Anda di halaman 1dari 11

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

LAPORAN PENDAHULUAN
DENGAN HIPERTROPI PROSTAT

Disusun Oleh :
Ramadani Apriyan, S. Kep
NIM. 2021207209209

Dosen Pembimbing
Ns. Rita Sari, M.Kep

PROGRAM PROFESI NERS FAKULTAS KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PRINGSEWU - LAMPUNG
TAHUN AKADEMIK 2021/2022
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
LAPORAN PENDAHULUAN
PENYAKIT HIPERTROPI PROSTAT

A. Konsep Dasar Penyakit


1. Pengertian
Hipertropi Prostat adalah pembesaran dari kelenjar prostat yang disebabkan oleh
bertambahnya sel-sel glandular dan interstitial yang menyebabkan berbagai derajat obstruksi
uretral dan gangguan aliran urine, dan kebanyakan terjadi pada umur lebih dari 50 tahun.
Hipertropi Prostatat dari kelenjar periuretral ini kemudian mendesak jaringan prostat yang
asli ke penfer dan menjadi kasus.

2. Etiologi
Ada beberapa teori yang mengemukakan penyebab terjadinya hipertropi prostat antar lain :
a. Teori sel Stem ( Isaacs 1984,1987 )
Berdasarkan teori ini jaringan prostat pada orang dewasa berada pada keseimbangan antara
pertumbuhan sel dan sel yang mati.Keadaan ini disebut Steady State. Pada jaringan prostat
terdapat sel stem yang dapat berproli serasi lebih cepat sehingga terjadi hiperplasia kelenjar
penuretral.
b.Teori Mc Neal ( 1987 )
Menurut Mc Neal pembesaran prostat jinak dimulai dari zona transisi yang letaknya
sebelah proksimal dan spinater eksternal pada kedua sisi verumen tatum di zona periuretral.
c. Teori Di Hidro Testosteron ( DHT )
Testosteron yang diohasilkan oleh sel leyding jumlah testosteron yang dihasilkan oleh
testis kira-kira 90 % dari seluruh produksi testosteron. Sedang yang 10 % dihasilkan oleh
kelenjar adrenal. Sebagian besar testosteron dalam keadaan terikat dengan protein dalam
bentuk serum.
Bendung hormon ( SBH ) sekitar 20 % testosteron berada dalam keadaan bebas dan
testosteron bebas inilah yang memegang peranan peranan dalam proses terjadinya
pembesaran prostat testosteron bebas dapat masuk ke dalam sel prostat dengan menembus
membran sel ke dalam sitoplasma sel prostat sehingga membentuk DHT heseplar kompleks
yang akan mempengaruhi asam RNA yang menyebabkan terjadinya sintyesis protein
sehingga dapat terjadi profilikasi sel.

3. Patofisiologi
Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan testoteron estrogen,
karena produksi testoteron menurun dan terjadi konversi testoteron menjadi estrogen pada
jaringan adiposa diperifer. Bila perubahan mikroskopik ini terus berkembang akan terjadi
perubahan patologi anatomik. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada
leher vesika dan daerah prostat meningkat, dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat
detrusor kedalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut
tuberkulasi. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi otot dinding. Apabila kedaan
ini berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak
mampu lagi berkontraksi sehingga terjadi retensi urine.
Biasanya ditemukan gejala obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi terjadi karena detrusor
gagal berkontraksi sehingga kontraksi menjadi terputus.Gejala iritasi terjadi karena pengosongan
kandung kemih yang tidak sempurna saat miksi atau pembesaran prostat yang menyebabkan
rangsangan pada kandung kemih, vesika sering berkontraksi meskipun belum penuh. Apabila
vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urine sihingga pada akhir miksi masih
ditemukan sisa urine dalam kandung kemih dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir miksi. Jika
keadaan ini berlanjut pada suatu saat akan terjadi kemacetan total, sehingga penderita tidak
mampu lagi miksi.
Karena produksi urine terus terjadi maka vesika tidak mampu lagi menampung urine
sehingga tekanan intra vesika terus meningkat melebihi tekanan tekanan sfingter dan obstruksi
sehingga menimbulkan inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluk vesiko-
ureter, hidroueter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Prose kerusakan ginjal dipercepat apabila
terjadi infeksi. Sisa urine yang terjasi selama miksi akan menyebabkan terbentuknya batu
endapan yang dapat menyebabkan hematuria, sistisis dan pielonefritis.

