Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH PERPAJAKAN 1

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN


Di susun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Perpajakan1

DI Susun oleh

Valencia – 2016220002
Nelly FD Situmeang – 2016220007
Sri Ningsih Oktaviani – 2016220004
Martalina Mendrofa – 2016220039

( 3F AKUNTANSI – CITRA RAYA )

Dosen pembimbing

MERIDA, S.E., M.Ak.


A. Kata Pengantar

Segala puji bagi Tuhan yang maha esa yang telah melimpahkan rahmat-Nya, sehingga
pada kesempatan kali ini kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul ‘Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan’’ . Sehingga dengan makalah ini diharapkan dapat menambah
wawasan kita semua mengenai mata kuliah Perpajakan1.
Selain itu kami juga menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat
banyak kekurangan, serta tidak terlepas dari berbagai macam kendala, keterbatasan ilmu, dan
referensi. Oleh karena itu, kami masih mengharapkan bimbingan dan saran dari berbagai
pihak sehingga makalah ini menjadi lebih baik lagi.
Akhir kata penulis berharap semoga makalah tentang Pajak penghasilan umum, bentuk
usaha tetap, penyusutan amortisasi dan revaluasi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya
dan bagi para pembaca pada umumnya.

Tangerang, 04 Oktober 2021

Kelompok 7

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar …………………………………………………………. i


Daftar Isi ………………………………………………………….. ii

BAB I : PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang ……………………………………………………………. iii - iv
1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………………. iv
1.3 Tujuan Penulisan …………………………………………………………….. iv
BAB II : PEMBAHASAN
2.1 Pengertian BPHTB ……………….….…………………………….. 1
2.2 Perbedaan bea dan pajak …………..……………….………………….. 2
2.3 Dasar Hukum dan Dasar Pengenaan ……………………………….. 3
2.4 Objek Pajak BPHTB …………………………………………………… 4-6
2.5 Objek Yang Tidak Di Kenai BPHTB …………………………………… 7
2.6 Subjek Pajak …………………………………………………………… 8
2.7 Tarif Pajak …………………………………………………………… 8
2.6 Nilai Perolehan Objek Kena Pajak …………………………………….. 9
2.7 Nilai Perolehan Objek Tidak Kena Pajak …………………………………….. 10
2.8 Perhitungan Pajak Terhutang BPHTB …………………………………… 11- 13
2.9 Saat Pajak Terutang ……………………………………………………. 14
2.10 Tempat Pajak Terutang …………………………………………………….. 15
2.11 Tata Cara Penagihan dan Penetapan BPHTB ………………………… 16
2.12 Tata Cara Permohonan Pengurangan, Keputusan Pengurangan, …..………. 17 - 18
Pengurangan yang dihitung sendiri oleh wajib pajak
2.13 Pemberian Fasilitas BPHTB melalui pengurangan BPHTB …………….. 19-22
2.14 Restitusi Dan Pembagian Hasil Penerimaan BPHTB …………………….. 23-24
2.15 Pembagian Hasil BPHTB ……………………………………………. 24

BAB III : PENUTUP


3.1 Kesimpulan …………………………………………………………… vi
3.2 Saran …………………………………………………………………… vi
3.3 Daftar Pustaka …………………………………………………………… vi
ii
BAB II

PENDAHULUAN
1.1.LATAR BELAKANG
Pajak sebagai sumber penerimaan negara yang sangat penting bagi penyelenggara
pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan nasional. Undang Undang Dasar 1945 telah
menempatkan kewajiban perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan
dan sebagai sarana peran serta dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional untuk
mencapai masyarakat adil dan makmur. Pasal 33 ayat (3) Amandemen Undang Undang
Dasar 1945 menyatakan bahwa bumi dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran
rakyat. Bumi sebagai contoh Tanah merupakan Karunia Tuhan Yang Maha Kuasa
mempunyai fungsi sosial, kepentingan lainnya untuk memenuhi kebutuhan dasar lahan usaha
atau alat investasi yang menguntungkan. Atas tanah terletak bangunan yang juga memberikan
manfaat ekonomi kepada pemilik.
Sejak berlakunya Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Restribusi daerah tahun 2010 terhadap Bear Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) dialihkan menjadi pajak Daerah. Hal yang perlu diperhatikan dalam undang –
undang PDRD dimaksud :
1. Pasal 2 ayat (2) huruf ‘k’ bahwa BPHTB merupakan salah satu jenis Pajak Daerah
yang dikelola oleh kabupaten / kota.
2. Pasal 180 angka 6 menyatakan bahwa Undang Undang BPHTB tetap berlaku paling
lama 1 (satu) tahun sejak diberlakukannya undang undang PDRD. Dengan demikian,
BPHTB paling lambat tahun 2011 menjadi Pajak Daerah.
3. Pasal 182 angka 2, Menteri Keuangan bersama sama dengan Menteri dalam negeri
mengatur tahapan persiapan pengalihan BPHTB sebagai Pajak Daerah paling lama 1
tahun sejak berlakunya undang undang PDRD.
Memperhatikan uraian diatas, sudah sewajarnya bila pemilik atau yang memperoleh
Hak Atas Tanah dan Bangunan menyerahkan sebagian nilai ekonomis yang diperoleh kepada
pemerintah melalui pembayaran pajak yang disebut Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan. Pemungutannya/pengenaannya harus tetap memperhatikan aspek keadilan bagi
masyarakat golongan ekonomi lemah dan masyarakat berpenghasilan rendah yang
diwujudkan dalam nilai perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang tidak dikenakan pajak.
iii
Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan diberlakukan sejak 1 Januari 1988
yang dengan pertimbangan tertentu akhirnya diberlakukan sejak Juni 1998.
Dengan menelusuri sejarah masa lalu bahwa terdapat pungutan pajak dengan nama
Bea Balik Nama (Ordonasi Bea Balik Nama Staablad 1924 Nomor 291) yang dipungut atas
setiap perjanjian pemindahan hak atas harta tetap yang ada diwilayah Indonesia termasuk
peralihan harta karena hibah wasiat yang ditinggalkan oleh orang orang yang bertempat
tinggal terakhir di Indonesia. Harta tetap yang dimaksud adalah barang barang tetap dan Hak
Kebendaan atas tanah yang pemindahan haknya dilakukan dengan pembuatan akta.
Dengan diundangkannya Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok Pokok Agraria, hak hak kebendaan diatas tidak berlaku lagi karena semuanya
telah diganti dengan hak hak baru yang diatur dalam undang undang tentang Peraturan Dasar
Pokok Pokok Agraria. Dengan demikian sejak diundang undangkan tentang Peraturan Dasar
Pokok Pokok Agraria, Bea Balik Nama atas hak harta tetap berupa hak atas tanah tidak
dipungut lagi, sedangkan ketentuan mengenai pengenaan pajak atas akta pendaftaran dan
pemindahan kapal yang didasarkan pada Ordonansi Bea Balik Nama Staatsblad 1924 Nomor
291 masih tetap berlaku. Sedangkan sebagai penggantinya diperlukan adanya pungutan pajak
atas perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan dengan nama Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan atau disingkat BPHTB. Pemungutan BPHTB didasarkan pada Undang
Undang Nomor 21 Tahun 1997 yang telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun
2000. Pada perkembangan berikutnya sejak 1 Januari 2011, BPHTB dialihkan pengelolaan ke
pemerintah daerah sehingga menjadi Pajak Daerah yang pengaturannya juga diberikan wadah
dalam Undang Udnang Pajak saerah dan Restribusi Daerah (PDRD) dengan Undang Undang
Nomor 28 Tahun 2009. Hal tersebut sejalan dengan Undng Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah yang telah diubah terakhir dengan Undang Undang Nomor 12
Tahun 2008 dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, maka penyelenggaraan Pemerintah Daerah
dilakukan dengan memberikan kewenangan yang seluas luasnya disertai pemberian hak dan
kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan penyelenggaraan Pemerintah
Negara.

