Anda di halaman 1dari 34

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN TERAPI PENGGANTI

GINJAL; Peritoneal Dialysis (PD)

OLEH:

Setiyo Adi Nugroho. Ns., M. Kep.

FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS NURUL JADID
2021
BAB 1

Pendahuluan

1. Latar Belakang
Penggunaan terapi pengganti ginjal menjadi perlu ketika ginjal tidak bisa lagi
menghilangkan kotoran, mempertahankan elektrolit, dan mengatur keseimbangan cairan.
Hal ini dapat terjadi dengan cepat atau selama periode waktu yang panjang dan kebutuhan
untuk terapi pengganti ginjal dapat akut (jangka pendek) atau (jangka panjang) kronis.
Terapi pengganti ginjal yang utama termasuk berbagai jenis dialisis dan transplantasi
ginjal. Jenis dialisis termasuk hemodialisis, CRRT, dan PD (Smeltzer, Hinkle, Bare, &
Cheever, 2010).

Dialysis adalah prosedur untuk membersihkan dan menyaring darah. hal ini merupakan
pengganti fungsi ginjal, bila ginjal tidak dapat membuang limbah produk dari nitrogen,
dan tidak menjaga cairan secara adekuat, elektrolit dan kesimbangan asam dan basa.
Selama dialisis, darah klien disaring melalui proses difusi dan osmosis. Zat yang seperti
air, urea, kreatinin, dan yang berbahaya kalium tingkat tinggi berpindah dari darah melalui
membran semipermeabel ke dialisat, solusi yang digunakan selama dialisis yang memiliki
komposisi yang mirip dengan plasma manusia normal. Dialisis dilakukan oleh
hemodialisis dan dialisis peritoneal. Teknik dapat dilakukan di rumah atau di pusat dialisis.
Setiap jenis memiliki kelebihan dan kekurangan (Timby & Smith, 2010).

Setiap tahun penguna dialysis mengalami penigkatan. tahun 2011, di Amerika Serikat
lebih dari 395.000 pasien diobati dengan hemodialysis (CDC, 2012). Sedangkan di
Indonesia sendiri dilaporkan sejak tahun 2007-2012 pasien di unit renal mengalami
peningkatan dratis, tahun 2012 pasien baru berjumlah 19.621 pasien dan yang masih aktif
9161 pasien. Kalau kita bandingkan dengan kesedian alat hemodialisa (HD) terasa kurang
memadai, yaitu mesin HD di Indonesia hanya 2242 unit. Penanganan pengganti ginjal
terbanyak adalah HD 78%, transplantasi ginjal 16 %, CRRT 3%, dan CAPD 3 %.
Penyebab HD terbesar yaitu End State Renal Desease (ESRD) (83%) 13.213 pasien
(PERNEFRI, 2012).
Jumlah pasien yang memerlukan HD dengan kesedian mesin HD di Indonesia membuat
CAPD menjadi alternative terapi pengganti ginjal yang lebih efektif dan efisien. Banyak
penelitian yang menunjukkan bahwa Peritonial Dialisis (PD) menunjukkan kelangsungan
hidup lebih unggul dibandingkan HD (Choi et al., 2013; Heaf & Wehberg, 2014).
Dipandang berdasarkan kualitas hidup, pasien dengan menggunakan PD lebih baik dari
pada HD (Griva et al., 2014). Berdasarkan hal ini kelompok tertarik untuk membahas
asuhan keperawatan pada penderita yang menggunakan terapi pengganti ginjal dengan
Peritoneal Dialysis (CAPD).
2. Tujuan
a. Memahami konsep teori terapi pengganti ginjal dengan Peritoneal Dialysis (PD).
b. Memahami asuhan keperawatan pada pasien yang menggunakan terapi pengganti
ginjal dengan Peritoneal Dialysis (PD).
BAB 2

KONSEP TEORI

Peritoneal Dialysis (PD)

1. Sejarah CAPD
Pengembangan dialisis peritoneal merupakan suatu perjalanan intelektual, ilmiah, dan
medis yang menarik. Tabel 1.2 menggambarkan momen paling penting dalam sejarah
dialisis peritoneal, dan ilmuwan paling penting yang membuat perkembangan
pengobatan menyelamatkan nyawa ini yang mungkin dan berlaku untuk pasien yang
menderita penyakit ginjal berat. Dalam beberapa tahun terakhir, telah ada kecenderungan
untuk penurunan pemanfaatan dialisis peritoneal, sebuah tren yang lebih dinyatakan di
Amerika Serikat dan Kanada. Sebagai dialisis peritoneal modalitas, APD menjadi satu
pilihan, dengan sebagian besar pasien dialisis peritoneal baru memilih untuk terapi
Cycler. Pada akhir tahun 2004, ada 1.371.000 pasien dialisis di seluruh dunia dan 11%
dari mereka berada di dialisis peritoneal. Tiga puluh persen dari 149.000 pasien dialisis
peritoneal global dan 60% dari pasien AS pada APD.

Penurunan pemanfaatan dialisis peritoneal dianggap multifaktorial, tetapi tidak ada


keraguan bagi mereka yang menggunakannya bahwa tetap menjadi alat yang sangat
penting dalam program penggantian ginjal terpadu. Kelangsungan hidup pasien di
dialisis peritoneal tampaknya lebih baik pada 2 tahun pertama pengobatan daripada
dengan hemodialisis dan kelangsungan hidup teknik pada 5 tahun adalah sekitar 50-70%.
Dialisis peritoneal tidak bisa lagi dilihat sebagai pengobatan kelas dua dan dengan
perbaikan lebih lanjut teknologi dalam cyclers dan baru, biokompatibel solusi dialisis
peritoneal, dan kemampuan untuk memberikan dialisis yang memadai dalam hal zat
terlarut dan penghapusan cairan, ada harapan bahwa dialisis peritoneal akan terus
berkembang (Khanna & Krediet, 2009).

2. Definisi
Dialisis adalah proses pengeluaran sisa-sisa metabolism dan kelebihan cairan dari darah
melalui membram semipermiabel, dan pertitonium merupakan selaput yang berfungsi
sebagai membrane semipermiabel dapat juga berperan dalam proses dialysis (Rachmadi,
2009). Menkes RI mendefinisikan peritoneal dialysis salah satu terapi pengganti fungsi
ginjal yang mempergunakan peritoneum pasien yang bersangkutan sebagai membrane
semipermeable antara lain Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) dan
Ambulatory Peritoneal Dialysis (APD) (MENKES RI, 2010).

Peritoneal dialysis menggunakan peritoneum, selaput semipermeable lapisan perut,


untuk menyaring cairan, limbah, dan bahan kimia. Dialisat yang komposisinya sama
dengan plasma normal tetapi dibuat hipertonik oleh dekstrosa. Konsentrasi yang lebih
tinggi dari dekstrosa meningkatkan efek osmotik, sehingga meningkatkan jumlah air
yang dikeluarkan dari aliran darah klien. Dialisat yang ditanamkan dan dikuras dari
rongga perut melalui kateter. Zat atau zat terlarut melewati dari pembuluh darah kecil di
membran peritoneal ke dalam dialisat dengan cara difusi, karena dialisat menjadi daerah
konsentrasi rendah menggambar dari daerah konsentrasi tinggi. Kateter, yang memiliki
banyak perforasi, dijahit pada tempatnya dan dressing yang diterapkan (Timby & Smith,
2010).

