Anda di halaman 1dari 11

TUGAS AKHIR SEJARAH

“Masa Pemerintahan Presiden Abdurrahman


Wahid”

Disusun Oleh:
Kelompok 2
1. Apriani Sagala
2. Ebon Arkana Panjaitan
3. Immanuel Parapat
4. Nurul Fadillah

Kelas: XII MIPA 1

SMA NEGERI 5 PINGGIR

T. P 2021/2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan Kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala rahmatNya
penyiapan makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan
banyak terima kasih atas bantuan dari pihak yang telah memberikan kontribusi baik materi
maupun pikirannya. Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan
dan pengalaman bagi para pembaca, untuk memperbaiki bentuk maupun menambah isi
makalah agar menjadi lebih baik lagi. Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman
kami. Kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu kami sangat
mengharapkan saran dan kritik untuk membangun kesempurnaan demi kesempurnaan
makalah ini.

Pinggir, 21 Maret 2022

Kelompok 2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Abdurrahman Wahid yang lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur terpilih
menjadi Presiden Republik Indonesia keempat pada tanggal 20 Oktober 1999.
Terpilihnya Gus Dur sebagai presiden tidak terlepas dari keputusan MPR yang
menolak laporan pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie. Berkat dukungan partai-
partai Islam yang tergabung dalam Poros Tengah, Abdurrahman Wahid mengungguli
calon presiden lain yakni Megawati Soekarno Putri dalam pemilihan presiden yang
dilakukan melalui pemungutan suara dalam rapat paripurna ke-13 MPR. Megawati
Soekarno Putri sendiri terpilih menjadi wakil presiden setelah mengungguli Hamzah
Haz dalam pemilihan wakil presiden melalui pemungutan suara pula. Ia dilantik
menjadi wakil presiden pada tanggal 21 Oktober 1999.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja kebijakan politik pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid?
2. Bagaimana perkembangan ekonomi pada masa pemerintahan Abdurrahman
Wahid?
3. Bagaimana reformasi bidang hukum dan pemerintahan pada masa
pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid?
4. Bagaimana reformasi di bidang militer pada masa pemerintahan Presiden
Abdurrahman Wahid?
5. Bagaimana kejatuhan pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui perkembangan politik pada masa pemerintahan
Abdurrahman Wahid
2. Untu mengetahui perkembangan ekonomi pada masa pemerintahan
Abdurrahman Wahid
3. Untuk mengetahui reformasi bidang hukum dan pemerintahan pada masa
pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid.
4. Untuk mengetahui reformasi di bidang militer pada masa pemerintahan
Presiden Abdurrahman Wahid.
5. Untuk mengetahui kejatuhan pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kebijakan Politik pada Masa Pemerintahan Abdurrahman


Wahid

Salah satunya yaitu pembentukan Kabinet Persatuan Nasional


Kabinet pertama Gus Dur, Kabinet Persatuan Nasional, adalah kabinet koalisi
yang meliputi anggota berbagai partai politik: PDI-P, PKB, Golkar, PPP, PAN, dan
Partai Keadilan (PK). Non-partisan dan TNI juga ada dalam kabinet tersebut. Wahid
kemudian mulai melakukan dua reformasi pemerintahan. Reformasi pertama adalah
membubarkan Departemen Penerangan, senjata utama rezim Soeharto dalam
menguasai media. Reformasi kedua adalah membubarkan Departemen Sosial yang
korup. Pada November 1999, Wahid mengunjungi negara-negara anggota ASEAN,
Jepang, Amerika Serikat, Qatar, Kuwait, dan Yordania. Setelah itu, pada bulan
Desember, ia mengunjungi Republik Rakyat Tiongkok.
Setelah satu bulan berada dalam Kabinet Persatuan Nasional, Menteri
Koordinator Pengentasan Kemiskinan (Menko Taskin) Hamzah Haz mengumumkan
pengunduran dirinya pada bulan November. Muncul dugaan bahwa pengunduran
dirinya diakibatkan karena Gus Dur menuduh beberapa anggota kabinet melakukan
korupsi selama ia masih berada di Amerika Serikat. Beberapa menduga bahwa
pengunduran diri Hamzah Haz diakibatkan karena ketidaksenangannya atas
pendekatan Gus Dur dengan Israel.
Rencana Gus Dur adalah memberikan Aceh referendum. Namun referendum ini
menentukan otonomi dan bukan kemerdekaan seperti referendum Timor Timur. Gus
Dur juga ingin mengadopsi pendekatan yang lebih lembut terhadap Aceh dengan
mengurangi jumlah personel militer di Negeri Serambi Mekkah tersebut. Pada 30
Desember, Gus Dur mengunjungi Jayapura di provinsi Irian Jaya. Selama
kunjungannya, Abdurrahman Wahid berhasil meyakinkan pemimpin-pemimpin Papua
bahwa ia mendorong penggunaan nama Papua.

