Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

KONSEP MANUSIA MENURUT ISLAM

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 6 :
CITRA ADELIA JELITA TAUFIQ (02220200289)
ANNISA NOVIA DOSANTOS (02220200063)

Kelas : B4

PROGRAM STUDY MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat, dan
hidayahNya, kami dapat menyelesaikan Makalah Pendidikan Agama Islam tentang “Konsep
Manusia Menurut Islam”. Semoga dengan membaca makalah ini, para pembaca akan lebih
memahami Konsep Manusia Menurut Islam. Kritik dan saran demi kemajuan makalah ini
sangat diharapkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat.

penyusun

Kelompok 6…
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ..........................................................................................................i

Daftar Isi ...................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ...................................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah .................................................................................................. 1
C. Tujuan..................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

1. Keberadaan Manusia...................................................................................................3
2. Hakikat Manusia...................................................................................................... 5
3. Martabat Manusia .................................................................................................... 6
4. Tujuan Penciptaan Manusia...................................................................................... 8
5. Fungsi dan Peranan Manusia ....................................................................................9
6. Tanggung Jawab Manusia .......................................................................................10

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan............................................................................................................ 14

DAFTAR
PUSTAKA…………………………………………………………………...............................
.......…13
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kehadiran manusia tidak terlepas dari asal usul kehidupan di alam semesta. Manusia
hakihatnya adalah makhluk ciptaan Allah SWT. Pada diri manusia terdapat perpaduan antara
sifat ketuhanan dan sifat kemakhlukan. Dalam pandangan Islam, sebagai makhluk ciptaan
Allah SWT manusia memiliki tugas tertentu dalam menjalankan kehidupannya di dunia ini.
Untuk menjalankan tugasnya manusia dikaruniakan akal dan pikiran oleh Allah SWT. Akal
dan pikiran tersebut yang akan menuntun manusia dalam menjalankan perannya. Dalam
hidup di dunia, manusia diberi tugas kekhalifaan, yaitu tugas kepemimpinan, wakil Allah di
muka bumi, serta pengelolaan dan pemeliharaan alam.

Kewajiban manusia kepada khaliknya adalah bagian dari rangkaian hak dan kewajiban
manusia dalam hidupnya sebagai suatu wujud dan yang maujud. Didalam hidupnya manusia
tidak lepas dari adanya hubungan dan ketergantungan. Adanya hubungan ini menyebabkan
adanya hak dan kewajiban. Hubungan manusia dengan Allah adalah hubungan makhluk
dengan khaliknya. Dalam masalah ketergantungan, hidup manusia selalu mempunyai
ketergantungan kepada yang lain. Dan tumpuan serta ketergantungan adalah ketergantungan
kepada yang Maha Kuasa, yang Maha Perkasa, Yang Maha Bijaksana, Yang Maha
Sempurna, ialah Allah rabbul’alamin, Allah Tuhan Yang Maha Esa.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Keberadaan Manusia dalam Islam?


2. Bagaimana Hakikat Manusia dalam Islam?
3. Bagaimana Martabat Manusia dalam Islam?
4. Apa Tujuan Penciptaan Manusia dalam Islam?
5. Bagimana Fungsi dan Peranan Manusia dalam Islam?
6. Bagaimana Tanggungjawab Manusia dalam Islam?

C. Tujuan

1. Untuk Mengetahui Keberadaan Manusia dalam Islam.


2. Untuk Mengetahui Hakikat Manusia dalam Islam.
3. Untuk Mengetahui Martabat Manusia dalam Islam.
4. Untuk Mengetahui Tujuan Penciptaan Manusia dalam islam.
5. Untuk Mengetahui Fungsi dan Peranan Manusia dalam islam.
6. Untuk Mengetahui Tanggungjawab Manusia dalam Islam.
BAB II

