Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KASUS SUBDIVISI

ASMA – PPOK

PPOK STABIL GOLD 2

Presentan : dr. Chicy Widya Morfi


Hari/Tanggal : Selasa / 24 September 2019
Tempat : Ruang Konferensi Bagian Pulmonologi
FK. Unand/RS Dr.M.Djamil Padang
Pembimbing : 1. DR.dr. Masrul Basyar, Sp.P(K), FISR
2. dr. Deddy Herman, Sp.P(K), FCCP, MCH,
FAPSR, FISR
3. dr. Yessy Susanty Sabri, Sp.P(K),FISR

BAGIAN PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS / RS.Dr.M.DJAMIL
PADANG
2019
DAFTAR ISI

Table of Contents
DAFTAR ISI.............................................................................................................................. i

DAFTAR TABEL ..................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1

BAB II LAPORAN KASUS ..................................................................................................... 3

BAB III PEMBAHASAN ......................................................................................................... 6

KESIMPULAN ....................................................................................................................... 27

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 28

i
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Foto Toraks 30 November 2019 ----------------------------------------------4

Gambar 2 karakteristik klinis dan radiologis dari fenotip klasik PPOK -------------8

Gambar 3 Penilaian gejala, klasifikasi penilaian spirometri PPOK -------------------- 12

Gambar 4 Patogenesis PPOK --------------------------------------------------------------13

Gambar 5 Sumbatan Jalan Nafas PPOK -------------------------------------------------14

Gambar 6 Gambar diagram dari hipotesis sikls vicous --------------------------------14

ii
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Pertanyaan Modified British Medikal Research Council Quistionnare ----9

Tabel 2 Klasifikasi Derajat Hambatan Jalan Nafas Pada Pasien PPOK -------------10

Tabel 3 Risiko Pada pasien PPOK berdasarkan data TORCH, Uplift ---------------11

Tabel 4 Klasifikasi PPOK ------------------------------------------------------------------12

Tabel 5 Terapi Non Farmakologi pada PPOK . -----------------------------------------20

ii
BAB I PENDAHULUAN

BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit dapat dicegah dan
diobati, ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang terus-menerus yang biasanya
progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi kronis pada saluran napas dan
paru terhadap partikel atau gas yang beracun. World Health Organization (WHO)
melaporkan terdapat 600 juta orang menderita PPOK di dunia dengan 65 juta orang
menderita PPOK derajat sedang hingga berat. Pada tahun 2002 PPOK adalah
penyebab utama kematian kelima di dunia dan diperkirakan menjadi penyebab utama
ketiga kematian di seluruh dunia tahun 2030. Lebih dari 3 juta orang meninggal
karena PPOK pada tahun 2005, yang setara dengan 5% dari semua kematian secara
global.1,2
Studi Global Burden of Disease menyatakan bahwa PPOK merupakan
peringkat keenam sebagai penyebab kematian pada tahun 1990, dan diperkirakan
menjadi penyebab utama ketiga kematian di seluruh dunia pada tahun 2020.2,3 PPOK
merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas yang terjadi di Amerika
Serikat. Kematian yang disebabkan oleh PPOK di Amerika Serikat meningkat dua
kali lipat pada tahun 1970-2002, meskipun di negara-negara maju lainnya
menunjukkan stabilisasi atau penurunan. Penurunan ini terkait dengan penurunan
prevalensi merokok dan pengurangan polutan di udara. Namun, di negara
berkembang terjadi peningkatan prevalensi yang signifikan, karena meningkatnya
jumlah kebiasaan merokok.4
Penyakit pernapasan (termasuk PPOK) merupakan penyebab kematian kedua
di Indonesia dan prevalensi PPOK di Indonesia sebesar 3,7%. Data secara global
menyatakan bahwa angka kejadian PPOK sebesar 11,7%.5,6 Hal ini berkaitan erat
dengan perilaku merokok penduduk berumur 15 tahun keatas yang cenderung
meningkat dari tahun 2007 sampai 2013 yaitu 34,2% menjadi 36,3%.7

1
Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Hasil
survei penyakit tidak menular oleh Dirjen PPM & PL di lima rumah sakit propinsi di
Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera Selatan)
pada tahun 2004, menunjukkan PPOK menempati urutan pertama penyumbang angka
kesakitan (35%), diikuti asma bronkial (33%),9kanker paru (30%) dan lainnya
(2%).7–9
Peningkatan prevalensi PPOK ini menyebabkan terjadinya peningkatan
tanggungan ekonomi dan sosial yang besar. Eksaserbasi PPOK (peningkatan secara
periodik gejala batuk, dyspnea, dan produksi sputum) merupakan penyumbang utama
memburuknya fungsi paru-paru, penurunan kualitas hidup sehingga perlu perawatan
segera atau rawat inap, dan tingginya biaya perawatan PPOK.10
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik melakukan pembahasan
mengenai diagnosis serta tatalaksana PPOK sehingga hasil dari penulisan ini dapat
berguna dalam penatalaksanaan pasien sehari-hari.

