Anda di halaman 1dari 10

PROSEDUR MEDIASI DIPERADILAN AGAMA

Makalah Hukum Acara Peradilan Agama

Dosen Pengampu: Fithriyatus Sholihah, S.H.I., M.H.

Disusun Oleh:

Ahmad Maulana Jabbar (2002046004)


Amalia (2002046020)
Cut Indra Suari (2002046031)

JURUSAN ILMU FALAK

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2022
BAB Ⅰ

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mediasi sebagai salah satu metode penyelesaian konflik pada lembaga peradilan
merupakan salah satu cara dalam menekan jumlah penumpukan perkara di pengadilan.
Mediasi tumbuh dan berkembang sejalan dengan tumbuhnya keinginan manusia dalam
menyelesaikan sengketa secara cepat, dan memuaskan bagi kedua belah pihak dan juga
berkeadilan.
Makna yang terkandung dari mediasi adalah bahwa pada dasarnya manusia secara
lahiriah tidak menghendaki dirinya bergelimang konflik dan persengketaan dalam jangka
waktu yang lama. Sebagai alternatif penyelesaian sengketa, mediasi menjadi salah satu
metode efektif penyelesaian sengketa yang memiliki banyak manfaat dan keuntungan.
Manfaat dan keuntungan menggunakan jalur mediasi antara lain adalah bahwa
sengketa dapat diselesaikan dengan win-win solution, waktu yang digunakan tidak
berkepanjangan, biaya lebih ringan, dan tetap terpeliharanya hubungan antara para pihak
secara baik dikarenakan telah menyepakati beberapa poin perdamaian yang telah
dirundingkan oleh para pihak yang bersengketa dalam proses mediasi, yang selanjutnya
diterbitkan dalam bentuk akta perdamaian.

B. Rumusan Masalah
1. Apa dasar hukum mediasi di Peradilan Agama?
2. Bagaimana prosedur dan tahapan mediasi dilakukan?
3. Apa yang termasuk ke dalam hasil mediasi?

C. Tujuan
Untuk lebih memahami secara mendalam mengenai dasar mediasi yang dilakukan
di Peradilan Agama, dan bagaimana tahapan serta proses mediasi yang benar, serta hasil
dari mediasi itu sendiri
BAB Ⅱ

PEMBAHASAN

1. Dasar Hukum Mediasi

Kata “mediasi” berasal dari bahasa Inggris, "Mediasi" berarti pelaksanaan


perselisihan melibatkan pihak ketiga sebagai mediator atau menyelesaikan sengketa
melalui mediasi, orang yang menengahi disebut mediator atau menjadi penengah.1 Secara
umum, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya mediasi adalah sebuah proses
partisipasi pihak ketiga menyelesaikan perselisihan konsultan. Mediasi dalam literatur
hukum Islam dapat disamakan dengan konsep tahkim yang secara etimologis berarti
menjadikan seseorang pihak ketiga atau biasa disebut hakam sebagai penengah dalam
sengketa. Landasan hukum perdamaian atau rujuk dalam hukum Islam adalah sebagaimana
firman Allah:

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara, maka rujuklah antara
dua saudaramu (yang berselisih), takutlah kepada Allah, dan kamu akan menemukan
berkah".

Sedangkan yang termasuk dasar hukum mediasi di Indonesia adalah :

• Pancasila dan UUD 1945, disiratkan dalam filosofinya bahwa asas penyelesaian
sengketa adalah musyawarah untuk mufakat
• HIR Pasal 130 ( HIR= Pasal 154 RBg = Pasal 31 Rv ); telah mengatur lembaga
perdamaian. Hakim wajib terlebih dahulu mendamaikan para pihak yang
berperkara sebelum perkaranya diperiksa
• UU Nomor. 1 Tahun 1974 jo Pasal 39 , UU Nomor.7 Tahun 1989 jo. UU nomor 3
Tahun 2006 jo. UU nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama Pasal 65 dan
82, PP Nomor. 9 Tahun 1975 Pasal 31 dan KHI Pasal 115, 131 ayat ( 2 ), 143 ayat
( 1 ) dan ( 2 ), dan 144.29