iv
1.2.RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan ?
2. Apa Perbedaan Bea dan Pajak?
3. Apa yang menjadi dasar pengenaan dan dasar hukum BPHTB?
4. Apa saja yang termasuk objek BPHTB ?
5. Apa saja objek yang tidak dikenai BPHTB ?
6. Bagaimana cara menghitung Nilai Perolehan Objek Kena Pajak?
7. Bagaimana cara menghitung Nilai Perolehan Objek Tidak Kena Pajak?
8. Bagaimana cara menghitung BPHTB ?
9. Bagaimana cara menentukan saat pajak terutang ?
10. Apa saja yang menjadi tempat terutang nya BPHTB ?
11. Bagaimana tata cara penagihan dan penetapan BPHTB?
12. Bagaimana tata cara permohonan pengurangan, keputusan pengurangan, pengurangan
yang dihitung sendiri oleh wajib pajak?
13. Bagaimana cara pemberian fasilitas BPHTB melalui pengurangan BPHTB?
14. Bagimana cara restitusi dan imbalan bunga serta pembagian hasil dan penerimaan
BPHTB?

1.3.TUJUAN
1. Memahami pengertian Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
2. Memahami Perbedaan Bea dan Pajak.
3. Memahami yang menjadi dasar pengenaan dan dasar hukum BPHTB.
4. Memahami apa saja yang termasuk objek BPHTB .
5. Memahami apa saja objek yang tidak dikenai BPHTB .
6. Memahami cara menghitung Nilai Perolehan Objek Kena Pajak.
7. Memahami cara menghitung Nilai Perolehan Objek Tidak Kena Pajak.
8. Memahami cara menghitung BPHTB .
9. Memahami cara menentukan saat pajak terutang .
10. Memahami apa saja yang menjadi tempat terutang nya BPHTB .
11. Memahami tata cara penagihan dan penetapan BPHTB.
12. Memhami tata cara permohonan pengurangan, keputusan pengurangan, pengurangan
yang dihitung sendiri oleh wajib pajak.
13. Memahami pemberian fasilitas BPHTB melalui pengurangan BPHTB.
14. Memahami cara restitusi dan imbalan bunga serta pembagian hasil dan penerimaan.
v

BAB II
PEMBAHASAN
BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN
2.1. A. PENGERTIAN BPHTB
Menurut Pasal 1 Undang Undang Nomor 21 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah
dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan menyatakan bahwa Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Pajak
yang dikenakan atas Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (selanjutnya disebut
dengan pajak).
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum
yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau
badan. Demikian dalam undang undang PDRD bahwa BPHTB adalah Pajak atas Perolehan
hak atas Tanah dan/atau bangunan. Perolehan hak atas Tanah dan/atau bangunan tersebut,
yaitu sebagai perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas
tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Hak atas Tanah dan/atau bangunan
adalah Hak atas Tanah termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan diatasnya sebagaimana
dimaksud undang – undang di bidang Pertanahan dan Bangunan.
1
2.2. PERBEDAAN BEA DAN PAJAK
- Pembayaran pajak terjadi lebih dahulu pada saat terutang. Sebagai gambarannya,
pembeli tanah bersertifikat sebelum melakukan transaksi atau sebelum akta dibuat dan
ditanda tangani, diharuskan untuk membayar BPHTB.
- Frekuensi pembayaran bea terutang dapat dilakukan secara insidensial atau berkali
kali dan tidak terikat waktu atau fleksibel. Pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan berbeda dengan pajak yang harus dibayarkan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.

2.3. DASAR HUKUM DAN DASAR PENGENAAN


Dasar Hukum BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan) diatur dalam
Undang Undang No.21 tahun 1997 dan telah diubah dengan UU No.20 tahun 2000
(selanjutnya hanya disebut UU BPHTB). Dalam peraturan ini, disebutkan bahwa perolehan
hak atas tanah dan bangunan tidak hanya meliputi jual beli.
2
Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP).
JENIS TRANSAKSI NPOP
Jual - Beli Harga Transaksi
Tukar menukar Nilai Pasar
Hibah Nilai Pasar
Hibah Wasiat Nilai Pasar
Waris Nilai Pasar
Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya Nilai Pasar
Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan Nilai Pasar
Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai Nilai Pasar
kekuatan hukum tetap
Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan Nilai Pasar
hak
Pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasan hak Nilai Pasar
Penggabungan usaha Nilai Pasar
Peleburan Usaha Nilai Pasar
Pemekaran Usaha Nilai Pasar
Hadiah Nilai Pasar
Penunjukan pembeli dalam lelang Harga transaksi yang tercantum
dalam Risalah lelang.

