Anda di halaman 1dari 17

Tugas Ikhtisar Sosiologi Hukum 2 Bab

Ahmad Madroji

NPM : 211020718010

Ganjil/Malam/2021

Bab VII

A. Hakim, Pengadilan dan Sengketa

Dalam Masyarakat Barat Kontemporer apa yang yang sering disebut sebagai
“Proses Yudisial” tampaknya didentifikasikan sebagai suatu praktik Institusional
tersendiri. Barangkali dalam pemikiran hukum Anglo-Amerika lah sentralistik hakim
dalam sistem hukum paling ditekankan. Namun Erlich sebaliknya Pengadilan bukan
sebagai sentral kehidupan hukum. Penulis Dawson 1968 berkata lain dalam
Blackstone-adalah ‘wadah Penampungan Hukum, sabda Hidup’. Lain hal dengan
Oliver W Holmes, mendefinisikan hukum yang mengundang polemik, yaitu ramalan
atas apa yang akan diputuskan Pengadilan. Namun pernyataannya membantu
penataan gaya pemikiran hukum ‘realis’ Amerika Serikat. Untuk yang lebih ekstrim
diungkapkan John Chipman Gray yang menyatakan Undang-Undang (UU) yang
dibuat Dewan Legislatif bukan lah hukum tetapi hanya sumber hukum maka
maknanya pengaruh hukum dapat ditentukan manakala telah dipergunakan dalam
mempertimbangkan suatu hukum di Pengadilan.

Dengan pandangan-pandangan tersebut jelas mempengaruhi karakter sistem


hukum yang ada. Misalnya Amerika Serikat mempercayai hal tersebut pada Sembilan
(9) orang Hakim Mahkamah Agung yang dianggap Prestisius untuk mengawal dan
menginterpretasikan makna hukum Konstitusi di negara nya.

Untuk Negara Inggris Dewan Yudikatif dipilih berdasarkan jabatan dalam dan
mencerminkan status Profesi Hukum yang Independen. Dimana doktrin hukum masih
mencerminkan Prinsip-Prinsip dan Konsep yang fundamental yang berakar pada
tradisi Common Law dari hukum yang dibuat oleh Hakim. Hakim memiliki posisi
yang tinggi dengan konsep Sentralistik dan berfungsi sebagai pembentuk Hukum dan
pengawal tradisi dan cita-citanya.

Yang perlu diketahui, kebanyakan Negara Eropa Kontinental terdapat karir


kehakiman, artinya secara umum Hakim tidak dipilih berdasarkan jabatan dari
kalangan Praktisi Hukum namun ditentukan berdasarkan jabatan dari kalangan
pejabat Pemerintah yang telah melaksanakan Pelatihan Yudisial yang memang
mengejar jabatan karir seorang Hakim bukan sebagai Praktisi Hukum. Dalam konsep
Kontinental ini para Hakim dengan bentuk Civil Law berbasis UU bisa saja melihat
dirinya lebih Fungsional ketimbang Negara dengan Konsep Anglo-American yang
dapat dianggap sebagai anggota elit dalam strata profesi Hukum.

B. Konsep Tentang Hakim dan Pengadilan

Konsep tentang ‘Hakim’ dan ‘Pengadilan’ memunculkan beberapa persoalan


dalam spesifikasi sosiologis yang hampir sama sulitnya yang ada dalam konsep
tentang ‘Profesi’. Esensi yang disebut terakhir adalah istilah yang menggambarkan
sebuah fenomena sosial Maka esensi dari persoalan yang disebut konsep tentang
pengadilan dan hakim cenderung dibentuk oleh prakonsepsi politis pengadilan
cenderung digeneralisasikan dari asumsi-asumsi akal sehat tentang institusi yang
dikenal sebagai pengadilan dalam masyarakat Barat sehingga Theodor Baker
menyatakan usaha untuk membangun sebuah analisis teoritis fungsionalis tentang
pengadilan yang dapat digunakan pada semua masyarakat pengadilan adalah ; 1.
seseorang atau sekumpulan orang 2. dengan kekuasaan untuk memutuskan sebuah
perkara 3. Yang dihadapkan mereka para pihak atau wakil mereka fakta dari perkara
dan mengutip prinsip-prinsip normatif utama yang ada dan diekspresikan dalam
undang-undang peraturan dan sebagainya yang ke-4 di terapkan oleh konstitusi
peraturan perkara sebelumnya 5. Yakin bahwa mereka harus mendengarkan presentasi
fakta-fakta tersebut dan menerapkan prinsip-prinsip normatif semacam itu secara
tidak memihak objektif atau dengan tidak terpengaruh 6. Kemudian mereka akan
memutuskan 7. sebagai lembaga yang independen. TL. Becker 1970.

Sementara itu praktisi hukum Amerika Henry Lummis menyatakan pada saat
keputusan dikontrol atau dipengaruhi oleh opini orang lain oleh suatu bentuk
pengaruh atau tekanan eksternal maka saat itu Hakim sudah tidak ada lagi.
Yang lebih baru Martin Shapiro menggambarkan tentang Prototype atau tipe
pengadilan ideal yang diadopsi dalam banyak literatur yang melibatkan empat macam
unsur 1. Hakim yang independen 2. Menerapkan norma-norma yang sudah ada
sebelumnya 3. Setelah melalui proses pengadilan yang sengi 4. Untuk mencapai
sebuah keputusan yang dikotomis di mana salah satu pihak dalam proses pengadilan
tersebut mendapatkan hak hukumnya Sedangkan yang lainnya ditemukan sebagai
yang bersalah.