PEMBAHASAN

1. Keberadaan Manusia

Keberadaan manusia di muka bumi ini mempunyai misi utama, yaitu beribadah kepada Allah
SWT. Maka, setiap langkah dan gerak-geriknya harus searah dengan garis yang telah
ditentukan. Setiap desah nafasnya harus selaras dengan kebijakan-kebijakan ilahiah, serta
setiap detak jantung dan keinginan hatinya harus seirama dengan alunan-alunan kehendak-
Nya. Semakin mantap langkahnya dalam merespon seruan Islam dan semakin teguh hatinya
dalam mengimplementasikan apa yang telah menjadi tugas dan kewajibannya, maka ia akan
mampu menangkap sinyal-sinyal yang ada di balik ibadahnya. Karena, dalam setiap ibadah
yang telah diwajibkan oleh Islam memuat nilai filosofis, seperti nilai filosofis yang ada
dalam ibadah shalat, yaitu sebagai ‘aun (pertolongan) bagi manusia dalam mengarungi lautan
kehidupan (al-Baqarah:153), dan sebagai benteng kokoh untuk menghindari, menghadang,
dan mengantisipasi gelombang kekejian dan kemungkaran (al-Ankabuut: 45). Adapun nilai
filosofis ibadah puasa adalah untuk menghantarkan manusia muslim menuju gerbang
ketaqwaan, dan ibadah-ibadah lain yang bertujuan untuk melahirkan manusia-manusia
muslim yang berakhlak mulia (Al-Baqarah: 183 dan At-Taubah:103). Maka, apabila manusia
mampu menangkap sinyal-sinyal nilai filosofis dan kemudian mengaplikasikan serta
mengekspresikannya dalam bahasa lisan maupun perbuatan, ia akan sampai gerbang
ketaqwaan. Gerbang yang dijadikan satu-satunya tujuan penciptaannya.

Artinya adalah manusia sempurna, berasal dari kata al-insan yang berarti manusia dan al-
kamil yang berarti sempurna. Konsepsi filosofid ini pertama kali muncul dari gagasan tokoh
sufi Ibnu Arabi. Oleh Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (1365-1428), pengikutnya, gagasan ini
dikembangkan menjadi bagian dari renungan mistis yang bercorak tasawuf filosofis.

Al-Jili merumuskan insan kamil ini dengan merujuk pada diri Nabi Muhammad SAW
sebagai sebuah contoh manusia ideal. Jati diri Muhammad (al-haqiqah al-Muhammad) yang
demikian tidak semata-mata dipahami dalam pengertian Muhammad SAW asebagai utusan
Tuhan, tetapi juga sebagai nur (cahaya/roh) Ilahi yang menjadi pangkal dan poros kehidupan
di jagad raya ini.

Nur Ilahi kemudian dikenal sebagai Nur Muhammad oleh kalangan sufi, disamping terdapat
dalam diri Muhammad juga dipancarkan Allah SWT ke dalam diri Nabi Adam AS. Al-Jili
dengan karya monumentalnya yang berjudul al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakir wa al-
Awa’il (Manusia Sempurna dalam Konsep Pengetahuan tentang Misteri yang Pertama dan
yang Terakhir) mengawali pembicaraannya dengan mengidentifikasikan insan kamil dengan
dua pengertian. Pertama, insan kamil dalam pengertian konsep pengetahuan mengeneai
manusia yang sempurna. Dalam pengertian demikian, insan kamil terkail dengan pandangan
mengenai sesuatu yang dianggap mutlak, yaitu Tuhan. Yang Mutlak tersebut dianggap
mempunyai sifat-sifat tertentu, yakni yang baik dan sempurna.
Sifat sempurna inilah yang patut ditiru oleh manusia. Seseorang yang makin memiripkan diri
pada sifat sempurna dari Yang Mutlak tersebut, maka makin sempurnalah dirinya. Kedua,
insan kamil terkait dengan jati diri yang mengidealkan kesatuan nama serta sifat-sifat Tuhan
ke dalam hakikat atau esensi dirinya. Dalam pengertian ini, nama esensial dan sifat-sifat Ilahi
tersebut pada dasarnya juga menjadi milik manusia sempurna oleh adanya hak fundamental,
yaitu sebagai suatu keniscayaan yang inheren dalam esensi dirinya. Hal itu dinyatakan dalam
ungkapan yang sering terdengar, yaitu Tuhan berfungsi sebagai cermin bagi manusia dan
manusia menjadi cermin bagi Tuhan untuk melihat diri-Nya.

Bagi al-Jili, manusia dapat mencapai jati diri yang sempurna melalui latihan rohani dan
mendakian mistik, bersamaan dengan turunnya Yang Mutlak ke dalam manusia melalui
berbagai tingkat. Latihan rohani ini diawali dengan manusia bermeditasi tentang nama dan
sifat-sifat Tuhan, dan mulai mengambil bagian dalam sifat-sifat Illahi serta mendapat
kekuasaan yang luar biasa.

