SKRIPSI
“Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA KESEHATAB MASYARAKAT”
Oleh:
Saffanah Nuriyah
NIM : 11141010000061
i
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
ABSTRAK
Angka kepadatan lalat yang tinggi disuatu tempat dapat menyebabkan
masalah kesehatan pada pemukiman di sekitar tempat tersebut. Salah satu tempat
yang keberadaan lalatnya perlu dikendalikan ialah Rumah Potong Unggas (RPU).
Sanitasi yang buruk serta perilaku pengelolaan limbah yang kurang baik dapat
menjadikan RPU sebagai tempat perkembangbiakan dan sumber makanan bagi
lalat didukung pula dengan faktor lingkungan seperti kelembaban dan suhu.
Hasil penelitian terhadap angka kepadatan lalat tinggi ialah 66,7%. Hasil
analisis uji statistik menunjukan bahwa terdapat variabel yang berhubungan
dengan angka kepadatan lalat yakni ketersediaan tempat sampah (p value 0,015)
dan sanitasi tempat potong (p value 0,010) . Serta beberapa variabel yang tidak
berhubungan yakni perilaku pengelolaan limbah, ketersediaan SPAL, suhu dan
kelembaban (p value > 0,005).
ii
STATE ISLAMIC UNIVERSITY JAKARTA SYARIF HIDAYATULLAH
FACULTY OF HEALTH SCIENCE
PUBLICH HEALTH STUDY PROGRAM
The number of high fly density in one place can cause health problem in
settlements around the place. Poultry Abattoir is place that need to be contrrolled
the density of the fly. Poor environmental sanitation and waste management are
can cause breeding place and food source of fly and also supported by
environmental factor such as temperature and humidity.
This study aims to determine the relationship of the environmental
sanitation and waste management by the indicator of fly densities in poultry
abattoirs Depok City 2018. The study used is cross se sectional design. Sample
technique in this study is total sampling so sample in this study is 12 poultry
abattoirs. The methods used to collect the primary data such as interview,
observation and measurement. The research was conducted from June to August
2018.
The result of high fly densities is 66,7%. Statistical analysis show the
garbage dump (p value 0,015) and sanitation of abattoirs(p value 0,010) related
to fly densities. As well as some of the variables that are not related the waste
management, sewerage, temperature and humidity (p value > 0,005) are not
related with fly densities.
According to result, manager of poultry abattoirs advised to be more
responsible in waste management and environmental sanitation. Departemen of
food security, agriculture and fisheries is also expected to coaching and training
regarding waste management and environment sanitation and coordinate to local
health centre regarding environment health
iii
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Jakarta, Oktober
2018
Saffanah Nuriyah
iv
v
v
vi
vi
vii
Agama : Islam
Email : saffanana@gmail.com
Riwayat Pendidikan
Riwayat Organisasi
vii
viii
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan tersusun dan selesai tanpa
bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
1. Orang tua serta adik-adik penulis yang selalu mendukung secara moril
maupun material
2. Bapak Prof. Dr. H. Arif Sumantri, M.Kes selaku Dekan Fakultas Ilmu
3. Ibu Fajar Ariyanti, Ph.D selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat
terutama untuk Bapak Jarkasih yang telah memberikan data dan izin dalam
5. Ibu Meliana, Ibu Rahmah dan Bapak Suharno selaku penguji yang telah
ix
x
6. Umi Ela dan Abi Mukhlis selaku orang tua kedua selama Aliyah yang selalu
memberikan semangat
Fathiyah, Ridho, Ita, Dwi, Nurul, Sarah, Annisa D, Julius, Maul, Nindy,
Sofy, Cindy dan Dinda yang selalu memberikan semangat dan saran kepada
penulis
11. Teman-teman di kehidupan remaja penulis yaitu Nadia, Niki, Naja Tia,
12. Bagus Riyadi yang telah menemai dan membantu dalam tindakan dan doa
Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak. Dengan
Saffanah Nuriyah
x
DAFTAR ISI
xi
xii
C. Kerangka Teori................................................................................ 41
DAN HIPOTESIS...................................................................................... 44
xii
xiii
A. Simpulan ........................................................................................ 98
B. Saran ............................................................................................... 99
xiii
xiv
DAFTAR TABEL
xiv
xv
Kelembaban ....................................................................................... 75
xv
DAFTAR GRAFIK
xvi
xvii
DAFTAR BAGAN
xvii
DAFTAR GAMBAR
xviii
xix
xx
xx
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
lingkungan antara lain ialah sanitasi yang buruk, pengelolaan limbah yang
buruk dan vektor penyakit (Purnama,2017). Salah satu vektor yang dapat
terdiri atas lebih dari 116.000 spesies lebih di seluruh dunia. Terdapat
(jenis lalat rumah, lalat kandang, tanduk), Calliphoridae (jenis lalat hijau),
Penyakit yang dapat ditularkan oleh lalat ialah penyakit disentri, diare,
di Indonesia adalah 3,5% dan Jawa Barat adalah salah satu provinsi yang
tahun 2017, jumlah kasus diare di Kota Depok tertinggi kedua diantara
tujuh kota lainnya di Jawa Barat mencapai 37 690 kasus (BPS Jawa
Barat, 2017).
1
2
penyakit akan menempel pada kulit tubuh dan kaki-kaki lalat selanjutnya
hewan. Hal ini dikarenakan kotoran hewan tidak terlalu basah dan
teskturnya tidak padat. Selain itu lalat juga dapat berkembang biak pada
limbah organik (darah, tulang, daging hewan dll), saluran pembuangan air
lalat dapat berkembang biak di lumpur limbah cair dan limbah padat
organik yang tidak dapat terolah dengan baik Maka dari itu, angka
(WHO,1986).
Selama dua dekade akhir ini, para ahli entomologis media lebih
al., 2016) yang dilakukan pada empat lokasi penghasil limbah organik
bahwa rumah potong adalah tempat yang paling tinggi angka kepadatan
Penyediaan fasilitas rumah potong di setiap wilayah adalah salah satu cara
tersebut. Pada tahun 2017, produksi daging terbesar adalah ayam ras
pedaging yaitu 56,77% yaitu sebesar 1,9 juta ton. Provinsi Jawa Barat
posisi ketiga kebutuhan daging ayam broiler dari kota lainnya yang berada
Pada tempat pemotongan masih terdapat darah dan bulu unggas yang
fly trap sederhana, pada TPS terdapat 190 ekor lalat, tempat pemotongan
terdapat 70 ekor lalat dan untuk tempat istirahat petugas terdapat 50 ekor
lalat. Untuk hasil pengukuran suhu di RPU bubulak rataa-rata 32,2oC dan
pemisahan antara organik dan anorganik dan tidak tersedia tempat sampah
itu limbah padat dan limbah cair masih bercampur sehingga saluran
oleh limbah padatnhya. Hal tersebut dapat menarik perhatian dari lalat
kepadatan lalat yang sangat tinggi (37,5%) dan 14 los pemotongan unggas
5
populasi lalat dan kondisi tersebut dapat berdampak pada masyarakat yang
negatif dengan angka kepadatan lalat. Hal ini karena semakin tinggi suhu
limbah yang buruk dengan kepadatan lalat maka peneliti ingin melakukan
B. Rumusan Masalah
seperti diare, disentri, kolera dan demam tifoid pada manusia. Hal ini
pembuangan air limbah. Kulit tubuh dan kaki-kaki lalat yang kotor
tersebut pada akhirnya akan hinggap pada makanan yang akan di makan
pembuangan air limbah, maka dari itu, pengelolaan sampah yang buruk
hinggap.
saluran pembuangan air limbah dan sanitasi tempat potong. Selain kedua
peranan penting dalam penyebaran lalat. Rumah potong adalah salah satu
Berdasarkan data BPS (2017) Kota Depok termasuk kasus diare kedua
daging ayam termasuk tertinggi ketiga di Jawa Barat. Maka dari itu,
C. Pertanyaan Penelitian
Kota Depok?
D. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tahun 2018
2. Tujuan Khusus
Depok?
E. Manfaat
Depok
(RPU).
sampah, kotoran hewan dan saluran pembuangan air limbah yang tidak
terkelola dengan baik. Hal tersebut dapat mengundang lalat untuk singgah
September 2018 . Desain studi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
desain studi cross sectional. Sumber data penelitian ini berasal dari data
pengukuran kepadatan lalat menggunakan fly trap dan mengukur suhu dan
TINJAUAN PUSTAKA
2005). Rumah Potong Unggas terdapat dua jenis yaitu modern dan
Indonesia dikenal dua jenis ayam yang biasa dikonsumsi yaitu ayam
ras (broiler) dan ayam lokal (bukan ras/buras). Kedua jenis ayam ini
(Koswara,2009).
12
13
Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 556 tahun 1976 bahwa usaha
(tiga) kategori.
lingkungan. Sehingga lokasi RPU tidak berada di kota yang padat penduduk serta
letaknya lebih rendah dari pemukiman penduuduk. RPU juga tidak berada di
a. bangunan utama
g. tempat parkir
h. rumah jaga
i. menara air
j. gardu listrik.
n. laboratorium
b. Penampungan unggas
d. Gudang alat
e. Septic tank
Pintu masuk unggas hidup sebaiknya terpisah dari pintu keluar daging unggas.
Dinding tembok di RPU sebaiknya 1,5 meter, kedap air terbuat dari porselin atau
sebaiknya kedap air, air mudah mengalir sehingga tidak licin ataupun tidak kasar.
Terdapat kawat kasa antata dinding untuk mengindari hewan seperti tikus dan
kucing masuk. Harus mempunyai pintu, ventilasi yang memadai, air panas dan
Pembagian ruang di RPU terbagi menjadi dua yaitu daerah kotor dan daerah
bersih. Untuk daerah kotor terdiri dari Daerah kotor meliputi penurunan,
(SNI, 1999)
(Dirjen PKH Kementan RI, 2010) berikut adalah proses penyembelihan halal.
a. Persyaratan Umum
c. Persyaratan Ayam
Ayam yang akan disembelih harus dalam keadaan hidup, sehat dan bersih
d. Persyaratan Proses
kiblat
sebelum disembelih
kebersihan lingkungan
1) Penyembelihan
17
kejang (gerakan tetanis) pada leher dan kepala, sayap tidak terkulai
2) Penirisan Darah
sama sekali dan tidak ada darah yang keluar dari leher.
18
1) Penyembelihan
Ayam dikeluarkan dari keranjang dengan memegang pada kedua paha dan
2) Penirisan Darah
tempat khusus (boks/ drum) yang mudah dibersihkan. Pada proses ini
Limbah ternak adalah sisa buangan dari suatu kegiatan atau usaha peternakan
ternak dan lainnya. Limbah ternak tersebut meliputi limbah padat dan limbah
cair, sepeti feses, urin, sisa makanan, lemak, darah, bulu, kuku, tulang, tanduk
a. Manur
Manur atau ekskreta adalah campuran antara feses (faeces), urin (urine),
dan terkadang tercampur dengan bahan-bahan lain (seperti litter atau bedding
atau material yang digunakan sebagai alas kandang) yang disengaja maupun
19
tidak sengaja. Manur memang suatu bahan yang tidak ada gunanya, tetapi jika
diolah dengan baik manur dapat ada gunanya. Sehingga manur masuk
kedalam golongan limbah yang dapat diolah menjadi produk ternak (animal
1) Feses
tersebut sebagian besar terdiri dari zat-zat makanan yang tidak tercerna
dicerna dan diserap oleh saluran pencernaan. Di samping itu feses dapat
sifat fisik dan kimianya ditentukan oleh banyak faktor misalnya jenis
hewan, umur, input makanan, keadaan kandang, suhu, presipitasi dan lain-
lain.
