HALUSINASI
KEPERAWATAN JIWA
DISUSUN OLEH:
AJENG NEVIA
( 21.156.03.11.013 )
B. Etiologi
Proses terjadinya halusinasi dijelaskan dengan menggunakan konsep stress adaptasi
Stuart yang meliputi stressor dari faktor predisposisi dan presipitasi.
1. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi halusinasi terdiri dari
a. Faktor Biologis :
Adanya riwayat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa
(herediter), riwayat penyakit atau trauma kepala, dan riwayat penggunaan
narkotika, psikotropika dan zat adiktif lain (NAPZA).
b. Faktor Psikologis
Memiliki riwayat kegagalan yang berulang.Menjadi korban, pelaku
maupun saksi dari perilaku kekerasan serta kurangnya kasih sayang dari
orang-orang disekitar atau overprotektif.
c. Sosiobudaya dan lingkungan
Sebagian besar pasien halusinasi berasal dari keluarga dengan sosial
ekonomi rendah, selain itu pasien memiliki riwayat penolakan dari
lingkungan pada usia perkembangan anak, pasien halusinasi seringkali
memiliki tingkat pendidikan yang rendah serta pernah mengalami
kegagalan dalam hubungan sosial (perceraian, hidup sendiri), serta tidak
bekerja.
2. Faktor Presipitasi
Stressor presipitasi pasien gangguan persepsi sensori halusinasi ditemukan adanya
riwayat penyakit infeksi, penyakit kronis atau kelainan struktur otak, adanya
riwayat kekerasan dalam keluarga, atau adanya kegagalan-kegagalan dalam
hidup, kemiskinan, adanya aturan atau tuntutan di keluarga atau masyarakat yang
sering tidak sesuai dengan pasien serta konflik antar masyarakat.
3. Stress Lingkung
Ambang toleransi terhadap tress yang berinteraksi terhadap stressor lingkungan
untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
4. Sumber Koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam
menanggapistress(Prabowo, 2014).
5. Perilaku
Respons klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan tidak
aman, gelisah, dan bingung, perilaku menarik diri, kurang perhatian, tidak mampu
mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan nyata dan tidak.
6. Dimensi fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang
luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol
dan kesulitan untuk tidur dalamwaktu yang lama.
7. Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatas
merupakan penyebab halusianasi itu terjadi, isi dari halusinasi dapat berupa
peritah memaksa dan menakutkan.Klien tidak sanggup lagi menentang perintah
tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan
tersebut.
8. Dimensi intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan halusinasi
akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi
merupakan usha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, namun
merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil
seluruh perhatian klien dan tak jarang akan mengotrol semua perilaku klien.
9. Dimensi sosial
Klien mengalami gangguan interaksi sosial dalam fase awal dan comforting, klien
menganggap bahwa hidup bersosialisasi dialam nyata sangat membahayakan.
Klien asyik dengan dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk
memenuhi
kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak didapatkan
dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan kontrol oleh individu tersebut,
sehingga jika perintah halusinasiberupa ancaman, dirinya atau orang lain individu
cenderung keperawatan klien dengan mengupayakan suatu proses interkasi yang
menimbulkan pengalaman interpersonal yang memuaskan, serta mengusahakan
klien tidak menyendiri sehingga klien selalu berinteraksi dengan lingkungannya
dan halusinasi tidak berlangsung.
10. Dimensi spiritual
Secara spiritualklien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup, rutinitas, tidak
bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang berupaya secara spiritual untuk
menyucikan diri, irama sirkardiannya terganggu(Damaiyanti, 2012).
C. Jenis Halusinasi
Menurut Yosep dalam Prabowo, 2014 halusinasi terdiri dari beberapa jenis dengan
karakteristik tertentu, diantaranya
1. Halusinasi pendengaran (audotorik)
Gangguan stimulus dimana pasien mendengar suara-suara terutama suara orang.
Biasanya mendengar suara orang yang sedang membicarakan apa yang sedang
dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu.
2. Halusinasi pengelihatan (visual)
Stimulus visual dalam bentuk beragam seperti bentuk pancaran cahaya,gambaran
geometric, gambar kartun, panorama yang luas dan bayangan yang menakutkan.
3. Halusinasi penghidu (Olfaktori)
Gangguan stimulus pada penghidu, yang ditandai dengan adanya bau busuk, amis,
dan bau menjijikan, tapi kadang terhidu bau harum.
4. Halusinasi peraba (taktil)
Gangguan stimulusyang ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak tanpa
ada stimulus yang terlihat, seperti merasakan sensasi listrik datang dari tanah,
benda mati atau orang lain.
5. Halusinasi pengecap (gustatorik)
Gangguan stimulus yang ditandai dengan merasaan sesuatuyang busuk, amis, dan
menjijikan
6. Halusinasi sinestetik
Gangguan stimulus yang ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah
mengalir melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentuan urine.
Keterangan :
1. Respon Adaptif
Respon yang dapat diterima oleh norma-norma sosial budaya yang berlaku.
Dengan kata lain individu tersebut dalam batas normal jika menghadapi suatu
masalah dan akan dapat memecahkan masalah tersebut.