4. Manifestasi Klinik
Gejala klinik dapat berupa :
a.Frekuensi berkemih bertambah
b. Nocturia
c.Kesulitan dalam memulai (hesitency) dan mengakhiri berkemih
d. Miksi terputus (hermittency)
e.Urine masih tetap menetes setelah selesai berkemih (terminal dribbling)
f. Pancaran miksi menjadi lemah (poor stream)
g. Rasa nyeri pada waktu berkemih (dysuria)
h. Rasa belum puas setelah miksi
Gejala kilinis tersebut diatas dapat terbagi 4 grade yaitu :
1.Pada grade I (congestif)
a. Mula-mula pasien berbulan-bulan atau bertahun-tahun susah kencing dan mulai
mengedan.
b. Kalau miksi merasa tidak puas.
c. Urine keluar menetes dan puncuran lemah.
d. Nocturia.
e. Ereksi lebih lama dari normal dan libido lebih dari normal.
f. Pada Citoscopy kelihatan hiperemia dan orifreum urether internal lambat laun terjadi
varises akhirnya bisa terjadi pendarahan (blooding).
2. Pada Grade 2 (residual)
a. Bila miksi terasa panas
b. Nocturi bertambah berat
c. Tidak dapat buang air kecil (kencing tidak puas)
d. Bisa terjadi infeksi karena sisa air kencing
e. Tejadi panas tinggi dan bisa meninggal
f. Nyeri pad daerah pinggang dan menjalar keginjal.
3. Pada grade 3 (retensi urine)
a. Ischuria paradorsal
b. Incontinential paradorsal
4.Pada grade 4
a.Kandung kemih penuh.
b.Penderita merasa kesakitan.
c. Air kencing menetes secara periodik (overflow incontinential).
d. Pada pemeriksaan fisik yaitu palpasi abdomen bawah untuk meraba ada tumor kerena
bendungan hebat.
e. Dengan adanya infeksi penderita bisa meninggal dan panas tinggi sekitar 40-41 C.
f. Kesadaran bisa menurun.
g.Selanjutnya penderita bisa koma
Berdasarkan gambaran klinik hipertrofi prostat dapat dikelompokan dalam empat (4) derajat
gradiasi sebagai berikut :
Derajat Colok Dubur Sisa Volume Urine
I Penonjolan prostat, batas atas mudah diraba. < 50 ml
II Penonjolan prostat jelas, batas atas dapat mudah 50 – 100 ml
dicapai.
III Batas atas prostat tidak dapat diraba > 100 ml
IV Retensi urine total

5. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan radiologik seperti foto polos abdomen dan pielografi intravena.
b. USG transabdominal atau transrektal (transrectal ultrasonography), untuk mengetahui
pembesaran prostat, menentukan volume buli-buli, mengukur sisa urine dan keadaan patologi
lain (tumor, divertikel, batu).
c. Systokopi.
d. IVP
e. Urinalisa dan Kultur urine.

