Anda di halaman 1dari 14

Laporan Praktikum Farmakologi II

ABSORPSI DAN EKSRESI OBAT

disusun oleh:

SHIFT B
Kelompok 1

Aisya Sabrina 2008109010003


Naja Nafissa 2008109010005
Nura Qamara 2008109010008
Elvira 2008109010016

LABORATORIUM FARMAKOLOGI II
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM-BANDA ACEH
2022
No Laporan Praktikum

I JUDUL Percobaan III : ABSORBSI DAN EKSKRESI OBAT


PERCOBAAN
II PENDAHULUAN Obat adalah suatu substansi yang melalui efek kimianya
membawa perubahan dalam fungsi biologik. Interaksi obat
didefinisikan sebagai fenomena yang terjadi ketika efek
farmakodinamik dan farmakokinetik dari suatu obat berubah
karena adanya pemberian obat yang lain (Barkah,et al., 2020).
Secara definitif farmakokinetika adalah ilmu yang
mempelajari kinetika absorbsi, distribusi, dan eliminasi
(eksreksi dan metabolisme) obat (Shargel et al., 2012). Fase
farmakokinetik mencakup perjalanan obat dari titik masuk
obat ke dalam tubuh manusia hingga mencapai tempak
aksinya. Fase ini meliputi selama obat diangkut ke organ yang
ditentukan, setelah obat dilepas dari sediaan. Fasa ini berperan
dalam ketersediaan obat untuk mencapai jaringan sasaran
(target) sehingga dapat menimbulkan respon biologis
(Siswandono, 2016). Dalam istilah yang paling sederhana,
farmakokinetik menggambarkan apa yang dilakukan tubuh
terhadap senyawa. Farmakokinetik mencakup 4 proses, yaitu
proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi.
Absorbsi adalah proses perpindahan senyawa obat dari
tempat absorpsinya ke dalam sirkulasi sistemik. Proses ini
bergantung pada anatomi serta fisiologi tempat absorbsi, sifat
fisikokimia obat dan bentuk sediaan dan faktor lain-lain (usia,
makanan yang dikonsumsi, interaksi obat dengan senyawa
lainnya) (Siswandono, 2016). Obat akan mampu
menghasilkan efek terapeutik bila dicapai konsentrasi yang
sesuai pada site of action obat tersebut , maka absorpsi yang
cukup menjadi syarat untuk suatu efek terapeutik,
pengecualian terhadap obat yang bekerja lokal dan juga
antasida.
Distribusi obat merupakan tahapan farmakokinetika
selanjutnya setelah molekul obat diabsorpsi dalam plasma.
Obat didistribusikan ke seluruh tubuh melalui sirkulasi
sistemik. Molekul obat diangkut oleh darah ke satu target
(reseptor) untuk aksi obat dan juga ke jaringan lain (non
reseptor), dimana dapat terjadi efek samping atau efek yang
merugikan (Shargel et al., 2012). Terdapat beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi kemampuan obat untuk bisa
menembus suatu membran yaitu sifat fisika kimia molekul
obat dan fisiologi membrane sel. Umumnya obat larut lemak
berdifusi melintasi membrane sel lebih cepat dibandingkan
obat yang larut air, hal ini terjadi karena membrane sel terdiri
atas protein dan fosfolipid bilayer. Selain itu, molekul obat
yang berukuran kecil akan lebih mudah untuk berdifusi
melintasi membrane sel daripada molekul obat berukuran
besar. Molekul obat yang terikat dengan protein plasma
seperti albumin juga akan lebih sulit melintasi membrane sel
karena ukurannya besar (Shargel et al., 2012).
Metabolisme atau biotransformasi adalah proses
pengubahan obat di dalam tubuh secara kimia menjadi suatu
ester yang terjadi secara enzimatik. Proses metabolism suatu
obat dibantu oleh enzim salah satunya cytochrome P450
(CYPs). Enzim ini merupakan kelompok enzim utama yang
mampu mengkatalisasi biotransformasi oksidatif sebagian
besar obat. Proses metabolisme berpengaruh terhadap
aktivitas biologis, masa kerja dan toksisitas obat. Tujuan dasar
metabolisme yaitu mengubah obat dari aktif menjadi
metabolit tidak aktif dan tidak toksik, dari kurang polar
menjadi polar sehingga mudah larut dalam air dan kemudian
diekskresikan melalui urin. Proses metabolisme paling besar
terjadi di hati, meskipun dapat juga di kulit, jaringan, paru-
paru, saluran cera dan ginjal (Siswandono, 2016). Kecepatan
metabolisme obat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu
induksi enzim, inhibisi enzim, usia, penyakit, dan faktor
genetik. Reaksi metabolisme dibagi menjadi reaksi fase I dan
rekasi fase II. Reaksi fase I meliputi oksidasi, reduksi, dan
hidrolisis, yang berfungsi untuk mengubah molekul lipofilik
menjadi molekul yang lebih polar. Sedangkan, pada rekasi
fase II terjadi reaksi penggabungan (konjugasi) yang
mengikatkan obat atau 19 metabolitnya secara kovalen dengan
molekul polar (karbohidrat atau asam amino), yang
menyebabkan konjugat tersebut lebih laruh air untuk nantinya
diekskresi (Tjay & Rahardja, 2015).
Ekskresi obat merupakan pembersihan obat dari dalam
tubuh , obat akan melalui ginjal menuju kandung kemih dan
akan berakhir dikeluarkan dari dalam tubuh bersama urine.
Selain urine, obat juga dapat diekskresikan melalui empedu