2
BAB II LAPORAN KASUS

BAB II
LAPORAN KASUS

Seorang pasien laki – laki berusia 53 tahun dengan keluhan utama sesak nafas
meningkat sejak 3 hari yang lalu. Sesak menciut, tidak dipengaruhi emosi, cuaca dan
makanan. Sesak meningkat dengan aktivitas dan batuk, diluar serangan pasien tidak
dapat beraktifitas normal. Sesak nafas sudah sering dirasakan hilang timbul sejak 4
tahun yang lalu. Riwayat atopi tidak ada. Pasien sudah dikenal PPOK dan sudah
pernah dispirometri. Pasien biasanya kontrol teratur ke poli paru RSUP Dr. M.
Djamil dan mendapat Budesonide/formoterol fumarate160/4.5 mcg (Symbicort) dan
Fenoterol HBr 100 mcg (berotec). Pasien belum pernah dirawat di rumah sakit karena
keluhannya.
Batuk meningkat sejak 5 hari yang lalu, berdahak warna putih encer namun
sukar dikeluarkan. Batuk – batuk sudah dirasakan sejak 1 minggu yang lalu. Batuk
darah tidak ada dan nyeri dada tidak ada. Demam saat ini tidak ada. Riwayat demam
tidak ada. Keringat malam tidak ada. Penurunan nafsu makan tidak ada. Penurunan
berat badan tidak ada. Riwayat pernah menderita tuberkulosis (TB) paru tidak ada.
Riwayat diabetes melitus tidak ada. Riwayat penyakit jantung koroner sejak 5 tahun
yang lalu. Dari riwayat penyakit keluarga tidak ada keluarga yang memiliki riwayat
TB paru, asma dan PPOK. Pasien seorang pedagang ikan asin dengan riwayat
merokok 24 btg/ hari selama 35 tahun, baru berhenti 2 tahun ini (bekas perokok
dengan Indeks Brikman Berat).
Pada pemeriksaan umum, kesadaran composmentis cooperative, keadaan
umum sedang. Keadaan gizi baik dengan tinggi badan 156 cm dan berat badan 58 kg.
Tekanan darah 140/80 mmHg, nadi 96 x/menit, pernafasan 20 x/menit, suhu 36,80 C.
Pemeriksaan fisik ditemukan konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik. Leher
dengan JVP 5+0 cmH2O.
Pemeriksaan dada, pada inspeksi simetris dada kiri dan kanan (statis),
pergerakan dada kiri sama dengan dada kanan (dinamis). Pada palpasi fremitus kiri
sama dengan kanan. Pada pemeriksaan perkusi bagian kiri dan kanan sonor.
3
Auskultasi ditemukan suara nafas ekspirasi memanjang, tidak terdapat ronkhi ataupun
whezzing di kedua paru.
Pemeriksaan jantung, iktus cordis tidak terlihat, iktus cordis teraba pada LMS
RIV V. Pada perkusi batas jantung dalam batas normal. Auskultasi jantung
ditemukan irama jantung teratur, murmur tidak ada, gallop tidak ada. Pada
Pemeriksaan abdomen, inspeksi tidak membuncit, palpasi supel, hepar dan lien tidak
teraba, perkusi timpani dan auskultasi bising usus positif normal. Pemeriksaan
tungkai, tidak ditemukan adanya edema dan clubbing finger.

Gambar 1. Foto Toraks 30 November 2018


Pada pasien, dilakukan rontgen toraks dan didapatkan foto sentris, tidak
simetris dengan densitas sedang, dari foto toraks tampak gambaran sela iga melebar

4
di kedua lapang paru dengan gambaran thorak emfisematous. Kesan paru
emfisematous.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil hemoglobin 14,5 gr/dl,
leukosit 8.200/mm3, hematokrit 43%, trombosit 312.000/mm3, gula darah sewaktu
111 mg/dl, ureum 30 mg/dl, creatinin 0,7 mg/dl, Natrium 136 Mmol/l, Kalium 4,3
Mmol/l, Clorida 108 Mmol/l, Total protein 6,4 g/dl, Albumin 3,7 g/dl, Globulin 2,7
g/dl, Bilirubin total 1,0 mg/dl, Bilirubin Direk 0,4 mg/dl, Bilirubin Indirek 0,6 mg/dl.
SGOT 17 u/l dan SGPT 15 u/l. Total kolesterol 158 mg/dl, Trigliserida 87 mg/dl,
HDL kolesterol 49 mg/dl, LDL kolesterol 92 mg/dl. Kesan labororatorium : HDL
turun.
Spirometri yang dilakukan pasien 2 bulan yang lalu (14 Juli 2019)
menunjukkan hasil ; Pre bronkodilator FEV1 act/ FEV1 pred 68%, FVC act/ FVC
pred 83.5%, FEV1 act/FVC act 61.4% dan Post Bronkodilator : FEV1 act/ FEV1 pred
76%, FVC act/ FVC pred 88%, FEV1 act/FVC act 66%. Perubahan volume : 170ml
dengan persentase 11%. Tes bronkodilator negatif. Kesan Restriksi sedang dan
obstruksi sedang.
Di Poliklinik, pasien dikonsulkan ke bagian jantung dengan riwayat penyakit
jantung koroner 5 tahun yang lalu dan didapatkan kesan : penyakit jantung coroner +
Hipertensi stage 1. Terapi : bisoprolol 2,5mg 1x1 (concor) dan aspilet 80 mg 1x1.
Pasien didiagnosis kerja dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis Stabil gold 2
+ Penyakit Jantung Koroner + Hipertensi Stage 1. Pasien diberi terapi Budesonide/
formoterol fumarate160/4.5 mcg (Symbicort), Fenoterol HBr 100 mcg (berotec),
bisoprolol 2,5mg 1x1 (concor) dan aspilet 80 mg 1x1. Pasien dijadwalkan kontrol
teratur sebulan sekali ke Poli Paru RSUP M.Djamil dan Poli Jantung RSUP
M.Djamil.

