Dialysis
Dialysis
OLEH:
FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS NURUL JADID
2021
BAB 1
Pendahuluan
1. Latar Belakang
Penggunaan terapi pengganti ginjal menjadi perlu ketika ginjal tidak bisa lagi
menghilangkan kotoran, mempertahankan elektrolit, dan mengatur keseimbangan cairan.
Hal ini dapat terjadi dengan cepat atau selama periode waktu yang panjang dan kebutuhan
untuk terapi pengganti ginjal dapat akut (jangka pendek) atau (jangka panjang) kronis.
Terapi pengganti ginjal yang utama termasuk berbagai jenis dialisis dan transplantasi
ginjal. Jenis dialisis termasuk hemodialisis, CRRT, dan PD (Smeltzer, Hinkle, Bare, &
Cheever, 2010).
Dialysis adalah prosedur untuk membersihkan dan menyaring darah. hal ini merupakan
pengganti fungsi ginjal, bila ginjal tidak dapat membuang limbah produk dari nitrogen,
dan tidak menjaga cairan secara adekuat, elektrolit dan kesimbangan asam dan basa.
Selama dialisis, darah klien disaring melalui proses difusi dan osmosis. Zat yang seperti
air, urea, kreatinin, dan yang berbahaya kalium tingkat tinggi berpindah dari darah melalui
membran semipermeabel ke dialisat, solusi yang digunakan selama dialisis yang memiliki
komposisi yang mirip dengan plasma manusia normal. Dialisis dilakukan oleh
hemodialisis dan dialisis peritoneal. Teknik dapat dilakukan di rumah atau di pusat dialisis.
Setiap jenis memiliki kelebihan dan kekurangan (Timby & Smith, 2010).
Setiap tahun penguna dialysis mengalami penigkatan. tahun 2011, di Amerika Serikat
lebih dari 395.000 pasien diobati dengan hemodialysis (CDC, 2012). Sedangkan di
Indonesia sendiri dilaporkan sejak tahun 2007-2012 pasien di unit renal mengalami
peningkatan dratis, tahun 2012 pasien baru berjumlah 19.621 pasien dan yang masih aktif
9161 pasien. Kalau kita bandingkan dengan kesedian alat hemodialisa (HD) terasa kurang
memadai, yaitu mesin HD di Indonesia hanya 2242 unit. Penanganan pengganti ginjal
terbanyak adalah HD 78%, transplantasi ginjal 16 %, CRRT 3%, dan CAPD 3 %.
Penyebab HD terbesar yaitu End State Renal Desease (ESRD) (83%) 13.213 pasien
(PERNEFRI, 2012).
Jumlah pasien yang memerlukan HD dengan kesedian mesin HD di Indonesia membuat
CAPD menjadi alternative terapi pengganti ginjal yang lebih efektif dan efisien. Banyak
penelitian yang menunjukkan bahwa Peritonial Dialisis (PD) menunjukkan kelangsungan
hidup lebih unggul dibandingkan HD (Choi et al., 2013; Heaf & Wehberg, 2014).
Dipandang berdasarkan kualitas hidup, pasien dengan menggunakan PD lebih baik dari
pada HD (Griva et al., 2014). Berdasarkan hal ini kelompok tertarik untuk membahas
asuhan keperawatan pada penderita yang menggunakan terapi pengganti ginjal dengan
Peritoneal Dialysis (CAPD).
2. Tujuan
a. Memahami konsep teori terapi pengganti ginjal dengan Peritoneal Dialysis (PD).
b. Memahami asuhan keperawatan pada pasien yang menggunakan terapi pengganti
ginjal dengan Peritoneal Dialysis (PD).
BAB 2
KONSEP TEORI
1. Sejarah CAPD
Pengembangan dialisis peritoneal merupakan suatu perjalanan intelektual, ilmiah, dan
medis yang menarik. Tabel 1.2 menggambarkan momen paling penting dalam sejarah
dialisis peritoneal, dan ilmuwan paling penting yang membuat perkembangan
pengobatan menyelamatkan nyawa ini yang mungkin dan berlaku untuk pasien yang
menderita penyakit ginjal berat. Dalam beberapa tahun terakhir, telah ada kecenderungan
untuk penurunan pemanfaatan dialisis peritoneal, sebuah tren yang lebih dinyatakan di
Amerika Serikat dan Kanada. Sebagai dialisis peritoneal modalitas, APD menjadi satu
pilihan, dengan sebagian besar pasien dialisis peritoneal baru memilih untuk terapi
Cycler. Pada akhir tahun 2004, ada 1.371.000 pasien dialisis di seluruh dunia dan 11%
dari mereka berada di dialisis peritoneal. Tiga puluh persen dari 149.000 pasien dialisis
peritoneal global dan 60% dari pasien AS pada APD.
2. Definisi
Dialisis adalah proses pengeluaran sisa-sisa metabolism dan kelebihan cairan dari darah
melalui membram semipermiabel, dan pertitonium merupakan selaput yang berfungsi
sebagai membrane semipermiabel dapat juga berperan dalam proses dialysis (Rachmadi,
2009). Menkes RI mendefinisikan peritoneal dialysis salah satu terapi pengganti fungsi
ginjal yang mempergunakan peritoneum pasien yang bersangkutan sebagai membrane
semipermeable antara lain Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) dan
Ambulatory Peritoneal Dialysis (APD) (MENKES RI, 2010).
