Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

“Implikasi Transkultural dalam Praktik Keperawatan”


Disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Antropologi Kesehatan

Dosen Pengampu: drg. Yetty Wilda, MM. Kes

Disusun oleh Kelompok 12:

1. Fidela Maura Widyaniputri P27820421022


2. Fitri Ashiva P27820421023
3. Maziyya Miladia Rahmah P27820421029

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN SIDOARJO


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN
SURABAYA
2021/2022

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. karena atas limpahan rahmat dan karunianya, kami dapat
menyusun makalah ini dengan baik dan selesai tepat pada waktunya. Makalah yang berjudul “Implikasi
Transkultural dalam Praktik Keperawatan” ini kami susun dalam rangka memenuhi trugas kelompok
untuk mata kuliah Antropologi Kesehatan. Selain itu, penyusunan makalah ini juga bertujuan untuk
memberikan tambahan wawasan bagi kami sebagai penulis dan bagi para pembaca, agar lebih
memahami mengenai implikasi transkultural dalam keperawatan.
Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita, Nabi Besar
Muhammad SAW. Yang telah membimbing kita dari jalan yang gelap gulita, yaitu zaman jahiliyah,
menuju jalan yang terang benderang yaitu Ad-Diinul Islam.

Kami selaku penulis tidak lupa untuk mengucapkan terima kasih kepada Ibu drg. Yetty Wilda,
MM. Kes selaku dosen pengampu mata kuliah Antropologi Kesehatan, yang telah membimbing dalam
penyelesaian makalah ini. Terima kasih juga kepada semua rekan kelompok yang telah berpartisipasi
dalam penyusunan makalah ini. Juga bagi semua pihak yang telah mendukung penulisan makalah ini,
kami mengucapkan terima kasih.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu kami
membutuhkan kritik dan saran yang membangun, agar kedepannya kami dapat menyusun makalah
dengan lebih baik lagi. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, terutama kami
khususnya sebagai penulis.

Surabaya, 7 Januari 2022

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................................ 2


DAFTAR ISI ............................................................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang .................................................................................................................................. 4
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................................. 5
1.3 Tujuan................................................................................................................................................ 5
1.4 Manfaat.............................................................................................................................................. 5
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................................... 6
2.1 Implikasi Transkultural dalam Praktik Keperawatan ........................................................................ 6
2.1 Implementasi Sosial Budaya Masyarakat dan Kesehatan dalam Asuhan Keperawatan ................. 12
2.3 Pengaruh Lingkungan Sosial Budaya terhadap Penyakit ................................................................ 15
2.4 Aspek Sosial Budaya yang Mempengaruhi Status Gizi .................................................................. 24
BAB III PENUTUP ................................................................................................................................. 30
3.1 Kesimpulan...................................................................................................................................... 30
3.2 Saran ................................................................................................................................................ 30
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................................... 31

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Arti kata implikasi itu sendiri sesungguhnya memiliki cakupan yang sangat luas dan beragam.
Hingga saat ini, masih belum terdapat pembahasan secara lengkap dan menyeluruh mengenai arti dan
definisi kata implikasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti kata implikasi adalah
keterlibatan atau keadaan terlibat. Sehingga setiap kata imbuhan dari implikasi seperti kata berimplikasi
atau mengimplikasikan yaitu berarti mempunyai hubungan keterlibatkan atau melibatkan dengan suatu
hal.

Transkultural terdiri atas dua kata dasar yaitu "trans" yang berarti "berpindah" atau "suatu
perpindahan" dan satu kata lagi yaitu "kultur" yang berarti "kebudayaaan". Kultur atau kebudayaan
adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan
diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem
agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa,
sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang
cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Budaya juga merupakan suatu pola hidup
menyeluruh, budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan
perilaku komunikatif. Secara singkat keperawatan transkultural atau transkultural nursing dapat
diartikan sebagai keperawatan lintas budaya.

Salah satu teori yang diungkapkan pada Midle Range Theory adalah Transcultural Theory. Teori
ini berasal dari disiplin ilmu antropologi dan dikembangkan dalam konteks keperawatan. Teori ini
menjabarkan konsep keperawatan yang didasari oleh pemahaman tentang adanya perbedaan nilai-nilai
kultural yang melekat dalam masyarakat. Leininger beranggapan bahwa sangatlah penting
memperhatikan keanekaragaman budaya dan nilai-nilai dalam penerapan asuhan keperawatan kepada
klien. Bila hal tersebut diabaikan oleh perawat, akan mengakibatkan cultural shock (lkuys. 2014).

Pengaruh sosial budaya dalam masyarakat memberikan peranan penting dalam mencapai derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya. Perkembangan sosial budaya dalam masyarakat merupakan suatu
tanda bahwa masyarakat dalam suatu daerah tersebut telah mengalami suatu tanda bahwa masyarakat
dalam suatu daerah tersebut telah mengalami suatu perubahan dalam proses berfikir. Perubahan sosial
dan budaya bisa memberikan dampak positif. negatif.

Kebudayaan atau kultur dapat membentuk kebiasaan dan respons terhadap kesehatan dan
penyakit dalam segala masyarakat tanpa memandang tingkatannya. Karena itulah penting bagi tenaga
kesehatan untuk tidak hanya mempromosikan kesehatan, tapi juga membuat mereka mengerti tentang
proses terjadinya suatu penyakit dan bagaimana meluruskan keyakinan budaya. yang dianut
hubungannya dengan kesehatan (Prasetyadi, 2014).

4
1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana implikasi transcultural dalam praktik keperawatan?


2. Bagaimana implementasi sosial budaya masyarakat dan kesehatan dalam asuhan keperawatan?
3. Bagaimana pengaruh lingkungan sosial budaya terhadap penyakit?
4. Apa saja aspek sosial budaya yang mempengaruhi status gizi?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui implikasi transcultural dalam praktik keperawatan.


2. Untuk mengetahui implementasi sosial budaya masyarakat dan kesehatan dalam asuhan keperawatan.
3. Untuk mengetahui pengaruh lingkungan sosial budaya terhadap penyakit.
4. Untuk mengetahui aspek sosial budaya yang mempengaruhi status gizi.

1.4 Manfaat

1. Mampu menerapkan konsep transcultursl nursing dalam menganalisis fenomena budaya kesehatan
pasien.
2. Dapat mengidentifikasi, menguji, mengerti, dan menggunakan norma pemahaman keperawatan
transcultural dalam meningkatkan kebudayaan spesifik dalam asuhan keperawatan.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Implikasi Transkultural dalam Praktik Keperawatan

Peningkatan jumlah penduduk dunia, terutama di kota besar terjadi akihat cepatnya perpindahan
penduduk setiap tahunnya. Hal ini menyebabkan pula munculnya varias kultur (budaya) atau
multicultural pada suatu daerah atau wilayah tertentu. Misalnya di Indonesia, mobilitas penduduk
tergolong tinggi, sehingga cukup banyak perpindahan penduduk antarwilayah.provinsi, bahkan ke luar
negeri dengan alasan pendidikan ataupun pekerjaan. Sebagai pendatang di tempat yang baru Di
Indonesia, mobilitas penduduk tergolong tinggi, sehingga cukup banyak perpindahan penduduk antar
wilayah, provinsi,bahkan ke luar negeri dengan alas and pendidikan ataupun pekerjaan. Sebagai
pendatang ditempat yang baru, penduduk yang berpindah tersebut tentu bisa mengalami masalah
kesehatan di tempat tinggal barunya. Karenanya, menjadi penting bagi setiap tenaga kesehatan termasuk
perawat untuk mengetahui bagaimana merawat pasien dengan berbagai latar belakang budaya.
Penanganan pasien dengan perbedaan latar belakang budaya dalam keperawatan itu dikenal dengan
sebutan transcultural mursing atau keperawatan transcultural.

Keperawatan transcultural merupakan istilah bagi disiplin ilmu formal dan praktik yang berpusat
pada nilai, kepercayaan, dan praktik asuhan kultural untuk individu atau kelompok tertentu.
Pengembangan. keperawatan transcultural perlu dilakukan karena berbagai alasan, seperti munculnya
era globalisasi. Mengadapi era globalisasi, persaingan bebas terjadi diberbagai bidang, termasuk
kesehatan. Inipun dialami oleh Indonesia sebagai Negara yang mulai ikut membuka perdagangan bebas,
baik berupa barang maupun jasa professional. Tenaga kesehatan seperti perawat pun dituntut
berpandangan global karena kesempatan merawat pasien dari berbagai belahan dunia semakin besar.

Bidang keperawatan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pelayanan kesehatan.
Bidang keperawatan menyambut persaingan bebas dengan meningkatkan profesionalismenya, yakni
penerapak Model Praktik Keperawatan Profesional (MPKP). Salah satu subsistem dari MPKP adalah
pengunaan pendekatan transcultural sebagai salah satu teori dalam pemberian asuhan keperawatan.
Teori transcultural dalam praktik keperawatan awalnya diperkenalkan oleh Madeleine Leininger pada
1974. Teori Leininger tersebut berkeyakinan, bahwa memahami budaya yang dianut pasien merupakan
salah satu kunci keberhasilan dalam memberikan. asuhan keperawatan.

Asuhan keperawatan merupakan bentuk pelayanan professional dan bagian integral dari
pelayanan kesehatan. Hal ini didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, mencakup bio-psiko-sosio-
kultural dan spiritual secara komprehensif. ditujukan bagi seluruh proses kehidupan individu,keluarga,
masyarakat,baik sehat maupun sakit. Menurut Leininger. tujuan dasar keperawatan kultural adalah
memberikan asuhan bersifat kultur spesifik dan kultur universal, sehingga menghasilkan kesehatan dan
kenyamanan individu, keluarga, kelompok, komunitas institusi.