1 Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negoisasi, Mediasi, Konsiliasi, Arbitrase)¸ Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hlm. 69
• Surat Edaran Mahkamah Agung ( SEMA ) Nomor.1 Tahun 2002 tentang
Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai ( Eks
Pasal 130 HIR/154 RBg)
• Peraturan Mahkamah Agung ( PERMA ) Nomor. 01 tahun 2016 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan
• PERMA Nomor 2 tahun 2003 tentang prosedur mediasi di Pengadilan
• Mediasi atau APS di luar Pengadilan diatur dalam Pasal 6 UU Nomor. 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Dalam pasal - pasal tersebut, disebutkan bahwa hakim wajib mendamaikan para
pihak yang berperkara sebelum putusan diajukan. Usaha mendamaikan ini dapat
dilaksanakan pada setiap sidang pemeriksaan. Khusus perkara perceraian, dalam upaya
mendamaikan itu pula hakim wajib menghadirkan pihak keluarga atau orang - orang
terdekat dari pihak - pihak yang berperkara untuk didengar keterangannya dan meminta
bantuan mereka agar kedua pihak berperkara itu dapat rukun dan damai kembali. Apabila
upaya untuk mendamaikan ini tidak berhasil, maka barulah hakim menjatuhkan putusan
cerai, terhadap putusan ini dapat dimintakan upaya banding dan atau kasasi.

2. Prosedur dan Tahapan Mediasi


Proses dan tahapan Mediasi di pengadilan sebagaimana yang diatur dalam PERMA
Nomor 1 Tahun 2008:2

1. Tahapan Pra Mediasi.


Penggugat mendaftarkan gugatannya di Kepaniteraan Pengadilan. Mediasi menjadi
hal yang wajib dalam tahapan peradilan perdata ataupun agama, kewajiban melakukan
mediasi dapat dijalankan jika pada hari persidangan pertama para pihak yang bersangkutan
hadir. Setelah menjelaskan prosedur mediasi, Majelis Hakim memberikan kesempatan
kepada para pihak untuk memilih mediator dalam daftar mediator yang terpampang di
ruang tunggu kantor pengadilan. Para pihak boleh memilih mediator sendiri dengan syarat
mediator tersebut telah memiliki sertifikat mediator.

2 PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.


Bila dalam waktu 2 (dua) hari para pihak tidak dapat menentukan mediator, Majelis
Hakim akan menunjuk hakim pengadilan di luar Hakim Pemeriksa Perkara yang
bersertifikat sebagaimana yang tertera dalam Perma No 1 Tahun 2008 Pasal 11 ayat 4.
Namun jika tidak ada hakim yang bersertifikat, salah satu anggota Hakim Pemeriksa
Perkara yang ditunjuk oleh Ketua Majelis wajib menjalankan fungsi mediator.
Hakim Pemeriksa Perkara memberikan waktu selama 40 (empat puluh) hari kerja
kepada para pihak untuk menempuh proses mediasi. Jika diperlukan waktu mediasi dapat
diperpanjang untuk waktu 14 (empat belas) hari kerja (Pasal 13 Ayat [3] dan [4]).
2. Pembentukan Forum
Dalam waktu 5 (lima) hari setelah para pihak menunjuk mediator yang disepakati
atau setelah para pihak gagal memilih mediator, para pihak dapat menyerahkan resume
perkara kepada mediator yang ditunjuk oleh Majelis Hakim. Mediator dapat meminta agar
pertemuan dihadiri langsung oleh pihak yang bersengketa dan tidak diwakili oleh kuasa
hukum.

3. Pendalaman Masalah
Cara mediator mendalami permasalahan adalah dengan cara kaukus, mengolah data
dan mengembangkan informasi, melakukan eksplorasi kepentingan para pihak,
memberikan penilaian terhadap kepentingan-kepentingan yang telah diinventarisir, dan
akhirnya menggiring para pihak pada proses tawar menawar penyelesaian masalah.