3. Epidemiologi
Pada satu waktu di Inggris, 400-800 orang per juta penduduk membutuhkan pengganti
ginjal berupa dialisis. Prevalensi dialisis di Inggris sangat bergantung usia untuk orang
dewasa berusia 70-80 tahun itu adalah antara 1600 dan 2000 orang per juta. Dialisis
diperlukan untuk mempertahankan hidup bagi pasien dengan penyakit ginjal kronis
(CKD). Untuk sekitar 40% dari orang dewasa di dialisis transplantasi ginjal adalah terapi
pilihan; Persentase ini lebih tinggi pada anak-anak. Jika pasien tidak perlu transplantasi
ginjal, dialisis diperlukan untuk sisa hidup pasien (NICE, 2011).
Tahun 2011, di Amerika Serikat lebih dari 395.000 pasien diobati dengan hemodialysis
(CDC, 2012). Sedangkan di Indonesia sendiri dilaporkan sejak tahun 2007-2012 pasien
di unit renal mengalami peningkatan dratis, tahun 2012 pasien baru berjumlah 19.621
pasien dan yang masih aktif 9161 pasien. Kalau kita bandingkan dengan kesedian alat
hemodialisa (HD) terasa kurang memadai, yaitu mesin HD di Indonesia hanya 2242 unit.
Penanganan pengganti ginjal terbanyak adalah HD 78%, transplantasi ginjal 16 %, CRRT
3%, dan CAPD 3 %. Penyebab HD terbesar yaitu End State Renal Desease (ESRD)
(83%) 13.213 pasien (PERNEFRI, 2012)
4. Klasifikasi
Ada tiga jenis peritoneal dialisis : (1) continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD),
(2) continuous cyclic peritoneal dialysis (CCPD), and (3) intermittent peritoneal dialysis
(IPD), sering juga disebut nocturnal intermittent peritoneal dialysis (NIPD) (Timby &
Smith, 2010).
1. Continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD)
CAPD adalah bentuk paling umum kedua dari dialisis untuk pasien dengan ESRD
(USRDS, 2007 dalam Smeltzer et al., 2010). CAPD dilakukan di rumah oleh pasien
atau pengasuh yang terlatih biasanya anggota keluarga. Prosedur ini memungkinkan
kebebasan yang wajar bagi pasien dan mengontrol kegiatan sehari-hari, tetapi
membutuhkan komitmen yang serius untuk berhasil. CAPD bekerja pada prinsip
yang sama seperti bentuk lain dari PD: difusi dan osmosis. Pasien melakukan
pertukaran empat atau lima kali sehari, 24 jam sehari, 7 hari seminggu, pada interval
dijadwalkan sepanjang hari (Smeltzer et al., 2010).
2. Continuous cyclic peritoneal dialysis (CCPD)
CCPD menggunakan mesin yang disebut Cycler untuk memberikan pertukaran. Hal
ini diprogram untuk berapa banyak cairan untuk digunakan dan seberapa lama dan
berapa banyak pertukaran yang perlu dilakukan. Karena itu diprogram, juga melacak
dari total jumlah dihapus dan akan membunyikan alarm jika batas tidak terpenuhi.
Hal ini membutuhkan bahwa seseorang mengatur dan memecah sistem untuk
digunakan, yang biasanya memakan waktu sekitar 15 menit. CCPD
mengkombinasikan PD intermiten dalam semalam dengan waktu tinggal lama di
siang hari. Kateter peritoneal terhubung ke mesin Cycler setiap malam, biasanya
hanya sebelum pasien pergi tidur untuk malam. Karena mesin ini sangat tenang,
pasien dapat tidur, dan tabung extralong memungkinkan pasien untuk bergerak dan
mengubah normal saat tidur (Smeltzer et al., 2010).
CCPD memiliki tingkat infeksi yang lebih rendah daripada bentuk-bentuk lain dari
PD karena ada sedikit kesempatan untuk kontaminasi dengan perubahan bag dan
pemutusan pipa. Hal ini juga memungkinkan pasien untuk bebas dari pertukaran
sepanjang hari, sehingga memungkinkan untuk terlibat dalam pekerjaan dan aktivitas
sehari-hari lebih bebas (Smeltzer et al., 2010).
Di Indonesia sendiri, ada dua pilihan untuk menjalani terapi pengganti ginjal, yaitu
hemodialisis (HD) dan dialisis peritoneal (DP). Namun kendala pada program DP di
Indonesia seperti (1) biaya DP per bulan masih lebih mahal daripada HD dan (2) sanitasi
lingkungan dan tingkat pendidikan untuk sebagian besar pasien merupakan faktor yang
tidak menunjang program ini, membuat HD sebagai program pilihan terapi pengganti
ginjal utama. Pasien hemodialisis mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah karena
kebanyakan dari pasien hemodialisis adalah pasien produktif yang berusia antara 20-60
tahun. Dengan adanya penurunan pada fungsi ginjal, atau bahkan mengalami kegagalan,
tidak hanya kualitas hidup menurun, pengobatan seumur hidup juga memakan biaya yang
tidak sedikit. Penurunan dari kualitas hidup ini dapat mengakibatkan penurunan devisa
Negara.
