Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN

HALUSINASI
KEPERAWATAN JIWA

DISUSUN OLEH:
AJENG NEVIA
( 21.156.03.11.013 )

STIKes Medistra Indonesia


Jl. Cut Mutia Raya No. 88 A – Kel. Sepanjang Jaya – Bekasi
Telp. (021) 82431375, Fax. (021) 82431374
Website : http//www.stikesmedistra-indonesia.ac.id, e-mail : stikesmi@yahoo.co.id
2020/2021
A. Pengertian Halusinasi
Stuart & Laraia (2009) mendefinisikan halusinasi sebagai suatu tanggapan dari
panca indera tanpa adanya rangsangan (stimulus) eksternal Halusinasi merupakan
gangguan persepsi dimana pasien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi.
Ada lima jenis halusinasi yaitu pendengaran, penglihatan, penghidu, pengecapan dan
perabaan.Halusinasi pendengaran merupakan jenis halusinasi yang paling banyak
ditemukan terjadi pada 70% pasien, kemudian halusinasi penglihatan 20%, dan sisanya
10% adalah halusinasi penghidu, pengecapan dan perabaan.
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana pasien mengalami perubahan
sensori persepsi, seperti merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan,
perabaan, atau penghiduan, klien merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada (Muhith,
2011).
Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana pasien mempersepsikan
sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca indra tanda ada rangsangan
dari luar. Suatu penghayatan yang dialami suatu persepsi melaluipanca indra tanpa
stimullus eksteren : persepsi palsu(Prabowo, 2014).

B. Etiologi
Proses terjadinya halusinasi dijelaskan dengan menggunakan konsep stress adaptasi
Stuart yang meliputi stressor dari faktor predisposisi dan presipitasi.
1. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi halusinasi terdiri dari
a. Faktor Biologis :
Adanya riwayat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa
(herediter), riwayat penyakit atau trauma kepala, dan riwayat penggunaan
narkotika, psikotropika dan zat adiktif lain (NAPZA).
b. Faktor Psikologis
Memiliki riwayat kegagalan yang berulang.Menjadi korban, pelaku
maupun saksi dari perilaku kekerasan serta kurangnya kasih sayang dari
orang-orang disekitar atau overprotektif.
c. Sosiobudaya dan lingkungan
Sebagian besar pasien halusinasi berasal dari keluarga dengan sosial
ekonomi rendah, selain itu pasien memiliki riwayat penolakan dari
lingkungan pada usia perkembangan anak, pasien halusinasi seringkali
memiliki tingkat pendidikan yang rendah serta pernah mengalami
kegagalan dalam hubungan sosial (perceraian, hidup sendiri), serta tidak
bekerja.
2. Faktor Presipitasi
Stressor presipitasi pasien gangguan persepsi sensori halusinasi ditemukan adanya
riwayat penyakit infeksi, penyakit kronis atau kelainan struktur otak, adanya
riwayat kekerasan dalam keluarga, atau adanya kegagalan-kegagalan dalam
hidup, kemiskinan, adanya aturan atau tuntutan di keluarga atau masyarakat yang
sering tidak sesuai dengan pasien serta konflik antar masyarakat.
3. Stress Lingkung
Ambang toleransi terhadap tress yang berinteraksi terhadap stressor lingkungan
untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
4. Sumber Koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam
menanggapistress(Prabowo, 2014).
5. Perilaku
Respons klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan tidak
aman, gelisah, dan bingung, perilaku menarik diri, kurang perhatian, tidak mampu
mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan nyata dan tidak.
6. Dimensi fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang
luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol
dan kesulitan untuk tidur dalamwaktu yang lama.
7. Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatas
merupakan penyebab halusianasi itu terjadi, isi dari halusinasi dapat berupa
peritah memaksa dan menakutkan.Klien tidak sanggup lagi menentang perintah
tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan
tersebut.
8. Dimensi intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan halusinasi
akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi
merupakan usha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, namun
merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil
seluruh perhatian klien dan tak jarang akan mengotrol semua perilaku klien.
9. Dimensi sosial
Klien mengalami gangguan interaksi sosial dalam fase awal dan comforting, klien
menganggap bahwa hidup bersosialisasi dialam nyata sangat membahayakan.
Klien asyik dengan dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk
memenuhi
kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak didapatkan
dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan kontrol oleh individu tersebut,
sehingga jika perintah halusinasiberupa ancaman, dirinya atau orang lain individu
cenderung keperawatan klien dengan mengupayakan suatu proses interkasi yang
menimbulkan pengalaman interpersonal yang memuaskan, serta mengusahakan
klien tidak menyendiri sehingga klien selalu berinteraksi dengan lingkungannya
dan halusinasi tidak berlangsung.
10. Dimensi spiritual
Secara spiritualklien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup, rutinitas, tidak
bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang berupaya secara spiritual untuk
menyucikan diri, irama sirkardiannya terganggu(Damaiyanti, 2012).