6. Komplikasi
Melansir dari Mayo Clinic, berikut sejumlah komplikasi yang bisa disebabkan oleh Hipertropi
Prostat, yaitu:
a. Retensi urine. Retensi urine ditandai dengan ketidakmampuan seseorang untuk buang air
kecil. Pengidap BPH yang mengalami retensi urine mungkin perlu dibantu dengan kateter
yang dimasukkan ke dalam kandung kemih untuk mengeringkan urine. 
b. Infeksi saluran kemih. BPH juga bisa membuat pengidapnya tidak mampu mengosongkan
kandung kemih sepenuhnya. Kondisi ini meningkatkan risiko infeksi saluran kemih.
c. Batu kandung kemih. Batu kandung kemih juga dapat terbentuk apabila pengidap BPH tidak
mampu mengosongkan kandung kemih sepenuhnya. Jika ukurannya semakin besar, batu bisa
menyebabkan infeksi, mengiritasi kandung kemih, dan menyumbat aliran urine.
d. Kerusakan kandung kemih. Kandung kemih yang tidak dikosongkan sepenuhnya lama
kelamaan dapat meregang dan melemah. Akibatnya, dinding otot kandung kemih tidak lagi
berkontraksi dengan baik.
e. Kerusakan ginjal. Tekanan pada kandung kemih akibat retensi urine terus-menerus dapat
merusak ginjal atau menyebarkan infeksi kandung kemih sampai ke bagian ginjal.
Pada kondisi yang lebih parah, retensi urine akut, kerusakan ginjal hingga kanker prostat dapat
menjadi ancaman kesehatan yang serius. Oleh karena itu, gejala BPH berikut ini perlu
diwaspadai para pria. 

7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dapat dilakukan berdasarkan derajat berat-ringannya hipertrofi prostat.
a. Derajat I; biasanya belum membutuhkan tindakan pembedahan.
Pengobatan konservatif yang dapat diberikan adalah penghambat adrenoreseptor alfa seperti;
alfazosin, prazosin, dan terazosin.
b. Derajat II; merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan. Biasanya
dianjurkan untuk dilakukan reseksi endoskopik melalui urethra (trans urethra resection).
c. Derajat III; pada derajat ini reseksi endoskopik dapat dilakukan secara
terbuka. Pembedaahan terbuka dapat dilakukan melalui transvesikel, retropibik atau perineal.
d. Derajat IV; pada derajat ini tindakan pertama adalah membebaskan klien
dari retensi urine total, dengan memasang kateter atau sistostomi. Selanjutnya dapat dilakukan
pembedahan terbuka. Untuk klien dengan keadaan umum lemah dapat diberikan pengobatan
konservatif yaitu penghambat adrenoreseptor daan obat antiandrogen.
Pengobatan invasif lainnya ialah pemanasan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan
kekelenjar prostat. Juga dapat digunakan cahaya laser yang disebut transurethral ultrasound
guide laser induced prostatecthomy.

