Anda di halaman 1dari 3

Nama : Dwina Aulia Putri M

NIM : 11191010000033

Mata Kuliah : Kesehatan Lingkunga Haji

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Arif Sumantri

Pertanyaan :

1. Di dalam surat Ali Imran ayat 97, apa tafsir dari ayat ini terhadap konsistensi istithaah
bagi calon jamaah yang mengalami uzur?
2. Bagaimana istithaah dilihat dari perspektif bekal, istithaah dilihat dari faktor risiko,
dan istithaah dilihat dari risiko kesehatan dalam suatu wilayah terutama pada pasca
pandemi?

Jawaban :

1. Q.S Ali‘Imran ayat 97

Artinya :
Di sana terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) maqam Ibrahim. Barangsiapa
memasukinya (Baitullah) amanlah dia. Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap
Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang
mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji,
maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh
alam.

Uzur atau udzur dalam Islam berhubungan dengan terhalangnya seorang


muslim melaksanakan ibadah. Uzur atau udzur adalah istilah yang membuat seorang
muslim bisa mendapatkan keringanan dalam melaksanakan ibadah. Sebagaimana kita
ketahui bahwa dalam Islam, kita mengenal udzur ada dua macam, yaitu udzur syar'i
dan udzur tidak syar'i.
Menghajikan orang lain atau memberikan bimbingan dan hukumnya boleh
dengan ketentuan bahwa orang yang menjadi wakil harus sudah melakukan haji wajib
bagi dirinya dan yang diwakili (dihajikan itu) telah mampu untuk pergi haji tetapi dia
tidak dapat melaksanakan sendiri karena sakit yang tidak dapat diharapkan
sembuhnya. (Udzur Syar'i) yang menghilangkan istitha'ahnya (kemampuannya)
atau karena meninggal dunia setelah dia berniat haji. Orang laki-laki boleh
mengerjakan untuk laki-laki dan perempuan, demikian pula sebaliknya. Di utamakan
yang mengerjakan itu adalah keluarganya. Bagi yang berhalangan (Udzur Syar'i)
boleh mewakilkan kewajiban melontar jumroh kepada orang lain. Caranya dengan
mendahulukan melontar jumroh Ula untuk dirinya, kemudian melontar untuk yang
diwakili. Demikian seterusnya untuk melontar jumroh Wustha dan Aqobah
(Kemenag,2016)

2. Makna istitha‘ah mencakup beberapa hal, antara lain; al-istitha‘at-u ‗l-maliyah, yaitu
adanya perbekalan untuk membayar Ongkos Naik Haji (ONH).Kedua, al-Istitha‘at-u
‗l- badaniyah, yaitu kemampuan fisik salah satu syarat wajib mengerjakan haji karena
pekerjaan ibadah haji berkaitan dengan kemampuan badaniah—karena hampir semua
rukun dan wajib haji berkaitan erat dengan kemampuan fisik. Istitha'ah sebagai salah
satu syarat wajib haji memberikan konsekwensi seseorang yang sudah wajib
melaksanakan haji sehingga apabila ia tidak melaksanakan haji, maka ia berdosa.
Dengan demikian istitha'ah bukanlah dasar ukuran sah atau tidaknya haji seseorang,
contoh: seorang yang belum istitha'ah karena dalam perjalanannya tidak aman
ternyata dapat sampai ke Tanah Suci dan melaksanakan hajinya dengan sempurna,
maka hajinya sah walaupun dia tidak termasuk orang yang sudah wajib haji.
Dilihat dari perspektif bekal, mengutip Mazhab Hanafi berpendapat bahwa
berkaitan dengan harta adalah bekal dan kendaraan, yakni memiliki bekal untuk
pulang dan pergi dan kendaraan adalah sarana transportasi yang digunakan. Untuk
bekal adalah yang mencukupi seseorang selama perjalanan dan pelaksanaan ibadah
haji dan juga harta untuk menafkahi keluarga dan tanggungannya yang ditinggalkan
selama dan pasca ibadah haji.
Ibadah haji umumnya dilaksanakan oleh orang yang sudah lanjut usia maka
tidak sedikit terdapat banyak faktor risiko terhalangny kegiatan ibadah haji terutama
faktor risiko kesehatan. Imam Syafi‘i berkata: istitha‘ah itu ada dua macam. Pertama,
seseorang mempunyai kemampuan badan dan biaya yang cukup untuk haji.
Kemampuan (istitha‘ah) semacam ini adalah kemampuan yang sempurna; karena itu,
ia sudah wajib haji. Kedua, ia memiliki udzur hingga tidak mampu naik kendaraan,
maka ia berhaji di atas kendaraan di kala mampu; sedang (jika) ia mampu menyuruh
orang yang taat kepadanya untuk menghajikannya, atau ia mempunyai biaya dan
mendapatkan orang yang mau dibayar untuk menghajikannya, orang seperti ini
termasuk orang yang diwajibkan haji, sebagaimana orang yang mampu haji sendiri.
Hakikat mampu adalah dapat mencapai perjalanan ke Mekkah meskipun
dengan usaha yang sulit hingga membuat seseorang sangat pas-pasan. Bahkan bila
setelah haji ia menjadi fakir pun karena kehabisan harta dan keluarga yang
ditinggalkan dalam keadaan kesulitan ekonomi asal tidak menyebabkan kematian,
hukumnya boleh-boleh saja menurut mazhab ini. Dari sumber lain
menyebutkan,Imam Malik berkata: Jika ia lumpuh, gugurlah kewajiban hajinya, baik
ia mampu menyuruh orang lain untuk menghajikannya dengan harta atau dengan
lainnya, tetap saja ia tidak berkewajiban haji. Imam Malik berargumen dengan:
firman Allah: ―…Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu
(bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah..‖ (QS. Ali Imran [3]:
97), sedang orang (yang lumpuh, sakit) ini termasuk orang yang tidak sanggup
(mampu), karena ibadah haji itu menuju ke Baitullah yang dilakukan orang mukallaf
sendiri; di samping itu, haji adalah suatu ibadah yang tidak boleh diwakilkan
disebabkan lemah (tidak mampu) sebagimana shalat (Syaikhu, 2020).

Referensi :

Kementrian Agama RI.(2016). Istila Ibadah Haji


http://cilacap.kemenag.go.id/fiqh/read/istilah-ibadah-haji (Diakses 10 Maret
2022)
Syaikhu. (2020). ISTITHA’AH DALAM HAJI (STUDI TEMATIK TAFSIR AHKAM
SURAH ALI IMRAN AYAT 97). 10(1), 15–25.

Anda mungkin juga menyukai