6
Kultur spesifik adalah budaya dengan nilai-nilai dan norma spesifik yang dimiliki oleh kelompok
lain. Kultur universal merupakan nilai-nilai dan norma-norma yang diyakini dan dilakukan hamper
semua kultur, seperti budaya minum teh dapat membuat tubuh sehat. Aplikasi teori transcultural dalam
keperawatan ialah diharapkannya kesadaran dan apresiasi terhadap perbedaan kultur. Ini berarti perawat
professional wajib memiliki pengetahuan dan praktik berdasarkan kultur secara konsep perencanaan
untuk praktik keperawatan (Pratiwi, 2011). Konsep keperawatan transcultural Leininger juga
menjabarkan, masyarakat dengan perbedaan kultur dapat menjadi sumber informasi dan menjadi dasar
penentuan jenis perawatan yang diinginkan dari pemberi pelayanan professional. Ini karena kultur
adalah pola kehidupan masyarakat yang berpengaruh terhadap keputusan dan tindakan. Culture care
adalah teori holistic yang didalamnya teraplikasi ukuran dari totalitas kehidupan manusia yang berlaku
selamanya. Culture care juga mencakup struktur social, pandangan dunia, nilai kultural, konteks
lingkungan. ekspresi bahasa dan etnik, serta sistem professional. Pemahaman tentang budaya sangat
penting sebelum mempelajari keperawatan transcultural. Konsep tentang budaya dan gambaran perilaku
cerminan kebudayaan bisa dipelajari melalui antropologi dan antropologi kesehatan.

Asuhan keperawatan transcultural mencakup rangkaian proses kegiatan pada praktik


keperawatan kepada klien sesuai latar belakang budayanya. Asuhan keperawatan ini ditujukkan guna
memandirikan klien sesuai dengan budayanya. Asuhan keperawtan diberikan sesuai dengan karakteristik
ruang lingkup keperawatan dan dikelola secara professional dalam konteks budaya klien serta kebutuhan
asuhan keperawatan. Strategi yang digunakan dalam asuhan keperawatan menurut Leininger adalah:

1. Perlindungan atau mempertahankan budaya

Strategi ini bisa dilakukan bila budaya pasien tidak bertentangan dengan kesehatan. Perencanaan
dan implementasi keperawatan diberikan sesuai dengan nilai nilai relevan klien, sehingga klien dapat
meningkatkan atau mempertahankan status kesehatannya. Contohnya, budaya berolahraga setiap pagi,
atau anjuran orang tua terhadap perempuan hamil untuk mengkonsumsi makanan tertentu. Misalnya.
anjuran mengonsumsi kepala ikan lele agar kepala bayi ideal, minum air kelapa agar kulit bayi putih,
dan air rabusan kacang hijau agar rambut bayi tebal. Hal tersebut menurut kesehatan bisa terus
dilakukam, tetapi dengan maksud maksud lain. Ikan lele baik dikonsumsi karena mengandung protein
guna memperbaiki pertumbuhan janin. Air kelapa baik bagi ibut hamil karena mengandung elektrolit
sehingga memperkuat kontraksi otot. Dalam hal ini, prinsip keperawatannya ialah maintenance care,
perilaku budaya yang tidak membahayakan tentu harus dihargai.

2. Mengakomodasi atau menegosiasi budaya

Ini merupakan strategi dengan mengintervensi dengan implementasi keperawatan untuk


membantu pasien beradaptasi terhadap budaya tertentu yang lebih menguntungkan kesehatannya.
Perawat membantu pasien agar dapat memilih dan menentukan budaya lain yang lebih mendukung
peningkatan kesehatan. Misalnya, pasien hamil mempunyai pantangan makan yang berbau amis, maka
ikan dapat diganti dengan sumber protein hewani lain, seperti daging merah.

7
3. Merestrukturisasi atau mengganti budaya

Strategi ini dapat dilakukan bila budaya klien merugikan status kesehatannya. Misalnya, perawat
berupaya merestrukturisasi gaya hidup pasien dengan kebiasaan merokok menjadi tidak merokok.
Namun, seluruh perencanaan dan implementasi keperawatan harus dirancang sesuai latar belakang
budaya, sehingga budaya selalu bisa dipandang sebagai rencana hidup lebih baik. Pola rencana hidup
yang dipilih. biasanya yang lebih menguntungkan dan sesuai dengan keyakinan klien. Contoh lainnya,
perawat membuat daftar makanan pantangan bagi perempuan hamil karena bisa membahayakan kondisi
janin. Perawat perlu memberikan pengertian jika ada makanan yang tidak boleh dikonsumsi tetapi
ternyata sering dikonsumsi karena alasan sudah menjadi budaya sit ibu hamil.

1) Proses keperawatan

Keperawatan transkultural juga mengenal proses atau sistematika pemberian asuhan keperawatan
berdasar latar belakang budaya pasien. Proses keperawatan transkultural terdiri dari tahap pengkajian
keperawatan transkultural dignosis keperawatan transkultural, serta rencana tindakan keperawatan
transkultural, serta tindakan sekaligus evaluasi keperawatan transkultural. Pengkajian keperawatan
trankultural sangat penting dilakukan. Pada tahap ini, perawat transkultural menggunakan banyak cara
dalam memahami pasien guna mencoba menyesuaikan pengalaman. interpretasi, dan harapan yang
berbeda dalam budaya. Dalam proses pengkajian, hubungan antara perawat dan pasien juga perlu
diperhatikan. dan didasarkan pada beberapa faktor penting yang mempengaruhi hubungan tersebut.
Pengkajian keperawatan transkultural sebaiknya didasarkan pada tujuh komponen. Menurut teori
keperawatan trankultural Leininger (dalam Pratiwi, 2011), komponen-komponen tersebut adalah sebagai
berikut.

a. Faktor teknologi (technological factors)

Teknologi kesehatan adalah sarana guna memungkinkan manusia memilih atau mendapat
penawaran menyelesaikan masalah dalam pelayanan kesehatan. Berkaitan dengan pemanfaatan
teknologi kesehatan, perawat perlu mengkaji persepsi klien tentang penggunaan maupun
pemanfaatan teknologi untuk mengatasi permasalahan kesehatan. Perawat juga perlu tahu alasan
klien mencari bantuan kesehatan, alasan mau atau tidak di operasi, pemahaman soal tes
laboratorium darah, serta kebiasaan berobat klien.

b. Faktor Agama dan Falsafah Hidup (religious and philosophical factors)

Agama adalah suatu system simbol pandangan dan motivasi teramat realistis bagi para
pemeluknya. Sifat realitis merupakan ciri khusus agama. Agama menyediakan motivasi sangat
kuat untuk menempatkan kebenaran i atas segalanya, bahkan di atas kehidupan sendiri. Faktor
agama yang perlu dikaji perawat seperti agama yang dianut, kebiasaan agama yang berdampak
positif terhadap kesehatan, ikhtiar pasien untuk sembuh, serta konsep diri pasien.

8
c. Faktor sosial dan keterikatan kekeluargaan (kinship and social factors)

Pada faktor ini yang perlu dikaji oleh perawat ialah nama lengkap dan nama panggilan di
dalam keluarga, umur atau tempat dan tanggal lahir, jenis kelamin, status perkawinan, tipe
keluarga, pengambilan keputusan dalam anggota keluarga, kebiasaan atau kegiatan rutin
keluarga.

d. Faktor nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural values: lifeways)

Nilai adalah konsepsi-konsepsi abstrak dalam diri manusia, mengenai apa yang dianggap
baik dan buruk. Nilai-nilai budaya adalah sesuatu mengenai baik dan buruk yang dirumuskan
dan ditetapkan oleh penganut budaya. Norma adalah aturan social atau patokan perilaku yang
dianggap pantas. Norma-norma budaya adalah suatu kaidah dengan sifat penerapan terbatas pada
penganut budaya terkait. Hal-hal yang perlu dikaji berkaitan dengan nilai-nilai budaya dan gaya
hidup adalah posisi dan jabatan klien. misalnya ketua adat atau direktur, bahasa yang digunakan,
bahasa nonverbal yang ditunjukkan klien, kebiasaan membersihkan diri, kebiasaan makan,
sarana hiburan yang biasa dimanfaatkan.

e. Faktor kebijakan dan peraturan (political and legal factors)

Kebijakan dan peraturan adalah segala sesuatu yang mempengaruhi kegiatan individu
kelompok dalam asuhan keperawatan transkultural. Misalnya peraturan dan kebijakan yang
diterapkan rumah sakit, mulai dari jam berkunjung, baju pasien, jumlah anggota keluarga yang
boleh menungggu, hak dan kewajiban pasien ataupun keluarga pasien.

f. Faktor ekonomi (economical factors)

Faktor ini berkaitan dengan sumber-sumber material yang dimiliki dan dimanfaatkan
pasien atau keluarganya untuk membiayai proses penyembuhan, sumber ekonomi umum antara
lain asuransi, biaya kantor, tabungan dan patungan antar anggota keluarga. Faktor ekonomi ini
dapat ikut menentukan pasien dirawat di ruang yang sesuai dengan daya embannya.

g. Faktor pendidikan

Latar belakang pendidikan klien adalah pengalaman klien dalam menempuh jalur
pendidikan formal tertinggi saat ini. Dalam menempuh pendidikan formal tersebut pasti klien
mengalami suatu proses eksperimental. Semakin tinggi pendidikan klien, semakin tinggi pula
keyakinannya harus didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang rasional. Klien dengan pendidikan
tinggi juga lebih mudah beradaptasi terhadap budaya baru yang sesuai dengan kondisi
kesehatannya. Perawat perlu mengkaji latar belakang pendidikan klien dan keluarga, jenis
pendidikannya, serta kemampuan belajar klien secara aktif dan mandiri tentang pengalaman
sakitnya sehingga tidak terulang kembali.

9
Pengkajian transkultural dalam keperawatan memiliki tujuan yang beragam. Beberapa tujuan
tersebut ialah:

a) Mencari budaya pasien, pola kesehatan dihubungkan dengan pandangan, gaya hidup, nilai
budaya, kepercayaan, dan faktor sosial.
b) Mendapatkan informasi budaya secara keseluruhan sebagai dasar dari pembuatan keputusan dan
tindakan.
c) Mencari pola dan spesifikasi budaya, arti dan nilai budaya dapat digunakan untuk membedakan
keputusan tindakan keperawatan, serta nilai dan gaya hidup pasien dapat dibantu secara
profesional.
d) Mencari area yang berpotensi menjadi konflik budaya, kelalaian, perbedaan nilai antara pasien
dan tenaga kesehatan.
e) Mengidentifikasi secara keseluruhan dan spesifik pola keperawatan budaya yang sesuai untuk
pasien.
f) Mengidentifikasi perbandingan informasi keperawatan budaya diantara pasien, berbeda ataupun
sama untuk dapat digunakan sebagai pembelajaran dan penelitian.
g) Mengidentifikasi dua persamaan atau perbedaan pasien dalam pemberian kualitas perawatan.
h) Menggunakan teori dan pendekatan riset untuk mengartikan dan menjelaskan praktik untuk
kesesuain keperawatan dan area baru dari pengetahuan keperawatan transkultural.