2) Urine
di dalamnya adalah zat makanan yang sudah dicerna, diserap dan bahkan
sudah di metabolisme dalam sel-sel tubuh, kemudian oleh satu dan lain hal
dikeluarkan melalui ginjal dan saluran urin. Sifat fisik dan kimianya
b. Limbah Cair
Dalam proses produksi dihasilkan limbah cair yang berasal dari darah
ayam, proses pencelupan, pencucian ayam dan peralatan produks (Erlita dan
Chemial Oxygen Demand (COD), Total Suspended Solid (TSS), minyak dan
lemak yang tinggi dengan komposisi berupa zat organik. Diperikan bahwa
jumlah limbah berupa lemak dari seekor ayam sega utuh adalah 7,80 – 17,7 %
dari bobot ayam tersebut. Sedangka, dari satu ekor ayam broiler berukuran
sedang dapat menghasilkan 100 gram lemak yang menempel pada bagian
ampela dan ekor dan sekita 2,10 % lemak terdapat pada bagian dada seekor
c. Limbah Padat
Limbah padat pada industri Rumah Potong Unggas berupa unggas mati ,
sisa usus atau jeroan, bulu, tulang dan bagian lainnya yang tidak sengaja ikut
terbuang menjadi limbah yaitu kepala ayam dan lemak yang tedapat di dalam
semua jenis limbah padat yang dihasilkan oleh RPU mempunyai potensi untuk
dimanfaatkan kembali sebagai bahan pakan sumber protein seperti ampela dan
6. Pengelolaan Limbah
1) Tahap Pemilahan
sampah sesuai dengan jenis, jumlah dan/ atau sifat sampah. Pemilahan
sampah dilakukan oleh pengelola kawasan dalam hal ini ialah pengelola
(lima) jenis sampah yang terdiri atas sampah yang mengandung bahan
berbahaya dan beracun, sampah yang mudah terurai, sampah yang dapat
digunakan kembali, sampah yang dapat didaur ulang, dan sampah lainnya.
Tetapi, untuk jenis sampah yang terdapat di RPU hanya sampah organik
sampah.
2) Tahap Pengumpulan
3) Tahap Pengangkutan
dan/atau dari TPS atau dari TPST menuju TPA. Berdasarkan Keputusan
4) Tahap Pengolahan
b. Pemeliharaan SPAL
atau saluran drainase. Fungsi dari SPAL ini ialah limbah cair dapat mengalir dan
dapat mengurangi tersebarnya limbah ke wilayah dalam dan di sekitar rumah potong
unggas. Isolasi limbah dalam SPAL ini dapat menurunkan frekuensi dampak negatif
Akan tetapi masih ada beberapa masalah yang dapat timbul dengan pembuatan
SPAL jika tidak dikelola dengan baik. Limbah padat yang masuk kedalam SPAL
harus harus diangkut atau dikeluarkan sehingga aliran air tidak terhambat sehingga
7. Sanitasi Lingkungan
limbah).
a. Tempat Sampah
organik dan sampah anorganik, kedap air, kuat, mudah dibersihkan dan mudah
lancar, 2) saluran tertutup dan kedap air tertutup dengan kisi yang terbuat dari
limbah cair di RPU harus cukup besar dan didisain agar aliran limbah
mengalir dengan lancar, terbuat dari bahan yang mudah dirawat dan
dibersihkan, kedap air agar tidak mencemari tanah, mudah diawasi dan dijaga
agar tidak menjadi sarang tikus atau rodensia lainnya. Saluran pembuangan
24
dan peralatan yang terkena kotoran. Pembersihan ini harus dilakukan secara
teratur dan benar untuk menghilangkan kotoran yang terlihat secara fisik.
dengan cara fisik, kimiawi ataupun keduanya. Pembersihan secara fisik dapat
deterjen dan zat-zat yang bersifat asam atau basa dibantu pula dengan air
cukup sesuai dengak kebutuhan dan memenuhi persyaratan baku mutu air
kg/cm2 (15 psi) serta fasilitas air panas dengan suhu minimum 82oC
(Kementan, 2010)
dan lainnya
deterjen yang digunakan dan jumlah kotoran yang melekat pada alat.
digunakan ialah, klorin, iodofor, senyawa amonium kuartener serta asam dan
26
B. Lalat
Lalat umumnya berkembang biak pada habitat di luar hunian manusia yang telah
membusuk dan penuh dengan bakteri dan organisme patogen lainnya, seperti vegetasi
yang membusuk, kotoran hewan, sampah dan sejenisnya. (Sigit dan Hadi,2006)
Cyclorrhapha dan anggotanya terdiri atas lebih dari 116.000 spesies lebih di sluruh
dunia.
1. Jenis Lalat
Diantara berbagai jenis lalat yang merupakan masalah yang cukup banyak
1) Morfologi
Ukuran lalat rumah relatif kecil dengan panjang tubuh berkisar antara 6
terletak di depan mata dan tiap sungut terdiri atas ruas dasar berbentuk gada
bagian ujung dan berbentuk seperti parut. Pada bagian toraks dorsal (atas)
kakinya dituutpi oleh rambut lebat dan bercakar dua buah. Sayapnya
(Kemenkes,2014).
Gambar 2.1
Musca Domestica
daerah tropis. Lalat rumah jika betelur lebih memilih tempat-tempat yang
ternak, kotoran hewan, sisa sayuran dan bentuk busuk lainnya. Larva atau
belatung ini sangat rakus dan aktif dan jika larva sudah matang akan
mencari tempat yang kering untuk berkembang menjadi pupa setelah 4-7
hari (Kemenkes,2014)..
28
dewasa muda sudah siap kawin dalam waktu beberapa jam setelah keluar
dari pupa, Setiap ekor betina mampu menghasilkan sampai 2000 butir terlus
mengandung 75-100 butir. Umur lalat rumah ini ditaksir sekitar 1-2 bulan.
Terkadang lalat rumah bertelur pada luka hewan dan manusia, sehingga
myasis (Kemenkes,2014)..
1). Morfologi
berwarna abu-abu. Pada bagian toraksnya terdapat tiga garis hitam dan
abu. Struktur mulutnya bukan tipe penusuk tetapi penjilat dan penyerap.
Gambar 2.2
Sarcophaga sp
29
Lalat ini disebut lalat daging karena larvanya sering ditemukan pada
daging Pada umumnya waktu yang diperlukan lalat daging dari telur hingga
menjadi lalat dewasa adalah 14-18 hari tergantung pada suhu dan
larvanya pada bangkai, daging segar atau yang telah dimasak atau kotoran
hewan yang bahkan pada luka terbuka. Larva mempunyai spirakel posterior
khas dan tinggal serta makan jaringan daging sampai instar terakhir,
setelah itu meninggalkan tempat dengan instar terakhir, setelah itu akan
tanah atau pasir yang terlindung oleh gangguang predator atau lingkungan.
Larva lalat ini tidak hanya suka pada jaringansegar yang hidup tetapi juga
bangkai, karena itu tergolong sebagai lalat penyebab myasis yang fakulatif
(Kemenkes,2014)..
1). Morfologi
ukuran yang kurang lebih 1,5 kali lalat rumah. Sayapnya jernih dengan
bulu-bulu pendek diselingi dengan sederatan bulu yang keras dan jarang
Pada tiap-tiap bats ruas terdapat duri-duri keras dan pendek yang melingkar
Gambar 2.3
Chrysomya megacephala
diawali dari telur kemdian menjadi larva, pupa dan akhirnya bentuk
telurnya sebanyak 4-6 kali. Jangka waktu hidup tahap pra dewasanya
antara 37,6 – 41,2 hari pada suhu 24-28 ºC dengan kelembaban 85-92%
Lalat ini biasanya berkembang biaka di bagian semi cair yang berasal
hewan. Telur diletakkan oleh lalat dewasa dalam kelompok atau onggokan.
Lalat ini jarang berkembang biak di tempat kering atau bahan buah-buahan.
Beberapa jenis juga berkembang biak di tinja dan sampah hewan. Lainnya
bertelur pada luka hewan dan manusia. Ketika populasinya tinggi, lalat ini
akan memasuki dapur , meskipun tidak sesering lalat rumah. Lalat ini
banyak terlihat di pasar ikan dan daging yang berdekatan dengan kakus.
Lalat ini dilaporkan juga membawa telur cacing Ascaris lumbricoides dan
(Kemenkes,2014).
1). Morfologi
(Kemenkes,2014)..
32
Gambar 2.4
Calliphora
(Kemenkes,2014)..
1) Morfologi
bulat agak lonjong dan merupakan tempat melekat dua ruas antena.
Palpi kecil dan berbulu. Urat sayap bagian psterior kuat dengan urat
yang menyilang. Alat mulut tipis, tarus pertama kaki belakang panjang
Gambar 2.5
Drosophila melanogaster
sampah yang kotor, sisa-sisa sayuran atau kotoran pada saluran air.
Larva yang halus akan menetas setelah 30 jam dan makan pada
keadaan yang optimal dan lembab diperlkan waku 9-12 hari untuk
Setiap lalat buah betina dapat bertelur sampai dengan 500 telur.
waktu yang relatif singka dapat ditemukan populasi lalat buah yang
sangat banyak. Lalat buah adalah lalat yang kuat terbang dan dapat
masak atau busuk, produk yang mengandung ragi, botol dan kaleng
minuman yang kosong, saluran air yang kotor atau tersumbat dan area-
Beberapa hal yang dapat meningkatkan populasi lalat ialah, ketersedian tempat
perindukan yang cocok dan faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban dan
atau benda yang sudah tidak dipakai lagi oleh manusia. Banyaknya
terus menerus jika timbunan sampah tersebut tidak dapat dikelola dengan
Hasil buangan dari pengelolaan daging dan ikan pun meninmbulkan bau
yang tidak sedap sehingga menarik lalat untuk hinggap biasanya hewan
35
dan tulang serta untuk ikan pada daging ikannya dan jenis hewan laut
kelembaban yang tepat dan tekstur yang tidak terlalu padat (kotoran yang
masih baru sekitar satu minggu) dapat mengundang lalat. Lalat dapat
biakan lalat.
menyebarkan bau dan didukung dari kondisi yang kotor dapat menjadi
salah satu tempat yang akan disukai oleh lalat. Berdasarkan SNI 01-6160-
199 Saluran Pembuangan Air Limbah di Rumah Potong Hewan pun harus
b. Faktor Lingkungan
pencahayaan (Kemenkes,2008)
Lalat mulai aktif terbang pada suhu 150 C dan jumlah lalat akan
semakin tinggi jika suhu disekitarnya 200 C- 250 C dan akan berkurang
jumlahnya pada temperatur <100C dan pada 7,50 C lalat sudah tidak
aktif dan pada diatas atau > 490 C terjadi kematian lalat (Kemenkes
RI,2008) Berikut tabel 2.1 memaparkan berapa lama daur hidup lalat
Tabel 2.1
domestica).
kelembaban rendah maka suhu tinggi dan jika kelembaban tinggi maka
RI,2008)
2). Pencahayaan
cahaya). Maka dari itu lalat pada malam hari tidak aktif tetapi dapat
diaktifkan jika menggunakan sinar buatan. Pada siang hari lalat akan
(Kemenkes,2008).