Program kerja:
 Memisahkan TNI dengan Polri.
 Membubarkan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial karena tak bekerja
dengan baik.
 Mengganti nama Irian Jaya menjadi Papua.
 Mengakui Kong Hu Cu dan menjadikan Imlek hari nasional.
 Mencabut larangan terhadap PKI dan penyebaran Marxisme dan Leninisme.
 Menerapkan Otonomi Daerah.
B. Kebijakan ekonomi pada Masa Pemerintahan Abdurrahman
Wahid
Dalam hal ekonomi, dibandingkan tahun sebelumnya, pada tahun 1999 kondisi
perekonomian Indonesia mulai menunjukkan adanya perbaikan. Laju pertumbuhan PDB
mulai positif walaupun tidak jauh dari 0% dan pada tahun 2000 proses pemulihan
perekonomian Indonesia jauh lebih baik lagi dengan laju pertumbuhan hampir mencapai
5%. Selain pertumbuhan PDB, laju inflasi dan tingkat suku bunga (SBI) juga rendah yang
mencerminkan bahwa kondisi moneter di dalam negeri sudah mulai stabil.
Akan tetapi, ketenangan masyarakat setelah terpilihnya Presiden Indonesia keempat tidak
berlangsung lama. Presiden mulai menunjukkan sikap dan mengeluarkan ucapan-ucapan
kontroversial yang membingungkan pelaku-pelaku bisnis.
Selama pemerintahan reformasi, praktis tidak ada satu pun masalah di dalam negeri yang
dapat terselesaikan dengan baik. Belum lagi demonstrasi buruh semakin gencar yang
mencerminkan semakin tidak puasnya mereka terhadap kondisi perekonomian di dalam
negeri, juga pertikaian elite politik semakin besar.
Selain itu, hubungan pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Abdurrahman Wahid
dengan IMF juga tidak baik, terutama karena masalah amandemen UU No. 23 tahun 1999
mengenai Bank Indonesia; penerapan otonomi daerah, terutama menyangkut kebebasan
daerah untuk pinjam uang dari luar negeri; dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda
pelaksanaannya. Tidak tuntasnya revisi tersebut mengakibatkan IMF menunda pencairan
bantuannya kepada pemerintah Indonesia, padahal roda perekonomian nasional saat ini
sangat tergantung pada bantuan IMF. Selain itu, Indonesia terancam dinyatakan bangkrut
oleh Paris Club (negara-negara donor) karena sudah kelihatan jelas bahwa Indonesia
dengan kondisi perekonomiannya yang semakin buruk dan defisit keuangan pemerintah
yang terus membengkak, tidak mungkin mampu membayar kembali utangnya yang
sebagian besar akan jatuh tempo tahun 2002 mendatang. Bahkan, Bank Dunia juga
sempat mengancam akan menghentikan pinjaman baru jika kesepakatan IMF dengan
pemerintah Indonesia macet.
Ketidakstabilan politik dan sosial yang tidak semakin surut selama pemerintahan
Abdurrahman Wahid menaikkan tingkat country risk Indonesia. Ditambah lagi dengan
memburuknya hubungan antara pemerintah Indonesia dan IMF. Hal ini membuat pelaku-
pelaku bisnis, termasuk investor asing, menjadi enggan melakukan kegiatan bisnis atau
menanamkan modalnya di Indonesia. Akibatnya, kondisi perekonomian nasional pada
masa pemerintahan reformasi cenderung lebih buruk daripada saat pemerintahan transisi.
Pada bulan April 2001 nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sempat menyentuh
Rp12.000,- per dolar AS. Inilah rekor kurs rupiah terendah sejak Abdurrahman Wahid
terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia.
Lemah dan tidak stabilnya nilai tukar rupiah tersebut sangat berdampak negatif terhadap
roda perekonomian nasional yang bisa menghambat usaha pemulihan, bahkan bisa
membawa Indonesia ke krisis kedua yang dampaknya terhadap ekonomi, sosial, dan
politik akan jauh lebih besar daripada krisis pertama.
C. Reformasi Bidang Hukum dan Pemerintahan
Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, MPR melakukan amandemen
terhadap UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 2000. Amandemen tersebut berkaitan