Tahap kedua dari proses keperawatan transkultural adalah membuat diagnosis. Menurut The
North America Nursing Diagnosis Association (NANDA), diagnosis keperawatan merupakan bagian
dari pengobatan terhadap respon masalah kesehatan, baik aktual maupun potensial sementara diagnosis
keperawatan transkultural adalah respon klien sesuai latar belakang budayanya yang dapat dicegah,
diubah, atau dikurangi melalui intervensi keperawatan. Diagnosis keperawatan pada dasarnya sudah
ditentukan dan diklasifikasikan, tetapi dapat berubah dan berkembang melalui hasil riset keperawatan.

Diagnosis keperawatan merupakan respon terhadap disfungsi misalnya cemas inkontinen, pola
nafas tidak efektif yang merupakan bidang wewenang keperawatan. Demikian juga diagnosis
keperawatan transkultural, bisa dimodifikasi dan dikembangkan sesuai dengan kondisi dengan alasan
normatif atau empiris. Terdapat tiga diagnosis keperawatan transkultural yang sering ditegakkan
menurut NANDA. Ketiganya ialah gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan perbedaan kultur
gangguan sosial berhubungan dengan disorientasi interaksi sosiokultural; serta ketidakpatuhan dalam
pengobatan berhubungan dengan sistem nilai yang diyakini.

Tahap proses keperawatan transkultural selanjutnya ialah rencana tindakan keperawatan


transkultural. Rencana tindakan keperawatan terdiri dari rencana tindakan keperawatan independen
(mandiri) dan kolaboratif (kerja sama dengan profesi lain, seperti dokter, ahli akupuntur, dsb). rencana
tindakan keperawatan meliputi penentuan prioritas sesuai dengan diagnosis keperawatan, penentuan
tujuan atau hasil dari asuhan keperawatan untuk tiap diagnosis, dan meilih langkah tindakan
keperawatan spesifik. Penentuan prioritas diagnosis keperawatan buakan berarti mengurutkan diagnosis

10
menurut keutamaannya. Namun diagnosis keperawatan diseleksi dan rencana tindakan diprioritaskan
pada diagnosis utama.

Selanjutnya, dilakukan penentuan tujuan hasil keperawatan yang diharapkan. Tujuan diagnosis
keperawatan merupakan perilaku pasien yang dapat diamati. Kriterianya, hasil tertulis yang diharapkan
dari pasien, yaitu isi dan waktu harus spesifik, bisa dijangkau, serta harus memenuhi syarat SMART.
SMART merupakan singkatan dari Spesifik, Measurable atau dapat diukur. Acceptable atau dapat
diterapkan, Realistis dan Time atau ada batasan waktu yang akan dicapai. Sementara untuk memilih
langkah tindakan keperawatan spesifik, rencana tindakan keperawatan transkultural dapat berpedoman
pada beberapa standar. Misalnya, Nursing Intervention Classification (NIC), American Nurse
Assosiation (ANA), atau dari standar tersebut yang dikembangkan berdasarkan data empiris pasien

Dalam implementasi keperawatan transkultural, faktor-faktor dalam komunikasi lintas budaya


juga perlu menjadi perhatian. Ketika seorang perawat berinteraksi dengan klien berbeda latar belakang
budaya, dapat dikatakan terjadi proses komunikasi lintas budaya atau cross-cultural communication.
Karena itu, beberapa faktor perlu dipertimbangkan dalan komunikasi lintas budaya, diantaranya:

a. Komunikasi dengan anggota keluarga dan orang lain yang berkepentingan

Penting untuk mengetahui keluarga klien, struktur hubungan darah dan mengidentifikasi
siapa yang menurut pasien penting dalam perawatannya. Bisa juga terkait pihak yang
bertanggung jawab akan pembuatan keputusan terkait perawatan kesehatan pasien.

b. Pandangan budaya dalam hal pendekatan

Seberapa dekat perawatan dengan klien ditentukan oleh latar belakang budaya klien.
Interaksi yang terjadi bisa beragam, mulai dari informal sampai formal.

c. Komunikasi non-verbal

Komunikasi non-verbal terdiri dari keheningan, kontak mata. sentuhan, ruang dan jarak,
jenis kelamin, dan gender. Misalnya, setiap budaya memiliki interpretasi berbeda tentang
keheningan. Sejauh mana seorang dituntut untuk mengadakan kontak mata atau dekat seseorang
berbicara dengan orang lain juga ditentukan oleh budaya. Budaya juga mengatur hubungan antar
jenis kelamin dan bagaimana peran gender. dalam suatu masyarakat.

d. Bahasa

Dalam komunikasi lintas budaya penguasaan bahasa adalah yang utama. Karena penting
untuk meminimalkan terjadinya salah interpretasi.

11
e. Tingkah laku peran sakit

Penunjukan perasaan tidak enak pasien ketika sakit juga dipengaruhi budaya.
Berdasarkan observasi di perawatan maternitas, mengekspresikan nyeri melahirkan juga ada
kecenderungan berbeda karena latar belakang budaya si ibu misalnya, suku Batak cenderung
akan berteriak, sedangkan suku jawa lebih banyak merintih.

2.1 Implementasi Sosial Budaya Masyarakat dan Kesehatan dalam Asuhan Keperawatan

Berbagai upaya dilakukan oleh perawat untuk memperbaiki status kesehatan masyarakat,
termasuk mempelajari unsur sosial dan kebudayaan masyarakat. Melalui proses keperawatan, khususnya
pada tahap pengkajian perawat perlu mengkaji unsur social masyarakat seperti umur, jenis kelamin,
pekerjaan, social ekonomi, dan unsur budaya.

Sistem kepercayaan tertentu berkaitan dengan pemilihan menu makanan. Pemeluk beragama
islam tidak akan makan daging babi, meskipun diolah dengan baik. Secara medis sudah terbukti bahwa
daging babi yang dikonsumsi mentah atau setengah matang dapat menularkan cacing pita (Tacnia
solium). Perawat tidak dapat menganjurkan masyarakat yang beragama islam untuk makan daging babi.

Sangat penting bagi perawat untuk mempelajari sistem organisasi di masyarakat. Dengan
mempelajari organisasi masyarakat, perawat akan mengetahui organisasi apa saja yang ada di
masyarakat, kelompok mana yang berkuasa, kelompok mana yang menjadi panutan, dan tokoh mana
yang disegani. Perawat akan menemukan key person untuk dijadikan kader kesehatan. Dengan
pengetahuan tersebut maka perawat dapat menentukan strategi pendekatan yang lebih tepat dalam upaya
mengubah perilaku kesehatan masyrakat menuju perilaku sehat dan perbaikan status kesehatan
masyrakat,

Perawat harus memiliki pengetahuan tentang kesehatan masyarakat. Dengan menguasai


pengetahuan tersebut, akan membantu mereka dalam menentukan pengetahuan mana yang perlu
ditingkatkan, diubah, dan pengetahuan mana yang perlu dilestarikan dalam memperbaiki status
kesehatan. Sebagai contoh, hasil penelitian Sudarti Kresno (2008) menunjukkan bahwa konsep
masyrakat tentang penyebab penyakit diare berbeda dengan konsep medis. Menurut masyarakat,
penyebab penyakit diare pada bayi adalah karena bayi tersebut sedang mengalami proses peningkatan
kepandaiannya. Bayi yang semula hanya bisa merangkak kemudian meningkat bisa berdiri, maka dalam
proses perubahan tersebut, bayi akan mengalami diare dan hal tersebut dianggap wajar sehingga tidak
perlu diobati. Selain itu, bayi yang baru tumbuh gigi juga bisa mengakibatkan diare. Masyarakat juga
berpendapat bahwa penyakit disebabkan oleh guna-guna, gangguan roh halus, pergantian cuaca, atau
dosa manusia. Penelitian yang dilakukan di pedesaan daerah Kabupaten Soe, Nusa Tenggara Timur,
menunjukkan bahwa bayi yang sakit disebabkan oleh dosa kedua orang tuanya sehingga untuk
menyembuhkan anak yang sakit ISPA, kedua orang tuanya harus mengutarakan dosa-dosa mereka dan
meminta maaf. Pertama kali mereka mencari pertolongan pengobatan kepada tim doa, dan jika tidak
sembuh, kemudian mereka mencari pertolongan pengobatan ke pelayanan kesehatan (Sudarti Kresno,

12
2008). Petugas kesehatan perlu mempelajari bahasa lokal dan istilah lokal tentang penyakit. Penguasaan
bahasa lokal, tidak hanya sekedar untuk memudahkan berkomunikasi dengan masyarakat. Umumnya
masyarakat mempunyai istilah lokal tentang suatu penyakit yang berbeda dengan istilah penyakit yang
digunakan perawat.

Berikut ini kami uraikan beberapa pertimbangan umum yang terkait dalam memenuhi kebutuhan
dasar nutrisi pada manusia.

1. Untuk menjaga fungsi metabolism tubuh diperlukan kecukupan karbohidrat, protein, lemak, vitamin,
mineral, elektrolit, dan elemen-elemen lain. Tabel 13.1. menunjukkan fungsi nutrient ini. Nutrient ini
dianjurkan setiap hari, yaitu yang mengandung lima kelompok makanan, sedangkan kelompok keenam
yaitu lemak. minyak dan gula dianjurkan untuk dimakan sewaktu-waktu, kelompok ini tidak boleh
melebihi 30% dari masukan kalori seluruhnya.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan nutrisi meliputi usia, aktivitas, jenis kelamin, status
kesehatan, dan metabolism tubuh.

3. Faktor-faktor yang memengaruhi masukan nutrisi meliputi yang bersangkutan (nafsu makan,
kemampuan mengunyah, dan menelan, kemampuan fungsional, status psikologis, dan budaya) dan
structural (sosialisasi, keuangan, kemampuan memperoleh dan menyiapkan makanan, fasilitas, dan
transportasi) (Miller, 1995)

4. Tubuh memerlukan zat gizi minimal untuk kesehatan dan pertumbuhan. Selama rentang kehidupan
kebutuhan individu bervariasi.

5. Ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan metabolism menyebabkan penurunan berat badan.


memburuknya kesehatan, dan penurunan kemampuan tubuh memperbaiki sel-sel yang rusak.
Metabolism akan meningkat pada keadaan trauma, infeksi dan kanker.