5
BAB III PEMBAHASAN

BAB III
PEMBAHASAN

Seorang pasien laki laki usia 53 tahun datang ke poli Paru RSUP M.Djamil
dengan diagnosis PPOK Stabil GOLD 2. Penegakan diagnosis didapat dari
identifikasi anamnesis dimana didalamnya terdapat karakteristik dari gejala PPOK,
faktor resiko dan pemeriksaan penunjang. Secara definisi, PPOK adalah suatu
penyakit yang dapat dicegah dan diobati yang memiliki karakteristik berupa gejala
respiratorik yang persisten dan keterbatasan aliran udara akibat abnormalitas jalan
nafas dan/atau alveolus yang biasanya disebabkan oleh pajanan partikel dan gas
berbahaya.1
Pasien dengan PPOK, keluhan yang paling sering adalah sesak nafas. Sesak
ini mengakibatkan terjadinya gangguan aktifitas fisik. Pasien biasanya
mendefinisikan sesak nafas sebagai peningkatan usaha untuk bernapas dan rasa berat
saat bernapas. Batuk bisa muncul secara hilang timbul, tapi biasanya batuk kronis
dengan atau tanpa produksi sputum adalah gejala PPOK.11 Pada pasien datang dengan
keluhan utama sesak nafas yang menciut dan baru dirasakan sejak 5 tahun ini.
Riwayat alergi cuaca, makanan dan emosi tidak ada. Riwayat sesak dari kecil tidak
ada.
Faktor resiko terjadinya PPOK yakni : kebiasaan merokok, masak dengan
biomas, paparan pekerjaan seperti pekerja tambang, asbestos, faktor pejamu (host)
meliputi usia, genetik, hiper responsif jalan napas (akibat pajanan asap rokok atau
polusi) dan infeksi saluran nafas. Faktor genetik yang utama adalah defisiensi α1-
antitripsin (alfa 1-antiprotase). Faktor lain yakni usia dan social ekonomis status serta
nutrisi.6 Pada pasien ini dengan jenis kelamin laki laki, usia > 40 tahun dan memiliki
kebiasaan merokok dengan IB berat. Menurut Latin American Project for
Investigation of Obstructive Lung Disease (PLATINO) menyebutkan bahwa PPOK
lebih tinggi pada perokok dan bekas perokok dibanding bukan perokok. Penderita

6
PPOK lebih sering pada usia lebih dari 40 tahun dan prevalensi laki–laki lebih tinggi
dibanding perempuan.12
Kejadian PPOK sangat berhubungan dengan merokok. Berdasarkan hasil
penilitian, terdapat hubungan signifikan antara derajat merokok dengan kejadian
PPOK. Perokok berat memiliki risiko terkena PPOK 3 kali lebih besar daripada
perokok ringan dan sedang (Prabaningtyas, 2010). Orang yang mempunyai kebiasaan
merokok lebih berisiko 7 kali terkena PPOK dibandingkan dengan orang yang tidak
merokok.13
Merokok dapat menyebabkan kerusakan saluran pernafasan pasien PPOK
dengan adanya kandungan oksidan pada rokok dapat menyebabkan kerusakan pada
epitel bronkus dan mencetuskan pengeluaran mediator inflamasi. Belum ada
penelitian yang menyatakan bahwa pemberhentian merokok berpengaruh pada
frekuensi eksaserbasi. Kegiatan merokok dapat meningkatkan frekuensi batuk dan
produksi sputum yang menjadi faktor penting dari kejadian eksaserbasi pada pasien
PPOK.14
Pada pemeriksaan fisik, PPOK yang ringan biasanya tidak ditemukan ada nya
kelainan. Pada PPOK berat dapat ditemukan bunyi mengi dan ekspirasi memanjang
pada pemeriksaan fisik disertai tanda hiperinflasi seperti barrel chest, sianosis,
kontraksi otot-otot aksesori pernapasan dan pursed lips breathing. Pada pemeriksaan
fisik, dari inspeksi dapat ditemukan pernafasan seperti orang mencucu, pengunaan
otot bantu nafas, barrel chest, pink puffer, atau blue bloater. Dari segi palpasi dapat
ditemukan penurunan vocal fremitus dan hyperaerated atau pelebaran sela iga,
sedangkan dari perkusi dapat ditemukan adanya hipersonor akibat karbon dioksida
yang terperangkap, batas jantung yang mengecil seperti tetes air, diafragma terdorong
kebawah, dan hepar yang terdorong kebawah khususnya pada kasus emfisema. Pada
auskultasi dapat ditemukan suara vesikuler yang menurun, ekspirasi memanjang dan
juga suara wheezing. Pada pasien ini, kita menemukan tampak dada barrel chest
akibat air trapping disertai dengan suara nafas ekspirasi memanjang disertai
wheezing.

7
Gambar 2 karakteristik klinis dan radiologis dari fenotip klasik PPOK
Dikutip dari 15

KLASIFIKASI PPOK

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2019 menilai
PPOK dalam beberapa penilaian, yaitu tanda dan gejala pasien, keparahan
berdasarkan spirometri, risiko eksaserbasi dan adanya penyakit komorbid.1

Penilaian PPOK dari tanda dan gejala

Sudah sejak lama PPOK dipandang sebagai penyakit yang ditandai dengan
adanya sesak. Ada sebuah kuisioner yang dapat mengukur derajat sesak, yaitu
Modified British Medikal Research Council (mMRC) Quistionnare. Penilaian
kuisioner ini terbagi atas penilaian terhadap aktivitas sehari-hari dan sesak yang
diinduksi oleh aktivitas. Pertanyaan MMRC yang dirumuskan oleh GOLD dapat
dilihat pada kuisioner berikut.