3. Epidemiologi
Pada satu waktu di Inggris, 400-800 orang per juta penduduk membutuhkan pengganti
ginjal berupa dialisis. Prevalensi dialisis di Inggris sangat bergantung usia untuk orang
dewasa berusia 70-80 tahun itu adalah antara 1600 dan 2000 orang per juta. Dialisis
diperlukan untuk mempertahankan hidup bagi pasien dengan penyakit ginjal kronis
(CKD). Untuk sekitar 40% dari orang dewasa di dialisis transplantasi ginjal adalah terapi
pilihan; Persentase ini lebih tinggi pada anak-anak. Jika pasien tidak perlu transplantasi
ginjal, dialisis diperlukan untuk sisa hidup pasien (NICE, 2011).
Tahun 2011, di Amerika Serikat lebih dari 395.000 pasien diobati dengan hemodialysis
(CDC, 2012). Sedangkan di Indonesia sendiri dilaporkan sejak tahun 2007-2012 pasien
di unit renal mengalami peningkatan dratis, tahun 2012 pasien baru berjumlah 19.621
pasien dan yang masih aktif 9161 pasien. Kalau kita bandingkan dengan kesedian alat
hemodialisa (HD) terasa kurang memadai, yaitu mesin HD di Indonesia hanya 2242 unit.
Penanganan pengganti ginjal terbanyak adalah HD 78%, transplantasi ginjal 16 %, CRRT
3%, dan CAPD 3 %. Penyebab HD terbesar yaitu End State Renal Desease (ESRD)
(83%) 13.213 pasien (PERNEFRI, 2012)

4. Klasifikasi
Ada tiga jenis peritoneal dialisis : (1) continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD),
(2) continuous cyclic peritoneal dialysis (CCPD), and (3) intermittent peritoneal dialysis
(IPD), sering juga disebut nocturnal intermittent peritoneal dialysis (NIPD) (Timby &
Smith, 2010).
1. Continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD)
CAPD adalah bentuk paling umum kedua dari dialisis untuk pasien dengan ESRD
(USRDS, 2007 dalam Smeltzer et al., 2010). CAPD dilakukan di rumah oleh pasien
atau pengasuh yang terlatih biasanya anggota keluarga. Prosedur ini memungkinkan
kebebasan yang wajar bagi pasien dan mengontrol kegiatan sehari-hari, tetapi
membutuhkan komitmen yang serius untuk berhasil. CAPD bekerja pada prinsip
yang sama seperti bentuk lain dari PD: difusi dan osmosis. Pasien melakukan
pertukaran empat atau lima kali sehari, 24 jam sehari, 7 hari seminggu, pada interval
dijadwalkan sepanjang hari (Smeltzer et al., 2010).
2. Continuous cyclic peritoneal dialysis (CCPD)
CCPD menggunakan mesin yang disebut Cycler untuk memberikan pertukaran. Hal
ini diprogram untuk berapa banyak cairan untuk digunakan dan seberapa lama dan
berapa banyak pertukaran yang perlu dilakukan. Karena itu diprogram, juga melacak
dari total jumlah dihapus dan akan membunyikan alarm jika batas tidak terpenuhi.
Hal ini membutuhkan bahwa seseorang mengatur dan memecah sistem untuk
digunakan, yang biasanya memakan waktu sekitar 15 menit. CCPD
mengkombinasikan PD intermiten dalam semalam dengan waktu tinggal lama di
siang hari. Kateter peritoneal terhubung ke mesin Cycler setiap malam, biasanya
hanya sebelum pasien pergi tidur untuk malam. Karena mesin ini sangat tenang,
pasien dapat tidur, dan tabung extralong memungkinkan pasien untuk bergerak dan
mengubah normal saat tidur (Smeltzer et al., 2010).

CCPD memiliki tingkat infeksi yang lebih rendah daripada bentuk-bentuk lain dari
PD karena ada sedikit kesempatan untuk kontaminasi dengan perubahan bag dan
pemutusan pipa. Hal ini juga memungkinkan pasien untuk bebas dari pertukaran
sepanjang hari, sehingga memungkinkan untuk terlibat dalam pekerjaan dan aktivitas
sehari-hari lebih bebas (Smeltzer et al., 2010).

3. Intermittent peritoneal dialysis (IPD)


Pengobatan untuk IPD dilakukan dengan jenis yang sama dari mesin seperti yang
digunakan untuk CCPD; Namun, proses tersebut terjadi secara periodik, barangkali
pada beberapa hari antara perawatan dialisis. Ketika IPD dilakukan, sesi bisa
berlangsung 24 jam. Total waktu yang dihabiskan di IPD adalah antara 36 dan 42 jam
per minggu (Timby & Smith, 2010). Menurut penelitian IPD tetap menjadi pilihan
yang berharga dan efektif dengan tingkat kelangsungan hidup yang dapat diterima,
untuk populasi khusus pasien ESRD (Fourtounas, Hardalias, Dousdampanis,
Savidaki, & Vlachojannis, 2009).

Di Indonesia sendiri, ada dua pilihan untuk menjalani terapi pengganti ginjal, yaitu
hemodialisis (HD) dan dialisis peritoneal (DP). Namun kendala pada program DP di
Indonesia seperti (1) biaya DP per bulan masih lebih mahal daripada HD dan (2) sanitasi
lingkungan dan tingkat pendidikan untuk sebagian besar pasien merupakan faktor yang
tidak menunjang program ini, membuat HD sebagai program pilihan terapi pengganti
ginjal utama. Pasien hemodialisis mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah karena
kebanyakan dari pasien hemodialisis adalah pasien produktif yang berusia antara 20-60
tahun. Dengan adanya penurunan pada fungsi ginjal, atau bahkan mengalami kegagalan,
tidak hanya kualitas hidup menurun, pengobatan seumur hidup juga memakan biaya yang
tidak sedikit. Penurunan dari kualitas hidup ini dapat mengakibatkan penurunan devisa
Negara.

5. Tujuan PD
Tujuan terapi PD ini adalah untuk mengeluarkan zat-zat toksik serta limbah metabolic,
mengembalikan keseimbangan cairan yang normal dengan mengeluarkan cairan yang
berlebihan dan memulihkan keseimbangan elektrolit

6. Indikasi

 Pasien yang rentan terhadap perubahan cairan, elektrolit dan metabolic yang cepat
(hemodinamik yang tidak stabil)
 Penyakit ginjal stadium terminal yang terjadi akibat penyakit diabetes
 Pasien yang berisiko mengalami efek samping pemberian heparin secara sistemik
 Pasien dengan akses vascular yang jelek (lansia)
 Adanya penyakit kardiovaskuler yang berat
 Hipertensi berat, gagal jantung kongestif dan edema pulmonary yang tidak responsive
terhadap terapi dapat juga diatasi dengan dialysis peritoneal.
7. Kontraindikasi CAPD

 Riwayat pembedahan abdominal sebelumnya (kolostomi, ileus, nefrostomi)


 Adhesi abdominal
 Nyeri punggung kronis yang terjadi rekuren disertai riwayat kelainan pada discus
intervertebalis yang dapat diperburuk dengan adanya tekanan cairan dialisis dalam
abdomen yang kontinyu
 Pasien dengan imunosupresi
8. Cara Kerja CAPD
a. Pemasangan Kateter untuk Dialisis Peritoneal
Sebelum melakukan Dialisis peritoneal, perlu dibuat akses sebagai tempat keluar
masuknya cairan dialisat (cairan khusus untuk dialisis) dari dan ke dalam rongga perut
(peritoneum). Akses ini berupa kateter yang “ditanam” di dalam rongga perut dengan
pembedahan. Posisi kateter yaitu sedikit di bawah pusar. Lokasi dimana sebagian
kateter muncul dari dalam perut disebut “exit site”.

Sebelum pemasangan kateter peritoneal, dokter mencuci dan mendesinfeksi abdomen.


Anastesi lokal diberikan di daerah tengah abdomen sekitar 5 cm di bawah umbilicus.
Dokter membuat insisi kecil dan kateter multinilon dimasukkan ke dalam rongga
peritoneum. Kemudian, daerah tersebut ditutup dengan balutan.

b. Proses pemasangan:
Mula-mula, alat perangkat harus disiapkan. Ini terdiri dari alat baxter “dineal”R61L”
yang besar dengan tetes rangkap dimana diikatkan dua kantong cairan dialysis 1 L.
Dari pipa umum, alat tetes rangkap ada suatu pipa tambahan yang menuju ke
belakang, ini untuk meng“syphon off” cairan dari peritoneum. Seluruh pipa harus
terisi dengan cairan yang dipakai. Sebuah kantong pengumpulan steril yang besar
(paling sedikit volume 2 L) diikatkan pada pipa keluar.

