Anda di halaman 1dari 10

1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kebutuhan pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling hakiki
dan harus dipenuhi oleh negara maupun masyarakatnya. Menurut Undang Undang
nomor 7 tahun 1996 tentang pangan menyebutkan bahwa pangan merupakan hak
asasi bagi setiap individu di Indonesia. Oleh karena itu terpenuhinya kebutuhan
pangan di dalam suatu negara merupakan hal yang mutlak harus dipenuhi. Selain
itu pangan juga memegang peranan penting dan strategis di Indonesia berdasarkan
pada pengaruh yang dimilikinya baik secara sosial, ekonomi, dan politik.
Konsep ketahanan pangan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang nomor
7 tahun 1996 tentang pangan menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah suatu
kondisi dimana setiap individu dan rumah tangga memiliki akses secara fisik,
ekonomi, dan ketersediaan pangan yang cukup, aman, serta bergizi untuk
memenuhi kebutuhan sesuai dengan seleranya bagi kehidupan yang aktif dan
sehat. Selain itu aspek pemenuhan kebutuhan pangan penduduk secara merata
dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat juga tidak boleh dilupakan.
Konsep ketahanan pangan dapat diterapkan untuk menyatakan situasi pangan pada
berbagai tingkatan yaitu tingkat global, nasional, regional, dan tingkat rumah
tangga serta individu yang merupakan suatu rangkaian sistem hirarkis. Hal ini
menunjukkan bahwa konsep ketahanan pangan sangat luas dan beragam serta
merupakan permasalahan yang kompleks. Namun demikian, konsep ketahanan
pangan tersebut intinya bertujuan untuk mewujudkan terjaminnya ketersediaan
pangan bagi umat manusia.
Ketercukupan pangan bagi setiap individu tercermin dari kecukupan energi
dan protein dapat digunakan sebagai indikator untuk melihat kondisi gizi
masyarakat dan juga keberhasilan pemerintah dalam pembangunan pangan,
pertanian, kesehatan, dan sosial ekonomi secara terintegrasi (Moeloek, 1999).
Lebih lanjut Irawan (2002) menyatakan bahwa derajat ketahanan pangan rumah
tangga secara sederhana dapat ditentukan dengan mengevaluasi asupan energi dan
protein rumah tangga tersebut. Malassis dan Ghersi dalam Irawan (2002)
menyatakan bahwa energi dan protein digunakan sebagai indikator status gizi
2

karena penggunaan nilai kalori (energi) dan nilai protein sudah cukup untuk
menggambarkan kecukupan pangan rumah tangga karena konsumsi kalori terkait
erat dengan kemampuan manusia untuk hidup secara aktif sedangkan konsumsi
protein dibutuhkan untuk memulihkan sel-sel tubuh yang rusak.
Ketahanan pangan merupakan indikator yang dapat merepresentasikan
jumlah dan mutu pangan yang dikonsumsi sesuai norma gizi yang ada. Dalam hal
ini ketahanan pangan lebih mengutamakan akses setiap individu untuk
memperoleh pangan yang bergizi serta penyerapannya demi pencapaian hidup
yang sehat dan produktif. Ketahanan pangan belum tercapai saat ketersediaan
pangan saja yang terpenuhi. Ketahanan pangan akan tercapai ketika akses
terhadap pangan tersebut memadai serta penyerapan pangannya dapat berlangsung
secara baik. Kondisi inilah yang belum tercapai di banyak daerah di Indonesia.
Ketersediaan pangan yang memadai atau bahkan berlebih tidak disertai dengan
akses pangan yang memadai. Hal ini berakibat pada penyerapan pangan yang
tidak maksimal, sehingga banyak daerah di Indonesia yang belum mampu
mencapai ketahanan pangan meskipun telah mencapai surplus pangan.
Ketahanan pangan rumah tangga yang tercermin dari klasifikasi silang
antara ketercukupan kalori dan pangsa pengeluaran pangan mampu dijadikan
suatu indikator ketahanan pangan yang lebih baik dibandingkan indikator lain.
Jonsson dan Toole dalam Maxwell et al. (2000) mengklasifikasikan ketahanan
pangan rumah tangga melalui perpaduan antara kecukupan pangan dengan pangsa
pengeluaran. Kedua indikator ini dinilai cukup sederhana namun mampu
merepresentasikan tingkat ketahanan pangan rumah tangga. Klasifikasi tersebut
menghasilkan empat kategori ketahanan pangan rumah tangga yaitu rumah tangga
tahan pangan, rentan pangan, kurang pangan dan rawan pangan.
Ketahanan pangan memiliki kaitan dengan pola konsumsi yaitu dari sisi
pangsa pengeluaran makanan. Hukum Engle menyatakan jika selera tidak
berbeda, maka persentase pengeluaran untuk makanan akan menurun dengan
meningkatnya pendapatan (Nicholson, 1995;2002). Deaton dan Muellbauer
(1980a) menyatakan bahwa semakin tinggi kesejahteraan masyarakat suatu negara
maka pangsa pengeluaran pangan penduduknya semakin kecil, demikian
sebaliknya. Daerah dengan pangsa pengeluaran pangan yang masih besar akan
3

selalu dijumpai permasalahan kekurangan pangan sehingga harus memerlukan


perhatian yang lebih banyak.
Pangsa pengeluaran pangan merupakan salah satu indikator ketahanan
pangan. Semakin besar pangsa pengeluaran untuk pangan berarti ketahanan
pangan semakin berkurang (Soehardjo et al., 1986). Meskipun telah banyak kajian
tentang pangsa pengeluaran makanan di Indonesia, namun kajian tentang pangsa
pengeluaran pangan dengan variabel yang berkaitan langsung dengan ketahanan
pangan masih sangat terbatas.
Pengeluaran rumah tangga yang di dalamnya mencakup pengeluaran pangan
dan bukan pangan merupakan bagian yang memiliki porsi paling besar dalam
Produk Domestik Bruto (PDB) berdasarkan penggunaan. Gambar 1 menunjukkan
bahwa konsumsi rumah tangga memiliki kontribusi sebesar 57 persen pada PDB
berdasarkan penggunaan tahun 2009. Dari persentase yang paling besar ini dapat
dibedakan menjadi dua yaitu konsumsi rumah tangga untuk makanan dan bukan
makanan.

Ekspor-Impor
(10%)
Pembentukan
Modal Tetap Konsumsi RT
Bruto (23%) (57%)

Pemerintah
(9%)

Sumber : BPS, diolah


Gambar 1 Persentase PDB Penggunaan tahun 2009.

Gambar 2 menunjukkan komposisi pengeluaran rumah tangga untuk


makanan dan bukan makanan pada beberapa periode. Jika dilihat
perbandingannya maka dapat dikatakan bahwa komposisi pengeluaran makanan
4

dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Di sisi lain, pengeluaran untuk bukan
makanan dari tahun ke tahun mengalami kenaikan.

P
erse
n

Tahun

Sumber : Susenas BPS, diolah


Gambar 2 Komposisi pengeluaran makanan dan bukan makanan rumah tangga.

Untuk membantu mengidentifikasi ketahanan dan kerentanan pangan di


daerah, Dewan Ketahanan Pangan (DKP) menerbitkan Peta Ketahanan Dan
Kerentanan Pangan 2009 (Food Security and Vulnerability Atlas/FSVA 2009).
FSVA 2009 merupakan pemutakhiran dari Peta Kerawanan Pangan (Food
Insecurity Atlas/FIA) yang diluncurkan pada tahun 2005. FSVA ini disusun untuk
mengidentifikasi titik-titik rawan pangan tingkat kabupaten di Indonesia,
mengidentifikasi penyebab kerawanan pangan di suatu kabupaten dan
menyediakan petunjuk dalam mengembangkan strategi mitigasi yang tepat untuk
kerawanan pangan kronis (DKP, 2009). Pada penyusunan FSVA ini, daerah
perkotaan belum dimasukkan ke dalam penyusunan peta karena pendekatan
ketahanan di wilayah perkotaan memiliki dimensi yang berbeda (DKP, 2009).
Berdasarkan publikasi FSVA 2009, ada enam kategori dalam
mengidentifikasi daerah berdasarkan ketahanan pangannya. Keenam kategori
tersebut adalah : (1) sangat rawan pangan, (2) rawan pangan, (3) agak rawan
pangan, (4) cukup tahan pangan, (5) tahan pangan dan (6) sangat tahan pangan.
Tiga kategori yang pertama masuk sebagai kelompok prioritas karena termasuk
sebagai kelompok yang rentan terhadap kerawanan pangan. Kabupaten yang
5

dianalisis adalah sebanyak 346 dan 100 kabupaten diantaranya terindikasi rawan
pangan. Berdasarkan kondisi ketersediaan pangan, 64 kabupaten dari 100
kabupaten rawan pangan dikategorikan sebagai daerah surplus pangan. Hal ini
menjadi suatu kontradiksi karena daerah yang surplus pangan ternyata rawan
pangan.
Tabel 1 Jumlah kabupaten berdasarkan ketahanan pangan dan ketersediaan
pangan di Provinsi Jawa Timur

Ketersediaan Pangan Tahan Pangan Rawan Pangan Jumlah

Surplus 206 64 270

Defisit 40 36 76

Jumlah 246 100 346


Sumber : FSVA 2009, diolah

Berdasarkan Tabel 1, terlihat bahwa ketersediaan pangan belum cukup


untuk menjamin ketahanan pangan. Swasembada pangan hanya berorientasi
kepada tersedianya sumberdaya pangan yang mencukupi kebutuhan masyarakat di
suatu daerah. Swasembada pangan umumnya diwujudkan dengan tercukupinya
komoditi pangan di suatu daerah sehingga tidak perlu lagi mendatangkan
komoditi pangan dari daerah lain untuk memenuhi kebutuhan pangan di daerah
tersebut. Suatu daerah bisa menghasilkan dan mengekspor komoditas industri
yang bernilai ekonomi tinggi, kemudian membeli komoditas pangan dari luar
daerah. Sebaliknya, di daerah yang melakukan swasembada produksi pangan,
dapat dijumpai masyarakat yang rawan pangan karena adanya hambatan akses dan
distribusi pangan.
Jika dilihat dari 100 kabupaten yang teridentifikasi rawan pangan oleh
DKP, maka 94 kabupaten diantaranya ada di luar jawa. Hanya 6 kabupaten di
Jawa yang teridentifikasi rawan pangan yang terdiri dari 1 kabupaten berada di
Provinsi Banten, dan 5 kabupaten berada di Provinsi Jawa Timur. Hal ini
merupakan suatu kondisi yang menarik untuk diteliti, mengingat banyaknya
potensi yang ada di Provinsi Jawa Timur namun masih terdapat daerah yang
rawan pangan.
6

Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu provinsi dengan jumlah


penduduk terbesar kedua setelah Jawa Barat yaitu sebesar 34,78 juta orang
(SP2010, BPS). Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu provinsi dengan
PDRB tertinggi kedua setelah DKI Jakarta. Selain itu Provinsi Jawa Timur
mempunyai daerah terluas dibandingkan dengan provinsi lain di Pulau Jawa yaitu
36,92 persen dari luas Pulau Jawa, serta jumlah kabupaten/kota terbanyak yaitu 38
daerah. Provinsi Jawa Timur juga menjadi salah satu lumbung padi nasional
karena memiliki produksi padi terbesar kedua setelah Propinsi Jawa Barat yaitu
17,58 persen dari total produksi padi nasional (Statistik Tanaman Pangan, BPS).

Jawa Barat
Lainnya (38%) (18%)

Jawa Timur
(17%)

Sumut (5%)
Jawa Tengah
Sulsel (7%) (15%)

Sumber : Statistik Tanaman Bahan Makanan 2009, BPS


Gambar 3 Kontribusi produksi padi tahun 2009.

Selain faktor ketersediaan, akses pangan merupakan determinan penting


dalam mewujudkan ketahanan pangan. Aspek tersebut akan dimiliki bila terdapat
faktor kontrol terhadap pangan. Kemampuan melakukan kontrol akan tergantung
pada daya beli masyarakat (Maxwell dan Frankenberger, 1992; Hardono dan
Kariyasa, 2006). Ketersediaan pangan merupakan faktor eksternal di tingkat
rumah tangga atau individu kecuali bagi pemilik sumber daya yang produktif.
Apabila faktor pendapatan dianggap ceteris paribus maka daya beli akan sangat
ditentukan oleh harga di pasar. Hal itu menyebabkan aspek harga sangat
menentukan dalam ketahanan pangan. Pengalaman telah membuktikan bahwa
7

ketersediaan pangan yang melimpah tidak menjamin ketahanan pangan jika daya
beli masyarakat rendah (Hardono dan Kariyasa, 2006).
Dinamika analisis ketahanan pangan menunjukkan bahwa ketersediaan
pangan dan akses terhadap pangan merupakan dua determinan penting dalam
ketahanan pangan tingkat rumah tangga (Braun, 1995). Faktor ketersediaan
pangan secara tunggal tidak menjamin ketahanan pangan rumah tangga namun
diperlukan akses terhadap pangan baik yang mencakup dimensi fisik maupun
ekonomi. akses fisik terkait dengan produksi pangan di tingkat rumah tangga,
sedangkan akses ekonomi terkait dengan pendapatan rumah tangga dengan
peubah pendapatan sebagai determinan utamanya.

1.2 Perumusan Masalah


Ketahanan pangan di tingkat nasional atau regional tidak menjamin
ketahanan pangan di tingkat rumahtangga dan individu. Menurut Simatupang
(1999) ketahanan pangan global, nasional, regional, lokal dan rumah tangga serta
individu merupakan suatu rangkaian hierarkis. Ketahanan pangan nasional dan
regional merupakan syarat keharusan tapi belum cukup memenuhi ketahanan
pangan rumah tangga dan individu (necessary but not sufficient condition).
Sementara ketahanan pangan individu dan rumah tangga merupakan syarat
kecukupan bagi ketahanan pangan nasional. Kecukupan pangan nasional atau
regional belum tentu dapat menjamin ketahanan pangan rumah tangga. Hal ini
ditunjukkan dengan adanya fakta bahwa walaupun ditingkat nasional dan wilayah
(provinsi) memiliki status ketahanan pangan yang terjamin, namun di wilayah
tersebut masih ditemukan rumah tangga rawan pangan (Saliem et al, 2001;
Ariningsih dan Rachman, 2008).
Peta Ketahanan dan Kerawanan Pangan 2009 yang dipublikasikan oleh
Dewan Ketahanan Pangan (DKP) menyebutkan terdapat lima kabupaten di Jawa
Timur yang masih dalam kondisi rawan pangan yaitu Sampang, Sumenep,
Probolinggo, Bangkalan dan Pamekasan. Hal ini adalah suatu kondisi yang ironis,
mengingat banyaknya keunggulan karakteristik Provinsi Jawa Timur yang secara
umum mampu surplus pangan namun masih terdapat daerah yang rawan pangan.
Di sisi lain, ketahanan pangan regional yang sudah tercapai belum tentu dapat
8

menjamin ketahanan pangan rumah tangga. Oleh sebab itu kajian mengenai
determinan ketahanan pangan regional dan rumah tangga di Provinsi Jawa Timur
sangat diperlukan.
Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan, maka dirumuskan
beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana dinamika pola konsumsi dan ketahanan pangan regional di
Provinsi Jawa Timur?
2. Apa saja determinan ketahanan pangan regional di Provinsi Jawa Timur?
3. Apa saja determinan ketahanan rumah tangga di Provinsi Jawa Timur?

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka penelitian ini bertujuan
untuk:
1. Menganalisis dinamika pola konsumsi dan ketahanan pangan regional di
Provinsi Jawa Timur.
2. Menganalisis determinan ketahanan pangan regional di Provinsi Jawa
Timur.
3. Menganalisis determinan ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Jawa
Timur.

1.4 Manfaat Penelitian


Berdasarkan tujuan penelitian di atas, hasil dari penelitian ini diharapkan
dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Diperolehnya informasi mengenai ketahanan pangan di Propinsi Jawa
Timur berdasarkan kecukupan kalori dan pangsa pengeluaran makanan.
2. Mendapatkan data dan informasi mengenai faktor-faktor yang menentukan
ketahanan pangan regional dan rumah tangga di Jawa Timur.
3. Menentukan strategi yang dapat meningkatkan ketahanan pangan di Jawa
Timur.
9

1.5 Ruang Lingkup Penelitian


Ada empat aspek penting dalam penelitian ini. Pertama, akan dilakukan
analisis pola konsumsi dan penghitungan status ketahanan rumah tangga
berdasarkan klasifikasi silang antara ketercukupan kalori dan pangsa pengeluaran.
Kedua, penyusunan peta tematik berdasarkan hasil pengolahan data kerawanan
pangan. Ketiga, akan dilakukan analisis mengenai determinan ketahanan pangan
regional di Jawa Timur. Keempat, akan dilakukan analisis determinan yang
menentukan ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Jawa Timur.
Penelitian ini mencakup kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Timur.
Meskipun banyak indikator dalam penentuan ketahanan pangan, namun dalam
penelitian ini penghitungan ketahanan pangan rumah tangga adalah dengan
menggunakan klasifikasi silang antara ketercukupan jumlah kalori dan pangsa
pengeluaran rumah tangga. Hal ini dilakukan karena faktor akses yang tercermin
dari kemampuan rumah tangga mengkonsumsi makanan merupakan faktor yang
paling utama dalam menentukan ketahanan pangan rumah tangga.
Penelitian ini mempunyai beberapa batasan penelitian, yaitu bahwa
ketahanan pangan rumah tangga diklasifikasikan sebagai kondisi yang saling
terkait antara pangsa pengeluaran makanan dengan ketercukupan kalori. Makanan
yang dikonsumsi adalah makanan yang dikonsumsi sendiri di rumah tangga baik
yang berasal dari pembelian, produksi sendiri maupun pemberian. Kerawanan
pangan yang dianalisis dalam penelitian ini adalah kerawanan pangan yang
bersifat kronis. Penelitian ini tidak menganalisis kerawanan pangan yang bersifat
transien.
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder, yaitu data
Kor dan Modul Konsumsi Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), PDRB
kabupaten/kota se Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Timur Dalam Angka, dan
Potensi Desa (PODES). Data yang digunakan meliputi periode tahun 2002
sampai 2008.
1

Halaman ini sengaja dikosongkan.

Anda mungkin juga menyukai