3. Pengendalian Lalat
fisik. Tujuan dari pengendalian lalat ini ialah untuk menurunkan tingkat
a. Sanitasi
kehidupan larva lalat yaitu keadaan yang kering, udara sejuk dan
bersih
dengan cara menurup sampah atau bagian yang bau dengan penutup
plastik yang langsung dibuang seperti sisa nakanan, ikan, kepala udang
dan sebagainya
Membuat tempat atau alat yang tidak disenangi lalat untuk istirahat
b. Penghalang fisik
Pemasangan kawat kasa pada pint dan jendela serta lobang angin
Membuat pintu dua lapis, daun pintu pertama kearah luar dan lapisan
sendiri
pintu sehingga lalat atau serangga terjatuh bila masuk ke dalam rumah
kepadatan lalat, pengukuran terhadap populasi lalat dewasa lebih tepat dan bisa
Alat umpan ini digantung diatap kemudian lalat dapat hinggap pada alat
sticky trap dengan karena alat umpan ini mengandung lem. Alat ini dapat
40
dipergunakan pada bagian dalam ruangan dan dilakukan pengukuran per hari
atau per mingu dan akan diperloleh rata-rata kepadatan lalat per ari dan dapat
Alat ini cocok untuk menangkap lalat dalam jumlah yang besar atau
jumlah yang banyak. Kontainer yang gelap menjadi tempat yang menarik lalat
untuk berkembangbiak dan mencari makanan saat lalat menoba makan dan
terbang akan tertangkap oleh perangkap yang sudah dilakukan di daerah mulut
Perangkap lalat diletakan setiap hari selama masa pengamatan. Lalat yang
kepadatan lalat setiap harinya. Hasil pengukuran ini akan diperoleh angka
Fly trap adalah sebuang perangkap yang terdiri dari kawat kasa sebagai
penutup dan beralaskan kayu untuk menempatkan umpan, tutup kayu dengan
celah kecil dan sangkat di atas penutup. Celah berdiameter 2 cm antara pentup
yang berbentuk kerucut dengan puncak terbuka. Puncak terbuka tersebut untuk
c. Fly Grill
Fly grill adalah alat yang sederhana dan sering digunakan unuk mengukur
kepadatan lalat. Berdasarkan pada sifat lalat yang cenderung hinggap pada
tepi-tepi atau tempat yang berudut tajam dalam kurun waktu tertentu. Cara
kerja alat ini sederhana dalam pengukuran tingkat kepadatan lalat karena
41
dalam perhitungannya diperhatikan per block grill. Alat fly grill ini dapat
warna yang cenderung disukai lalat adalah warna kayu, putih dan warna
kuning
perkembangbiakan lalat
6-20 ekor : tinggi atau populasi cukup padat, perlu pengamanan terhadap
lalat
C. Kerangka Teori
lalat di rumah potong unggas akan tinggi jika limbah yang dihasilkan dari
pemotongan unggas di RPU tidak dikelola dengan baik dan sanitasi lingkungan tidak
pengangkutan limbah padat) dan limbah cair (perawatan saluran pembuangan air
limbah) dan sanitasi lingkungan yang tidak memenuhi persyaratan yaitu ketersediaan
42
tempat sampah dan ketersediaan saluran pembuangan air limbah serta sanitas tempat
potong yang buruk dapat menjadikan RPU sebagai salah satu tempat
Pengelolaan Limbah
Tempat Perindukan dan Angka Kepadatan
1. Penangangan limbah Sumber Makanan Lalat Lalat
Limbah Padat dan Limbah padat
Cair 2. Perawatan SPAL
A. Kerangka Konsep
potong unggas. Variabel independen yang akan diteliti ialah sanitasi lingkungan
Sanitasi Lingkungan
1. Ketersedian tempat sampah
2. Ketersediaan saluran
pembuangan air limbah
3. Sanitasi Tempat Pemotongan
Faktor Lingkungan
1. Suhu
2. Kelembaban
Bagan 3.1
Kerangka Konsep
44
45
B. Definisi Operasional
Tabel 3.1
Definisi Operasional
No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Skala Ukur Hasil Ukur
Variabel Dependen
1.Indikator
1 Angka Pengukuran Fly trap Ordinal 0 = Tinggi (Lebih
Rata-rata dari populasi lalat yang
Kepadatan Lalat kepadatan lalat dari sama dengan 21)
terdapat pada perangkap lalat (fly
1 = Rendah
trap) yang di letakan di lokasi
(Kurang dari 21)
pengukuran yaitu, tempat
(Kementrian
pemotongan, tempat penampungan
Kesehatan, 2014)
sampah dan tempat istirahat
petugas potong.
46
Variabel Independen
(FAO,1985)
persyaratan. rata-rata )
(FAO,1985) 1 = memenuhi
47
diatas rata-rata)
(Pebriyanti dan
Nirmala, 2017)
diatas rata-rata)
(Pebriyanti dan
Nirmala, 2017)
48
4.Sanitasi Tempat Usaha dalam menjaga kebersihan Wawancara dan Pedoman 0 = Buruk (bila
Potong tempat pemotongan dari limbah Observasi wawancara nilai dibawah rata-
(Pebriyanti dan
Nirmala, 2017)
o
5.Suhu Hasil pengukuran rata-rata kondisi Pengukuran Thermohygr Interval C
derajat celcius
unggas
49
C. Hipotesis
1. Ada hubungan antara perilaku pengelolaan limbah dengan kepadatan lalat Rumah
4. Ada hubungan antara sanitasi tempat potong dengan kepadatan lalat Rumah Potong
5. Ada hubungan antara suhu dengan kepadatan lalat Rumah Potong Unggas Kota
Depok
6. Ada hubungan antara kelembaban dengan kepadatan lalat Rumah Potong Unggas
Kota Depok
BAB IV
Metodologi Penelitian
A. Desain Penelitian
yaitu cross sectional study. Cross sectional study adalah penelitian yang mendesain
variabel akibat (dependen variabel) dalam satu waktu dimana keadaan yang diteliti
(suhu dan kelembaban). Untuk variabel depeden adalah indikator angka kepadatan
lalat.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli - September 2018 terhitung sejak
pengambilan data hingga laporan hasil. Adapun lokasi penelitian yang dipilih adalah
Populasi merupakan objek yang mungkin terpilih atau keselurahn ciri yang
potong unggas di Kota Depok pada tahun 2018. Jumlah populasi penelitian ini
adalah 12 rumah potong unggas. Penelitian ini menggunakan teknik total sampling,
dimana sampel penelitian ini merupakan seluruh anggota populasi. Hal ini
50
51
dikarenakan jumlah poplasi yang relatif kecil (Hermawanto, 2010). Sehingga jumlah
1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data penelitian ini bersumber dari data sekunder dan primer. Data
sekunder berupa lokasi rumah potong hewan dan tempat pemotongan hewan yang
berada di wilayah Kota Depok. Data primer yang digunakan adalah data mengenai
keberadaan lalat di tempat istirahat karyawan, keberadaan lalat pada tempat potong
dan keberadaan lalat di tempat penyimpanan sampah di setiap Rumah Potong Unggas
(RPU) di wilayah Kota Depok, data mengenai sanitasi lingkungan RPU, data
2. Pengolahan Data
benar dan berguna. Dalam proses pengolahan data, ada beberapa kegiatan yang
disunting atau dilakukan pengecekan terlebih dahulu. Jika masih ada data atau
informasi yang tidak lengkap maka dilengkapi segera atau data yang tidak
lengkap tetapi tidak mungkin dilakukan wawancara ulang maka data tersebut
dikeluarkan.
b. Coding ialah tahap dimana mengubah data berbentuk kalimat atau huruf
data
52
c. Entry atau Processing ialah tahap memasukan data dimana hasil data yang
menggunakan SPSS.
dari tahap cleaning ini ialah untuk melihat kemungkinan terjadinya kesalahan,
E. Instrumen Penelitian
1. Fly trap
Fly trap adalah perangkap lalat berbentuk kubus yang untuk mengukur
Memasukan fly trap yang sudah berisi umpan berupa udang busuk
Meletakan fly trap pada titik sampling yang telah ditentukan selama
titiknya
Hasil dari setiap titik dijumlahkan dan dicari rata-rata sehigga didapatkan
Tabel 4.1
Pengukuran Waktu
1 07.00 - 11.00
2 11.00 – 15.00
3 15.00 – 19.00
4 19.00 – 23.00
5 23.00 – 03.00
6 03.00 – 07.00
2. Lembar Checklist
Merupakan lembar berisi list objek yang harus diamati untuk mengetahui
3. Pedoman Wawancara
4. Thermohygrometer
dalam ruangan. Pengambilan sampel suhu dan kelembaban udara dalam ruangan
menaruh diatas meja atau digantung pada tempat yang ingin dikur suhu dan
kelembabannya.
tempat pengukuran.
Catat perubahan nilai dari suhu dan kelembaban ruangan tersebut setiap
F. Validasi Instrumen
dalam melakukan pengukuran. Uji validitas dilakukan pada subjek yang memiliki
karakterisik hampir sama dengan subjek penelitian yaitu petugas potong unggas.
Sampel pada uji validitas dalam penelitian ini ialah petugas potong unggas yang
terdapat di daerah Bekasi dan Bogor. Uji validitas dilakukan pada 20 orang
responden petugas potong unggas. Uji validitas yang dilakukan ialah uji validitas
muka. Validitas muka dilakukan dengan melihat muka responden apabila mengalami
kebingungan saat menjawab. Berdasarkan hasil uji validitas muka maka terdapat
satu item yang perlu dilakukan redaksi kata yaitu pada pertanyaan nomor pertama di
instrumen kuesioner.
55
G. Analisa Data
1. Analisis Univariat
kepadatan lalat.
2. Analisis Bivariat
normal dan menggunakan uji mann whitney apabila berdistribusi tidak normal.
limbah) dengan data kategorik ( angka kepadatan lalat) menggunakan uji chi
(CI = 95%). Bila P-Value ≤ 0,05 maka hasil perhitungan secara statistik
dependen, sedangkan jika P-value > 0,05 maka hasil perhitungan secara statistik
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini berlokasi di Rumah Potong Unggas (RPU) di Kota Depok. RPU
adalah bangunan yang kompleks dengan desain dan kontruksi bangunan khusus yang
memenuhi persyaratan teknis dan higiene tertentu serta digunakan sebagai tempat
2005). Pada penelitian ini terdapat 12 RPU yang tersebar di Kota Depok berdasarkan
dengan data yang terdapat di Dinas Pertanian Perikanan dan Ketahanan Pangan Kota
Depok.