4. Penyelesaian Akhir dan Penentuan Hasil Kesepakatan.


Para pihak akan menyampaikan kehendaknya berdasarkan kepentingan mereka
dalam bentuk butir-butir kesepakatan. Mediator akan menampung kehendak para pihak
dalam catatan dan menuangkannya ke dalam dokumen kesepakatan. Dalam Pasal 23
Ayat(3) PERMA Nomor 1 Tahun 2008 disebutkan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam
kesepakatan perdamaian adalah sebagai berikut:
a. sesuai kehendak para pihak;
b. tidak bertentangan dengan hukum;
c. tidak merugikan pihak ketiga;
d. dapat dieksekusi; dan
e. dengan iktikad baik.
Bila terdapat kesepakatan yang melanggar syarat-syarat tersebut diatas, mediator
wajib mengingatkan para pihak. Namun bila mereka bersikeras, mediator berwenang untuk
menyatakan bahwa proses mediasinya gagal dan melaporkan kepada Hakim Pemeriksa
Perkara. Dokumen kesepakatan damai akan dibawa kehadapan Hakim Pemeriksa Perkara
untuk dapat dikukuhkan menjadi akta perdamaian.
5. Kesepakatan di Luar Pengadilan.
Maksud dari Pasal 23 Ayat (1) PERMA adalah dari pengajuan gugatan ini adalah
agar sengketa para pihak masuk dalam kewenangan pengadilan melalui pendaftaran pada
register perkara di Kepaniteraan Perdata. Ketua Pengadilan selanjutnya dapat menunjuk
Majelis Hakim yang akan mengukuhkan perdamaian tersebut dalam persidangan yang
terbuka untuk umum (kecuali perkara yang bersifat tertutup untuk umum seperti
perceraian).

6. Keterlibatan Ahli dalam Proses Mediasi.


Pasal 16 Ayat (1) PERMA Nomor 1 tahun 2008 menyebutkan bahwa atas
persetujuan para pihak atau kuasa hukum, mediator dapat mengundang seorang atau lebih
ahli dalam bidang tertentu untuk memberikan penjelasan atau pertimbangan yang dapat
membantu menyelesaikan perbedaan pendapat di antara para pihak.
Biaya untuk mendatangkan seorang ahli ditanggung oleh para pihakberdasarkan
kesepakatan. Namun PERMA tidak menjelaskan siapa yang dapat dikategorikan sebagai
ahli, sehingga penentuan siapa yang akan dijadikan ahli dalam proses mediasi sesuai
dengan rekomendasi mediator dan kesepakatan para pihak.

7. Berakhirnya Mediasi.
Proses mediasi dinyatakan berakhir dengan 2 (dua) bentuk. Pertama, mediasi
berhasil dengan menghasilkan butir-butir kesepakatan di antara para pihak, proses
perdamaian tersebut akan ditindaklanjuti dengan pengukuhan kesepakatan damai menjadi
akta perdamaian yang mengandung kekuatan seperti layaknya Putusan Hakim yang telah
berkekuatan hukum tetap. Kedua,proses mediasi menemukan jalan buntu dan berakhir
dengan kegagalan. Proses mediasi di pengadilan yang gagal akan dilanjutkan di sidang
pengadilan.

8. Mediasi Pada Tahap Upaya Hukum.


Para pihak atas dasar kesepakatan bersama, dapat menempuh upaya perdamaian
terhadap perkara yang sedang dalam proses banding, kasasi, atau peninjauan kembali atau
terhadap perkara yang sedang diperiksa pada tingkat banding, kasasi, dan peninjauan
kembali sepanjang perkara itu belum diputus.

3. Hasil Mediasi

Di lihat dari sifatnya yang konsensual atau mufakat dan kolaboratif, mediasi selalu
menghasilkan penyelesaian sengketa dengan yang seimbang bagi para pihak (win-win
solution), sehingga tidak merugikan para pihak yang berperkara. Mediasi termasuk di
dalam salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang relatif murah dan tidak memakan
waktu yang cukup lama jika dibandingkan dengan berperkara melalui proses litigasi. Di
samping itu hasil yang didapat selama menempuh proses mediasi yaitu kesepakatan
bersama oleh para pihak, sehingga para pihak yang bbersengketa tidak mengajukan
keberatan atas apa yang btelah disepakati.

Hakim di hadapan para pihak hanya akan menguatkan kesepakatan perdamaian


dalam bentuk akta perdamaian apabila memenuhi syarat-syarat berikut:

• sesuai kehendak para pihak;


• tidak bertentangan dengan hukum;
• tidak merugikan pihak ketiga;
• dapat dieksekusi;
• dengan itikad baik.