dan air liur ke dalam usus bersama tinja, melalui keringat,
melalui kulit dan air susu ibu. Obat-obat yang kurang larut
dalam air, sulit untuk diekskresi melalui jalur di atas, obat-
obat tersebut dimetabolisme lebih dahulu sehingga berubah
menjadi bentuk polar dan selanjutnya diekskresikan. Ginjal
adalah organ yang paling penting untuk ekskresi obat dan
metabolitnya. Terdapat 3 mekanisme ekskresi ginjal yaitu
filtrasi glomerulus, sekresi aktif tubuler, dan reabsorpsi
tubuler. Rute utama dari eliminasi obat adalah melalui ginjal,
rute-rute lain meliputi empedu, feses, paru-paru, saliva,
keringat, dan air susu ibu. Obat bebas, yang tidak berikatan,
yang larut dalam air, dan obat-obat yang tidak diubah,
difiltrasi oleh ginjal. Obat-obat yang berikatan dengan protein
tidak dapat difiltrasi oleh ginjal. Sekali obat dilepaskan
ikatannya dengan protein, maka obat menjadi bebas dan
akhirnya akan diekskresikan melalui urin. pH urin
mempengaruhi ekskresi obat. pH urin bervariasi dari 4,5
sampai 8. Urin yang asam meningkatkan eliminasi obat-obat
yang bersifat basa lemah (Indah, et al., 2021).
Obat yang digunakan pada percobaan ini adalah Kalium
Iodida yang termasuk sebagai senyawa kimia suplemen
makanan maupun obat-obatan yang digunakan pada penderita
penyakit hipertiroidisme. Obat ini untuk melindungi kelenjar
tiroid pada saat berbagai jenis radiofarmaka digunakan. Untuk
saat ini potassium iodide digunakan dalam mengobati
sporotrikosis maupun fikomikosis pada bagian kulit.
Berdasarkan teori kalium iodide merupakan garam elektrolit
sehingga akan cepat mengalami absorpsi yaitu melalui difusi
pasif dan konsentrasi maksimum, kemudian obat masuk ke
darah dan berikatan dengan protein plasma dan dibawa oleh
darah ke seluruh tubuh. Obat bebas akan keluar ke jaringan,
ke hati (metabolit yang dikeluarkan melalui empedu), dan di
ginjal (metabolit diekskresikan melalui urin).
III PRINSIP Absorbsi dan ekskresi obat secara kualitatif dapat
PERCOBAAN diidentifikasi melalui darah, urin, saliva dalam interval waktu
tertentu.
IV TUJUAN Memperlihatkan variasi kecepatan absorbs/ekskresi obat yang
PERCOBAAN diberikan secara oral pada manusia.
V SUBJEK OCOBA Praktikan laki-laki yang sehat
VI ALAT DAN Alat :
BAHAN 1. Beaker glass
2. Tabung reaksi
3. Pipet tetes
Bahan :
1. Kalium Iodida 300 mg dalam kapsul
2. Larutan Kalium Iodida 1%
3. Larutan Natrium Nitrit 10%
4. Larutan asam sulfat dilutes
5. Larutan atau suspense amilum 1%
VII PROSEDUR 1. Tentukan 2 orang praktikan dari tiap kelompok sebagai
KERJA subyek coba I untuk pengambilan urin dan subyek coba II
untuk pengambilan saliva), sedangkan praktikan lainnya
bertanggung jawab untuk percobaan yang dilakukan.
2. Sebelum obat ditelan kandung kemih subjek coba harus
dikosongkan, setidaknya 3 jam sebelum praktikum
dimulai. Kemudian minum 2 gelas air (500 ml), dan
tampung urin (2-3 mL) dan saliva sebagai urin/ saliva
kontrol di dalam tabung reaksi dan ditandai
3. Kemudian subjek coba I dan II menelan kapsul berisi
Kalium iodida dengan 1 gelas air.
4. Pada menit ke – 30 setelah minum obat, urin dan saliva
subyek coba ditampung di dalam gelas ukur. Lakukan
penampungan urin dan saliva selama 120 menit dengan
interval waktu 30 menit.
5. Urin/saliva kontrol dan urin/saliva perlakuan dengan
Kalium Iodida digunakan untuk mengetahui adanya
absorbsi dan ekskresi Kalium Iodida.
6. Ambil 10 (sepuluh) tabung reaksi bersih dan kering,
tandai dan lakukan sebagai berikut:
a. Tabung I = 1 mL KI 1% + 1 mL Amylum 1%
(amati apa yang terjadi dan catat)
b. Tabung II = 1 mL KI 1% + 1 mL Amylum 1% +
2–3 tetes H2SO4 dilutus (amati apa yang terjadi
dan catat)
c. Tabung III = 1 mL KI 1% + 2-3 tetes Natrium
nitrit 10% rp + 2–3 tetes H2SO4 dilutus + 1
mLAmylum 1% (amati apa yang terjadi dan catat)
d. Tabung IV = 1 mL urin kontrol/ saliva kontrol +
2– 3 tetes Natrium nitrit 10% rp + 2 – 3 tetes
H2SO4 dilutus + 1 mL Amylum 1% ( amati apa
yang terjadi dan catat)
e. Tabung V/VI menit 30 = 1 mL urin/ saliva subjek
yang makan KI + 2 – 3 tetes Natrium nitrit 10% rp
+ 2 – 3 tetes H2SO4 dilutus + 1 mL Amylum 1%
(amati apa yang terjadi)
f. Tabung VII/VIII menit 60 = 1 mL urin/ saliva
subjek yang makan KI + 2 – 3 tetes Natrium nitrit
10% rp + 2 – 3 tetes H2SO4 dilutus + 1 mL
Amylum 1% (amati apa yang terjadi)
g. Tabung IX/ X menit 90 = 1 mL urin/ saliva subjek
yang makan KI + 2 – 3 tetes Natrium nitrit 10% rp
+ 2 – 3 tetes H2SO4 dilutus + 1 mL Amylum 1%
(amati apa yang terjadi)
h. Tabung XI/XII menit 120 = 1 mL urin/ saliva
subjek yang makan KI + 2 – 3 tetes Natrium nitrit
10% rp + 2 – 3 tetes H2SO4 dilutus + 1 mL
Amylum 1% (amati apa yang terjadi)
VIII HASIL Tabung Perlakuan Pengamatan
PENGAMATAN
I 1 mL KI + 1 mL Larutan keruh dengan
amylum 1% endapan berwarna putih

