Anda di halaman 1dari 9

PENGARUH KEMATANGAN EMOSI TERHADAP PERILAKU

CYBERSEX PADA INDIVIDU EMERGING ADULTHOOD DI


KARAWANG

SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana dari
Program Studi Psikologi

Diajukan oleh :
Sarah Khoirunnisa
18416273201116

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS BUANA PERJUANGAN KARAWANG

2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Usia emerging adulthood merupakan salah satu masa dimana banyaknya
tugas perkembangan yang perlu untuk dipenuhi seperti individu harus sudah
mampu bertanggung jawab dan memiliki kebebasan membuat keputusan.
Menurut Arnett masa emerging adulthood adalah suatu masa transisi antara
remaja dan dewasa, yang berkisar antara usia 18 sampai 25 tahun (dalam Carolina
Tery dan Elia, 2015). Periode emerging adulthood muncul pada masa dewasa
awal yang ditandai oleh pengalaman-pengalaman yang mengubah hidup, termasuk
kehidupan semasa kuliah (Gutter & Copur, dalam Sitti Ariez dan Fera, 2020).
Arnett, seorang psikolog dari Amerika yang memperkenalkan istilah emerging
adulthood, sebutan untuk transisi masa remaja dan masa dewasa muda. Kebebasan
yang dimiliki individu di masa emerging adulthood membuat ia mampu
mengeksplorasi diri (dalam Diana, 2021).
Walaupun demikian, perubahan kondisi yang terjadi pada masa emerging
adulthood memiliki kerentanan krisis, terutama ketika individu kurang
menyiapkan diri menuju dunia sosial. Menurut Murithi (dalam Diana, 2021)
faktor yang mempengaruhi adanya krisis di masa emerging adulthood adalah
harapan dari keluarga untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Miller
(dalam Diana, 2021) juga menyebutkan bahwa tugas perkembangan di masa
emerging adulthood adalah tinggal terpisah dengan orangtua, adanya peningkatan
dalam hal karir dan akademis, membangun hubungan intimasi mendalam,
membuat keputusan mandiri serta memiliki kematangan emosional.
Usia emerging adulthood adalah usia beranjak dewasa yang mulai
memiliki kebebasan untuk memilih banyak hal dalam hidupnya. Namun seiring
berjalannya waktu kebebasan ini menjadi salah satu hal untuk memenuhi
kebutuhan biologis seperti mengakses pornografi di internet, terlibat dalam real-
time yaitu percakapan tentang online seksual dengan orang lain, dan mengakses
multimedia software seks (Juditha, 2020).
Beredarnya pornografi di internet merupakan fenomena yang berkembang
dan dikenal dalam masyarakat modern di seluruh dunia adalah cybersex. Aktivitas
cybersex dilakukan dengan menjelajalah situs porno, percakapan seks,
mengunduh pornografi dan mengakses multimedia atau software seks. Cybersex
dapat menimbulkan dampak negatif seperti munculnya adiksi, masalah dalam
interaksi sosial, perkembangan emosional, aktivitas seksual menyimpang seperti
pelecehan anak, prostitusi, maupun kejahatan cyber (Juditha, 2020).
Menurut Wery & Billieux (2015) perilaku cybersex merupakan kegiatan
yang dilakukan seperti menonton pornografi, terlibat dalam percakapan seks,
menggunakan perangkat kamera web untuk melakukan aktivitas seksual secara
online, mencari pasangan seksual secara online atau terlibat dalam permainan
peran seks secara tiga dimensi. Akan tetapi, dari semua hal tersebut, aktivitas yang
paling banyak dilakukan adalah menonton pornografi terlebih untuk para pria.
Menurut Cooper (dalam Lisnawati, 2019) cybersex didefinisikan sebagai
penggunaan internet untuk melakukan aktivitas seksual, seperti melihat gambar-
gambar porno, melakukan chatting tentang seks, dan saling tukar menukar gambar
atau video tentang seks, yang terkadang diikuti oleh masturbasi. Perilaku cybersex
menurut Carners (dalam Juditha, 2020) adalah aktivitas mengakses pornografi di
internet, terlibat dalam real-time yaitu percakapan tentang seksual online dengan
orang lain, dan mengakses multimedia software.