Tabel 5.1
Lokasi Penelitian
57
58
Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 556 Tahun 1976 RPU Kota
dagingnya. Hal ini karena peredaran daging unggas pada RPU Kota Depok hanya
untuk kebutuhan Kota Depok. Distribusi unggas yang telah dipotong pada RPU
Kota Depok mayoritas ke pasar yang berada di Kota Depok tetapi ada pula yang
harinya RPU Kota Depok dapat memotong sebanyak 500-1000 ekor unggas. RPU
tradisional. Hanya terdapat dua RPU yang sudah menggunakan mesin dalam
2. Letak Geografis
Secara administratif luas wilayah Kota Depok ialah 20029 ha yang terdiri dari 11
106º55‟30‟‟ bujur timur. Bentang alam Kota Depok dari selatan ke utara merupakan
daerah dataran rendah dan perbukitan bergelombang Wilayah Kota Depok berbatasan
dengan tiga kabupaten dan satu provinsi diantaranya. (BPS Depok, 2016).
b. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Pondok Gede Kota Bekasi dan
B. Analisis Univariat
unggas di Kota Depok yang dilakukan dengan menggunakan alat fly trap.
Grafik 5.1
300
250
07.00-11.00
200
11.00-15.00
150 15.00-19.00
19.00-23.00
100 23.00-03.00
03.00-07.00
50
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
07.00 hingga 19.00 angka kepadatan lalat pada mayoritas RPU masih
tergolong tinggi. Pada pengukuran pukul 19.00 hingga 23.00 masih terdapat
60
beberapa RPU yang terdapat lalat seperti pada RPU 1,3,5,6 dan 8. Sedangkan
Tabel 5.2
Tinggi 7 58,3
Total 12 100
lalat tinggi dan 5 RPU (41,7%) memiliki angka kepadatan lalat rendah. Dari
tabel tersebut dapat dilihat bahwa lebih banyak RPU yang memiliki angka
Grafik 5.2
Identifikasi Lalat
600
500
400
Musca domestica
300 Sarcophaga sp
Chrysomya megacepha
200 Tiotal
100
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
61
pedoman wawancara
Tabel 5.3
Buruk 5 41,7
Total 12 100
perilaku pengelolaan limbah yang buruk. Dari tabel tersebut dapat dilihat
bahwa lebih banyak RPU yang memiliki perilaku pengelolaan limbah yang
baik.
62
Tabel 5.4
limbah pada RPU Kota Depok. Terdapat dua item pertanyaan yang mayoritas
pengelola RPU tidak melakukan yaitu item pembakaran bangkai unggas dan
tempat sampah, ketersediaan SPAL dan sanitasi tempat potong di RPU Kota
Tabel 5.5
ketersediaan tempat sampah yang tidak memenuhi syarat Dari tabel tersebut
dapat dilihat bahwa RPU yang memiliki ketersediaan tempat sampah yang
Tabel 5. 6
sampah yang memenuhi persyaratan pada RPU Kota Depok. Terdapat tiga
yang tidak mudah dibersihkan Hanya terdapat 1 RPU (16,7%) yang tidak
tempat sampahnya tertutup dan hanya terdapat 5 RPU (41,7%) yang tempat
Tabel 5.7
tidak memenuhi syarat Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa lebih banyak
Tabel 5.8
Ya Tidak
Item Ketersediaan SPAL
N % N %
Mempunyai saluran pembuangan air limbah 10 83,3 2 16,7
Kedap air (permanen disemen atau diubin) 10 83,3 2 16,7
Saluran air limbah cair tertutup 2 16,7 10 83,3
Aliran air limbah lancar 10 83,3 2 16,7
air limbah yang memenuhi syarat. Dari 4 item tersebut terdapat satu item
yang mayoritas RPU masih tidak memenuhi yaitu saluran air limbah yang
masih tidak tertutup. Hanya terdapat 2 RPU (16,7%) yang tidak memiliki
Tabel 5.9
Distribusi Sanitasi Tempat Pemotongan Unggas
Buruk 8 66,7
Total 12 100
tempat pemotongan unggas yang baik dan 8 RPU (66,7%) memiliki sanitasi
tempat pemotongan unggas yang buruk. Dari tabel tersebut dapat dilihat
bahwa lebih banyak RPU yang memiliki sanitasi tempat pemotongan unggas
yang buruk.
Tabel 5.10
Distribusi Item Pertanyaan terkait Sanitasi Tempat Potong
potong yang baik. Dari 8 item tersebut terdapat tiga item yang mayoritas RPU
67
a. Gambaran Suhu
Grafik 5.3
40
35
30
07.00-11.00
25
Suhu (0C)
11.00-15.00
20 15.00-19.00
15 19.00-23.00
23.00-03.00
10
03.00-07.00
5
0
RPU RPU RPU RPU RPU RPU RPU RPU RPU RPU RPU RPU
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
pengukuran 11.00 hingga 15.00 dan suhu terendah ialah pada pengukuran
Tabel 5.11
Distribusi Suhu
b. Gambaran Kelembaban
Grafik 5.4
Tren Kelembaban
90%
80%
70%
07.00-11.00
60%
11.00-15.00
50%
40% 15.00-19.00
30% 19.00-23.00
20% 23.00-03.00
10% 03.00-07.00
0%
RPU RPU RPU RPU RPU RPU RPU RPU RPU RPU RPU RPU
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Tabel 5.12
Distribusi Kelembaban
C. Analisis Bivariat
dengan variabel dependen. Uji yang digunakan untuk menganalisis hubungan antara
tempat sampah dengan angka kepadatan lalat, hubungan ketersediaan SPAL dengan
angka kepadatn lalat, hubungan sanitasi tempat pemotongan dengan angka kepadatan
suhu dengan angka kepadatan lalat menggunakan uji t-independen dan kelembaban
Lalat
dengan angka kepadatan lalat di RPU Kota Depok Tahun 2018 sebagai
berikut.
70
Tabel 5.13
pengelolaan limbah buruk dan memiliki angka kepadatan lalat tinggi yaitu 6
RPU (85,7 %). Sedangkan RPU yang perilaku pengelolaan limbahnya baik
dan memiliki angka kepadatan lalat tinggi yaitu 1 RPU ( 20%). Dari hasil uji
Lalat
dengan angka kepadatan lalat di RPU Kota Depok Tahun 2018 sebagai
berikut
Tabel 5.14
tempat sampah tidak memenuhi syarat dan memiliki angka kepadatan lalat
sampah memenuhi syarat dan memiliki angka kepadatan lalat tinggi yaitu 1
RPU (16,7%). Dari hasil uji stastistik diperoleh nilai P value sebesar 0,015
angka kepadatan lalat di RPU Kota Depok Tahun 2018 sebagai berikut
Tabel 5.15
tidak memenuhi syarat dan memiliki angka kepadatan lalat tinggi yaitu 4 RPU
memiliki angka kepadatan lalat tinggi yaitu 3 RPU ( 42,9%). Dari hasil uji
Hasil penelitian ini mengenai hubungan sanitasi tempat potong dengan angka
Tabel 5.16
N % N % N %
Buruk 7 87,5 1 12,5 8 100 0,010
Baik 0 0 4 80 4 100
potong buruk dan memiliki angka kepadatan lalat tinggi yaitu 7 RPU (87,5 %).
Sedangkan tidak terdapat RPU yang sanitasi tempat potong baik dan memiliki
angka kepadatan lalat tinggi Dari hasil uji stastistik diperoleh nilai P value
Hasil penelitian ini mengenai hubungan suhu dengan angka kepadatan lalat di
Tabel 5.17
Distribusi Angka Kepadatan Lalat Berdasarkan Suhu di RPU Kota Depok Tahun
2018
dengan standar deviasi 0,8855. Sedangkan dari 5 RPU yang memiliki angka
kepadatan lalat rendah diketahui rata-rata suhunya adalah 30.22 oC. Hasil uji
yang memiliki angka kepadatan lalat tinggi dengan RPU yang memiliki angka
Tabel 5.18
Tahun 2018
dengan standar deviasi 4,309. Sedangkan dari 5 RPU yang memiliki angka
dengan standar deviasi 4,980. Hasil uji statistik menujukan nilai p-value
lalat tinggi dengan RPU yang memiliki angka kepadatan lalat rendah.
BAB VI
PEMBAHASAN
A. Keterbatasan Penelitian
1. Desain studi yang digunakan dalam penelitian ini adalahdesain studi cross sectional
sehingga tidak dapat melihat hubungan sebab akibat. Tetapi,penelitian ini dapat
2. Pengukuran hanya dilakukan selama satu hari sehingga tidak bisa mengetehui
keefektifan pengendalian lalat dengan fly trap. Tetapi hanya untuk mengetahui
3. Pengukuran faktor lingkungan pada penelitian ini hanya suhu dan kelembaban tidak
sehingga bisa dilihat pada waktu berapa tingkat angka kepadatan lalat tinggi.
Lalat merupakan salah satu vektor mekanik yang seringkali ditemukan di sekitar
masyarakat. Penyakit yang dapat ditularkan oleh lalat diantaranya demam thypus,
kesehahatan lalat juga sebagai indikator sanitasi suatu tempat dan menganggu
Pada penelitian ini pengukuran angka kepadatan lalat menggunakan fly trap
dengan umpan udang busuk. Sesuai dengan WHO (1986), pengukuran angka
kepadatan lalat yang paling tepat pada tempat yang terdapat aktivitas manusia dan
76
77
unggas seperti rumah potong unggas ialah menggunakan fly trap . Sedangkan, pada
penelitian yang dilakukan oleh Nadeak et al., (2017) menyatakan bahwa bentuk fly
trap yang paling baik ialah bentuk kubus. Karena lalat menyukai sesuatu yang
berujung tajam. Untuk umpan yang paling baik ialah menggunakan udang yang telah
busuk.
Pengukuran angka kepadatan lalat dilakukan pada tiga titik tempat pemotongan
unggas, tempat penampungan sampah dan tempat istirahat petugas. Penetuan titik
karena pada titik tersebut penumpukan limbah terjadi sehingga ada kemungkinan
angka kepadatan lalat tinggi. Sedangkan untuk tempat istirahat petugas menjadi titik
pengukuran karena tingginya akivitas manusia pada tempat istirahat ini dan tempat
pemotongan unggas.