Kemudian, anastesi local (lignocain 1-2%) disuntikkan ke linea alba antara pusar atau
umbilicus dan symphisis pubis, biasanya kira-kira 2/3 bagian dari pubis. Bekas luka
pada dinding abdominal harus dihindari dan kateter dapat dimasukkan sebelah lateral
dari selaput otot rectus abdominus. Anastesi local yang diberikan cukup banyak (10-
15 ml) dan yang paling penting untuk meraba peritoneum dan mengetahui bahwa telah
diinfiltrasi, bila penderita gemuk, sebuah jarum panjang (seperti jarum cardiac atau
pungsi lumbal) diperlukan untuk menganastesi peritoneum.
Suatu insisi kecil (sedikit lebih pendek dari garis tengah kanula) dibuat di kulit dengan
pisau nomor 11. Kateter peritoneal kemudian didorong masuk ke ruang peritoneal
dengan gerakan memutar (seperti sekrup). Sewaktu sudah masuk, pisau ditarik 1 inci
dan kateter diarahkan ke pelvis. Kdang-kadang dinding atau selaput peritoneum terasa
sebagai dua lapis yang dapat dibedakan, keduanya harus ditembus sebelum menarik
pisau dan mengarahkan kateter. Pada waktu ini, harus segera dijalankan atau dialirkan
2 L cairan dan diperhatikan reaksi penderita, minimalkan rasa tidak nyaman. Segera
setelah cairan ini masuk, harus di “syphon off” untuk melihat bahwa system tersebut
mengalir lancar, sesuaikan posisi kateter untuk menjamin bahwa aliran cukup baik.
Beberapa inci dari kateter akan menonjol dari abdomen dan ini dapat dirapikan bila
perlu. Namun paling sedikit 1 atau 2 inci harus menonjol dari dinding perut. Hal ini
kemudian dikuatkan ditempat dengan elastoplas. Dengan tiap trokat ada suatu pipa
penyambung yang pendek yang menghubungkan kateter ke alat perangkat.

c. Pemasukan Ciran Dialisat


Dialisis Peritoneal diawali dengan memasukkan cairan dialisat (cairan khusus untuk
dialisis) ke dalam rongga perut melalui selang kateter, lalu dibiarkan selama 4-6 jam.
Ketika dialisat berada di dalam rongga perut, zat-zat racun dari dalam darah akan
dibersihkan dan kelebihan cairan tubuh akan ditarik ke dalam cairan dialisat.

Sekitar 2 L dialisat dihangatkan sesuai dengan suhu tubuh kemudian disambungkan


dengan kateter peritoneal melalui selang.dialisat steril dibiarkan mengalir secepat
mungkin kedalam rongga peritoneum. Dialisat steril 2 L dihabiskan dalam waktu 10
menit. Kemudian klem selang ditutup. Osmosis cairan yang maksimal dan difusi –
solut/butiran ke dalam dialisat mungkin terjadi dalam 20-30 menit. Pada akhir dwell-
time (waktu yang diperlukan dialisat menetap di dalam peritoneum), klem selang
dibuka dan cairan dibiarkan mengalir karena gravitasi dari rongga peritoneum ke luar
(ada kantong khusus). Cairan ini harus mengalir dengan lancar. Waktu drainase (waktu
yang diperlukan untuk mengeluarkan semua dialisat dari rongga peritoneum) adalah
10-15 menit. Drainase yang pertama mungkin berwarna merah muda karena trauma
yang terjadi waktu memasang kateter peritoneal. Pada siklus ke-2 atau ke-3, drainase
sudah jernih dan tidak boleh ada lagi drainase yang bercampur dengan darah. Setelah
cairan dikeluarkan dari rongga peritoneum, siklus yang selanjutnya harus segera
dimulai. Pada pasien yang sudah dipasang kateter peritoneal, sebelum memasukkan
dialisat kulit diberi obat bakterisida. Setelah dialisis selesai, kateter dicuci lagi dan
ujungnya ditutup dengan penutup yang steril.

Zat-zat racun yang terlarut di dalam darah akan pindah ke dalam cairan dialisat melalui
selaput rongga perut (membran peritoneum) yang berfungsi sebagai “alat penyaring”,
proses perpindahan ini disebut Difusi.

Cairan dialisat mengandung dekstrosa (gula) yang memiliki kemampuan untuk menarik
kelebihan air, proses penarikan air ke dalam cairan dialisat ini disebut Ultrafiltrasi.

d. Proses Penggantian Cairan Dialisis


Proses ini tidak menimbulkan rasa sakit dan hanya membutuhkan waktu singkat (± 30
menit). Terdiri dari 3 langkah:

1. Pengeluaran cairan
Cairan dialisat yang sudah mengandung zat-zat racun dan kelebihan air akan
dikeluarkan dari rongga perut dan diganti dengan cairan dialisis yang baru. Proses
pengeluaran cairan ini berlangsung sekitar 20 menit.
2. Memasukkan cairan
2 L cairan dialirkan pada kira-kira setiap 45-60 menit, biasanya hanya memakan
waktu 5 menit untuk mengalirkan. Cairan dialisat dialirkan ke dalam rongga perut
melalui kateter.

3. Waktu tinggal
Sesudah dimasukkan, cairan dialisat dibiarkan ke dalam rongga perut selama 4-6
jam, tergantung dari anjuran dokter. Atau cairan ditinggal dalam ruang peritoneum
untuk kira-kira 20 menit dan kemudian 20 menit dibiarkan untuk pengeluaran.
Setelah itu, 2 L cairan lagi dialirkan. Hal ini diulang tiap jam untuk 36 jam atau lebih
lama bila perlu. Suatu catatan, keseimbangan kumulatif dari cairan yang mengalir
ke dalam dan keluar harus dilakukan dengan dasar tiap 24 jam. Suatu kateter
“Tenchoff” yang fleksibel dapat dipakai juga dapat ditinggal secara permanen untuk
CAPD dari penderita yang mengalami gagal ginjal tahap akhir.

Proses penggantian cairan di atas umumnya diulang setiap 4 atau 6 jam (4 kali
sehari), 7 hari dalam seminggu.

9. Prinsip-prinsip CAPD

CAPD bekerja berdasrkan prinsip-prinsip yang sama seperti pada bentuk dialisis lainnya,
yaitu: difusi dan osmosis. Namun, karena CAPD merupakan terapi dialisis yang
kontinyu, kadar produk limbah nitrogen dalam serum berada dalam keadaan yang stabil.
Nilainya tergantung pada fungsi ginjal yang masih tersisa, volume dialisa setiap hari, dan
kecepatan produk limbah tesebut diproduksi. Fluktuasi hasil-hasil laboritorium ini pada
CAPD tidak bergitu ekstrim jika dibandingkan dengan dialysis peritoneal intermiten
karena proses dialysis berlangsung secara konstan. Kadar eletrilit biasanya tetap berada
dalam kisaran normal.

Semakin lama waktu retensi, kliren molekul yang berukuran sedang semakin baik.
Diperkirakan molekul-molekul ini merupakan toksik uremik yang signifikan. Dengan
CAPD kliren molekul ini meningkat. Substansi dengan berat molekul rendah, seperti
ureum, akan berdifusi lebih cepat dalam proses dialysis daripada molekul berukuran
sedang, meskipun pengeluarannya selama CAPD lebih lambat daripada selama
hemodialisa. Pengeluaran cairan yang berlebihan pada saat dialysis peritonial dicapai
dengan menggunakan larutan dialisat hipertonik yang memiliki konsentrasi glukosa yang
tinggi sehingga tercipta gradient osmotic. Larutan glukosa 1,5%, 2,5% dan 4,25% harus
tersedia dengan bebepara ukuran volume, yaitu mulai dari 500 ml hingga 3000 ml
sehingga memungkinkan pemulihan dialisat yang sesuai dengan toleransi, ukuran tubuh
dan kebutuhan fisiologik pasien. Semakin tinggi konsentrasi glukosa, semakin besar
gradient osmotic dan semakin banyak cairan yang dikeluarkan. Pasien harus diajarkan
cara memilih larutan glukosa yang tepat berdasarkan asupan makanannya.

Pertukaran biasanya dilakukan empat kali sehari. Teknik ini berlangsung secara kontinyu
selama 24 jam sehari, dan dilakukan 7 hari dalam seminggu. Pasien melaksanakan
pertukaran dengan interval yang didistribusikan sepanjang hari (misalnya, pada pukul
08.00 pagi, 12.00 siang hari, 05.00 sore dan 10.00 malam). Dan dapat tidur pada malam
harinya. Setipa pertukaran biasanya memerlukan waktu 30-60 menit atau lebih; lamanya
proses ini tergantung pada lamanya waktu retensi yang ditentukan oleh dokter. Lama
waktu penukaran terdiri atas lima atau 10 menit periode infus (pemasukan cairan
dialisat), 20 menit periode drainase (pengeluaran ciiran dialisat) dan waktu rentensi
selama 10 menit, 30 menit atau lebih.