Tabel 1. Berbagai fungsi nutrient (Sumber: Carpenito, 1998)


Karbohidrat Sumber aktivitas utama untuk aktivitas sel, diperlukan sebagai:
a. Transport substrat, menjamin fungsi selular.
b. Sekresi hormone khusus.
c. Kontraksi otot.
d. Menghemat protein untuk fungsi lainnya.
Protein Dasar struktur tubuh (darah, otot, rambut, kuku, tendon kulit), diperlukan sebagai:
a. Permulaan terjadinya reaksi kimia.
b. Transportasi apoprotein.
c. Pemeliharaan antibody.
d. Mempertahankan tekanan osmotik.
e. Mempertahankan sistem buffer.
f. Pertumbuhan dan perbaikan jaringan.
g. Detoksifikasi substrat yang merugikan.
Lemak Mempertahankan fungsi tubuh, menyediakan sumber energy, diperlukan sebagai:
a. Sumber energy pilihan (lipolysis).

13
b. Melindungi organ internal.
c. Bantalan organ internal.
d. Mengabsorpsi vitamin larut lemak.

Berikut ini adalah beberapa pertimbangan transcultural menurut beberapa ahli terkait masyarakat
dalam memenuhi kebutuhan dasar nutrisi.

1. Selama beberapa abad diet telah digunakan di beberapa negara untuk penatalaksanaan kondisi
penyakit yang spesifik, meningkatkan kesehatan selama kehamilan, merangsang pertumbuhan bayi dan
anak, serta digunakan untuk memperpanjang umur harapan hidup (Boyle dan Andrew, 1989).

2. Pada beberapa budaya, schat dipandang sebagai suatu pemyataan keseimbangan antara cairan-cairan
tubuh (darah. flegma, empedu hitam, empedu kuning). Keadaan sakit disebabkan oleh
ketidakseimbangan antara cairan hormonal yang menyebabkan kekeringan yang berlebihan, menggigil.
panas atau basah. Sebagai contoh nyeri perut bagian atas diyakini disebabkan oleh makanan yang
berlebihan, diidentifikasi sebagai menggigil. Makanan, tumbuhan, dan obat obatan diklasifikasikan
seperti panas, basah, dingin, basah atau kering. Makanan. tumbuhan, dan obat-obatan digunakan untuk
mempertahankan tubuh dalam keseimbangan yang alami. Misalnya buah pisang diklsifikasikan sebagai
suatu makanan yang dingin, tetapi jagung, diklasifikasikan sebagai makanan yang panas (Boyle dan
Andrew, 1989).

3. Kekurangan laktosa pada orang dewasa dilaporkan banyak terjadi pada penduduk di dunia. Sejumlah
94% terjadi pada orang Asia, 90% pada orang negro Afrika, 79% pada orang Indian Amerika. 75% pada
orang Amerika kulit hitam, 50% pada orang Amerika-Meksiko, dan 17% pada orang Amerika kulit
putih (Overvield. 1985).

4. Latihan nutrisi dapat digolongkan sebagai kegiatan yang menguntungkan, murni dan penuh
kehangatan. Manfaat dan kemurnian harus didukung dengan sensitivitas dan penjelasan pengaruh
mentalnya (Boyle dan Andrew. 1989).

5. Makan secara berkelompok dapat dianjurkan pada beberapa situasi (rehabilitas jangka panjang.
kesehatan mental) dapat menjadi konflik budaya (contoh, laki-laki makan bersama wanita) (Boyle dan
Andrew, 1989).

6. Makan digunakan oleh orang Italia untuk meningkatkan kesehatan fisik dan psikologis. Anggur
merupakan makanan yang sering digunakan bersama pada saat makan (Ginger dan Davidhizar, 1991).

7. Mempertahankan diet yang halal pada orang Yahudi adalah sebuah kemungkinan walaupun di
dapurnya terdapat makanan yang tidak halal. Ikan dengan siripnya merupakan diet yang dibutuhkan.
Piring kertas disposible akan digunakan. schingga hidangan daging dan susu tidak bercampur (Ginger
dan Davidhizar. 1991).

14
2.3 Pengaruh Lingkungan Sosial Budaya terhadap Penyakit

A. Pengaruh lingkungan terhadap penyakit

Menurut Blum ada empat peranan lingkungan dalam menyebabkan gangguan kesehatan, yaitu :

1. Reservoir

Peran lingkungan sebagai reservoir dapat dijelaskan dengan adanya manusia, hewan dan benda
sebagai tempat berkembang biaknya bibit penyakit. Contoh: air kotor, sampah dan sebagainya.

2. Sebagai agent (penyebab penyakit)

Contoh peran lingkungan sebagai penyebab penyakit adanya beberapa mikroba penyebab
penyakit baik dari golongan bakteri, jamur, virus maupun protozoa, adanya zat-zat kimia di lingkungan,
adanya radiasi, tekanan udara, aliran listrik dan sebagainya.

3. Medium transmisi

Peran lingkungan sebagai medium transmisi dikarenakan lingkungan dapat berperan sebagai
benda perantara agent. Contoh: udara, air, makanan dan sebagainya.

4. Vektor

Peran lingkungan sebagai penular atau penyebar penyakit dikarenakan di lingkungan terdapat
beberapa hewan yang berperan sebagai vektor penular atau pemindah bibit penyakit sehingga terjadi
penularan. Contoh: lalat, kecoa, nyamuk dan sebagainya. Dalam teori HL blum tentang status kesehatan,
maka dijelaskan tentang beberapa faktor yang mempengaruhi status kesehatan, antara lain:

a. Lingkungan fisik.
b. Sosial budaya.
c. Ekonomi.
d. Perilaku.
e. Keturunan, dan
f. Pelayanan kesehatan.

Selanjutnya Blum juga menjelaskan, bahwa lingkungan sosial budaya tersebut tidak saja
mempengaruhi status kesehatan, tetapi juga mempengaruhi perilaku kesehatan.

Sebagaimana kita ketahui bahwa masyarakat Indonesia terdiri dari banyak suku bangsa yang
mempunyai latar budaya yang beraneka ragam. Lingkungan budaya tersebut sangat mepegaruhi tingkah
laku manusia yang memiliki budaya tersebut, sehingga dengan beranekaragam budaya, menimbulkan
variasi dalam perilaku manusia dalam segala hal, termasuk dalam perilaku kesehatan.

Dengan masalah tersebut, maka petugas kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan
kepada masyarakat dangan latar budaya yang beraneka ragam, perlu sekali mengetahui budaya dan
15
masyarakat yang dilayaninya, agar pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat akan
memberikan hasil yang optimal, yaitu meningkatkan kesehatan masyarakat.

Manusia adalah mahluk sosial yang dalam kehidupannya tidak bisa hidup sendiri sehingga
membentuk kesatuan hidup yang dinamakan masyarakat. Dengan definisi tersebut. Ternyata pengertian
masyarakat masih dirasakan luas dan abstrak sehingga untuk lebih konkretnya maka ada beberapa unsur
masyarakat, unsur masyarakat dikelompokan menjadi 2 bagian yaitu :

1) Kesatuan sosial merupakan bentuk dan susunan dari kesatuan-kesatuan individu yang berinteraksi
dengan kehidupan masyarakat.

2) Pranata sosial adalah himpunan norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu
kebutuhan pokok dalam kehidupan masyarakat. Norma-norma tersebut memberikan petunjuk bagi
tingkah laku seseorang yang hidup dalam masyarakat.

B. Pengaruh Sosial Budaya terhadap Penyakit

1. Pengaruh Sosial Budaya dalam Kesehatan Masyarakat

Berbagai perubahan sosial, ekonomi, budaya, teknologi dan politik mengharuskan jalinan
hubungan di antara masyarakat manusia di seluruh dunia. Fenomena ini dirangkum dalam terminologi
globalisasi. Ditengah riuh rendah globalisasi inilah muncul wacana „Dampak Perubahan Sosial dan
Budaya‟. Dampak dari perubahan sosial dan budaya sendiri diartikan sebagai perubahan dalam skala
besar pada sistem bio-fisik dan ekologi yang disebabkan aktifitas manusia. Perubahan ini terkait erat
dengan sistem penunjang kehidupan planet bumi (life-support system). Ini terjadi melalui proses historis
panjang dan merupakan agregasi pengaruh kehidupan manusia terhadap lingkungan, yang tergambar
misalnya pada angka populasi yang terus meningkat, aktifitas ekonomi, dan pilihan-pilihan teknologi
dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Saat ini pengaruh dan beban terhadap lingkungan hidup
sedemikian besar, sehingga mulai terasa gangguan-gangguan terhadap sistem bumi kita.

Perubahan sosial dan budaya yang terjadi seiring tekanan besar yang dilakukan manusia terhadap
sistem alam sekitar, menghadirkan berbagai macam risiko kesehatan. dan kesejahteraan bagi seluruh
umat manusia. Sebagai contoh, kita terus mempertinggi konsentrasi gas-gas tertentu yang menyebabkan
meningkatkan efek alami rumah kaca (greenhouse) yang mencegah bumi dari pendinginan alami
(freezing). Selama abad 20 ini, suhu rata-rata permukaan bumi meningkat sekitar 0,6ºC dan sekitar dua-
per-tiga pemanasan ini terjadi sejak tahun 1975. Dampak perubahan sosial dan budaya penting lainnya
adalah menipisnya lapisan ozon, hilangnya keaneragaman hayati (bio-diversity), degradasi kualitas
lahan, penangkapan ikan melampaui batas (over-fishing), terputusnya siklus unsur-unsur penting
(misalnya nitrogen, sulfur, fosfor), berkurangnya suplai air bersih, urbanisasi, dan penyebaran global
berbagai polutan organik. Dari kacamata kesehatan, hal-hal di atas mengindikasikan bahwa kesehatan
umat manusia dipengaruhi oleh berbagai faktor yang terjadi di luar batas kemampuan daya dukung
ruang lingkungan dimana mereka hidup.

16
Dalam skala global, selama seperempat abad ke belakang. mulai tumbuh perhatian serius dari
masyarakat ilmiah terhadap penyakit-penyakit yang terkait dengan masalah lingkungan, seperti kanker
yang disebabkan racun tertentu (toxin related cancers), kelainan reproduksi atau gangguan pernapasan
dan paru-paru akibat polusi udara. Secara institusional International Human Dimensions Programme on
Global Environmental Change (IHDP) membangun kerjasama riset dengan Earth System Science
Partnership dalam menyongsong tantangan permasalahan kesehatan dan Dampak dari perubahan sosial
dan budaya.