Pada tingkat ketiga, ia melintasi daerah nama serta sifat Tuhan, masuk ke dalam suasana
hakikat mutlak, dan kemudian menjadi “manusia Tuhan” atau insan kamil. Matanya menjadi
mata Tuhan, kata-katanya menjadi kata-kata Tuhan, dan hidupnya menjadi hidup Tuhan (nur
Muhammad). Muhammad Iqbal tidak setuju dengan teori para sufi seperti pemikiran al-Jili
ini. Menurut dia, hal ini membunuh individualitas dan melemahkan jiwa. Iqbal memang
memandang dan mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai insan kamil, tetapi tanpa
penafsiran secara mistik.

Insan kamil versi Iqbal tidak lain adalah sang mukmin, yang dalam dirinya terdapat kekuatan,
wawasan, perbuatan, dan kebijaksanaan. Sifat-sifat luhur ini dalam wujudnya yang tertinggi
tergambar dalam akhlak Nabi SAW. Insan kamil bagi Iqbal adalah sang mukmin yang
merupakan makhluk moralis, yang dianugerahi kemampuan rohani dan agamawi. Untuk
menumbuhkan kekuatan dalam dirinya, sang mukmin senantiasa meresapi dan menghayati
akhlak Ilahi. Sang mukmin menjadi tuan terhjadap nasibnya sendiri dan secara tahap demi
tahap mencapai kesempurnaan. Iqbal melihat, insan kamil dicapai melalui beberapa proses.
Pertama, ketaatan pada hukum; kedua penguasaan diri sebagai bentuk tertinggi kesadaran diri
tentang pribadi; dan ketiga kekhalifahan Ilahi.

2. Hakekat Manusia

• Hakekat Manusia Menurut Al-Qur’an

Hakekat manusia adalah sebagai berikut :

a. Makhluk yang memiliki tenaga dalam yang dapat menggerakkan hidupnya untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya;

b. Individu yang memiliki sifat rasional yang bertanggung jawab atas tingkah laku intelektual
dan sosial.yang mampu mengarahkan dirinya ke tujuan yang positif mampu mengatur dan
mengontrol dirinya serta mampu menentukan nasibnya;

c. Makhluk yang dalam proses menjadi berkembang dan terus berkembang tidak pernah
selesai (tuntas) selama hidupnya;
d. Individu yang dalam hidupnya selalu melibatkan dirinya dalam usaha untuk mewujudkan
dirinya sendiri, membantu orang lain dan membuat dunia lebih baik untuk ditempati;

e. Suatu keberadaan yang berpotensi yang perwujudanya merupakan ketakterdugaan dengan


potensi yang tak terbatas;

f. Makhluk Tuhan yang berarti ia adalah makhluk yang mengandung kemungkinan baik dan
jahat;

g. Individu yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan turutama lingkungan sosial, bahkan ia
tidak bisa berkembang sesuai dengan martabat kemanusiaannya tanpa hidup di dalam
lingkungan sosial.

h. Makhluk yang berfikir. Berfikir adalah bertanya, bertanya berarti mencari jawaban,
mencari jwaban berarti mencari kebenaran.

• Hakekat Manusia (Menurut Islam - Mohammad Sholihuddin, M.HI)

Manusia terdiri dari sekumpulan organ tubuh, zat kimia, dan unsur biologis yang semuanya
itu terdiri dari zat dan materi Secara Spiritual manusia adalah roh atau jiwa. Secara Dualisme
manusia terdiri dari dua subtansi, yaitu jasmani dann ruhani (Jasad dan roh). Potensi dasar
manusia menurut jasmani ialah kemampuan untuk bergerak dalam ruang yang
bagaimanapun, di darat, laut maupun udara. Dan jika dari Ruhani, manusia mempunyai akal
dan hati untuk berfikir (kognitif), rasa (affektif), dan perilaku (psikomotorik). Manusia
diciptakan dengan untuk mempunyai kecerdasan.