10. Efektifitas CAPD, Keuntungan serta Kerugian


a) Efektifitas CAPD
Selain bisa dikerjakan sendiri, proses penggantian cairan dengan cara CAPD lebih
hemat waktu dan biaya, tak menimbulkan rasa sakit, dan fungsi ginjal yang masih
tersisa dapat dipertahankan lebih lama (Wurjanto, 2010). Menurut Wurjanto, CAPD
adalah cara penanganan penderita gagal ginjal, yakni dialisis yang dilakukan melalui
rongga peritoneum (rongga perut) di mana yang berfungsi sebagai filter adalah
selaput/membran. Cara kerjanya, diawali dengan memasukkan cairan dialisis ke
dalam rongga perut melalui selang kateter yang telah ditanam dalam rongga perut.
Teknik ini memanfaatkan selaput rongga perut untuk menyaring dan membersihkan
darah. Ketika cairan dialisis berada dalam rongga perut, zat-zat di dalam darah akan
dibersihkan, juga kelebihan air akan ditarik. Cara CAPD antara lain hanya butuh 30
menit, dilakukan di rumah oleh pasien bersangkutan, tidak ada tusukan jarum yang
menyakitkan, fungsi ginjal yang tersisa bisa lebih lama, dialisis dapat dilakukan setiap
saa, dan pasiennya lebih bebas atau dapat bekerja seperti biasa (Wurjanto, 2010).

b) Keuntungan CAPD dibandingkan HD :


Terdapat tiga keuntungan utama dari penggunaan dialisis peritoneal:

1) Bisa mengawetkan fungsi ginjal yang masih tersisa. Seperti diketahui sebenarnya
saat mencapai GGT, fungsi ginjal itu masih tersisa sedikit. Di samping untuk
membersihkan kotoran, fungsi ginjal (keseluruhan) yang penting lainnya adalah
mengeluarkan eritropoetin (zat yang bisa meningkatkan HB) dan pelbagai hormon
seks. Berbeda dengan dialisis yang lain, dialisis peritoneal tidak mematikan fungsi-
fungsi tersebut.
2) Angka bertahan hidup sama atau relatif lebih tinggi dibandingkan hemodialisis pada
tahun-tahun pertama pengobatan Meskipun pada akhirnya, semua mempunyai usia
juga, tetapi diketahui bahwa pada tahun-tahun pertama penggunaan dialisis
peritoneal menyatakan angka bertahan hidup bisa sama atau relatif lebih tinggi.
3) Harganya lebih murah pada kebanyakan negara karena biaya untuk tenaga/fasilitas
kesehatan lebih rendah (Tapan, 2004).
Keuntungan tambahan yang lain yaitu:

1) Dapat dilakukan sendiri di rumah atau tempat kerja


2) Pasien menjadi mandiri (independen), meningkatkan percaya diri
3) Simpel, dapat dilatih dalam periode 1-2 minggu.
4) Jadwal fleksibel, tidak tergantung penjadwalan rumah sakit sebagaimana HD
5) Pembuangan cairan dan racun lebih stabil
6) Diit dan intake cairan sedikit lebih bebas
7) Cocok bagi pasien yang mengalami gangguan jantung
8) Pemeliharaan residual renal function lebih baik pada 2-3 tahun pertama
c) Kelemahan CAPD :
1) Resiko infeksi. Peritonitis merupakan komplikasi yang sering. Juga dapat terjadi
infeksi paru karena goncangan diafragma
2) Pengobatan yang tidak nayman dan penderita sebagian tidak boleh bergerak di
tempat tidur. Kateter harus diganti setiap 4-5 hari
3) Pengeluaran protein dari dialisat, sampai pada 40 gram/24 jam. Baik subnutrisi
(pengeluaran asam amino) maupun hipovolemia (pengeluaran albumin) dapat
terjadi.
4) BB naik karena glukosa, pada cairan CAPD diabsorbsi (Iqbal et al, 2005).

Table 1. Perbandingan hemodialisis dengan dialisis mandiri

Kategori Hemodialisa (HD) Dialisis Mandiri (CAPD)

Segi Harus dilakukan di Rumah Sakit, Dapat dilakukan di


kepraktisan lamanya proses 4-5 jam rumah/tempat kerja,
lamanya proses 30 menit

Biaya Sekali cuci darah Rp. 500 ribu-1 juta, Satu kantong dialisat (cairan
seminggu bisa 2-3 kali. Total biaya per pencuci darah) Rp. 40 ribu
bulannya akan mencapai akan mencapai sehari penggantian dialisat.
Rp. 4-5 juta Biaya per bulannya
mencapai Rp. 5,5 juta.

Pantangan Pantang beragam makanan terutama Tidak perlu diet ketat


yang tinggi protein

Resiko Fungsi ginjal dan jantung dapat menurun Fungsi ginjal, jantung, dan
komplikasi karena dipaksa bekerja lebih keras darah relatif aman karena
selama proses pencucian darah. Dengan tidak terganggu. Kadar Hb
pengeluaran darah, darah tidak cukup relativ lebih tinggi
aman dari resiko kontaminasi. Butuh dibandingkan dengan
terapi hormon eritropoetin untuk hemodialis, sehingga
mengimbangi penurunan kadar Hb dibutuhkan lebih sedikit
eritroprotein. Namun, CAPD
rawan infeksi sehingga
pasien perlu dilatih untuk
menjaga kebersihan
badannya
11. Penyulit-penyulit selama CAPD
a. Cairan yang tidak kembali
1) Pada permulaan: adalah biasa untuk pengembalian kurang dari 1 liter penggantian
pertama terutama bila kateter tidak diletakkan rendah dalam pelvis juga, bila
penderita dehidrasi 2,3 atau 4 liter cairan dapat terambil dan tidak pernah kembali.
Sehubungan dengan itu bila liter pertama tidak kembali, liter selanjutnya dialirkan
dan kemudian yang liter ke tiga diberikan untuk melihat tanda-tanda pembesaran
dan rasa tidak enak di perut. Bila liter ke tiga tidak kembali dan terdapat dalam
abdomen maka kateter atau posisi kateter harus diganti. Bila kateter pada awalnya
salah meletakkan antara lapisan dinding perut, cairan akan mengalir masuk tetapi
biasanya tidak ada pengeluaran. Hal ini dapat diketahui dengan: 1. Kesulitan dalam
memajukan keteter, 2. Sakit pada waktu memperdalam kateter, 3. Sakit menyebar
yang hebat pada waktu mengalirkan cairan masuk, 4. Sakit kencang di perut, 5. Bila
katerter ditarik tampak terputar keras atau melengking ke sudut kanan. Kateter
paling baik dimasukkan kembali pada tempat lain yang bukan tempat pertama
karena peritoneum terkoyak dari dinding perut pada tempat tersebut
2) Kemudian pada dialysis, cairan yang tidak kembali dapat karena perubahan posisi
pendewrita atau barangkali menunjukkan penggumpalan atau penyumbatan kateter.
Hal ini harus dipindah perlahan-lahan dan bila perlu diganti. Hal ini dapat sering
dilakukan pada seluruh lubang yang telah dibuat tanpa perlu kesibukan selanjutnya.
Penggumpalan tidak akan terjadi bila digunakan heparin dan jika terjadi lebih sering
disebabkan oleh infeksi.
b. Sakit pada saat pengaliran cairan masuk. Beberapa penderita mengalami lebih dari
rasa tidak enak selama setiap pengaliran masuk, barangkali karena penarikan dari
peletakkan lama. Sakit di awal mungkin disebabkan karena kateter salah letak. Bila
larutan tidak hangat, kolik dapat terjadi. Bila rasa sakit ada setiap kali cairan ke dalam,
hal ini biasanya dapat dihilangkan dengan petidin. Beberapa penderita mengalami
sakit hanya dengan larutan glukosa pekat (6,36 g/100ml). Perkembangan rasa sakit
dapat diindikasikan terjadinya penimbunan cairan yang berlebihan dalam perut atau
terjadi peritonitis.
c. Kebocoran di sekitar tempat masuk kateter dalah sering, pada dialysis yang
diperpanjang. Perubahan kecil pada posisi atau sudut tempat masuk kateter sering
mengakibatkan kebocoran seluruhnya. Jahitan kulit pada lubang masuk dapat
membantu. Hal ini harus dilaporkan dan ditangani segera.
d. Cairan keruh dengan atau tanpa sakit atau demam bias berarti peritonitis. Setelah
pengambilan specimen untuk pewarnaan dan biakan gram, dokter dapat menambah
antibiotic spektrum luas pada dialisat.
e. Darah dalam dialisat, sejumlah kecil sering terdapat pada awalnya, perdarahan
kemudian kadang-kadang terjadi. Untuk mengentikannya dengan menambah heparin
dan melanjutkan dialysis. Perdarahan hebat sangat jarang.