 Harga Transaksi adalah harga yang terjadi dan telah disepakati oleh pihak pihak yang
bersangkutan.
 Nilai Pasar adalah harga rata rata dari transaksi jual beli secara wajar yang terjadi
disekitar letak tanah dan/atau bangunan. Bila terjadi tukar menukar, kedua belah
pihak dikenakan BPHTB
Apabila NPOP tidak diketahui atau lebih rendah dari NJOP yang digunakan dalam pengenaan
PBB tahun terjadinya perolehan maka dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP Pajak
Bumi dan Bangunan .
2.4. OBJEK BPHTB
Dalam Pasal 2 UU BPHTB, yang menjadi objek BPHTB adalah perolehan hak atas
tanah dan/atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan bangunan tersebut meliputi :
1. Pemindahan Hak Karena :
- Jual beli ;
- Tukar menukar ;
- Hibah ;
- Hibah wasiat ; adalah suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai
pemberian hak atas tanah dan/atau bangunan kepada orang pribadi atau
badan hukum tertentu, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat
meninggal dunia. Pengenaan pajak terhadap hibah wasiat ini diatur dengan
peraturan pemerintah.
- Waris ;
- Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain ; adalah pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan dari orang pribadi atau badan kepada
perseroan terbatas atau badan hukum lainnya sebagai penyertaan modal
pada perseroan terbatas atau badan hukum lainnya tersebut.
- Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan ; adalah pemindahan
sebagian hak bersama atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi
atau badan kepada sesama pemegang hak bersama.
- Penunjukan pembeliaan dalam lelang ; adalah penetapan pemenang lelang
oleh pejabat lelang sebagaimana yang tercantum dalam risalah lelang.
- Pelaksaaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap ;
sebagai pelaksanaan dari putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap, terjadi peralihan hak dari orang pribadi atau badan
hukum sebagai salah satu pihak kepada pihak yang ditentukan dalam
putusan hakim tersebut.
- Penggabungan usaha ; adalah penggabungan dari 2 (dua) badan usaha atau
lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha
dan melikuidasi badan usaha lainnya yang tergabung.

4
- Peleburan usaha ; adalah penggabungan dari 2 (dua) atau lebih badan
usaha dengan cara mendirikan badan usaha baru dan melekuidasi badan
usaha lainnya yang tergabung.
- Pemekaran usaha ; adalah pemisahan suatu badan usaha menjadi 2 (dua)
badan usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan
mengalihkan sebagian aset dan pasiva kepada badan usaha baru tersebut
yang dilakukan tanpa melikuidasi badan usaha lama.
- Hadiah ; adalah suatu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah
dan/atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum
kepada penerima hadiah. Akta yang dibuat dapat berupa akta hibah.
2. Pemberian Hak Baru Karena :
- Kelanjutan pelepasan hak ; adalah pemberian hak baru kepada orang
pribadi atau badan hukum dari negara atas tanah yang berasal dari
pelepasan hak.
- Diluar pelepasan hak ; pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi
atau badan hukum dari negara menurut peraturan perundang undangan
yang berlaku.
5
Sedangkan jenis jenis hak atas tanah yang perolehan haknya dikenakan BPHTB
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (3) UU BPHTB meliputi :
1. Hak milik
Adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dimiliki orang pribadi atau badan
badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah.
2. Hak Guna Usaha
Adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka
waktu sebagaimana yang ditentukan oleh perundang undangan yang berlaku.
3. Hak Guna Bangunan
Adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan bangunan atas tanah yang bukan
miliknya sendiri dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam Undang Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria.
4. Hak Pakai
Adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung
oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang
ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya
atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa – menyewa atau
perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan
peraturan perundang undangan yang berlaku.
5. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
Adalah hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah. Hak milik satuan atas
rumah susun meliputi juga hak atas bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama yang
semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan.
6. Hak Pengelolaan
Adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan
kepada pemegang haknya, antara lain berupa, perencanaan, peruntukkan, dan penggunaan
tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian bagian
dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan/atau bekerja sama dengan pihak ketiga.
6
2.5. OBJEK YANG TIDAK DIKENAI BPHTB
Adapun Objek Pajak yang tidak dikenakan BPHTB adalah objek pajak yang diperoleh :
 Perwakilan Diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik.
 Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan
pembangunan guna kepentingan umum ; Tanah dan/atau bangunan yang digunakan
untuk penyelenggaraan pemerintahan atau pembangunan guna kepentigan umum
adalah tanah dan/atau bangunan yang digunakan untuk penyelenggaraan
pemerintahan baik pemerintahan pusat maupun oleh pemerintahan daerah dan
kegiatan yang semata mata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, misalnya,
tanah dan/atau bangunan yang digunakan untuk instansi pemerintah, rumah sakit
pemerintah, jalan umum.
 Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan peraturan
menteri keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
lain diluar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut.
 Orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain
dengan tidak adanya perubahan nama ; Konversi hak adalah perubahan hak dan hak
lama menjadi hak baru menuntut Undang Undang Pokok Agraria, termasuk
pengakuan hak oleh pemerintah. Sebagai contoh, yaitu bekas tanah milik adat (dengan
bukti surat gidik atau sejenisnya) menjadi hak baru. Sedangkan yang dimaksud
dengan perbuatan hukum lain sebagai contoh memperpanjang hak atas tanah tanpa
adanya perubahan nama sebagai contoh perpanjangan HGB.
 Orang pribadi atau badan karena wakaf ; wakaf adalah perbuatan hukum orang
pribadi atau badan yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa
hak milik tanah dan/atau bangunan dan melembagakannya untuk selama-lamanya
untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya tanpa meminta
imbalan apapun.
 Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
7
2.6. SUBJEK PAJAK
Subjek pajak atas Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan adalah orang
pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Oleh karena itu
wajib pajak BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan /
atau Bangunan.