B. Konsep Proses Keperawatan


1. Pengkajian
Menurut Dongoes (2007), Hal-hal yang perlu dikaji pada pasien dengan gangguan sistem
perkemihan yang berhubungan dengan BPH dalam riwayat keperawatan harus ditemukan :
a. Identitas pasien.
b. Riwayat kesehatan umum meliputi berbagai gangguan/penyakit yang lalu, berhubungan
dengan atau yang dapat mempengaruhi penyakit sekarang.
1) Riwayat kesehatan keluarga.
2) Riwayat kesehatan sekarang.
c. Riwayat kesehatan sekarang meliputi keluhan/gangguan yang berhubungan dengan
gangguan/penyakit yang dirasakan saat ini :
1) Bagaimana pola/frekuensi berkemih : poliuri, oliguri, BAK keluar sedikit-sedikit tetapi
sering, nokturia, urine keluar secara menetes, incontinentia urin.
2) Adakah kelainan waktu bak seperti : disuria, ada rasa panas, hematuria, dan lithuri.
3) Apakah rasa sakit terdapat pada daerah setempat atau secara umum :
a) Apakah penyakit timbul setelah adanya penyakit yang lain.
b) Apakah terdapat mual dan muntah.
c) Apakah tedapat edema.
d) Bagaimana keadaan urinenya (volume, warna, bau, berat jenis, jumlah urine dalam 24
jam).
e) Adakah sekret atau darah yang keluar.
f) Adakah hambatan seksual.
g) Apakah ada rasa nyeri (lokasi, identitas, saat timbulnya nyeri)
d. Data fisik :
1) Inspeksi : Secara umum dan secara khusus pada daerah genetalia. (warna, edema)
2) Palpasi : Pada daerah abdomen, buli-buli (kandung kemih), lipat paha
3) Auskultasi : Daerah abdomen.
4) Perkusi : Daerah abdomen, ginjal.
e. Data psikologis :
1) Keluhan dan reaksi pasien terhadap penyakit.
2) Tingkat adaptasi pasien terhadap penyakit.
3) Persepsi pasien terhadap penyakit.
f. Data sosial, budaya, spritual :
Hubungan dengan orang lain, kepercayaan yang dianut dan keaktifannya, kegiatan
dan kebutuhan sehari-hari :
1) Nutrisi (kebiasaan makan, jenis makanan, makanan pantang, kebiasaan minum, jenis
minuman).
2) Eliminasi bak dan bak (konsistensi, frekuensi, warna, bau, dan jumlah)
3) Olahraga (jenis, teratur atau tidak).
4) Istirahat/tidur (waktu, lamanya)
5) Personal Hygiene.
6) Ketergantungan.
g. Data khusus meliputi :
1) Hasil-hasil pemeriksaan diagnostik.
2) Program medis (pengobatan, tindakan medis)
2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan eliminasi retensi urine berhubungan dengan obstruksi mekanik pembesaran prostat,
dekompensasi otot destrusor, ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontruksi dengan
adekuat ditandai dengan frekuensi keraguan berkemih, ketidakmampuan mengosongkan
kandung kemih, distensi kandung kemih.
b. Nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa , ditandai : keluhan nyeri meringis, gelisah.
c. Resiko kekurangan kekurangan volume cairan berhubungan dengan hilangnya cairan tubuh
secara tidak normal, seperti pendarahan melalui kateter, muntah.
d. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan, kemungkinan prosedur bedah di
tandai: peningkatan tekanan,ketakutan, kekhawatiran.
e. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakitnya
ditandai: klien sering menanyakan tentang keadaan penyakitnya.

3. Rencana Keperawatan (Tujuan, Intervensi, Rasional Tindakan)


a. Gangguan eliminasi retensi berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran prostat,
dekonpensasi otot destrusor.

Tujuan :
- Berkemih dengan jumlah yang cukup tak teraba disertai kandung kemih.
- Menunjukkan residu pasca berkemih kurang dari 50 ml dengan tak adanya
tetesan/kelebihan aliran.
Intervensi :
1. Dorong klien untuk berkemih tiap 2 sampai 4 jam.
Rasional : meminimalkan retensi urine berlebihan pada kandung kemih.
2. Observasi aliran urine. Perhatikan ukuran dari kekuatan
Rasional : berguna untuk mengevaluasi obstruksi dan piulihan intervensi
3. Awasi dan catat waktu, jumlah tiap berkemih. Perhatikan penurunan pengeluaran urine
dan perubahan berat jenis.
Rasional : retensi urinr meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan bagian atas
yang dapat mempengaruhi ginjal.
4. Anjurkan untuk minum air 3000 ml/hari
Rasional : peningkatan aliran cairan mempertahankan perfusi ginjal dan membersihkan
ginjal, kandung kemih dari pertumbuhan bakteri.
5. Lakukan kateterisasi dan perawatan parianal.
Rasional : menurunkan resiko infeksi asendens.
6. Kolaborasi pemberian Obat anti spasmodik, suoasitoria rektal, antibiotik
Rasional : menghilangkan spasme kandung kemih, sedangkan antibiotik untuk
melawan infeksi.
b. Nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa, distensi kandung kemih,kolik ginjal,infeksi
urinaria.