3. Martabat Manusia

Martabat saling berkaitan dengan maqam, maksud nya adalah secara dasarnya maqam
merupakan tingkatan martabat seseorang hamba terhadap khalikNya, yang juga merupakan
sesuatu keadaan tingkatannya seseorang sufi di hadapan tuhannya pada saat dalam perjalanan
spritual dalam beribadah kepada Allah Swt. Maqam ini terdiri dari beberapa tingkat atau
tahapan seseorang dalam hasil ibadahnya yang di wujudkan dengan pelaksanaan dzikir pada
tingkatan maqam tersebut, secara umum dalam thariqat naqsyabandi tingkatan maqam ini
jumlahnya ada 7 (tujuh), yang di kenal juga dengan nama martabat tujuh, seseorang hamba
yang menempuh perjalanan dzikir ini biasanya melalui bimbingan dari seseorang yang alim
yang paham akan isi dari maqam ini setiap tingkatnya, seseorang hamba tidak di benarkan
sembarangan menggunakan tahapan maqam ini sebelum menyelesaikan atau ada hasilnya
pada riyadhah dzikir pada setiap maqam, ia harus ada mendapat hasil dari amalan pada
maqam tersebut.

Tingkat martabat seseorang hamba di hadapan Allah Swt mesti melalui beberapa proses
sebagai berikut :

1. Taubat;
2. Memelihara diri dari perbuatan yang makruh, syubhat dan apalagi yang haram;
3. Merasa miskin diri dari segalanya;
4. Meninggalkan akan kesenangan dunia yang dapat merintangi hati terhadap tuhan yang
maha esa;
5. Meningkatkan kesabaran terhadap takdirNya;
6. Meningkatkan ketaqwaan dan tawakkal kepadaNya;
7. Melazimkan muraqabah (mengawasi atau instropeksi diri);
8. Melazimkan renungan terhadap kebesaran Allah Swt;
9. Meningkatkan hampir atau kedekatan diri terhadapNya dengan cara menetapkan ingatan
kepadaNya;
10. Mempunyai rasa takut, dan rasa takut ini hanya kepada Allah Swt saja.

Dengan melalui latihan di atas melalui amalan dzikir pada maqamat, maka seseorang hamba
akan muncul sifat berikut :

1. Ketenangan jiwa;
2. Harap kepada Allah Swt;
3. Selalu rindu kepadaNya dan suka meningkatkan ibadahnya;
4. Muhibbah, cinta kepada Allah Swt.

Untuk mendapatkan point di atas, seseorang hamba harus melalui beberapa tingkatan maqam
di bawah ini, tetapi melaluinya adalah amalan dzikir pada maqam yang 7 (tujuh), adapun
hasilnya akan dapat di uraikan dengan beberapa maqam sifat, yaitu :

• Taubat;
• Zuhud;
• Sabar;
• Syukur;
• Khauf (takut);
• Raja’ (harap);
• Tawakkal;
• Ridha;
• Muhibbah.

4. Tujuan Penciptaan Manusia

Tujuan penciptaan manusia adalah untuk penyembahan Allah. Pengertian penyembahan


kepada Allah tidak boleh diartikan secara sempit, dengan hanya membayangkan aspek ritual
yang tercermin salam solat saja. Penyembahan berarti ketundukan manusia pada hukum
Allah dalam menjalankan kehidupan di muka bumi, baik ibadah ritual yang menyangkut
hubungan vertical (manusia dengan Tuhan) maupun ibadah sosial yang menyangkut
horizontal ( manusia dengan alam semesta dan manusia).

Penyembahan manusia pada Allah lebih mencerminkan kebutuhan manusia terhadap


terwujudnya sebuah kehidupan dengan tatanan yang adil dan baik. Oleh karena itu
penyembahan harus dilakukan secara sukarela, karena Allah tidak membutuhkan sedikitpun
pada manusia termasuk pada ritual-ritual penyembahannya. Dalam hal ini Allah berfirman:

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyambah-Ku. Aku
tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan aku tidak menghendaki supaya mereka
member aku makan. Sesungguhnya Allah, Dialah maha pemberi Rezeki yang mempunyai
kekuatan lagi sangat kokoh. (az-Zaariyaat, 51:56-58).