2.7. TARIF PAJAK


Undang Undang PDRD menyebutkan tarif BPHTB ditetapkan paling tinggi 5% (lima
persen) yang penetapannya dilakukan dengan Peraturan Daerah. Selanjutnya telah diubah
menjadi 1% (satu persen).
8
2.8. NILAI PEROLEHAN OBJEK KENA PAJAK
Besarnya Nilai Perolehan Objek Kena Pajak ditetapkan dengan cara perhitungan :

NILAI PEROLEHAN OBJEK KENA PAJAK – NILAI PEROLEHAN OBJEK


TIDAK KENA PAJAK

Pajak Terutang dihitung dengan perhitungan :

TARIF PAJAK X NILAI PEROLEHAN OBJEK KENA PAJAK

Contoh Perhitungan :
1. Tn Orlando membeli tanah dan bangunan diwilayah Jakarta Pusat dengan :
Nilai Perolehan Objek Pajak = Rp 4.000.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Tidak Kena Pajak = Rp 80.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Kena Pajak = Rp 3.920.000,00
BPHTB Terutang 1% x Rp 3.920.000,00 = Rp 39.200.000,00
2. Tn Yahya membeli tanah dan bangunan di Jakarta Pusat dengan harga transaksi Rp
3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) . Sedang Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) PBB
sebesar Rp 3.580.000.000,00 (tiga miliar lima ratus delapan puluh juta rupiah).
Besarnya BPHTB dihitung sebagai berikut :
Nilai Perolehan Objek Pajak = Rp 3.580.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Tidak Kena Pajak = Rp 80.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Kena Pajak = Rp 3.500.000.000,00
BPHTB Terutang 1% x Rp 3.500.000.000 = Rp 35.000.000,00
9
2.7. NILAI PEROLEHAN OBJEK TIDAK KENA PAJAK
Kepala Daerah menetapkan Peraturan Daerah besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak
Tidak Kena Pajak. Pasal 87, Undang Undang PDRD menetapkan besarnya Nilai Perolehan
Objek Pajak Tidak Kena Pajak Paling rendah Rp 60.000.000,00 untuk setiap Wajib Pajak
Selanjutnya, Besarnya Objek Pajak Tidak Kena Pajak untuk waris atau hibah
dimaksud ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Untuk perolehan hak karena waris atau hibah
wasiat, termasuk keturunan lurus satu derajat keatas atau kebawah dengan pemberi hibah
wasiat, termasuk suami/istri ditetapkan paling rendah Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah). Selanjutnya, besarnya Objek Tidak Kena Pajak untuk waris atau hibah dimaksud
ditetapkan dengan peraturan daerah.
Berdasarkan Peraturan Daerah untuk Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta,
besarnya Nilai Perolehan Objek Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) ditetapkan :
a. Nilai Perolehan Objek Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) ditetapkan sebesar Rp
80.000.000 (delapan puluh juta rupiah)
b. Untuk perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi
yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat keatas atau satu derajat kebawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk
suami/istri ditetapkan Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah).
Ketentuan untuk Nilai Perolehan Objek Pajak kurang dari Rp 2.000.000.000 (dua
miliar rupiah) tidak dikenai BPHTB.
Contoh :
Pada Tanggal 1 Februari 2019, Tn. Munawar memperoleh waris diwilayah Jakarta Pusat
dengan Nilai Perolehan :
Objek Pajak = Rp 3.000.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak = Rp 350.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak = Rp 2.650.000.000,00
BPHTB Terutang 1% x Rp 2.650.000.000 = Rp 26.500.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOTKP) dimaksud diatas adalah untuk
memperoleh hak selain karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang
masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat keatas atau
satu derajat kebawah dengan Pemberi Hibah Wasiat, termasuk suami/istri untuk suatu
kabupaten (regional).
10
2.8. PERHITUNGAN PAJAK TERUTANG BPHTB
Cara Menghitung BPHTB
Untuk menghitung besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP)
adalah dengan cara mengurangkan NPOP dengan NPOPTKP. Dengan demikian untuk
menghitung besarnya BPHTB terutang adalah :
BPHTB terutang = Tarif x NPOPKP atau 5% x (NPOP – NPOPTKP)
Contoh : Pada tanggal 1 Maret 2003 , Bapak Rahmat membeli sebuah rumah seluas 200 M2
yang berada diatas sebidang tanah hak milik seluas 500 M2 di Kota Bogor dengan harga
perolehan sebesar Rp500.000.000,- Berdasarkan data SPPT PBB atas objek tersebut ternyata
NJOPnya sebesar Rp.600.000.000,- (tanah dan bangunan). Bila NPOPTKP ditentukan
sebesar Rp50.000.000,- maka kewajiban BPHTB yang harus dipenuhi oleh Bapak Rahmat
tersebut adalah : 5% x (600.000.000 - 50.000.000) = Rp27.500.000.

 Pengenaan BPHTB Karena Waris, Hibah Wasiat dan Pemberian Hak Pengelolaan
1. Pengenaan BPHTB Karena Waris dan Hibah Wasiat Sesuai dengan bunyi Pasal 3 ayat (2)
UU BPHTB, pengenaan BPHTB karena waris dan hibah wasiat diatur dengan peraturan
pemerintah, yaitu PP No. 111 Tahun 2000 tentang Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan Karena Waris dan Hibah Wasiat, yang mengatur hal-hal sebagai berikut:
a. BPHTB terutang karena waris dan hibah wasiat sebesar : 50 % dari yang
seharusnya terutang;
b. Saat terutang pajak adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan
peralihan haknya ke Kantor Pertanahan;
c. Dasar pengenaan (NPOP) adalah nilai pasar pada saat pendaftaran hak.
d. Apabila NPOP lebih kecil dari NJOP PBB maka yang menjadi dasar pengenaan
adalah NJOP PBB;
e. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOTKP) terdiri dari 2 jenis :
1) Maksimum Rp300 juta terhadap waris dan juga terhadap hibah wasiat yang diterima oleh
orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat ke atas dan satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat termasuk suami/istri;
2) Maksimum Rp60 juta terhadap penerima hibah wasiat selain dari yang diatas.
11
Contoh :
1. Seorang anak menerima warisan dari orang tuanya sebidang tanah dan bangunan dengan
nilai pasar pada waktu pendaftaran hak sebesar Rp250 juta. Terhadap tanah dan bangunan
tersebut telah dikenakan PBB dengan NJOP sebesar Rp425 juta. Apabila NPOPTKP karena
waris untuk daerah tersebut ditentukan sebesar Rp250 juta maka BPHTB yang terutang
adalah sebesar :
50% x 5% x (Rp425 juta – Rp250 juta) = Rp4.375.000,-