II 1 mL KI + 1 mL Larutan kehitaman
amylum 1% + 2-3 tetes dengan endapan
H2SO4 dilutus berwarna ungu

III 1 mL KI + 1 mL Larutan coklat gelap


amylum 1% + 2-3 tetes dengan endapan
NaNO2 10% + 2-5 berwarna hitam
tetes H2SO4 dilutus

IV-A 1 mL urin kontrol + 1 Larutan kuning keruh


mL amylum 1% + 2-3 dengan endapan putih
tetes NaNO2 10% + 2-
5 tetes H2SO4 dilutus

IV-B 1 mL saliva kontrol + 1 Larutan putih keruh


mL amylum 1% + 2-3 dengan endapan putih
tetes NaNO2 10% + 2-
5 tetes H2SO4 dilutus

V (30 1 mL urin subjek yang Larutan keruh berwarna


menit) mengonsumsi KI + 1 kuning dengan sedikit
mL amylum 1% + 2-3 endapan putih
tetes NaNO2 10% + 2-
5 tetes H2SO4 dilutus

VI (30 1 mL saliva subjek Larutan keruh berwarna


menit) yang mengonsumsi KI putih dengan cincin
+ 1 mL amylum 1% + ungu kehitaman dan
2-3 tetes NaNO2 10% endapan berwarna hitam
+ 2-5 tetes H2SO4
dilutus

VII (60 1 mL urin subjek yang Larutan kuning keruh


menit) mengonsumsi KI + 1 dengan cincin ungu
mL amylum 1% + 2-3 kehitaman dan endapan
tetes NaNO2 10% + 2- berwarna hitam
5 tetes H2SO4 dilutus