C. Pengadilan dan Sengketa

Richard Lempert mendefinisikan disebut sebagai kontroversi yang melibatkan dua


atau lebih pihak yang masing-masing menyatakan klaim tertentu, Klaim normatif atas
kewenangan sisi Lainnya. Definisi lainnya berpendapat sengketa adalah hubungan
sosial yang tercipta Ketika seseorang atau individu atau kelompok organisasi
memiliki keluhan menyatakan Klaim dan klaim tersebut ditolak (Kritzer 1981:10)
Dalam melihat pemrosesan perkara sebagai Sentral bagi kerja pengadilan ada dua
lapis yang pertama ada pijakan yang baik dan mengatakan bahwa proses pengadilan
di pengadilan yang sangat tidak sesuai untuk Mendapatkan resolusi untuk sengketa
yang kedua Tampaknya ada sangat banyak bukti bahwa barangkali bagian yang
paling besar dilihat dari jumlah perkara secara keseluruhan kerja pengadilan yang
perkara dalam pengerjaan seperti ini masing-masing dari pesan tersebut akan dibahas
satu persatu.

Apakah pengadilan itu sangat tepat untuk resolusi sengketa?

Analisis Shapiro tentang ‘logika sosial’ Tritunggal menunjukkan beberapa alasan


penting untuk menyangkal bahwa pengadilan itu sangat sesuai untuk menyelesaikan
sengketa kerja. Pengadilan dianggap sebagai pusat pada proses pengadilan dan peran
Hakim dipandang sebagai untuk memutuskan benar dan salah di antara 2 pihak yang
bersengketa dan untuk memberikan sebuah solusi dikotomi bagi konflik mereka di
mana salah satu pihak dianggap salah dan pihak lain dianggap benar pemeriksaan.
Pengadilan diharapkan dapat menjadi eskalasi sebuah sengketa dengan membuatnya
terbuka dan memfokuskan terhadapnya dengan cara seringkali dihindari dengan
menggunakan arbitrasi yang memakan waktu yang lama yang kadang kurang
kompleks dan bersifat privat lebih jauh tindakan yang ideal tidak menyandarkan
dirinya pada pertimbangan perkara yang kompleks tindakan hukum yang saling
melawan terlalu menyederhanakan banyak konflik sehingga banyak perkara yang
dibawa ke pengadilan hanya sebagai salah satu resolusi puncaknya Jacob (1981:8-17).

Apakah sengketa sentral bagi kerja pengadilan?

Seberapa jauh pengadilan sebetulnya memfokuskan pada sengketa di mana


banyak tuntutan yang tidak konsisten terus ditegaskan secara aktif dan secara umum
oleh para pihak yang bersengketa telah diperdebatkan secara luas dalam literatur
belakangan ini dalam sebuah studi mengenai kerja 2 pengadilan di California sejak
tahun 1890 sampai 1970 an oleh 2 Peneliti Lawrence Friedman dan Robert Percival
menyimpulkan bahwa ada bukti yang menunjukkan bahwa fungsi utama dari
pengadilan pertama berubah dari resolusi sengketa menjadi pemrosesan perkara-
perkara rutin secara administratif.

Shapiro menuliskan tentang Sistem Peradilan Pidana Amerika sekitar lebih dari
90% perkara pidana Amerika diselesaikan dengan pengakuan bersalah atau yang
setara dengan itu, yang seringkali merupakan hasil dari tawar-menawar pengakuan
secara khusus atau secara diam-diam.

Di negara Inggris beberapa studi sampel telah menunjukkan bahwa 76 sampai


90% tergugat di pengadilan Magistrat dan 57 sampai 70% di pengadilan yang lebih
tinggi mengaku bersalah (McBarnert 1981). Perkara yang semakin meningkat di
pengadilan pengadilan tingkat pertama yang berada pada dasar dari hierarki Yudisial
dibarengi dengan semakin besarnya biaya proses yudisial dan keluhan-keluhan
penundaan dalam penanganan perkara pidana dan perdata membantu untuk
mendorong efisiensi administrasi ketimbang ketegasan Yudisial sebagai kebaikan
yang dominan yang ingin dicari dalam prosedur pengadilan untuk menyangkal bahwa
pengadilan tingkat pertama yang lebih tinggi dan pengadilan banding jauh lebih
memusatkan perhatiannya pada berbagai macam sengketa tetapi fakta bahwa mereka
sebetulnya hanya memeriksa dan memutuskan sebagian kecil saja dari keseluruhan
perkara yang diperiksa oleh pengadilan dalam suatu sistem hukum barat tertentu akan
menimbulkan keraguan mengenai Apakah pemrosesan perkara merupakan Raison
d’etre dari sistem Yudisial (Abel 1973) ketimbang sekedar memberikan sebuah
kesempatan yang tepat untuk pemenuhan tugas-tugas lainnya.

Resolusi sengketa tak langsung ?