dengan susunan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas
pemerintahan pusat, provinsi, kabupaten dan kota. Amandemen ini sekaligus
mengubah pelaksanaan proses pemilihan umum berikutnya yakni pemilik hak suara
dapat memilih langsung wakil-wakil mereka di tiap tingkat Dewan Perwakilan
tersebut.
Selain amandemen tersebut, upaya reformasi di bidang hukum dan pemerintahan
juga menyentuh institusi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang terdiri
atas unsur TNI dan Polri. Institusi ini kerap dimanfaatkan oleh Pemerintah Orde Baru
untuk melanggengkan kekuasaan terutama dalam melakukan tindakan represif
terhadap gerakan demokrasi. Pemisahan TNI dan Polri juga merupakan upaya untuk
mengembalikan fungsi masing-masing unsur tersebut. TNI dapat memfokuskan diri
dalam menjaga kedaulatan wilayah Republik Indonesia dari ancaman kekuatan asing,
sementara Polri dapat lebih berkonsentrasi dalam menjaga keamanan dan ketertiban.
Masalah lain yang menjadi pekerjaan rumah pemerintahan Presiden
Abdurrahman Wahid adalah upaya untuk menyelesaikan berbagai kasus KKN yang
dilakukan pada masa pemerintahan Orde Baru. Berbagai kasus KKN tersebut kembali
dibuka pada tanggal 6 Desember 1999 dan terfokus pada apa yang telah dilakukan
oleh mantan Presiden Soeharto dan keluarganya. Namun dengan alasan kesehatan,
proses hukum terhadap Soeharto belum dapat dilanjutkan. Kendati proses hukum
belum dapat dilanjutkan, Kejaksaan Agung menetapkan mantan Presiden Soeharto
menjadi tahanan kota dan dilarang bepergian ke luar negeri. Pada tanggal 3 Agustus
2000 Soeharto ditetapkan sebagai terdakwa terkait beberapa yayasan yang
dipimpinnya.
Pencapaian lain pemerintahan Abdurrahman Wahid adalah pemulihan hak
minoritas keturunan Tionghoa untuk menjalankan keyakinan mereka yang beragama
Konghucu melalui Keputusan Presiden No. 6 tahun 2000 mengenai pemulihan hak-
hak sipil penganut agama Konghucu. Pada masa pemerintahannya, Presiden
Abdurrahman Wahid berupaya mengurangi campur tangan negara dalam kehidupan
umat beragama namun di sisi lain ia justru mengambil sikap yang berseberangan
dengan sikap partai politik pendukungnya terutama dalam kasus komunisme dan
masalah Israel. Sikap Presiden Abdurrahman Wahid yang cenderung mendukung
pluralisme dalam masyarakat termasuk dalam kehidupan beragama dan hak-hak
kelompok minoritas merupakan salah satu titik awal munculnya berbagai aksi
penolakan terhadap kebijakan dan gagasan-gagasannya.
Dalam kasus komunisme, Presiden Abdurrahman Wahid melontarkan gagasan
kontroversial yaitu gagasan untuk mencabut Tap. MPRS No. XXV tahun 1966 tentang
larangan terhadap Partai Komunis Indonesia dan penyebaran Marxisme dan
Leninisme. Gagasan tersebut mendapat tantangan dari kalangan Islam termasuk
Majelis Ulama Indonesia dan tokoh-tokoh organisasi massa dan partai politik Islam.
Berbagai reaksi tersebut membuat Presiden Abdurrahman Wahid mengurungkan
niatnya untuk membawa rencana dan gagasannya ke Sidang Tahunan MPR tahun
2000.
Selain masalah komunisme, benturan Presiden Abdurrahman Wahid dengan
organisasi massa dan partai politik Islam yang notabene justru menjadi pendukungnya
saat ia terpilih menjadi presiden adalah gagasannya untuk membuka hubungan dagang
dengan Israel. Gagasannya tersebut mendapat tantangan keras mengingat Israel adalah
negara yang menjajah dan telah banyak melakukan tindakan pelanggaran Hak Asasi
Manusia (HAM) terhadap warga Palestina yang mayoritas beragama Islam. Membuka
hubungan dagang dengan Israel sama saja dengan melanggar apa yang tertuang dalam
Pembukaan UUD 1945 yang menjelaskan bahwa Indonesia merupakan negara yang
menyerukan agar penjajahan di atas dunia dihapuskan.