2. Seorang cucu menerima hibah wasiat dari kakeknya sebidang tanah seluas 300 M2 dengan
nilai pasar pada waktu pendaftaran hak sebesar Rp325 juta. Terhadap tanah tersebut telah
diterbitkan SPPT PBB pada tahun pendaftaran hak dengan NJOP sebesar Rp250 juta. Apabila
NPOPTKP pada daerah tersebut ditentukan sebesar Rp50 juta maka BPHTB yang terutang
adalah sebesar :
50% x 5% x (Rp325 juta – Rp50 juta ) = Rp6.875.000,-

3. Sebuah Yayasan Yatim Piatu “ Al-Attin” menerima hibah wasiat dari seorang dermawan
sebidang tanah seluas 1.000 M2 dengan nilai pasar pada waktu pendaftaran hak sebesar
Rp700 juta. Apabila NPOPTKP pada daerah tersebut ditentukan sebesar Rp60 juta maka
BPHTB terutang yang harus dibayar oleh Yayasan tersebut adalah sebesar :
50% x 5% x ( Rp700 juta – Rp60 juta) = Rp16.000.000.
12
 Pengenaan BPHTB Karena Pemberian Hak Pengelolaan
Sesuai dengan Pasal 3 ayat (2) UU BPHTB, pengenaan BPHTB karena pemberian hak
pengelolaan diatur dengan peraturan pemerintah, yaitu PP No. 112 Tahun 2000 tentang
Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan karena Pemberian Hak
Pengelolaan, yang mengatur hal-hal sebagai berikut :

a. Yang dimaksud dengan Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari Negara atas
tanah yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang
haknya untuk merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah, menggunakan tanah
untuk keperluan tugasnya, menyerahkan bagian-bagian tanah tersebut kepada pihak
ketiga dan atau bekerjasama dengan pihak ketiga.

b. Besarnya BPHTB karena Hak Pengelolaan adalah :


- 0% dari BPHTB yang seharusnya terutang bila penerima Hak Pengelolaan adalah
Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota,
Lembaga Pemerintah Lain dan Perum Perumnas ;
- 50% dari BPHTB yang seharusnya terutang untuk selain yang diatas;
- Saat terutang Pajak yaitu sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya keputusan
pemberian Hak Pengelolaan;
- Dasar pengenaan ( NPOP) adalah Nilai Pasar;
- Apabila Nilai Pasar lebih kecil dari NJOP PBB maka yang dipakai adalah NJOPPBB.

Contoh :
Sebuah perusahaan negara milik daerah ( BUMD Perpakiran ) menerima hak pengelolaan
dari pemerintah sebidang tanah dan sebuah gedung untuk parkir dengan nilai pasar pada
waktu penerbitan hak sebesar Rp1 milyar. Terhadap tanah dan bangunan tersebut telah
diterbitkan SPPT PBB dengan NJOP sebesar Rp1,25 milyar. Apabila NPOPTKP atas daerah
tersebut ditetapkan sebesar Rp50 juta maka besarnya BPHTB yang harus dibayar oleh
BUMD.
Perhitungan tersebut adalah sebesar :
50% x 5% x (Rp1,25 milyar – Rp50 juta) = Rp30 juta

13
2.9. SAAT PAJAK TERUTANG
Saat yang menentukan pajak terutang (harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan
hak) atas perolehan Hak atas Tanah dan/atau bangunan untuk :
a. Jual Beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta ;
b. Tukar – menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganginya akta ;
c. Hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta ;
d. Hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya
ke Kantor Pertanahan ;
e. Waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan perolehan haknya ke
kantor bidang Pertanahan ;
f. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat
dan ditandatanganinya akta ;
g. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta ;
h. Putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum yang tetap ;
i. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dan pelepasan hak adalah sejak
tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak ;
j. Pemberian hak baru diluar pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya surat
keputusan pemberian hak.
k. Penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatangani akta ;
l. Peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatangani akta ;
m. Pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatangani akta ;
n. Hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta setelah jelas saat
terutangnya, maka pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan
hak diatas.
o. Lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang ; Sejak tanggal penunjukan
pemegang lelang adalah tanggal ditandatanganinya Risalah Lelang oleh Kepala
Kantor Lelang Negara atau Kantor Lelang lainnya sesuai dengan peraturan perundang
– undangan yang berlaku yang memuat antara lain nama pemenang lelang.

14
2.10. TEMPAT PAJAK TERUTANG
Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang dipungut
diwilayah daerah kabupaten, kota atau provinsi tempat tanah dan atau bangunan. Besarnya
pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya pemerolehan hak. Pembayaran
BPHTB umumnya dilakukan di Bank BUMN dan bank BUMD atau tempat pembayaran lain
yang ditunjuk oleh Kepala Dearah yang meliputi letak tanah dan atau bangunan. Sarana yang
digunakan untuk menyetor BPHTB menggunakan Surat Setoran Bea (SSB), syara yang harus
dipenuhi sebelum membayar BPHTB :
1. Akta Pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan ditandatangani oleh PPAT /
Notaris ;
2. Risalah lelang untuk pembeli ditandatangani oleh Pejabat Lelang ;
3. Dilakukan Pendaftaran Hak oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam hal :
a. Pemberian hak baru
b. Pemindahan hak karena pelaksanaan putusan hakim, hibah wasiat atau
waris.
15

2.11. TATA CARA PENAGIHAN BPHTB DAN PENETAPAN


Tata cara penetapan BPHTB diatur didalam Pasal 11 dan Pasal 12 sebagai berikut :
 Dalam jangka waktu 5 tahun sejak pajak terutang, berdasarkan hasil pemeriksaan
terdapat kurang bayar, Direktorat Jenderal Pajak, dalam hal ini Kepala Kantor
Pelayanan PBB/KPP Pratama menerbitkan Surat Ketetapan BPHTB Kurang Bayar
(SKBKB) ditambah denda 2% per bulan maksimum untuk jangka waktu 24 bulan
(48% ).
 Setelah terbit SKBKB, terdapat data baru lagi sehingga pajak terutang bertambah,
maka Kepala Kantor Pelayanan PBB/KPP Pratama menerbitkan Surat Ketetapan
BPHTB Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT) ditambah sanksi administrasi sebesar
100% dari jumlah kenaikan, kecuali wajib pajak melapor sebelum ada pemeriksaan.