12. Komplikasi CAPD

a) Peritonitis
Komplikasi yang bisa terjadi pada pelaksanaan Dialisa Peritonial Ambulatory
Continous adalah radang selaput rongga perut atau peritonitis. Gejala yang muncul
seperti cairan menjadi keruh dan atau nyeri perut dan atau demam. Peritonitis
merupakan komplikasi yang paling sering dijumpai dan paling serius. Komplikasi ini
terjadi pada 60% hingga 80% pasien yang menjalani dialysis peritoneal. Sebagian
besar kejadian peritonitis disebabkan oleh kontaminasi staphylococcus epidermis
yang bersifat aksidental. Kejadian ini mengakibatkan gejala ringan dan prognosisnya
baik. Meskipun demikian, peritonitis akibat staphylococcus aureus menghasilkan
angka morbiditas yang lebih tinggi, mempunyai prognosis yang lebih serius dan
berjalan lebih lama. Mikroorganisme gram negative dapat berasal dari dalam usus,
khususnya bila terdapat lebih dari satu macam mikroorganisme dalam cairan
peritoneal dan bila mikroorganisme tersebut bersifat anaerob. Manifestasi peritonitis
mencakup cairan drainase (effluent) dialisat yang keruh dan nyeri abdomen yang
difus. Hipotensi dan tanda-tanda syok lainnya dapat terjadi jika staphylococcus
merupakan mikroorganisme penyebab peritonitis. Pemeriksaan cairan drainase
dilakukan untuk penghitungan jumlah sel, pewarnaan gram, dan pemeriksaan kultur
untuk mengenali mikroorganisme serta mengarahkan terapi. Untuk mencegah
komplikasi seperti ini, sangatlah penting penderita selalu:

1) Membersihkan tangan sebelum melakukan penukaran atau menyentuh kateter.


2) Menjaga lubang keluar kateter itu bersih dan sehat
3) Tidak mengkontaminasi peralatan yang steril (gunakan masker selama proses
penukaran cairan)
4) Carilah tempat yang bersih, nyaman dan aman sebelum melakukan penukaran
cairan dialisat tersebut
5) Jika hendak bepergian, jangan lupa mengontak 3 minggu sebelumnya sentra-
sentra dialisa di kota tujuan
Jika telah terjadi komplikasi seperti ini, biasanya dokter akan menginstruksikan untuk
menambah obat pada cairan pencuci (dialisat) tersebut. Hal ini bisa dilakukan sendiri
oleh pasien.

b) Kebocoran
Kebocoran cairan dialisat melalui luka insisi atau luka pada pemasangan kateter dapat
segera diketahui sesudah kateter dipasang. Biasanya kebocoran tersebut berhenti
spontan jika terapi dialysis ditunda selama beberapa ahri untuk menyembuhkan luka
insisi dan tempat keluarnya kateter. Selama periode ini, factor-faktor yang dapat
memperlambat proses kesembuhan seperti aktivitas abdomen yang tidak semestinya
atau mengejan pada saat BAB harus dikurangi. Kebocoran melalui tempat
pemasangan kateter atau ke dalam dinding abdomen dapat terjadi spontan beberapa
bulan atau tahun setelah pemasangan kateter tersebut.

c) Perdarahan
Cairan drainase (effluent) dialisat yang mengandung darah kadang-kadang dapat
terlihat, khususnya pada pasien wanita yang sedang haid. Kejadian ini sering dijumpai
selama beberapa kali pertukaran pertama mengingat sebagian darah akibat prosedur
tersebut tetap berada dalam rongga abdomen pada banyak kasus penyebab terjadinya
perdarahan tidak ditemukan. Pergeseran kateter dari pelvis kadang-kadang disertai
dengan perdarahan. Sebagian pasien memperlihatkan cairan drainase dialisat yang
berdarah sesudah ia menjalani pemeriksaan enema atau mengalami trauma ringan.
Perdarahan selalu berhenti setelah satu atau dua hari sehingga tidak memerlukan
intervensi yang khusu. Terapi pertukaran yang lebih sering dilakukan selama waktu
ini mungkin diperlukan untuk mencegah obstruksi kateter oleh bekuan darah.

d) Hernia abdomen
Hernia abdomen mungkin terjadi akibat peningkatan tekanan intraabdomen yang terus
menerus. Tipe hernia yang pernah terjadi adalah tipe insisional, inguinal, diafragmatik
dan umbilical. Tekanan intraabdomen yang secara persisten meningkat juga akan
memperburuk gejala hernia hiatus dan hemoroid.
e) Hipertrigliseridemia
Hipertrigliseridemia sering dijumpai pada pasien-pasien yang menjalani CAPD
sehingga timbul kesan bahwa terapi ini mempermudah aterogenesis.

f) Nyeri punggung bawah dan anoreksia


Nyeri punggung bawah dan anoreksia terjadi akibat adanya cairan dalam rongga
abdomen disamping rasa manis yang selalu terasa pada indera pengecap serta
berkaitan dengan absorbsi glukosa dapat pula terjadi pada terapi CAPD

g) Gangguan citra rubuh dan seksualitas


Meskipun CAPD telah memberikan kebebasan yang lenih besar untuk mengontrol
sendiri terapinya kepada pasien penyakit renal stadium terminal, namun bentuk terapi
ini bukan tanpa masalah. Pasien sering mengalami gangguan citra tubuh dengan
adanya kateter abdomen dan kantong penampung serta selang dibadannya
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN

1. Analisis Kasus
Tn. W dengan usia 45 tahun, pekerjaan sebagai wiraswasta pendidikan terakhir PT, riwayat
penyakitnya yaitu DM tipe 1 semenjak usia 20 tahun yang lalu, dan didiagnosis nefropati
dengan diabetes semenjak 10 tahun yang lalu. Menggunakan terapi obat anti hypertensi
dan untuk diabet juga mendapat insulin. Penyakit Tn. W akhir-akhir ini sudah mencapai
End Stage Renal Disease (ESRD). Tn. W memasuki unit nefrologi untuk hemodialysis
untuk meredakan gejala uremik, dan direncanakan untuk pemasangan CAPD. Keinginan
Tn. W walaupun sakit untuk tetap bisa bekerja, sehingga dia memilih menggunakan
CAPD.

Setelah dilakukan pemeriksaan oleh Tn W mengatakan kurang nafsu makan, mual, muntah
dan kelelahan sebulan yang lalu. Untuk BB nya tetap stabil, sehingga Tn. Wtidak khawatir
walau tidak makan. Penilaian fisik meliputi: S 36,5° C, N 96 x/m, RR 20 x/m, dan TD
178/100. Kulit dingin dan kering, nafas berbau. Terdapat crakles dalam basis paru
bilateral. S3 galop di apek jantung, edema diektermitas atas dan bawah. Abdominal normal
dengan hypoaktif bising usus.hasil lab urin CBC: RBC 2,9 mill / mm3; hemoglobin 9,4 g
/ dL; hematokrit 28%. Kelainan kimia darah meliputi BUN 198 mg / dL; kreatinin 18,5
mg / dL; natrium 125 mEq / L; kalium 5,7 mEq / L; kalsium 7,1 mg / dL; fosfat 6,8 mg /
dL. peritoneal kateter akan dipasang dalam 2 hari kedepan.
http://wps.prenhall.com/wps/media/objects/737/755395/end_stage_renal_disease.pdf

2. Nursing theory
Meningkatnya prevalensi penyakit kronis, khususnya penyakit ginjal, perlu membuat
untuk adopsi pendekatan baru terhadap manajemen mereka (Sarian, Brault, & Perreault,
2012). Perawat menyediakan informasi saja tidak cukup ketika merawat orang dengan
penyakit kronis yang kompleks. Merawat pasien dengan dialysis dirasa penting untuk
memberikan intervensi keperawatan dengan pendekatan self care (Costantini, Beanlands,
& Horsburgh, 2011). Karena pasien dan keluarga mereka sering diharapkan untuk
mengelola rejimen pengobatan yang kompleks di rumah, salah satu pendekatan yang
disarankan adalah menempatkan penekanan pada Self care. Dalam kasus dialisis
peritoneal, pasien mengelola lebih dari 90% dari perawatan mereka, dan kelangsungan
hidup mereka tergantung pada mereka melakukan prosedur dialisis mereka, mengambil
obat mereka, mengikuti pembatasan diet dan cairan. Pasien yang mampu mengelola sendiri
gejala mereka mempertahankan tingkat optimal kesehatan. Namun, kemampuan untuk
mengelola sendiri bervariasi antara individu. Oleh karena itu, ada kebutuhan untuk
mengidentifikasi dan mendukung pasien yang terbatas dalam kapasitas mereka untuk
management diri (Sarian et al., 2012). Maka dari itu, pentingnya pendekatan perawat
dalam managemen self care pasien dengan pertonial dialysis.