Pengaruh perubahan iklim global terhadap kesehatan umat manusia bukan pekerjaan mudah.
Dibutuhkan kerja keras dan pendekatan inter-disiplin diantaranya dari studi evolusi, bio geografi,
ekologi dan ilmu sosial. Di sisi lain kemajuan teknik penginderaan jauh (remote sensing) dan aplikasi-
aplikasi sistem informasi geografis akan memberikan sumbangan berarti dalam melakukan monitoring
lingkungan secara multi-temporal dan multi spatial resolution. Dua faktor ini sangat relevan dengan
tantangan studi dampak perubahan sosial dan budaya terhadap kesehatan lingkungan yang memerlukan
analisa historis keterkaitan dampak perubahan sosial dan budaya dan kesehatan serta analisa pengaruh
perubahan sosial dan budaya di tingkat lokal, regional hingga global.

2. Aspek Sosial Budaya yang Mempengaruhi Perilaku Kesehatan dan Status Kesehatan

Selanjutnya dijelaskan beberapa aspek sosial budaya yang mempengaruhi perilaku kesehatan dan
status kesehatan.yang pertama yaitu:

a. Umur

Dilihat dari aspek umur, maka ada perbedaan golongan penyakit berdasarkan golongan umur,
misalnya di kalangan balita banyak yang menderita penyakit infeksi, sedangkan pada golongan dewasa
atau usia lanjut lebih banyak menderita penyakit kronis.

b. Jenis kelamin

Dilihat dari aspek golongan menurut jenis kelamin, dikalangan wanita lebih banyak menderit
kanker payudara, sedangkan pada pria, lebih banyak menderita kanker prostat.

c. Pekerjaan

Dilihat dari aspek jenis pekerjaan, dikalangan petani lebih banyak menderita penyakit cacingan,
karena aktifiasnya banyak dilakukan disawah, sedangkan pada buruh tekstil lebih banyak menderita
penyakit saluran pernafasan kaena banyak terpapar debu.

d. Sosial ekonomi

Keadaan sosial ekonomi juga mempengaruhi pada pola penyakit, bahkan juga berpengaruh pada
kematian, misalnya angka kematian lebih tinggi pada golongan yang status ekonominya rendah
dibandingkan dengan status ekonominya tinggi. demikian juga obesitas lebih ditemukan pada kalangan
masyarakat dengan status ekonominya tinggi.
17
Menurut H. Ray Elling (1970) ada beberapa faktor sosial yang berpengaruh pada perilaku
kesehatan, antara lain :

1) Self concept
2) Image kelompok

G.M. Foster menambahkan, bahwa identifikasi individu kepada kelompoknya juga berpengaruh
terhadap perilaku kesehatan.

1) Pengaruh self concept

Kita ditentukan oleh tingkat kepuasan atau tidak kepuasan yang kita rasakan terhadap diri
kita sendiri, terutama bagaimana kita ingin memperlihatkan diri kita kepada orang lain, oleh
karena itu, secara tidak langsung self concept kita cenderung mementukan, apakah kita akan
menerima keadaan diri kita seperti adanya atau berusaha untuk mengubahnya.self concept adalah
faktor yang penting dalam kesehatan, karena mempengaruhi perilaku masyarakat dan juga
perilaku petugas kesehatan.

2) Pengaruh image kelompok

Image seseorang individu sangat dipengaruhi oleh image kelompok. Sebagai contoh,
seorang anak dokter akan terpapar oleh organisasi kedokteran dan orang-orang dengan
pendidikan tinggi, sedangkan anak petani tidak terpapar dengan lingkungan medis, dan besar
kemungkinan juga tidak becita-cita untuk menjadi dokter.

3) Pengaruh identifikasi kelompok sosialnya terhadap perilaku kesehatan

Identifikasi kelompok kecilnya sangat penting untuk memberikan keamanan psikologis


dan kepuasan dalam pekerjaan mereka.

3. Aspek Sosial budaya yang mempengaruhi status kesehatan dan perilaku kesehatan

Menurut G.M. Foster (1973) aspek budaya yang dapat mempengaruhi kesehatan seseorang
antara lain adalah:

a. Tradisi
b. Sikap fatalism
c. Nilai
d. Ethnocentrisme

Unsur budaya dipelajari pada tingkat awal dalam proses sosialisasi:

a. Pengaruh tradisi terhadap perilaku kesehatan dan status kesehatan

Ada beberapa tradisi dalam masyarakat yang dapat berpengaruh negatif terhadap kesehatan
masyarakat, misalnya di New Guinea, pernah terjadi wabah penyakit kuru. penyakit ini menyerang

18
susunan saraf otak dan penyebabnya adalah virus. Penderita hanya terbatas pada anak-anak dan wanita.
Setelah dilakukan penelitaian ternyata penyakit ini menyebar karena adanya tradisi kanibalisme.

b. Pengaruh sikap fatalisme terhadap perilaku dan status kesehatan

Hal ini adalah sikap fatalisme yang juga mempengaruhi perilaku kesehatan, beberapa anggota
masyarakat di kalangan kelompok yang beragama Islam percaya bahwa anak adalah titipan Tuhan, dan
sakit atau mati itu adalah takdir, sehingga masyarakat kurang berusaha untuk mencari pertolongan
pengobatan bagi anaknya yang sakit, atau menyelamatkan seseorang dari kematian.

c. Pengaruh sikap Ethnosentris terhadap perilaku dan status kesehatan

Sikap ethnosentrime adalah sikap yang memandang bahwa kebudayaan sendiri yang paling baik
jika dibandingkan. dengan kebudayaan pihak lain. misalnya orang-orang barat merasa bangga terhadap
kemajuan ilmu dan teknologi yang dimilikinya, dan selalu beranggapan bahwa kebudayaanya paling
maju, sehingga merasa superior terhadap budaya dari masyarakat yang sedang berkembang, tetapi dari
sisilain, semua anggota dari budaya lainnya menganggap bahwa yang dilakukan secar alamiah adalah
yang terbaik. Oleh karena itu, sebagai petugas kesehatan kita harus menghindari sikap yang
menganggap bahwa petugas adalah orang yang paling pandai, paling mengetahui tentang masalah
kesehatan karena pendidikan petugas lebih tinggi dari pendidikan masyarakat setempat sehingga tidak
perlu mengikut sertakan masyarakat tersebut dalam masalah kesehatan masyarakat. Dalam hal ini
memang petugas lebih menguasai tentang masalah kesehatan, tetapi masyarakat dimana mereka bekerja
lebih mengetahui keadaan di masyarakatnya sendiri.

d. Pengaruh perasaan bangga pada statusnya terhadap perilaku kesehatan

Suatu perasaan bangga terhadap budayannya beraku bagi setiap orang. Hal tersebut berkaitan
dengan sikap ethnosentrisme.

e. Pengaruh norma terhadap perilaku kesehatan.

Seperti halnya dengan rasa bangga terhadap statusnya,norma dimasyarakat sangat mempengaruhi
perilaku kesehatan dari anggota masyarakatnya yang mendukung norma tersebut. Sebagai contoh, untuk
menurunkan angka kematian ibu dan bayi banyak mengalami hambatan karena adanya norma yang
melarang hubungan antara dokter sebagai pemberi layanan dengan ibu hamil sebagai pengguna layanan.

f. Pengaruh nilai terhadap perilaku kesehatan

Nilai yang berlaku dalam masyarakat berpengaruh terhadap perilaku kesehatan. Nilai-nilai
tersebut ada yang menunjang da nada yang merugikan kesehata. Beberapa nilai yang merugikan
kesehatan misalnya adalah penilaian yang tinggi terhadap beras putih meskipun masyarakat mengetahiu
bahwa beras merah lebih banyak mengandung vitamin B1 jika dibandingkan dengan beras putih,
masyarakat ini memberikan nilai bahwa beras putih lebi nak dan lebih ersih. ontoh: adalah masih banyak

19
petugas kesehatan yang merokok meskipun mereka mengetahui bagaimana bahaya merokok terhadap
kesehatan.

g. Pengaruh unsur budaya yang dipelajari pada tingkat awal dari proses sosialisasi terhadap
perilaku kesehatan

Pada tingkat awal proses sosialisasi, seorang anak diajakan antara lain bagaimana cara makan,
bahan makananapa yang dimakan, cara buang air kecil dan besar, dan lain-lain. Kebiasaan tersebut terus
dilakukan sampai anak tersebut dewasa dan bahkan menjadi tua. Kebiasaan tersebut sangat.
mempngaruhi perilaku kesehatan yang sangat sulit untuk diubah.

h. Pengaruh konsekuensi dari inovasi terhadap perilaku kesehatan.

Tidak ada perubahan yang terjadi dalam isolasi, atau dengan perkataan lain, suatu perubahan
akan menghasilkan perubahan yang kedua dan perubahan yang ketiga. Apabila seorang pendidik
kesehatan ingin melakukan perubahan perilaku kesehatan masyarakat, maka yang harus dipikirkan
adalah konsekuensi apa yang akan terjadi jika melakukan perubahan, menganalisis faktor-faktor yang
terlibat/berpengaruh terhadap perubahan, dan berusaha untuk memprediksi tentang apa yang. akan
terjadi dengan perubahan tersebut apabila ia tahu budaya masyarakat setempat dan apabila la tahu
tentang proses perubahan kebudayaan, maka ia harus dapat mengantisipasi reaksi yang muncul yang
mempengaruhi outcome diri perubahan yang telah direncanakan.

4. Bagaimana Perubahan Sosial dan Budaya Mempengaruhi Kesehatan Masyarakat

Ada tiga alur tingkatan pengaruh perubahan sosial dan budaya terhadap kesehatan. Pengaruh ini
dari urutan atas ke bawah menunjukkan peningkatan kompleksitas dan pengaruhnya. bersifat semakin
tidak langsung pada kesehatan. Pada alur paling atas, terlihat bagaimana perubahan pada kondisi
mendasar lingkungan fisik (contohnya: suhu ekstrim atau tingkat radiasi. ultraviolet) dapat
mempengaruhi biologi manusia dan kesehatan secara langsung (misalnya sejenis kanker kulit). Alur
pada dua tingkatan lain, di tengah dan bawah, mengilustrasikan proses proses dengan kompleksitas lebih
tinggi, termasuk hubungan antara kondisi lingkungan, fungsi-fungsi ekosistem, dan kondisi sosial-
ekonomi.