Secara persuasif dapat dikatakan bahwa terlepas dari jumlah perkara yang
diselesaikan secara khusus oleh Pengadilan, Pengadilan berkontribusi dalam banyak
cara tak langsung bagi resolusi sengketa menekankan arti penting dari kesepakatan
atau kesepakatan yang dibuat tanpa campur tangan pengadilan tetapi dengan
pengetahuan tentang kemungkinan tindakan melalui pengadilan atau ketersediaan
sarana Yudisial untuk fungsi sebagai insentif bagi para pihak yang terlibat dalam
menyetujui dan menetapkan syarat-syarat. Lempert membuat sebuah daftar yang
berisi 7 macam cara pengadilan berkontribusi terhadap sengketa 1. Dengan
mendefinisikan norma-norma yang mempengaruhi atau mengontrol penyelesaian
sengketa secara Swadaya 2. Dengan meratifikasi penyelesaian secara Swadaya
memberikan jaminan pemenuhan yang tanpa nya salah satu atau kedua pihak kedua
belah pihak mungkin akan tidak bersedia untuk mencapai kesepakatan semacam itu 3.
Dengan memberi kemungkinan yang legal bagi para pihak untuk menaikkan
meningkatkan kemungkinan penyelesaian perkara secara Swadaya 4. Dengan
menyediakan sarana yang memungkinkan para pihak untuk mempelajari tentang
perkara masing-masing sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya penyelesaian
perkara secara Swadaya dengan saling menurunkan ketidakpastian 5. Dengan
memungkinkan para personil pengadilan untuk bertindak sebagai mediator untuk
mendorong penyelesaian 6. Dengan menyelesaikan masalah-masalah tertentu di
dalam perkara membiarkan para pihak saling menyetujui satu sama lain 7. Dengan
menyelesaikan perkara secara otoritatif apabila para pihak tidak bisa mencapai
kesepakatan atas penyelesaian.

Argumen-argumen Lempert ini bersifat persuasif yang paling luar biasa dari 7
macam kontribusi pengadilan ini bagi penyelesaian perkara adalah betapa sedikitnya
dari ke-7 kontribusi ini yang benar-benar menjadi bagian dari cerita stereotipe
kegiatan pertimbangan Hakim di Pengadilan.

D. Perilaku Yudisial dan Studi Tentang Organisasi Pengadilan Tinggi

Bahwa keberagaman undang-undang jumlah kasus yang ditangani yurisdiksi dan


bentuk-bentuk organisasi dan prosedur dalam jenis pengadilan tertentu dalam suatu
sistem hukum barat membuat generalisasi tentang pengadilan yang mengandung
potensi bahaya.
Di kalangan Sarjana Hukum ‘realis’ yang berorientasi sosiologis di Amerika
Serikat pada paruh pertama abad ini ada sebuah perbedaan mendasar yang dapat
dilihat antara pengadilan tingkat pertama yakni pengadilan yang mengurusi proses
hukum perkara pada tindakan hukum yang pertama dilakukan dan peradilan banding
sebagai objek studi tingkat pertama berhubungan dengan penerapan doktrin hukum
yang relatif sudah mapan terhadap bermacam-macam situasi fakta dari perkara-
perkara yang dibawa ke hadapannya masalah esensialnya bagi pengadilan adalah
memastikan materi fakta hukum dari Perkara apa yang diperiksa tetapi masalah utama
pada Pengadilan Banding dianggap sebagai terletak pada ketidak pastian peraturan
hukum ketimbang pada fakta bandingkan dihadapkan pada lebih sedikit perkara dan
biasanya memiliki kesempatan pemeriksaan dan penilaian De Novo ( yang diulang
dari awal) yang lebih kecil setidaknya dalam konteks Anglo-Amerika terhadap semua
bukti terkait erat dengan pokok-pokok hukum yang digunakan dalam banding.

E. Fenomenologi, Etnometodologi dan Studi-studi Tentang Interaksi dan Organisasi


di Pengadilan Rendah

Dapat dipahami apabila skeptisisme peraturan yang dibarengi dengan Citra Hakim
banding Anglo-Amerika sebagai sebuah pencetus Sabda hukum mengarah ke
penekanan Behavioralisme Yudisial terhadap Hakim sebagai aktor politik individual
yang kuat hubungan signifikan yang setara antara fakta skeptisisme orientasi realis.

Ia menekankan pada determinasi terhadap fakta-fakta dalam perkara sebagai


persoalan Sentral dari prosedur pengadilan tingkat pertama dan studi-studi modern
terhadap pengadilan tingkat pertama ia meminjam metode-metode yang digunakan di
dalam etnometodologi dan sosiologi fenomenologis kalangan realis hukum berasumsi
dalam gata Positivisme bahwa fakta-fakta tersebut memiliki eksistensi objektif dan
Bahwa masalah pengadilan adalah untuk menemukan menemukan sebuah sarana
yang dapat digunakan untuk menemukan fakta-fakta ini. Pendekatan fenomenologis
telah menggantikan asumsi ini dengan gagasan tentang konstruksi sosial atas realitas
dalam ruang persidangan meminjam kalimat Berger dan Luckmann 1967 fakta dari
perkara lebih tepatnya makna ‘Benar’ dan ‘Resmi’ dan dapat diterima atau
pemahaman yang sesuai terhadap tindakan tindakan atau situasi yang disidang oleh
pengadilan dipandang telah dicapai melalui proses interaksi di ruang sidang.
Selain itu fokus Etnometodologi adalah untuk memahami tatanan sosial dan
melakukannya dengan menganalisis situasi situasi skala kecil dari interaksi seperti
pemeriksaan pengadilan ia mengungkapkan kondisi kondisi tanaman tertentu
misalnya ketentuan dalam pengadilan diciptakan dan dipertahankan jelas bahwa baik
pengadilan yang lebih tinggi maupun yang lebih rendah dapat dianalisis dari
perspektif perspektif fenomenologis atau perspektif yang berhubungan dengannya ia
menekankan pada negosiasi realitas dalam ruang sidang

F. Hakim dan Negara

Pembahasan tentang intrepretasi konstitusional dan politisasi persidangan dalam


bagian-bagian sebelumnya menunjukkan bahwa fungsi legitimasi Yudisial terhadap
pemerintah dan proses proses politik yang sering dibahas hanyalah hanyalah satu
aspek dari fungsi legitimasi yang lebih luas dari tatanan sosial dan hukum sebagai
suatu keseluruhan melalui pemeliharaan terhadap ideologi hukum.