Hal tersebut sesuai dengan data Survei penggunaan teknologi komunikasi
informasi (TIK) dari Kominfo 2017, pengguaan internet mencapai 45% atau
sekitar 217 juta pengguna. Nilai ini naik dari tahun-tahun sebelumnya.
Penggunaan internet yang pesat ini juga diikuti penggunaan media sosial dan
instant messaging (IM) yang juga cukup tinggi yaitu 92, 82% untuk media sosial
dan 84, 76% untuk penggunan IM (dalam Juditha, 2020). Lebih lanjut menurut
Hasil survei Kementerian Komunikasi dan Informatika tahun 2012 menemukan
bahwa 80% responden yang disurvei merupakan penggunaan Internet. Kehadiran
teknologi Internet telah membuka munculnya bentuk-bentuk perilaku seksual baru
seperti cybersex (Riska dan Evi, 2020). Selain itu menurut (Budi, 2017) cybersex
dikenal dengan sejumlah istilah, antara lain, computer sex, Internet sex, netsex
atau dalam bahasa sehari-hari yang informal kadang kala hanya dengan istilah
cyber atau cybering.
Keterlibatan yang terlampau jauh dalam cybersex juga memunculkan
persoalan kecanduan atau perilaku yang kompulsif (compulsive behavior). Ini
terjadi ketika seseorang tidak lagi mampu mengontrol aktivitas seksualnya di
dunia online dan menghabiskan waktunya di depan layar komputer (misalnya,
lebih dari 11 jam dalam seminggu) sebagai bagian dari cara melarikan diri dari
persoalan sehari-hari yang dihadapinya. Sementara itu fenomena cybersex
didukung hasil riset yang dilakukan terhadap 1.200 orang pelajar SMP dan SMA
di 12 kota di Indonesia, 97% pelajar pernah dan suka membuka situs porno
(Harmaini & Sri, 2018).
Fenomena mengenai aktifitas cybersex di warung internet kota Pekanbaru
ini juga dibenarkan oleh beberapa penjaga warnet dan pemilik warnet.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh Harmaini dan Sri (2018) di
lima warnet yang berbeda di Pekanbaru, setiap harinya (24 jam) jumlah
pengunjung warnet sebanyak 200-500 orang, dan terdiri dari anak-anak umur 5
tahun hingga 60 tahun. Fakta yang didapat berdasarkan wawancara yang telah
peneliti lakukan, pengunjung yang didominasi oleh para remaja ini, selain
bermain game online, setiap harinya pasti ada yang mengakses situs porno, baik
itu melihat, mendownload, dan melakukan obrolan di sosial media (chatting) yang
mengarah ke pornografi. Bahkan, beberapa kali terjadi sepasang remaja sedang
melihat video porno dan mereka mesum di warnet. Rasa ingin tahu yang besar
mengenai seksualitas menyebabkan remaja mencari sumber informasi mengenai
seksualitas. Hasil survey dari PUSAKOM UI bahwa pengguna internet terbanyak
adalah antara usia 18-25 tahun. Hasil penelitian diatas menjadi patokan bahwa
pelaku cybersex mayoritas adalah individu dengan usia emerging adulthood. Pada
Masa ini individu akan merasakan dilema untuk memenuhi kebutuhan atau
melakukan hal yang bertentangan dengan agama dan berdampak bahaya bagi
dirinya, sehingga mengikutsertakan peran emosi (Rosdiana, 2016). Survei yang
menyebabkan individu yang memasuki masa remaja dan dewasa awal banyak
yang melakukan perilaku seksual, termasuk didalamnya rasa penasaran akan sex
dan reproduksi. Gairah dan hasrat seksual merupakan merupakan satu kesatuan
yang berkaitan dengan kebutuhan biologis, namun kriteria tersebut sering
digunakan untuk mendefinisikan emosi (Gonzaga, dkk. dalam Rosdiana, 2016).
Sebelumnya peneliti sudah melakukan wawancara kepada 6 orang remaja
di karawang dan mereka mengatakan bahwa pernah mengakses pornografi di
internet dan melihat gambar-gambar maupun video porno dengan alasan
penasaran atau tidak sengaja terlihat dalam cuplikan film. Kemudian berdasarkan
survey awal melalui kuesioner yang telah dilakukan peneliti di karawang
mengenai cybersex ini didapatkan 57 orang partisipan yang mengisi kuesioner,
50,9% mengaku pernah mengakses pornografi di internet, 84,2% pernah melihat
gambar-gambar porno, 63,2% pernah melakukan chatting tentang seks, 86%