C. Jenis Halusinasi
Menurut Yosep dalam Prabowo, 2014 halusinasi terdiri dari beberapa jenis dengan
karakteristik tertentu, diantaranya
1. Halusinasi pendengaran (audotorik)
Gangguan stimulus dimana pasien mendengar suara-suara terutama suara orang.
Biasanya mendengar suara orang yang sedang membicarakan apa yang sedang
dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu.
2. Halusinasi pengelihatan (visual)
Stimulus visual dalam bentuk beragam seperti bentuk pancaran cahaya,gambaran
geometric, gambar kartun, panorama yang luas dan bayangan yang menakutkan.
3. Halusinasi penghidu (Olfaktori)
Gangguan stimulus pada penghidu, yang ditandai dengan adanya bau busuk, amis,
dan bau menjijikan, tapi kadang terhidu bau harum.
4. Halusinasi peraba (taktil)
Gangguan stimulusyang ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak tanpa
ada stimulus yang terlihat, seperti merasakan sensasi listrik datang dari tanah,
benda mati atau orang lain.
5. Halusinasi pengecap (gustatorik)
Gangguan stimulus yang ditandai dengan merasaan sesuatuyang busuk, amis, dan
menjijikan
6. Halusinasi sinestetik
Gangguan stimulus yang ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah
mengalir melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentuan urine.

D. Tanda dan gejala halusinasi


Menurut (Azizah, 2016) tanda dan gejala perlu diketahui agar dapat menetapkan masalah
halusinasi, antara lain:
1. Berbicara, tertawa, dan tersenyum sendiri
2. Bersikap seperti mendengarkan sesuatu
3. Berhenti berbicara sesaat ditengah-tengah kalimat untuk mendengarkan sesuatu
4. Disorientasi
5. Tidak mampu atau kurang konsentrasi
6. Cepat berubah pikiran
7. Alur pikiran kacau
8. Respon yang tidak sesuai
9. Menarik diri
10. Sering melamun

E. Rentang respon halusinasi

Skema 2.1 Rentang Respon Halusinasi Sumber : Trimelia, 2011

Keterangan :
1. Respon Adaptif
Respon yang dapat diterima oleh norma-norma sosial budaya yang berlaku.
Dengan kata lain individu tersebut dalam batas normal jika menghadapi suatu
masalah dan akan dapat memecahkan masalah tersebut.
Adapun respon adaptif yakni :
a. Pikiran Logis merupakan pandangan yang mengarah pada kenyataan yang
dapat diterima akal.
b. Persepsi Akurat merupakan pandangan dari seseorang tentang suatu
peristiwa secara cermat dan tepat sesuai perhitungan.
c. Emosi Konsisten dengan Pengalaman merupakan perasaan jiwa yang
timbul sesuai dengan peristiwa yang pernah dialami.
d. Perilaku Sosial dengan kegiatan individu atau sesuatu yang berkaitan
dengan individu tersebut yang diwujudkan dalam bentuk gerak atau
ucapan yang tidak bertentangan dengan moral.
e. Hubungan Sosial merupakan proses suatu interaksi dengan orang lain
dalam pergaulan ditengah masyarakat dan lingkungan.