Kedua bentuk legitimasi tersebut mengharuskan pengadilan dari cabang-cabang


pemerintahan lainnya sehingga tidak mengherankan jika Independensi Yudisial
biasanya dipandang sebagai hal yang esensial bagi konsep sebuah pengadilan
meskipun karakter indepedensi ini berbeda-beda di setiap negara.

Sebuah studi kontroversial baru-baru ini yang dilakukan oleh J.A Griffith
berusaha mengidentifikasi hakikat persepsi-persepsi semacam itu dalam kehakiman
Inggris, J.A Griffith menganalisis perkembangan dan interpretasi Yudisial hukum
Inggris dalam 5 bidang utama 1. Industrial 2. Kebebasan sipil dan kebebasan personal
3. Hak kepemilikan properti dan perencanaan pemanfaatan lahan 4. Undang-undang
konspirasi dan 5. Perbandingan hak-hak anggota serikat buruh dalam Serikat mereka
dengan hak-hak siswa dalam pemeriksaan indisipliner.

Sebagian dari kritisisme terhadap karya Griffith hanya menunjukkan bahwa ia


telah memberikan tamparan hebat terhadap sejumlah ilusi yang dihargai.

Pada saat yang sama ketika bidang kehakiman mendukung otoritas agensi-agensi
kepemerintahan mereka juga harus menegosiasikan masalah mempertahankan
keseimbangan antara nilai-nilai tatanan dan keadilan yang terus ada di dalam
administrasi hukum dengan bentuk dan konten doktrin hukum apabila Apabila mereka
dipandang gagal dalam tugas yang disebut pertama mereka beresiko dianggap
menentang cabang-cabang negara lainnya Eksekutif-Legislatif dan punya
kemungkinan membahayakan kondisi kondisi independensi Yudisial dalam posisi
mereka di dalam hierarki kekuasaan negara Jika mereka dianggap gagal melakukan
tugas yang disebut terakhir Mereka berisiko menerima kritisisme dan berkurangnya
situs mereka dihadapan kalangan praktisi hukum profesional dan juga warga negara
terlepas dari pertimbangan-pertimbangan berhubungan dengan legitimasi hukum
dimata warga negara.

G. Hirarki Yudisial sebagai Sistem Administratif

Dari pembahasan mengenai posisi ambivalen para hakim sebagai cabang


pemerintahan dan pada saat yang sama juga sebagai legitimasi tatanan hukum dan
sosial yang harus bekerja sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah bahwa tugas-
tugas ideologis dan kepentingan atau administrasi pengadilan terjamin dengan erat.

Beberapa studi mengenai tugas-tugas administratif pengadilan menekankan


kedekatan fungsi-fungsi Yudisial dengan cabang-cabang negara lainnya dan memang
di Banyak masyarakat fungsi yudisial dan administrasi pemerintah belum terbedakan
secara institusional (Shapiro 1981) dibandingkan dengan sebuah studi mengenai
fungsi ideologi yang menekankan pada ciri-ciri khusus kerja Yudisial.

H. Pengadilan Sebagai Pembuat Kebijakan

Akhirnya kita harus ikut mempertimbangkan satu aspek lainnya hubungan antara
pengadilan dan cabang-cabang aparatur negara lainnya pandangan yang telah diambil
dalam buku ini adalah meskipun para hakim memang harus ikut membuat undang-
undang fungsi mereka tidaklah seperti fungsi-fungsi para legislator atau pembuat
kebijakan pada umumnya.

Tetapi lebih sebagai pihak yang merasionalisasikan dan mengelaborasi doktrin


dalam menghadapi perubahan serta pendorong dan penegas doktrin yang sudah ada
dalam perkara yang disidangkan atau dalam kaitannya dengan hukum dapat mereka
buktikan yang sangat jelas.

Bahwa beberapa Pengadilan Tinggi memang diperlakukan sebagai lembaga


pembuat kebijakan atau legislasi setidaknya dalam keadaan tertentu bagaimanapun
juga pengadilan tidak memiliki sumber daya untuk mengumpulkan data sosial dalam
cara yang sistematis dan berskala luas yang dianggap perlu untuk membuat kebijakan
pemerintahan yang rasional.

I. Catatan Tambahan Untuk Analisis Fungsional Terhadap Pengadilan.

Dalam bab ini berbagai macam pendekatan sosiologis terhadap studi mengenai
pengadilan telah dijabarkan tetapi dalam bagian terakhir bab ini sebuah pendekatan
analisis terhadap pengadilan khususnya fungsi-fungsinya yang berkaitan dengan
institusi institusi lainnya sebagai bentuk analisis fungsional telah digunakan
khususnya untuk mengkaji hubungan antara pengadilan dan bagian-bagian aparatur
negara lainnya dapat dijadikan sebagai ilustrasi terbatas bagi aplikabilitas pendekatan
pendekatan fungsional dalam studi sosiologis hukum tetapi sebelum menutup bab ini
penting untuk menekankan beberapa keterbatasan ruang lingkup analisis fungsional
dalam konteks studi Pengadilan.