Sesuai dengan Pasal 1858 ayat (1) dan (2) KUHPerdata dan Pasal 130 HIR/Pasal
154 RBg ayat (2) dan (3) yang mengatur mengenai perdamaian dan perjanjian perdamaian,
menerangkan bahwa adapun akta perdamaian mempunyai kekuatan hukum sebagai
berikut:3

➢ Putusan perdamaian mempunyai kekuatan yang sama layaknya putusan hakim,


sehingga memiliki kekuatan hukum tetap, dan terhadap putusan tersebut tidak
dapat dimintakan upaya hukum banding maupun kasasi. Dengan demikian,

3 https://pkpajakarta.com/bagaimana-sebenarnya-kekuatan-hukum-hasil-mediasi/ (diakses pada 28 maret 2022)


akta perdamaian yang dikukuhkan dalam putusan perdamaian yang telah
dibacakan di muka sidang oleh majelis hakim telah memiliki kepastian hukum
layaknya putusan biasa yang telah berkekuatan hukum tetap.

➢ Akta perdamaian memiliki pembuktian sempurna, artinya apabila akta


perdamaian tersebut dijadikan alat bukti, maka tidak memerlukan alat bukti
pendukung lainnya untuk membuktikan telah terjadinya peristiwa maupun
hubungan hukum lainnya yang telah menimbulkan hak dan kewajiban, karena
akta perdamaian sama halnya dengan akta otentik buatan pejabat umum yakni
hakim melalui putusan perdamaian dan dibuat secara sengaja untuk dapat
dijadikan dan digunakan sebagai alat bukti.

➢ Akta perdamaian (acta van dading) hasil mediasi memiliki kekuatan


eksekutorial, karena dalam putusan perdamaian tersebut memuat irah-irah
“DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA
ESA”. Setiap akta atau putusan yang dalam kepala putusannya memuat irah-
irah, maka termasuk dalam akta otentik yang memiliki kekuatan eksekutorial.

Mediasi selalu menghasilkan penyelesaian sengketa dengan seimbang bagi para


pihak manapun, sehingga tidak menimbulkan kerugian baik dari pihak yang berperkara
atau pihak lainnya.
KESIMPULAN

Secara umum, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya mediasi adalah sebuah
proses partisipasi pihak ketiga menyelesaikan perselisihan konsultan. Di Indonesia, dasar hukum
mediasi sendiri yaitu:

• Pancasila dan UUD 1945

• HIR Pasal 130 ( HIR= Pasal 154 RBg = Pasal 31 Rv )

• UU Nomor. 1 Tahun 1974 jo Pasal 39 , UU Nomor.7 Tahun 1989 jo. UU nomor 3


Tahun 2006 jo. UU nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama Pasal 65 dan
82, PP Nomor. 9 Tahun 1975 Pasal 31 dan KHI Pasal 115, 131 ayat ( 2 ), 143 ayat
( 1 ) dan ( 2 ), dan 144.29

• Surat Edaran Mahkamah Agung ( SEMA ) Nomor.1 Tahun 2002

• Peraturan Mahkamah Agung ( PERMA ) Nomor. 01 tahun 2016

• PERMA Nomor 2 tahun 2003

• Mediasi atau APS di luar Pengadilan diatur dalam Pasal 6 UU Nomor. 30 Tahun
1999
Mediasi selalu menghasilkan penyelesaian sengketa dengan seimbang bagi para
pihak manapun, sehingga tidak menimbulkan kerugian baik dari pihak yang berperkara atau pihak
lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Emirzon, Joni. 2001. Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi,
Konsiliasi, Arbitrase). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Peraturan Mahkama Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan, MA: 31 Juli 2008

Purnamasari, Fitri. 2017. Pelaksanaan Mediasi Pada Penyelesaian Perceraian di Pengadilan


Agama Kuningan. Jurnal Unifikasi, issn 2354-5976, e-issn 2580-7382 vol 4 (2)

https://pkpajakarta.com/bagaimana-sebenarnya-kekuatan-hukum-hasil-mediasi/ (diakses pada 28


Maret 2022)

Anda mungkin juga menyukai