8
Tabel 1 Pertanyaan Modified British Medikal Research Council Quistionnare1

Silahkan tandai (√) salah satu kotak yang sesuai dengan Anda

MMRC Grade 0. Saya hanya merasa sesak napas ketika berkegiatan berat

MMRC Grade 1. Saya sesak napas ketika terburu-buru atau berjalan keatas
bukit kecil

MMRC Grade 2. Saya berjalan lebih lambat dari orang-orang seumuran saya
atau saya harus berhenti untuk bernapas ketika
berjalan sesuai langkah kaki saya

MMRC Grade 3. Saya berhenti untuk bernapas setelah berjalan 100 meter
atau setelah beberapa menit yang setara

MMRC Grade 4. Saya terlalu sesak napas untuk meninggalkan rumah atau
saya sesak napas ketika berganti pakaian

Selain berdasarkan derajat sesak, ada penilaian PPOK yang lebih komprehensif
dengan menggunakan Chronic Respiratory Disease Questionnaire (CRQ) dan St.
George Respiratory Questionnaire (SGRQ), namun 2 kuisioner ini terlalu rumit
untuk digunakan sebagai rutinitas pemeriksaan. Pemeriksaan yang tetap
komprehensif dan mudah digunakan seperti COPD Assessment Test (CAT) dan
COPD Control Quistionnaire (CCQ). Tes CAT terdiri atas 8 pertanyaan tentang
status kesehatan PPOK, dengan rentang skor 0-40. CCQ terdiri dari 10 pertanyaan
yang berhubungan dengan kontrol klinis pasien PPOK

Penilaian PPOK berdasarkan Spirometri


Spirometri adalah suatu alat sederhana yang digunakan untuk mengukur
volume udara dalam paru, baik volume statis dan dinamis paru. Volume statis paru
terdiri atas volume tidal, volume cadangan inspirasi, volume cadangan ekspirasi,
volume residu, kapasitas vital paru, kapasitas vital paksa, kapasitas total paru, dan
kapasitas residu fungsional. Sedangkan volume dinamis adalah volume ekspirasi
paksa detik pertama dan maksimal voluntary ventilation.16

9
Penilaian menggunakan spirometri sering dilakukan sebelum dan sesudah
penggunaan bronkodilator. Prosedurnya adalah dengan menghirup dan
menghembuskan nafas sekuat mungkin, sehingga didapatkan kapasitas vital paksa
(FCV) yaitu jumlah udara maksimal yang dikeluarkan setelah inspirasi maksimal,
volume ekspirasi paksa pada detik pertama (FEV1), dan perbandingan antara
keduanya (FEV1/FVC). Dalam kondisi normal, seseorang dapat mengeluarkan
hampir keseluruhan udara dalam detik pertama ekspirasi, sedangkan pada PPOK,
terjadi hambatan yang menyebabkan pengeluaran udara berlangsung lebih lama.17

Tabel 2 Klasifikasi Derajat Hambatan Jalan Nafas Pada Pasien PPOK1

Perbandingan FEV1/FVC pasien < 0.70 :


GOLD 1 Ringan FEV1 ≥ 80% prediksi
GOLD 2 Sedang 50% ≤ FEV1< 80% prediksi
GOLD 3 Berat 30% ≤ FEV1< 50% prediksi
GOLD 4 Sangat Berat FEV1< 30% prediksi

Penilaian PPOK berdasarkan eksaserbasi


Seseorang dikatakan mengalami eksaserbasi PPOK apabila terjadi perburukan
pada sistem pernapasan pasien dari biasanya dan mengalami perbaikan bila diobati.
Perburukan hambatan jalan nafas ini berhubungan dengan peningkatan kejadian
eksaserbasi dan risiko kematian. Selain itu, pasien PPOK yang dirawat inap memiliki
prognosis yang buruk dengan peningkatan risiko kematian. Eksaserbasi PPOK akan
menyebabkan penurunan fungsi paru, semakin perburukan status kesehatan pasien
dan peningkatan risiko kematian.1

10
Tabel 3 Risiko Pada pasien PPOK berdasarkan data TORCH, Uplift dan Eclipse

Level Spirometri Eksaserbasi Rawat Inap Mortalitas


GOLD (per tahun) (per tahun) dalam 3 tahun
GOLD 1 : Ringan ? ? ?
GOLD 2 : Sedang 0.7-0.9 0.11-0.2 11%
GOLD 3 : Berat 1.1-1.3 0.25-0.3 15%
GOLD 4 : Sangat Berat 1.2-2.0 0.4-0.54 24%
Sumber : Global Initiative for Obstructive Lung Disease, 2019

Penilaian PPOK berdasarkan komorbid


Jurnal Respirasi Indonesia (JRI) disebutkan komorbid PPOK adalah penyakit
lain yang dapat memperberat prognosis PPOK, juga komorbid pada pasien PPOK
eksaserbasi akut juga meningkatkan lama rawat inap. Pasien PPOK banyak
ditemukan pada usia pertengahan, sehingga kemungkinan besar pasien PPOK
memiliki penyakit lain yang tidak berhubungan dengan merokok dan proses penuaan.
Adapun penyakit komorbid pada PPOK yaitu penyakit jantung, disfungsi otot dan
tulang, sindrom metabolik, osteoporosis, depresi dan kanker paru (GOLD, 2015).
Ditambah lagi jika pasien PPOK kurang beraktivitas dan diet yang tidak teratur.
Semua ini berefek pada intoleransi terhadap latihan dan kesehatan yang buruk untuk
pasien PPOK.1,15