Menurut Orem (2001), seorang individu belajar untuk mampu merawat dirinya
sendiri sehingga individu tersebut dapat memenuhi kebutuhan hidupnya,
pemeliharaan kesehatan, serta kesejahteraan. Teori ini sering dikenal dengan teori
Self Care. Selain itu, terdapat empat pilar dasar dalam paradigma keperawatan
meliputi manusia, sehat-sakit, lingkungan, dan keperawatan.

Orem mengemukakan pandangannya tentang manusia sebagai unit kesatuan dari


fungsi biologis yang memerlukan self care secara mandiri dimana dalam keadaan
normal self care akan terpenuhi dan dalam keadaan sakit membutuhkan bantuan.
Selain itu, kondisi mental, sosial, budaya, dan emosi akan mempengaruhi
kemampuan individu untuk berkembang dan belajar.

Sementara itu, pandangan Orem tentang lingkungan berhubungan dengan adanya


kondisi lingkungan yang mempengaruhi seseorang untuk memenuhi kebutuhan self care-
nya baik lingkungan pendukung maupun lingkungan penghambat. Hal
ini ditekankan pada lingkungan internal berupa adanya kelainan penyakit yang
ada dalam tubuh seperti gangguan ginjal.

Menurut pandangan Orem tentang konsep sehat dan kesehatan berhubungan


dengan perpaduan dari keseluruhan fungsi tubuh untuk memenuhi kebutuhan self care-
nya. Menurutnya, sehat merupakan hasil dari kemampuan individu dalam
mengatasi adanya rangsangan, tuntutan kebutuhan, serta dorongan dan keinginan.
Dengan demikian, individu yang sehat manakala ia mampu memenuhi kebutuhan self care-
nya dan dapat ditingkatkan menjadi sejahtera dan begitupun sebaliknya,
manakala individu mengalami sakit baik fisik atau mental, maka individu tersebut
tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan self care-nya.

Selanjutnya, Orem memandang tentang keperawatan sebagai suatu bentuk


pelayanan yang spesifik dari sekelompok orang yang telah mengikuti program
pendidikan keperawatan. Adapun produk dan hasil pemenuhan kebutuhan self
care individu ditunjukkan melalui aktivitas seorang perawat. Selain itu, sasaran
dari pelayanan keperawatan adalah individu dengan kondisi yang menyimpang
dari pemenuhan kebutuhan self care seperti sakit, kelemahan, dan kecacatan.

Orem menguraikan bahwa dalam pelaksanaan proses keperawatan, terdapat tiga


konsep yang saling berhubungan. Adapun ketiga konsep tersebut mencakup Self
Care theory, Self Care Deficit, dan Nursing System theory. Ketiga teori ini
meliputi enam elemen sentral berupa self care, self care agency, therapeutic self
care demand, self care deficit, nursing agency, nursing system, dan conditioning
factor. Tomey & Alligood (2007) menguraikan ketiga teori dimaksud sebagai
berikut :

Self care merupakan gambaran aktivitas seseorang yang dilakukan secara mandiri
untuk memelihara hidup, sehat dan kesejahteraanya. Menurt Orem (2001), self
care merupakan fungsi pengaturan pada seorang individu dimana ia harus
melakukan apa dan akan dilakukan apa untuk mempertahankan hidupnya,
mempertahankan fungsi fisiologis, psikologis, serta tumbuh kembang melalui
keadaan yang normal dan sangat penting bagi hidup serta integritas fungsionalnya.
Menurut George (1995), pemahaman teori self care adalah dasar terpenting dalam
memahami konsep self care, self care agency, basic, conditioning factor, dan
therapeutic self care demand.

Self care agency merupakan kondisi dimana individu dapat melakukan self care
Conditioning factor seperti usia, jenis kelamin, tahap perkembangan, status
kesehatan, orientasi sosial kultural, sistem pelayanan kesehatan, sistem keluarga,
gaya hidup, lingkungan, dan tersedianya sumber daya akan mempengaruhi
kemampuan individu dalam merawat dirinya sendiri.

Sementara itu, therapeutic self care demand adalah kemampuan untuk memilih
dan menentukan tindakan self care yang spesifik untuk memenuhi kebutuhan
individu. Therapeutic self care dikatakan berhasil bila tindakan yang dipilih sudah
terapeutik. Selanjutnya, tujuan akhir dari self care adalah tercapainya kesehatandan kese
jahteraan hidup seorang individu berupa therapeutic self care demanddimana setiap ind
ividu sangat spesifik dan dipengaruhi oleh tempat, waktu, dan situasi.

Adapun teori yang terintegrasi dalam teori self care yaitu self care requisites,
dimana Orem membaginya dalam 3 bagian, yaitu universal self care requisites,develop
ment self care requisites, dan health deviation self care requisites.
Universal self care requisites meliputi : a) mempertahankann oksigen, air danmakanan
,b) eliminasi dan pengeluaran sisa metabolisme, c) keseimbangan
solitude dan interaksi sosial, d) pencegahan resiko, e) peningkatan fungsi individu
danpengembangan diri dalam kelompok sosial, f) peningkatan dan
pengembangan diri individu dalam kelompok.

George (1995) menjelaskan bahwa nursing agency merupakan usaha yang


dilakukan individu untuk memenuhi kebutuhannya melalui pengenalan terhadap
kebutuhan, memenuhi kebutuhan, serta melatih kemampuannya. Sementara itu,
Tomey dan Alligood (2006) mengemukakan bahwa keperawatan dibutuhkan
manakala individu tidak mampu untuk memenuhi self care-nya.

Dalam Nursing System Theory, fasilitasi terhadap pemenuhan kebutuhan mandiri


seorang individu dilakukan melalui tiga level kemampuan pasien, meliputi asuhan
keperawatan dengan tingkat ketergantungan penuh (Wholly compensatory nursing
system), asuhan keperawatan dengan tingkat ketergantungan sebagian (Partially
compensatory nursing system), dan asuhan keperawatan pada fase pemulihan
(Supportive educative nursing system).
3. Penerapan teori orem pada pasien CAPD
Pada pemberian asuhan keperawatan pasien dengan CAPD, aplikasiteori self care Orem
lebih menekankan pada bagaimana pasien mampu untukmencapai kemandirian. Proses
keperawatan merupakan tahapan yang digunakanperawat dalam praktek keperawatan
profesionalisme yang diawali denganpengkajian, diagnosis keperawatan, intervensi
keperawatan, implementasi, dan evaluasi keperawatan.