Tata cara penagihan BPHTB diatur dalam Pasal 13, Pasal 14 dan Pasal 15 UU BPHTB
maka apabila :
1. Pajak terutang tidak/kurang bayar;
2. Dari pemeriksaan, SSB kurang bayar; dan
3.WP kena sanksi administrasi berupa denda/bunga, maka Direktorat Jenderal Pajak
menerbitkan Surat Tagihan BPHTB (STB) ditambah sanksi bunga 2% per bulan
maksimum 24 bulan. Surat Tagihan BPHTB setara dengan Surat Ketetapan Pajak
(SKP) SKBKB, SKBKBT, STB, SK Pembetulan / SK Pengurangan / SK Keberatan /
SK Banding merupakan Dasar Penagihan Pajak. Pajak terutang berdasar surat – surat
tersebut diatas harus dilunasi paling lambat 1(satu) bulan sejak diterima oleh wajib
pajak, lewat batas waktu dapat ditagih dengan SURAT PAKSA.
16

2.12. TATA CARA PERMOHONAN PENGURANGAN, KEPUTUSAN


PENGURANGAN, PENGURANGAN YANG DIHITUNG SENDIRI
OLEH WAJIB PAJAK.
Tata Cara Permohonan Pengurangan
1) Permohonan diajukan oleh WP kepada Kepala KPPBB/KPP Pratama / Kakanwil
DJP / Dir.Jen.Pajak dalam bahasa Indonesia dengan lampiran :
 Fotokopi Surat Setoran Bea (SSB).
 Fotokopi Akta/Risalah Lelang/Kep.Pemberian Hak Baru/Putusan Hakim.
 Fotokopi identitas.
 Surat Keterangan Lurah/Kepala Desa.
 Fotokopi persetujuan Merger dari Dirjen Pajak.
2) Permohonan dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal pembayaran.
3) Khusus untuk merger, permohonan diajukan sebelum Akta ditanda tangani oleh
Notaris/PPAT.
4) Atas permohonan kemudian dilakukan Pemeriksaan Sederhana dan dituangkan dalam
berita acara; dan
5) Permohonan yang tidak memenuhi persyaratan tidak dianggap sebagai surat
permohonan dan tidak dipertimbangkan.
17

Keputusan Pengurangan
1) Keputusan oleh Kepala KPPBB/KPP Pratama dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak terima
permohonan dari Wajib Pajak, lebih dari 3 (tiga) bulan dianggap diterima. Keputusan
oleh Kakanwil DJP dalam waktu 4 (empat) bulan sejak diterima pemohonan dari WP,
lebih dari 4 bulan dianggap diterima, dan keputusan oleh Direktur Jenderal Pajak
dalam waktu 6 (enam) bulan, lebih dari 6 bulan dianggap dikabulkan.
2) Bentuk Keputusan : mengabulkan seluruhnya/sebagian atau menolak.
3) Wewenang Keputusan :
a. Ketetapan sampai dengan 2,5 M oleh Kepala Kantor PBB/ KPP Pratama.
b. Ketetapan diatas 2,5 M sampai dengan 5 M oleh KAKANWIL DJP.
c. Lebih dari 5 M, dampak krisis, merger dan Bank Mandiri oleh Direktur
Jenderal Pajak.