11
Gambar 3 Penilaian gejala, klasifikasi penilaian spirometri dan risiko eksaserbasi

Dikutip dari 1

Tabel 4 Klasifikasi PPOK berdasarkan karakteristik penyakit,


klasifikasi spirometri, frekuensi eksaserbasi, kuisioner mMRC
dan cAT.1

Kategori Klasifikasi Eksaserbasi


Pasien Karakteristik Spirometri per tahun mMRC cAT
Risiko rendah,
A gejala kurang GOLD 1-2 1 0-1 <10
Risiko rendah,
B gejala ada GOLD 1-2 1 2 10
Risiko tinggi,
C gejala kurang GOLD 3-4 2 0-1 <10
Risiko tinggi,
D gejala ada GOLD 3-4 2 2 10

12
PATOGENESIS PPOK

Pada orang yang merokok, kemungkinan besar timbul peradangan paru,


khususnya pada saluran nafas yang kecil. Namun, pada orang yang menderita PPOK
peradangan ini dapat berkembang menjadi penghancuran jaringan, rusaknya
mekanisme pertahanan dan gangguan pada perbaikan paru (MacNee, 2006).
Peradangan traktus respiratori pada pasien PPOK diduga merupakan modifikasi dari
respon inflamasi terhadap paparan iritan kronik seperti asap rokok. Mekanisme secara
keseluruhan belum dimengerti, diperkirakan ada pengaruh genetik.1
Karena sebab yang tidak diketahui sampai sekarang, peningkatan respon
inflamasi dan respon protektif dari paparan inhalasi tersebut yang akhirnya
menyebabkan kerusakan jaringan, gangguan mekanisme pertahanan yang membatasi
destruksi jaringan paru dan memutus mekanisme perbaikan menyebabkan lesi yang
khas untuk PPOK (Maranatha, 2010). Selain inflamasi tersebut, ketidakseimbangan
antara protease dan antiprotease dan ketidakseimbangan antara oksidan dan
antioksidan juga berperan pada pathogenesis PPOK (MacNee, 2006). Dapat dilihat
dari gambar di bawah ini.

Gambar 4 Patogenesis PPOK

Dikutip dari18
13
Gambar 5 Sumbatan jalan nafas dari PPOK
Dikutip dari 18

Gambar 6. Gambaran Diagrammatic dari hipotesis siklus vicous pada PPOK


Dikutip dari 19
14
Penyebab terjadinya PPOK
a. Stres oksidatif
Stres oksidatif memiliki peran utama dalam mekanisme terjadinya
PPOK. Biomarker untuk stres oksidatif pada pasien PPOK adalah hydrogen
peroksida, 8-isoprostane. Biomarker ini menambah kondensat, sputum, dan
sirkulasi sistemik saat bernafas pada pasien PPOK. Stres oksidatif juga
berperan pada peningkatan kejadian eksaserbasi. Oksidan yang ada pada asap
rokok dan partikel inhalan lain akan memicu pelepasan makrofag dan netrofil.
Selain itu, ada yang disebut Nrf2 (faktor transkripsi) yang berfungsi untuk
meregulasi gen antioksidan. Pada pasien PPOK, faktor ini berkurang sehingga
mempengaruhi terjadinya stres oksidatif.1

b. Ketidakseimbangan Protease-Antiprotease
Terdapat bukti menarik tentang ketidakseimbangan antara protease
sebagai penghancur komponen jaringan penghubung paru dan antiprotease
yang melawan proses itu pada paru pasien PPOK. Beberapa protease berasal
dari sel inflamasi dan sel epitel yang ditemukan meningkat pada pasien
PPOK. Protease adalah media penghancur jaringan elastin, elastin adalah
komponen jaringan penghubung utama di parenkim paru. Kerusakan elastin
bersifat ireversibel dan menjadi ciri utama pada emfisema.1

c. Sel-sel Inflamasi
Terdapat peningkatan jumlah sel CD8+(sitotoksik) limfosit Tc1 pada
perokok yang terkena PPOK. Sel ini bersama dengan makrofag dan netrofil
akan melepaskan mediator inflamasi serta enzim, lalu berinteraksi dengan
struktur sel yang ada pada jalan nafas, parenkim paru dan pembuluh darah
paru.1

15
d. Mediator Inflamasi
Banyak mediator inflamasi yang ditemukan meningkat pada pasien
PPOK. Mediator ini menarik sel inflamasi dari sirkulasi (faktor kemotatik),
meningkatkan proses inflamasi (sitokin proinflamasi), dan menginduksi
perubahan struktur (faktor pertumbuhan).1

Ada beberapa mekanisme yang terjadi pada PPOK

a. Hambatan jalan nafas dan terperangkapnya udara


Peningkatan inflamasi, jaringan fibrosis dan cairan luminal pada jalan nafas
pasien PPOK berhubungan dengan penurunan FEV1 dan rasio FEV1/FVC.
Keprogresivitasan hambatan jalan nafas yang terjadi selama ekspirasi,
menghasilkan hiperinflasi. Hiperinflasi ini menurunkan kapasitas inspirasi
yang menghasilkan peningkatan kapasitas residu fungsional, hiperinflasi
dinamis, dan pembatasan kapasitas latihan. Selain itu hiperinflasi diduga
\
menjadi penyebab awal terjadinya sesak. 1

b. Pertukaran gas yang abnormal


Semakin memburuknya pertukaran gas antara karbondioksida dan oksigen
menjadi salah satu tanda progresivitas penyakit PPOK. Pertukaran gas yang
abnormal menghasilkan hipoksemia dan hiperkapnia. Selain itu, pertukaran
gas yang abnormal ini menyebabkan retensi karbondioksida bersamaan
dengan kerasnya usaha bernafas karena obstruksi berat dan rusaknya otot
pernafasan. 1