Terdapat tiga tahap proses keperawatan yang dikemukakan oleh Orem (1991),
yaitu tahap pertama berupa diagnosis and prescription, tahap kedua adalah
nursing system design, dan tahap ketiga adalah nursing system management.
Berikut ini diuraikan tahapan proses keperawatan yang dirumuskan Orem :

Tahap I : Diagnosis and prescription

Tahap ini merupakan pengkajian dan sebagai langkah awal dari proses
keperawatan. Pada tahap ini, diperoleh data tentang adanya gangguan status
kesehatan pasien. Menurut Orem, yang termasuk dalam pengkajian meliputi :

1. Basic Conditioning Factor, terdiri dari nama, umur, jenis kelamin, tahap
perkembangan, status kesehatan, sistem pelayanan kesehatan, orientasi sosial
budaya, pola hidup, lingkungan tempat tinggal, dan ketersediaan sumber daya.
2. Self care requisites, berupa data yang muncul oleh karena keterbatasan diri,
meliputi :
a. Universal self care, yaitu : pemenuhan kebutuhan terhadap oksigen, cairan,
nutrisi, eliminasi, aktivitas dan istirahat, keseimbangan diri dan interaksi
sosial, pencegahan bahaya, serta peningkatan fungsi perkembangan.
b. Development self care requisites, berupa data tentang proses perkembangan
dan maturitas individu ke arah fungsi optimal, yang terdiri dari
pengembangan lingkungan dan pencegahan terhadap keadaan yang
mengancam perkembangan.
c. Health deviation self care requisites, meliputi pengkajian terhadap adanya
gangguan kondisi kesehatan antara lain luka, penyakit, penerimaan individu
terhadap kondisi kesehatannya dan penanganan terhadap perbaikan kondisi.
Pada bagian ini, data yang perlu dikaji berupa kepatuhan terhadap tindakan,
kesadaran terhadap masalah akibat pengobatan, modifikasi terhadap
gambaran diri, serta penyesuaian pola hidup akibat perubahan kondis
kesehatannya saat ini.
d. Medical problem and plan, berupa kondisi perspektif tenaga kesehatan
seperti diagnosa medis dan pengobatan yang diberikan.
Diagnostic Operation
Orem (2001) menjelaskan bahwa diagnosa keperawatan termasuk pada tahap
awal, dimana pengkajian dan proses analisis data dibuat untuk menentukan
keputusan terhadap masalah keperawatan yang terjadi. Masalah keperawatan
timbul akibat adanya penyimpangan yang terjadi antara kemampuan dan
ketergantungan individu untuk merawat dirinya sendiri.

Tahap II : Nursing System Design


Menurut Orem (1991), dalam proses keperawatan tahap ini disebut prescriptive
operation, dimana perawat membuat rencana keperawatan untuk mengatasi self
care deficit. Penyusunan rencana keperawatan didasarkan pada tujuan dimana
sasarannya berdasarkan diagnosa keperawatan dan diusahakan dapat
meningkatkan kemampuan pasien untuk melakukan perawatan diri. Selain itu,
dalam menyusun rencana keperawatan perlu diperhatikan tingkat ketergantungan
pasien antara lain rencana keperawatan disesuaikan dengan pasien yang memiliki
tingkat ketergantungan penuh (wholly compensatory), pasien dengan tingkat
ketergantungan sebagian (partially compensatory), dan pasien yang membutuhkan
informasi dan penjelasan terkait pemenuhan kebutuhan self care (supportive
educative).

Dalam memberikan asuhan keperawatan, setelah rencana keperawatan disusun


perawat membuat metode yang sesuai. Adapun metode yang dibuat antara lain
mengarahkan (guidance), mengajarkan (teaching), bertindak (acting), support
(supporting), dan modifikasi lingkungan (providing the environment).

Tahap III : Nursing System Management

Menurut Orem, tahap ini adalah tahap akhir pelaksanaan proses keperawatan.
Pada tahap ini, perawat melakukan dan menilai tindakan keperawatan yang telah
diberikan. Pada tahap ini, Orem membagi dalam dua segmen, yaitu implementasi
(regularly operation) dan evaluasi (control operation).
Orem berpendapat bahwa pada segmen implementasi (regularly operation) terjadi
asuhan yang bersifat kolaboratif antara perawat dan pasien. Dalam hal ini, perawat
akan memberikan intervensi dengan berbagai metode dalam memberikan
pelayanan keperawatan yang disesuaikan dengan tingkat ketergantungan pasien
untuk memenuhi self care-nya.

Selanjutnya, pada segmen evaluasi (control operation), akan dilihat keefektifan


dari pelaksanaan implementasi yang diberikan dalam memenuhi kebutuhan self
care dan mengurangi ketergantungan terhadap perawatan diri. Namun, Orem tidak
menguraikan secara spesifik tentang aspek yang dievaluasi. Pada pasien yang
mengalami pasca bedah fraktur ekstremitas bawah, fokus evaluasi adalah pada
kemampuan pasien dalam mempertahankan kebutuhan perawatan dirinya secara
mandiri.
4. Nursing Proces
a. Pengkajian
Basic Conditioning Factors
Usia dan Jenis Kelamin 45 Tahun dan bejenis kelamin lak-laki
Status kesehatan Tn W mengatakan kurang nafsu makan, mual,
muntah dan kelelahan sebulan yang lalu. Untuk BB
nya tetap stabil, sehingga Tn. Wtidak khawatir
walau tidak makan. Penilaian fisik meliputi: S
36,5° C, N 96 x/m, RR 20 x/m, dan TD 178/100.
Kulit dingin dan kering, nafas berbau. Terdapat
crakles dalam basis paru bilateral. S3 galop di apek
jantung, edema diektermitas atas dan bawah.
Abdominal normal dengan hypoaktif bising
usus.hasil lab urin CBC: RBC 2,9 mill / mm3;
hemoglobin 9,4 g / dL; hematokrit 28%. Kelainan
kimia darah meliputi BUN 198 mg / dL; kreatinin
18,5 mg / dL; natrium 125 mEq / L; kalium 5,7 mEq
/ L; kalsium 7,1 mg / dL; fosfat 6,8 mg / dL.
peritoneal kateter akan dipasang dalam 2 hari
kedepan
Status perkembangan Klien berada dalam tahap perkembangan Identity vs
identity convusion. Saat ini, klien berespon cukup
baik dengan petugas maupunkeluarganya,
menerima keadaannya serta menerima
semuaprogram pengobatan dan
tindakan keperawatan yang diberikan.
Klien dapat melakukan kebutuhanADLnya dengan
bantuandan pendampingan keluarga/petugas
Orientasi Sosiokultural Pekerjaan klien wiraswasta pendidikan terakhir PT.
pasien sudah menikah dan mempunyai 2 orang
anak. Aktifitas ibadah klien tidak terganggu, dan
bagi klien penyakitnya sudah merupakan cobaan
yang harus dihadapi, klien ingin bisa tetap bekerja
dikantornya walau dengan penyakitnya.
Sistem Pelayanan Klien dan keluarga menggunakan fasilitas BPJS
kesehatan
Sistem keluarga klien tinggal bersama keluarga, klien lebih dekat
dengan istrinya
Pola hidup klien W walaupun lagi sakit ingin tetap
menjalankkan aktifitas dikantor. Sehingga memilih
CAPD
Lingkungan klien tinggal di area perkotaan, tempat tinggal klien
dekat dengan fasilitas kesehatan.
Sistem pendukung Support sistem berasal dari istri dan kedua anaknya
Universal Self Care
Udara Kesadaran Composmetis, Terdapat crakles dalam
basis paru bilateral. Frekuensi nafas 20x permenit,
nafas berbau.
Cairan Kulit kering, mual muntah, odem di ekstermitas atas
dan bawah, terdapat suara tambahan jantung. urin
CBC: RBC 2,9 mill / mm3; hemoglobin 9,4 g / dL;
hematokrit 28%. Kelainan kimia darah meliputi
BUN 198 mg / dL; kreatinin 18,5 mg / dL; natrium
125 mEq / L; kalium 5,7 mEq / L; kalsium 7,1 mg /
dL; fosfat 6,8 mg / dL
Nutrisi Nafsu makan menurun, bising usus hipoaktif. BB
stabil
Eliminasi BAK spontan, warna kuning pekat, BAB tidak
gangguan
Aktivitas dan Istirahat Pasien merasa kelelahan, dan bawaannya pengen
tidur
Interaksi sosial Klien dapat
berinteraksi cukup baik dengan petugas maupun
pasien lain yang dirawat sekamar dengan klien.
Interaksi dengan keluarga dan saudaranya juga
baik. Kebutuhan pengobatan dan perawatan selalu
dikomunikasikan dengan keluarga
Pencegahan cedera Pasien menggunakan terapi obat antihypertensi dan
insulin
Promosi keadaan normal pasien memilih untuk CAPD dikarenakan ingin bisa
melakukan aktifitas seperti biasanya walau
sekarang dengan penyakitnya
Development Self Care Requisites
Menjaga lingkungan Pasien dapat melakukan ADL mandiri
Perkembangan
Pencegahan yang Klien senang bila dijenguk oleh saudaranya.
mengancam perkembangan
Untuk masalah kesehatan klien senantiasa
berdiskusi dengan istrinya