5. Tujuan PD
Tujuan terapi PD ini adalah untuk mengeluarkan zat-zat toksik serta limbah metabolic,
mengembalikan keseimbangan cairan yang normal dengan mengeluarkan cairan yang
berlebihan dan memulihkan keseimbangan elektrolit
6. Indikasi
Pasien yang rentan terhadap perubahan cairan, elektrolit dan metabolic yang cepat
(hemodinamik yang tidak stabil)
Penyakit ginjal stadium terminal yang terjadi akibat penyakit diabetes
Pasien yang berisiko mengalami efek samping pemberian heparin secara sistemik
Pasien dengan akses vascular yang jelek (lansia)
Adanya penyakit kardiovaskuler yang berat
Hipertensi berat, gagal jantung kongestif dan edema pulmonary yang tidak responsive
terhadap terapi dapat juga diatasi dengan dialysis peritoneal.
7. Kontraindikasi CAPD
b. Proses pemasangan:
Mula-mula, alat perangkat harus disiapkan. Ini terdiri dari alat baxter “dineal”R61L”
yang besar dengan tetes rangkap dimana diikatkan dua kantong cairan dialysis 1 L.
Dari pipa umum, alat tetes rangkap ada suatu pipa tambahan yang menuju ke
belakang, ini untuk meng“syphon off” cairan dari peritoneum. Seluruh pipa harus
terisi dengan cairan yang dipakai. Sebuah kantong pengumpulan steril yang besar
(paling sedikit volume 2 L) diikatkan pada pipa keluar.
Kemudian, anastesi local (lignocain 1-2%) disuntikkan ke linea alba antara pusar atau
umbilicus dan symphisis pubis, biasanya kira-kira 2/3 bagian dari pubis. Bekas luka
pada dinding abdominal harus dihindari dan kateter dapat dimasukkan sebelah lateral
dari selaput otot rectus abdominus. Anastesi local yang diberikan cukup banyak (10-
15 ml) dan yang paling penting untuk meraba peritoneum dan mengetahui bahwa telah
diinfiltrasi, bila penderita gemuk, sebuah jarum panjang (seperti jarum cardiac atau
pungsi lumbal) diperlukan untuk menganastesi peritoneum.
Suatu insisi kecil (sedikit lebih pendek dari garis tengah kanula) dibuat di kulit dengan
pisau nomor 11. Kateter peritoneal kemudian didorong masuk ke ruang peritoneal
dengan gerakan memutar (seperti sekrup). Sewaktu sudah masuk, pisau ditarik 1 inci
dan kateter diarahkan ke pelvis. Kdang-kadang dinding atau selaput peritoneum terasa
sebagai dua lapis yang dapat dibedakan, keduanya harus ditembus sebelum menarik
pisau dan mengarahkan kateter. Pada waktu ini, harus segera dijalankan atau dialirkan
2 L cairan dan diperhatikan reaksi penderita, minimalkan rasa tidak nyaman. Segera
setelah cairan ini masuk, harus di “syphon off” untuk melihat bahwa system tersebut
mengalir lancar, sesuaikan posisi kateter untuk menjamin bahwa aliran cukup baik.
Beberapa inci dari kateter akan menonjol dari abdomen dan ini dapat dirapikan bila
perlu. Namun paling sedikit 1 atau 2 inci harus menonjol dari dinding perut. Hal ini
kemudian dikuatkan ditempat dengan elastoplas. Dengan tiap trokat ada suatu pipa
penyambung yang pendek yang menghubungkan kateter ke alat perangkat.
Zat-zat racun yang terlarut di dalam darah akan pindah ke dalam cairan dialisat melalui
selaput rongga perut (membran peritoneum) yang berfungsi sebagai “alat penyaring”,
proses perpindahan ini disebut Difusi.
Cairan dialisat mengandung dekstrosa (gula) yang memiliki kemampuan untuk menarik
kelebihan air, proses penarikan air ke dalam cairan dialisat ini disebut Ultrafiltrasi.
1. Pengeluaran cairan
Cairan dialisat yang sudah mengandung zat-zat racun dan kelebihan air akan
dikeluarkan dari rongga perut dan diganti dengan cairan dialisis yang baru. Proses
pengeluaran cairan ini berlangsung sekitar 20 menit.
2. Memasukkan cairan
2 L cairan dialirkan pada kira-kira setiap 45-60 menit, biasanya hanya memakan
waktu 5 menit untuk mengalirkan. Cairan dialisat dialirkan ke dalam rongga perut
melalui kateter.
3. Waktu tinggal
Sesudah dimasukkan, cairan dialisat dibiarkan ke dalam rongga perut selama 4-6
jam, tergantung dari anjuran dokter. Atau cairan ditinggal dalam ruang peritoneum
untuk kira-kira 20 menit dan kemudian 20 menit dibiarkan untuk pengeluaran.
Setelah itu, 2 L cairan lagi dialirkan. Hal ini diulang tiap jam untuk 36 jam atau lebih
lama bila perlu. Suatu catatan, keseimbangan kumulatif dari cairan yang mengalir
ke dalam dan keluar harus dilakukan dengan dasar tiap 24 jam. Suatu kateter
“Tenchoff” yang fleksibel dapat dipakai juga dapat ditinggal secara permanen untuk
CAPD dari penderita yang mengalami gagal ginjal tahap akhir.