Bab VIII

A. Penyelenggaraan dan Permohonan Bantuan Hukum

Hukum menciptakan sebuah tatanan yang dapat dilaksanakan dan secara umum
bersifat memaksa sehingga bagi Weber ciri suatu tatanan hukum adalah adanya
petugas khusus yang terlibat dalam penyelenggaraannya sekelompok orang yang
kegiatannya mendemonstrasikan kepatuhan terhadap tuntutan tuntutan yang ada
dalam undang-undang hukum yang tidak bersifat opsional tapi wajib.

Bagi Ehlrich tekanan sosial untuk menjamin hukum dalam pengertian luas dimana
orang tersebut paham akan istilah hukum berusaha untuk merumuskan sebuah konsep
hukum yang dapat diterapkan pada berbagai macam masyarakat sederhana dan
kompleks hukum yang memiliki gigi-gigi yang dapat menggigit jika diperlukan
meskipun ia tidak harus terpasang jelas.

Bab ini memfokuskan pada penyelenggaraan dan agensi penyelenggara hukum


negara dalam masyarakat barat kontemporer tujuannya bukan untuk mendeskripsikan
penyelenggaraan hukum tetapi untuk mempertimbangkan cara cara bagaimana agar
bahan empiris dari institusi hukum dapat mengiluminasi isu-isu teori tentang hukum
yang dibahas dalam bab sebelumnya dalam buku ini.
B. Komitmen Institusional Terhadap Doktrin Hukum

Aspek-aspek Koersif hukum negara tidak dapat dipisahkan dari aspek aspek
Ideologi dan instrumentalnya. Negara menjangkau ke dalam masyarakat dengan
menggunakan agensi-agensi penyelenggaraan negara, hal ini jelas untuk memaksakan
tuntutan dan pandangan yang diekspresikan di dalam doktrin hukum terhadap warga
negara serta hubungan sosial dan ekonomi mereka.

Semua orang dianggap mengetahui hukum tersebut dan negara akan memberikan
sanksi yang dimaksud untuk agar mereka berusaha mengetahui tuntutan hukum
tersebut dan mematuhinya. Tetapi koersi hukum tidaklah sama dengan saluran
pengaruh ideologi hukum, mereka secara umum dijaga oleh personil yang berbeda,
dalam masyarakat Barat ada pembagian tugas yang terinstitusionalisasi diantara
agensi-agensi penyelenggaraan negara misalnya polisi ekspektorat komisi regulatoris
dan pengadilan.

Seringkali pandangan terhadap hukum dan terhadap tugas penyelenggaraan


hukum yang terdapat dalam agensi cukup besar dari yang terdapat di pengadilan
seperti yang akan kita lihat. Hal ini dapat menutup kepada ketegangan dan bahkan
permusuhan atau kebencian yang muncul dari perbedaan tujuan tujuan institusional
kalangan praktisi hukum yang memperhatikan profesi hukum yang berada di
antaranya tetapi dalam posisi yang berbeda dengan komitmen institusional kehakiman
dan penyelenggara negara lainnya. Agensi-agensi penyelenggara negara mungkin
memiliki berbagai macam bentuk dan bisa memiliki berbagai macam komitmen
tergantung pada fungsinya.

C. Penyelenggaraan Hukum dan Permohonan Bantuan Hukum

Fakta bahwa penyelenggaraan permohonan bantuan hukum baik dianggap sebagai


dua sisi kontrol sosial yang tidak dapat dipisahkan secara jelas menunjukkan bahwa
penyelenggaraan paling baik dipahami bukan hanya sebagai kontrol langsung
terhadap tingkah laku warga negara oleh agensi negara sebagai bentuk kontrol sosial
yang jauh lebih terdifusi yang dipertahankan melalui tindakan masyarakat pada semua
lapisan mulai dari warga negara individual sebagai pengadu sebagai agensi
administratif dan regulatoris negara yang tersentralisasi.
Sehingga sekali lagi hubungan yang erat pengaruh koersif hukum ditekankan
karena keduanya dipandang sebagai operasional dan dipertahankan pada banyak
lapisan sosial hal ini membawa kita kepada poin utana terakhir yang harus dibuat di
sini berkaitan dengan hubungan antara penyelenggaraan dan permohonan bantuan
untuk berbagai alasan yang akan muncul dalam bab ini.

Aktor-aktor yang memiliki kekuasaan secara ekonomi memiliki kontrol yang jauh
lebih banyak terhadap cara hukum diselenggarakan di banding dengan aktor lainnya
selain itu mereka juga memiliki kesempatan demi mendukung kepentingan mereka
sendiri proses-proses yang dimulai oleh permohonan bantuan hukum mereka ada
beberapa persoalan yang akan dikaji dengan membandingkan aspek kerja dari agensi
penyelenggara lainnya tetapi pertama perlu mempertimbangkan secara lebih terperinci
cara-cara yang digunakan untuk memohon bantuan hukum.

D. Kesempatan Dan Insentif Permohonan Bantuan Hukum

Pengaduan perlu biaya, dalam sebuah buku yang berpengaruh mengenai perilaku
pengaduan Alfred Hirschman menyimpulkan pengaduan biasanya lebih banyak
menghabiskan waktu mengundang kesulitan usaha dan seringkali menghabiskan
banyak uang dibandingkan dengan menerima keadaan tanpa mengeluh atau
membatalkan kesepakatan dengan pihak yang melakukan kesalahan dan melakukan
kesepakatan baru sebagai pengganti dengan orang lain misalnya membeli dari
pemasok lain dari barang barang konsumen atau jasa sebagai akibat dari
ketidakpuasan dengan termasuk yang pertama.