RPU yang diteliti terdapat 7 RPU (58,3%) yang memiliki angka kepadatan lalat
tinggi. Faktor yang mempengaruhi angka kepadatan lalat tinggi ialah terdapatnya
tempat perindukan lalat dan faktor lingkungan (Sigit dan Hadi, 2006). Tempat
perindukan lalat seperti sampah terutama sampah basah dan sampah organik seperti
sayur-sayuran, buah, sisaan pada daging hewan (darah, jeroaan dan tulang) dan
bangkai hewan. Selain itu, lalat juga dapat berkembang biak pada penumpukan
Bangunan RPU Kota Depok mayoritas masih tidak sesuai dengan persyaratan
yang telah ditentukan. Pada SNI (1999) menghimbau untuk RPU memiliki pintu yang
terpisah antara pintu keluar daging yang telah dipotong dengan pintu masuknya
78
unggas hidup. Tetapi, RPU Kota Depok Mayoritas masih tidak memiliki pintu yang
dapat menutup ruangan. Chaiwong et,al (2014) menyatakan bahwa bahwa lalat dapat
masuk melalui ventilasi seperti pintu dan jendela terbuka. Bangunan RPU Kota
Depok yang mayoritas masih semi terbuka karena tidak terdapat ventilasi seperti pintu
dan jendela sehingga dapat membantu lalat untuk masuk dengan mudah.
bahwa pada pukul 07.00 hingga 19.00 lalat dapat tertangkap dalam jumlah yang
banyak (dapat dilihat pada grafik 5.1). Hal ini karena lalat adalah hewan yang
fototropik sehingga pada siang hari lalat lebih aktif untuk mencari makan dan
berkembang biak.
anggotanya terdiri lebih dari 116.000 spesies di seluruh dunia. Berbagai jenis famili
yang penting antara lain adala Muscidae (berbagai jenis lalat rumah, lalat kandang,
lalat tanduk). Calliphoridae (berbagai jenis lalat hijau) dan Sarcophagidae (berbagai
jenis lalat daging) (Sigit dan Hadi,2006). Pada hasil penelitian ini teridentifikasi
beberapa jenis lalat yaitu, Musca domestica (lalat rumah), Sarcophaga sp (lalat blirik
atau lalat daging) dan Chrysomya megacepha (lalat hijau). Jenis lalat yang paling
banyak teridentifikasi ialah Musca domestica (lalat rumah). Penelitian yang dilakukan
oleh (Nurita et al., 2008) juga menyatakan bahwa lalat yang paling banyak ditemukan
di rumah potong unggas adalah Musca domestica (lalat rumah). Hal ini kemungkinan
karena letak 12 RPU di Kota Depok yang berada di kawasan pemukiman dimana
lalat rumah seringkali ditemukan di pemukiman. Ukuran lalat rumah berkisar antara 6
kesehatan masyarakat. Kontak antara manusia (pejamu) dan lalat (vektor) pada suatu
tempat dan waktu dapat mengetahui kemungkinan bahaya epidemi penyakit yang
akan ditularkan oleh lalat (vektor). Besar kontak antara vektor dan pejamu tergantung
kepada kebiasana lalat dalam mencari makan dan ketersediaan manusia (pejamu) pada
tempat dan waktu tersebut (Sumantri,2010). Lalat dapat menyebarkan patogen yang
berada di kaki dan sayapnya. Sehingga jika lalat hinggap di dalam makanan dan
kesehatan. (Dewi,2007)
Lalat tidak hanya mengganggu secara estetika tetapi yang lebih penting adalah
lalat sebagai vektor mekanis berbagai penyakit yang bersifat wabah. Bakteri yang
banyak mengkontaminasi lalat adalah E. coli, Klebsiella pneumoniae, dan Bacillus sp.
(Adenusi and Adewoga, 2013). Bakteri tersebut adalah bakteri yang dapat
penduduk yang tinggal berjarak 0-100 m dari RPU memiliki angka kepadatan lalat
tinggi sebesar 65,6%. Hal ini dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya masalah
India yang menyatakan angka kepadatan lalat di rumah tinggi adalah salah satu
Limbah yang terdapat di RPU terdiri dari limbah padat dan limbah cair. Limbah
padat ialah manur, bangkai unggas, sisa usus atau jeroan, bulu, tulang dan bagian
lainnya yang tidak sengaja ikut terbuang menjadi limbah yaitu kepala ayam dan lemak
yang tedapat di dalam rongga perut, ampela dan ekor. Sedangkan limbah cair ialah
darah ayam, proses pencelupan, pencucian ayam dan peralatan produksi (Erlita dan
Waridin,2007). Pengelolaan limbah yang baik adalah salah satu cara dalam
melakukan pengendalian terhadap lalat. Hal ini dapat mengurangi tempat-tempat yang
limbah yang dinilai pada penelitian ini dimulai dari pemisahan sampah, pengakutan
sampah, pemeliharaan SPAL dan pembersihan kotoran dan kandang atau keranjang
unggas.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa distribusi RPU yang memiliki perilaku
pengelolaan limbah yang baik diperoleh 7 RPU (58,3%), sedangkan terdapat 5 RPU
(41,7%) yang perilaku pengelolaan limbah yang masih buruk. Mayoritas pengelola
RPU telah melakukan pengelolaan limbah dengan cara yang benar. Tetapi terdapat
beberapa pengelolaan limbah yang masih buruk pada mayoritas RPU yaitu,
Hasil uji chi square pada penelitian ini menyatakan bahwa tidak terdapat
hubungan yang bermakna antara pengelolaan limbah dengan angka kepadatan lalat.
Terdapat RPU yang perilaku pengelolaan limbah buruk dan memiliki angka
limbahnya baik dan memiliki angka kepadatan lalat tinggi yaitu 1 RPU (20%).
81
Penelitian inisesuai dengan penelitian yang dilakukan (Masyudi, 2018) bahwa tidak
lembab. Tempat yang lembab dan bau busuk tersebutlah yang dapat mengundang lalat
sehingga angka kepadatan lalat akan tinggi. Pemisah sampah adalah salah satu cara
tempat sampah yang minim menjadi alasan penggabungan antara sampah organik dan
yaitu setiap 24 jam sekali sampah dari aktivitas RPU sudah diangkut. Metode
pengangkutan sampah yang dilakukan oleh RPU Kota Depok pun beragam seperti
diangkut langsung oleh Dinas Lingkungan Hidup Kota Depok, dijual kembali kepada
pihak ketiga, dan ada pula yang mengangkut sendiri dan membuangnya langsung ke
diberikan di kolam ikan (empang). Pengangkutan sampah yang rutin ini bertujuan
Salah satu sumber makanan lalat ialah sampah sisa dari aktivitas pemotongan unggas
seperti jeroan, bulu, kepala unggas dan lainnya. Penelitian yang dilakukan oleh
Pemusnahan bangkai unggas dilakukan dengan cara pembakaran dan tidak boleh
dijadikan pakan ikan.. Mayoritas pengelola RPU masih tidak mengelola bangkai
82
unggas sesuai dengan ketentuan. Bangkai unggas masih disatukan dengan limbah
lainnya dan dibuang pada tempat terbuka bahkan beberapa RPU menjadikan bangkai
unggas sebagai pakan untuk ikan (SNI,1999). Hanya terdapat 2 RPU di Kota Depok
bangkai unggas ini bertujuan untuk tidak mengjindari agar lalat tidak hinggap pada
bangkai unggas. Salah satu makanan lalat ialah bangkai hewan terutama unggas.
Gambar 6.1
Pengelolaan sampah (limbah padat) seperti sisa usus atau jeroan, bulu, tulang dan
bagian lainnya ada benarnya telah dikelola dengan baik tetapi untuk manur atau
melebihi dari dua minggu bahkan sampai dua bulan sekali. Hal yang menyebabkan
pengelola RPU tidak memedulikan perihal pembersihan kotoran unggas karena bau
83
yang dihasilkan tidak begitu mengganggu bagi mereka. Penumpukan kotoran unggas
adalah tempat perindukan yang paling disukai oleh lalat. Kelembaban (tidak terlalu
basah), tekstur (tidak terlalu padat) dan kesegaran dari manur unggas sangat sesuai
untuk menjadi tempat perindukan. Sedangkan untuk kotoran yang terdapat pada
keranjang unggas hanya di siram air sehingga ada kemungkinan masih menempelnya
saluran pembuangan air limbah harus diperhatikan sehingga aliran pembuangan dapat
mengalir lancar. Karena seringkali limbah padat seperti penumpukan bulu atau jeroan
unggas masuk kedalam saluran sehingga aliran tidak lancar dan dapat terjadi
genangan disekitar rumah potong. Genangan tersebut dapat menyebabkan bau dan
Sampah organik adalah salah satu tempat yang disukai lalat untuk berkembang
biak. Lalat betina menyimpan telurnya pada sampah organik yang telah membusuk
baik dari hewan maupun dari sayuran. Pada RPU, sampah organik adalah sisa dari
aktivitas pemotongan seperti jeroan unggas, bulu unggas manur unggas maupun
standar. Tempat sampah yang baik ialah tempat sampah yang berbahan kedap air,
kuat dan mudah dibersihkan. Tempat sampah pun sebaiknya tertutup sehingga tidak
menyababkan bau busuk. Peletakan tempat sampah juga sebaiknya yang mudah
84
dijangkau oleh petugas sehingga pembuangan sampah atau limbah padat mudah
tempat pembuangan sampah sementara (TPS) pada RPU perlu diperhatikan sehingga
sampah dapat dipindahkan dari tempat sampah yang sudah penuh ke TPS terlebih
dahulu sebelum diangkut ke tempat pembuangan akhir atau dikelola dengan cara
lainnya.
sampahnya tidak memenuhi syarat yaitu sebesar 6 RPU (50%). Mayoritas pada RPU
tempat pemotongan pun masih mayoritas masih tidak ada (41,7%), tempat sampah
yang tertutup dan mudah dibersihkanpun masih rendah (41,7%). Sedangkan, hasil uji
chi square menunjukan bahwa nilai P value sebesar 0,015 (p < 0,05) yang artinya
terdapat hubungan yang signifikan antara ketersediaan tempat sampah dengan angka
kepadatan lalat di suatu RPU. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Kwasi
Berdasarkan hasil observasi peneliti melihat bahwa ketersedian TPS di RPU tidak
beberapa RPU masih diperuntukan hanya untuk sampah kering seperti daun kering,
ranting daun, karung yang tidak lagi terpakai, dan sebagainya. Sedangkan, sampah
basah dari sisa aktivitas pemotongan tidak di tampung pada TPS tetapi diletakan pada
karung ataupun keranjang unggas yang dijadikan tempat sampah dan diletakan di luar
RPU. Untuk RPU yang tidak memiliki TPS, sampah basah seperti bulu maupun
sampah kering dibuang diluar RPU berdekatan dengan kali atau sungai sehingga bau
busuk dari sampah tersebut dapat menarik lalat. Hal ini sesuai dengan penelitian
85
kurang sedangkan mayoritas limbah yang dihasilkan pada RPU ialah pada aktivitas
karung. Keranjang unggas yang digunakan pada RPU ialah berbahan plastik sehingga
masih dapat dikategorikan berbahan kedap air. Tetapi, keranjang unggas tersebut tidak
tertutup dan terdapat banyak lubang sehingga memungkinkan sampah akan terjatuh
jika diangkut. Beberapa alasan RPU lebih memilih menggunakan keranjang unggas
untuk dijadikan tempat sampah karena mudah diangkat, mudah dibersihkan dan
memanfaatkan barang yang ada. Sedangkan, untuk RPU yang menggunakan karung
sebagai tempat sampah meskipun tertutup tetapi memiliki kekurangan karena tidak
kedap air dan tidak mudah dibersihkan. Bahan karung yang tidak kedap air ini dapat
membuat air lindi dari sampah menetes. Mayoritas RPU yang mengunakan karung
hanya digunakan sekali pakai saja sehingga tidak perlu membersihkan karung lagi.
memenuhi syarat ini menyebabkan masih adanya sampah yang berserakan pada RPU
Kota Depok. Berdasarkan hasil dari observasi bahwa hanya terdapat satu RPU (8,3%)
pengendalian lalat salah satunya ialah perbaikan sanitasi. Pada metode tersebut
bertujuan untuk mengurangi populasi dengan meminimalkan habitat larva lalat, yaitu
dengan cara mengurangi sumber. Pada RPU sumber dari habitat larva ialah sampah
dari hasil aktivitas pemotongan. Ketersediaan tempat sampah yang tidak memenuhi
syarat pada mayoritas RPU ini bisa diganti dengan kantong plastik yang dapat diikat
86
dengan rapat atau di tempat sampah dengan tutup rapat Penumpukan sampah dalam
keadaan suhu yang hangat dapat membantu mencegah lalat bertelur di sampah.