Adapun respon adaptif yakni :
a. Pikiran Logis merupakan pandangan yang mengarah pada kenyataan yang
dapat diterima akal.
b. Persepsi Akurat merupakan pandangan dari seseorang tentang suatu
peristiwa secara cermat dan tepat sesuai perhitungan.
c. Emosi Konsisten dengan Pengalaman merupakan perasaan jiwa yang
timbul sesuai dengan peristiwa yang pernah dialami.
d. Perilaku Sosial dengan kegiatan individu atau sesuatu yang berkaitan
dengan individu tersebut yang diwujudkan dalam bentuk gerak atau
ucapan yang tidak bertentangan dengan moral.
e. Hubungan Sosial merupakan proses suatu interaksi dengan orang lain
dalam pergaulan ditengah masyarakat dan lingkungan.
Respon Psikososial
Adapun respon psikososial yakni:
a. Pikiran terkadang menyimpang berupa kegagalan dalam mengabstrakan
dan mengambil kesimpulan.
b. Ilusi merupakan pemikiran atau penilaian yang salah tentang penerapan
yang benar-benar terjadi (objek nyata) karena rangsangan panca indera.
c. Emosi berlebihan dengan kurang pengalaman berupa reaksi emosi yang
diekspresikan dengan sikap yang tidak sesuai.
d. Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi
bataskewajaran.
e. Menarik diri merupakan percobaan untuk menghindar interaksi dengan
orang lain, baik dalam berkomunikasi maupun berhubungan sosial dengan
orang-orang di sekitarnya.
2. Respon Maladaptif Respon maladaptif merupakan respon individu dalam
menyelesaikan masalah yang menyimpang dari norma-norma sosial budaya dan
lingkungan.
Adapun respon maladaptif yakni:
a. Kelainan pikiran (waham) merupakan keyakinan yang secara kokoh
dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan
dengan keyakinan sosial.
b. Halusinasi merupakan gangguan yang timbul berupa persepsi yang salah
terhadap rangsangan.
c. Kerusakan proses emosi merupakan ketidakmampuan mengontrol emosi
seperti menurunnya kemampuan untuk mengalami kesenangan,
kebahagiaan, dan kedekatan.
d. Perilaku tidak terorganisir merupakan ketidakteraturan perilaku berupa
ketidakselarasan antara perilaku dan gerakan yang di timbulkan.
e. Isolasi sosial merupakan kondisi dimana seseorang merasa kesepian tidak
mau berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya. (Stuart,
2017).
F. Fase Halusinasi
Menurut stuart dan laraia dalam Prabowo, 2014 menunjukan tahapan terjadinya
halusinasi terdiri dari 4 fase dan setiap fase mempunyai karakteristik yang berbeda yaitu:
1. Fase I
Pasien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian, dan takut serta
mencoba untuk berfokus pada pkiran yang menyenangkan untuk meredakan
ansietas disini pasien tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai, gerakan mata
cepat,dan asyik sendiri.
2. Fase II
Pengalaman sensori menjijikan dan menakutkan. Pasien mulai lepas kendali dan
mencoba jaga jarak dengan sumber yang dipersepsikan sehingga timbul
peningkatan tanda-tanda vital.
3. Fase III
Pasien menghentikan perlawanan halusinasi dan menyerah pada halusinasi. Disini
pasien sukar berhubungan dengan orang lain, tidak mampu mematuhi perintah
dari orang lain, dan kondisi sangat menegangkan terutama berhubungan dengan
orang lain.
4. Fase IV
Pengalaman sensori menjadi mengancam jika pasien mengikuti perintah
halusinasi. Disini terjadi perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri dan tidak
mampu berespon terhadap perintah yang kompleks dan tidak mampu berespon
lebih dari 1 orang.
a. Data Subjektif
Mendengar suara menyuruh
Mendengar suara mengajak bercakap-cakap
Melihat bayangan, hantu, atau sesuatu yang menakutkan
Mencium bau darah, feses, masakan dan parfum yang menyenangkan
Merasakan sesuatu dipermukaan kulit, merasakan sangat panas atau
dingin
Merasakan makanan tertentu, rasa tertentu, atau mengunyah sesuatu
b. Data Objektif
Mengarahkan telinga pada sumber suara
Bicara atau tertawa sendiri
Marah-marah tanpa sebab
Tatapan mata pada tempat tertentu
Menunjuk-nujuk arah tertentu
Mengusap atau meraba-raba permukaan kulit tertentu
2. Diagnosa Keperawatan
Dalam proses keperawatan tindakan selanjutnya yaitu menentukan diagnosa
keperawatan. Adapun pohon masalah untk mengetahui penyebab, masalah utama
dan dampak yang ditimbulkan. Menurut (Yosep, 2014) yaitu
4. Evaluasi keperawatan
Klien mampu menerapkan 4 cara mengontrol halusinasi:
a. Menghardik halusinasi
b. Mematuhi program pengobatan
c. Mengajak orang lain bercakap-cakap dengan bila timbul halusinasi.
d. Menyusun jadwal kegiatan harian untuk mengurangi waktu luang dan
melaksanakan jadwal kegiatan tersebut secara mandiri.
DAFTAR PUSTAKA
http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/2581/4/Chapter%202.pdf
http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/2146/3/WARSONO.pdf
http://repository.pkr.ac.id/464/7/BAB%202%20Tinjauan%20Pustaka.pdf