c. Hipersekresi mucus
Adanya mukus menyebabkan batuk produktif, bentuk khas dari bronkitis
kronik. Tetapi tidak semua pasien PPOK mengalami hipersekresi mukus. Hal
ini dipengaruhi oleh penambahan jumlah sel goblet dan pembesaran glandula
16
submukosa karena respon terhadap iritasi asap rokok dan agen lain yang
berulang. Beberapa mediator dan protease menstimulasi pengeluaran mukus
yang berlebihan dan mengaktivasi Epidermal growth factor receptor
(EGFR).1

d. Hipertensi pulmonal
Hal ini muncul diakhir perjalanan PPOK, yaitu terjadinya vasokonstriksi
arteri-arteri paru sehingga merubah struktur paru termasuk hiperplasia intima
dan hiperplasia/hipetrofi otot halus. Respon inflamasi pembuluh darah dapat
dilihat pada jalan nafas dan bukti terjadi disfungsi sel endotel. Hipertensi
pulmonal dapat berkembang menjadi hipertrofi ventrikular bahkan gagal
jantung kanan.1

PENATALAKSANAAN PPOK STABIL


Kriteria PPOK stabil adalah :
- Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas kronik
- Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil analisa gas
darah menunjukkan PCO2 < 45 mmHg dan PO2 > 60 mmHg
- Dahak jernih tidak berwarna
- Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK (hasil
spirometri)
- Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan
- Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan
Tujuan penatalaksanaan pada PPOK stabil adalah :
1. Mengurangi gejala
a. Menghilangkan gejala
b. Memperbaiki toleransi latihan
c. Memperbaiki kualitas hidup
2. Mengurangi resiko
17
a. Mencegah progresifitas penyakit
b. Mencegah dan mengobati eksaserbasi
c. Mengurangi kematian8

Penatalaksanaan PPOK Stabil


1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada
PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma.
Karena PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti
dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan mencegah
kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih
bersifat reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah
inti dari edukasi atau tujuan pengobatan dari asma.

Tujuan edukasi pada pasien PPOK :


1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
3. Mencapai aktiviti optimal
4. Meningkatkan kualitas hidup

Edukasi tentang PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut


secara berulang pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri
maupun bagi keluarganya. Edukasi dapat diberikan di poliklinik, ruang
rawat, bahkan di unit gawat darurat ataupun di ICU dan di rumah. Secara
intensif edukasi diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik konseling,
karena memerlukan waktu yang khusus dan memerlukan alat peraga.
Edukasi yang tepat diharapkan dapat mengurangi kecemasan pasien
PPOK, memberikan semangat hidup walaupun dengan keterbatasan
aktiviti. Penyesuaian aktiviti dan pola hidup merupakan salah satu cara
untuk meningkatkan kualitas hidup pasien PPOK. Bahan dan cara
18
pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat penyakit,
tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi ekonomi
penderita.

Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah


1. Pengetahuan dasar tentang PPOK
2. Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
3. Cara pencegahan perburukan penyakit
4. Menghindari pencetus (berhenti merokok)
5. Penyesuaian aktivitas

Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan


ditentukan skala prioriti bahan edukasi sebagai berikut :
1. Berhenti merokok
Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis PPOK
ditegakkan
2. Pengunaan obat - obatan
- Macam obat dan jenisnya
- Cara penggunaannya yang benar ( oral atau atau inhalasi)
- Waktu penggunaan yang tepat ( rutin dengan selang waku tertentu atau
kalau perlu saja )
- Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya
3. Penggunaan oksigen
- Kapan oksigen harus digunakan
- Berapa dosisnya
- Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen
4. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen
5. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya
Tanda eksaserbasi :
- Batuk atau sesak bertambah
19
- Sputum bertambah
- Sputum berubah warna
- Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
- Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktivitas

Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima,


langsung ke pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu.
Pemberian edukasi sebaiknya diberikan berulang dengan bahan edukasi
yang tidak terlalu banyak pada setiap kali pertemuan. Edukasi merupakan
hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil, karena
PPOK merupakan penyakit kronik progresif yang ireversibel

2. Berhenti Merokok
Berhenti Merokok merupakan satu-satunya intervensi yang paling erfektif
untuk mengurangi resiko berkembangnya PPOK dan memperlambat
progresivitas penyakit (Bukti A). selain berhenti merokok,
penatalaksanaan non farmakologis yang lain adalah rehabilitasi paru,
latihan fisik dan vaksinasi.

Tabel 5 Terapi non Farmakologi pada PPOK8

Pasien Esensial Rekomendasi Tergantung pada


Group Pedoman Lokal
A Berhenti Merokok Aktivitas fisik - Vaksinasi flu
(termasuk pengobatan - Vaksinasi
farmakologi) pneumococcal
B,C,D Berhenti Merokok Aktivitas fisik - Vaksinasi flu
(termasuk pengobatan - Vaksinasi
farmakologi), pneumococcal
Rehabilitasi paru

20
3. Rehabilitasi PPOK
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan
memperbaiki kualitas hidup penderita PPOK. Program dilaksanakan di
dalam maupun diluar rumah sakit oleh suatu tim multidisiplin yang terdiri
dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan psikolog. Program rehabilitiasi
terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis, psikososial dan latihan
pernapasan.
1. Latihan Fisis
Ditujukan untuk memperbaiki efisiensi dan kapasiti sistem transportasi
oksigen. Latihan fisis yang baik akan menghasilkan :
- Peningkatan VO2 max
- Perbaikan kapasitas kerja aerobik maupun anaerobik
- Peningkatan cardiac output dan stroke volume
- Peningkatan efisiensi distribusi darah
- Pemendekkan waktu yang diperlukan untuk recovery
Latihan untuk meningkatkan kemapuan otot pernapasan
a. Latihan untuk meningkatkan otot pernapasan
b. Endurance exercise