Dan mereka telah di perintahkan kecuali supaya mereka menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus dan supaya
mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan degnan dekimikian itulah agama yang
lurus. (Bayinnah, 98:5)

Penyembahan yang sempurna dari seseorang manusia akan menjadikan dirinya sebagai
khalifah Allah di muka bumi dalam mengelola kehidupan alam semesta. Keseimbangan alam
dapat terjaga dengan hukum-hukum alam yang kokoh. Keseimbangan pada kehidupan
manusia tidak sekedar akan menghancurkan bagian-bagian alam semesta yang lain, inilah
tujuan penciptaan manusia di tengah-tengah alam.

5. Fungsi Dan Peranan Manusia Dalam Islam

Berpedoman kepada QS Al-Baqarah 30-36, maka peran yang dilakukan adalah sebagai
pelaku ajaran Allah dan sekaligus pelopor dalam membudayakan ajaran Allah. Untuk
menjadi pelaku ajaran Allah, apalagi menjadi pelopor pembudayaan ajaran Allah, seseorang
dituntut memulai dari diri dan keluarganya, baru setelah itu kepada orang lain. Peran yang
hendaknya dilakukan seorang khalifah sebagaimana yang telah ditetapkan Allah, diantaranya
adalah :

1. Belajar (surat An Naml : 15-16 dan Al Mukmin :54) ; Belajar yang dinyatakan pada ayat
pertama surat al Alaq adalah mempelajari ilmu Allah yaitu Al Qur’an;

2. Mengajarkan ilmu (al Baqoroh : 31-39) ; Khalifah yang telah diajarkan ilmu Allah
maka wajib untuk mengajarkannya kepada manusia lain.Yang dimaksud dengan ilmu Allah
adalah Al Quran dan juga Al Bayan;

3. Membudayakan ilmu (al Mukmin : 35 ) ; Ilmu yang telah diketahui bukan hanya untuk
disampaikan kepada orang lain melainkan dipergunakan untuk dirinya sendiri dahulu agar
membudaya. Seperti apa yang telah dicontohkan oleh Nabi SAW.

Di dalam Al Qur’an disebutkan fungsi dan peranan yang diberikan Allah kepada manusia.

• Menjadi abdi Allah. Secara sederhana hal ini berarti hanya bersedia mengabdi kepada Allah
dan tidak mau mengabdi kepada selain Allah termasuk tidak mengabdi kepada nafsu dan
syahwat. Yang dimaksud dengan abdi adalah makhluk yang mau melaksanakan apapun
perintah Allah meski terdapat resiko besar di dalam perintah Allah. Abdi juga tidak akan
pernah membangkang terhadap Allah. Hal ini tercantum dalam QS Az Dzariyat : 56“Dan
tidak Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu”

• Menjadi saksi Allah. Sebelum lahir ke dunia ini, manusia bersaksi kepada Allah bahwa
hanya Dialah Tuhannya.Yang demikian dilakukan agar mereka tidak ingkar di hari akhir
nanti. Sehingga manusia sesuai fitrahnya adalah beriman kepada Allah tapi orang tuanya
yang menjadikan manusia sebagai Nasrani atau beragama selain Islam. Hal ini tercantum
dalam QS Al A’raf : 172.

• “Dan (ingatlah), keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):”Bukankah Aku ini Tuhanmu?”. Mereka
menjawab:”Betul (Engkau Tuhan Kami),kami menjadi saksi”.(Kami lakukan yang demikian
itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:”Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.
• Khalifah Allah sebenarnya adalah perwakilan Allah untuk berbuat sesuai dengan misi yang
telah ditentukan Allah sebelum manusia dilahirkan yaitu untuk memakmurkan bumi.
Khalifah yang dimaksud Allah bukanlah suatu jabatan sebagai Raja atau Presiden tetapi yang
dimaksud sebagai kholifah di sini adalah seorang pemimpin Islam yang mampu
memakmurkan alam dengan syariah-syariah yang telah diajarkan Rosulullah kepada umat
manusia. Dan manusia yang beriman sejatilah yang mampu memikul tanggung jawab ini.
Karena kholifah adalah wali Allah yang mempusakai dunia ini.