Proses penggantian cairan di atas umumnya diulang setiap 4 atau 6 jam (4 kali
sehari), 7 hari dalam seminggu.
9. Prinsip-prinsip CAPD
CAPD bekerja berdasrkan prinsip-prinsip yang sama seperti pada bentuk dialisis lainnya,
yaitu: difusi dan osmosis. Namun, karena CAPD merupakan terapi dialisis yang
kontinyu, kadar produk limbah nitrogen dalam serum berada dalam keadaan yang stabil.
Nilainya tergantung pada fungsi ginjal yang masih tersisa, volume dialisa setiap hari, dan
kecepatan produk limbah tesebut diproduksi. Fluktuasi hasil-hasil laboritorium ini pada
CAPD tidak bergitu ekstrim jika dibandingkan dengan dialysis peritoneal intermiten
karena proses dialysis berlangsung secara konstan. Kadar eletrilit biasanya tetap berada
dalam kisaran normal.
Semakin lama waktu retensi, kliren molekul yang berukuran sedang semakin baik.
Diperkirakan molekul-molekul ini merupakan toksik uremik yang signifikan. Dengan
CAPD kliren molekul ini meningkat. Substansi dengan berat molekul rendah, seperti
ureum, akan berdifusi lebih cepat dalam proses dialysis daripada molekul berukuran
sedang, meskipun pengeluarannya selama CAPD lebih lambat daripada selama
hemodialisa. Pengeluaran cairan yang berlebihan pada saat dialysis peritonial dicapai
dengan menggunakan larutan dialisat hipertonik yang memiliki konsentrasi glukosa yang
tinggi sehingga tercipta gradient osmotic. Larutan glukosa 1,5%, 2,5% dan 4,25% harus
tersedia dengan bebepara ukuran volume, yaitu mulai dari 500 ml hingga 3000 ml
sehingga memungkinkan pemulihan dialisat yang sesuai dengan toleransi, ukuran tubuh
dan kebutuhan fisiologik pasien. Semakin tinggi konsentrasi glukosa, semakin besar
gradient osmotic dan semakin banyak cairan yang dikeluarkan. Pasien harus diajarkan
cara memilih larutan glukosa yang tepat berdasarkan asupan makanannya.
Pertukaran biasanya dilakukan empat kali sehari. Teknik ini berlangsung secara kontinyu
selama 24 jam sehari, dan dilakukan 7 hari dalam seminggu. Pasien melaksanakan
pertukaran dengan interval yang didistribusikan sepanjang hari (misalnya, pada pukul
08.00 pagi, 12.00 siang hari, 05.00 sore dan 10.00 malam). Dan dapat tidur pada malam
harinya. Setipa pertukaran biasanya memerlukan waktu 30-60 menit atau lebih; lamanya
proses ini tergantung pada lamanya waktu retensi yang ditentukan oleh dokter. Lama
waktu penukaran terdiri atas lima atau 10 menit periode infus (pemasukan cairan
dialisat), 20 menit periode drainase (pengeluaran ciiran dialisat) dan waktu rentensi
selama 10 menit, 30 menit atau lebih.
1) Bisa mengawetkan fungsi ginjal yang masih tersisa. Seperti diketahui sebenarnya
saat mencapai GGT, fungsi ginjal itu masih tersisa sedikit. Di samping untuk
membersihkan kotoran, fungsi ginjal (keseluruhan) yang penting lainnya adalah
mengeluarkan eritropoetin (zat yang bisa meningkatkan HB) dan pelbagai hormon
seks. Berbeda dengan dialisis yang lain, dialisis peritoneal tidak mematikan fungsi-
fungsi tersebut.
2) Angka bertahan hidup sama atau relatif lebih tinggi dibandingkan hemodialisis pada
tahun-tahun pertama pengobatan Meskipun pada akhirnya, semua mempunyai usia
juga, tetapi diketahui bahwa pada tahun-tahun pertama penggunaan dialisis
peritoneal menyatakan angka bertahan hidup bisa sama atau relatif lebih tinggi.
3) Harganya lebih murah pada kebanyakan negara karena biaya untuk tenaga/fasilitas
kesehatan lebih rendah (Tapan, 2004).
Keuntungan tambahan yang lain yaitu:
Biaya Sekali cuci darah Rp. 500 ribu-1 juta, Satu kantong dialisat (cairan
seminggu bisa 2-3 kali. Total biaya per pencuci darah) Rp. 40 ribu
bulannya akan mencapai akan mencapai sehari penggantian dialisat.
Rp. 4-5 juta Biaya per bulannya
mencapai Rp. 5,5 juta.
Resiko Fungsi ginjal dan jantung dapat menurun Fungsi ginjal, jantung, dan
komplikasi karena dipaksa bekerja lebih keras darah relatif aman karena
selama proses pencucian darah. Dengan tidak terganggu. Kadar Hb
pengeluaran darah, darah tidak cukup relativ lebih tinggi
aman dari resiko kontaminasi. Butuh dibandingkan dengan
terapi hormon eritropoetin untuk hemodialis, sehingga
mengimbangi penurunan kadar Hb dibutuhkan lebih sedikit
eritroprotein. Namun, CAPD
rawan infeksi sehingga
pasien perlu dilatih untuk
menjaga kebersihan
badannya
11. Penyulit-penyulit selama CAPD
a. Cairan yang tidak kembali
1) Pada permulaan: adalah biasa untuk pengembalian kurang dari 1 liter penggantian
pertama terutama bila kateter tidak diletakkan rendah dalam pelvis juga, bila
penderita dehidrasi 2,3 atau 4 liter cairan dapat terambil dan tidak pernah kembali.