pernah saling tukar menukar gambar atau video tentang seks, 93% pernah
melakukan aktivitas seksual secara online, dan 89,5% pernah mencari pasangan
seksual secara online.
Permasalahan perilaku cybersex yang terjadi dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti contohnya adalah faktor psikologis. Faktor psikologis memiliki
peran dalam menentukan dan mengendalikan perilaku seseorang, sehingga
penting untuk mengetahui faktor-faktor tersebut sebagai dasar dalam menyusun
langkah-langkah preventif dan intervensi untuk menangani dan mengurangi
perilaku cybersex (Tri & Andre, 2021).
Aktivitas cybersex tampak makin meluas sejalan dengan perkembangan
yang terus menerus dari teknologi internet dan peralatan online terkait lainnya.
Hal tersebut tidak bisa lepas dari faktor rendahnya pengetahuan akan bahaya
pornografi. Padahal pornografi dan seksualitas merupakan hal yang sangat
berbahaya bagi siapapun terlebih jika dikonsumsi secara kontinyu. Individu
dengan tingkat kematangan emosi tinggi akan mampu mengarahkan emosi negatif
ke perilaku yang lebih produktif (Hening & Kusuma, 2015).
Adapun faktor penyebab perilaku cybersex ini dikarenakan individu
kurang dapat mengenali emosi atau perasaannya sendiri. Ketika individu tidak
dapat mengenali dengan baik perasaannya atau dalam keadaan ragu, maka
individu juga akan kesulitan untuk memilih hal apa yang akan dilakukannya
(Lisnawati, 2019).
Ketika individu tidak mampu untuk mengelola emosi dengan baik maka
mereka akan kesulitan untuk melakukan hal-hal atau tujuan baik, dan hanya
sekedar melampiaskan emosi negatifnya dalam hal ini dorongan seksualnya saja,
sehingga munculah perilaku cybersex tersebut. Kemampuan dalam mengatur,
mengelola emosi dan mengambil keputusan yang baik dibutuhkan agar individu
mampu mengontrol dirinya agar tidak melakukan perilaku negatif seperti
cybersex. Ketika ia mampu mengelola emosinya tersebut, maka ia akan mampu
mengambil keputusan yang tepat dan perilaku yang bijak dengan tidak melakukan
cybersex dan perilaku yang muncul adalah mengalihkan dorongan seksual tersebut
ke hal-hal yang lebih positif (Lisnawati, 2019).
Emosi manusia mengalami perkembangan mulai dari masa bayi hingga
masa tua. Emosi yang paling penting adalah untuk memenuhi kapasitas perasaan
dan kebutuhan afeksinya. Kebutuhan memberi dan menerima afeksi pada masa ini
menjadi lebih dalam, sehingga muncul istilah emotional maturity. Salah satu
wilayah emotional maturity ini adalah pada wilayah seksual dimana emosi
berubah menjadi dorongan atau gairah seksual yang harus dipenuhi, namun juga
memunculkan perasaan ragu dan malu (Jersild, dalam Rosdiana, 2016).
Dalam konteks emosi, kematangan emosi adalah kemampuan seseorang
dalam mengontrol dan mengendalikan emosinya, dimana kepribadian secara
terus-menerus berusaha mencapai keadaan emosi yang lebih baik secara intrafisik
maupun interpersonal. Orang yang matang emosinya mampu mengendalikan
amarahnya dan mampu berpikir rasional terhadap hal-hal yang dilakukannya
(Farmer Irvin Motoca Leung Hutchins Brooks & Hall, 2015). Seseorang
dikatakan matang emosinya apabila orang tersebut memiliki sifat mandiri yaitu
dia memiliki kemampuan mengambil keputusan yang dikehendaki serta
bertanggung jawab terhadap konsekuensi dari keputusan yang telah diambilnya
(Sekol & Farrington, 2016). Mereka yang matang emosinya adalah individu yang
memiliki kemampuan untuk menerima kenyataan bahwa dirinya tidak selalu sama
dengan orang lain, setiap individu memiliki kekurangan dan kelebihan dalam
hidupnya sehingga individu tersebut tidak merasa rendah dan tidak berguna
(Hellfeldt, Gill, & Johansson, 2018).
Hurlock (2012) menyatakan bahwa kematangan emosi adalah suatu
keadaan atau kondisi mencapai tingkat kedewasaan dari perkembangan emosional
dan karena itu seseorang tidak lagi menampilkan pola emosional yang seperti
