Perbedaan mutlak ini terjadi misalnya karena perbedaan pengakuan unsur pendapatan
seperti misalnya pada penghasilan yang bersifat final dan telah dikenakan PPh Final tidak
boleh lagi diperhitungkan sebagai unsur pendapatan atau pengakuan biaya yang boleh
dikurangkan, beberapa item biaya mutlak dilarang dijadikan sebagai pengurang menurut
ketentuan perpajakan. Sementara itu laba yang sifatnya relatif ini dikarenakan perbedaan
pengakuan nilai sisa atau penentuan jangka waktu masa manfaat dalam menghitung beban
penyusutan. Perbedaan semacam ini menyebabkan perbedaan yang sifatnya tidak mutlak
selamanya, melainkan hannya sementara saja karena sifatnya hanya perbedaaan waktu dan
angka tahun pembagi, dan pada titik tertentu akan beban pajak yang ditimbulkan akan tiba
pada besaran nominal yang sama. Laba bersih yang dihasilkan melalui proses rekonsiliasi
fiskal, yakni penghitungan sebagaimana diatur menurut ketentuan perpajakan, diistilahkan
sebagai Penghasilan Kena Pajak. Sehingga pada titik ini, jelas dapat dibedakan makna dari
istilah laba komersial sebelum pajak (komersial) dengan Penghasilan Kena Pajak (fiskal).
Jika tarif pajak diterapkan pada laba pada Laba Komersial (Laba Akuntansi) dengan
Penghasilan Kena Pajak (Laba Pajak), maka hasilnya besar kemungkinan akan berbeda.
Perbedaan ini yang disebut dengan istilah Pajak Tangguhan. Jika Laba Akuntansi lebih
besar daripada Laba Pajak maka akan terbentuk Kewajiban Pajak Tangguhan,
sebaliknya bila Laba Akuntansi lebih kecil daripada Laba Pajak maka akan
terbentuk Aset Pajak Tangguhan. Singkatnya, Pajak Tangguhan tidak bisa
dihindari dan dapat muncul sebagai akibat adanya dua pendekatan yang harus
dijalani dalam menghitung beban pajak kini. Pajak Tangguhan dalam bentuk
aset/manfaat membuat Wajib Pajak mengetahui bahwa seharusnya nilai beban pajak yang
harus dibayar dapat dipulihkan pada masa mendatang sedangkan Pajak Tangguhan dalam
bentuk kewajiban menimbulkan adanya beban pajak yang akan terutang pada masa yang
akan datang. Ini berkaitan dengan konsep definisi Pajak Tangguhan sebagaimana dijelaskan
pada subbahasan pertama dalam artikel ini.
Apa dampak Pajak Tangguhan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakannya?
Jawaban atas pertanyaan ini akan menunjukkan contoh nyata dari sejumlah konsep yang
sudah diperkenalkan pada dua subbahasan diatas. Untuk dapat memberikan jawaban
pertanyaan ini maka akan disajikan dalam bentuk contoh soal agar bentuk nyata mengenai
konsep pemulihan atau pembebanan beban pajak pada masa mendatang dapat tergambar
dengan lebih jelas.
Contoh soal I:
PT Runsoed Ultimate Challenge (RUC) memperoleh laba sebelum pajak tahun 2015
Rp1.200.000.000,- dengan catatan koreksi fiskal atas laba tersebut adalah sebagai berikut:
Beda Permanen
Beda Temporer
Kredit Pajak yang sudah dibayar selama tahun 2015 adalah sebagai berikut:
Pendapatan
bunga Rp40.000.000,- – Rp40.000.000,- (Rp40.000.000,-)
deposito
Pendapatan
sewa Rp60.000.000,- – Rp60.000.000,- (Rp60.000.000,-)
bangunan
Pendapatan
Rp50.000.000,- – Rp50.000.000,- (Rp50.000.000,-)
Jasa Giro
Beban
Jamuan tanpa
Rp30.000.000,- Rp30.000.000,- – Rp30.000.000,-
Daftar
Nominatif
Beban Bunga
Rp20.000.000,- Rp20.000.000,- – Rp20.000.000,-
Pajak
Beban
pemberian
Rp50.000.000,- Rp50.000.000,- – Rp50.000.000,-
fasilitas dalam
bentuk natura
Jurnal Pencatatan
Sehingga setelah diperhitungkan dengan beban pajak kini (PPh Pasal 29 akhir tahun) dan
beban pajak tangguhan, jumlah laba bersih PT RUC adalah Rp908.750.000,-.
Tahun
Keterangan
2011 2012 2013 2014 2015
Beban Pajak Kini (PPh 25%) Rp850 Rp850 Rp850 Rp850 Rp850
Laba Kotor Rp5.000 Rp5.000 Rp5.000 Rp5.000 Rp5.000
Beban Pajak Kini (PPh 25%) Rp625 Rp625 Rp625 Rp625 Rp1.250
Dari tabel analisis diatas, terlihat bahwa sampai dengan tahun keempat nilai Laba Sebelum
Pajak (Akuntansi) lebih besar daripada Penghasilan Kena Pajak (Rp3.400 > Rp2.500)
sehingga menimbulkan adanya Kewajiban Pajak Tangguhan sebesar selisih beda sementara
dikali tarif yang berlaku yaitu (Rp2.500-Rp1.600) x 25% = Rp225. Dengan jurnal yang
digunakan pada setiap tahun adalah sebagai berikut:
Kewajiban Pajak Tangguhan ini harus dibayar oleh PT Maju Terus pada setiap tahun sesuai
dengan alokasinya sebesar Rp225.000,-
Namun hal ini tidak terjadi pada tahun kelima dimana yang terjadi adalah Laba Sebelum
Pajak lebih kecil daripada Penghasilan Kena Pajak (Rp3.400< Rp5.000) sehingga
menimbulkan adanya Aset Pajak Tangguhan sebesar (Rp1.600- Rp0) x 25%= Rp400. Hal ini
terjadi karena pada tahun ke-5 menurut ketentuan perpajakan tidak diperbolehlan dilakukan
penyusutan atas komputer mengingat masa manfaatnya menurut pajak hanya selama 4
tahun. Dengan jurnal yang digunakan pada setiap tahun adalah sebagai berikut:
Ketika pada akhir tahun ke-7 komputer tersebut dijual, maka nilai keuntungan yang diakui
menurut Akuntansi dan menurut Pajak berbeda, secara Pajak laba yang diperoleh adalah
sebesar harga jual yaitu Rp3.000.000,- karena komputer tersebut sudah tidak lagi memiliki
nilai namun menurut Akuntansi laba dihitung dengan mengurangkan terlebih dahulu dengan
nilai sisa Rp2.000.000,- sehingga laba yang didapat hanya Rp1.000.000,-. Akibat perbedaan
ini maka menurut pajak, beban PPh adalah Rp750.000,- (Rp3.000.000,- x 25%) dan
menurut Akuntansi, beban pajak adalah Rp250.000,- (Rp1.000.000,- x 25%). Karena Laba
Sebelum Pajak (Akuntansi) lebih kecil daripada Penghasilan Kena Pajak (dari penjualan
komputer) sehingga menimbulkan adanya Aset/Manfaat Pajak Tangguhan sebesar
Rp500.000,- (Rp3.000.000- Rp1.000.000,-) x 25%. Nilai ini akan menghapus Kewajiban
Pajak Tangguhan yang masih tersisa sehingga tidak ada lagi kewajiban yang harus dibayar
pada masa yang akan datang.