Sehubungan dengan itu bila liter pertama tidak kembali, liter selanjutnya dialirkan
dan kemudian yang liter ke tiga diberikan untuk melihat tanda-tanda pembesaran
dan rasa tidak enak di perut. Bila liter ke tiga tidak kembali dan terdapat dalam
abdomen maka kateter atau posisi kateter harus diganti. Bila kateter pada awalnya
salah meletakkan antara lapisan dinding perut, cairan akan mengalir masuk tetapi
biasanya tidak ada pengeluaran. Hal ini dapat diketahui dengan: 1. Kesulitan dalam
memajukan keteter, 2. Sakit pada waktu memperdalam kateter, 3. Sakit menyebar
yang hebat pada waktu mengalirkan cairan masuk, 4. Sakit kencang di perut, 5. Bila
katerter ditarik tampak terputar keras atau melengking ke sudut kanan. Kateter
paling baik dimasukkan kembali pada tempat lain yang bukan tempat pertama
karena peritoneum terkoyak dari dinding perut pada tempat tersebut
2) Kemudian pada dialysis, cairan yang tidak kembali dapat karena perubahan posisi
pendewrita atau barangkali menunjukkan penggumpalan atau penyumbatan kateter.
Hal ini harus dipindah perlahan-lahan dan bila perlu diganti. Hal ini dapat sering
dilakukan pada seluruh lubang yang telah dibuat tanpa perlu kesibukan selanjutnya.
Penggumpalan tidak akan terjadi bila digunakan heparin dan jika terjadi lebih sering
disebabkan oleh infeksi.
b. Sakit pada saat pengaliran cairan masuk. Beberapa penderita mengalami lebih dari
rasa tidak enak selama setiap pengaliran masuk, barangkali karena penarikan dari
peletakkan lama. Sakit di awal mungkin disebabkan karena kateter salah letak. Bila
larutan tidak hangat, kolik dapat terjadi. Bila rasa sakit ada setiap kali cairan ke dalam,
hal ini biasanya dapat dihilangkan dengan petidin. Beberapa penderita mengalami
sakit hanya dengan larutan glukosa pekat (6,36 g/100ml). Perkembangan rasa sakit
dapat diindikasikan terjadinya penimbunan cairan yang berlebihan dalam perut atau
terjadi peritonitis.
c. Kebocoran di sekitar tempat masuk kateter dalah sering, pada dialysis yang
diperpanjang. Perubahan kecil pada posisi atau sudut tempat masuk kateter sering
mengakibatkan kebocoran seluruhnya. Jahitan kulit pada lubang masuk dapat
membantu. Hal ini harus dilaporkan dan ditangani segera.
d. Cairan keruh dengan atau tanpa sakit atau demam bias berarti peritonitis. Setelah
pengambilan specimen untuk pewarnaan dan biakan gram, dokter dapat menambah
antibiotic spektrum luas pada dialisat.
e. Darah dalam dialisat, sejumlah kecil sering terdapat pada awalnya, perdarahan
kemudian kadang-kadang terjadi. Untuk mengentikannya dengan menambah heparin
dan melanjutkan dialysis. Perdarahan hebat sangat jarang.
a) Peritonitis
Komplikasi yang bisa terjadi pada pelaksanaan Dialisa Peritonial Ambulatory
Continous adalah radang selaput rongga perut atau peritonitis. Gejala yang muncul
seperti cairan menjadi keruh dan atau nyeri perut dan atau demam. Peritonitis
merupakan komplikasi yang paling sering dijumpai dan paling serius. Komplikasi ini
terjadi pada 60% hingga 80% pasien yang menjalani dialysis peritoneal. Sebagian
besar kejadian peritonitis disebabkan oleh kontaminasi staphylococcus epidermis
yang bersifat aksidental. Kejadian ini mengakibatkan gejala ringan dan prognosisnya
baik. Meskipun demikian, peritonitis akibat staphylococcus aureus menghasilkan
angka morbiditas yang lebih tinggi, mempunyai prognosis yang lebih serius dan
berjalan lebih lama. Mikroorganisme gram negative dapat berasal dari dalam usus,
khususnya bila terdapat lebih dari satu macam mikroorganisme dalam cairan
peritoneal dan bila mikroorganisme tersebut bersifat anaerob. Manifestasi peritonitis
mencakup cairan drainase (effluent) dialisat yang keruh dan nyeri abdomen yang
difus. Hipotensi dan tanda-tanda syok lainnya dapat terjadi jika staphylococcus
merupakan mikroorganisme penyebab peritonitis. Pemeriksaan cairan drainase
dilakukan untuk penghitungan jumlah sel, pewarnaan gram, dan pemeriksaan kultur
untuk mengenali mikroorganisme serta mengarahkan terapi. Untuk mencegah
komplikasi seperti ini, sangatlah penting penderita selalu:
b) Kebocoran
Kebocoran cairan dialisat melalui luka insisi atau luka pada pemasangan kateter dapat
segera diketahui sesudah kateter dipasang. Biasanya kebocoran tersebut berhenti
spontan jika terapi dialysis ditunda selama beberapa ahri untuk menyembuhkan luka
insisi dan tempat keluarnya kateter. Selama periode ini, factor-faktor yang dapat
memperlambat proses kesembuhan seperti aktivitas abdomen yang tidak semestinya
atau mengejan pada saat BAB harus dikurangi. Kebocoran melalui tempat
pemasangan kateter atau ke dalam dinding abdomen dapat terjadi spontan beberapa
bulan atau tahun setelah pemasangan kateter tersebut.