anak-anak, namun mereka mampu mengontrol emosi lebih baik khususnya ketika
berada di situasi sosial. Dengan demikian seseorang yang mempunyai kematangan
emosi yang tinggi mampu menampilkan pola emosional yang pantas dengan masa
perkembangannya, mampu mengelola emosinya dengan baik dan memenuhi
karakteristik individu yang matang emosinya seperti dapat beradaptasi dengan
baik, kemampuan berempati, dan pengendalian amarah yang baik tanpa menyakiti
orang lain. Hurlock (dalam tutik, 2013) menyebutkan bahwa kematangan emosi
adalah apabila individu menilai situasi secara kritis terlebih dulu sebelum bereaksi
secara emosional, tidak lagi bereaksi tanpa berfikir sebelumnya seperti anak-anak
atau orang yang belum matang emosinya. Selanjutnya Walgito (dalam Febri &
Nuristighfari, 2014) menjelaskan bahwa kematangan emosi dan pikiran saling
terkait satu dengan lainnya. Apabila seseorang telah matang emosinya, maka ia
dianggap telah dapat mengendalikan emosinya, maka individu akan dapat berfikir
secara matang, berfikir secara baik, dan berfikir secara obyektif. Dapat dikatakan
bahwa kematangan emosi terjadi ketika seseorang memperoleh kemampuan untuk
mengendalikan emosi dan perasaannya. Orang dewasa telah mencapai
pemahaman yang benar tentang dirinya dan hubungan sosialnya secara emosional
dan telah belajar cara yang benar untuk mencintai, mengungkapkan perasaan, dan
bereaksi terhadap berbagai perilaku orang-orang di sekitarnya. Orang dengan
kematangan emosi dapat mengembangkan sikap mental yang positif (dalam
Fariba Alireza dan Shahram, 2020).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rizky (2016) dengan
judul “Hubungan antara Kematangan Emosi dan Pengetahuan Moral Seksual
dengan Perilaku Seksual Siswa SMP Negeri 2 Tamanan Bondowoso” Kesimpulan
hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa siswa di SMP Negeri 2 Tamanan
Bondowoso memiliki tingkat kematangan emosi rata-rata dan memiliki perilaku
seksual rata-rata, serta terdapat hubungan negatif signifikan antara kematangan
emosi dan perilaku seksual siswa SMP Negeri 2 Tamanan Bondowoso.
Selanjutnya penelitian dari Rio (2016) dengan judul “Hubungan Antara Kontrol
Diri dan Kematangan Emosi dengan Perilaku Seksual Pranikah Siswa Laki-Laki
Kelas X dan XI SMK Pancasila Dander Bojonegoro. Hasil penelitian menunjukan
terdapat hubungan yang signifikan antara kontrol diri dan kematangan emosi
dengan perilaku seksual pranikah remaja pada siswa kelas X dan XI di SMK
Pancasila Dander Bojonegoro.
Berdasarkan fenomena yang telah dipaparkan oleh peneliti diatas, peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Kematangan Emosi
Terhadap Perilaku Cybersex Pada Individu Emerging Adulthood di Karawang.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut maka dapat
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada pengaruh kematangan
emosi terhadap perilaku cybersex pada individu emerging adulthood di
Karawang?

C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan latar belakang masalah diatas, maka tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh kematangan emosi terhadap
perilaku cybersex pada individu emerging adulthood di Karawang.

D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang ingin di capai, maka penelitian ini
diharapkan memiliki manfaat dalam pendidikan. Adapun manfaat dari penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan bisa digunakan sebagai bahan kajian bagi
pengembangan ilmu psikologi.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan, yaitu
mengenai pengaruh kematangan emosi terhadap perilaku cybersex pada individu
emerging adulthood di karawang.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi peneliti selanjutnya
Dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi para peneliti untuk mrlakukan
penelitian lebih lanjut.

Anda mungkin juga menyukai