RPU memiliki sarana penanganan limbah. Untuk limbah cair dari proses pemotongan
Keputusan Mentri Kesehatan No 519 Tahun 2014 menyatakan bahwa SPAL untuk
tempat pemotongan ayam sebaiknya dapat mengalir dengan lancar, kedap air
(permanen terbuat dari semen atau ubin), tidak menimbulkan bau, saluran tertutup
atau terdapat grease trap atau (perangkap lemak) dan tidak menjadi tempat
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa distribusi RPU yang ketersediaan SPAL
memenuhi syarat sebanyak 7 RPU (58,3%) sedangkan yang tidak memenuhi syarat 5
RPU (41,7%). Mayoritas RPU sudah memiliki SPAL yang memenuhi syarat. Tetapi,
mayoritas masih terdapat SPAL yang tidak tertutup atau tidak terdapat grease trap
(16,7%). Sedangkan untuk persyaratan lainnya seperti kepemilikan, kedap air dan
Berdasarkan hasil uji chi square menunjukan bahwa nilai P value sebesar 0,293
(p < 0,05) yang artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara ketersediaan
SPAL dengan angka kepadatan lalat di suatu RPU. Hal ini tidak sesuai pada
penelitian yang dilakukan oleh Collinet-Adler et al., (2015), ditemukan bahwa angka
buangan sisa pencucian dari aktivitas RPU dan darah dari pemotongan unggas. Air
limbah yang dialiri dari saluran pembuangan tersebut akan diolah pada Instalasi
Pengolahan Air Limbah (IPAL). Akan tetapi, kepemilikan IPAL pada mayoritas RPU
masih tidak ada sehingga pembuangan air limbah dari saluran tersebut langsung
dibuang ke sungai atau kali di samping RPU. Dimana letak kedua belas RPU Kota
Depok berada di dekat sungai ataupun kali. Hal ini tidak sesuai dengan SNI (1999),
menyatakan bahwa RPU tidak boleh di dirikan di dekat sungai atau kali. Metode
pembuangan langsung ke sungai atau kali ini dianggap metode paling mudah dalam
Kondisi SPAL yang bersifat permanen (disemen ataupun dengan ubin) tidak
terbuat dari tanah bertujuan untuk menghindari kontaminasi langsung air limbah
terhadap tanah. Mayoritas RPU di Kota Depok pun sudah memenuhi persyaratan ini
tetapi ukuran diameter saluran yang masih tergolong kecil. Sehingga terdapat
kemungkinan air limbah masih dapat meluap dari saluran dan mengotori lantai RPU.
Genangan air limbah pada RPU ini dapat menyebabkan bau sehingga mengundang
lalat.
Saluran pembuangan air limbah pada mayoritas RPU masih terbuka dan tidak
terdapat grease trap sehingga limbah padat dapat terperangkap di saluran. Akan
tetapi, berdasarkan hasil observasi bahwa SPAL di RPU masih dapat mengalir lancar
meskipun tidak tertutup ataupun tidak terdapat grease trap. Hal ini karena perilaku
perawatan saluran pembuangan yang rutin dilakukan oleh pengelola RPU sehingga
Ketersediaan saluran pembuangan air limbah pada RPU ada benarnya telah
hanya terdapat di pinggir tempat pemotongan saja sehingga masih terdapat genangan
darah dan limbah sisa aktivitas pemotongan lainnya seperti pencucian pisau.
Sehingga, angka kepadatan lalat pada tempat pemotongan pada beberapa RPU masih
baik.
Perilaku pengelolaan limbah yang baik serta ketersediaan tempat sampah dan
melindungi kebersihan lingkungan dari subjeknya (Depkes RI,2014). Maka dari itu,
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa distribusi RPU yang sanitasi tempat
potong baik diperoleh 4 RPU (33,3%) dan sanitasi tempat potong buruk diperoleh 8
RPU (66,7%). Mayoritas RPU masih memiliki sanitas tempat potong yang buruk.
Terdapat beberapa hal indikator sanitasi yang kurang seperti pemberian desinfektan
pada tempat potong dan peralatan serta masih terdapatnya limbah padat maupun
Dari hasil uji stastistik diperoleh nilai P value sebesar 0,010 artinya pada tingkat
dengan angka kepadatan lalat. Hal ini sesuai dengan penelitian dari Candra et, al
89
(2016) yang menyatakan bahwa sanitasi tempat terdapat hubungan dengan angka
kepadatan lalat.
Sanitasi tempat potong yang baik pada RPU dilakukan dengan cara melakukan
pembersihan pada tempat potong dan peralatan serta pemberian desinfektan sehingga
tidak akan terdapat limbah pada tempat potong maupun peralatan pemotongan.
dan benar untuk menghilangkan kotoran yang terlihat secara fisik seperti darah dan
bulu. Pembersihan dapat dilakukan dengan cara fisik dengan menggosok misalnya,
cara kimia dengan menggunakan deterjen dan zat-zat yang bersifat asam atau basa,
dengan cara menyikat pada tempat potong (83,3%) dan peralatan (91,7) mayoritas
sudah sesuai. Akan tetapi untuk pemberian desinfektan pada tempat potong maupun
pada peralatan masih kurang.Hanya terdapat 5 RPU (41,7%) yang sudah melakukan
desinfektan pada tempat pemotongan dan hanya terdapat 3 RPU (25%) . Tujuan dari
dilakukannya pemberian desinfektan pada RPU ialah usaha untuk mengurangi jumlah
mikroorganisme yang hidup, tetapi pada umumnya tidak dapat membunuh spora
konsumen.
Disain dan kontruksi bangunan di RPU harus sesuai dengan tujuan penggunaan
serta mudah untuk dirawat dan mudah dibersihkan. Lantai harus kedap air, tidak licin,
rata, tidak berlubang atau tidak retak, kuat menahan beban, serta landai ke arah
pada kenyataannya terdapat beberapa RPU yang lantai bangunannya tidak terbuat dari
keramik sehingga tidak kedap air dan licin. Lantai hanya menggunakan semen dan
terdapat banyak lubang sehingga seringkali terdapat genangan air di lubang tersebut.
Lantai bangunan yang tidak sesuai ini yang menyebabkan pemeliharaan dan
sudah dilakukan tetapi masih tersisa limbah padat maupun limbah cair yang terdapat
di tempat pemotongan. Hal ini mengundang lalat untuk hadir di tempat pemotongan
Berdasarkan SNI (1999) RPU memiliki daerah bersih dan daerah. Kedua daerah
tersebut dibuat terpisah antara daerah bersih (clean area) dan daerah kotor (dirty
area). Daerah kotor ialah daerah tempat untuk melakukan aktivitas pemotongan dari
penurunan unggas sampai penanganan jeroan. Sedangkan untuk daerah bersih lebih
dan bersih ini untuk menghindari kontaminasi bakteri terhadap daging unggas
(Kementan,2005). Akan tetapi, RPU di Kota Depok sebagian besar masih RPU
tempat potong sehingga daerah bersih dan daerah kotor tidak terpisah Pada penelitian
Komba et al., (2012) menyatakan bahwa lalat dapat menyebarkan bakteri E.colli dan
Salmonela pada daging unggas karena sanitasi tempat potong yang buruk. Maka dari
itu, pentingnya menjaga sanitasi tempat potong sehingga daging unggas dapat Aman
mempengaruhi jumlah lalat yang tertangkap pada fly trap (Tahir. dkk, 2008). Lalat
mulai aktif terbang pada suhu 150 C dan jumlah lalat akan semakin tinggi jika suhu
disekitarnya 200 C- 250 C dan akan berkurang jumlahnya pada temperatur <100C
dan pada 7,50 C lalat sudah tidak aktif dan pada diatas atau > 490 C terjadi kematian
lalat (Kemenkes RI,2008). Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Ihsan
Pada tabel 5.6 diketahui bahwa rata-rata suhu RPU Kota Depok ialah 30,74oC.
32,1oC. Hasil uji statistik menujukan tidak terdapat hubungan bermakna rata-rata
suhu antara RPU yang memiliki angka kepadatan lalat tinggi dengan RPU yang
memiliki angka kepadatan lalat rendah. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Susilowati (2017) bahwa suhu tidak mempengaruhi terhadap angka
kepadatan lalat.
(Jaal, 2009) menyatakan bahwa lalat lebih menyukai daerah tropis karena suhu
yang hangat yaitu 250C hingga 350C khususnya pada tempat yang terdapat unggas
seperti peternakan dan tempat potong karena terdapat sumber makanan lalat yaitu
kotoran unggas. Suhu bukanlah faktor iklim utama yang mempengaruhi fluktuasi
populasi lalat karena suhu tidak mengalami perbahan yang signifikan sepanjang
tahun. Pada hasil pengukuransuhu di RPU Kota Depok pun tidak terdapat perbedaan
yang sangat signifikan. RPU yang memiliki angka kepadatan lalat tinggi memiliki
92
rata-rata suhu 30,6oC. Sedangkan, RPU yang memiliki angka kepadatan lalat rendah
memiliki rata-rata suhu 31oC. Pengukuran pada penelitian ini dilakukan pada bulan
Juli pada bulan ini Kota Depok masih musim kemarau (BMKG,2018). Angka
kepadatan lalat lebih tinggi pada musim panas dibandingkan pada musim
dingin(Ngoen-klan et al., 2011) Faktor lain yang mempengaruhi angka kepadatan lalat
Pada pengukuran kedua dan ketiga (07.00-11.00 dan 11.00-15.00), lalat yang
tertangkap pada fly trap lebih banyak dibandingkan pengukuran pada waktu lainnya
yang memiliki suhu lebih rendah. Pada waktu tersebut suhu bumi mengalami
peningkatan sehingga suhu di RPU pun menjadi lebih tinggi dibandingkan pada waktu
lainnya. Rata-rata bangunan RPU Kota Depok yang tidak memiliki jendela dan pintu
sehingga tidak ada pengaturan suhu di dalam ruangan. Berdasarkan SNI (1999), suhu
ruangan di rumah potong unggas maksimum adalah 35oC. Penghalang fisik berupa
kawat kasa pada pintu, jendela serta lobang angin dan membuat pintu dua lapis selain
dapat mencegah lalat masuk juga dapat mengatur suhu dalam ruangan tempat
pemotongan.
Saat ini perubahan suhu di dunia mengalami perubahan yang drastis. Perubahan
suhu di dunia saat ini adalah salah satu dampak dari pemanasan global dan perubahan
iklim. Keadaan ini dapat memicu perubahan kehidupan biologis berbagai agen
patogen seperti virus, bakteria, parasiter atau kapang, berbagai spesies hewan dan
berbagai vektor seperti lalat. Pada sebuah studi baru-baru ini mengidentifikasi bahwa
peningkatan suhu yang terkait dengan perubahan iklim yang diperkirakan akan secara
al., 2013)
93
Kelembaban adalah kandungan uap air yang terdapat di rumah potong unggas.
setiap 4 jam sekali. Kelembaban berhubungan erat dengan suhu setempat, jika
kelembaban rendah maka suhu tinggi dan jika kelembaban tinggi maka suhu rendah.