c) Perdarahan
Cairan drainase (effluent) dialisat yang mengandung darah kadang-kadang dapat
terlihat, khususnya pada pasien wanita yang sedang haid. Kejadian ini sering dijumpai
selama beberapa kali pertukaran pertama mengingat sebagian darah akibat prosedur
tersebut tetap berada dalam rongga abdomen pada banyak kasus penyebab terjadinya
perdarahan tidak ditemukan. Pergeseran kateter dari pelvis kadang-kadang disertai
dengan perdarahan. Sebagian pasien memperlihatkan cairan drainase dialisat yang
berdarah sesudah ia menjalani pemeriksaan enema atau mengalami trauma ringan.
Perdarahan selalu berhenti setelah satu atau dua hari sehingga tidak memerlukan
intervensi yang khusu. Terapi pertukaran yang lebih sering dilakukan selama waktu
ini mungkin diperlukan untuk mencegah obstruksi kateter oleh bekuan darah.
d) Hernia abdomen
Hernia abdomen mungkin terjadi akibat peningkatan tekanan intraabdomen yang terus
menerus. Tipe hernia yang pernah terjadi adalah tipe insisional, inguinal, diafragmatik
dan umbilical. Tekanan intraabdomen yang secara persisten meningkat juga akan
memperburuk gejala hernia hiatus dan hemoroid.
e) Hipertrigliseridemia
Hipertrigliseridemia sering dijumpai pada pasien-pasien yang menjalani CAPD
sehingga timbul kesan bahwa terapi ini mempermudah aterogenesis.
1. Analisis Kasus
Tn. W dengan usia 45 tahun, pekerjaan sebagai wiraswasta pendidikan terakhir PT, riwayat
penyakitnya yaitu DM tipe 1 semenjak usia 20 tahun yang lalu, dan didiagnosis nefropati
dengan diabetes semenjak 10 tahun yang lalu. Menggunakan terapi obat anti hypertensi
dan untuk diabet juga mendapat insulin. Penyakit Tn. W akhir-akhir ini sudah mencapai
End Stage Renal Disease (ESRD). Tn. W memasuki unit nefrologi untuk hemodialysis
untuk meredakan gejala uremik, dan direncanakan untuk pemasangan CAPD. Keinginan
Tn. W walaupun sakit untuk tetap bisa bekerja, sehingga dia memilih menggunakan
CAPD.
Setelah dilakukan pemeriksaan oleh Tn W mengatakan kurang nafsu makan, mual, muntah
dan kelelahan sebulan yang lalu. Untuk BB nya tetap stabil, sehingga Tn. Wtidak khawatir
walau tidak makan. Penilaian fisik meliputi: S 36,5° C, N 96 x/m, RR 20 x/m, dan TD
178/100. Kulit dingin dan kering, nafas berbau. Terdapat crakles dalam basis paru
bilateral. S3 galop di apek jantung, edema diektermitas atas dan bawah. Abdominal normal
dengan hypoaktif bising usus.hasil lab urin CBC: RBC 2,9 mill / mm3; hemoglobin 9,4 g
/ dL; hematokrit 28%. Kelainan kimia darah meliputi BUN 198 mg / dL; kreatinin 18,5
mg / dL; natrium 125 mEq / L; kalium 5,7 mEq / L; kalsium 7,1 mg / dL; fosfat 6,8 mg /
dL. peritoneal kateter akan dipasang dalam 2 hari kedepan.
http://wps.prenhall.com/wps/media/objects/737/755395/end_stage_renal_disease.pdf
2. Nursing theory
Meningkatnya prevalensi penyakit kronis, khususnya penyakit ginjal, perlu membuat
untuk adopsi pendekatan baru terhadap manajemen mereka (Sarian, Brault, & Perreault,
2012). Perawat menyediakan informasi saja tidak cukup ketika merawat orang dengan
penyakit kronis yang kompleks. Merawat pasien dengan dialysis dirasa penting untuk
memberikan intervensi keperawatan dengan pendekatan self care (Costantini, Beanlands,
& Horsburgh, 2011). Karena pasien dan keluarga mereka sering diharapkan untuk
mengelola rejimen pengobatan yang kompleks di rumah, salah satu pendekatan yang
disarankan adalah menempatkan penekanan pada Self care. Dalam kasus dialisis
peritoneal, pasien mengelola lebih dari 90% dari perawatan mereka, dan kelangsungan
hidup mereka tergantung pada mereka melakukan prosedur dialisis mereka, mengambil
obat mereka, mengikuti pembatasan diet dan cairan. Pasien yang mampu mengelola sendiri
gejala mereka mempertahankan tingkat optimal kesehatan. Namun, kemampuan untuk
mengelola sendiri bervariasi antara individu. Oleh karena itu, ada kebutuhan untuk
mengidentifikasi dan mendukung pasien yang terbatas dalam kapasitas mereka untuk
management diri (Sarian et al., 2012). Maka dari itu, pentingnya pendekatan perawat
dalam managemen self care pasien dengan pertonial dialysis.