Alur tengah dan bawah menunjukkan tidak mudahnya menemukan korelasi langsung antara
perubahan lingkungan dan kondisi kesehatan. Akan tetapi dapat ditarik benang merah bahwa perubahan-
perubahan lingkungan ini secara langsung atau tidak langsung bertanggung jawab atas faktor-faktor
penyangga utama kesehatan dan kehidupan manusia, seperti produksi bahan makanan, air bersih,
kondisi iklim, keamanan fisik, kesejahteraan manusia, dan jaminan keselamatan dan kualitas sosial. Para
praktisi kesehatan dan lingkungan pun akan menemukan banyak domain permasalahan baru di sini,
menambah deretan permasalahan pemunculan toksi-ekologi lokal, sirkulasi lokal penyebab infeksi,
sampai ke pengaruh lingkungan dalam skala besar yang bekerja pada gangguan kondisi ekologi dan
proses penyangga kehidupan ini. Jelaslah bahwa resiko terbesar dari dampak perubahan sosial dan

20
budaya atas kesehatan dialami mereka yang paling rentan lokasi geografisnya atau paling rentan tingkat
sumber daya sosial dan ekonominya.

5. Aktifitas Masyarakat Terhadap Kesehatan

Masyarakat manusia sangat bervariasi dalam tingkat kerentanan terhadap serangan kesehatan.
Kerentanan ini merupakan fungsi dari kemampuan masyarakat dalam beradaptasi terhadap perubahan
iklim dan lingkungan. Kerentanan juga bergantung pada beberapa faktor seperti kepadatan penduduk.
tingkat ekonomi, ketersediaan makanan, kondisi lingkungan lokal, kondisi kesehatannya itu sendiri, dan
kualitas serta ketersediaan fasilitas kesehatan publik.

Wabah demam berdarah yang melanda negeri kita menyiratkan betapa rentannya kondisi
kesehatan-lingkungan di Indonesia saat ini, baik dilihat dari sisi antisipasi terhadap wabah, kesigapan
peanggulangannya sampai pada penanganan para penderita yang kurang mampu. Merebaknya wabah di
kawasan urban juga menyiratkan kerentanan kondisi lingkungan dan kerentanan sosial-ekonomi. Hal ini
terkait dengan patron penggunaan lahan, kepadatan penduduk, urbanisasi, meningkatnya kemiskinan di
kawasan urban, selain faktor lain. seperti rendahnya pemberantasan nyamuk vektor penyakit sejak dini,
atau resistensi nyamuk sampai kemungkinan munculnya strain atau jenis virus baru.

Pada dekade lalu penelitian ilmiah yang menghubungkan pengaruh perubahan iklim global
terhadap kesehatan dapat dirangkum dalam tiga katagori besar. Pertama, studi-studi empiris untuk
mencari saling-hubungan antara kecenderungan dan variasi iklim dengan keadaan kesehatan. Kedua,
studi-studi untuk mengumpulkan bukti-bukti munculnya masalah kesehatan sebagai akibat perubahan
iklim. Ketiga, studi-studi pemodelan kondisi kesehatan di masa depan. Penelitian empiris jenis pertama
dan kedua dimanfaatkan untuk mengisi kekosongan pengetahuan serta memperkirakan kondisi
kesehatan sebagai tanggapan terhadap perubahan iklim dan lingkungan (scenario-based health risk
assessment).

Akan tetapi, menimbang variasi kerentanan sosial-ekonomi yang telah kita singgung,
keberhasilan sumbangan ilmiah di atas. hanya akan optimal jika didukung paling tidak dua faktor lain,
yaitu faktor administratif-legislatif dan faktor cultural-personal (kebiasaan hidup). Administrasi-legislasi
adalah pembuatan aturan yang memaksa semua orang atau beberapa kalangan tertentu untuk melakukan
tindakan-tindakan preventif dan penanggulangan menghadapi masalah ini. Cakupan kerja faktor ini
adalah dari mulai tingkatan supra-nasional, nasional sampai tingkat komunitas tertentu. Selanjutnya
secara kultural-personal masyarakat didorong secara sadar dan sukarela untuk melakukan aksi-aksi yang
mendukung kesehatan-lingkungan melalui advokasi, pendidikan atau insentif ekonomi. Faktor ini
dikerjakan dari tingkatan supra nasional sampai tingkat individu.

6. Upaya yang Dapat Dilakukan

Aktifitas penelitian yang menghubungkan kajian lingkungan dan kesehatan secara integral serta
kerja praktis sistematis dari hasil penelitian ilmiah di atas masih sangat sedikit dilakukan di Indonesia.
Menghadapi tantangan lingkungan dan kesehatan ini diperlukan terobosan-terobosan institusional baru

21
diantara lembaga terkait lingkungan hidup dan kesehatan, misalnya dilakukan rintisan kerjasama intensif
yang diprakarsai Departemen Kesehatan, Departemen Sosial dan Kementerian Lingkungan Hidup
bersama lembaga penyedia data: keruangan seperti Bakosurtanal (pemetaan) dan LAPAN (analisa
melalui citra satelit). Untuk mewujudkan kerjasama di tataran praktis komunitas atau LSM pemerhati
lingkungan hidup mesti berkolaborasi dengan Ikatan Dokter Indonesia bersama asosiasi profesi seperti
Ikatan Surveyor Indonesia (ISI), Masyarakat Penginderaan Jauh (MAPIN) dalam mewujudkan agenda-
agenda penelitian dan program-program penanganan permasalahan kesehatan dan perubahan lingkungan
di tingkat lokal hingga nasional.

Hadirnya wacana dan penelitian sosial budaya dengan kompleksitas, ketidakpastian konsep-
metodologi, dan perubahan perubahan besar di masa depan, telah menghadirkan tantangan tantangan
dan tugas-tugas bagi komunitas ilmiah, masyarakat dan para pengambil keputusan. Penelitian ilmiah
yang cenderung lamban, kini harus berganti dengan usaha-usaha terarah dan cepat menghadapi urgensi
penanganan masalah kesehatan-lingkungan. Kemudian dalam gerak cepat pula informasi yang
dihasilkan dunia Ilmiah, walaupun dengan segala ketidaksempurnaan dan asumsi asumsi, didorong
untuk memasuki arena kebijakan. Masalah kesehatan dan GEC ini merupakan isu krusial dan bahkan isu
sentral dalam diskursus internasional seputar pembangunan yang berkelanjutan

Kebudayaan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan ilmu kesehatan
diantarnya:

1. Pengaruh tradisi

Pengaruh tradisi adalah pengaruh yang telah lama dilakukan dan sudah menjadi bagian
dari kehidupan suatu kelompok masyarakat. Ada beberapa tradisi di dalam masyarakat yang
dapat berpengaruh negatif terhadap kesehatan masyarakat. Misalnya Seorang ibu yang baru saja
melahirkan mendapat pantangan untuk memakan telur, daging, dan sebagainya. Ibu tersebut
hanya diperbolehkan memakan nasi dan garam serta kecap saja dengan alasan gatal-gatal dan
alasan lain, hal ini sudah dilakukan turun temurun dan membudaya di lingkungan masyarakat
tersebut. Seharusnya adalah ibu yang baru melahirkan memakan makanan bergizi agar
mempercepat proses penyembuhan jaringan dalam tubuh ibu tersebut. Karna hal tersebut sudah
merupakan kebiasaan pada msyarakat setempat sehingga ibu yang melahirkan melaksanakan
anjuran tersebut.

2. Pengaruh fatalistis

Pengaruh fatalistis adalah pengaruh yang mampu membuat seseorang bersikap putus asa
apabila menghadapi suatu masalah Sikap fatalistis ini juga mempengaruhi perilaku kesehatan.
Contonya beberapa anggota masyarakat dikalangan kelompok tertentu (fanatik) yang beraga
islam percaya bahwa anak adalah titipan Tuhan, dan sakit atau mati adalah takdir, sehingga
masyarakat kurang berusaha untuk segera mencari pertolongan pengobatan bagi anaknya.

22
3. Sikap etnosentris

Sikap etnosentris adalah sikap yang memandang kebudayaan sendiri yang paling baik
jika dibandingkan dengan kebudayaan pihak lain. Masyarakat tentu memiliki budaya dan ilmu
kesehatan juga memiliki budaya. Misalnya pada masyarakat tertentu seorang anak yang sedang
luka dilarang memakan telur karna alasan telur dapat membuat luka tersebut infeksi gatal-gatal
dan lama sembuh, itu adalah budaya yang salah dan tidak sesuai dengan budaya kesehatan yang
mengharuskan anak tersebut memakan telur agar mempercepat penyembuhan jaringan.

4. Pengaruh perasaan bangga pada statusnya

Pengaruh perasaan bangga pada statusnya misalnya dalam upaya perbaikan gizi disuatu
daerah pedesaan tertentu menolak untuk makan daun singkong, walaupun mereka tahu
kandungan vitaminnya tinggi. Setelah diselidiki ternyata masyarakat beranggapan daun singkong
hanya pantas untuk makanan kambing dan mereka menolaknya kama status mereka tidak dapat
disamakan dengan kambing. Pengaruh Norma Contonya dalam hal upaya untuk menurunkan
angka kematian ibu dan bayi banyak mengalami hambatan karna ada norma yang melarang
hubungan antara dokter yang memberikan pelayanan dengan ibu hamil sebagai pengguna
pelayanan.

5. Pengaruh nilai

Nilai yang berlaku didalam masyarakat berpengaruh terhadap perilaku kesehatan.


Contonya: masyarakat memandang lebih bergengsi beras putih daripada beras merah. padahal
mereka mengetahui bahwa vitamin B1 lebih tinggi memandang lebih bergengsi beras putih
daripada beras merah. padahal mereka mengetahui bahwa vitamin B1 lebih tinggi pada beras
merah daripada beras putih. Pengaruh unsur budaya yang dipelajari pada tingkat awal dari proses
sosialisasi terhadap perilaku kesehatan.