D. Reformasi di Bidang Militer


Ketika Gus Dur berkelana ke Eropa pada bulan Februari, ia mulai meminta
Jenderal Wiranto mengundurkan diri dari jabatan Menteri Koordinator Bidang Politik
dan Keamanan. Gus Dur melihat Wiranto sebagai halangan terhadap rencana
reformasi militer dan juga karena tuduhan pelanggaran HAM di Timor Timur
terhadap Wiranto. Ketika Gus Dur kembali ke Jakarta, Wiranto berbicara dengannya
dan berhasil meyakinkan Gus Dur agar tidak menggantikannya. Namun, Gus Dur
kemudian mengubah pikirannya dan memintanya mundur. Pada April 2000, Gus Dur
memecat Menteri Negara Perindustrian dan Perdagangan Jusuf Kalla dan Menteri
Negara BUMN Laksamana Sukardi. Alasan yang diberikan Wahid adalah bahwa
keduanya terlibat dalam kasus korupsi, meskipun Gus Dur tidak pernah memberikan
bukti yang kuat. Hal ini memperburuk hubungan Gus Dur dengan Golkar dan PDI-P.
Dalam usaha mereformasi militer dan mengeluarkan militer dari ruang sosial-
politik, Gus Dur menemukan sekutu, yaitu Agus Wirahadikusumah, yang diangkatnya
menjadi Panglima Kostrad pada bulan Maret. Pada Juli 2000, Agus mulai membuka
skandal yang melibatkan Dharma Putra, yayasan yang memiliki hubungan dengan
Kostrad. Melalui Megawati, anggota TNI mulai menekan Wahid untuk mencopot
jabatan Agus. Gus Dur mengikuti tekanan tersebut, tetapi berencana menunjuk Agus
sebagai Kepala Staf Angkatan Darat. Petinggi TNI merespons dengan mengancam
untuk pensiun, sehingga Gus Dur kembali harus menurut pada tekanan.
Hubungan Gus Dur dengan TNI semakin memburuk ketika Laskar Jihad tiba di
Maluku dan dipersenjatai oleh TNI. Laskar Jihad pergi ke Maluku untuk membantu
orang Muslim dalam konflik dengan orang Kristen. Wahid meminta TNI
menghentikan aksi Laskar Jihad, tetapi mereka tetap berhasil mencapai Maluku dan
dipersenjatai oleh senjata TNI.

E. Kejatuhan Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid


Kejatuhan pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid tidak terlepas dari
akumulasi berbagai gagasan dan keputusannya yang kontroversial dan mendapat
tantangan keras dari berbagai organisasi massa dan partai politik Islam yang semula
mendukungnya kecuali NU dan PKB. Keduanya merupakan pendukung setia Presiden
Abdurrahman Wahid hingga akhir masa pemerintahannya. Selain gagasannya yang
kontroversial mengenai pencabutan Tap. MPRS mengenai pelarangan komunisme dan
gagasan pembukaan hubungan dagang dengan Israel, hubungan Presiden
Abdurrahman Wahid dengan DPR dan bahkan dengan beberapa menteri dalam
kabinet pemerintahannya terbilang tidak harmonis. Penyebab ketidakharmonisan
tersebut berawal dari seringnya presiden memberhentikan dan mengangkat menteri
tanpa memberikan keterangan yang dapat diterima oleh DPR. Pemberhentian
Laksamana Sukardi sebagai Menteri Negara Penanaman Modal dan Jusuf Kalla
sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan bahkan menyebabkan DPR
mengajukan hak interpelasinya.