Menurut Orem (2001), seorang individu belajar untuk mampu merawat dirinya
sendiri sehingga individu tersebut dapat memenuhi kebutuhan hidupnya,
pemeliharaan kesehatan, serta kesejahteraan. Teori ini sering dikenal dengan teori
Self Care. Selain itu, terdapat empat pilar dasar dalam paradigma keperawatan
meliputi manusia, sehat-sakit, lingkungan, dan keperawatan.
Self care merupakan gambaran aktivitas seseorang yang dilakukan secara mandiri
untuk memelihara hidup, sehat dan kesejahteraanya. Menurt Orem (2001), self
care merupakan fungsi pengaturan pada seorang individu dimana ia harus
melakukan apa dan akan dilakukan apa untuk mempertahankan hidupnya,
mempertahankan fungsi fisiologis, psikologis, serta tumbuh kembang melalui
keadaan yang normal dan sangat penting bagi hidup serta integritas fungsionalnya.
Menurut George (1995), pemahaman teori self care adalah dasar terpenting dalam
memahami konsep self care, self care agency, basic, conditioning factor, dan
therapeutic self care demand.
Self care agency merupakan kondisi dimana individu dapat melakukan self care
Conditioning factor seperti usia, jenis kelamin, tahap perkembangan, status
kesehatan, orientasi sosial kultural, sistem pelayanan kesehatan, sistem keluarga,
gaya hidup, lingkungan, dan tersedianya sumber daya akan mempengaruhi
kemampuan individu dalam merawat dirinya sendiri.
Sementara itu, therapeutic self care demand adalah kemampuan untuk memilih
dan menentukan tindakan self care yang spesifik untuk memenuhi kebutuhan
individu. Therapeutic self care dikatakan berhasil bila tindakan yang dipilih sudah
terapeutik. Selanjutnya, tujuan akhir dari self care adalah tercapainya kesehatandan kese
jahteraan hidup seorang individu berupa therapeutic self care demanddimana setiap ind
ividu sangat spesifik dan dipengaruhi oleh tempat, waktu, dan situasi.
Adapun teori yang terintegrasi dalam teori self care yaitu self care requisites,
dimana Orem membaginya dalam 3 bagian, yaitu universal self care requisites,develop
ment self care requisites, dan health deviation self care requisites.
Universal self care requisites meliputi : a) mempertahankann oksigen, air danmakanan
,b) eliminasi dan pengeluaran sisa metabolisme, c) keseimbangan
solitude dan interaksi sosial, d) pencegahan resiko, e) peningkatan fungsi individu
danpengembangan diri dalam kelompok sosial, f) peningkatan dan
pengembangan diri individu dalam kelompok.
Terdapat tiga tahap proses keperawatan yang dikemukakan oleh Orem (1991),
yaitu tahap pertama berupa diagnosis and prescription, tahap kedua adalah
nursing system design, dan tahap ketiga adalah nursing system management.
Berikut ini diuraikan tahapan proses keperawatan yang dirumuskan Orem :
Tahap ini merupakan pengkajian dan sebagai langkah awal dari proses
keperawatan. Pada tahap ini, diperoleh data tentang adanya gangguan status
kesehatan pasien. Menurut Orem, yang termasuk dalam pengkajian meliputi :
1. Basic Conditioning Factor, terdiri dari nama, umur, jenis kelamin, tahap
perkembangan, status kesehatan, sistem pelayanan kesehatan, orientasi sosial
budaya, pola hidup, lingkungan tempat tinggal, dan ketersediaan sumber daya.
2. Self care requisites, berupa data yang muncul oleh karena keterbatasan diri,
meliputi :
a. Universal self care, yaitu : pemenuhan kebutuhan terhadap oksigen, cairan,
nutrisi, eliminasi, aktivitas dan istirahat, keseimbangan diri dan interaksi
sosial, pencegahan bahaya, serta peningkatan fungsi perkembangan.
b. Development self care requisites, berupa data tentang proses perkembangan
dan maturitas individu ke arah fungsi optimal, yang terdiri dari
pengembangan lingkungan dan pencegahan terhadap keadaan yang
mengancam perkembangan.
c. Health deviation self care requisites, meliputi pengkajian terhadap adanya
gangguan kondisi kesehatan antara lain luka, penyakit, penerimaan individu
terhadap kondisi kesehatannya dan penanganan terhadap perbaikan kondisi.
Pada bagian ini, data yang perlu dikaji berupa kepatuhan terhadap tindakan,
kesadaran terhadap masalah akibat pengobatan, modifikasi terhadap
gambaran diri, serta penyesuaian pola hidup akibat perubahan kondis
kesehatannya saat ini.
d. Medical problem and plan, berupa kondisi perspektif tenaga kesehatan
seperti diagnosa medis dan pengobatan yang diberikan.