6. Tanggung jawab manusia sebagai Hamba Allah

Kewajiban manusia kepada khaliknya adalah bagian dari rangkaian hak dan
kewajiban manusia dalam hidupnya sebagai suatu wujud dan yang maujud. Didalam
hidupnya manusia tidak lepas dari adanya hubungan dan ketergantungan. Adanya hubungan
ini menyebabkan adanya hak dan kewajiban. Hubungan manusia dengan Allah adalah
hubungan makhluk dengan khaliknya. Dalam masalah ketergantungan, hidup manusia selalu
mempunyai ketergantungan kepada yang lain. Dan tumpuan serta ketergantungan adalah
ketergantungan kepada yang Maha Kuasa, yang Maha Perkasa, Yang Maha Bijaksana, Yang
Maha Sempurna, ialah Allah rabbul’alamin, Allah Tuhan Yang Maha Esa.

Kebahagian manusia di dunia dan akhirat, tergantung kepada izin dan ridho Allah. Dan untuk
itu Allah memberikan ketentuan-ketentuan agar manusia dapat mencapainya. Maka untuk
mencapainya kebahagian dunia dan akhirat itu dengan sendirinya kita harus mengikuti
ketentuan-ketentuan dari allah SWT. Apa yang telah kita terima dari allah SWT. Sungguh ak
dapat dihitung dan tak dapat dinilai dengan materi banyaknya. Dan kalau kita mau
menghitung-hitung nikmat dari Allah, kita tidak dapat menghitungnya, karena terlalu amat
sangat banyaknya. Secara moral manusiawi manusia mempunyai kewajiban Allah sebagai
khaliknya, yang telah memberi kenikmatan yang tak terhitung jumlahnya. Jadi berdasarkan
hadits AL-Lu’lu uwal kewajiban manusia kepada Allah pada garis besar besarnya ada 2 :

1) mentauhidkan-Nya yakni tidak memusyrik-Nya kepada sesuatu pun;

2) beribadat kepada-Nya.

Orang yang demikian ini mempunyai hak untuk tidak disiksa oleh Allah, bahkan akan diberi
pahala dengan pahala yang berlipat ganda, dengan sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali
lipat bahkan dengan ganda yang tak terduga banyaknya oleh manusia. Dalam al-quran
kewajiban ini diformulasikan dengan :

1) iman;

2) amal saleh.beriman dan beramal saleh itu dalam istilah lain disebut takwa. Dalam ayat
(Q.S al-baqorah ayat 177) iman dan amal saleh, yang disebut takwa dengan perincian :

1) iman kepada Allah : kepada hari akhir, kepada malaikat-malaikat, kepada kitab-kitab, dan
kepada nabi-nabi;

2) amal saleh :

a. Kepada sesama manusia : dengan memberikan harta yang juga senang terhadap harta itu,
kepada kerabatnya kepada anak-anak yatim kepada orang-orang miskin kepada musafir yang
membutuhkan pertolongan (ibnu sabil);

b. Kepada Allah : menegakan / mendirikan shalat, menunaikan zakat;

c. Kepada diri sendiri : menempati janji apabila ia berjanji, sabar delam kesempitan,
penderitaan dan peperangan.

Kesemuanya itu adalah dalam rangka ibadah kepada allah memenuhi manusia terhadap
khalik.

Tanggung jawab manusia sebagai khalifah Allah

Sebagai makhluk Allah, manusia mendapat amanat yang harus di pertanggung jawabkan di
hadapan-Nya. Tugas hidup yang di pikul manusia di muka bumi adalah tugas kekhalifahan,
yaitu tugas kepemimpinan; wakil Allah di muka bumi untuk mengelola dan memelihara
alam.

Khalifah berarti wakil atau pengganti yang memegang kekuasaan. Manusia menjadi khalifah,
berarti manusia memperoleh mandate Tuhan untuk mewujudkan kemakmuran di muka
bumi.Kekuasaan yang di berikan kepada manusia bersifat kreatif, yang memungkinkan
dirinya mengolah dan mendayagunakanvapa yang ada di muka bumi untuk kepentingan
hidupnya sesuai dengan ketentuan yang di tetapkan oleh Allah. Agar manusia bisa
menjalankan kekhalifahannya dengan baik, Allah telah mengajarkan kepadanya kebenaran
dalam segala ciptaan-Nya dan melalui pemahaman serta penguasaan terhadap hukum-hukum
yang terkandung dalam ciptaan-Nya, manusia bisa menyusun konsep-konsep serta melakukan
rekayasa membentuk wujud baru dalam alam kebudayaan.