Kepercayaan masyarakat terhadap Presiden Abdurrahman Wahid dan jajaran


pemerintahannya semakin menipis seiring dengan adanya dugaan bahwa presiden
terlibat dalam pencairan dan penggunaan dana Yayasan Dana Kesejahteraan
Karyawan (Yanatera) Bulog sebesar 35 miliar rupiah dan dana bantuan Sultan Brunei
Darussalam sebesar 2 juta dollar AS. DPR akhirnya membentuk Panitia Khusus
(Pansus) untuk melakukan penyelidikan keterlibatan Presiden Abdurrahman Wahid
dalam kasus tersebut.
Pada 1 Februari 2001 DPR menyetujui dan menerima hasil kerja Pansus.
Keputusan tersebut diikuti dengan memorandum yang dikeluarkan DPR berdasarkan
Tap MPR No. III/MPR/1978 Pasal 7 untuk mengingatkan bahwa presiden telah
melanggar haluan negara yaitu melanggar UUD 1945 Pasal 9 tentang Sumpah Jabatan
dan melanggar Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang
bebas KKN.  Presiden Abdurrahman Wahid tidak menerima isi memorandum tersebut
karena dianggap tidak memenuhi landasan konstitusional. DPR sendiri kembali
mengeluarkan memorandum kedua dalam rapat paripurna DPR yang diselenggarakan
pada tanggal 30 April 2000. Rapat tersebut memberikan laporan pandangan akhir
fraksi-fraksi di DPR atas tanggapan presiden terhadap memorandum pertama.
Hubungan antara presiden dan DPR semakin memanas seiring dengan ancaman
presiden terhadap DPR. Jika DPR melanjutkan niat mereka untuk menggelar Sidang
Istimewa MPR, maka presiden akan mengumumkan keadaan darurat, mempercepat
penyelenggaraan pemilu yang bermakna pula akan terjadi pergantian anggota DPR,
dan memerintahkan TNI dan Polri untuk mengambil tindakan hukum terhadap
sejumlah orang tertentu yang dianggap menjadi tokoh yang aktif menyudutkan
pemerintah. Situasi ini juga meningkatkan ketegangan para pendukung presiden dan
pendukung sikap DPR di tingkat akar rumput. Ribuan pendukung presiden terutama
yang tinggal di kota-kota di Jawa Timur melakukan aksi menentang diadakannya
Sidang Istimewa MPR yang dapat menjatuhkan Abdurrahman Wahid dari kursi
kepresidenan. Aksi ini berujung pada pengrusakan dan pembakaran berbagai fasilitas
umum dan gedung termasuk kantor cabang milik sejumlah partai politik dan
organisasi massa yang dianggap mendukung DPR untuk mengadakan Sidang
Istimewa MPR.
Dua hari menjelang pelaksanaan Sidang Paipurna DPR, Kejaksaan Agung
mengumumkan bahwa hasil penyelidikan kasus skandal keuangan Yayasan Yanatera
Bulog dan sumbangan Sultan Brunai yang diduga melibatkan Presiden Abdurrahman
Wahid tidak terbukti. Hasil akhir pemeriksaan ini disampaikan Jaksa Agung Marzuki
Darusman kepada pimpinan DPR tanggal 28 Mei 2001. Ketegangan antara pendukung
presiden dan pendukung diselenggarakannya Sidang Istimewa MPR tidak
menyurutkan niat DPR untuk menyelenggarakan Sidang Istimewa MPR. Presiden
sendiri menganggap bahwa landasan hukum memorandum kedua belum jelas. DPR
akhirnya menyelenggarakan rapat paripurna untuk meminta MPR mengadakan Sidang
Istimewa MPR.
Pada tanggal 21 Juli 2001 MPR menyelenggarakan Sidang Istimewa yang
dipimpin oleh ketua MPR Amien Rais. Di sisi lain Presiden Abdurrahman Wahid
menegaskan bahwa ia tidak akan mundur dari jabatan presiden dan sebaliknya
menganggap bahwa sidang istimewa tersebut melanggar tata tertib MPR sehingga
tidak sah dan ilegal.
Menyadari posisinya yang terancam, presiden selanjutnya mengeluarkan
Maklumat Presiden tertanggal 22 Juli 2001. Maklumat tersebut selanjutnya disebut
Dekrit Presiden. Secara umum dekrit tersebut berisi tentang pembekuan MPR dan
DPR RI, mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mempersiapkan pemilu
dalam waktu satu tahun dan menyelamatkan gerakan reformasi dari hambatan unsur-
unsur Orde Baru sekaligus membekukan Partai Golkar sambil menunggu keputusan
Mahkamah Agung.
Namun isi dekrit tersebut tidak dapat dijalankan terutama karena TNI dan Polri
yang diperintahkan untuk mengamankan langkah-langkah penyelamatan tidak
melaksanakan tugasnya. Seperti yang dijelaskan oleh Panglima TNI Widodo AS,
sejak Januari 2001, baik TNI maupun Polri konsisten untuk tidak melibatkan diri
dalam politik praktis. Sikap TNI dan Polri tersebut turut memuluskan jalan bagi MPR
untuk kembali menggelar Sidang Istimewa dengan agenda pemandangan umum
fraksi-fraksi atas pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid yang dilanjutkan
dengan pemungutan suara untuk menerima atau menolak Rancangan Ketetapan MPR
No. II/MPR/2001 tentang pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid dan
Rancangan Ketetapan MPR No. III/MPR/2001 tentang penetapan Wakil Presiden
Megawati Soekarno Putri sebagai Presiden Republik Indonesia.
Seluruh anggota MPR yang hadir menerima dua ketetapan tersebut. Presiden
dianggap telah melanggar haluan negara karena tidak hadir dan menolak untuk
memberikan pertanggungjawaban dalam Sidang Istimewa MPR termasuk penerbitan
Maklumat Presiden RI. Dengan demikian MPR memberhentikan Abdurrahman Wahid
sebagai Presiden dan mengangkat Wakil Presiden Megawati Soekarno Putri sebagai
presiden kelima Republik Indonesia pada tanggal 23 Juli 2001.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Abdurrahman Wahid yang lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur terpilih menjadi
Presiden Republik Indonesia keempat pada tanggal 20 Oktober 1999. Terpilihnya Gus
Dur sebagai presiden tidak terlepas dari keputusan MPR yang menolak laporan
pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie. Berkat dukungan partai-partai Islam yang
tergabung dalam Poros Tengah,