Kebiasaan yang ditanamkan sejak kecil akan berpengaruh terhadap kebiasaan pada
seseorang ketika ia dewasa. Misalnya manusia biasa makan nasi sejak kecil akan sulit diubah
kebiasaan makannya setelah dewasa. Perubahan budaya mempengaruhi kesehatan. Ada tiga alur
tingkatan pengaruh budaya terhadap kesehatan. Pengaruh ini dari urutan atas ke bawah
menunjukkan peningkatan kompleksitas dan pengaruhnya bersifat semakin tidak langsung pada
kesehatan. Pada alur paling atas terlihat bagaimana perubahan pada kondisi mendasar lingkungan
fisik contonya suhu ekstrim atau tingkat radiasi ultraviolet yang dapat mempengaruhi biologi
manusia dan kesehatan secara langsung. Misalnya sejenis kanker kulit. Alur dua tingkatan lain
yaitu ditengah dan bawah mengilustrasikan proses proses dengan kompleksitas lebih tinggi
termasuk hubungan antara kondisi lingkungan fungsi-fungsi ekosistem dan kodisi sosial
ekonomi.

23
2.4 Aspek Sosial Budaya yang Mempengaruhi Status Gizi

A. Faktor yang Mempengaruhi Gizi Buruk

1. Konsumsi makanan

Pengukuran konsumsi makanan sangat penting untuk mengetahui kenyataan apa yang di makan
oleh masyarakat dan hal ini dapat berguna untuk mengukur status gizi dan ditemukan faktor diet yang
dapat menyebabkan malnutrisi.

2. Pengaruh budaya

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengaruh budaya antara lain sikap terhadap makanan.
penyebab penyakit, kelahiran anak dan produksi pangan.

3. Sikap terhadap makanan

Dalam hal sikap terhadap makanan, masih banyak terdapat pantangan, tahayul, tabu dalam
masyarakat yang menyebabkan konsumsi makananan menjadi rendah.

4. Penyakit

Konsumsi makanan yang rendah juga bias disebabkan oleh penyakit, terutama penyakit infeksi
pada saluran pencernaan. Namun tidak hanya infeksi pada saluran pencernaan saja. Biasanya kondisi
sakit juga mempengaruhi nafsu makan. Dalam kondisi sakit seseorang cenderung merasa lemas dan
nafsu makannya berkurang

5. Jarak kelahiran anak

Jarak kelahiran anak yang terlalu dekat dan jumlah anak yang terlalu banyak akan
mempengaruhi asupan zat gizi anak dalam keluarga.

6. Produksi pangan

Konsumsi zat gizi yang rendah dalam keluarga juga dipengaruhi oleh produksi pangan.
Rendahnya produksi pangan disebabkan karena para petani masih menggunakan teknologi yang bersifat
tradisional. Data yang relevan untuk produksi pangan:

a. Penyediaan makanan keluarga (produksi sendiri, membeli atau barter).


b. Sistem pertanian (alat pertanian, irigasi, pembuangan air, pupuk, pengontrolan serangga,
penyuluhan pertanian).
c. Tanah (kepemilikan tanah, luas per keluarga kecocokan tanah, tanah yang digunakan, jumlah
tenaga kerja).
d. Peternakan dan perikanan (jumlah ternak seperti, kambing, bebek) dan alat penangakap ikan.
e. Keuangan (keuangan yang tersedia, fasilitas untuk kredit).

24
7. Faktor sosial Ekonomi

1.) Data Sosial

Data sosial yang perlu dipertimbangkan adalah :

a. Keadaan penduduk di masyarakat (jumlah umur, distribusi gender dan geografis).


b. Keadaan keluarga (besarnya, hubungan dan jarak kelahiran).
c. Pendidikan:

 Tingkat pendidikan ibu-bapak


 Keberadaan buku-buku
 Usia anak sekolah

d. Perumahan (tipe, lanta, atap, dinding, listrik, ventilasi, perabotan, jumlah kamar. pemilika dan
lain-lain) masak, pembuangan sampah).
e. Dapur (bangunan, lokasi, kompor, bahan baker, alat 6.Penyimpanan makanan (ukuran, isi,
penutup serangga).
f. Air ( sumber, jarak dari rumah).
g. Kakus (tipe yang ada, keberadaannya).

2.) Data Ekonomi

Data ekonomi meliputi :

a. Pekerjaan (pekerjaan utama misalnya pertanian dan pekerjaan tambahan misalnya pekerjaan
musiman).
b. Pendapatan keluarga (gaji, industri rumah tangga, pertanian pangan/non pangan, utang)
c. Kekayaan yang terlihat seperti tanah, ternak, perahu, mesin jahit, kendaraan, radio, dan TV.
d. Pengeluaran/anggaran (Pengeluaran untuk makan, menyewa, pakaian, bahan bakar. listrik,
pendidikan, transportasi, rekreasi, hadiah/persembahan).
e. Harga pangan bergantung pada pasar dan variasi musim.

8. Pelayanan Kesehatan dan Pendidikan

Informasi kesehatan dan pendididkan penting untuk meningkatkan pelayanan. Beberapa


datatentang pelayanan kesehatan dan pendidikan antara lain:

1. Rumah sakit dan pusat-pusat kesehatan (Puskesmas), jumlah rumah sakit, tempat tidur, staf.

25
2. Fasilitas dan pendidikan yang meliputi anak sekolah (jumlah, pendidikan gizi/kurikulum),
remaja meliputi organisasi yang ada di lingkungannya, orang dewasa meliputi jumlah warga
yang buta huruf. Media masa seperti radio, televisi, dll.

B. Masalah Pangan dan Gizi di Indonesia

Pengolahan bertujuan untuk:


a. Menghindarkan kerusakan atau pembusukan yang berlebihan.
b. Menghasilkan produk yang tahan lama, terutama untuk pangan yang akan disimpan atau diangkut
dalam jarak jauh.
c. Menghasilkan produk yang sesuai untuk pengerjaan lebih lanjut, dan
d. Menghasilkan produk yang memenuhi kualitas dan persyaratan yang diminta pasar.

Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengawetkan atau memperpanjang masa simpan suatup roduk
itu sendiri. Beberapa di antaranya, yaitu:
a. Pengawetan dengan suhu tinggi.
b. Pengawetan dengan suhu rendah.
c. Pengeringan.
d. Pengawetan dengan radiasi.
e. Pengawetan dengan menggunakan bahan kimia.

C. Contoh Kasus

Salah satu masalah sosial yang dihadapi Indonesia adalah rendahnya status gizi masyarakat. Hal
ini mudah dilihat, misalnya dari berbagai masalah gizi, seperti kurang gizi, anemia gizi besi, gangguan
akibat kekurangan yodium, dan kurang vitamin A. Rendahnya gizi jelas berdampak pada kualitas
sumber daya manusia. Oleh karena, status gizi memengaruhi kecerdasan, daya tahan tubuh terhadap
penyakit, kematian bayi, kematian ibu, dan produktivitas kerja. Indonesia harus menelan “pil pahit”
karena hanya sebagian kecil dari penduduknya yang kebutuhan gizinya tercukupi. National Socio-
Economic Survey (Susenas) mencatat, pada tahun 1989 saja ada lebih dari empat juta penderita gizi
buruk adalah anak-anak di bawah usia dia tahun. Padahal menurut ahli gizi, 80 persen proses
pembentukan otak berlangsung pada usia 0-2 tahun.

Dalam hal angka kematian bayi, Indonesia (31/1.000 kelahiran) hanya lebih baik. dibandingkan
dengan Kamboja (97/1.000) dan Laos (82/1.000), Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, kita
masih tertinggal. Singapura dan Malaysia memiliki angka kematian bayi amat rendah, masing-masing 3
dan 7 per 1.000 kelahiran. Ini menunjukkan besarnya perhatian negara itu terhadap masalah gizi dan
kesehatan yang dihadapi anak-anak Ada sekitar 7,6 juta anak balita mengalami kekurangan gizi akibat
kekurangan kalori protein. Itu data yang dihimpun Susenas empat tahun lalu. Bukan tidak mungkin saat
ini jumlahnya meningkat tajam karena krisis ekonomi yang berkepanjangan ditambah dengan masalah
pangan yang sulit didapat. Bahkan menurut United Nations Children's Fund (Unicef) saat ini ada sekitar

26
40 persen anak Indonesia di bawah usia lima tahun (balita) menderita gizi buruk. Seorang anak yang
pada usia balita kekurangan gizi akan mempunyai Intellegent Quotient. (IQ) lebih rendah 13-15 poin
dari anak lain pada saat memasuki sekolah. Perkembangan otak anak usia balita sangat ditentukan oleh
faktor makanan yang dikonsumsi. Zat gizi seperti protein, zat besi, berbagai vitamin, termasuk asam
lemak omega 3 adalah pendukung kecerdasan otak anak. Zat-zat itu bisa didapat dari makanan sehari-
hari seperti ikan, telur, susu, sayur-sayuran, kacang-kacangan, dan sebagainya. Singkatnya, pola makan
seorang anak haruslah bervariasi, tidak hanya satu atau dua jenis saja

D. Dampak dari Ketidakseimbangan Status Gizi

Kira-kira dampak apa yang akan terjadi apabila jumlah konsumsi makanan yang kurang dan
asupan zat gizi yang tidak seimbung terus terjadi seperti pada temuan di atas? Berikut ini beberapa
analisa risiko yang dapat terjadi:

1. Menurunnya kemampuan belajar/berfikir

Asupan zat gizi anak-anak sekolah masih sangat memprihatinkan. Padahal asupan gizi yang baik
setiap harinya dibutuhkan supaya memiliki kemampuan intelektual yang baik sehingga menjadi generasi
penerus bangsa yang unggul. Kurang gizi pada. muda dapat berpengaruh terhadap perkembangan mental
dan kemampuan berfikir Karena organ otak mencapai bentuk maksimal pada usia dua tahun.
Apabila kekurangan gizi dapat berakibat terganggunya fungsi otak secara permanent. Oleh
karena itu, Kemampuan anak belajar atau prestasi anak di sekolah menjadi menurun. Anak usia sekolah
merupakan investasi bangsa, karena mereka adalah generasi penerus bangsa Sehingga kewajiban kita
sebagai orang tua harus selalu memperhatikan kualitas dan kuantitas asupan gizi anak. Kualitas bangsa
di masa depan ditentukan anak-anak saat ini.