Keengganan untuk menyampaikan pengaduan tampaknya telah menyebar luas.


Ross Cranstone Inggris (1959) menyatakan kebanyakan konsumen yang menurut
pendapat mereka sendiri punya alasan untuk memilih tidak melakukannya.

Ada toleransi yang telah memperluas terhadap barang-barang yang cacat bahkan
apabila telah dilakukan tindakan untuk mendapatkan ganti rugi atas keluhan hal ini
mungkin tidak akan membawa kepada tematisasi sebagai kontroversi hukum, agar
terpisah dari masalah keengganan pengadu untuk menuntut yang biasa terjadi.

Konsumen pengadu yang gigih misalnya bisa saja disuap oleh pelaku bisnis yang
bersalah dalam sebuah kesepakatan yang sengaja dirancang oleh pelaku menghalangi
diajukannya tuntutan yang dapat berakibat pada presiden hukum yang tidak
diinginkan terhadap praktek bisnis tertentu usaha yang dilakukan oleh warga negara
untuk memohon bantuan hukum dalam mendukung berbagai macam kepentingan
publik atau komunitas.

Usaha yang dilakukan oleh warga negara untuk memohon bantuan hukum dlam
mendukung berbagai macam kepentingan publik atau komunitas menghadapi
masalah-masalah yang berbeda-berbeda.

Etos individualis cenderung mendorong gagasan setiap orang untuk melindungi


diri mereka sendiri dari mereka yang tidak bertanggung jawab terhadap aspek
kesejahteraan publik kegiatan ini seperti yang sudah dilihat dalam bab sebelumnya
tetapi ia khususnya tercermin dalam asas hukum yang sulit mengetahui konsep pola
standing atau tempat berdiri yaitu sifat dasar dari kepentingan pribadi yang harus
dimiliki oleh penuntut individual.

Hasil penuntutannya yang akan menegur menganugerahinya dengan hak untuk


melakukan tindakan yang diperiksa oleh pengadilan hal ini sangat penting khususnya
berkaitan dengan hukum dengan sejumlah kepentingan individual untuk
menyelenggarakan hukum tersebut. Di negara Inggris dan negara Eropa Barat lainnya
peraturan mengenai standing telah dilonggarkan agar dapat melihat kepentingan yang
lebih luas yang mungkin dimiliki oleh para penuntut dalam mengklasifikasi dan
menyelenggarakan hukum tetapi banyak ketidakpastian yang mengetahui hukum ini

E. Tipe Agensi Penyelenggaraan

Kita sekarang kembali mempertimbangkan mengenai agensi-agensi


penyelenggara hukum, banyaknya ragam agensi ini kita sangat sulit untuk membuat
generalisasi. Penyelenggaraan hukum pidana biasanya menjadi tanggung jawab Polisi.

Di Inggris daratan dan Wales Polisi bertanggung jawab bukan hanya untuk
mendeteksi tindakan kriminal dan menjaga tatanan publik tetapi dalam banyak
kegiatan juga untuk melakukan penuntutan terhadap tindak pidana yakni mereka
memiliki tanggung jawab untuk menentukan apakah dan Kapankah penuntutan akan
dilakukan terhadap seorang tersangka.

Untuk kategori agensi penyelenggara biasanya mengurusi masalah


penyelenggaraan hukum pidana atau yang berhubungan dengan hukum pidana serta
pengawasan atau penyelenggaraan untuk tindakan-tindakan hukum perdata tertentu,
penyelenggaraan hukum pidana tertentu dipercayakan kepada agensi semacam ini
sedangkan penyelenggara hukum pidana lainnya dipercayakan kepada polisi ada dua
alasan yang ditawarkan yang pertama agensi khusus dibutuhkan ketika
penyelenggaraan hukum menuntut adanya pengetahuan khusus baik mengenai
lingkungan.

Di mana agensi tersebut akan diselenggarakan maupun mengenai hakikat dan


tindakan yang akan diawasi, misalnya kontrol terhadap polusi industrial menurut
industrial yang terlibat maupun sarana praktis yang dapat digunakan untuk mencapai
kepatuhan hukum regulasi mengenai timbangan dan ukuran menjadi urusan agensi
khusus ketimbang polisi karena metode pengukuran semakin berkembang dan standar
teknis yang tepat dapat dikembangkan yang kedua perbedaan seringkali dibuat antara
Apa yang disebut kejahatan yang sesungguhnya yang menjadi alasan polisi dan yang
diawasi oleh agensi regulatoris yang berisi masalah teknis tidak menggantung kepada
kejahatan biasa tapi pelanggaran terhadap orang atau properti.

Perbedaan antara kejahatan yang sesungguhnya dan pelanggaran negara yang


mengharuskan kita untuk melihat secara lebih rinci tapi untuk saat ini cukup
mengatakan bahwa apa pun dasar perbedaannya menjadi suatu karakter hukum yang
akan masuk sebagai Agensi-Agensi tersebut sesuai kepada kebutuhannya.

F. Regulasi dan Kejahatan Yang Sesungguhnya

Gagasan kejahatan yang sesungguhnya penting bagi agency regulatoris sebagai


rasionalisasi dan Pedoman tingkah lakunya. Ia sama sekali tidak membatasi mereka.