Latihan untuk meningkatkan kemampuan otot pernapasan


Latihan ini diprogramkan bagi penderita PPOK yang mengalami kelelahan
pada otot pernapasannya sehingga tidak dapat menghasilkan tekanan
insipirasi yang cukup untuk melakukan ventilasi maksimum yang
dibutuhkan. Latihan khusus pada otot pernapasam akan mengakibatkan
bertambahnya kemampuan ventilasi maksimum, memperbaiki kualitas
hidup dan mengurangi sesak napas.
Pada penderita yang tidak mampu melakukan latihan endurance, latihan
otot pernapasan ini akan besar manfaatnya. Apabila ke dua bentuk latihan
tersebut bisa dilaksanakan oleh penderita, hasilnya akan lebih baik. Oleh
21
karena itu bentuk latihan pada penderita PPOK bersifat individual.
Apabila ditemukan kelelahan pada otot pernapasan, maka porsi latihan
otot pernapasan diperbesar, sebaliknya apabila didapatkan CO2 darah
tinggi dan peningkatan ventilasi pada waktu latihan maka latihan
endurance yang diutamakan.

Latihan Ketahanan (Endurance exercise)


Respons kardiovaskuler tidak seluruhnya dapat terjadi pada penderita
PPOK. Bertambahnya curah jantung maksimal dan transportasi oksigen
tidak sebesar pada orang sehat. Latihan jasmani pada penderita PPOK
akan berakibat meningkatnya toleransi latihan karena meningkatnya
toleransi karena meningkatnya kapasiti kerja maksimal dengan rendahnya
konsumsi oksigen. Perbaikan toleransi latihan merupakan resultante dari
efisiensinya pemakaian oksigen di jaringan dari toleransi terhadap asam
laktat.
Sesak napas bukan satu-satunya keluhan yang menyebabkan penderita
PPOMJ menghenikan latihannya, faktor lain yang mempengaruhi ialah
kelelahan otot kaki. Pada penderita PPOK berat, kelelahan kaki mungkin
merupakan faktor yang dominan untuk menghentikan latihannya.
Berkurangnya aktiviti kegiatan sehari-hari akan menyebabkan penurunan
fungsi otot skeletal. Imobilitasasi selama 4 - 6 minggu akan menyebabkan
penurunan kekuatan otot, diameter serat otot, penyimpangan energi dan
activiti enzim metabolik. Berbaring ditempat tidur dalam jangka waktu
yang lama menyebabkan menurunnya oxygen uptake dan kontrol
kardiovaskuler.

Latihan fisis bagi penderita PPOK dapat dilakukan di dua tempat :


• Di rumah
- Latihan dinamik
- Menggunakan otot secara ritmis, misal : jalan, joging, sepeda
22
• Rumah sakit
- Program latihan setiap harinya 15-30 menit selama 4-7 hari per
minggu. Tipe latihan diubah setiap hari. Pemeriksaan denyut nadi, lama
latihan dan keluhan subyektif dicatat. Pernyataan keberhasilan latihan oleh
penderita lebih penting daripada hasil pemeriksaan subyektif atau
obyektif. Pemeriksaan ulang setelah 6- 8 minggu di laboratorium dapat
memberikan informasi yang obyektif tentang beban latihan yang sudah
dilaksanakan.
- Dua bentuk latihan dinamik yang tampaknya cocok untuk penderita di
rumah adalah ergometri dan walking-jogging. Ergometri lebih baik
daripada walking- jogging. Begitu jenis latihan sudah ditentukan, latihan
dimulai selama 2-3 menit, yang cukup untuk menaikkan denyut nadi
sebesar 40% maksimal. Setelah itu dapat ditingkatkan sampai mencapai
denyut jantung 60%-70% maksimal selama 10 menit. Selanjutnya diikuti
dengan 2-4 menit istirahat. Setelah beberapa minggu latihan ditambah
sampai 20-30 menit/hari selama 5 hari perminggu. Denyut nadi maksimal
adalah 220 - umur dalam tahun.
- Apabila petunjuk umum sudah dilaksanakan, risiko untuk penderita
dapat diperkecil. walaupun demikan latihan jasmani secara potensial akan
dapat berakibat kelainan fatal, dalam bentuk aritmia atau iskemi jantung.
Hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum latihan :
- Tidak boleh makan 2-3 jam sebelum latihan
- Berhenti merokok 2-3 jam sebelum latihan
- Apabila selama latihan dijumpai angina, gangguan mental, gangguan
koordinasi atau pusing latihan segera dihentikan
- Pakaian longgar dan ringan

2. Psikososial
Status psikososial penderita perlu diamati dengan cermat dan apabila
diperlukan dapat diberikan obat
23
3. Latihan Pernapasan
Tujuan latihan ini adalah untuk mengurangi dan mengontrol sesak napas.
Teknik latihan meliputi pernapasan diafragma dan pursed lips guna
memperbaiki ventilasi dan menyinkronkan kerja otot abdomen dan toraks.
Penelitian pada pasien PPOK sedang dan berat yang dilakukan latihan
pernafasan didapatkan peningkatan VEP1 secara bermakna dan perbaikan
kualitas hidup8.
4. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya
kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena
hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi
hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK
karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan perubahan
analisis gas darah. Malnutrisi dapat dievaluasi dengan :
- Penurunan berat badan
- Kadar albumin darah
- Antropometri
- Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot
pipi)

Gizi penting sebagai penentu gejala, cacat dan prognosis dalam PPOK,
baik kelebihan maupun kekurangan berat badan bias menjadi masalah.
Khusus rekomendasi gizi untuk pasien PPOK didasarkan pada pendapat
ahli. Kira-kira 25% dari pasien PPOK derajat II sampai derajat IV
menunjukkan penurunan baik indeks massa tubuh dan massa lemak bebas
yang merupakan factor risiko independent untuk mortalitas PPOK (Bukti
A). Dianjurkan pemberian nutrisi dalam porsi kecil dengan waktu
pemberian yang lebih sering. Peningkatan pemberian nutrisi harus disertai
dengan latihan fisis yang seimbang. Pemberian nutrisi memberikan efek
yang bermakna dalam meningkatkan berat badan dan fat free mass pada
24
pasien PPOK dengan malnutrisi. Perbaikan status nutrisi terbukti dapat
meningkatkan kekuatan otot pernafasan dan kualitas hidup.