Respon Psikososial
Adapun respon psikososial yakni:
a. Pikiran terkadang menyimpang berupa kegagalan dalam mengabstrakan
dan mengambil kesimpulan.
b. Ilusi merupakan pemikiran atau penilaian yang salah tentang penerapan
yang benar-benar terjadi (objek nyata) karena rangsangan panca indera.
c. Emosi berlebihan dengan kurang pengalaman berupa reaksi emosi yang
diekspresikan dengan sikap yang tidak sesuai.
d. Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi
bataskewajaran.
e. Menarik diri merupakan percobaan untuk menghindar interaksi dengan
orang lain, baik dalam berkomunikasi maupun berhubungan sosial dengan
orang-orang di sekitarnya.
2. Respon Maladaptif Respon maladaptif merupakan respon individu dalam
menyelesaikan masalah yang menyimpang dari norma-norma sosial budaya dan
lingkungan.
Adapun respon maladaptif yakni:
a. Kelainan pikiran (waham) merupakan keyakinan yang secara kokoh
dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan
dengan keyakinan sosial.
b. Halusinasi merupakan gangguan yang timbul berupa persepsi yang salah
terhadap rangsangan.
c. Kerusakan proses emosi merupakan ketidakmampuan mengontrol emosi
seperti menurunnya kemampuan untuk mengalami kesenangan,
kebahagiaan, dan kedekatan.
d. Perilaku tidak terorganisir merupakan ketidakteraturan perilaku berupa
ketidakselarasan antara perilaku dan gerakan yang di timbulkan.
e. Isolasi sosial merupakan kondisi dimana seseorang merasa kesepian tidak
mau berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya. (Stuart,
2017).

F. Fase Halusinasi
Menurut stuart dan laraia dalam Prabowo, 2014 menunjukan tahapan terjadinya
halusinasi terdiri dari 4 fase dan setiap fase mempunyai karakteristik yang berbeda yaitu:
1. Fase I
Pasien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian, dan takut serta
mencoba untuk berfokus pada pkiran yang menyenangkan untuk meredakan
ansietas disini pasien tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai, gerakan mata
cepat,dan asyik sendiri.
2. Fase II
Pengalaman sensori menjijikan dan menakutkan. Pasien mulai lepas kendali dan
mencoba jaga jarak dengan sumber yang dipersepsikan sehingga timbul
peningkatan tanda-tanda vital.
3. Fase III
Pasien menghentikan perlawanan halusinasi dan menyerah pada halusinasi. Disini
pasien sukar berhubungan dengan orang lain, tidak mampu mematuhi perintah
dari orang lain, dan kondisi sangat menegangkan terutama berhubungan dengan
orang lain.
4. Fase IV
Pengalaman sensori menjadi mengancam jika pasien mengikuti perintah
halusinasi. Disini terjadi perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri dan tidak
mampu berespon terhadap perintah yang kompleks dan tidak mampu berespon
lebih dari 1 orang.

G. Konsep asuhan keperawatan halusinasi


1. Pengkajian
Pengkajian adalah langkah awal dalam pelaksanaan asuhan keperawatan.
Pengkajian dapat dilakukan dengan cara observasi dan wawancara pada klien dan
keluarga pasien (O’brien, 2014). Pengkajian awal mencakup :
 Keluhan atau masalah utama
 Status kesehatan fisik, mental, dan emosional
 Riwayat pribadi dan keluarga
 Sistem dukungan dalam keluarga, kelompok sosial, atau komunitas
 Kegiatan sehari-hari
 Kebiasaan dan keyakinan kesehatan
 Pemakaian obat yang diresepkan
 Pola koping
 Keyakinan dan nilai spiritual

Dalam proses pengakajian dapat dilakukan secara observasional dan wawancara.