Dua peran yang di pegang manusia di muka bumi. Sebagai khalifah dan ‘abd merupakan
perpaduan tugas dan tanggung jawab yang melahirkan dinamika hidup, yang sarat dengan
kreatifitas dan amaliah yang selalu berpihak pada nilai-nilai kebenaran. Oleh karena itu hidup
seorang muslim akan di penuhi dengan amaliah, kerja keras yang tiada henti, sebab bekerja
bagi seorang muslim adalah membentuk satu amal shaleh. Kedudukan manusia di muka bumi
sebagai khalifah dan sebagai makhluk Allah, bukanlah dula hal yang bertentangan melainkan
suatu kesatuan yang padu dan tidak terpisahkan. Kekhalifaan adalah ralisasi dari
pengabdiannya kepada Allah yang menciptakannya.

Dua sisi tugas dan tanggung jawab ini tertata dalam diri setiap muslim sedemikian rupa.
Apabila terjadi ketidakseimbangan, maka akan lahir sifat-sifat tertentu yang menyebabkan
derajat manusia meluncur jatuh ke tingkat yang paling rendah, seprti firman Allah dalam
Surat Ath-Thin ayat 4.

Dengan demikian, manusia sebagai khalifah Allah merupakan satu kesatuan yang
menyampurnakan nilai kemanusiaan yang memiliki kebebasan berkreasi dan sekaligus
menghadapkannya pada tuntutan kodrat yang menempatkan posisinya pada keterbatasan.

Perwujudan kualitas keinsanian manusia tidak terlepas dari konteks sosial budaya, atau
dengan kata lain kekhalifaan manusia pada dasarnya diterapkan pada konteks indvisu dan
sosial yang berporos pada Allah, seperti firman Allah dalam Muthathohirin:112.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Keberadaan manusia di muka bumi ini mempunyai misi utama, yaitu beribadah kepada Allah
SWT . Kehadiran manusia tidak terlepas dari asal usul kehidupan di alam semesta. Manusia
hakihatnya adalah makhluk ciptaan Allah SWT. Pada diri manusia terdapat perpaduan antara
sifat ketuhanan dan sifat kemakhlukan. Dalam pandangan Islam, sebagai makhluk ciptaan
Allah SWT manusia memiliki tugas tertentu dalam menjalankan kehidupannya di dunia ini.
Untuk menjalankan tugasnya manusia dikaruniakan akal dan pikiran oleh Allah SWT.

Hakekat manusia dalam pandangan islam yaitu sebagai khalifah di bumi ini. Yang mampu
merubah bumi ini kearah yang lebih baik. Hal yang menjadikan manusia sebagai khalifah
adalah karena manusia memiliki kelebihan yang tidak dimiliki makhluk lainnya, seperti akal
dan perasaan. Selain itu manusia diciptakan Allah dalam bentuk yang paling baik, ciptaan
Allah yang paling sempurna.

Kewajiban manusia kepada khaliknya adalah bagian dari rangkaian hak dan kewajiban
manusia dalam hidupnya sebagai suatu wujud dan yang maujud. Didalam hidupnya manusia
tidak lepas dari adanya hubungan dan ketergantungan. Adanya hubungan ini menyebabkan
adanya hak dan kewajiban. Hubungan manusia dengan Allah adalah hubungan makhluk
dengan khaliknya. Dalam masalah ketergantungan, hidup manusia selalu mempunyai
ketergantungan kepada yang lain. Dan tumpuan serta ketergantungan adalah ketergantungan
kepada yang Maha Kuasa, yang Maha Perkasa, Yang Maha Bijaksana, Yang Maha
Sempurna, ialah Allah rabbul’alamin, Allah Tuhan Yang Maha Esa.
DAFTAR PUSTAKA

https://aristasefree.wordpress.com/tag/fungsi-dan-peranan-manusia-dalam-islam/

http://carapedia.com/pengertian_definisi_manusia_menurut_para_ahli_info508.html

http://limubermanfaat.blogspot.com/2011/01/fungsi-dan-peran-manusia.html

http://monggominarak.blogspot.com/2011/12/proses-kejadian-manusia-dalam.html

http://www.scribd.com/doc/48595986/6/Tanggung-Jawab-Manusia-sebagai-Hamba-dan-
Khalifah-Allah

(Wallahu'alam)..

Anda mungkin juga menyukai