Pengurangan Yang Dihitung Sendiri Oleh WP


Terhadap WP yang memenuhi syarat dapat menghitung sendiri besar pengurangan sebelum
pembayaran BPHTB. Dalam Surat Setoran Bea diberi tanda “pengurangan dihitung
sendiri”dan jumlah setoran setelah pengurangan. Dalam hal ini WP tetap mengajukan
permohonan pengurangan sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Bila
permohonannya ditolak/dikabulkan namun BPHTB masih kurang bayar maka terhadap WP
tersebut dikenakan sanksi bunga 2% per bulan dari kekurangan bayar tersebut, maksimum 24
bulan. Terhadap BPHTB kurang bayar (SKBKB) tidak dapat diajukan pengurangan kembali.
18
2.13. PEMBERIAN FASILITAS BPHTB MELALUI PENGURANGAN
BPHTB
Dalam APBN Tahun 2009 diatur dalam Pasal 3 ayat (2) huruf d UU No. 41 Tahun 2008
tentang APBN Tahun 2009, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 26 Tahun 2009
tentang Perubahan Atas APBN Tahun 2009, pemerintah memberikan subsidi terhadap
BPHTB dalam bentuk pajak yang ditanggung pemerintah (DTP) sebesar 500 miliar rupiah.
Pelaksanaan dari DTP BPHTB tersebut dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan.
Pemberian subsidi dimaksud diberikan dalam bentuk pemberian fasilitas BPHTB bagi
pembeli Rumah Sederhana Sehat (RSH) dan Rumah Susun Sederhana (RSS) yang selama ini
telah dilakukan oleh pemerintah. Para pengembang atau pengusaha realestat yang melakukan
penjualan tanah dan/atau bangunan dengan sistem bersih (netto) atau harga jual sudah
termasuk pajak-pajak antara lain BPHTB, maka besarnya BPHTB terutang yang dibebankan
kepada pembeli adalah sebesar 5% x (NPOP – NPOPTKP). Sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya, NPOP dalam hal jual beli adalah harga transaksi dan apabila tidak diketahui atau
lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan PBB pada tahun terjadinya
perolehan, dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah NJOP PBB. Adapun besarnya
NPOPTKP secara regional untuk perolehan hak secara umum ditetapkan paling banyak
Rp60.000.000,00. Namun demikian untuk perolehan hak yang memenuhi kriteria Rumah
Sederhana Sehat (RSH) dan Rumah Susun Sederhana yang perolehannya dibiayai melalui
KPR bersubsidi mendapat fasilitas BPHTB berupa NPOPTKP sebesar Rp 55.000.000,-.
Dalam hal NPOPTKP yang ditetapkan secara umum lebih besar daripada Rp 55.000.000,-
maka NPOPTKP untuk perolehan hak Rumah Sederhana Sehat (RSH)
dan Rumah Susun Sederhana yang perolehannya dibiayai melalui KPR bersubsidi
ditetapkan sama dengan NPOPTKP secara umum. Disamping itu atas permohonan Wajib
Pajak, dalam hal Wajib Pajak orang pribadi yang memperoleh hak atas tanah dan atau
bangunan yang memenuhi kriteria Rumah Sederhana (RS) dan Rumah Susun Sederhana serta
Rumah Sangat Sederhana (RSS) yang diperoleh langsung dari pengembang dan dibiayai
melalui KPR tidak bersubsidi dapat diberikan fasilitas BPHTB berupa pengurangan BPHTB
sebesar 25% dari pajak yang terutang. Adapun dasar pengurangan BPHTB diatur dalam Pasal
20 UU BPHTB yang diatur lebih lanjut dalam KMK No. 561/KMK.03/2004 tanggal 25
November 2004 tentang Pemberian Pengurangan BPHTB.
19
Keputusan Menteri Keuangan ini kemudian diubah dan terakhir dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 91/PMK.03/2006 tanggal 13 Oktober 2006 tentang Perubahan Kedua atas
KMK No. 561/KMK.04/2004 tentang Pemberian Pengurangan BPHTB, yang dapat dirinci
sebagai berikut :
1) Dalam hal kondisi tertentu Wajib Pajak (WP) yang ada hubungannya dengan objek
Pajak :
- WP pribadi memperoleh hak baru melalui program Pemerintah di bidang
Pertanahan dan tidak mempunyai kemampuan ekonomis mendapat
pengurangan sebesar 75%;
- -WP Badan memperoleh hak baru selain Hak Pengelolaan dan telah
menguasai tanah dan atau bangunan secara fisik lebih dari 20 tahun
mendapat pengurangan sebesar 50%;
- WP pribadi yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan RS dan
RSS langsung dari pengembang dan membayar secara angsuran mendapat
pengurangan sebesar 25%;
- WP pribadi menerima hibah dari keluarga sedarah satu derajat keatas dan
kebawah mendapat pengurangan sebesar 50%.
2) Kondisi Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan sebab-sebab tertentu :
- WP memperoleh hak dari hasil pembelian uang ganti rugi pemerintah yang
nilai ganti ruginya dibawah NJOP mendapat pengurangan sebesar 50%;
- WP memperoleh hak sebagai penggantian dari tanah yang dibebaskan
pemerintah untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan
khusus, mendapat pengurangan sebesar 50%;
- WP Badan terkena dampak krisis ekonomi dan moneter yang berdampak
luas pada kehidupan perekonomian nasional sehingga WP harus
melakukan restrukturisasi usaha dan atau utang usaha sesuai kebijaksanaan
pemerintah, mendapat pengurangan sebesar 75%;
- WP Bank Mandiri yang memperoleh hak atas tanah yang berasal dari
BBD, BDN, Bapindo dan Bank Exim dalam rangka merger, mendapat
pengurangan sebesar 100%;
20
- WP Badan melakukan Merger atau Konsolidasi dengan atau tanpa terlebih
dahulu mengadakan likuidasi dan telah memperoleh keputusan persetujuan
pengunaan Nilai Buku dlm rangka penggabungan atau peleburan usaha
tersebut dari Dirjen Pajak, mendapat pengurangan sebesar 50%;
- WP memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan yang tidak berfungsi
lagi karena bencana alam dsb yang terjadi dalam waktu 3 bulan setelah
penandatanganan Akta, mendapat pengurangan sebesar 50%;
- WP pribadi (Veteran, PNS, TNI, Polri, pensiunan, purnawirawan,
janda/dudanya) yang memproleh hak atas tanah dan atau bangunan rumah
dinas pemerintah, mendapat pengurangan 75%;
- WP Badan Korpri yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan
dalam rangka pengadaaan perumahan bagi anggota Korpri/PNS, mendapat
pengurangan sebesar 100%;
- WP Badan anak perusahaan dari perusahaan asuransi dan reasuransi yang
memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan yang berasal dari
perusahaan induknya selaku pemegang saham tunggal sebagai kelanjutan
dari pelaksanaan KepMenKeu tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan
Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, mendapat pengurangan sebesar
50% ;
- WP yang domisilinya termasuk dalam wilayah program rehabilitasi dan
rekonstruksi yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan melalui
program pemerintah di bidang pertanahan atau WP yang objek pajaknya
terkena bencana lam gempa bumi dan gelombang tsunami di Provinsi
NAD dan Kepulauan Nias, Sumatera Utara, mendapat pengurangan
sebesar 100%;
- WP yang objek pajaknya terkena bencana alam gempa bumi di Provinsi
DIY dan sebagian Provinsi Jawa Tengah yang perolehan haknya atau saat
terhutangnya terjadi 3(tiga) bulan sebelum terjadinya bencana, diberi
pengurangan sebesar 100%;
- WP yang objek pajaknya terkena bencana alam gempa bumi dan tsunami
di pesisir Pantai Selatan Pulau Jawa yang perolehan haknya atau saat
terhutangnya terjadi 3 (tiga) bulan sebelum terjadinya bencana, diberi
pengurangan sebesar 100%.

21
3) Tanah dan bangunan untuk kepentingan sosial/pendidikan yang semata-mata tidak
mencari keuntungan mendapat pengurangan sebesar 50%.
4) Tanah dan atau bangunan di Propinsi NAD yang selama masa rehabilitasi
berlangsung digunakan untuk kepentingan sosial/pendidikan yang semata-mata tidak
untuk mencari keuntungan mendapat pengurangan sebesar 100%.
22
2.14. RESTITUSI DAN IMBALAN BUNGA SERTA PEMBAGIAN HASIL
PENERIMAAN BPHTB
Restitusi Dan Imbalan Bunga Serta Pembagian Hasil Penerimaan BPHTB
Restitusi dan Imbalan Bunga Restitusi atau pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB
diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 22 yang dapat dirinci sebagai berikut :