Lalat akan mencapai kondisi fisik optimum pada suhu tinggi dan kelembaban yang
rendah. (Chandra, 2007). Kondisi lingkungan dengan kelembaban yang rendah sangat
Pada tabel 5.7 diketahui bahwa rata-rata kelembaban RPU Kota Depok ialah
mencapai 69% . Hasil uji statistik menujukan tidak terdapat hubungan bermakna
rata-rata kelembaban antara RPU yang memiliki angka kepadatan lalat tinggi dengan
RPU yang memiliki angka kepadatan lalat rendah RPU yang memiliki angka
kepadatan lalat tinggi memiliki rata-rata kelembaban. 66,13%. Sedangkan, RPU yang
terhadap angka kepadatan lalat. Seperti dengan suhu, kelembaban juga kurang
tergambar karena tidak ada perbedaan signifikan disetiap waktu dan tempatnya.
Lalat aktif pada suasana kelembaban antara 45% sampai dengan kelembaban
yang paling optimal yaitu 90% sesuai dengan kebutuhan hidup lalat (Kemenkes
korelasi negatif antara lalat dengan kelembaban. Semakin kelembaban tinggi maka
angka kepadatan lalat semakin rendah Pada pengukuran malam hari sedari pukul
19.00 hingga 03.00 lalat yang tertangkap pada fly trap cenderung tidak ada. Pada
hasil penelitian Ngoen-klan et al., (2011) terdapat beberapa tempat yang faktor
lingkungan (suhu dan kelembaban) tidak terlalu mempengaruhi angka kepadatan lalat
salah satunya ialah pemukiman penduduk. Hal ini karena pemukiman adalah
F. Kajian Keislamaan
Lalat adalah serangga bersayap dua yang termaksud kedalam dari ordo
diptera. Pada Al-Quran lalat disebutkan sebanyak dua kali. Salah satunya ialah pada
pada penggalan surat Al-Hajj ayat 73 Allah menjadikan lalat sebagai perumpamaan.
ٌَُْ َّإِ ْى ٌَ ْسلُ ْجُِ ُن ال ُّرثَبةُ َش ٍْئًب ََل ٌَ ْستَ ٌْقِ ُرٍُّ ِه
Artinya : Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat
Pada penggalan ayat tersebut lalat menjadi perumpamaan karena seringkali lalat
dianggap sebagai serangga yang lemah sehingga manusia menyepelekan lalat padahal
apa yang sudah diambil lalat tidak akan dapat direbut kembali. Seiring perkembangan
sains modern diketahui bahwa lalat dapat menuturkan kekuatan enzim yang luar
biasa dalam proses pencernaan. Ketika lalat mengambil sesuatu di makanan lalat akan
mengeluarkan getah khusus yang berasal dari air liurnya. Lalu dengan kecepatan
tinggi mencapai sepersekian detik getah tersebut akan tercampur dengan makanan
sehingga lalat akan mudah menyerapnya. Dari kelebihan lalat tersebut, sains pun
Selain ayat tersebut terdapat pula hadist Nabi yang menerangkan mengenai
kelebihan tersebut
ِ إِ َذا َّقَ َع ال ُّرثَبةُ فِ ًْ إًَِب ِء أَ َح ِد ُك ْن فَ ْلٍَ ْغ ِو ْسَ ُ فَإًِأ َ َح ِد َجٌَب َح ٍْ َِ دَا ًء َّفِ ًْ اَخ: ً قَب َل
َّ َس ِش
ف َّ ِس أَ َّى الٌَّج
ٍ ًَََع ْي أ
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda : “Jika ada lalat jatuh ke
dalam minuman salah satu seorang di antara kamu, maka benamkanlah lalat itu lalu
buanglah. Sebab, pada salah satu lalatnya terdapat penyakit, dan pada satunya lagi
Pada buku karya Nadiah Thayyarah (2014) menjelaskan bahwa apabila seekor
lalat hinggap di atas minuman atau makanan tubuhnya miring ke kiri maka akan
seluruh tubuhnya kedalam air, maka lalat merasa berada dalam bahaya. Sehingga ia
akan melepaskan antibiotik terhadap bakteri dan parasit yang telah dilepaskan
sehingga antibiotik tersebut membunuh bakteri dan parasit yang telah masuk ke dalam
minuman.
Meskipun lalat memiliki obat pada dirinya tetapi manusia tetap dianjurkan untuk
tidak menggap permasalahan lalat adalah hal yang kecil. Karena lalat dapat
menularkan lebih dari 30 jenis kuman penyakit dan membawa sekitar 5 juta pada
tubuhnya dan hidup diatas kotoran. Thayyarah (2014) menyataan bahwa obat dalam
tubuh lalat tidak selalu ada tetapi penyakit dalam tubuh lalat selalu ada sehingga
Angka kepadatan lalat di suatu tempat tergolong tinggi maka perlu adanya
pengendalian lalat. Salah satu cara pengendalian lalat bisa dengan perbaikan
tidak menjadi tempat perkembang biakan lalat (Kemenkes, 2004). Islam adalah
96
agama yang mengajarkan kebersihan. Islam sangat peduli dengan kebersihan manusia,
kebersihan rumah, kebersihan jalan, kebersihan masjid dan yang lainnya. Bahkan
pengelolaan sampah untuk mencegah kerusakan lingkungan. Salah satu hadis yang
ٍف ٌُ ِحتُّ الٌَّظَبفَةَ َك ِسٌ ٌن ٌُ ِحتُّ ْال َك َس َم َج َْا ٌد ٌُ ِحتُّ ْالجُْ َد فٌََظُُِّْا أَ ْفٌٍَِتَ ُك ْن َ ٍََّّللاَ طٍَِّتٌ ٌ ُِحتُّ الط
ٌ ِّت ً َِظ َّ إِ َّى
Artinya : ”Sesungguhnya Allah Ta‟ala itu baik (dan) menyukai kebaikan, bersih
(dan) menyukai kebersihan, mulia (dan) menyukai kemuliaan, bagus (dan) menyukai
kebersihan pada diri manusia sendiri kebersihan lingkungan harus dijaga dan
dipelihara. Dalam fatwa tersebut MUI merekomendasikan pada pelaku usaha untuk
Maka dari itu, memperhatikan sanitasi tempat pemotongan unggas adalah salah satu
Rumah Potong Unggas (RPU) adalah bangunan yang kompleks dengan desain
dan kontruksi bangunan khusus yang memenuhi persyaratan teknis dan higiene
potong unggas ialah harus sesuai dengan syariat Islam Pada Surat Al-An‟ aam ayat
121 menjelaskan bahwa pemotongan hewan untuk dikonsumsi manusia harus dengan
ق ۗ َّإِ َّى ال َّشٍَب ِطٍيَ لٍَُْحُْىَ إِلَ ٰى أَّْ لٍَِبِِ ِِ ْن لٍُِ َجب ِدلُْ ُك ْن َّإِ ْى أَطَ ْْتُ ُوُْ ُ ْن إًَِّ ُك ْن َّ َّ ََل تَأْ ُكلُْا ِه َّوب لَ ْن ٌ ُْر َك ِس ا ْس ُن
ٌ َّللاِ َعلَ ٍْ َِ َّإًََُِّ لَُِ ْس
َلَ ُو ْش ِس ُكْى
Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah
mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu
Dari paparan diatas dapat dikatakan bahwa menjaga lingkungan dalam kasus ini
ialah rumah potong unggas adalah salah satu cara untuk terhindar dari penyakit yang
dapat disebabkan oleh lalat. Menjaga lingkungan ini dapat di lakukan dengan
pengelolaan limbah yang baik di RPU dengan memenuhi sanitasi lingkungan sesuai
A. Simpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terkait angka kepadatan lalat berdasarkan
1. Distribusi angka kepadatan lalat di RPU Kota Depok mayoritas tinggi yaitu 7
RPU (58,3%) yang memiliki angka kepadatan lalat kategori tinggi (>21 ekor).
limbah baik.
(50%), ketersedian SPAL yang memenuhi syarat sebanyak 7 RPU (58,3%), dan
4. Faktor lingkungan yang diukur ialah suhu di RPU Kota Depok tahun 2018 rata-
rata 30,74o C. Sedangkan rata-rata kelembaban di RPU Kota Depok tahun 2018
ialah 65%.
RPU dengan angka kepadatan lalat di RPU Kota Depok Tahun 2018 (p value
0,072)
Kota Depok Tahun 2018 yakni ketersediaan tempat sampah (p value 0,015) dan
98
99
7. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antra suhu dan kelembaban di RPU
B. Saran
1. Bagi Rumah Potong Unggas
1,2,3,5,6,8, 9 dan 12
dan bangkai ungggas sehingga tidak menarik lalat untuk datang. Khususnya
dan 12
RPU di Kota Depok terkait pengelolaan limbah baik sarana sanitasi (tempat
100
sampah dan SPAL) dan sanitiasi tempat pemotongan sesuai dengan yang
telah ditetapkan
pencahayaan
gambaran angka kepadatan lalat hal ini juga sebagai bentuk pengendalian
lalat di RPU.
101
DAFTAR PUSTAKA
Alexander, K.A., Carzolio, M., Goodin, D., Vance, E., 2013. Climate Change Is Likely To
Worsen The Public Health Threat Of Diarrheal Disease In Botswana. Int. J. Environ.
Res. Public. Health 10, 1202–1230.
Al-Shami, S.A., Panneerselvam, C., Mahyoub, J.A., Murugan, K., Naimah, A., Ahmad,
N.W., Nicoletti, M., Canale, A., Benelli, G., 2016. Monitoring Diptera Species Of
Medical And Veterinary Importance In Saudi Arabia: Comparative Efficacy Of Lure-
Baited And Chromotropic Traps. Karbala Int. J. Mod. Sci. 2, 259–265.
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika. 2019. Perkiraan Musim Kemarau Tahun
2018 di Indonesia.
Badan Pusat Statistik Jawa Barat. 2016. Provinsi Jawa Bara Dalam Angka 2016
Bello, Y.O., Oyedemi, D.T.A., 2009. The Impact Of Abattoir Activities And Management In
Residential Neighbourhoods: A Case Study Of Ogbomoso, Nigeria. J. Soc. Sci. 19, 121–
127.
Candra, A., Tang, U.M., Nazriati, E., 2016. Analisis Sanitasi Dan Strategi Pengendalian Lalat
Di Pelabuhan Kawasan Industri Dumai (Kid) Pelintung. J. Ilmu Lingkung. 10, 162–
178.
Collinet-Adler, S., Babji, S., Francis, M., Kattula, D., Premkumar, P.S., Sarkar, R., Mohan,
V.R., Ward, H., Kang, G., Balraj, V., 2015. Environmental Factors Associated With
High Fly Densities And Diarrhea In Vellore, India. Appl. Environ. Microbiol. AEM–
01236.