Kejahatan sesungguhnya merupakan bagian dari ideologi hukum yang telah


diterima warga negara dan didukung oleh pernyataan dari para hakim. Meskipun tidak
konsisten dengan doktrin hukum yang tidak membuat perbedaan hukum terhadap sifat
dasar antara jenis pelanggaran bahkan sebetulnya ia berasal dari interaksi yang
kompleks dalam lingkungan sosial dan ekonomi yang lebih memfokuskan ketimbang
interpretasi doktrinal.

Kejahatan yang sesungguhnya adalah sebuah perpaduan persepsi dan keyakinan


yang kompleks tetapi sebagian dari dasarnya adalah langganan untuk menempatkan
warga negara yang terhormat pada posisi bersalah karena melakukan pelanggaran
sementara Ia juga terlibat dalam kegiatan yang bermanfaat secara sosial dalam
kategori yang sama dalam kelompok kriminal.

Pelanggaran regulatoris sering dianggap sebagai ketidaktelitian atau kecerobohan


ketimbang perbuatan salah yang disengaja tak diragukan lagi banyak dari pelanggaran
ini adalah pelanggaran terhadap tanggung jawab karena kesulitan yang tegas dalam
pembuktian maksud dipakai dalam menentukan kesalahan tetapi pengeluaran
pelanggaran lain dari kejahatan yang sesungguhnya tidak sepenuhnya tergantung pada
tidak adanya perbuatan tercela dari individu karena banyak juga pelanggaran lalu
lintas yang melibatkan tindakan yang dinyatakan ataupun kelalaian juga dianggap
sebagai bukan kejahatan biasa dalam pandangan pelanggaran terhadap regulasi anti
Polusi yang diperlakukan sebagai pelanggaran regulatoris sebagai akibat dari
kebijakan yang sengaja oleh Manajemen perusahaan dalam pembuangan sampah
industri.

Demikian juga konsep Mala In Se tindakan yang memang sudah salah secara
intrinsik dan bukan hanya sekedar dilarang pun tidak banyak berguna dalam
membedakan kegiatan yang sesungguhnya karena ini hanya Apa kriteria yang
membuat tindakan-tindakan tertentu secara intrinsik salah dan misalnya Mengapa
penjualan bahan makanan yang buruk secara sengaja atau sembarangan dengan resiko
bayi yang serius terhadap konsumen Tidak Dianggap sebagai tindakan yang secara
intrinsik salah.

Mungkin kita akan semakin dekat kepada Sebuah Jawaban yang punya cenderung
merupakan kegiatan yang dilakukan oleh individu yang dapat diidentifikasikan
terhadap individu lain yang juga dapat diidentifikasikan kerugian yang ditimbulkan
terhadap masyarakat secara luas atau kerugian yang disebabkan oleh pelanggaran
yang berupa tulisan korporat atau terpencil atau asing lagi bagi kita ketimbang oleh
bangsa tertentu yang dapat diidentifikasi tampaknya biasa tetapi karakteristik ini
bukan hanya sekedar sebuah ekspresi dari satu dasar yang lebih mendalam yang
diatasnya pertimbangan-pertimbangan penyimpangan moral dibuat bagaimanapun
juga fakta bahwa kerugian ditimbulkan bukan sebagai kepada individu tetapi kepada
masyarakat secara keseluruhan melalui keturunan yang hanya untuk mendapatkan
keuntungan dana sosial tidak membuat tindakan ini bisa tindakan yang terkutuk.

G. Polisi dan Hukum


Polisi membentuk satu jenis agensi penyelenggaraan yang paling terlihat jelas
oleh warga negara paling banyak personel dan diberi kepercayaan untuk memiliki
cakupan penyelenggaraan hukum pidana yang paling umum sama seperti agency
regulatoris.

Tenaga Kepolisian dihadapkan pada masalah internal yang terkait dengan


organisasi dan motivasi dan masalah internal yang terkait dengan adaptasi terhadap
lingkungan tempat mereka berada agar dapat terus berfungsi mereka harus melindungi
basis sosial dan letak aliran sumber daya yang menjadi tempat mereka bergantung.

Untuk melakukan hal ini mereka harus menunjukkan suatu Tingkat keberhasilan
yang memadai dalam tugas yang diserahkan kepada atau disampaikan oleh mereka.
Tugas ini membentuk Apa yang disebut sebagai kerja Polisi. Pada hakekatnya polisi
berbeda dengan pandangan masyarakat tentang tujuan kerja polisi. Secara historis
polisi modern lahir sebagai sebuah kekuatan untuk menjaga kedamaian dan tatanan
sosial.

Hubungan antara hukum dan polisi ini tercermin dalam banyak aspek kerja polisi
dan sikap-sikap Polisi misalnya diskresi dalam memutuskan Bagaimana harus
melakukan hukum atau apakah harus melakukannya sebagai konsekuensi hukum.
Dalam kasus-kasus tertentu merupakan aspek fundamental dari kerja polisi polisi
sama seperti agensi regulatoris ruang lingkup yang luas untuk menciptakan Citra
mereka sendiri mengenai populasi yang diatur dalam membuat keputusan
penyelenggaraan pandangan-pandangan yang dimiliki polisi mengenai bagian dari
polisi. Hal tersebut sangat relevan dalam memahami Bagaimana hukum
diselenggarakan dan sama seperti kebijakan agensi regulatoris dalam menentukan
makna praktik hukum untuk menentukan sebagian besar pada definisi dari situasi dan
keputusan yang dicapai oleh polisi patroli maka disebut juga membentuk suatu
kebijakan hukum dan keputusan merekalah yang menciptakan batasan antara yang
legal dan ilegal kecuali dalam kasus yang sangat jarang di mana Diskresi yang
dijalankannya dalam bertindak ditantang di hadapan pengadilan.