1. Sebab-sebab Restitusi :
a. Pajak dibayar > pajak terutang yang disebabkan oleh :
- Permohonan pengurangan dikabulkan;
- Permohonan keberatan dikabulkan;
- Permohonan banding dikabulkan;
- Perobahan peraturan.
b. Pajak dibayar tidak seharusnya terutang.
2. Tata Cara Pengajuan Restitusi dan Imbalan Bunga
a. Permohonan restitusi diajukan oleh WP dalam bahasa Indonesia dengan alasan dan di
lampiri:
- Asli Surat Setoran Bea ( SSB );
- Fotokopi SK Keberatan / Banding / Pengurangan;
- Fotokopi Akta / Risalah Lelang / Keputusan Hak Baru / Putusan Hakim;
- Fotokopi identitas Wajib Pajak.
b. Yang tidak memenuhi persyaratan tidak dianggap sebagai surat permohonan dan tidak
dipertimbangkan;
c. Berdasarkan pemeriksaan atas permohonan, KPPBB/KPP Pratama menerbitkan :
- SKBLB apabila jumlah pajak yang telah dibayar oleh WP ternyata lebih besar dari
jumlah pajak yang terutang;
- SKBN apabila jumlah pajak yang dibayar oleh WP sama besarnya dengan jumlah
pajak yang terutang;
-SKBKB apabila jumlah pajak yang telah dibayar oleh WP lebih kecil dari jumlah
pajak terutang.
23
d. Keputusan dalam waktu 12 bulan sejak terima permohonan apabila waktu 12 bulan
tersebut terlampaui, maka permohonan tersebut dianggap diterima dan paling lambat 1 bulan
setelah 12 bulan harus terbit SKBLB dan apabila penerbitan SKBLB lewat waktu maka WP
mendapat bunga 2% per bulan dihitung sejak lewat waktu sampai dengan terbit SKBLB;
e. Berdasarkan SKBLB harus diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan
Pembayaran BPHTB (SKPKPB) yang dikirim ke : WP, BO, KPKN dan Kanwil DJP;
f. Dalam waktu 2 bulan setelah SKBLB harus diterbitkan Surat Perintah Membayar
Kelebihan Pembayaran BPHTB ( SPMKPB ), lewat dari waktu yang ditentukan tersebut WP
dapat bunga 2% per bulan; dan
g. Atas imbalan bunga diterbitkan Surat Ketetapan Imbalan Bunga ( SKIB ) dan Surat
Perintah Membayar Imbalan Bunga ( SPMIB).
24
2.15. PEMBAGIAN HASIL PENERIMAAN BPHTB
Pembagian hasil penerimaan BPHTB diatur dalam Pasal 23 UU BPHTB dan pelaksanaannya
diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 519/KMK.04/2000 tanggal 14
Desember 2000 sebagai berikut :
1) Pemerintah Pusat mendapat bagian sebesar 20% dari seluruh penerimaan BPHTB
yang kemudian bagian Pemerintah Pusat ini dibagikan secara merata keseluruh daerah
Kabupaten/Kota dan dilaksanakan dalam tiga tahap yaitu bulan April, bulan Agustus,
dan bulan November tahun anggaran berjalan;
2) Pemerintah Daerah mendapat bagian sebesar 80% yang dibagi sebagai berikut : 16%
untuk Daerah Provinsi dan 64% untuk Daerah Kabupaten/Kota.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 04/PMK.07/2008 tanggal 28 Januari 2008
tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah, atas transfer
Dana Bagi Hasil BPHTB untuk daerah Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan selaku
Kuasa Pengguna Anggaran melimpahkan sebagian kewenangan perintah pemindah bukuan
dari Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah kepada Kuasa Bendahara
Umum Negara. Pelimpahan kewenangan ini dilakukan dengan menerbitkan Surat Perintah
Menerbitkan Surat Kuasa Umum (SPMSKU). Berdasarkan SPMSKU ini maka Kuasa
Bendahara Umum Negara menerbitkan Surat Kuasa Umum (SKU) kepada Bank Operasional
III untuk melakukan pemindahbukuan Dana Bagi Hasil BPHTB dari Rekening Kas Umum
Negara ke Rekening Kas Umum Daerah. Penyaluran Dana Bagi Hasil BPHTB ini
berdasarkan realisasi penerimaan BPHTB tahun anggaran berjalan dan dilaksanakan secara
mingguan.
Dalam rangka penyaluran transfer ke daerah, setiap tahun anggaran selambat
lambatnya pada minggu pertama bulan Desember sebelum tahun anggaran dimulai,
pemerintah daerah wajib menyampaikan nomor rekening, nama rekening dan nama bank
kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan yang dilampiri dengan:
- Asli rekening koran dari Rekening Kas Umum Daerah; dan
- Fotokopi keputusan kepala daerah mengenai penunjukan/penetapan pejabat Bendahara
Umum Daerah/Kuasa Bendahara Umum Daerah yang disahkan oleh kepala daerah.
25
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Menurut Pasal 1 UU No.21 Tahun 1997, UU No.20 Tahun 2000. Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan
atau bangunan, dan inilah yang dinamakan dengan pajak.
Adapun Hak atas Tanah dan atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak
pengelolaan, beserta bangunan diatasnya, sebagaimana dimaksud dalam UU No.5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria, UU No.16 Tahun 1985 tentang Rumah
susun, dan ketentuan peraturan perundang undangan lainnya.
Yang menjadi subjek dari BPHTB ini adalah orang pribadi atau badan yang
mempunyai tanah dan bangunan dan ini juga sesuai dengan yang terdapat dalam UU BPHTB.
Sedangkan yang menjadi objek dari BPHTB ini yaitu tanah dan bangunan.
Dasar dari pengenaan BPHTB ini yaitu nilai perolehan Objek Pajak (NPOP), dan
kemudian yang dikurangi dengan nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak (NPOPTKP).
Dan tarif yang diberlakukan dalam penghitungan BPHTB ini adalah tarif final sebesar 5%
sebagaimana terdapat dalam UU No.20 Tahun 2000 dan Keputusan Menteri Keuangan tahun
2004.
3.2 . SARAN
Kami menyadari bahwa makalah yang kami buat masih jauh dari kata sempurna,
Hingga kami merasa masih perlu belajar lagi dalam membuat makalah. Dengan demikian,
kami berharap kepada pembaca mau memberikan saran dan kritik terhadap makalah ini.
Kami juga meminta maaf jika terdapat kata kata yang kurang berkenan dalam penulisan
makalah ini. Selain itu, kami berharap makalah ini dapat menjadi referensi dan membantu
pembaca dalam mata kuliah Perpajakan 1.
vi
3.3. DAFTAR PUSTAKA
www.google.com, Mardiasno.2018, Perpajakan (Edisi Terbaru 2018). Yogyakarta : ANDI,
Keputusan Menteri Keuangan No. 519/KMK.04/2000 tentang Pembagian Hasil Penerimaan
BPHTB, Keputusan Menteri Keuangan No. 561/KMK.03/2004 tentang pemberian
pengurangan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, Keputusan menteri keuangan no.
516/KMK.04/2000 tentang Tata cara penentuan besarnya NPOPTKP BPHTB,
http://www.pajak.go.id, http:www.badankebijakanfiskal.
vii

Anda mungkin juga menyukai