat sebesar Rp4.500.000, dimana
maksimal tiga orang dalam setiap keluarga.

Keluarga kandung yang di maksud dalam poin empat adalah orang tua kandung,
saudara kandung dan anak. Sedangkan yang di maksud keluarga semenda adalah
mertua, anak tiri, dan ipar.

26
Gambar 2: Pengurang yang diperbolehkan untuk WP Orang Pribadi

Biaya Jabatan
Lima (5) persen dari penghasilan bruto, maksimum Rp 6.000.000 per tahun
Biaya pensiun: Lima (5) persen dari penghasilan bruto, maksimum Rp 2.400.000
per tahun

Iuran Pensiun
4,75 % dari Gaji Pokok ditambah dengan tunjangan keluarga (khusus
PNS/TNI/Polri)

Zakat
Zakat atau sumbangan keagamaan lainnya kepada lembaga/badan yang
ditetapkan pemerintah

PTKP Disesuaikan dengan status WP dan jumlah tanggungan

Pelaporan Pelaksanaan Kewajiban Perpajakan Orang Pribadi

Terdapat tiga jenis kondisi WP Orang Pribadi; WP yang hanya mempunyai satu sumber
penghasilan dengan jumlah penghasilan sampai Rp 60 juta rupiah, dan diatas 60 juta dan
terakhir yang mempunyai lebih dari satu sumber penghasilan termasuk terdapat usaha.

27
Pelaporan PPh OP

Wajib Pajak Orang Pribadi wajib melaporkan penghasilan, harta dan kewajiban mereka
setahun sekali dalam bentuk formulir SPT Tahunan ke KPP. Periode pelaporan SPT PPh
Orang Pribadi adalah dari tanggal 1 Januari sampai 31 Desember dan harus dilaporkan ke
KPP sebelum tanggal 31 Maret pada tahun berikutnya.

Berikut jenis SPT Tahunan PPh Orang Pribadi, terdiri dari:

● Formulir SPT 1770 yang digunakan untuk WP Orang Pribadi yang mempunyai
penghasilan:

a. dari usaha/pekerjaan bebas


b. dari satu atau lebih pemberi kerja
c. yang dikenakan PPh Final dan/atau bersifat Final d. penghasilan dalam negeri
lainnya/luar neger

28
Ilustrasi SPT

SPT 1770 S

29
SPT 1770

30
7. PERHITUNGAN PPh BADAN

7.1 Subjek & Perhitungan PPh Badan


Siapa saja yang menjadi subjek PPh Badan dan apa saja yang termasuk dalam objek
PPh Badan juga telah diatur dalam ketentuan perundang-undangan pajak
penghasilan.Berikut adalah subjek pajak penghasilan badan (subjek PPh Badan) dan
objek pajak penghasilan badan (objek PPh Badan):

31
Subjek Pajak Badan (PPh Badan)

Subjek pajak Badan atau subjek PPh Badan adalah setiap Badan Usaha yang
diberikan kewajiban untuk membayar pajak, baik dalam periode bulan maupun
tahun dan disetor ke kas negara. Berdasarkan Undang-Undang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), yang termasuk dalam pengertian Badan
adalah sebagai berikut:

 Perseroan Terbatas (PT)


 Perseroan Lainnya
 Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
 Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)
 Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)
 Firma
 Kongsi
 Koperasi
 Dana Pensiun
 Persekutuan
 Perkumpulan
 Yayasan
 Organisasi Masyarakat
 Organisasi Sosial Politik
 Organisasi lainnya dengan nama dan bentuk apapun
 Lembaga dan bentuk badan lainnya
 Kontrak Investasi Kolektif (KIK)
 Bentuk Usaha Tetap

7.2 Penghitungan PPh Terutang


Perhitungan pajak penghasilan Badan, dilakukan dengan mengalihkan tarif pasal 17
dikalikan dengan penghasilan kena pajak. Perhitungan penghasilan kena pajak
badan, sama halnya dengan orang pribadi juga dilakukan dengan mengurangkan

32
penghasilan bruto dengan biaya-biaya yang diperbolehkan sebagaimana diatur pada
Pasal 9 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Tarif PPh Badan

Untuk mendapatkan berapa PPh terutang, dilakukan dengan mengalikan


Penghasilan Kena Pajak dengan tarif pajak yang berlaku. Berdasarkan Pasal 17 ayat
(1) bagian b UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, tarif pajak yang
dikenakan kepada badan adalah 25%. Besar tarif ini berlaku sejak tahun pajak 2010.
Tarif lebih rendah dapat dikenakan kepada wajib pajak badan dalam negeri dengan
ketentuan sebagai berikut:

Berbentuk Perseroan Terbuka, memiliki sedikitnya 40% jumlah keseluruhan


saham yang disetor dan diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia.Tarif yang
dikenakan sebesar 5% lebih rendah daripada tarif normal. Berdasarkan ketentuan
tersebut, maka cara menghitung tarif PPh badan adalah sebagai berikut:

 PT Mentari Kasih memiliki jumlah Penghasilan Kena Pajak senilai


Rp2.000.000.000, maka tarif PPh badan yang harus dibayarkan adalah
25% x Rp2.000.000.000 = Rp500.000.000.

Penghasilan yang dipotong dengan Pajak Penghasilan yang bersifat final, tidak
termasuk dalam ketentuan ini. Tarif pajak final diatur dalam aturan tersendiri
berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Pemerintah telah menurunkan tarif PPh Badan dari sebelumnya sejak tahun
2020. Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 30 Tahun 2020 tentang Penurunan
Tarif Pajak Penghasilan Bagi Wajib Pajak Dalam Negeri yang Berbentuk Perseroan
Terbatas, tarif PPh badan diturunkan. Beleid ini dikeluarkan untuk melaksanakan
Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang No. 2/2020 tentang Penertapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1/2020 tentang: Kebijakan
Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi
COVID-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan
Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-

33
Undang. Selama ini tarif PPh Badan normal adalah 25% dari Penghasilan Kena
Pajak. Melalui beleid baru ini, tarif PPh Badan turun secara bertahapm yakni:

 22% berlaku pada 2020 dan 2021


 20% mulai berlaku pada 2022

Lebih rendah 3% untuk Perusahaan Terbuka (Tbk), menjadi:

 19% pada 2020 dan 2021


 17% mulai pada 2023

Tapi penurunan tarif PPh Badan lebih rendah 3% bagi Perusahaan Tbk ini ada
syaratnya, yaitu:

 Saham dikuasai setidaknya 300 pihak. Setiap pihak di dalam Perseroan


Terbuka (PT) hanya diizinkan menguasai saham di bawah 5% dari
keseluruhan saham yang diperdagangkan dan disetor penuh.Saham yang
diperdagangkan dan disetor pada bursa efek wajib dipenuhi dalam kurun
waktu paling sedikit 183 hari kalender selama jangka waktu 1 tahun pajak.
 Membuat laporan kepada Direktorat Jenderal Pajak.

34
Contoh SPT PPh Badan

35
36
37
38

Anda mungkin juga menyukai