Data pengakajian memerlukan data yang dapat dinilai secara observasional.
Menurut Videbeck dalam Yosep (2014) data pengkajian terhadap klien halusinasi
yaitu:

a. Data Subjektif
 Mendengar suara menyuruh
 Mendengar suara mengajak bercakap-cakap
 Melihat bayangan, hantu, atau sesuatu yang menakutkan
 Mencium bau darah, feses, masakan dan parfum yang menyenangkan
 Merasakan sesuatu dipermukaan kulit, merasakan sangat panas atau
dingin
 Merasakan makanan tertentu, rasa tertentu, atau mengunyah sesuatu
b. Data Objektif
 Mengarahkan telinga pada sumber suara
 Bicara atau tertawa sendiri
 Marah-marah tanpa sebab
 Tatapan mata pada tempat tertentu
 Menunjuk-nujuk arah tertentu
 Mengusap atau meraba-raba permukaan kulit tertentu
2. Diagnosa Keperawatan
Dalam proses keperawatan tindakan selanjutnya yaitu menentukan diagnosa
keperawatan. Adapun pohon masalah untk mengetahui penyebab, masalah utama
dan dampak yang ditimbulkan. Menurut (Yosep, 2014) yaitu

Diagnosa keperawatan yang muncul pada klien dengan gangguan halusinasi


menurut (Yosep, 2014) yaitu:
a. Resiko Perilaku Kekerasan
b. Perubahan persepsi sensori halusinasi
c. Isolasi Sosial

3. Rencana tindakan keperawatan


a. Rencana tindakan untuk klien halusinasi, Rencana keperawatan
berdasarkan (Fitria,2009) adalah sebagai berikut:
 Membantu klien mengenali halusinasi.
Diskusi adalah salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
membantu klien mengenali halusinasinya. Perawat dapat
berdiskusi dengan klien terkait isi halusinasi (apa yang didengar
atau dilihat), waktu terjadi halusinasi, frekuensi terjadinya
halusinasi, frekuensi terjadinya halusinasi, situasi yang
menyebabakan halusinasi muncul, dan perasaan klien saat
halusinasi muncul (komunikasinya sama dengan yang diatas).
 Melatih klien mengontrol halusinasi.
Perawat dapat melatih empat cara dalam mengendalikan halusinasi
pada klien. Keempat cara tersebut sudah terbukti mampu
mengontrol halusinasi seseorang. Keempat cara tersebut adalah
menghardik halusinasi, bercakap-cakap dengan orang lain,
melakukan aktivitas yang terjadwal, dan patuh minum obat dengan
enam benar secara teratur.
 Mendiskusikan masalah yang dirasakan dalam merawat pasien
 Menjelaskan tentang halusinasi: pengertian, tanda dan gejala,
penyebab terjadinya halusinasi, dan akibat jika halusinasi tidak
diatasi.
 Membantu keluarga mengambil keputusan merawat pasien
 Melatih keluarga cara merawat halusinasi
 Membimbing keluarga merawat halusinasi
 Melatih keluarga menciptakan suasana keluarga dan lingkungan
yang mendukung pasien mengatasi halusinasi
 Mendiskusikan tanda dan gejala kekambuhan yang memerlukan
rujukan segera ke fasilitas pelayanan kesehatan
 Menganjurkan follow up ke fasilitas pelayanan kesehatan secara
teratur.
 Evaluasi

4. Evaluasi keperawatan
Klien mampu menerapkan 4 cara mengontrol halusinasi:
a. Menghardik halusinasi
b. Mematuhi program pengobatan
c. Mengajak orang lain bercakap-cakap dengan bila timbul halusinasi.
d. Menyusun jadwal kegiatan harian untuk mengurangi waktu luang dan
melaksanakan jadwal kegiatan tersebut secara mandiri.
DAFTAR PUSTAKA

http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/2581/4/Chapter%202.pdf
http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/2146/3/WARSONO.pdf
http://repository.pkr.ac.id/464/7/BAB%202%20Tinjauan%20Pustaka.pdf

Anda mungkin juga menyukai