Pada September, Gus Dur menyatakan darurat militer di Maluku karena kondisi
di sana semakin memburuk. Pada saat itu semakin jelas bahwa Laskar Jihad didukung
oleh anggota TNI dan juga kemungkinan didanai oleh Fuad Bawazier, menteri
keuangan terakhir Soeharto. Pada bulan yang sama, bendera bintang kejora berkibar di
Papua Barat. Gus Dur memperbolehkan bendera bintang kejora dikibarkan asalkan
berada di bawah bendera Indonesia.[49] Ia dikritik oleh Megawati dan Akbar karena
hal ini. Pada 24 Desember 2000, terjadi serangan bom terhadap gereja-gereja di
Jakarta dan delapan kota lainnya di seluruh Indonesia.
Pada akhir tahun 2000, terdapat banyak elite politik yang kecewa dengan
Abdurrahman Wahid. Orang yang paling menunjukkan kekecewaannya adalah
Amien. Ia menyatakan kecewa mendukung Gus Dur sebagai presiden tahun lalu.
Amien juga berusaha mengumpulkan oposisi dengan meyakinkan Megawati dan Gus
Dur untuk merenggangkan otot politik mereka. Megawati melindungi Gus Dur,
sementara Akbar menunggu pemilihan umum legislatif tahun 2004. Pada akhir
November, 151 anggota DPR menandatangani petisi yang meminta pemakzulan Gus
Dur.

B. Saran
Memahami perkembangan politik dan ekonomi pada masa pemerintahan
Presiden Abdurrahman Wahid dapat memberikan pelajaran penting bagi perubahan
sistem demokrasi dan upaya memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara di
masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
 https://abdussofi16.wordpress.com/history/perekonomian-masa-k-h-abdurrahman-
wahid-gus-dur/
 https://doc.lalacomputer.com/makalah-perkembangan-politik-dan-ekonomi-pada-
masa-pemerintahan-presiden-abdurrahman-wahid
 https://brainly.co.id/tugas/19197453
 https://roboguru.ruangguru.com/question/bentuk-kebijakan-politik-dan-ekonomi-
yang-dijalankan-pada-masa-pemerintahan-presiden-abdurahman_QU-JYZ8FUGE
 https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/21/170000769/perkembangan-ekonomi-
dan-politik-di-era-gus-dur

Anda mungkin juga menyukai