Dogra, V., Aggarwal, A.K., 2010. Association Of Poultry Farms With Housefly And
Morbidity: A Comparative Study From Raipur Rani, Haryana. Indian J. Community
Med. Off. Publ. Indian Assoc. Prev. Soc. Med. 35, 473–477.
Https://Doi.Org/10.4103/0970-0218.74342
Ertlita, Dila Cahya Dan Waridin. 2007. Pengelolaan Dampak Limbah Pemotongan Ayam
Dan Dampaknya Terhadap Masyarakat Sekitar. Universitas Diponegoro
102
Erwan, A., 2008. Higienitas Perspektif Hadis: Kajian Hadis-Hadis Tentang Kebersihan
Makanan, Sumber Air, Rumah Dan Jalanan.
Hermawanto, Hery. 2010. Biostatistika Dasar. Jakarta Timur : Trans Info Media.
Ihsan, Iif Miftahul.2013. Pengaruh Suhu Udara Terhadap Perkembangan Pradewasa Lalat
Rumah (Musc Domestica). Institut Pertanian Bogor
Iskandar, I., Rwanda, T. And Nadeak, E.S.M., 2015. Efektifitas Variasi Umpan Dalam
Penggunaan Fly Trap Di Tempat Pembuangan Akhir Ganet Kota
Tanjungpinang. Andalas Journal Of Public Health, 10(1).
Jaal, Z., 2009. Temporal Changes In The Abundance Of Musca Domestica Linn (Diptera:
Muscidae) In Poultry Farms In Penang, Malaysia. Trop. Biomed. 26, 140–148.
Kasiono, A.M., Umboh, J.M., Boky, H., 2016. Hubungan Antara Sanitasi Dasar Dengan
Tingkat Kepadatan Lalat Di Rumah Makan Pasar Tuminting Kota Manado. Ikmas 8.
Kementrian Kesehatan RI. 2003. Keputusan Menteri Kesehatan No 1098 Tahun 2003
Tentang Persyaratan Hygiene Sanitasi Rumah Makan Dan Restoran
Kementrian Kesehatan RI. 2008. Keputusan Mentri Kesehatan No. 519 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Pasar Sehat
Kementrian Kesehatan. 2011. Peraturan Menteri Kesehatan No. 1077 Tentang Pedoman
Penyehatan Udara Dalam Ruang Rumah
Kementrian Pertanian. 2005. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 381 Tahun 2005 Tentang
Pedoman Sertifikasi Kontrol Veteriner Unit Usaha Pangan Asal Hewan
Kementrian Pertanian RI. 2010. Peraturan Mentri Pertanian No 13 Tahun 2010 Tentang
Persyaratan Rumah Potong Hewan Ruminansia Dan Unit Penanganan Daging (Meat
Cutting Plant)
103
Kementrian Pertanian RI. 2010. Produksi Dan Penanganan Daging Ayam Yang Higienis
Kurniawan, Habib Alfa Eni. 2013. Studi Deskriptif Tingkat Kepadatan Lalat Di Pemukiman
Sekitar Rumah Pemotongan Unggas (RPU) Penggaron Kelurahan Penggaron Kidul
Kecamatan Pedurungan Kota Semarang. Universitas Negeri Semarang
Komba, Erick VG, Komba, Ewaldo V., Mkupasi, E.M., Mbyuzi, A.O., Mshamu, S., Mzula,
A., Luwumba, D., 2012. Sanitary Practices And Occurrence Of Zoonotic Conditions In
Cattle At Slaughter In Morogoro Municipality, Tanzania: Implications For Public Health.
Tanzan. J. Health Res. 14.
Lestari, Y., Nirmala, F., 2017. Analisis Dampak Kepadatan Lalat, Sanitasi Lingkungan Dan
Personal Higiene Terhadap Kejadian Demam Tifoid Di Pemukiman Uptd Rumah
Pemotongan Hewan (Rph) Kota Kendari Tahun 2017. J. Ilm. Mhs. Kesehat. Masy. 2.
Manalu, M., Marsaulina, I., Ashar, T., 2012. Hubungan Tingkat Kepadatan Lalat (Musca
Domestica) Dengan Kejadian Diare Pada Anak Balita Di Pemukiman Sekitar Tempat
Pembuangan Akhir Sampah Namo Bintang Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli
Serdang Tahun 2012. Lingkung. Dan Keselam. Kerja 2.
Masyudi, M., 2018. Pengaruh Sanitasi Dasar Terhadap Kepadatan Lalat Pada Warung Nasi
Dan Kantin (Studi Kasus Di Kecamatan Tangan-Tangan Kabupaten Aceh Barat Daya).
Maj. Kesehat. Masy. Aceh Makma 1.
Majelis Ulama Indonesia. 2014. Fatwa Pengelolaan Sampah Untuk Mencegah Kerusakan
Lingkungan. Diakses Dari Https://Mui-Lplhsda.Org/Fatwa-Majelis-Ulama-Indonesia-
Nomor-47-Tahun-2014-Tentang-Pengelolaan-Sampah-Untuk-Mencegah-Kerusakan-
Lingkungan/ Pada 15 Agustus 2018
Moses Laksono S. Dan Mera Kariana. 2010. “Peningkatan Produktivitas Dan Kinerja
Lingkungan Dengan Pendekatan Green Productivity Pada Rumah Pemotongan Ayam”.
Jurnal Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya
Penggunaan Fly Trap Di Tempat Pembuangan Akhir Ganet Kota Tanjungpinang. J.
Kesehat. Masy. Andalas 10, 82–86.
Nadeak, E.S.M., Rwanda, T., Iskandar, I., 2017. Efektifitas Variasi Umpan Dalam
Naik, K.S., Stenstrom, M.K., 2012. Evidence Of The Influence Of Wastewater Treatment On
Improved Public Health. Water Sci. Technol. 66, 644.
104
Nida, Kotrun. 2014. Hubungan Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Dengan Daya Tarik
Vektor Musca Domestica (Lalat Rumah) Dengan Risiko Diare Pada BADUTA Di
Kelurahan Ciputat Tahun 2014. Universitas Islam Negeri Jakarta
Ngoen-Klan, R., Moophayak, K., Klong-Klaew, T., Irvine, K.N., Sukontason, K.L., Prangkio,
C., Somboon, P., Sukontason, K., 2011. Do Climatic And Physical Factors Affect
Populations Of The Blow Fly Chrysomya Megacephala And House Fly Musca
Domestica? Parasitol. Res. 109, 1279–1292.
Nurita, A.T., Abu Hassan, A., Nur Aida, H., 2008. Species Composition Surveys Of
Synanthropic Fly Populations In Northern Peninsular Malaysia. Trop. Biomed. 25, 145–
153.
Pebriyanti, I.R., Nirmala, F., 2017. Vol. 2/No. 6/Mei 2017; Issn2502-731x, Identifikasi
Kepadatan Lalat Dan Sanitasi Lingkungan Sebagai Vektor Penyakit Kecacingan Di
Pemukiman Sekitar Rumah Pemotongan Hewan (Rph) Kota Kendari Tahun 2017. J. Ilm.
Mhs. Kesehat. Masy. 2.
Purnomo, H.P., 2005. Identifikasi Jenis Dan Kepadatan Lalat Di Kandang Peternakan Ayam
Desa Serdang Kecamatan Tanjung Bintang Kabupaten Lampung Selatan Species (Phd
Thesis). Diponegoro University
Savithra, Wahyu Khairani. 2018. Analisis Higiene Sanitasi, Tingkat Pengetahuan Pengelola
Dan Kadar Timbal Pada Daging Bebek Di Tempat Potong Unggas Tahun 2017.
Universitas Sumatera Utara Medan
Sumantri, Arif. 2010. Kesehatan Lingkungan dan Perspektif Islam. Jakarta;Pranada Media
Group
Tanjung, N., 2017. Efektifitas Berbagai Bentuk Fly Trap Dan Umpan Dalam Pengendalian
Kepadatan Lalat Pada Pembuangan Sampah Jalan Budi Luhur Medan Tahun
2016. Pannmed, 11(3), P.217
105
Thayyarah, Nadia. 2014. Buku Pintar Sains Dalam Al-Quran. Jakarta; Zaman
Yunita, Lestari Dkk . 2017. Analisis Dampak Kepadatan Lalat, Sanitasi Lingkungan Dan
Personal Higiene Terhadap Kejadian Demam Tifoid Di Pemukiman Uptd Rumah
Pemotongan Hewan (RPH) Kota Kendari Tahun 2017. Universitas Halu Oleo
World Health Organization,1986. Vector Control Series The Housefly Training And
Information Guide
106
LAMPIRAN
107
KUESIONER PENELITIAN
Saya Saffanah Nuriyah, mahasiswa Fakultas Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta Program Studi Kesehatan Masyarakat saat ini sedang melakukan penelitian skripsi
dengan judul
Depok,......Juli 2018
Responden
(.....................................)
108
Identitas Responden :
Nama Petugas :
No. Hp :
Alamat RPU :
Tanggal Wawancara :
Jumlah unggas potong/ hari :
LEMBAR OBSERVASI
1. Lokasi Pengamatan :
2. Waktu Pengukuran :
Pengukuran 1 :
Pengukuran 2 :
Pengukuran 3 :
Pengukuran 4 :
Pengukuran 5 :
Pengukuran 6 :
3. Lingkungan Fisik
P-1 P-2 P-3 P-4 P-5 P-6
Temperatur
Kelembaban
4. Hasil Pengamatan
Titik P-1 P-2 P-3 P-4 P-5 P-6 Total
(N)
Tempat istirahat
petugas potong
Tempat pemotongan
Tempat
Pembuangan
Sampah Sementara
Kat_lalat
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Statistics
PengelolaanLimbah
N Valid 12
Missing 0
PengelolaanLimbah
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
TempatSampah
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
D. Ketersediaan SPAL
SaluranLimbah
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Tempat_potong
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
F. Suhu
Statistics
Rata_Suhu
N Valid 12
Missing 0
Mean 30,742
Median 30,767
a
Mode 29,4
Std. Deviation ,9016
Minimum 29,4
Maximum 32,1
G. Kelembaban
Statistics
Rata_Lembab
N Valid 12
Missing 0
Mean 65,00
Median 67,00
Mode 69
Std. Deviation 4,390
Minimum 58
Maximum 69
Cases
PengelolaanLimbah *
12 100,0% 0 0,0% 12 100,0%
Kat_lalat
Kat_lalat
Total Count 7 5 12
Chi-Square Tests
a. 4 cells (100,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,08.
b. Computed only for a 2x2 table
Kat_lalat
Chi-Square Tests
a. 4 cells (100,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,50.
b. Computed only for a 2x2 table
Kat_lalat
Chi-Square Tests
a. 4 cells (100,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,08.
b. Computed only for a 2x2 table
Kat_lalat
Baik Count 0 4 4
Chi-Square Tests
a. 4 cells (100,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,67.
b. Computed only for a 2x2 table
Group Statistics
Group Statistics
Ranks
Total 12
a
Test Statistics
Rata_Lembab
Mann-Whitney U 10,500
Wilcoxon W 38,500
Z -1,151
Asymp. Sig. (2-tailed) ,250
b
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,268
Konstruksi RPU