H. Kerja dan Organisasi Polisi

Literatur Polisi menekankan gaya klasik militer yang nyata dan sangat strategis
dalam organisasi polisi, pada prinsipnya dan dalam retorika organisasi polisi adalah
organisasi yang dikarakterisasikan oleh Subordinasi yang kuat dengan rantai yang
kaku dan yang lebih meragukan dengan ketiadaan provisi formal sebagai sarana
konsultasi antar level kepangkatan. Sebuah studi sosiologis menekankan mengenai
karakter birokratiknya yang semakin meningkat.

Tujuan resmi organisasi polisi ditetapkan dengan jelas oleh perangkat yang lebih
tinggi, orientasi dan metode organisasi bisa sangat bervariasi tergantung pada sikap
dan kebijakan kepala bagian dan pejabat senior revolusi. Ada 2 poin yang perlu dibuat
mengenai kerja Polisi sehari-hari dalam kaitannya dengan kinerja Profesionalisme.
Pertama efisiensi polisi sama seperti efisiensi agensi regulatoris dalam penegakan
hukum sangat sulit untuk diukur kriteria apa yang sesuai Tidak diragukan lagi
penangkapan dalam organisasi profesi dianggap sebagai kriteria utama kompetensi
dan usaha kerja polisi.

Kedua tugas Polisi yang amat cakupannya luas yaitu yang dituntut untuk bisa
dilakukan oleh polisi. banyak studi yang menekankan bahwa kerja yang merupakan
kejahatan lainnya membentuk sebagian kecil dari kegiatan Polisi.

Polisi sebagai kata lain dari sebuah mekanisme untuk mendistribusikan kekuatan
yang di sini yang dikondisikan secara situasional dapat menangani kejahatan tetapi
juga dapat digunakan dalam menyelesaikan pertengkaran atau mengendalikan
kerumunan, kegiatan yang tidak sesungguhnya menjadi alasan yang paling sering
diberikan oleh kontak antara polisi dan warga negara.

I. Budaya Polisi

Budaya Polisi tercermin dalam citra polisi mengenai diri mereka sendiri sebagai
kekuatan garis depan dalam menghadapi kekacauan dalam masyarakat, mereka
seringkali tidak berterima kasih dan palsu menguatkan sikap mereka, dalam
organisasi polisi banyak kerja polisi yang membosankan dan tidak mengasyikkan
tetapi budaya polisi membesarkan unsur yang menggairahkan misalnya kejar-kejaran
mobil dengan pelaku kriminal.

Situasi bahaya yang memperlakukan semua ini sebagai unsur sentral dalam
pekerjaan mereka dengan cara ini definisi tentang apa yang penting atau berharga
dalam kerja polisi dikuatkan dalam budaya okupasional. Khususnya dalam strata
dalam bagian-bagian populasi yang mencerminkan pengalaman kolektif sikap yang
terus-menerus diekspresikan diantara dan mempengaruhi apa yang tampak dengan
Posisi Polisi yang rendah serta mitos kolektif yang dikeluarkan dalam berbagai
realita. Dalam hal tertentu ditengah masyarakat sikap mereka yang dilakukan polisi
atau ancaman terhadap tatanan yang terlihat dari hukum cenderung dipandang dengan
curiga karena beberapa alasan yang dikemukakan sebelumnya, tampaknya dengan
kalangan pengusaha polisi cenderung terhadap mereka mendekat dengan
perlindungan dan dimungkinkan diharapkan dari mereka imbalan.

J. Penyelenggaraan Dan Hukum

Pengalaman penyelenggaraan hukum permohonan bantuan hukum berkontribusi


terhadap persepsi warga negara tentang hukum lebih jauh seperti dalam perbedaan
antara kejahatan yang sesungguhnya dengan pelanggaran regulatoris kondisi sosial
ekonomi yang berpengaruh pada penyelenggaraan dan permohonan bantuan hukum
tidak hanya mempengaruhi opini warga negara tetapi juga cara doktrin hukum
dipandang oleh Pengadilan.

Selain itu Profesionalisasi Polisi dan Personil agensi regulatoris yang didasarkan
pada klaim terhadap keahlian khusus yang berkontribusi terhadap sebuah situasi di
mana agensi penyelenggaraan dapat sangat mempengaruhi legislasi yang mereka
selenggarakan sehingga akan menyesatkan jika melihat doktrin hukum sebagai
pelindung erosi pengajian atau praktik hukum penciptaannya integrasi dan aplikasinya
semuanya sangat dipengaruhi oleh agensi penyelenggara oleh berbagai macam
kekuasaan dan kesempatan yang dimiliki yang dimiliki oleh individual organisasi dan
kelompok sosial untuk dapat menggunakannya.

K. Catatan Akhir

Korupsi Polisi yang menjadi pokok persoalan banyak kajian adalah persoalan
yang berbeda ia melibatkan penerimaan imbalan pribadi oleh petugas polisi atas
tindakan yang diminta untuk mereka lakukan yang sebetulnya merupakan bagian dari
pekerjaan mereka atau diminta untuk mengabaikan atau menoleransi tindakan yang
seharusnya mereka halangi. ini berarti hukum telah dikhianati untuk keuntungan
pribadi ketimbang sebagai bagian dari apa yang dipandang sebagai tujuan
pemeliharaan tatanan yang sah dari kerja Polisi.

Anda mungkin juga menyukai