2. Menurunnya pertumbuhan, kemampuan fisik dan ketahuan tubuh rentan

Pada umumnya banyak keluarga yang masih tidak peduli terhadap asupan kandungan gizi yang
dikonsumsi oleh anak-anaknya Mereka lebih banyak peduli bahwa "yang penting anak kenyang", tanpa
memperhatikan keseimbangan gizinya. Padahal akibat dari asupan gizi yang kurang diantaranya daya
tahan tubuh terhadap tekanan atau stress menjadi menurun. Sistem imunitas dan antibodi berkurang,
sehingga mudah terserang infeksi seperti pilek, batuk, dan diare Pada anak-anak hal ini dapat bisa
berbahaya dan bahkan bisa membawa kematian Tumbuh kembangnya anak usia sekolah yang optimal
juga tergantung pemberian nutrisi dengan kualitas dan kuantitas yang baik dan benar. Pada anak-anak,
hal ini dapat bisa berbahaya dan bahkan bisa membawa kematian Tumbuh kembangnya anak usia
sekolah yang optimal juga tergantung pemberian nutrisi dengan kualitas dan kuantitas yang baik dan
benar, Pada masa tumbuh kembang tersebut pemberian nutrisi atau asupan makanan pada anak-anak
tidak selalu dapat dilaksanakan dengan sempurna sehingga dampak masalah gizi bagi anak sekolah
dapat berupa gangguan pertumbuhan dan kesegaran jasmani yang rendah. Oleh karena itu, pertumbuhan
dan perkembangan anak harus diperhatikan sedini mungkin, agar terhindar dari ancaman berbagai

27
penyakit yang bisa berujung pada kematian. Salah satu contoh yang bisa diambil adalah kasus-kasus di
daerah endemik. Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), akibatnya pertumbuhan penduduknya
sangat terhambat seperti cebol atau kretinisme.

3. Ancaman malnutrisi dan penyakit

Kurangnya asupan zat gizi yang seimbang dalam jangka panjang dapat menyebabkan ancaman
malnutrisi bahkan dimulai pada saat kehamilan atau dalam kandungan ibu.Malnutrisi ini bisa
menyebabkan kematian apabila tidak ditanggani sedini mungkin. Selain malnutrisi, ada ancaman
penyakit lain yang disebabkan makanan atau jajanan anak sekolah. Jajanan yang mengadung zat kimia
dan bersifat karsinogenik, seperti zat pengawet (formalin, borax), pewarna sintetik, perasa (MSG) dapat
terakumulasi pada tubuh yang dalam jangka panjang menyebabkan penyakit kanker dan tumor. Apabila
anak mengkonsumsi asupan gizi yang tidak seimbang, maka ancamannya berupa penyakit seperti
anemia defisiensi zat besi, kekurangan vitamin A (KVA), bahkan gangguan akibat kekurangan yodium
di suatu komunitas terutama daerah endemik

E. Langkah-langkah yang Harus Dilakukan Agar Masyarakat Mempunyai Gizi Seimbang

Penanggulangan kemiskinan membutuhkan upaya yang terus menerus karena kompleksnya


permasalahan dan keterbatasan sumber daya Karena itu harus melibatkan multi sektor dan lintas
stakeholder terkait. Rendahnya kemampuan ekonomi sebuah rumah tangga sangat miskin (RTSM)
membawa dampak pada buruknya kualitas nutrisi dan gizi, serta menyebabkan banyak anak-anak yang
tidak dapat melanjutkan pelajarannya di bangku sekolah. Sebagian di antaranya harus bekerja keras
membantu orang tuanya mencari nafkah untuk keluarga dan sebagian lagi. Pemerintah SBY-JK dalam
program kerjanya mengatasi masalah gizi, meluncurkan beberapa paket kebijakan. Di antaranya
meningkatkan Sistem Kewaspadaan Gizi melalui Pemantanan Status Gizi. Dengan target,
teridentifikasinya kasus gizi buruk pada balita dan tertanggulanginya kasus gizi buruk Juga Program
Revitalisasi Posyandu dan Gerakan Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi), yaitu suatu keluarga yang
berperilaku gizi seimbang, mampu mengenali masalah gizi setiap anggota keluarga dan mengambil
langkah mengatasi masalah gizi anggota keluarga Hal ini dijadikan alat untuk menanggulangi masalah
gizi guna mencapai Gizi Baik untuk Semua Tahun 2020. Memang, pemerintah sesuai amanat UUD 1945
berkewajiban untuk dapat menyejahterakan rakyatnya. Tetapi satu hal yang tidak boleh dilupakan, upaya
menuntaskan masalah gizi harus dipahami, disadari dan dimulai dari diri kita sendiri. Bukankah Allah
SWT dalam firman Nya mengatakan: "Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu
itu berusaha mengubah nasibnya sendiri.” Untuk itulah penting kiranya langkah sederhana dan mungkin
dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, guna mendeteksi masalah gizi agar tidak sampai terjadi pada diri
kita dengan cara:

1. Biasakan menimbang berat badan minimal satu bulan sekali, lebih biak lagi tiap minggu. Meski
kelihatan sederhana, tetapi berat badan dapat menjadi suatu cara untuk mengetahui perubahan

28
status gizi kita, terutama pada anak-anak. Kenaikan atau penurunan beral badan, harus dicari
penyebabnya dengan mengevaluasi yang kita makan dan berapa banyaknya. Ketika kita makan
banyak tetapi berat tidak naik atau makan sedikit berat malah naik, perlu diwasdai adanya
gangguan penyakit tertentu. Hipertiroid, misalnya Meski kita sudah makan banyak tetapi berat
malah turun atau juga gejala kencing manis, makan banyak tetapi berat secara drastis merosot.
Berat badan jika digabung dengan parameter lain, misalnya: tinggi badan, dapat digunakan untuk
mengetahui massa tubuh kita dengan menggunakan Rumus IMT yaitu berat badan (kg): tinggi
badan (m)2 jika hasilnya 18,5 sampai 25, maka IMT kita tergolong normal. Tetapi jika milainya
lebih 25. berarti ada kelebihan gizi dan jika kurang 18,5 maka termasuk kurang

2. Melakukan evaluasi yang telah kita makan satu hari lebih baik tiga hari--dapat dilakukan dengan
mencatat (food record), atau mengingat yang telah dimakan food recall Secara sederhana kita
dapat mengevaluasi, apakah yang kita makan memenuhi gizi seimbang Artinya, ada sumber zat
tenaga, zat pembangunatau zat pengatur. Jika ingin lebih detil, dapat berkonsultasi untuk
dianalisis zat gizinya Hasil analisis dapat diketahui apakah cukup atau tidak konsumsi makanan
kita. Bahkan dapat diketahui zat gizi apakah yang kelebihan dan yang kekurangan. Hasil analisis
juga dapat dibuat semacam prediksi gangguan gizi, atau penyakit apa apa saja yang mungkin
muncul di masa mendatang

3. Makan secukupnya. Artinya makan ketika lapar dan berhenti sebelum kenyang, makan dengan
porsi kecil tapi sering lebih baik dibanding sekali makan dengan porsi banyak. Makan sekaligus
banyak dalam satu waktu, selain dapat menjenuhkan siklus asam sitrat yaitu siklus yang
menghasilkan ATP atau temaga tubuh kita. Jika terjadi kejenuhan maka makanan akan langsung
ditimbun menjadi lemak. Selain itu, makan sekali gus dalam jumlah banyak akan mengakibatkan
produksi radikal bebas yang banyak.

Padahal kita tahu, radikal bebas adalah salah satu penyebab terjadinya kanker. Agar masalah gizi
dapat dituntaskan, sudah saatnya tenaga gizi dan tenaga kesehatan lainnya seperti dokter, hidan, perawat
serta seluruh pejabat pemerintah tidak malu-malu lagi membuat laporan adanya masalah gizi di suatu
wilayah. Jangan sampai hanya karena mengejar laporan (Asal Atasan Senang dibuatlah laporan yang
dimanipulasi seolah-olah tidak ada masalah. Hingga suatu saat muncul kasus gizi buruk, seakan-akan
kejadiannya mendadak. Sebenarnya kita tahu, masalah gizi memerlukan proses yang cukup panjang.
Sebab, meski kekurangan gizi setiap hari, tubuh secara otomatis dapat beradaptasi dengan
mengefisienkan penggunaan zat gizi dengan cara menurunkan basal metabolismenya.

Pemerintah harus mencari jalan atau cara yang lebih jitu, untuk memecahkan berbagai asalah gizi
sesuai perkembangan iptek terbaru. Sebagai contoh, program mengatasi kekurangan zat besi pada ibu
hamil dengan pemberian suplementasi zat besi. Programi tersebut telah berjalan puluhan tahun, tetap
tidak menghasilkan hasil yang memuaskan Sampai saat ini, prevalensi nasional masih di atas 40 persen.

29
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Transkultural keperawatan sangat dibutuhkan dalam dunia keperawatan ketika perawat


menghadapi pilihan yang sulit di mana perawat harus memilih budaya yang dianut oleh klienatau teori
kesehatan yang ia pelajari. Transkultural juga dibutuhkan saat perawat melakukan asuhan keperawatan
mulai dari pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, implmentasi, hingga evaluasi. Lingkungan
sangat mempengaruhi adanya penyakit karena salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit
adalah dari faktor eksternal atau lingkungan sekitar. Kebudayaan juga dapat mempengaruhi status gizi
melalui faktor dari dalam maupun dari luar, faktor dari dalam seperti konsumsi makanan yang rendah,
sedangkan faktor dari luar seperti produksi pangan yang tidak mencukupi.

3.2 Saran

Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak ditemukan kekurangan dan jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritikan yang membangun dari pembaca sangat
diperlukan agar kedepannya kami dapat menyusun makalah dengan lebih baik.

30
DAFTAR PUSTAKA

Giger & R.E. Davidhizar (Eds.), 1995. Transcultural Nursing: Assesment and Intervention, St. Louis,
MO: C.V. Mosby.

Leininger, M. 2002. Culture Care Theory: A Major Contribution to Advance Transcultural Nursing
Knowledge and Practices Journal of Transcultural Nursing, 13: 189.

Leininger. 1986. Comparative Analysis of Conceptualization and Theorities of Caring. Journal of


Nursing Scholarship. 23(2): 119-126.

Putri, Dewi & Nunung Rachmawati. 2018. Antropologi Kesehatan: Konsep dan Aplikasi Antropologi
dalam Kesehatan. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.

31

Anda mungkin juga menyukai