Health Deviation Self Care Requisites

Ketergantungan klien mengalami ERDS sehingga membutuhkan


terhadap regimen terapi
CAPD

Kesadaran terhadap Klien mengetahui tentang penyakitnya, akan


potensi masalah terkait tetapi belum mengetahui tentang terapi CAPD
terapi
secara mendetail, klien setelah berunding dengan
dokter setuju pemasangan CAPD

Modifikasi gambaran Klien juga menyadari kondisi keadaannya, klien


berusaha untuk tetap melaksanakan aktifitas
diri untuk beradaptasi
kesehariannya
terhadap perubahan
status kesehatan
Penyesuaian pola hidup klien memilih CAPD agar bisa melaksanakan
terkait perubahan status
aktivitasnya.
kesehatan dan regimen
terapi
Terapi medis saat ini Anti hipertensi dan insulin serta hemodialysis.
Selanjutnya pemasangan cateter PD

b. Diagnosa Keperawatan (Nanda Insternational, 2014)


1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan kegagalan ginjal untuk
mengeliminasi cairan tubuh berlebih
2. Ketidakseimbangan nutrisi: Kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
efek uremia
3. Gangguan integritas kulit dari ekstremitas bawah berhubungan dengan kulit yang
kering dan rasa gatal
4. Risiko infeksi berhubungan dengan kateter invasif dan gangguan fungsi kekebalan
tubuh
c. Nursing Care Plan (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013; Moorhead,
Johnson, Maas, & Swanson, 2013)
Diagnosis NOC NIC
Kelebihan volume cairan Semua indicator outcome - Fluid management
berhubungan dengan menunjukkan score 5 - Fluid monitoring
kegagalan ginjal untuk - Keseimbangan - Electrolyte
mengeliminasi cairan Cairan management
tubuh berlebih - Tingkat keparahan
kelebihan cairan
Ketidakseimbangan Semua indicator outcome - Nutrient management
nutrisi: Kurang dari menunjukkan score 5
kebutuhan tubuh - Status Nutrisi
berhubungan dengan efek
uremia
Gangguan integritas kulit Semua indicator outcome - Skin care topical
dari ekstremitas bawah menunjukkan score 5 treatment
berhubungan dengan - Fungsi sensori- - Foot care
kulit yang kering dan rasa perabaan - Teaching foot care
gatal
Risiko infeksi Semua indicator outcome - Infeksi control
berhubungan dengan menunjukkan score 5 - Teching
kateter invasif dan - Status imun management
gangguan fungsi - Pengetahuan cronik desease
kekebalan tubuh manajemen
penyakit kronis

5. Evidance Based Nursing


Infeksi dapat menyebabkan morbiditas yang signifikan dan PD perawat memainkan peran
penting dalam mencegah kejadian tersebut. Perhatian khusus untuk rincian, implantasi
kateter, faktor risiko pasien dan pengelolaan program PD menekankan protokol kepatuhan,
pelatihan staf, dan pemilihan pasien dan pelatihan dapat meminimalkan risiko infeksi dan
meningkatkan hasil. Fokus pada keselamatan pasien harus penting utama untuk perawat
(Figueiredo, 2014).

Penelitian yang dilakukan (Sarian et al., 2012) Dukungan manajemen diri, merupakan
elemen penting dari Model Perawatan kronis, dianggap pendekatan terbaik untuk
memandu intervensi karena perubahan menimbulkan melalui pendekatan ini memiliki
potensi untuk menjadi mandiri. Misalnya, mengajarkan pasien untuk mengelola sendiri
satu masalah membentuk dasar mengajar untuk bagaimana mengelola sendiri masalah
kedua atau ketiga. Hal ini diketahui bahwa memberikan dukungan berkelanjutan untuk
pasien adalah penting (Warmington & Baxter, 1996). Oleh karena itu, intervensi ini hanya
harus dilihat sebagai awal untuk memberikan dukungan manajemen diri, dan bukan
sebagai tujuan itu sendiri. Sebagai permulaan, proyek ini adalah salah satu yang baik untuk
alasan berikut: (a) sesi pendidikan terbukti bermanfaat bagi pasien baik dari segi
penyerapan pengetahuan dan perubahan perilaku, (b) tim kesehatan seluruh terlibat dalam
proyek (memberikan dukungan informasi, instrumental, atau keuangan), dan (c) instituti
pada sumber daya yang luas dikerahkan untuk menghasilkan bahan pendidikan pasien.
Sementara dukungan manajemen diri sering dianjurkan oleh nefrologi perawat (Alt &
Schatell, 2008) sebagai pendekatan yang valid untuk perawatan pasien, intervensi sukses
ini mengambil langkah kecil menuju membuktikan mereka benar.
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. (2013). Nursing
Interventions Clasification (NIC) (6th ed.). USA: Elsevier Inc.

CDC. (2012). NHSN Dialysis Event Manual. Retrieved from


http://www.cdc.gov/nhsn/PDFs/pscManual/8pscDialysisEventcurrent.pdf

Choi, J. Y., Jang, H. M., Park, J., Kim, Y. S., Kang, S. W., Yang, C. W., … Lee, C. S. (2013).
Survival advantage of peritoneal dialysis relative to hemodialysis in the early period of
incident dialysis patients: A nationwide prospective propensity-matched study in Korea.
PLoS ONE, 8(12). doi:10.1371/journal.pone.0084257

Costantini, L., Beanlands, H., & Horsburgh, M. E. (2011). Development of the Self-Care for
Adults on Dialysis Tool (SCAD). CANNT Journal = Journal ACITN, 21(2), 38–43.

Figueiredo, A. E. (2014). The challenges in preventing infection in peritoneal dialysis : a


nurse ’ s viewpoint, 10(3), 120–125.

Fourtounas, C., Hardalias, A., Dousdampanis, P., Savidaki, E., & Vlachojannis, J. G. (2009).
Intermittent peritoneal dialysis (IPD): An old but still effective modality for severely
disabled ESRD patients. Nephrology Dialysis Transplantation, 24(10), 3215–3218.
doi:10.1093/ndt/gfp244

Griva, K., Kang, a W., Yu, Z. L., Mooppil, N. K., Foo, M., Chan, C. M., & Newman, S. P.
(2014). Quality of life and emotional distress between patients on peritoneal dialysis
versus community-based hemodialysis. Quality of Life Research : An International
Journal of Quality of Life Aspects of Treatment, Care and Rehabilitation, 23(1), 57–66.
doi:10.1007/s11136-013-0431-8

Heaf, J. G., & Wehberg, S. (2014). Relative survival of peritoneal dialysis and haemodialysis
patients: Effect of cohort and mode of dialysis initiation. PLoS ONE, 9(3).
doi:10.1371/journal.pone.0090119

Khanna, R., & Krediet, R. T. (2009). Nolph and Gokal’s Textbook of Peritoneal Dialysis
(Third edit.). New York: Springer ScienceþBusiness Media.

MENKES RI. Penyelenggaraan Pelayanan Dialisis Pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Pub.
L. No. 812/MENKES/PER/VII/2010 (2010). Indonesia.

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2013). Nursing Outcomes
Classification (NOC) (5th ed.). USA: Elsevier Inc.

Nanda Insternational. (2014). Nursing Diangnosis Definitions and Classification 2015-2017


(10th ed.). Oxford: Wiley Blackwell.
NICE. (2011). Kidney disease: peritoneal dialysis in the treatment of stage 5 chronic kidney
disease. London. Retrieved from www.nice.org.uk/guidance/CG125

PERNEFRI. (2012). 5th Report of Indonesian Renal Registry. Retrieved from


http://www.pernefri-inasn.org/Laporan/5th Annual Report Of IRR 2012.pdf

Rachmadi, D. (2009). Prinsip Dasar Dialisis Peritonial Akut. Retrieved from


http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Pustaka_Unpad_Prinsip_-
Dasar_-Dialisis_-Peritoneal_-Akut.pdf.pdf

Sarian, M., Brault, D., & Perreault, N. (2012). Self-management support for peritoneal
dialysis patients. CANNT Journal = Journal ACITN, 22(3), 18–24. Retrieved from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23167046

Smeltzer, S. C., Hinkle, J. L., Bare, B. G., & Cheever, K. H. (2010). Brunner & Suddarth’s
textbook of medical-surgical nursing (12th ed.). Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins.

Timby, B. K., & Smith, N. E. (2010). Introductory Medical Surgical Nursing (10th ed.).
2010: Lippincott Williams & Wilkins.

Anda mungkin juga menyukai