VIII (60 1 mL saliva subjek Larutan putih keruh


menit) yang mengonsumsi KI dengan cincin ungu
+ 1 mL amylum 1% + kehitaman dan endapan
2-3 tetes NaNO2 10% kehitaman
+ 2-5 tetes H2SO4
dilutus

IX (90 1 mL urin subjek yang Larutan kuning keruh


menit) mengonsumsi KI + 1 dengan cincin ungu
mL amylum 1% + 2-3 kehitaman dan endapan
tetes NaNO2 10% + 2- berwarna hitam
5 tetes H2SO4 dilutus

X (90 1 mL saliva subjek Larutan keruh dengan


menit) yang mengonsumsi KI cincin ungu kehitaman
+ 1 mL amylum 1% + serta endapan berwarna
2-3 tetes NaNO2 10% hitam
+ 2-5 tetes H2SO4
dilutus

XI (120 1 mL urin subjek yang Larutan berwarna


menit) mengonsumsi KI + 1
mL amylum 1% + 2-3 kehitaman
tetes NaNO2 10% + 2-
5 tetes H2SO4 dilutus

XII 1 mL saliva subjek Larutan keruh berwarna


(120 yang mengonsumsi KI hijau kehitaman dengan
menit) + 1 mL amylum 1% + endapan hitam
2-3 tetes NaNO2 10%
+ 2-5 tetes H2SO4
dilutus

VIII PERHITUNGAN 1. KI
DOSIS
n
DM = ×dosis dewasa
20

19
DM = ×500 mg
20

DM =475 mg

300 mg
% 1 kali pakai= × 100 %
475 mg

% 1 kali pakai=63,15 % (aman)