Diagnostic Operation
Orem (2001) menjelaskan bahwa diagnosa keperawatan termasuk pada tahap
awal, dimana pengkajian dan proses analisis data dibuat untuk menentukan
keputusan terhadap masalah keperawatan yang terjadi. Masalah keperawatan
timbul akibat adanya penyimpangan yang terjadi antara kemampuan dan
ketergantungan individu untuk merawat dirinya sendiri.
Menurut Orem, tahap ini adalah tahap akhir pelaksanaan proses keperawatan.
Pada tahap ini, perawat melakukan dan menilai tindakan keperawatan yang telah
diberikan. Pada tahap ini, Orem membagi dalam dua segmen, yaitu implementasi
(regularly operation) dan evaluasi (control operation).
Orem berpendapat bahwa pada segmen implementasi (regularly operation) terjadi
asuhan yang bersifat kolaboratif antara perawat dan pasien. Dalam hal ini, perawat
akan memberikan intervensi dengan berbagai metode dalam memberikan
pelayanan keperawatan yang disesuaikan dengan tingkat ketergantungan pasien
untuk memenuhi self care-nya.
Penelitian yang dilakukan (Sarian et al., 2012) Dukungan manajemen diri, merupakan
elemen penting dari Model Perawatan kronis, dianggap pendekatan terbaik untuk
memandu intervensi karena perubahan menimbulkan melalui pendekatan ini memiliki
potensi untuk menjadi mandiri. Misalnya, mengajarkan pasien untuk mengelola sendiri
satu masalah membentuk dasar mengajar untuk bagaimana mengelola sendiri masalah
kedua atau ketiga. Hal ini diketahui bahwa memberikan dukungan berkelanjutan untuk
pasien adalah penting (Warmington & Baxter, 1996). Oleh karena itu, intervensi ini hanya
harus dilihat sebagai awal untuk memberikan dukungan manajemen diri, dan bukan
sebagai tujuan itu sendiri. Sebagai permulaan, proyek ini adalah salah satu yang baik untuk
alasan berikut: (a) sesi pendidikan terbukti bermanfaat bagi pasien baik dari segi
penyerapan pengetahuan dan perubahan perilaku, (b) tim kesehatan seluruh terlibat dalam
proyek (memberikan dukungan informasi, instrumental, atau keuangan), dan (c) instituti
pada sumber daya yang luas dikerahkan untuk menghasilkan bahan pendidikan pasien.
Sementara dukungan manajemen diri sering dianjurkan oleh nefrologi perawat (Alt &
Schatell, 2008) sebagai pendekatan yang valid untuk perawatan pasien, intervensi sukses
ini mengambil langkah kecil menuju membuktikan mereka benar.
DAFTAR PUSTAKA
Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. (2013). Nursing
Interventions Clasification (NIC) (6th ed.). USA: Elsevier Inc.
Choi, J. Y., Jang, H. M., Park, J., Kim, Y. S., Kang, S. W., Yang, C. W., … Lee, C. S. (2013).
Survival advantage of peritoneal dialysis relative to hemodialysis in the early period of
incident dialysis patients: A nationwide prospective propensity-matched study in Korea.
PLoS ONE, 8(12). doi:10.1371/journal.pone.0084257
Costantini, L., Beanlands, H., & Horsburgh, M. E. (2011). Development of the Self-Care for
Adults on Dialysis Tool (SCAD). CANNT Journal = Journal ACITN, 21(2), 38–43.
Fourtounas, C., Hardalias, A., Dousdampanis, P., Savidaki, E., & Vlachojannis, J. G. (2009).
Intermittent peritoneal dialysis (IPD): An old but still effective modality for severely
disabled ESRD patients. Nephrology Dialysis Transplantation, 24(10), 3215–3218.
doi:10.1093/ndt/gfp244
Griva, K., Kang, a W., Yu, Z. L., Mooppil, N. K., Foo, M., Chan, C. M., & Newman, S. P.
(2014). Quality of life and emotional distress between patients on peritoneal dialysis
versus community-based hemodialysis. Quality of Life Research : An International
Journal of Quality of Life Aspects of Treatment, Care and Rehabilitation, 23(1), 57–66.
doi:10.1007/s11136-013-0431-8
Heaf, J. G., & Wehberg, S. (2014). Relative survival of peritoneal dialysis and haemodialysis
patients: Effect of cohort and mode of dialysis initiation. PLoS ONE, 9(3).
doi:10.1371/journal.pone.0090119
Khanna, R., & Krediet, R. T. (2009). Nolph and Gokal’s Textbook of Peritoneal Dialysis
(Third edit.). New York: Springer ScienceþBusiness Media.
MENKES RI. Penyelenggaraan Pelayanan Dialisis Pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Pub.
L. No. 812/MENKES/PER/VII/2010 (2010). Indonesia.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2013). Nursing Outcomes
Classification (NOC) (5th ed.). USA: Elsevier Inc.
Sarian, M., Brault, D., & Perreault, N. (2012). Self-management support for peritoneal
dialysis patients. CANNT Journal = Journal ACITN, 22(3), 18–24. Retrieved from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23167046
Smeltzer, S. C., Hinkle, J. L., Bare, B. G., & Cheever, K. H. (2010). Brunner & Suddarth’s
textbook of medical-surgical nursing (12th ed.). Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins.
Timby, B. K., & Smith, N. E. (2010). Introductory Medical Surgical Nursing (10th ed.).
2010: Lippincott Williams & Wilkins.