5. Penatalaksanaan di Rumah
Penatalaksanaan di rumah ditujukan untuk mempertahankan PPOK yang
stabil. Beberapa hal yang harus diperhatikan selama di rumah, baik oleh
pasien sendiri maupun oleh keluarganya. Penatalaksanaan di rumah
ditujukan juga bagi penderita PPOK berat yang harus menggunakan
oksigen atau ventilasi mekanik.
Tujuan penatalaksanaan di rumah :
a. Menjaga PPOK tetap stabil
b. Melaksanakan pengobatan pemeliharaan
c. Mengevaluasi dan mengatasi eksaserbasi dini
d. Mengevaluasi dan mengatasi efek samping pengobatan
e. Menjaga penggunaan ventilasi mekanik
f. Meningkatkan kualiti hidup
Penatalaksanaan di rumah meliputi :
1. Penggunakan obat-obatan dengan tepat.
Obat-obatan yang digunakan harus sesuai klasifikasi. Pemilihan obat
dalam bentuk dishaler, nebuhaler atau tubuhaler karena penderita PPOK
biasanya berusia lanjut, koordinasi neurologis dan kekuatan otot sudah
berkurang sehingga penggunaan bentuk IDT menjadi kurang efektif.
Nebuliser sebaiknya tidak digunakan secara terus menerus. Penggunaan
nebuliser di rumah sebaiknya bila timbul eksaserbasi, penggunaan terus
menerus, hanya jika timbul eksaserbasi.
2. Terapi oksigen
Dibedakan untuk PPOK derajat sedang dan berat. Pada PPOK derajat
sedang oksigen hanya digunakan bila timbul sesak yang disebabkan
pertambahan aktiviti. Pada PPOK derajat berat yang terapi oksigen di

25
rumah pada waktu aktiviti atau terus menerus selama 15 jam terutama
pada waktu tidur. Dosis oksigen tidak lebih dari 2 liter per menit.
3. Penggunaan mesin bantu napas dan pemeliharaannya.
Beberapa penderita PPOK dapat menggunakan mesin bantu napas di
rumah.
4. Rehabilitasi
- Penyesuaian aktivitas
- Latihan ekspektorasi atau batuk yang efektif (huff cough)
- Latihan ekstremiti atas dan otot bantu napas
5. Evaluasi / monitor terutama ditujukan pada :
- Tanda eksaserbasi
- Efek samping obat
- Kecukupan dan efek samping penggunaan oksigen8

26
KESIMPULAN

1. PPOK masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia dimana setiap


mengalami eksersebasi akan terjadi penurunan fungsi paru yang bersifat
ireversibel

2. Merokok menjadi faktor utama terjadinya PPOK

3. Prinsip utama penatalaksanaan PPOK stabil yakni mengurangi gejala dan


mengurangi resiko

4. Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka Panjang PPOK


Stabil

27
DAFTAR PUSTAKA

1. GOLD. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. 2019:4-26.

2. WHO. World Health Statistic. 2008:1-112.

3. Abramson MJ, Schattner RL, Sulaiman ND, Del Colle EA, Aroni R, Thien F.
Accuracy of asthma and COPD diagnosis in Australian general practice: A
mixed methods study. Prim Care Respir J. 2012;21(2):167-173.

4. Alonso JLI, Paredes CM. Chronic obstructive pulmonary disease (COPD).


Med. 2018;12(63):3699-3709.

5. Ikawati Z. Penyakit Sistem Pernapasan dan Tatalaksana Terapinya. 2014:1-30.

6. Adeloye D, Chua S, Lee C, et al. Global and regional estimates of COPD


prevalence: Systematic review and meta-analysis. J Glob Health.
2015;5(2):020415.

7. Kementrian Kesehatan Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia. Vol 14.; 2013.

8. PDPI. PPOK Pedoman Diagnosa Dan Penatalaksanaan Di Indonesia,


Jakarta, PDPI.; 2011.

9. Padang DKK. Profil kesehatan kota padang. 2017.

10. Huang Y. Chronic Respiratory Disease, Asthma. Encycl Metagenomics.


2015:74-77.

12. Nugraha I. Hubungan Derajat Berat Merokok Berdasarkan Indeks Brinkman


Dengan Derajat Berat PPOK. Akper Patria Husada Surakarta.
2013;53(9):1689-1699.

13. Sari SP. Hubungan Antara Kebiasaan Merokok Dengan Kejadian Penyakit
Paru Obstruktif Kronik (Ppok) Di Rs Paru Jember. 2012:3-16.
28
15. Daniel M. Penyakit Paru Obstruktif. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya.
2014:1-30.

19. Hansel TT, Barnes PJ. Pathophysiology of COPD. An Atlas of Chronic


Obstructive Pulmonary Disease. 2004:23-36.

29

Anda mungkin juga menyukai