IX PEMBAHASAN Hasil yang diperoleh pada tabung I yang merupakan


larutan kontrol, terlihat tidak ada perubahan warna, larutan
keruh dengan endapan berwarna putih. Pada tabung II, saat
larutan kontrol ditambahkan asam sulfat dilutus maka berubah
menjadi kehitaman dengan endapan berwarna ungu
dikarenakan terjadinya hidrolisis. Pada tabung III, larutan
coklat gelap dengan endapan berwarna hitam. Pada tabung
IV-A yang menggunakan urin kontrol dan tabung IVB yang
menggunakan saliva kontrol terlihat bahwa warna larutan
belum mencolok karena sampel masih belum mengandung KI.
Pada tabung IVA, larutan kuning keruh dengan endapan putih.
Pada tabung IVB, larutan putih keruh dengan endapan putih.
Pada menit ke-30 setelah mengonsumsi KI yaitu pada tabung
V, yang terdapat urin subjek, tampak bahwa larutan keruh
berwarna kuning dengan sedikit endapan putih dan pada
tabung VI yang terdapat saliva subjek tampak bahwa larutan
keruh berwarna putih dengan cincin ungu kehitaman dan
endapan berwarna hitam. Setelah 60 menit mengonsumsi KI
pada tabung VII yang terdapat urin subjek, tampak larutan
kuning keruh dengan cincin ungu kehitaman dan endapan
berwarna hitam, sedangkan tabung VIII tampak larutan putih
keruh dengan cincin ungu kehitaman dan endapan kehitaman.
Setelah 90 menit mengonsumsi KI pada tabung IX yang
terdapat urin subjek, tampak larutan kuning keruh dengan
cincin ungu kehitaman dan endapan berwarna hitam.
Sedangkan pada tabung X yang terdapat saliva subjek, larutan
keruh dengan cincin ungu kehitaman serta endapan berwarna
hitam. Setelah 120 menit mengonsumsi KI pada tabung XI
yang terdapat urin subjek, larutan berwarna kehitaman.
Sedangkan pada tabung XII yang terdapat saliva subjek,
tampak larutan keruh berwarna hijau kehitaman dengan
endapan hitam. Sehingga dapat diketahui bahwa kandungan
KI pada saliva lebih banyak sehingga ekskresi pada saliva
lebih maksimal dan semakin bertambahnya waktu dapat
diketahui pula bahwa warna sampel larutan semakin pekat
sehingga absorpsi lebih maksimal.
Pada percobaan ini penambahan natrium nitrit berfungsi
sebagai katalisatornya yang dapat mempercepat terjadinya
reaksi enzimatis antara amilum dan KI dan penambahan asam
sulfat dilutus selain sebagai pemberi suasana asam juga untuk
mempercepat reaksi. Natrium nitrit pada percobaan ini
berperan sebagai oksidator. Apabila tidak adanya asam sulfat
dilutus maka pada pada kontrol tidak terjadi perubahan warna
menjadi coklat akibat adanya hidrolisis akibat terbentuknya
suasana asam pada larutan yang terjadinya absorbsi molekul
iodine yang masuk ke dalam uliran spiral amilosa dimana
sebelumnya terjadi pemecahan ikatan KI oleh asam sulfat
((H2SO4) berfungsi sebagai reduktor). Warna ungu pada
larutan dapat terjadi karena reaksi antara iodium dengan
amilum. Ekskresi suatu obat atau sisa metabolitnya paling
besar melalui urin. KI mengalami absorpsi dan ekskresi pada
tubuh probandus. Hal ini ditandai dengan adanya perubahan
warna saliva dan urin. Pada pengambilan urin yang pertama
dan selanjutnya terjadi perubahan warna yang mencolok, hal
ini diakibatkan oleh proses absorpsi KI meningkat. Namun,
umumnya ekskresi melalui saliva lebih cepat dibandingkan
pada urin, dapat diamati pada menit 30 pertama, yaitu tabung
VI dengan subjek saliva lebih dahulu terjadi perubahan warna
daripada tabung V dengan subjek urin. Terlihat bahwa
intensitas warna larutan pada saliva lebih pekat yang
menandakan bahwa ekskresi KI pada saliva lebih maksimal.
Perbandingan antara onset dan durasi saliva dengan urine juga
ditemukan lebih cepat pada saliva karena memiliki lintas
metabolisme yang lebih sederhana dan sisa metabolismenya
langsung diekskresikan melalui kelenjar saliva itu sendiri
tanpa melalui metabolismelintas pertama (first pass
metabolisme) di hepar. Hasil setiap kelompok dapat berbeda-
beda karena ada faktor yang dapat mempengaruhi absorpsi
dan ekskresi yaitu faktor kelarutan obat, kemampuan difusi
obat dalam melintasi membrane sel yang dituju, konsentrasi
obat, sirkulasi pada tempat absorbs, bentuk sediaan obat, cara
pemakaian obat, serta peningkatan metabolisme seseorang.
Seperti yang diketahui pula bahwa fisiologis dan genetika
setiap praktikan yang berbeda-beda
X. KESIMPULAN Kesimpulan yang didapat dari hasil percobaan ini yaitu:
1. Sampel urin mulai mengandung KI pada menit ke 60
hingga pada waktu 120 menit, yang menandakan
proses absorpsi hingga proses ekskresi berlangsung.
2. Sampel saliva mulai mengabsorpsi KI pada menit ke
30, dan mengalami ekskresi obat secara perlahan
hingga pada waktu 120 menit.
3. Pada waktu 120 menit, baik pada sampel saliva
maupun sampel urine masih mengandung KI yang
ditandai dengan warna larutan yang biru kehitaman,
hal ini dapat disebabkan karena adanya kesalahan
probandus dalam penggunaan obat yang kurang tepat.
4. Kecepatan absorpsi pada sampel urine lebih lambat
dibanding pada sampe saliva, dikarenakan faktor lain
seperti kelarutan obat dan cara pemakaian obat yang
kurang tepat.
5. Semakin banyak KI yang diabsorpsi dan diekskresikan
oleh tubuh akan ditandai dengan perubahan warna
larutan sampel yang semakin pekat/ungu atau biru
kehitaman.
6. Percobaan ini membuktikan bahwa obat masuk ke
dalam tubuh melewati proses absorpsi, metabolisme
dan ekskresi.

XI. DAFTAR Barkah, M. A., Syamsi, N., & Nur, A. A. (2020). Identifikasi
PUSTAKA Interaksi Obat Pada Pasien Lanjut Usia Instalasi Rawat
Jalan Di Rumah Sakit Umum Daerah Madani Palu.
Healthy Tadulako Journal(Jurnal Kesehatan
Tadulako), 6(1), 1-72.
Indah, Y. W., & Woro, S. (2021). Gambaran Penggunaan
Obat Pasien Penyakit Ginjal Kronik Di Instalasi Rawat
Inap RS PKU Muhammadiyah Gamping. Jurnal
Farmagazine, 8(2), 37-43.
Shargel, L & Andrew. (2012). Applied Biopharmaceutics &
Pharmacokinetics. New York: McGraw-Hill
Companies.
Siswandono. 2016. Kimia Medisinal Edisi 1. Surabaya :
Airlangga University Press.
Tjay, T.H dan Raharja. 2015. Obat obat penting. Jakarta :
Penerbit PT Elex Media Komputindo
XIII PENGESAHAN Darussalam, 17 Maret 2022
Mengetahui,

(Rudy Darma)
LAMPIRAN

Gambar 2. Hasil percobaan tabung I-V

Gambar 1.Hasi percobaan tabung VI-XIII

Anda mungkin juga menyukai