Tujuan :
- Melaporkan nyeri hilang / terkontrol
- Tampak rileks.
- Mampu untuk tidur/istirahat dengan tepat
Intervensi :
1. Kaji tingkat nyeri
Rasional : memberi informasi dalam keefektifan intervensi.
2. Plester selang drainase pada paha dan keteter pada abdomen.
Rasional : mencegah penarikan kandung kemih dan erosi pertemuan penis skrotal.
3. Pertahankan tirah baring.
Rasional : mungkin diperlukan pada awal retensi akut namun ambulasi dini dapat
memperbaiki pola berkemih normal.
c. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan drainase kandung kemih yang terlalu
distensi secara kronik.

Tujuan :
- Mempertahankan hidrasi adekauat dibuktikan oleh tanda vitat stabil,
nadi perifer teraba, pengisian kapiler baik membran mukosa lembab.
Intervensi :
1. Awasi output cairan tiap jam dan catat pengeluaran urine
Rasional : diuresis cepat dapat mengakibatkan kekurangan volume total cairan karena
tidak cukupnya jumlah natrium diabsorpsi dalam tubulus ginjal.
2. Anjurkan infek oral berdasarkan kebutuhan individu
Rasional : hemostatis, pengurangan cadangan dan peningkatan resiko dehidrasi
hipopolemik
3. Awasi tekanan darah dan nadi obserfasi pengisian kafiler dan membran mukosa oral.
Rasional : deteksi dini adanya hipopolemik sistem
4. Kolaborasi pemerian cairan IV (garam faal hipertonik) sesuai kebutuhan.
Rasional : pemberian cairan IV menggantikan cairan dan natrium yang hilang untuk
mencegah / memperbaiki hipopolemik.
d. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan kemungkinan prosedur bedah.

Tujuan:
- Tampak rileks
- Melaporkan ansietas menurun sampai tingkat dapat ditangani
- Menyatakan pengetahuan yang akurat tentang situasi
Intervensi :
1. Bina hubungan saling percaya pada pasien atau keluarganya selalu ada di dekat pasien.
Rasional : menunjukkan perhatian dan keinginan untuk membantu
2. Berikan informasi tentang prosedur dan tes khusus dan apa yang akan terjadi contoh;
kateter urine berdarah.
Rasional : membantu pasien maemahami tujuan dari apa yang dilakukan dan
mengurangi masalah kesehatan karena ketidaktahuan termasuk ketakutan akan kanker.

3. Dorong pasien/orang terdekat untuk menyatakan masalah.


Rasional : mendefenisikan masalah memberikan kesempatan untuk menjawab
pertanyaan, memperjelas kesalahan konsep dan solusi pemecahan masalah.

e. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses pengobatan.

Tujuan:
- Menyatakan pemahaman proses penyakit.
- Berpartisipasi dalam proses pengobatan
Intervensi :
1. Kaji ulang proses penyakitb pengalaman pasien.
Rasional : memberikan dasar pengetahuan di mana pasien dapat membuat pilihan
informasi terapi.

2. Dorong menyatakan rasa takut/perasaan dan perhatian.


Rasional : membantu pasien mengalami perasaan dapat merupakan rehabilitasi vital.
DAFTAR PUSTAKA

Corwin, J. Elizabeth, 2001, Buku Saku Pathofisiologi, EGC, Jakarta.


Doenges, Moorhouse & Geissler, 2001, Rencana Asuhan Keperawatan, Penerbit EGC,
Jakarta.
Brunner & Suddarth, 2001, Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol. 3, EGC, Jakarta.
Sjamsuhidajat & Wim de Jong, 1997, Ilmu Bedah, Penerbit EGC, Jakarta.
Price & Wilson, 1995, Pathofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Penerbit EGC,
Jakarta.
Staf Pengajar Patologi Anatomi FKUI, 1993, Patologi, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai