Anda di halaman 1dari 138

i

HUBUNGAN SANITASI LINGKUNGAN PENGELOLAAN LIMBAH


DENGAN INDIKATOR ANGKA KEPADATAN LALAT DI RUMAH
POTONG UNGGAS KOTA DEPOK TAHUN 2018

SKRIPSI
“Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA KESEHATAB MASYARAKAT”

Oleh:

Saffanah Nuriyah
NIM : 11141010000061

PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN


PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/ 2018 M

i
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN

Saffanah Nuriyah, NIM : 11141010000061

Hubungan Sanitasi Lingkungan Pengelolaan Limbah dengan Indikator


Angka Kepadatan Lalat di Rumah Potong Unggas Kota Depok Tahun 2018

ABSTRAK
Angka kepadatan lalat yang tinggi disuatu tempat dapat menyebabkan
masalah kesehatan pada pemukiman di sekitar tempat tersebut. Salah satu tempat
yang keberadaan lalatnya perlu dikendalikan ialah Rumah Potong Unggas (RPU).
Sanitasi yang buruk serta perilaku pengelolaan limbah yang kurang baik dapat
menjadikan RPU sebagai tempat perkembangbiakan dan sumber makanan bagi
lalat didukung pula dengan faktor lingkungan seperti kelembaban dan suhu.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan sanitasi


lingkungan pengelolaan limbah dengan indikator angka kepadatan lalat di
Rumah Potong Unggas (RPU) Kota Depok Tahun 2018. Desain penelitian yang
digunakan adalah cross sectional. Teknik pengambilan sampel yang dilakukan
ialah total sampling sehingga sampel diambil sebesar 12 RPU. Penelitian ini
menggunakan metode pengumpulan data primer berupa observasi, wawancara dan
pengukuran. Waktu penelitian dilaksakan pada Juli - September 2018.

Hasil penelitian terhadap angka kepadatan lalat tinggi ialah 66,7%. Hasil
analisis uji statistik menunjukan bahwa terdapat variabel yang berhubungan
dengan angka kepadatan lalat yakni ketersediaan tempat sampah (p value 0,015)
dan sanitasi tempat potong (p value 0,010) . Serta beberapa variabel yang tidak
berhubungan yakni perilaku pengelolaan limbah, ketersediaan SPAL, suhu dan
kelembaban (p value > 0,005).

Berdasarkan hasil tersebut pengelola RPU disarankan untuk menyediakan


tempat sampah yang sesuai standar, melakukan desinfektan, lebih bertanggung
jawab dalam pengelolaan limbah dan sanitasi lingkungan serta memperbaiki
kondisi bangunan RPU. Pihak Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan dan Perikanan
pun diharapkan melakukan pembinaan dan pelatihan mengenai pengelolaan
limbah dan sanitasi lingkunga dan berkoordinasi dengan puskesmas setempat
dalam terkait kesehatan lingkungan.

Kata Kunci : Angka Kepadatan Lalat, Sanitasi Lingkungan, Pengelolaan Limbah,


Rumah Potong Unggas

ii
STATE ISLAMIC UNIVERSITY JAKARTA SYARIF HIDAYATULLAH
FACULTY OF HEALTH SCIENCE
PUBLICH HEALTH STUDY PROGRAM

Saffanah Nuriyah, NIM : 11141010000061

Correlation Environmental Saniation of Waste Management with Indicator


of Fly Density in Poultry Abattoir Depok City 2018

The number of high fly density in one place can cause health problem in
settlements around the place. Poultry Abattoir is place that need to be contrrolled
the density of the fly. Poor environmental sanitation and waste management are
can cause breeding place and food source of fly and also supported by
environmental factor such as temperature and humidity.
This study aims to determine the relationship of the environmental
sanitation and waste management by the indicator of fly densities in poultry
abattoirs Depok City 2018. The study used is cross se sectional design. Sample
technique in this study is total sampling so sample in this study is 12 poultry
abattoirs. The methods used to collect the primary data such as interview,
observation and measurement. The research was conducted from June to August
2018.
The result of high fly densities is 66,7%. Statistical analysis show the
garbage dump (p value 0,015) and sanitation of abattoirs(p value 0,010) related
to fly densities. As well as some of the variables that are not related the waste
management, sewerage, temperature and humidity (p value > 0,005) are not
related with fly densities.
According to result, manager of poultry abattoirs advised to be more
responsible in waste management and environmental sanitation. Departemen of
food security, agriculture and fisheries is also expected to coaching and training
regarding waste management and environment sanitation and coordinate to local
health centre regarding environment health

Keyword : Fly Density, Environmental Sanitaion, Waste Management, Poultry


Abattoir

iii
iv

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :


1. Skripsi ini merupakan hasil asli karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakart
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Islar.n Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, Oktober
2018

Saffanah Nuriyah

iv
v

v
vi

vi
vii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Saffanah Nuriyah

Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 16 April 1996

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Status : Belum Menikah

Alamat : Citra Gran Blok E 17 no. 10 Kelurahan Jatikarya

Kecamatan Jarisampurna Kota Bekasi

No. Hp : 089613022163 / 081212003334

Email : saffanana@gmail.com

Fakultas/Jurusan : Fakultas Ilmu Kesehatan / Kesehatan Masyarakat

Riwayat Pendidikan

1. SDI Al-Azhar Syifa Budi Cibubur Cileungsi 2002-2008

2. SMPIT Al-Manar Azhari Islamic Boarding School 2008-2011

3. MAN 4 Jakarta 2011-2014

4. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2014-sekarang

Riwayat Organisasi

1. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komfakkes

Cab Ciputat 2014– Sekarang

2. Volunteer Greenpeace Youth Indonesia 2015 – 2016

3. Centre for Primary Respon (CPR)

FKIK UIN Jakarta 2015 – 2016

vii
viii

4. Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA)

FKIK UIN Jakarta 2015 – 2017

5. KOPRI PMII Cabang Ciputat 2016 – 2017

6. ENVIHSA UIN Jakarta 2016 – 2017

viii
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah

memberikan nikmat, rahmat, dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul “ Hubungan Sanitasi Lingkungan

Pengelolaan Limbah dengan Indikator Angka Kepadatan Lalat di Rumah Potong

Unggas Kota Depok Tahun 2018”

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan tersusun dan selesai tanpa

bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis

mengucapkan terima kasih kepada :

1. Orang tua serta adik-adik penulis yang selalu mendukung secara moril

maupun material

2. Bapak Prof. Dr. H. Arif Sumantri, M.Kes selaku Dekan Fakultas Ilmu

Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta serta dosen

pembimbing yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini

3. Ibu Fajar Ariyanti, Ph.D selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

4. Pihak Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian dan Perikanan Kota Depok

terutama untuk Bapak Jarkasih yang telah memberikan data dan izin dalam

pelaksanaan penelitian ini.

5. Ibu Meliana, Ibu Rahmah dan Bapak Suharno selaku penguji yang telah

memberikan waktunya untuk menguji dan memberikan saran yang

membangun kepada penulis

ix
x

6. Umi Ela dan Abi Mukhlis selaku orang tua kedua selama Aliyah yang selalu

mendukung dan mendoakan penulis

7. Teman-teman seperbimbingan Annisa Fitriana dan Rifqi Zakiyah yang selalu

memberikan semangat

8. Teman-teman Kesehatan Lingkungan angkatan tahun 2014; Anin, Siska,

Fathiyah, Ridho, Ita, Dwi, Nurul, Sarah, Annisa D, Julius, Maul, Nindy,

Fillah, Anya, Zaujah, Wulan, Ririn

9. Teman-teman Kesehatan Masyarakat angkatan tahun 2014 terutama Hana,

Sofy, Cindy dan Dinda yang selalu memberikan semangat dan saran kepada

penulis

10. Teman-teman DEMA khususnya Departement P2K 2016 dan Keilmuaan

2017 yaitu Farah, Icha, Ayu, Debi dan John

11. Teman-teman di kehidupan remaja penulis yaitu Nadia, Niki, Naja Tia,

Dhira,Ira, Sume.Sakina,Shally dan Muti

12. Bagus Riyadi yang telah menemai dan membantu dalam tindakan dan doa

Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak. Dengan

segala kerendahan hati penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam

penulisan. Sehingga, penulis mengharapkan adanya saran dan kritik yang

bersifat membangun sehingga proposal ini dapat menjadi lebih baik.

Jakarta, Oktober 2018

Saffanah Nuriyah

x
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................. i


ABSTRAK .................................................................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................ iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN ............................................................. v
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................ vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP .................................................................... vii
KATA PENGANTAR ................................................................................ ix
DAFTAR ISI .............................................................................................. xi
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xiv
DAFTAR GRAFIK ..................................................................................... xvi
DAFTAR BAGAN .................................................................................... xvii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xviii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................... 6
C. Pertanyaan Penelitian ......................................................................... 7
D. Tujuan ................................................................................................ 8
1. Tujuan Umum .............................................................................. 8
2. Tujuan Khusus ............................................................................. 8
E. Manfaat Penelitian ............................................................................. 9
1. Bagi Pengelola Rumah Potong Unggas ........................................ 9
2. Bagi Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian dan Perikanan ............. 9
3. Bagi Peneliti Selanjutnya ............................................................. 9
F. Ruang Lingkup Penelitian ................................................................. 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 12

A. Rumah Potong Unggas ................................................................... 12


1. Definisi Rumah Potong Unggas ............................................... 12
2. Penggolongan Rumah Potong Unggas ..................................... 13
3. Persyaratan Bangunan RPU ...................................................... 13
4. Proses Penyembelihan Halal ..................................................... 15
5. Limbah di Rumah Potong Unggas ............................................ 18
6. Pengelolaan Limbah .................................................................. 20
7. Sanitasi Lingkungan .................................................................. 23
B. Lalat................................................................................................. 26
1. Jenis Lalat ................................................................................. 26
2. Faktor Kepadatan ..................................................................... 34
3. Pengendalian Lalat .................................................................... 37
4. Pengukuran Kepadatan Lalat .................................................... 39
5. Indikator Angka Kepadatan Lalat ............................................. 41

xi
xii

C. Kerangka Teori................................................................................ 41

BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL

DAN HIPOTESIS...................................................................................... 44

A. Kerangka Konsep ........................................................................... 44


B. Definisi Operasional........................................................................ 45
C. Hipotesis.......................................................................................... 49

BAB IV METODELOGI PENELITIAN ................................................... 50

A. Desain Penelitian ............................................................................ 50


B. Waktu dan Lokasi Penelitian ......................................................... 50
C. Populasi dan Sampel Penelitian ..................................................... 50
1. Populasi .................................................................................... 50
2. Sampel ...................................................................................... 50
D. Pengumpulan Data dan Pengolahan Data ...................................... 51
1. Pengumpulan Data ................................................................... 51
2. Pengolahan Data ....................................................................... 51
E. Instrumen Penelitian ....................................................................... 52
1. Fly trap ...................................................................................... 52
2. Lembar Checklist ..................................................................... 53
3. Pedoman Wawancara ................................................................ 53
4. Thermohyrometer ...................................................................... 54
F. Validasi Instrumen .......................................................................... 54
G. Analisis Data ................................................................................... 55
1. Analisis Univariat...................................................................... 55
2. Analisis Bivariat ........................................................................ 55

BAB V HASILPENELITIAN ................................................................... 57

A. Gambaran Wilayah Penelitian ........................................................ 57


1. Rumah Potong Unggas .............................................................. 57
2. Letak Geografis ........................................................................ 58
B. Analisis Univariat ............................................................................ 59
1. Gambaran Angka Kepadatan Lalat .......................................... 59
2. Gambaran Perilaku Pengelolaan Limbah .................................. 61
3. Gambaran Sanitasi Lingkungan ............................................... 63
4. Gambaran Fakotor Lingkungan ................................................ 67
C. Analisis Bivariat .............................................................................. 69
1. Hubungan Perilaku Pengelolaan Limbah dengan Angka Kepadatan
lalat ........................................................................................... 70
2. Hubungan Sanitasi Lingkungan dengan Angka
Kepadatan lalat ......................................................................... 71

xii
xiii

3. Hubungan Faktor Lingkungan dengan Angka


Kepadatan lalat .......................................................................... 74

BAB VI PEMBAHASAN .......................................................................... 76

A. Keterbatasan Penelitian .................................................................. 76


B. Gambaran Angka Kepadatan Lalat ................................................ 76
C. Angka Kepadatan Lalat berdasarkan Perilaku
Pengelolaan Limbah ....................................................................... 80
D. Angka Kepadatan Lalat berdasarkan Sanitasi Lingkungan ............. 83
E. Angka Kepadatan Lalat berdasarkan Faktor Lingkungan .............. 90
F. Kajian Keislaman ........................................................................... 94

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 98

A. Simpulan ........................................................................................ 98
B. Saran ............................................................................................... 99

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 101

LAMPIRAN....................................................... ............................ 106

xiii
xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Lama Waktu Lalat Berdasarkan Suhu ................................ 36

Tabel 3.1 Definisi Operasional .......................................................... 45

Tabel 4.1 Waktu Pengukuran Penelitian .......................................... 53

Tabel 5.1 Lokasi Penelitian ................................................................ 57

Tabel 5.2 Distribusi Rata-Rata Angka Kepadatan Lalat di RPU

Kota Depok ....................................................................... 60

Tabel 5.3 Distribusi Perilaku Pengelolaan Limban ............................ 61

Tabel 5.4 Distribusi Item Pertanyaan terkait Pengelolaan Limbah ... 62

Tabel 5.5 Distribusi Ketersediaan Tempat Sampah .......................... 63

Tabel 5.6 Distribusi Item Pertanyaan terkait Ketersediaan

Tempat Sampah ................................................................ 64

Tabel 5.7 Distribusi Ketersediaan SPAL ........................................... 60

Tabel 5.8 Distribusi Item Pertanyaan terkait Ketersediaan SPAL .... 65

Tabel 5.9 Distribusi Sanitasi Tempat Pemotongan Unggas ............... 66

Tabel 5.10 Distribusi Item Pertanyaan terkait Sanitasi Tempat

Pemotongan Unggas ......................................................... 66

Tabel 5.11 Distribusi Suhu ................................................................ 62

Tabel 5.12 Distribusi Kelembaban ................................................... 69

Tabel 5.13 Distribusi Angka Kepadatan Lalat Berdasarkan Perilaku

Pengelolaan Limbah .......................................................... 70

Tabel 5.14 Distribusi Angka Kepadatan Lalat Berdasarkan

Tempat Sampah ............................................................... 71

xiv
xv

Tabel 5.15 Distribusi Angka Kepadatan Lalat Berdasarkan SPAL . 72

Tabel 5.16 Distribusi Angka Kepadatan Lalat Berdasarkan

Sanitasi Tempat Potong ..................................................... 73

Tabel 5.17 Distribusi Angka Kepadatan Lalat Berdasarkan Suhu ..... 74

Tabel 5.18 Distribusi Angka Kepadatan Lalat Berdasarkan

Kelembaban ....................................................................................... 75

xv
DAFTAR GRAFIK

Grafik 5.1 Angka Kepadatan Lalat Berdasarkan

Waktu Pengukuran...... ....................................................................... 59

Grafik 5.2 Identifikasi Lalat............................................................... 61

Grafik 5.3 Tren Suhu......................................................................... 67

Grafik 5.4 Tren Kelembaban............................................................. 68

xvi
xvii

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Kerangka Teori ...................................................................... 43

Bagan 3.1 Kerangka Konsep ................................................................. 44

xvii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Musca domestica ............................................................... 27

Gambar 2.2 Sarcophaga sp ................................................................... 28

Gambar 2.3 Chrysomya megacephala.................................................... 30

Gambar 2.4 Calliphora .......................................................................... 32

Gambar 2.5 Drosophila melanogaster ................................................... 33

Gambar 6.1 Contoh Pembuangan Bangkai Unggas ............................... 82

xviii
xix
xx

xx
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit menular berbasis lingkungan adalah salah satu masalah

kesehatan di dunia. Faktor yang menunjang munculnya penyakit berbasis

lingkungan antara lain ialah sanitasi yang buruk, pengelolaan limbah yang

buruk dan vektor penyakit (Purnama,2017). Salah satu vektor yang dapat

menularkan penyakit ialah lalat. Lalat termasuk anthrophoda yang

tergolong dalam ordo Diptera, subordo Cyclorrhapha dan anggotanya

terdiri atas lebih dari 116.000 spesies lebih di seluruh dunia. Terdapat

beberapa jenis famili yang dapat menularkan penyakit ialah Muscidae

(jenis lalat rumah, lalat kandang, tanduk), Calliphoridae (jenis lalat hijau),

Sarcophagidae (jenis lalat daging) (Komariah, dkk, 2010).

Penyakit yang dapat ditularkan oleh lalat ialah penyakit disentri, diare,

typhoid dan kolera (Dewi,2007).Berdasarkan data WHO diare termasuk

kedalam penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Setiap tahun diare

menyebabkan kematian sebanyak 525.000 balita. Prevalensi diare klinis

di Indonesia adalah 3,5% dan Jawa Barat adalah salah satu provinsi yang

prevalensi diare klinisnya diatas 3,5% yaitu 4,9% (Kemenkes,2013).Pada

tahun 2017, jumlah kasus diare di Kota Depok tertinggi kedua diantara

tujuh kota lainnya di Jawa Barat mencapai 37 690 kasus (BPS Jawa

Barat, 2017).

1
2

Berdasarkan penelitian yang dilakukan (Manalu et al., 2012) angka

kepadatan lalat tinggi berhubungan dengan kejadian diare. Untuk penyakit

tifoid juga dinyatakan berhubungan jika angka kepadatan lalat tinggi

berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Lestari and Nirmala, 2017)

Penularan penyakit tersebut mulai dari lalat hinggap di sumber makan

mereka seperti kotoran hewan atau manusia, makanan manusia dan

sebagai parasit dalam atau diluar tubuh hewan. Sehingga mikroorganisme

penyakit akan menempel pada kulit tubuh dan kaki-kaki lalat selanjutnya

lalat akan pada makanan yang akan di makan manusia (Dewi,2007).

Lalat dapat berkembang biak pada kotoran hewan terutama kotoran

hewan. Hal ini dikarenakan kotoran hewan tidak terlalu basah dan

teskturnya tidak padat. Selain itu lalat juga dapat berkembang biak pada

penumpukan sampah seperti limbah dari proses memasak, penumpukan

limbah organik (darah, tulang, daging hewan dll), saluran pembuangan air

limbah yang buruk juga dapat menghambat pembuangan limbah sehingga

lalat dapat berkembang biak di lumpur limbah cair dan limbah padat

organik yang tidak dapat terolah dengan baik Maka dari itu, angka

kepadatan lalat disuatu tempat dapat menjadi indikator kebersihan

(WHO,1986).

Selama dua dekade akhir ini, para ahli entomologis media lebih

tertarik mempelajari biologi dan ekologi lalat yang berada di peternakan,

peternakan unggas, rumah potong, peternakan sapi, tempat makan,


3

pabrik,penampungan sampah, dan pabrik pengelolaan limbah (Nurita et

al., 2008). Sedangkan, pada penelitian yang dilakukan oleh (Al-Shami et

al., 2016) yang dilakukan pada empat lokasi penghasil limbah organik

yaitu pada rumah potong, peternakan, supermarket dan pasar menyatakan

bahwa rumah potong adalah tempat yang paling tinggi angka kepadatan

lalat dibandingkan ketiga lokasi tempat penelitian lainnya. Pada penelitian

(Bello and Oyedemi, 2009) juga menyatakan bahwa tingginya angka

kepadatan lalat di rumah potong berhubungan dengan kejadian diare,

demam tifoid, dan disentri pada masyarakat sekitar rumah potong.

Rumah potong adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan

dengan disain dan syarat tertentu yang digunakan sebagai tempat

memotong daging bagi konsumsi masyarakat (Permentan,2005).

Penyediaan fasilitas rumah potong di setiap wilayah adalah salah satu cara

untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging untuk masyarakat wilayah

tersebut. Pada tahun 2017, produksi daging terbesar adalah ayam ras

pedaging yaitu 56,77% yaitu sebesar 1,9 juta ton. Provinsi Jawa Barat

menempati posisi pertama dalam produksi daging ayam yaitu sebesar

622.322 ton (Kementan,2017). Pada tahun 2016, Kota Depok menduduki

posisi ketiga kebutuhan daging ayam broiler dari kota lainnya yang berada

di Jawa Barat yaitu sebesar 494.049 Kg (BPS, 2016)

Pengelolaan limbah dan sanitasi di rumah potong yang kurang baik

dapat menyebabkan penumpukan limbah sehingga angka kepadatan lalat

pada RPU tinggi (Kurniawan,2013). Faktor lingkungan seperti suhu dan


4

kelembaban yang sesuai juga dapat membantu penyebaran lalat sehingga

angka kepadatan lalat menjadi tinggi (Kemenkes, 2014)

Pada studi pendahuluan yang dilakukan Rumah Potong Unggas (RPU)

Bubulak Kota Bogor di ketahui untuk pengelolaan limbah padatnya masih

belum memenuhi syarat karena tidak terdapat pemisahan antara tempat

penyimpanan sampah sementara (TPS) sampah organik dan anorganik.

Pada tempat pemotongan masih terdapat darah dan bulu unggas yang

mengundang lalat untuk hinggap. Sehingga kepadatan lalat di RPU

Bubulak tergolong tinggi. Setelah dilakukan pengukuran menggunakan

fly trap sederhana, pada TPS terdapat 190 ekor lalat, tempat pemotongan

terdapat 70 ekor lalat dan untuk tempat istirahat petugas terdapat 50 ekor

lalat. Untuk hasil pengukuran suhu di RPU bubulak rataa-rata 32,2oC dan

rata-rata kelembaban ialah 60%.

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Rumah Potong

Unggas (RPU) Penggaron diketahui bahwa volume limbah padat yang

dihasilkan sebesar 2 m3/hari. Pengelolaan sampah sendiri belum ada

pemisahan antara organik dan anorganik dan tidak tersedia tempat sampah

di setiap los sehingga sampah banyak yang dibuang sembarangan. Selain

itu limbah padat dan limbah cair masih bercampur sehingga saluran

pembuangan limbah cair (SPAL) tidak lancar karena terjadi penumpukan

oleh limbah padatnhya. Hal tersebut dapat menarik perhatian dari lalat

untuk bersarang dan berkembang biak. Pada penelitian tersebut, ditemukan

bahwa 8 (delapan) los pemotongan unggas dan 1 (satu) TPS memiliki

kepadatan lalat yang sangat tinggi (37,5%) dan 14 los pemotongan unggas
5

memiliki kepadatan tinggi (58,3%) dan 1 (satu) los pemotongan unggas

berkategori sedang (4,17%). Dari hal tersebut dapat dinyatakan bahwa

pengelolahan limbah padat maupun cair yang buruk dapat meningkatkan

populasi lalat dan kondisi tersebut dapat berdampak pada masyarakat yang

bermukim di sekitarnya (Kurniawan,2013).

Ngoen-klan et al., (2011) melakukan penelitian selama satu tahun

untuk mengetahui hubungan faktor lingkungan seperti suhu dan

kelembaban dengan angka kepadatan lalat. Hasil penelitian tersebut

menyatakan bahwa terdapat hubungan yang berkorelasi positif antara

suhu dan angka kepadatan lalat. Sedangkan kelembaban berkorelasi

negatif dengan angka kepadatan lalat. Hal ini karena semakin tinggi suhu

maka akan semakin rendah kelembaban.

Dari gambaran penelitian diatas diketahui bahwasannya

pengelolaan limbah sebaiknya lebih diperhatikan sehingga tidak menarik

angka kepadatan lalat. Pengelolaan limbah ialah dari pemilahan dan

pengangkutan sampah dan memperhatikan perawatan saluran

pembuangan air limbah sehingga aliran dapat mengalir lancar. Pengelolaan

limbah tidak luput dari sanitasi lingkungan seperti ketersediaan tempat

sampah, ketersediaan SPAL dan sanitasi tempat potong. Faktor lingkungan

seperti suhu dan kelembaban juga dapat mempengaruhi populasi lalat di

suatu tempat. Melihat permasalahan yang terjadi antara pengelolaan

limbah yang buruk dengan kepadatan lalat maka peneliti ingin melakukan

penelitian dengan topik „Hubungan Sanitasi Lingkungan Pengelolaan


6

Limbah dengan Indikator Angka Kepadatan Lalat di Rumah Potong

Unggas Kota Depok‟.

B. Rumusan Masalah

Lalat adalah salah satu vektor yang dapat menyebarkan penyakit

seperti diare, disentri, kolera dan demam tifoid pada manusia. Hal ini

dikarenakan lalat hinggap untuk berkembang biak dan mencari makan di

tempat-tempat yang kotor seperti pada penumpukan sampah dan saluran

pembuangan air limbah. Kulit tubuh dan kaki-kaki lalat yang kotor

tersebut pada akhirnya akan hinggap pada makanan yang akan di makan

manusia. Karena lalat dapat hinggap di penumpukan sampah dan saluran

pembuangan air limbah, maka dari itu, pengelolaan sampah yang buruk

dan saluran pembuangan yang terbuka dapat mengundang lalat untuk

hinggap.

Pengelolaan limbah yang baik harus didasari oleh sanitasi lingkungan

seperti ketersediannya tempat penampungan sampah, ketersediannya

saluran pembuangan air limbah dan sanitasi tempat potong. Selain kedua

hal tersebut faktor lingkungan seperti suhu dan kelembaban memiliki

peranan penting dalam penyebaran lalat. Rumah potong adalah salah satu

tempat yang tinggi angka kepadatan lalatnya karena terdapat tempat

berkembang biak dan sumber makanan lalat. Sedangkan daging ayam

adalah jenis daging yang paling diminati di kalangan masyarakat.

Berdasarkan data BPS (2017) Kota Depok termasuk kasus diare kedua

tertinggi di Jawa Barat dan konsumsi masyarakat Kota Depok terhadap


7

daging ayam termasuk tertinggi ketiga di Jawa Barat. Maka dari itu,

peneliti ingin melakukan penelitian dengan topik „Hubungan Sanitasi

Lingkungan Pengelolaan Limbah dengan Indikator Angka Kepadatan

Lalat di Rumah Potong Unggas Kota Depok‟.

C. Pertanyaan Penelitian

a. Bagaimana gambaran angka kepadatan lalat di Rumah Potong Unggas

Kota Depok?

b. Bagaimana gambaran perilaku pengelolaan limbah di Rumah Potong

Unggas Kota Depok?

c. Bagaimana gambaran sanitasi lingkungan (ketersediaan tempat

sampah, ketersediaan SPAL, sanitasi tempat potong) Rumah Potong

Unggas Kota Depok?

d. Bagaimana gambaran faktor lingkungan (kelembaban dan suhu) di

Rumah Potong Unggas Kota Depok?

e. Apakah terdapat hubungan antara perilaku pengelolaan limbah dengan

kepadatan lalat Rumah Potong Unggas Kota Depok?

f. Apakah terdapat hubungan antara sanitasi lingkungan (ketersediaan

tempat sampah, ketersediaan SPAL, sanitasi tempat potong) dengan

kepadatan lalat Rumah Potong Unggas Kota Depok?

g. Apakah terdapat hubungan antara faktor lingkungan (kelembaban dan

suhu) dengan kepadatan lalat Rumah Potong Unggas Kota Depok?


8

D. Tujuan

1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan

sanitasi lingkungan, pengelolaan limbah, faktor lingkungan dengan

indikator angka kepadatan lalat di Rumah Potong Unggas Kota Depok

Tahun 2018

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui gambaran angka kepadatan lalat di Rumah Potong

Unggas Kota Depok

b. Mengetahui gambaran perilaku pengelolaan limbah di Rumah Potong

Unggas Kota Depok?

c. Mengetahui gambaran sanitasi lingkungan (ketersediaan tempat

sampah, ketersediaan SPAL, sanitasi tempat potong) Rumah Potong

Unggas Kota Depok

d. Mengetahui gambaran faktor lingkungan (kelembaban dan suhu) di

Rumah Potong Unggas Kota Depok?

e. Mengetahui terdapat hubungan antara sanitasi lingkungan

(ketersediaan tempat sampah, ketersediaan SPAL, sanitasi tempat

potong) dengan kepadatan lalat Rumah Potong Unggas Kota Depok?

f. Mengetahui terdapat hubungan antara perilaku pengelolaan limbah

dengan kepadatan lalat Rumah Potong Unggas Kota Depok


9

g. Mengetahui terdapat hubungan antara faktor lingkungan (kelembaban

dan suhu ) dengan kepadatan lalat Rumah Potong Unggas Kota

Depok?

E. Manfaat

1. Bagi Pengelola Rumah Potong Unggas

Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan dan evaluasi

bagi pengelola rumah potong unggas untuk menjaga sanitasi

lingkungan sekitar pemotongan dan masukan dalam pengelolaan

limbah sehingga dapat menurunkan angka kepadatan lalat di rumah

potong unggas Kota Depok.

2. Bagi Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian dan Perikanan Kota

Depok

Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan informasi untuk

mengetahui gambaran kualitas sanitasi lingkungan tempat

pemotongan dan perilaku pengelolaan limbah yang dilakukan oleh

pengelola rumah potong unggas dilihat dari indikator angka

kepadatan lalat yang berada di rumah potong unggas Kota Depok.

Informasi ini juga dapat berguna untuk bahan perencanaan program

keamanan pangan hasil pemotongan daging unggas tersebut.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Penelitian ini sebagai bahan referensi untuk melakukan penelitian

lebih lanjut mengenai sanitasi lingkungan pengelolaan limbah


10

berdasarkan indikator angka kepadatan lallat di rumah potong unggas

(RPU).

F. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan mengetahui

hubungan antara sanitasi lingkungan, pengelolaan limbah dan faktor

lingkungan dengan angka kepadatan lalat di rumah potong unggas Kota

Depok tahun 2018. Lalat menyukai tempat yang terdapat penumpukan

sampah, kotoran hewan dan saluran pembuangan air limbah yang tidak

terkelola dengan baik. Hal tersebut dapat mengundang lalat untuk singgah

sehingga terjadinya kepadatan lalat di tempat tersebut. Sanitasi lingkungan

yang diteliti ialah, ketersedian tempat sampah, ketersediaan saluran

pembuangan air limbah (SPAL) dan sanitasi tempat potong. Untuk

perilaku pengelolaan limbah yaitu pengelolaan limbah padat dan

perawatan SPAL. Sedangkan untuk faktor lingkungan yang akan diteliti

ialah suhu dan kelembaban.

Waktu pelaksanaan penelitian ini akan dilakukan pada Juli hingga

September 2018 . Desain studi yang digunakan dalam penelitian ini adalah

desain studi cross sectional. Sumber data penelitian ini berasal dari data

sekunder dan data primer. Pengumpulan data sekunder diperoleh dari

Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian dan Perikanan Kota Depok untuk

mengetahui lokasi rumah potong unggas di Kota Depok. Pengumpulan

data primer diperoleh dari wawancara pengamatan tempat dan

pengukuran. Untuk wawancara ialah untuk variabel pengelolaan limbah


11

sedangkan untuk pengamatan ialah pengamatan sanitasi lingkungan

rumah potong unggas. Untuk pengukuran yang dilakukan ialah melakukan

pengukuran kepadatan lalat menggunakan fly trap dan mengukur suhu dan

kelembaban menggunakan thermohygrometer.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Rumah Potong Unggas

1. Definisi Rumah Potong Unggas

Rumah Potong Unggas adalah bangunan yang kompleks dengan

desain dan kontruksi bangunan khusus yang memenuhi persyaratan

teknis dan higiene tertentu serta digunkan sebagai tempat pemotongan

nggas untuk dikonsumsi masyarakat umum (Kementrian Pertanian,

2005). Rumah Potong Unggas terdapat dua jenis yaitu modern dan

tradisional. Perbedaan dari keduanya ialah dari alat yang digunakan

dalam penyembelihan unggas. Istilah unggas mencakup ayam, itik,

kalkun dan burung (burung unta/ostrich, puyuh dan burung dara)

Golongan unggas yang paling banyak dikonsumsi adalah ayam. Di

Indonesia dikenal dua jenis ayam yang biasa dikonsumsi yaitu ayam

ras (broiler) dan ayam lokal (bukan ras/buras). Kedua jenis ayam ini

sering diperdagangkan sudah dalam bentuk karkas. Karkas adalah

daging ayam tanpa kepala, kaki, jeroan dan bulu-bulunya, yang

diperoleh dari hasil pemotongan ayam yang tertib dan benar

(Koswara,2009).

12
13

2. Penggolongan Rumah Potong Unggas

Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 556 tahun 1976 bahwa usaha

pemotongan unggas terbagi menjadi 4 (empat) kelas berdasarkan luasan

pedereadan daging sedangkan berdasarkan jenis kegiatam terbagi menjadi 3

(tiga) kategori.

a) Menurut Luasan Peredaran Daging:

1) Kelas A  kebutuhan eksport

2) Kelas B  antar propinsi

3) Kelas C  antar kab/kodya dalam propinsi

4) Kelas D  kebutuhan di kabupaten

b) Menurut Jenis Kegiatan

1) Katagori I  pemotongan unggas sendiri di RPU sendiri

2) Katagori II  jasa pemotongan unggas milik orang lain

3) Katagori III  pemotongan/tempat pemotongan milik orang lain.

3. Persyaratan Bangunan RPU

Lokasi RPU sebaiknya tidak menimbulkan gangguan dan pencemaran

lingkungan. Sehingga lokasi RPU tidak berada di kota yang padat penduduk serta

letaknya lebih rendah dari pemukiman penduuduk. RPU juga tidak berada di

dekat aliran air seperti sungai dan kali.

Berdasarkan SNI (1999), kompleks RPU minimal harus terdiri dari :

a. bangunan utama

b. tempat penurunan unggas hidup

c. tempat istirahat pegawai


14

d. tempat penyimpanan barang pribadi atau ruang ganti pakaian

e. kamar mandi dan WC

f. sarana penanganan limbah insenerator

g. tempat parkir

h. rumah jaga

i. menara air

j. gardu listrik.

k. ruang pembekuan cepat (blast freezer)

l. ruang penyimpanan beku (cold storage)

m. ruang pengolahan daging unggas

n. laboratorium

Sedangkan berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian nomor 557 Tahun 1976

bahwa komplek RPU harus terdiri dari

a. Bangunan utama tempat pemotongan

Terdiri dari tempat penyembelihan, pencelupan, pembuluan,

evicerating, penanganan karkas, pengemasan, pencucian alat, alat

penggantung, pencelup, meja evicerating, wadah pencuci.

b. Penampungan unggas

c. Tempat pemeriksaan antemortem

d. Gudang alat

e. Septic tank

f. Kamar mandi dan WC

Pintu masuk unggas hidup sebaiknya terpisah dari pintu keluar daging unggas.

Dinding tembok di RPU sebaiknya 1,5 meter, kedap air terbuat dari porselin atau

keramik dan sudutnya melengkung sehingga mudah dibersihan. Lantai di RPU


15

sebaiknya kedap air, air mudah mengalir sehingga tidak licin ataupun tidak kasar.

Terdapat kawat kasa antata dinding untuk mengindari hewan seperti tikus dan

kucing masuk. Harus mempunyai pintu, ventilasi yang memadai, air panas dan

penerangan yang cukup (Kementrian Pertanian, 1976)

Pembagian ruang di RPU terbagi menjadi dua yaitu daerah kotor dan daerah

bersih. Untuk daerah kotor terdiri dari Daerah kotor meliputi penurunan,

pemeriksaan antemortem dan penggantungan unggas hidup, pemingsanan

(stunning), penyembelihan (killing), pencelupan ke air panas (scalding tank),

pencabutan bulu (defeathering), pencucian karkas, pengeluaran (evisceration) dan

pemeriksaan postmortem, penanganan jeroan. Sedangkan daerah bersih terdiri

dari Daerah bersih meliputi pencucian karkas, pendinginan karkas (chiling),

seleksi (grading), penimbangan karkas, pemotongan karkas (cutting),Pemisahan

daging dari tulang (deboning), pengemasan, penyimpanan segar(chiling room)

(SNI, 1999)

4. Proses Penyembelihan Halal

Berdasarkan pedoman produksi dan penanganan daging ayam yang higienis

(Dirjen PKH Kementan RI, 2010) berikut adalah proses penyembelihan halal.

a. Persyaratan Umum

Syarat umum penyembelihan ayam yang halal ada sebagai berikut :

1) Orang yang menyembeli harus beragama Islam, dewasa (baligh) dan

berakal sehat, baik laki-laki maupun perempuan

2) Membaca basmalah (bismillahi allahu akbar) sebelum penyembelihan

3) Pisau sebagai alat penyembelih harus tajam dan bersih


16

4) Penyembelihan dilakukan pada pangkal leher ayam dengan

memutuskan saluran pernafasan (trakhea/hulqum), saluran makan

(esofagus/marik) dan dua urat lehernya (pembuluh darah di kanan dan

kiri leher/ wadajain) dengan sekali sayatan.

b. Persyaratan Petugas Penyembelih

Petugas penyembelih harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1) Pada saat akan menyembelih disunnahkan membaca shalawat kepada

Rasullah SAW dan membaca takbir

2) Harus memiliki pengetahuan tentang ayam yang halal dan haram

disembelih serta cara penyembelihan halal

c. Persyaratan Ayam

Ayam yang akan disembelih harus dalam keadaan hidup, sehat dan bersih

d. Persyaratan Proses

Selain itu perlu diperhatikan adab penyembelihan hewan, yaitu :

1) Ayam yang akan disembelih disunnahkan untuk menghadap kearah

kiblat

2) Menghindari tindakan yang menyebabkan ayam menjadi stress

sebelum disembelih

3) Setelah penyembelihan, darah dibiarkan keluar sampai berhenti

mengalir, kemudian dilakukan pengerjaan berikutnya.

4) Penyembelihan dilakukan dengan baik, higienis dan menjaga

kebersihan lingkungan

e. Proses Penyembelihan dengan Pemingsanan

1) Penyembelihan
17

Penyembelihan harus dilakukan dengan menggunakan pisah yang

tajam dan bersih, sehingga penyembelihan hanya dilakukan sekali sayat

untuk memotong ketiga saluran (hulqum, marik dan wadajain). Pisau

yang digunakan oleh petugas hendaknya tidak hanya satu, sehingga

selalu ada pisau cadangan yang selalu terjaga ketajaman dan

kebersihannya. Untuk itu sebaikanya tersedia fasilitas air panas

(steam/boiler) untuk merendam pisau dan asahan yang digunakan

untuk menyembelih ayam, sehingga ketajaman dan kebersihannya

selalu dapat terjamin.

Penyembelihan harus segera dilakukan sesaat setelah ayam tersebut

pingsan. Ayam yang pingsan ditandai dengan adanya gerakan berkejut/

kejang (gerakan tetanis) pada leher dan kepala, sayap tidak terkulai

serta knjungtiva mata tidak tertutu sempurna. Sedangkan ayam yang

mati setelah pemingsinanan ditandai dengan kondisi kepala yang

terkulai lemas tanpa ada gerakan tetanis, konjuctiva mata tertutup

sempurna, dan sayap agak terkulai.

2) Penirisan Darah

Untuk RPU yang menggunakan sistem rel berjalan, waktu antara

penyembelihan sampai masuk ke air panas haruslah diperhitungkan

dengan benar (rata-raa waktu pengeluaran darah ayam sampai

sempurna adalah 3-5 menit). Untuk RPH-A yang menggunakan rak

penggantungan, maka pengangkatan ayam dari rak setelah

penyembelihan minimal 3-5 menit atau ayam sudah tidak bergerak

sama sekali dan tidak ada darah yang keluar dari leher.
18

f. Proses Penyembelihan tanpa Pemingsanan

1) Penyembelihan

Ayam dikeluarkan dari keranjang dengan memegang pada kedua paha dan

sayap. Kemudian ayam dipegang dengan satu tangan sementara tangan

yang lain memegang pisau dan bersiap-siap untuk menyembelih, Sama

seperti proses penyembelihan ayam dengan pemingsanan, pada proses ini

pemotong juga harus memiliki pisau cadangan, sehingga ketajaman dan

kebersihan selalu dapat terjamin.

2) Penirisan Darah

Setelah disembelih, ayam kemudian diletakan di dalam keranjang atau

tempat khusus (boks/ drum) yang mudah dibersihkan. Pada proses ini

perlu diperhatikan agar pengeluaran darah dari ayam betul-betul sempurna

atau ayam benar-benar mati

5. Limbah di Rumah Potong Unggas

Limbah ternak adalah sisa buangan dari suatu kegiatan atau usaha peternakan

seperti usaha pemeliharaan ternah, rumah potong hewan, pemgolahan produk

ternak dan lainnya. Limbah ternak tersebut meliputi limbah padat dan limbah

cair, sepeti feses, urin, sisa makanan, lemak, darah, bulu, kuku, tulang, tanduk

dan isi rumen (Sihombing,2000).

Limbah peternakan pada usaha pemotongan unggas ialah sebagai berikut :

a. Manur

Manur atau ekskreta adalah campuran antara feses (faeces), urin (urine),

dan terkadang tercampur dengan bahan-bahan lain (seperti litter atau bedding

atau material yang digunakan sebagai alas kandang) yang disengaja maupun
19

tidak sengaja. Manur memang suatu bahan yang tidak ada gunanya, tetapi jika

diolah dengan baik manur dapat ada gunanya. Sehingga manur masuk

kedalam golongan limbah yang dapat diolah menjadi produk ternak (animal

product). (Parakkasi dan Hardini,2014)

1) Feses

Feses adalah ekskreta ternak yang dikeluarkan melalui anus. Materi

tersebut sebagian besar terdiri dari zat-zat makanan yang tidak tercerna

dalam saluran pencernaan dan ke luar (diekskresikan) melalui anus.

Terkadang meskipun tidak banyak, beberapa di antaranya sudah dapat

dicerna dan diserap oleh saluran pencernaan. Di samping itu feses dapat

pula mengandung (sebagian kecil) bagian-bagian dari saluran pencernaan

yang terkelupas/terlepas, enzim-enzim yang digunakan untuk mencerna,

maupun mikroorganisme yang normalnya bersifat tidak patogen. Feses ini

sifat fisik dan kimianya ditentukan oleh banyak faktor misalnya jenis

hewan, umur, input makanan, keadaan kandang, suhu, presipitasi dan lain-

lain.

2) Urine

Adalah cairan yang diekskresikan melalui ginjal. Zat-zat yang didapatkan

di dalamnya adalah zat makanan yang sudah dicerna, diserap dan bahkan

sudah di metabolisme dalam sel-sel tubuh, kemudian oleh satu dan lain hal

dikeluarkan melalui ginjal dan saluran urin. Sifat fisik dan kimianya

dipengaruhi oleh banyak faktor seperti pada feses.


20

b. Limbah Cair

Dalam proses produksi dihasilkan limbah cair yang berasal dari darah

ayam, proses pencelupan, pencucian ayam dan peralatan produks (Erlita dan

Waridin,2007). Limbah cair mengandung Biological Oxygen Demand (BOD),

Chemial Oxygen Demand (COD), Total Suspended Solid (TSS), minyak dan

lemak yang tinggi dengan komposisi berupa zat organik. Diperikan bahwa

jumlah limbah berupa lemak dari seekor ayam sega utuh adalah 7,80 – 17,7 %

dari bobot ayam tersebut. Sedangka, dari satu ekor ayam broiler berukuran

sedang dapat menghasilkan 100 gram lemak yang menempel pada bagian

ampela dan ekor dan sekita 2,10 % lemak terdapat pada bagian dada seekor

ayam (Moses Laksono, 2010).

c. Limbah Padat

Limbah padat pada industri Rumah Potong Unggas berupa unggas mati ,

sisa usus atau jeroan, bulu, tulang dan bagian lainnya yang tidak sengaja ikut

terbuang menjadi limbah yaitu kepala ayam dan lemak yang tedapat di dalam

rongga perut, ampela dan ekor(Erlita dan Waridin,2007). Namun, hampir

semua jenis limbah padat yang dihasilkan oleh RPU mempunyai potensi untuk

dimanfaatkan kembali sebagai bahan pakan sumber protein seperti ampela dan

hati unggas. Sedangkan untuk bulunya dapat diperjual belikan kepada

perusahaan industri yang membutuhkan bulu unggas sebagai bahan baku.

6. Pengelolaan Limbah

a. Pengelolaan Limbah Padat

Pengelolaan limbah padat atau sampah adalah kegiatan yang sistematis,

menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan


21

penanganan limbah padat atau sampah. Berdasarkan Peraturan Menteri

Lingkungan Hidup No.16 tahun 2011 tentang Pedoman Materi Muatan

Rancangan Peraturan Daerah Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga

dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga

1) Tahap Pemilahan

Kegiatan pemilahan sampah dalam bentuk pengelompokan dan pemisahan

sampah sesuai dengan jenis, jumlah dan/ atau sifat sampah. Pemilahan

sampah dilakukan oleh pengelola kawasan dalam hal ini ialah pengelola

RPU. Berdasarkan Permen LH No. 16 tahun 2011, pemilahan sampah

dilakukan mulai kegiatan pengelompokan sampah paling sedikit menjadi 5

(lima) jenis sampah yang terdiri atas sampah yang mengandung bahan

berbahaya dan beracun, sampah yang mudah terurai, sampah yang dapat

digunakan kembali, sampah yang dapat didaur ulang, dan sampah lainnya.

Tetapi, untuk jenis sampah yang terdapat di RPU hanya sampah organik

dan anorganik sehingga pemilihannya hanya terbagi menjadi dua jenis

sampah.

2) Tahap Pengumpulan

Pengumpulan sampah dilakukan dalam bentuk pengambilan dan

pemindahan sampah dari sumber sampah ke tempat penampungan

sementar. Pengumpulan sampah dilakukan oleh pengelola kawasan dan

pengelola kawasan wajib menyediakan Luas lokasi dan kapasias sesuai

kebutuhan, lokasinya mudah diakses, tidak mencemari lingkungan dan

memiliki jadwal pengumpulan dan pengangkutan.


22

3) Tahap Pengangkutan

Pengakutan sampah dilakukan dalam bentuk membawa sampah dari sumber

dan/atau dari TPS atau dari TPST menuju TPA. Berdasarkan Keputusan

Mentri Kesehatan No 519 Tahun 2008 Pengangkutan sampah dari TPS

atau dari TPST menuju TPA harus diangkut maksimal 1 x 24 jam.

4) Tahap Pengolahan

Pengolahan sampah dilakukan dalam bentuk mengubah karakteristik,

komposisi, dan jumlah sampah. Pengolahan sampah dilakukan oleh

pemerintah kabupaten/kota, orang perseorangan, kelompok orang dan/atau

badan hukum pada sumbernya, dan pengelola kawasan.

b. Pemeliharaan SPAL

Penanganan limbah cair salah satunya adalah melakukan pemeliharaan SPAL

atau saluran drainase. Fungsi dari SPAL ini ialah limbah cair dapat mengalir dan

dapat mengurangi tersebarnya limbah ke wilayah dalam dan di sekitar rumah potong

unggas. Isolasi limbah dalam SPAL ini dapat menurunkan frekuensi dampak negatif

dari limbah bahkan dapat meniadakannya.

Akan tetapi masih ada beberapa masalah yang dapat timbul dengan pembuatan

SPAL jika tidak dikelola dengan baik. Limbah padat yang masuk kedalam SPAL

harus harus diangkut atau dikeluarkan sehingga aliran air tidak terhambat sehingga

dapat meluap dan menimbulkan bau (Parakkasi dan Hardini,2014).


23

7. Sanitasi Lingkungan

Sanitasi lingkungan adalah kondisi atau keadaan lingkungan yang sesuai

dengan persyaratan sehingga berpengaruh positif terhadap status kesehatan.

Ruang lingkup sanitasi lingkungan tersebut antara dibagi menjadi

sranapenyediaan air bersih, pembuangan sampah, pembuangan air kotor (air

limbah).

a. Tempat Sampah

Untuk persyaratan tempat sampah ialah harus terpisah antara sampah

organik dan sampah anorganik, kedap air, kuat, mudah dibersihkan dan mudah

dijangkau oleh petugas pengangkut sampah (Kemenkes,2008)

b. Saluran Pembuangan Air Limbah

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No. 1098 tahun 2003 dan

Keputusan Mentri Kesehatan No 519 tahun 2008 tahun SPAL yang

digunakan harus memenuhi syarat: 1) air limbah dapat mengalir dengan

lancar, 2) saluran tertutup dan kedap air tertutup dengan kisi yang terbuat dari

logam sehingga mudah dibersihkan., 3) Tidak menimbulkan bau, 4) Terdapat

grease trap (perangkap lemak), 5) Tidak menjadi tempat berkembang biaknya

vektor sepert lalat.

Sedangkan berdasarkan SNI 01-6160-1999 sistem saluran pembuangan

limbah cair di RPU harus cukup besar dan didisain agar aliran limbah

mengalir dengan lancar, terbuat dari bahan yang mudah dirawat dan

dibersihkan, kedap air agar tidak mencemari tanah, mudah diawasi dan dijaga

agar tidak menjadi sarang tikus atau rodensia lainnya. Saluran pembuangan
24

dilengkapi dengan penyaring yang mudah diawasi dan dibersihkan. harus

selalu tertutup agar tidak menimbulkan bau. Di dalam bangunan utama,

saluran pembuangan dilengkapi dengan grill yang mudah dibuka-tutup dan

terbuat dari bahan yang kuat dan tidak mudah korosif

c. Sanitasi Tempat Potong

Setelah melakukan pemotongan di RPU maka selanjutnya dilakukan

pembersihan sanitasi. Pembersihan dilakukan pada bangunan, perlengkapan

dan peralatan yang terkena kotoran. Pembersihan ini harus dilakukan secara

teratur dan benar untuk menghilangkan kotoran yang terlihat secara fisik.

Metode pembersihan yang dilakukan ialah pembersihan dapat dilakukan

dengan cara fisik, kimiawi ataupun keduanya. Pembersihan secara fisik dapat

dilakukan dengan cara menggosok dan cara kimiawi dengan menggunakan

deterjen dan zat-zat yang bersifat asam atau basa dibantu pula dengan air

bersih (Kementan, 2010).

Penyedian air bersih di rumah potong unggas bertujuan untuk

membantu dalam proses pembersihan sanitasi bangunan RPU dan peralatan.

Berdasarkan SNI 01-6160-199 Sumber air di rumah potong unggas harus

cukup sesuai dengak kebutuhan dan memenuhi persyaratan baku mutu air

minum sesuai dengan SNI 01-0220-1987. Persdiaan air yang dibutuhkan

minimum harus 25-35 liter/ekor/hari. Persediaan air yang bertekanan 1,05

kg/cm2 (15 psi) serta fasilitas air panas dengan suhu minimum 82oC

(Kementan, 2010)

Berikut prosedur pembersihan tempat dan peralatan rumah potong unggas :

1) Pembuangan kotoran kasar yang terdapat di permukaan dapat

dilakukan dengan cara menyikat, menyedot dan mengerok atau dengan


25

cara lainnya. Ketersedian air bersih diperlukan untuk melakukan

penyiraman sehinnya sarat kebersihan terpenuhi. Suhu air yang

digunakan disesuaikan pada jenis kotoran yang akan dibuang. Prosedur

pertama ini biasanya digunakan untuk membersihkan lantai, dinding,

meja pengeluaran jeroan, bak perendaman karkas, mesin pencabut bulu

dan lainnya

2) Pembersihan harus menggunakan larutan deterjen untuk melarutkan

atau mensusipensi kotoran dan lapisan mikroorganisme. Prosedur

kedua ini biasanya dilakukan sebagai tahap awal proses pembersihan

terhadap peralat yang berukuran kecil misalnya pisau, talenan, krate

karkas dan lainnya. Waktu perendaman tergantung dengan jenis larutan

deterjen yang digunakan dan jumlah kotoran yang melekat pada alat.

Setelah peredaman akan dilanjutkan dengan penyikatan atau

pengerokan yang diakhiri dengan pembilasan.

3) Pembersihan menggunakan bahan pembersih yang tidak merusak

permukaan yang dibersihkan

4) Pembilasan untuk menghilangkan kotoran dan sisa deterjen dilakukan

menggunakan air yang memenuhi syarat air bersih

Disinfektan merupakan usaha untuk mengurangi jumlah

mikroorganisme yang hidup, tetapi pada umumnya tidak dapat membunuh

spora dan bakteri. Disinfektan yang aktif tidak membunuh seluruh

mikroorganisme tetapi hanya menurunkan jumlahnya hingga pada tingkat

yang tidak membahayakan kesehatan konsumen. Disinfektan yang dapat

digunakan ialah, klorin, iodofor, senyawa amonium kuartener serta asam dan
26

basa kuat. Setelah dilakukan desinfektan peralatan harus segera dikeringkan

secepatnya untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme (Kementan, 2010)

B. Lalat

Lalat umumnya berkembang biak pada habitat di luar hunian manusia yang telah

membusuk dan penuh dengan bakteri dan organisme patogen lainnya, seperti vegetasi

yang membusuk, kotoran hewan, sampah dan sejenisnya. (Sigit dan Hadi,2006)

Lalat penganggu kesehatan tergolong ke dalam ordo Diptera, subordo

Cyclorrhapha dan anggotanya terdiri atas lebih dari 116.000 spesies lebih di sluruh

dunia.

1. Jenis Lalat

Diantara berbagai jenis lalat yang merupakan masalah yang cukup banyak

mendapat perhatian di bidang kesehatan antara lain Musca domestica (lalat

rumah), Sarcophaga sp (lalat blirik/ lalat daging), Chrysomya megacephala (lalat

hijau), Calliphora sp (lalat hijau) dan Drosophila melanogaster (lalat buah).

Berikut penjelasan mengenai morfologi, perilaku dan daur ulang

a. Musca domestica (lalat rumah)

1) Morfologi

Ukuran lalat rumah relatif kecil dengan panjang tubuh berkisar antara 6

mm- 9 mm dan memiliki warna abu-abu kehitaman. Kepalanya besar

berwarna coklat gelap dan matanya besar meinonjol. Sepasang sungut

terletak di depan mata dan tiap sungut terdiri atas ruas dasar berbentuk gada

dengan sehelai rambut yang bercabang-cabang tumbuh diatasnya. Lalat

menghisap makanan dengan lidah pengisap. Lidah pengisapnya melebar di


27

bagian ujung dan berbentuk seperti parut. Pada bagian toraks dorsal (atas)

bertanda empat garis membujur. Abdomennya berwarna kekuning-kuningn

sedangkan untuk ruas terakhir berwarna coklat kehitaman. Tiga pasang

kakinya dituutpi oleh rambut lebat dan bercakar dua buah. Sayapnya

sepasang, tipis (cahaya dapat tembus), berwarna kelabu pucat dan

pangkalnya berwarna kekuningan. Urat-urat sayap tampak jelas

(Kemenkes,2014).

Gambar 2.1
Musca Domestica

2) Perilaku dan Daur Hidup

Lalat rumah mempunyai tingkat perkembangan telur, larva, pupa dan

dewasa. Pertumbuhan dari telur sampai dewasa memerlukan 12-14 hari

daerah tropis. Lalat rumah jika betelur lebih memilih tempat-tempat yang

lembab yang banyak mengandung zat organiknya seperti sampah, kotoran

ternak, kotoran hewan, sisa sayuran dan bentuk busuk lainnya. Larva atau

belatung ini sangat rakus dan aktif dan jika larva sudah matang akan

mencari tempat yang kering untuk berkembang menjadi pupa setelah 4-7

hari (Kemenkes,2014)..
28

Pupa akan berubah menjadi lalat dewasa 4 hari kemudian. Lalat

dewasa muda sudah siap kawin dalam waktu beberapa jam setelah keluar

dari pupa, Setiap ekor betina mampu menghasilkan sampai 2000 butir terlus

selama hidupnya. Telur ditekkan secara berkelompok. Setiap kelompoknya

mengandung 75-100 butir. Umur lalat rumah ini ditaksir sekitar 1-2 bulan.

Terkadang lalat rumah bertelur pada luka hewan dan manusia, sehingga

belatung tumbuh dalam jaringan sekelilingnya. Kejadi ini biasa disebut

myasis (Kemenkes,2014)..

b. Sarcophaga sp (lalat blirik/ lalat daging)

1). Morfologi

Lalat ini berukuran besar dengan panjang antara 11 mm- 15 mm dan

berwarna abu-abu. Pada bagian toraksnya terdapat tiga garis hitam dan

abdomennya seperti catur memiliki pola berbintik-bintik hitam dan abu-

abu. Struktur mulutnya bukan tipe penusuk tetapi penjilat dan penyerap.

Arisannya hanya berambut pada setengah bagian frontal sedangkan

setengah bagian distalnya tidak berambut (Kemenkes,2014)..

Gambar 2.2

Sarcophaga sp
29

2). Perilaku dan Daur Hidup

Lalat ini disebut lalat daging karena larvanya sering ditemukan pada

daging Pada umumnya waktu yang diperlukan lalat daging dari telur hingga

menjadi lalat dewasa adalah 14-18 hari tergantung pada suhu dan

kelembaban dan jenisnya. Lalat betin bersifat larvipara yang meletakkan

larvanya pada bangkai, daging segar atau yang telah dimasak atau kotoran

hewan yang bahkan pada luka terbuka. Larva mempunyai spirakel posterior

da bahkan pada luka terbuka. Larva mempunyai spirakel posterior yang

khas dan tinggal serta makan jaringan daging sampai instar terakhir,

setelah itu meninggalkan tempat dengan instar terakhir, setelah itu akan

meninggalkan tempat tersebut menuju daerah yang terlindung untuk

melanjutkan stadium berikutnya, yaitu pupa. Pupa biasnaya ditemukan pada

tanah atau pasir yang terlindung oleh gangguang predator atau lingkungan.

Larva lalat ini tidak hanya suka pada jaringansegar yang hidup tetapi juga

bangkai, karena itu tergolong sebagai lalat penyebab myasis yang fakulatif

(Kemenkes,2014)..

c. Chrysomya megacephala (lalat hijau)

1). Morfologi

Lalat ini umumnya berwarna hijau metalik atau mengkilat dengan

ukuran yang kurang lebih 1,5 kali lalat rumah. Sayapnya jernih dengan

guratan urat-urat yang jelas. Seluruh permukaan tubuh tertutup dengan

bulu-bulu pendek diselingi dengan sederatan bulu yang keras dan jarang

letaknya. Struktur mulutnya termasuk termasuk tipe penjilat. Larvanya


30

berbentuk silinder memanjang terdiri dari 10 ruas dengan ujung depannya

meruncing. Pada tiap-tiap batas ruas dengan ujung depanya meruncing.

Pada tiap-tiap bats ruas terdapat duri-duri keras dan pendek yang melingkar

seperti sekerup. Larva yang cukup umur dapat berbentuk 1 cm dan

berwarna kuning keputih-putihan. Pupanya berwarna coklat berbentuk

seperti tong (Kemenkes,2014)..

Gambar 2.3

Chrysomya megacephala

2). Perilaku dan Daur Hidup

C. megacephala juga mengalami metamorfosis sempurna yang

diawali dari telur kemdian menjadi larva, pupa dan akhirnya bentuk

dewasa. Seama hidupnya lalat betina C. Megacephala meletakkan

telurnya sebanyak 4-6 kali. Jangka waktu hidup tahap pra dewasanya

lalat C. megacephala adalah sekitar 8,5-9 hari pada suhu 24-28,5ºC

dengan kelempababan 85-92%. Sedangkan tahap dewasanya berkisar

antara 37,6 – 41,2 hari pada suhu 24-28 ºC dengan kelembaban 85-92%

hari pada suhu 24- ºC dengan kelembaban 86-94 % (Kemenkes,2014).


31

Lalat ini biasanya berkembang biaka di bagian semi cair yang berasal

dari hewan , termasuk daging, ikan, daging busuk, bangkai, sampah

penyembelihan, sampah ikan, sampah dan tanah yang mengandung kotoran

hewan. Telur diletakkan oleh lalat dewasa dalam kelompok atau onggokan.

Lalat ini jarang berkembang biak di tempat kering atau bahan buah-buahan.

Beberapa jenis juga berkembang biak di tinja dan sampah hewan. Lainnya

bertelur pada luka hewan dan manusia. Ketika populasinya tinggi, lalat ini

akan memasuki dapur , meskipun tidak sesering lalat rumah. Lalat ini

banyak terlihat di pasar ikan dan daging yang berdekatan dengan kakus.

Lalat ini dilaporkan juga membawa telur cacing Ascaris lumbricoides dan

Trichuris trichiura yang menempel pada bagian luar tubuhnya

(Kemenkes,2014).

d. Calliphora sp (lalat hijau)

1). Morfologi

Lalat dewasa berukuran hampir sama degan lalat.Chrysomya

berwarna metalik hijau kebiru-biruan. Arista berbulu lebat (plumose),

bulu-bulu tersebut panjang sampai ke bagian ujung (apex) dari Arista.

Laat mulutnya tipe penjilat seperti lalat rumah. Larva berwarna

keputihan. Hidupnya dalam daging busuk atau sayuran busuk

(Kemenkes,2014)..
32

Gambar 2.4

Calliphora

2). Perilaku dan Daur Hidup

Untuk lalat Calliphora sp ditemukan dalam jumlah yang

cukup banyak pada lingkungan dekat dengan timbunan sampah

organik. Dekat tempat pemotongan hewan atau tempat

pengolahan daging ternak. Telur diletakan di daging binatang

mati atau tumpukan sayuran busuk. Larva muda akan menuju ke

bagian dasar dari tumpukan smapah untuk berkembang menjadi

larva instar selanjutnya, Larva instar lanjut akan meninggalkan

media makannanya dan menuju ke bagian dasar untuk

berkembang menjadi pupa. Dibutuhkan waktu 15 hari atau lebih

untuk perkembangan dari telur hingga menjadi lalat dewasa

(Kemenkes,2014)..

e. Drosophila melanogaster (lalat buah)

1) Morfologi

Lalat ini berkuran relatif kecil dengan panjang sekitat 3 mm.

Warna mata merah, bagian toraks berwarna coklat, abdomen dorsal


33

hitam dan bagian bawah keabau-abuan. Kepala lalat buah berbentuk

bulat agak lonjong dan merupakan tempat melekat dua ruas antena.

Palpi kecil dan berbulu. Urat sayap bagian psterior kuat dengan urat

yang menyilang. Alat mulut tipis, tarus pertama kaki belakang panjang

dan langsing (Kemenkes,2014)..

Gambar 2.5

Drosophila melanogaster

2) Perilaku dan Daur Hidup

Lalat buah meletakkan telur-telurnya dekat dengan permukaan

bahanpbahan yang merahi (fermentasi) seperti buah-buahan, wadah

sampah yang kotor, sisa-sisa sayuran atau kotoran pada saluran air.

Larva yang halus akan menetas setelah 30 jam dan makan pada

permukaan bahan-bahan yang meragi dan setelah matang larva akan

bergerak ke tempat kering untuk berkembang menjadi pupa. Pada

keadaan yang optimal dan lembab diperlkan waku 9-12 hari untuk

perkembangan dari telur menjadi dewasa (Kemenkes,2014).

Setiap lalat buah betina dapat bertelur sampai dengan 500 telur.

Kemampuan reproduksi dari lalat buah sangat besar karena dalam


34

waktu yang relatif singka dapat ditemukan populasi lalat buah yang

sangat banyak. Lalat buah adalah lalat yang kuat terbang dan dapat

menempuh jarak lebih kurang 10 Km dalam waktu 24 jam. Lalat buah

sangat tertarik pada bahan-bahan seperti buah dan sayurang yang

masak atau busuk, produk yang mengandung ragi, botol dan kaleng

minuman yang kosong, saluran air yang kotor atau tersumbat dan area-

area yang lembab (Kemenkes,2014).

2. Faktor Kepadatan Lalat

Beberapa hal yang dapat meningkatkan populasi lalat ialah, ketersedian tempat

perindukan yang cocok dan faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban dan

pencahayaan (Sigit dan Hadi,2006)

a. Terdapat Tempat Perindukan Lalat

Menurut WHO (1986) terdapat beberapa tempat perkembang biakan atau

perindukan dari lalat,yaitu :

1). Sampah Basah dan Sampah Organik

Sampah adalah hasil buangan dari kegiatan manusia beberapa bahan

atau benda yang sudah tidak dipakai lagi oleh manusia. Banyaknya

timbunan sampah yang dihasilkan dari aktifitas manusia, akan meningkat

terus menerus jika timbunan sampah tersebut tidak dapat dikelola dengan

baik, hal ini akan menjadi tempat perkembangbiakan vektor penyakit.

Hasil buangan dari kegiatan manusia ini seperti dari proses

pengolahan makanan ataupun industri seperti sayur-sayuran dan buah.

Hasil buangan dari pengelolaan daging dan ikan pun meninmbulkan bau

yang tidak sedap sehingga menarik lalat untuk hinggap biasanya hewan
35

yang dengan protein tinggi . Sisaanya pada daging seperti darah,jeroan,

dan tulang serta untuk ikan pada daging ikannya dan jenis hewan laut

lainnya yang telah mati (bangkai).

2). Kotoran Hewan

Kotoran hewan yang menumpuk secara kumulatif di kandang maupun

di luar kandang terutama hewan ternak dan burung yang memiliki

kelembaban yang tepat dan tekstur yang tidak terlalu padat (kotoran yang

masih baru sekitar satu minggu) dapat mengundang lalat. Lalat dapat

membiak di setiap zat organik yang lembab dan hangat. Sehingga

kebersihan kandang pun harus diperhatikan karena kotoran hewan ternak

yang menumpuk berhari-hari akan berpotensi menjadi tempat perkembang

biakan lalat.

3). Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL)

Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL) yang terbuka dapat

menyebarkan bau dan didukung dari kondisi yang kotor dapat menjadi

salah satu tempat yang akan disukai oleh lalat. Berdasarkan SNI 01-6160-

199 Saluran Pembuangan Air Limbah di Rumah Potong Hewan pun harus

dipisah dengan pembuangan dari kamar mandi.

b. Faktor Lingkungan

Penyebaran lalat dapat dipengaruhi oleh temperatur (suhu), kelembaban dan

pencahayaan (Kemenkes,2008)

1). Temperatur dan Kelembaban


36

Lalat mulai aktif terbang pada suhu 150 C dan jumlah lalat akan

semakin tinggi jika suhu disekitarnya 200 C- 250 C dan akan berkurang

jumlahnya pada temperatur <100C dan pada 7,50 C lalat sudah tidak

aktif dan pada diatas atau > 490 C terjadi kematian lalat (Kemenkes

RI,2008) Berikut tabel 2.1 memaparkan berapa lama daur hidup lalat

rumah sesuai dengan temperatur (suhu) yang ditentukan.

Tabel 2.1

Lama Waktu Lalat Berdasarkan Suhu

Temperatur Telur Menetas Larva Pupa Total hari


(0C) (Jam) (Hari) (Hari)
16 49 11-26 18-21 44,8 (40-49)

18 33 10-14 12-15 26,7 (23-30)

20 23 8-10 10-11 20,5 (19-22)

25 14 7-8 7-9 16,1 (14-18)

30 10 5-6 4-5 10,4 (9-11)

35 8 3-4 3-4 7,0 (6-8)

Pada penelitian yang dilakukan oleh Ihsan (2013) yang mengukur

hubungan suhu dengan pradewasa lalat rumah menghasilkan bahwa suhu

tinggi dapat mempercepat periode perkembangan pradewasa, dan suhu

rendah dapat memperlambat periode perkembangan pradewasa

membentuk persamaan eksponensial, sehingga adanya pengaruh suhu

pada kecepatan perkembangan menyebabkan suhu lingkungan ikut

menentukan jumlah populasi lalat rumah yang dapat meningkatkan


37

potensi wabah penyakit yang diakibatkan oleh lalat rumah (Musca

domestica).

Kelembaban berhubungan erat dengan suhu setempat, jika

kelembaban rendah maka suhu tinggi dan jika kelembaban tinggi maka

suhu rendah. Lalat menyukai kondisi kelembaban 90% (Kemenkes

RI,2008)

2). Pencahayaan

Lalat merupakan serangga yang bersifat fototropik (menyukai

cahaya). Maka dari itu lalat pada malam hari tidak aktif tetapi dapat

diaktifkan jika menggunakan sinar buatan. Pada siang hari lalat akan

berkumpul dan berkembang biak di sekitar sumber makannya

(Kemenkes,2008).

3. Pengendalian Lalat

Dalam pengendalian artropoda ada beberapa prinsip yang perlu diketahui

dalam pelaksanaannya antara lain pengendalian lingkungan, pengendalian

biologi, pengendalian genetik dan pengendalian kimia Pengendalian lingkungan

merupakan cara terbaik untuk mengontrol artopoda karena bersifat permanen

untuk kedepannya (Sumantri,2010).

Pengendalian lingkungan pada lalat ialah perbaikan sanitasi dan penghalang

fisik. Tujuan dari pengendalian lalat ini ialah untuk menurunkan tingkat

kepadatan lalat sehingga tidak menjadi masalah dalam rangka mencegah

penebaran penyakit yang dapat ditularkan oleh lalat (Kemenkes,2008).


38

a. Sanitasi

Pengendalian dengan menggunakan cara ini dapat ditujukan terhadap larva

dan lalat dewasa yang meliputi antara lain :

 Menciptakan lingkungan yang tidak memberikan suatu bentuk

kehidupan larva lalat yaitu keadaan yang kering, udara sejuk dan

bersih

 Membuat tempat-tempat lingkungan kerja yang bersih sehingga tidak

memungkinkan pupa lalat untuk hidup dan hinggap

 Mencegah adanya bau yang dapat merangsang lalat dewasa datang,

dengan cara menurup sampah atau bagian yang bau dengan penutup

plastik yang langsung dibuang seperti sisa nakanan, ikan, kepala udang

dan sebagainya

 Membuat tempat atau alat yang tidak disenangi lalat untuk istirahat

misalnya dinding vertikal yang bebas dari barang yang bergelantungan

 Perbaikan lingkungan untuk mengurangi tempat-tempat yang potensial

sebagai tempat perindukan terutama tempat pembuangan sampah

 Sampah terutama sampah dapur ditampung pada tempat sampah yang

baik dan tertutup

 Pengangkutan dan pembuangan sampah dari setiap lokasi dilakukan

setiap hari dengan cara yang baik

 Tempat pengumpulan sampah diberi alas yang kedap air misalnya

dengan besi plat, seng dan lain-lain

 Untuk tempat pembuangan kotoran mrnggunakan kakus yang selalu

dalam keadaan bersih


39

b. Penghalang fisik

Pengendalian lalat menggunakan penghalang fisik antara lain :

 Pemasangan kawat kasa pada pint dan jendela serta lobang angin

 Membuat pintu dua lapis, daun pintu pertama kearah luar dan lapisan

kedua merupakan pintu kasa yang dapat membuka dan menurup

sendiri

 Mengalirkan angin yang kencang pada dinding atas sampai bawah

pintu sehingga lalat atau serangga terjatuh bila masuk ke dalam rumah

4. Pengkuran Angka Kepadatan Lalat

Pengukuran kepadatan lalat juga bertujuan untuk menurunkan angka

kepadatan lalat. Kepadatan lalat dapat ditentukan melalui perhitungan dilakukan

dengan menempatka suatu alat di mana lalat terkonsentrasi kemudian diestimasi

ukuran relatif populasi lalat tersebut. Tujuan dari dilakukannya pengukuran

tingkat kepadatan lalat ialah untuk merencanakan upaya pengendalian, yaitu

kapan, dimana dan bagaimana pengendalian akan dilakukan. Dalam menentukan

kepadatan lalat, pengukuran terhadap populasi lalat dewasa lebih tepat dan bisa

diandalkan dari pada pengukuran populasi larva lalat Kemenkes,2008)

Terdapat beberapa peralatan pengukuran lalat yang umum dipakai untuk

mengetahui kepadatan popilasi lalat, antara lain :

a. Umpan Kertas Lengket Berbentuk Lembaran (Sticky Trap)

Alat umpan ini digantung diatap kemudian lalat dapat hinggap pada alat

sticky trap dengan karena alat umpan ini mengandung lem. Alat ini dapat
40

dipergunakan pada bagian dalam ruangan dan dilakukan pengukuran per hari

atau per mingu dan akan diperloleh rata-rata kepadatan lalat per ari dan dapat

diperoleh pula angka kepadatan lalat tertinggi pada daerah tersebut.

b. Perangkap Lalat (Fly trap)

Alat ini cocok untuk menangkap lalat dalam jumlah yang besar atau

jumlah yang banyak. Kontainer yang gelap menjadi tempat yang menarik lalat

untuk berkembangbiak dan mencari makanan saat lalat menoba makan dan

terbang akan tertangkap oleh perangkap yang sudah dilakukan di daerah mulut

kontainer yng terbuka. Alat ini cocok digunakan diluar rumah

Perangkap lalat diletakan setiap hari selama masa pengamatan. Lalat yang

masuk kedalam perangkap setiap hari, sehingga dapat diperoleh angka

kepadatan lalat setiap harinya. Hasil pengukuran ini akan diperoleh angka

kepadatan lalat setiap minggunya/bulannya/tahunnya

Fly trap adalah sebuang perangkap yang terdiri dari kawat kasa sebagai

penutup dan beralaskan kayu untuk menempatkan umpan, tutup kayu dengan

celah kecil dan sangkat di atas penutup. Celah berdiameter 2 cm antara pentup

yang berbentuk kerucut dengan puncak terbuka. Puncak terbuka tersebut untuk

memberikan kelonggaran kepada lalat untuk bergerak menuju penutup.

Perangkap harus ditempatkan di udara terbuka di bawah sinar cerah matahari,

jauh dari keteduhan pepohonan( Nida,2014).

c. Fly Grill

Fly grill adalah alat yang sederhana dan sering digunakan unuk mengukur

kepadatan lalat. Berdasarkan pada sifat lalat yang cenderung hinggap pada

tepi-tepi atau tempat yang berudut tajam dalam kurun waktu tertentu. Cara

kerja alat ini sederhana dalam pengukuran tingkat kepadatan lalat karena
41

dalam perhitungannya diperhatikan per block grill. Alat fly grill ini dapat

diwarnai dari beberapa macam warna dalam pengukuran kepadatan lalat,

warna yang cenderung disukai lalat adalah warna kayu, putih dan warna

kuning

5. Indikator Angka Kepadatan Lalat

Indeks kepadatan lalat dikategrikan sesuai dengan lalat yang tertangkap.

Terdapat 4 kategori indeks populasi lalat, sebagai berikut (Kemenkes,2014).:

 0-2 Ekor : rendah atau tidak menjadi masalah

 3-5 ekor : sedang atau perlu tindakan pengendalian terhadap tempat

perkembangbiakan lalat

 6-20 ekor : tinggi atau populasi cukup padat, perlu pengamanan terhadap

tempat perkembangbiakan lalat

 21 ekor : sangat tinggi hingga perlu dilakukan pengamanan terhadap

tempat-tempat perkembangbiakan lalat dan pengendalian

lalat

C. Kerangka Teori

Berdasarkan hasil kajian teori yang telah dipaparkan, faktor-faktor yang

mempengaruhi kepadatan lalat di Rumah Potong Unggas (RPU). Angka kepadatan

lalat di rumah potong unggas akan tinggi jika limbah yang dihasilkan dari

pemotongan unggas di RPU tidak dikelola dengan baik dan sanitasi lingkungan tidak

sesuai dengan persyaratan.

Perilaku pengelolaan limbah buruk baik limbah padat (pemilahan dan

pengangkutan limbah padat) dan limbah cair (perawatan saluran pembuangan air

limbah) dan sanitasi lingkungan yang tidak memenuhi persyaratan yaitu ketersediaan
42

tempat sampah dan ketersediaan saluran pembuangan air limbah serta sanitas tempat

potong yang buruk dapat menjadikan RPU sebagai salah satu tempat

perkembangbiakan dan tempat sumber makanan lalat. Faktor lingkungan seperti

suhu, kelembaban dan pencahayan juga dapamempengaruhi penyebaran lalat.


43

Persyaratan bangunan Sanitasi Lingkungan RPU


RPU
1. Ketersedian tempat
penampungan sampah dan
Tempat Pembuangan
Sementara (TPS)
2. Ketersedian Saluran
Rumah Potong Unggas Pembuangan Air Limbah
(RPU) (SPAL)
3. Sanitasi tempat potong Pengendalian Lalat Non
Kimiawi
Penyembelihan halal
1. Sanitasi
2. Penghalang Fisik

Pengelolaan Limbah
Tempat Perindukan dan Angka Kepadatan
1. Penangangan limbah Sumber Makanan Lalat Lalat
Limbah Padat dan Limbah padat
Cair 2. Perawatan SPAL

Faktor Lingkungan RPU


Bagan 2.1 1. Suhu
Kerangka Teori
2. Kelembaban
(WHO , 1986; Dirjen P2PL, 2008 dan Dirjen PKH Kementan RI, 2010)
3. Pencahayaan
BAB III

Kerangka Konsep, Definisi Operasional, dan Hipotesis

A. Kerangka Konsep

Berdasarkan kerangka teori diatas, peneliti ingin melihat hubungan antara

sarana sanitas lingkungan pengelolaan limbah dengan kepadatan lalat di rumah

potong unggas. Variabel independen yang akan diteliti ialah sanitasi lingkungan

pengelolaan limbah (ketersediaan tempat sampah, ketersediaan SPAL dan sanitasi

tempat potong), perilaku pengelolaan limbah, faktor lingkungan (suhu dan

kelembaban). Sedangkan untuk variabel dependennya ialah angka kepadatan lalat

Sanitasi Lingkungan
1. Ketersedian tempat sampah
2. Ketersediaan saluran
pembuangan air limbah
3. Sanitasi Tempat Pemotongan

Perilaku Pengelolaan Limbah Angka Kepadatan


Lalat

Faktor Lingkungan
1. Suhu
2. Kelembaban

Bagan 3.1
Kerangka Konsep

44
45

B. Definisi Operasional

Tabel 3.1

Definisi Operasional

No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Skala Ukur Hasil Ukur

Variabel Dependen

1.Indikator
1 Angka Pengukuran Fly trap Ordinal 0 = Tinggi (Lebih
Rata-rata dari populasi lalat yang
Kepadatan Lalat kepadatan lalat dari sama dengan 21)
terdapat pada perangkap lalat (fly
1 = Rendah
trap) yang di letakan di lokasi
(Kurang dari 21)
pengukuran yaitu, tempat
(Kementrian
pemotongan, tempat penampungan
Kesehatan, 2014)
sampah dan tempat istirahat

petugas potong.
46

Variabel Independen

1.Perilaku Tindakan petugas pemotongan Wawancara Pedoman Ordinal 0 = Buruk (bila

Pengelolaan unggas dalam melakukan Wawancara nilai dibawah rata-

Limbah pengelolaan limbah mulai dari rata )

pengelolaan limbah padat dan 1 = Baik (Jika nilai

kebersihan saluran pembuangan air diatas rata-rata)

limbah yang terdapat di rumah (Kasiono et al.,

potong unggas 2016)

(FAO,1985)

2.Tempat Ketersediaan tempat penampungan Observasi Lembar Ordinal 0 = Tidak

pembuangan sampah hasil dari aktivitas rumah Observasi Memenuhi syarat

sampah potong unggas yang sesuai dengan (bila nilai dibawah

persyaratan. rata-rata )

(FAO,1985) 1 = memenuhi
47

syarat (Jika nilai

diatas rata-rata)

(Pebriyanti dan

Nirmala, 2017)

3.Saluran Saluran Pembuangan Air Limbah Observasi Lembar Ordinal 0 = Tidak

Pembuangan air (SPAL) adalah saluran yang Observasi Memenuhi syarat

limbah digunakan untuk mengumpulkan (bila nilai dibawah

air buangan sisa pencucian dari rata-rata )

aktivitas RPU dan darah dari

pemotongan unggas (SNI,1999) 1 = memenuhi

syarat (Jika nilai

diatas rata-rata)

(Pebriyanti dan

Nirmala, 2017)
48

4.Sanitasi Tempat Usaha dalam menjaga kebersihan Wawancara dan Pedoman 0 = Buruk (bila

Potong tempat pemotongan dari limbah Observasi wawancara nilai dibawah rata-

yang dihasilkan dari aktivitas dan Lembar rata )

pemotongan (Kementrian Observasi 1 = Baik (Jika nilai

Pertanian, 2010) diatas rata-rata)

(Pebriyanti dan

Nirmala, 2017)
o
5.Suhu Hasil pengukuran rata-rata kondisi Pengukuran Thermohygr Interval C

panas atau dinginnya udara dalam ometer

dan luar ruangan rumah potong

unggas yang dinyatakan dalam

derajat celcius

6.Kelembaban Hasil pengukuran persentase Pengukuran Thermohygr Interval %

kandungan uap air di rumah potong ometer

unggas
49

C. Hipotesis

1. Ada hubungan antara perilaku pengelolaan limbah dengan kepadatan lalat Rumah

Potong Unggas Kota Depok

2. Ada hubungan antara ketersediaan tempat pembuangan sampah dengan kepadatan

lalat Rumah Potong Unggas Kota Depok

3. Ada hubungan antara ketersediaan saluran pembuangan air limbah dengan

kepadatan lalat Rumah Potong Unggas Kota Depok

4. Ada hubungan antara sanitasi tempat potong dengan kepadatan lalat Rumah Potong

Unggas Kota Depok

5. Ada hubungan antara suhu dengan kepadatan lalat Rumah Potong Unggas Kota

Depok

6. Ada hubungan antara kelembaban dengan kepadatan lalat Rumah Potong Unggas

Kota Depok
BAB IV

Metodologi Penelitian

A. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan bentuk desain studi

yaitu cross sectional study. Cross sectional study adalah penelitian yang mendesain

pengumpulan data variabel risiko atau sebab (independent variabel) maupun

variabel akibat (dependen variabel) dalam satu waktu dimana keadaan yang diteliti

adalah selama satu periode pengumpulan data (Notoatmodjo,2012). Variabel

Independen adalah, perilaku pengelolaan limbah, sanitasi lingkungan (ketersediaan

tempat sampah, ketersediaan SPAL, sanitasi tempat potong), faktor lingkungan

(suhu dan kelembaban). Untuk variabel depeden adalah indikator angka kepadatan

lalat.

B. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli - September 2018 terhitung sejak

pengambilan data hingga laporan hasil. Adapun lokasi penelitian yang dipilih adalah

rumah potong unggas yang terdapat di Kota Depok.

C. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi merupakan objek yang mungkin terpilih atau keselurahn ciri yang

dipelajari (Nugroho,2017). Adapun populasi pada penelitian ini adalah rumah

potong unggas di Kota Depok pada tahun 2018. Jumlah populasi penelitian ini

adalah 12 rumah potong unggas. Penelitian ini menggunakan teknik total sampling,

dimana sampel penelitian ini merupakan seluruh anggota populasi. Hal ini

50
51

dikarenakan jumlah poplasi yang relatif kecil (Hermawanto, 2010). Sehingga jumlah

sampel pada penelitian ini adalah 12 rumah potong unggas.

D. Pengumpulan Data dan Pengolahan Data

1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data penelitian ini bersumber dari data sekunder dan primer. Data

sekunder berupa lokasi rumah potong hewan dan tempat pemotongan hewan yang

berada di wilayah Kota Depok. Data primer yang digunakan adalah data mengenai

keberadaan lalat di tempat istirahat karyawan, keberadaan lalat pada tempat potong

dan keberadaan lalat di tempat penyimpanan sampah di setiap Rumah Potong Unggas

(RPU) di wilayah Kota Depok, data mengenai sanitasi lingkungan RPU, data

pengelolaan limbah di RPU, data suhu dan data kelembaban di RPU.

2. Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan agar analisis penelitian menghasilkan informsai yang

benar dan berguna. Dalam proses pengolahan data, ada beberapa kegiatan yang

dilakukan peneiti yaitu (Notoatmodjo,2012)

a. Editing (Penyuntingan data) merupakan tahap dimana hasil pengumpulan data

disunting atau dilakukan pengecekan terlebih dahulu. Jika masih ada data atau

informasi yang tidak lengkap maka dilengkapi segera atau data yang tidak

lengkap tetapi tidak mungkin dilakukan wawancara ulang maka data tersebut

dikeluarkan.

b. Coding ialah tahap dimana mengubah data berbentuk kalimat atau huruf

menjadi data angka (pemberian kode) sesua dengan tujuan dikumpulkannya

data
52

c. Entry atau Processing ialah tahap memasukan data dimana hasil data yang

sudah dilakukan pengkodean dimasukan ke dalam program atau software

komputer. Program komputer yang digunakan pada penelitian ini ialah

menggunakan SPSS.

d. Cleaning merupakan tahap pembersihan data setelah data dimasukan. Tujuan

dari tahap cleaning ini ialah untuk melihat kemungkinan terjadinya kesalahan,

ketidaklengkapan dan sebagainya.

E. Instrumen Penelitian

1. Fly trap

Fly trap adalah perangkap lalat berbentuk kubus yang untuk mengukur

kepadatan lalat yang berada di rumah potong unggas (Tempat pembuangan

sampah, tempat pemotongan unggas dan tempat istirahat karyawan). Berikut

uji fungsi fly trap

 Menentukan lokasi perhitungan kepadatan lalat

 Memasukan fly trap yang sudah berisi umpan berupa udang busuk

 Meletakan fly trap pada titik sampling yang telah ditentukan selama

seharian atau 24 jam

 Menghitung kepadatan lalat setiap 4 jam sekali lalu di jumlahkan setiap

titiknya

 Hasil dari setiap titik dijumlahkan dan dicari rata-rata sehigga didapatkan

angka kepadatan lalat di rumah potong unggas tersebut

 Berikut waktu yang akan dilakukan pengukuran


53

Tabel 4.1

Waktu Pengukuran Penelitian

Pengukuran Waktu

1 07.00 - 11.00

2 11.00 – 15.00

3 15.00 – 19.00

4 19.00 – 23.00

5 23.00 – 03.00

6 03.00 – 07.00

2. Lembar Checklist

Merupakan lembar berisi list objek yang harus diamati untuk mengetahui

variabel memenuhi syarat atau tidak memenuhi syarat. Objek yang

memenuhi syarat diberikan tanda (check). Variabel yang diamati ialah

sanitasi lingkungan yaitu ketersediaan tempat sampah, ketersediaan SPAL

dan sanitasi tempat potong

3. Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara merupakan daftar pertanyaan untuk mengumpulkan

data mengenai perilaku pengelolaan limbah dan sanitasi tempat potong.

4. Thermohygrometer

Thermohygrometer adalah alat untuk mengukur suhu dan kelembaban udara

dalam ruangan. Pengambilan sampel suhu dan kelembaban udara dalam ruangan

dilakukan di ruangan tempat


54

Berikut cara kerja dari thermohygrometer:

 Masukkan baterai dan alat akan hidup secara otomatis.

 Letakkan thermohygrometer pada titik tengah atau epicentrum tempat dengan

menaruh diatas meja atau digantung pada tempat yang ingin dikur suhu dan

kelembabannya.

 Thermohygrometer akan otomatis mengukur suhu dan kelembaban udara di

tempat pengukuran.

 Catat perubahan nilai dari suhu dan kelembaban ruangan tersebut setiap

menitnya selama 10 menit.

 Hitung rata-rata dari nilai suhu dan kelembaban dalam ruangan.

F. Validasi Instrumen

Uji validitas dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui ketepatan instrumen

dalam melakukan pengukuran. Uji validitas dilakukan pada subjek yang memiliki

karakterisik hampir sama dengan subjek penelitian yaitu petugas potong unggas.

Sampel pada uji validitas dalam penelitian ini ialah petugas potong unggas yang

terdapat di daerah Bekasi dan Bogor. Uji validitas dilakukan pada 20 orang

responden petugas potong unggas. Uji validitas yang dilakukan ialah uji validitas

muka. Validitas muka dilakukan dengan melihat muka responden apabila mengalami

kebingungan saat menjawab. Berdasarkan hasil uji validitas muka maka terdapat

satu item yang perlu dilakukan redaksi kata yaitu pada pertanyaan nomor pertama di

instrumen kuesioner.
55

G. Analisa Data

1. Analisis Univariat

Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan

distribusi frekuensi dari setiap variabel penelitian baik variabel independen

maupun variabel dependen. Variabel independen yang diteliti berupa

perilaku pengelolaan limbah, sanitasi lingkungan (ketersediaan tempat

sampah, ketersediaan SPAL, sanitasi tempat potong) dan faktor lingkungan

(suhu dan kelembaban). Variabel depeden yang diteliti berupa angka

kepadatan lalat.

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat merupakan analisis yang digunakan untuk mengetahui

hubungan antara dua variabel yang berhubungan (variabel independen dan

variabel dependen). Analisis bivariat dalam penelitian ini digunakan untuk

mengetahui hubungan antara, perilaku pengelolaan limbah, sanitasi lingkungan

dan faktor lingkungan dengan angka kepadatan lalat.

Untuk data numerik ( faktor lingkungan) dengan data kategorik (angka

kepadatan lalat) analisis menggunakan uji t independen apabila berdistribusi

normal dan menggunakan uji mann whitney apabila berdistribusi tidak normal.

Sedangkan untuk data kategorik (sanitasi lingkungan dan perilaku pengelolaan

limbah) dengan data kategorik ( angka kepadatan lalat) menggunakan uji chi

square. Penelitian ini menggunakan uji kemaknaan 5% dan derajat kepercayaan

(CI = 95%). Bila P-Value ≤ 0,05 maka hasil perhitungan secara statistik

menunjukan adanya hubungan antara variavel independen dengan variabel


56

dependen, sedangkan jika P-value > 0,05 maka hasil perhitungan secara statistik

tidak menunjukkan hubungan antara variabel independen dan variabel dependen


BAB V

HASIL PENELITIAN

A. Gamabaran Wilayah Penelitian

1. Rumah Potong Unggas

Penelitian ini berlokasi di Rumah Potong Unggas (RPU) di Kota Depok. RPU

adalah bangunan yang kompleks dengan desain dan kontruksi bangunan khusus yang

memenuhi persyaratan teknis dan higiene tertentu serta digunakan sebagai tempat

pemotongan unggas untuk dikonsumsi masyarakat umum (Kementrian Pertanian,

2005). Pada penelitian ini terdapat 12 RPU yang tersebar di Kota Depok berdasarkan

dengan data yang terdapat di Dinas Pertanian Perikanan dan Ketahanan Pangan Kota

Depok.

Tabel 5.1

Lokasi Penelitian

RPU Kelurahan Kecamatan


1 Mekarsari Cimanggis
2 Tugu Cimanggis
3 Tugu Cimanggis
4 Beji Timur Pancoran Mas
5 Beji Timur Pancoran Mas
6 Tirtajaya Sukmajaya
7 Duren Mekar Bojongsari
8 Duren Mekar Bojongsari
9 Sawangan Bojongsari
10 Sawangan Bojongsari
11 Cilangkap Tapos
12 Tapos Tapos

57
58

Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 556 Tahun 1976 RPU Kota

Depok termasuk kedalam kategori kelas D berdasarkan luasan peredaran

dagingnya. Hal ini karena peredaran daging unggas pada RPU Kota Depok hanya

untuk kebutuhan Kota Depok. Distribusi unggas yang telah dipotong pada RPU

Kota Depok mayoritas ke pasar yang berada di Kota Depok tetapi ada pula yang

diperuntungkan untuk hotel dan restauran.

Skala jumlah pemotongan termasuk skala pemotongan sedang. Setiap

harinya RPU Kota Depok dapat memotong sebanyak 500-1000 ekor unggas. RPU

di Kota Depok rata-rata masih melakukan pemotongan secara manual atau

tradisional. Hanya terdapat dua RPU yang sudah menggunakan mesin dalam

pemotongan yaitu RPU Tapos dan RPU di Tirtajaya.

2. Letak Geografis

Secara administratif luas wilayah Kota Depok ialah 20029 ha yang terdiri dari 11

Kecamatan dan 63 Kelurahan. 6º19‟00‟‟-6º28‟00‟‟ lintang selatan dan 106º43‟00‟‟ -

106º55‟30‟‟ bujur timur. Bentang alam Kota Depok dari selatan ke utara merupakan

daerah dataran rendah dan perbukitan bergelombang Wilayah Kota Depok berbatasan

dengan tiga kabupaten dan satu provinsi diantaranya. (BPS Depok, 2016).

a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Ciputat Kabupaten Tangerang

dan DKI Jakarta

b. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Pondok Gede Kota Bekasi dan

Kecamtan Gunung Putri Kabupaten Bogor

c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Cibinong dan Kecamatan

Bojonggede Kabupaten Bogor


59

d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Parung dan Kecamatan Gunung

Sindur Kabupaten Bogor

B. Analisis Univariat

Analisis univariat mendeskripsikan angka kepadatan lalat, perilaku pengelolaan

limbah, sanitasi lingkungan (ketersediaan tempat sampah, ketersediaan SPAL, sanitasi

tempat potong), faktor lingkungan (suhu dan kelembaban).

1. Gambaran Angka Kepadatan Lalat

Hasil penelitian mengenai angka kepadatan lalat pada rumah potong

unggas di Kota Depok yang dilakukan dengan menggunakan alat fly trap.

Grafik 5.1

Angka Kepadatan Lalat Berdasarkan Waktu Pengukuran

300

250

07.00-11.00
200
11.00-15.00

150 15.00-19.00
19.00-23.00
100 23.00-03.00
03.00-07.00
50

0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Berdasarkan grafik 5.1 dapat dilihat bahwa pada pengukuran pukul

07.00 hingga 19.00 angka kepadatan lalat pada mayoritas RPU masih

tergolong tinggi. Pada pengukuran pukul 19.00 hingga 23.00 masih terdapat
60

beberapa RPU yang terdapat lalat seperti pada RPU 1,3,5,6 dan 8. Sedangkan

pada pengukuran pukul 23.00 hingga 07.00 tidak terdapat lalat.

Tabel 5.2

Distribusi Rata-Rata Angka Kepadatan Lalat di RPU Kota Depok

Angka Kepadatan N Persentase (%)


Lalat
Rendah 5 41,7

Tinggi 7 58,3

Total 12 100

Berdasarkan tabel 5.2 dari hasil analisis gambaran angka kepadatan

lalat di RPU, diperoleh bahwa 7 RPU (58,3%) memiliki angka kepadatan

lalat tinggi dan 5 RPU (41,7%) memiliki angka kepadatan lalat rendah. Dari

tabel tersebut dapat dilihat bahwa lebih banyak RPU yang memiliki angka

kepadatan lalat yang tinggi

Grafik 5.2

Identifikasi Lalat

600

500

400
Musca domestica

300 Sarcophaga sp
Chrysomya megacepha
200 Tiotal

100

0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
61

Berdasarkan grafik 5.3 diketahui bahwa mayoritas lalat yang

teridentifikasi di RPU ialah jenis Musca Domestica.

2. Gambaran Perilaku Pengelolaan Limbah

Hasil penelitian mengenai perilaku pengelolaan limbah oleh pengelola

rumah potong unggas di Kota Depok yang dilakukan dengan menggunakan

pedoman wawancara

Tabel 5.3

Distribusi Perilaku Pengelolaan Limbah

Perilaku Pengolahan N Persentase (%)


Limbah
Baik 7 58,3

Buruk 5 41,7

Total 12 100

Berdasarkan tabel 5.3 dari hasil analisis gambaran perilaku

pengelolaan limbah oleh pengelola RPU, diperoleh bahwa 7 RPU (58,3%)

memiliki perilaku pengelolaan limbah yang baik dan 5 RPU (41,7%)

perilaku pengelolaan limbah yang buruk. Dari tabel tersebut dapat dilihat

bahwa lebih banyak RPU yang memiliki perilaku pengelolaan limbah yang

baik.
62

Tabel 5.4

Distribusi Item Pertanyaan terkait dengan Pengelolaan Limbah

Item Pengelolaan Limbah Ya Tidak


N % N %
Pemisahan sampah organik dan anorganik 9 75% 3 25%
Pemisahan sampah basah dan sampah kering 9 75% 3 25%

Pengangkutan sampah 1 x 24 jam 9 75% 3 25%


Pembakaran bangkai unggas 2 16,7% 10 83,3%
Pembersihan SPAL dari padatan 9 75% 3 25%

Pembersihan kotoran unggas setiap hari 5 41,7% 7 58,3%


Pembersihan kandang unggas 9 75% 3 25%

Tabel 5.4 menunjukan item pertanyaan terkait perilaku pengelolaan

limbah pada RPU Kota Depok. Terdapat dua item pertanyaan yang mayoritas

pengelola RPU tidak melakukan yaitu item pembakaran bangkai unggas dan

pembersihan kotorana unggas. Hanya terdapat 2 RPU (16,7%) yang

melakukan pembakaran bangkai unggas dan hanya terdapat 5 RPU (41,7%)

yang melakukan pembersihan kotoran unggas setiap harinya.

3. Gambaran Sanitasi Lingkungan

Hasil penelitian mengenai sanitasi lingkungan meliputi ketersediaan

tempat sampah, ketersediaan SPAL dan sanitasi tempat potong di RPU Kota

Depok tahun 2018.

a. Gambaran Ketersediaan Tempat Sampah

Hasil penelitian mengenai ketersediaan tempat sampah di rumah

potong unggas di Kota Depok yang dilakukan dengan menggunakan lembar

observasi atau pengamatan


63

Tabel 5.5

Distribusi Ketersediaan Tempat N Persentase (%)


Sampah
Ketersediaan Tempat
Memenuhi Syarat 6 50
Sampah
Tidak Memenuhi 6 50
Syarat
Total 12 100

Berdasarkan tabel 5.5 dari hasil analisis gambaran ketersedian tempat

sampah di RPU, diperoleh bahwa 6 RPU (50%) memiliki ketersediaan

tempat sampah yang memenuhi syarat dan 6 RPU (50%) memiliki

ketersediaan tempat sampah yang tidak memenuhi syarat Dari tabel tersebut

dapat dilihat bahwa RPU yang memiliki ketersediaan tempat sampah yang

memenuhi syarat jumlahnya sama dengan RPU yang memiliki ketersediaan

tempat sampah yang tidak memenuhi syarat

Tabel 5. 6

Item Ketersediaan Tempat Sampah Ya Tidak


N % N %
Mempunyai Tempat Penampungan Sampah 9 75 3 25
Sementara
Tidak ada sampah yang terbuang sembarangan 1 8,3 11 91,7

Tersedia tempat sampah di tempat pemotongan 5 41,7 7 58,3


Tempat sampah bahan kedap air 11 91,7 1 8,3
64

Tempat sampah tertutup 11 91,7 1 8,3

Tempat sampah mudah dibersihkan 5 41,7 7 58,3


Distribusi Item Pertanyaan terkait dengan Ketersediaan Tempat Sampah

Tabel 5.6 menunjukan item pertanyaan terkait ketersediaan tempat

sampah yang memenuhi persyaratan pada RPU Kota Depok. Terdapat tiga

item pertanyaan yang mayoritas pengelola RPU tidak memenuhi persyaratan

yaitu item mengenai sampah yang masih terbuang sembarangan, tidak

tersedianya tempat sampah di tempat pemotongan dan bahan tempat sampah

yang tidak mudah dibersihkan Hanya terdapat 1 RPU (16,7%) yang tidak

terdapat sampah terbuang sembarangan, hanya terdapat 5 RPU (41,7) yang

tempat sampahnya tertutup dan hanya terdapat 5 RPU (41,7%) yang tempat

sampahnya mudah dibersihkan

b. Gambaran Ketersediaan SPAL

Hasil penelitian mengenai ketersediaan Saluran Pembuangan Air

Limbah (SPAL) di rumah potong unggas di Kota Depok yang dilakukan

dengan menggunakan observasi atau pengamatan

Tabel 5.7

Distibusi Ketersediaan SPAL

Sanitasi SPAL N Persentase (%)

Memenuhi Syarat 7 58,3

Tidak Memenuhi 5 41,7


Syarat
Total 12 100
65

Berdasarkan tabel 5.7 dari hasil analisis gambaran SPAL di RPU,

diperoleh bahwa 7 RPU (58,3%) memiliki ketersediaan SPAL yang

memenuhi syarat dan 5 RPU (41,7 %) memiliki ketersediaan SPAL yang

tidak memenuhi syarat Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa lebih banyak

RPU yang memiliki ketersediaan SPAL yang memenuhi syarat.

Tabel 5.8

Distribusi Item Pertanyaan terkait dengan Ketersediaan SPAL

Ya Tidak
Item Ketersediaan SPAL
N % N %
Mempunyai saluran pembuangan air limbah 10 83,3 2 16,7
Kedap air (permanen disemen atau diubin) 10 83,3 2 16,7
Saluran air limbah cair tertutup 2 16,7 10 83,3
Aliran air limbah lancar 10 83,3 2 16,7

Pada tabel 5.8 menunjukan item pertanyaan terkait saluran pembuangan

air limbah yang memenuhi syarat. Dari 4 item tersebut terdapat satu item

yang mayoritas RPU masih tidak memenuhi yaitu saluran air limbah yang

masih tidak tertutup. Hanya terdapat 2 RPU (16,7%) yang tidak memiliki

saluran air limbah tertutup.

c. Gambaran Sanitasi Tempat Pemotongan Unggas

Hasil penelitian mengenai sanitasi tempat pemotongan unggas di rumah

potong unggas di Kota Depok yang dilakukan dengan menggunakan lembar

observasi atau pengamatan dan pedoman wawancara.


66

Tabel 5.9
Distribusi Sanitasi Tempat Pemotongan Unggas

Sanitasi Tempat N Persentase (%)


Pemotongan Unggas
Baik 4 33,3

Buruk 8 66,7

Total 12 100

Berdasarkan tabel 5.9 dari hasil analisis gambaran sanitasi tempat

pemotongan unggas, diperoleh bahwa 4 RPU (33,3%) memiliki sanitasi

tempat pemotongan unggas yang baik dan 8 RPU (66,7%) memiliki sanitasi

tempat pemotongan unggas yang buruk. Dari tabel tersebut dapat dilihat

bahwa lebih banyak RPU yang memiliki sanitasi tempat pemotongan unggas

yang buruk.

Tabel 5.10
Distribusi Item Pertanyaan terkait Sanitasi Tempat Potong

Item Sanitasi Tempat Potong Ya Tidak


N % N %
Air bersih yang digunakan cukup untuk membersihkan 12 100 0 0
Menyikat tempat pemotongan 10 83,3 2 16,7

Pemberian desinfektan pada tempat pemotongan 5 41,7 7 58,3


Menyikat peralatan pemotongan 11 91,7 1 8,3
Pemberian desinfektan pada peralatan pemotongan 3 25 9 75
Tidak terdapat limbah padat pada tempat potong 6 50 6 50
Tidak terdapat limbah cair pada tempat potong 5 33,3 8 66,7
Peralatan bersih dari darah 9 75 3 25

Pada tabel 5.10 menunjukan item pertanyaan terkait sanitasi tempat

potong yang baik. Dari 8 item tersebut terdapat tiga item yang mayoritas RPU
67

masih tidak sesuai yaitu pemberian desinfektan pada tempat pemotongan

(41,7%), pemberian desinfektan pada peralatan (25%) dan tidak terdapat

limbah cair pada tempat potong (33,3%).

4. Gambaran Faktor Lingkungan

a. Gambaran Suhu

Grafik 5.3

40

35

30
07.00-11.00
25
Suhu (0C)

11.00-15.00
20 15.00-19.00
15 19.00-23.00
23.00-03.00
10
03.00-07.00
5

0
RPU RPU RPU RPU RPU RPU RPU RPU RPU RPU RPU RPU
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Berdasarkan grafik 5.3 diketahui bahwa suhu tertinggi ialah pada

pengukuran 11.00 hingga 15.00 dan suhu terendah ialah pada pengukuran

pukul 23.00 hingga 03.00.

Tabel 5.11

Distribusi Suhu

Suhu Mean Median Min-Max SD

30,74 30,76 29,4-32,1 0,9016


68

Berdasarkan tabel 5.11 diketahui bahwa suhu di RPU Kota Depok

memiliki rata-rata 30,74o C dan nilai tengah 30,76 o


C. Adapun standar
o
deviasinya adalah 0,9016. Suhu minimum RPU ialah 29,4 C dan suhu

maksimum ialah 32,1 o C

b. Gambaran Kelembaban

Grafik 5.4

Tren Kelembaban

90%
80%
70%
07.00-11.00
60%
11.00-15.00
50%
40% 15.00-19.00

30% 19.00-23.00

20% 23.00-03.00

10% 03.00-07.00

0%
RPU RPU RPU RPU RPU RPU RPU RPU RPU RPU RPU RPU
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Berdasarkan grafik 5.4 diketahui bahwa kelembaban terendah pada

waktu pengukuran kedua (11.00-15.00) dan kelembaban tertinggi pada waktu

pengukuran kelima (23.00-03.00).

Tabel 5.12

Distribusi Kelembaban

Kelembaban Mean Median Min-Max SD

65% 67% 58%-69% 4,390


69

Berdasarkan tabel 5.12 diketahui bahwa kelembaban di RPU Kota

Depok memiliki rata-rata 65 % dan nilai tengah 67%. Adapun standar

deviasinya 4,390 Kelembaban minimum RPU ialah 58% dan kelembaban

maksimum ialah 69%

C. Analisis Bivariat

Analisis bivariat bertujuan untuk melihat hubungan antara variabel independen

dengan variabel dependen. Uji yang digunakan untuk menganalisis hubungan antara

perilaku pengelolaan limbah dengan angka kepadatan lalat, hubungan ketersediaan

tempat sampah dengan angka kepadatan lalat, hubungan ketersediaan SPAL dengan

angka kepadatn lalat, hubungan sanitasi tempat pemotongan dengan angka kepadatan

lalat menggunakan uji chi-square. Sedangkan untuk menganalisis hubungan antara

suhu dengan angka kepadatan lalat menggunakan uji t-independen dan kelembaban

dengan angka kepadatan lalat menggunakan uji mann whitney

1. Hubungan Perilaku Pengelolaan Limbah Dengan Angka Kepadatan

Lalat

Hasil penelitian ini mengenai hubungan perilaku pengelolaan limbah

dengan angka kepadatan lalat di RPU Kota Depok Tahun 2018 sebagai

berikut.
70

Tabel 5.13

Distribusi Angka Kepadatan Lalat Berdasarkan Perilaku Pengelolaan Limbah

di RPU Kota Depok Tahun 2018

`Perilaku Angka Kepadatan Lalat Pvalue


Pengelolaan
Limbah
Tinggi Rendah Total
N % N % N %
Buruk 6 85,7% 1 14,3% 7 100% 0,072
Baik 1 20% 4 80 % 5 100%

Berdasarkan tabel 5.13 diketahui bahwa RPU yang perilaku

pengelolaan limbah buruk dan memiliki angka kepadatan lalat tinggi yaitu 6

RPU (85,7 %). Sedangkan RPU yang perilaku pengelolaan limbahnya baik

dan memiliki angka kepadatan lalat tinggi yaitu 1 RPU ( 20%). Dari hasil uji

stastistik diperoleh nilai P value sebesar 0,072 artinya pada tingkat

kemaknaan 5% tidak terdapat hubungan yang bermakna antara perilaku

pengelolaan limbah dengan angka kepadatan lalat.


71

2. Hubungan Sanitasi Lingkungan Dengan Angka Kepadatan Lalat

a. Hubungan Ketersediaan Tempat Sampah Dengan Angka Kepadatan

Lalat

Hasil penelitian ini mengenai hubungan ketersediaan tempat sampah

dengan angka kepadatan lalat di RPU Kota Depok Tahun 2018 sebagai

berikut

Tabel 5.14

Distribusi Angka Kepadatan Lalat Berdasarkan Ketersediaan Tempat Sampah

di RPU Kota Depok Tahun 2018

Ketersediaan Angka Kepadatan Lalat Pvalue


Tempat Sampah
Tinggi Rendah Total
N % N % N %
Tidak Memenuhi 6 100% 0 0% 6 100% 0,015
Syarat
Memenuhi Syarat 1 16,7% 5 83,5% 6 100%

Berdasarkan tabel 5.14 diketahui bahwa RPU yang ketersediaan

tempat sampah tidak memenuhi syarat dan memiliki angka kepadatan lalat

tinggi yaitu 6 RPU (100%). Sedangkan RPU yang ketersediaan tempat

sampah memenuhi syarat dan memiliki angka kepadatan lalat tinggi yaitu 1

RPU (16,7%). Dari hasil uji stastistik diperoleh nilai P value sebesar 0,015

artinya pada tingkat kemaknaan 5% terdapat hubungan yang bermakna antara

ketersediaan tempat sampah dengan angka kepadatan lalat.


72

b. Hubungan Ketersediaan SPAL Dengan Angka Kepadatan Lalat

Hasil penelitian ini mengenai hubungan ketersediaan SPAL dengan

angka kepadatan lalat di RPU Kota Depok Tahun 2018 sebagai berikut

Tabel 5.15

Distribusi Angka Kepadatan Lalat Berdasarkan Ketersediaan

SPAL di RPU Kota Depok Tahun 2018

Ketersediaan Angka Kepadatan Lalat Pvalue


SPAL Tinggi Rendah Total
N % N % N %
Tidak 4 80 1 20 5 100 0,293
Memenuhi
Syarat
Memenuhi 3 42,9 4 57,1 9 100
Syarat

Berdasarkan tabel 5.15 diketahui bahwa RPU yang ketersediaan SPAL

tidak memenuhi syarat dan memiliki angka kepadatan lalat tinggi yaitu 4 RPU

(80%). Sedangkan RPU yang ketersediaan SPAL memenuhi syarat dan

memiliki angka kepadatan lalat tinggi yaitu 3 RPU ( 42,9%). Dari hasil uji

stastistik diperoleh nilai P value sebesar 0,293 artinya pada tingkat

kemaknaan 5% tidak terdapat hubungan yang bermakna antara ketersediaan

SPAL dengan angka kepadatan lalat.


73

c. Hubungan Sanitasi Tempat Potong Dengan Angka Kepadatan Lalat

Hasil penelitian ini mengenai hubungan sanitasi tempat potong dengan angka

kepadatan lalat di RPU Kota Depok Tahun 2018 sebagai berikut

Tabel 5.16

Distribusi Angka Kepadatan Lalat Berdasarkan Sanitasi Tempat Potong di RPU

Kota Depok Tahun 2018

Sanitasi Angka Kepadatan Lalat Pvalue


Tempat
Potong Tinggi Rendah Total

N % N % N %
Buruk 7 87,5 1 12,5 8 100 0,010
Baik 0 0 4 80 4 100

Berdasarkan tabel 5.16 diketahui bahwa RPU yang sanitasi tempat

potong buruk dan memiliki angka kepadatan lalat tinggi yaitu 7 RPU (87,5 %).

Sedangkan tidak terdapat RPU yang sanitasi tempat potong baik dan memiliki

angka kepadatan lalat tinggi Dari hasil uji stastistik diperoleh nilai P value

sebesar 0,010 artinya pada tingkat kemaknaan 5% terdapat hubungan yang

bermakna antara sanitasi tempat potong dengan angka kepadatan lalat.


74

3. Hubungan Faktor Lingkungan Dengan Angka Kepadatan Lalat

a. Hubungan Suhu Dengan Angka Kepadatan Lalat

Hasil penelitian ini mengenai hubungan suhu dengan angka kepadatan lalat di

RPU Kota Depok Tahun 2018 sebagai berikut

Tabel 5.17

Distribusi Angka Kepadatan Lalat Berdasarkan Suhu di RPU Kota Depok Tahun

2018

Angka Kepadatan Lalat Mean SD Pvalue N


Suhu

Tinggi 31,11 oC 0,8855 0,092 7


Rendah 30.22 oC 0,6955 5

Berdasarkan tabel 5.17 menunjukan bahwa dari 7 RPU yang memiliki

angka kepadatan lalat tinggi diketahui rata-rata suhunya adalah 31,11 oC

dengan standar deviasi 0,8855. Sedangkan dari 5 RPU yang memiliki angka

kepadatan lalat rendah diketahui rata-rata suhunya adalah 30.22 oC. Hasil uji

statistik menujukan nilai p-value sebesar 0,461 artinya pada tingkat

kemaknaan 5% tidak terdapat hubungan bermakna rata-rata suhu antara RPU

yang memiliki angka kepadatan lalat tinggi dengan RPU yang memiliki angka

kepadatan lalat rendah.


75

b. Hubungan Kelembaban Dengan Angka Kepadatan Lalat

Tabel 5.18

Distribusi Angka Kepadatan Lalat Berdasarkan Kelembaban di RPU Kota Depok

Tahun 2018

Angka Kepadatan Mean SD Pvalue N


Lalat
Kelembaban
B
Tinggi 64,71 4,309 7
0,250
Rendah 65,40 4,980 5

Berdasarkan tabel 5.18 menunjukan bahwa dari 7 RPU yang memiliki

angka kepadatan lalat tinggi diketahui rata-rata kelembabannya 64,71 %adalah

dengan standar deviasi 4,309. Sedangkan dari 5 RPU yang memiliki angka

kepadatan lalat rendah diketahui rata-rata kelembabannya adalah 65,40%

dengan standar deviasi 4,980. Hasil uji statistik menujukan nilai p-value

sebesar 0,102 artinya pada tingkat kemaknaan 5% tidak terdapat hubungan

bermakna rata-rata kelembaban antara RPU yang memiliki angka kepadatan

lalat tinggi dengan RPU yang memiliki angka kepadatan lalat rendah.
BAB VI

PEMBAHASAN

A. Keterbatasan Penelitian
1. Desain studi yang digunakan dalam penelitian ini adalahdesain studi cross sectional

sehingga tidak dapat melihat hubungan sebab akibat. Tetapi,penelitian ini dapat

mengetahui distribusi angka kepadatan lalat berdasarkan perilaku pengelolaan,

sanitasi lingkungan pengelolaan limbah (tempat sampah,, dan sanitasi tempat

pemotongan) serta lingkungan fisik (suhu dan kelembaban).

2. Pengukuran hanya dilakukan selama satu hari sehingga tidak bisa mengetehui

keefektifan pengendalian lalat dengan fly trap. Tetapi hanya untuk mengetahui

gambaran angka kepadatan lalat

3. Pengukuran faktor lingkungan pada penelitian ini hanya suhu dan kelembaban tidak

mengukur pencahayaan. Akan tetapi, pengukuran lalat dilakukan selama 24 jam

sehingga bisa dilihat pada waktu berapa tingkat angka kepadatan lalat tinggi.

B. Gambaran Angka Kepadatan Lalat di RPU Kota Depok Tahun 2018

Lalat merupakan salah satu vektor mekanik yang seringkali ditemukan di sekitar

masyarakat. Penyakit yang dapat ditularkan oleh lalat diantaranya demam thypus,

paratyphus, disentri, kholera dan sebagainya. Selain menimbulkan masalah

kesehahatan lalat juga sebagai indikator sanitasi suatu tempat dan menganggu

manusia secara psikologis (Subagyo,2008).

Pada penelitian ini pengukuran angka kepadatan lalat menggunakan fly trap

dengan umpan udang busuk. Sesuai dengan WHO (1986), pengukuran angka

kepadatan lalat yang paling tepat pada tempat yang terdapat aktivitas manusia dan

76
77

unggas seperti rumah potong unggas ialah menggunakan fly trap . Sedangkan, pada

penelitian yang dilakukan oleh Nadeak et al., (2017) menyatakan bahwa bentuk fly

trap yang paling baik ialah bentuk kubus. Karena lalat menyukai sesuatu yang

berujung tajam. Untuk umpan yang paling baik ialah menggunakan udang yang telah

busuk.

Pengukuran angka kepadatan lalat dilakukan pada tiga titik tempat pemotongan

unggas, tempat penampungan sampah dan tempat istirahat petugas. Penetuan titik

pengukuran di tempat pemotongan unggas dan tempat penampungan sampah ialah

karena pada titik tersebut penumpukan limbah terjadi sehingga ada kemungkinan

angka kepadatan lalat tinggi. Sedangkan untuk tempat istirahat petugas menjadi titik

pengukuran karena tingginya akivitas manusia pada tempat istirahat ini dan tempat

istirahat petugas di RPU Kota Depok mayoritas berdekatan dengan tempat

pemotongan unggas.

Berdasarkan hasil pengukuran angka kepadatan lalat diketahui bahwa dari 12

RPU yang diteliti terdapat 7 RPU (58,3%) yang memiliki angka kepadatan lalat

tinggi. Faktor yang mempengaruhi angka kepadatan lalat tinggi ialah terdapatnya

tempat perindukan lalat dan faktor lingkungan (Sigit dan Hadi, 2006). Tempat

perindukan lalat seperti sampah terutama sampah basah dan sampah organik seperti

sayur-sayuran, buah, sisaan pada daging hewan (darah, jeroaan dan tulang) dan

bangkai hewan. Selain itu, lalat juga dapat berkembang biak pada penumpukan

kotoran hewan dan pada saluran pembuang air limbah (WHO,1986).

Bangunan RPU Kota Depok mayoritas masih tidak sesuai dengan persyaratan

yang telah ditentukan. Pada SNI (1999) menghimbau untuk RPU memiliki pintu yang

terpisah antara pintu keluar daging yang telah dipotong dengan pintu masuknya
78

unggas hidup. Tetapi, RPU Kota Depok Mayoritas masih tidak memiliki pintu yang

dapat menutup ruangan. Chaiwong et,al (2014) menyatakan bahwa bahwa lalat dapat

masuk melalui ventilasi seperti pintu dan jendela terbuka. Bangunan RPU Kota

Depok yang mayoritas masih semi terbuka karena tidak terdapat ventilasi seperti pintu

dan jendela sehingga dapat membantu lalat untuk masuk dengan mudah.

Faktor lingkungan yang mempengaruhi penyebaran lalat ialah suhu, kelembaban

dan pencahayaan (WHO,1986). Hasil pengukuran pada penelitian ini ditemukan

bahwa pada pukul 07.00 hingga 19.00 lalat dapat tertangkap dalam jumlah yang

banyak (dapat dilihat pada grafik 5.1). Hal ini karena lalat adalah hewan yang

fototropik sehingga pada siang hari lalat lebih aktif untuk mencari makan dan

berkembang biak.

Lalat masuk kedalam golongan ordo Diptera, subordo Cyclorrhapha dan

anggotanya terdiri lebih dari 116.000 spesies di seluruh dunia. Berbagai jenis famili

yang penting antara lain adala Muscidae (berbagai jenis lalat rumah, lalat kandang,

lalat tanduk). Calliphoridae (berbagai jenis lalat hijau) dan Sarcophagidae (berbagai

jenis lalat daging) (Sigit dan Hadi,2006). Pada hasil penelitian ini teridentifikasi

beberapa jenis lalat yaitu, Musca domestica (lalat rumah), Sarcophaga sp (lalat blirik

atau lalat daging) dan Chrysomya megacepha (lalat hijau). Jenis lalat yang paling

banyak teridentifikasi ialah Musca domestica (lalat rumah). Penelitian yang dilakukan

oleh (Nurita et al., 2008) juga menyatakan bahwa lalat yang paling banyak ditemukan

di rumah potong unggas adalah Musca domestica (lalat rumah). Hal ini kemungkinan

karena letak 12 RPU di Kota Depok yang berada di kawasan pemukiman dimana

lalat rumah seringkali ditemukan di pemukiman. Ukuran lalat rumah berkisar antara 6

mm – 9 mm dan memiliki warna abu-abu kehitaman.


79

Kedekatan lalat dengan pemukiman penduduk juga dapat mempengaruhi

kesehatan masyarakat. Kontak antara manusia (pejamu) dan lalat (vektor) pada suatu

tempat dan waktu dapat mengetahui kemungkinan bahaya epidemi penyakit yang

akan ditularkan oleh lalat (vektor). Besar kontak antara vektor dan pejamu tergantung

kepada kebiasana lalat dalam mencari makan dan ketersediaan manusia (pejamu) pada

tempat dan waktu tersebut (Sumantri,2010). Lalat dapat menyebarkan patogen yang

berada di kaki dan sayapnya. Sehingga jika lalat hinggap di dalam makanan dan

minuman yang akan dikonsumsi manusia maka akan menyebabkan masalah

kesehatan. (Dewi,2007)

Lalat tidak hanya mengganggu secara estetika tetapi yang lebih penting adalah

lalat sebagai vektor mekanis berbagai penyakit yang bersifat wabah. Bakteri yang

banyak mengkontaminasi lalat adalah E. coli, Klebsiella pneumoniae, dan Bacillus sp.

Selain bakteri tersebut, lalat juga membawa Enterobacter aerogenes, Enterococcus

sp, Proteus morgani, Proteus mirabilis, Providencia rettgeri, Pseudomonas

aerogenosa, Serratia marcessense, Staphylococcus aureus dan Streptococcus sp.4

(Adenusi and Adewoga, 2013). Bakteri tersebut adalah bakteri yang dapat

menyebabkan berbagai masalah kesehatan salah satunya adalah diare.

Berdasarkan penelitian Kurniawan (2013), menyatakan bahwa pemukiman

penduduk yang tinggal berjarak 0-100 m dari RPU memiliki angka kepadatan lalat

tinggi sebesar 65,6%. Hal ini dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya masalah

kesehatan terhadap masyarakat sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Vellore,

India yang menyatakan angka kepadatan lalat di rumah tinggi adalah salah satu

penyebab terjadinya diare (Collinet-Adler et al., 2015).


80

C. Angka Kepadatan Lalat berdasarkan Perilaku Pengelolaan Limbah Tahun 2018

Limbah yang terdapat di RPU terdiri dari limbah padat dan limbah cair. Limbah

padat ialah manur, bangkai unggas, sisa usus atau jeroan, bulu, tulang dan bagian

lainnya yang tidak sengaja ikut terbuang menjadi limbah yaitu kepala ayam dan lemak

yang tedapat di dalam rongga perut, ampela dan ekor. Sedangkan limbah cair ialah

darah ayam, proses pencelupan, pencucian ayam dan peralatan produksi (Erlita dan

Waridin,2007). Pengelolaan limbah yang baik adalah salah satu cara dalam

melakukan pengendalian terhadap lalat. Hal ini dapat mengurangi tempat-tempat yang

pontesial sebagai tempat perindukan lalat (Kemenkes,2004) Perilaku pengelolaan

limbah yang dinilai pada penelitian ini dimulai dari pemisahan sampah, pengakutan

sampah, pemeliharaan SPAL dan pembersihan kotoran dan kandang atau keranjang

unggas.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa distribusi RPU yang memiliki perilaku

pengelolaan limbah yang baik diperoleh 7 RPU (58,3%), sedangkan terdapat 5 RPU

(41,7%) yang perilaku pengelolaan limbah yang masih buruk. Mayoritas pengelola

RPU telah melakukan pengelolaan limbah dengan cara yang benar. Tetapi terdapat

beberapa pengelolaan limbah yang masih buruk pada mayoritas RPU yaitu,

pembakaran unggas (16,7%) dan pembersihan kotoran unggas (41,7%)

Hasil uji chi square pada penelitian ini menyatakan bahwa tidak terdapat

hubungan yang bermakna antara pengelolaan limbah dengan angka kepadatan lalat.

Terdapat RPU yang perilaku pengelolaan limbah buruk dan memiliki angka

kepadatan tinggi yaitu 6 RPU (85,7%).Sedangkan RPU yang perilaku pengelolaan

limbahnya baik dan memiliki angka kepadatan lalat tinggi yaitu 1 RPU (20%).
81

Penelitian inisesuai dengan penelitian yang dilakukan (Masyudi, 2018) bahwa tidak

terdapat hubungan antara pengelolaan limbah dengan angka kepadatan lalat.

Sampah organik umumnya bersifat basah dan lebih mudah mengalami

kebusukan. Penggabungan sampah antara sampah organik dan sampah anorganik

meningkatkan bau busuk dan menyebabkan tempat pembuangan sampah menjadi

lembab. Tempat yang lembab dan bau busuk tersebutlah yang dapat mengundang lalat

sehingga angka kepadatan lalat akan tinggi. Pemisah sampah adalah salah satu cara

untuk menurunkan angka kepadatan lalat di suatu tempat (Nida,2014). Ketersediaan

tempat sampah yang minim menjadi alasan penggabungan antara sampah organik dan

sampah anorganik disatukan.

Pengangkutan sampah di RPU Kota Depok mayoritas sudah sesuai ketentuan

yaitu setiap 24 jam sekali sampah dari aktivitas RPU sudah diangkut. Metode

pengangkutan sampah yang dilakukan oleh RPU Kota Depok pun beragam seperti

diangkut langsung oleh Dinas Lingkungan Hidup Kota Depok, dijual kembali kepada

pihak ketiga, dan ada pula yang mengangkut sendiri dan membuangnya langsung ke

tempat pembuangan sampah sementara (TPS) yang terdapat di pasar ataupun

diberikan di kolam ikan (empang). Pengangkutan sampah yang rutin ini bertujuan

untuk menghindari terjadinya penumpukan sampah sehingga tidak mengundang lalat.

Salah satu sumber makanan lalat ialah sampah sisa dari aktivitas pemotongan unggas

seperti jeroan, bulu, kepala unggas dan lainnya. Penelitian yang dilakukan oleh

Moreki dan Keaikitse (2013) menyatakan bahwa frekuensi pengangkutan limbah

berkontribusi pada tingginya angka kepadatan lalat.

Pemusnahan bangkai unggas dilakukan dengan cara pembakaran dan tidak boleh

dijadikan pakan ikan.. Mayoritas pengelola RPU masih tidak mengelola bangkai
82

unggas sesuai dengan ketentuan. Bangkai unggas masih disatukan dengan limbah

lainnya dan dibuang pada tempat terbuka bahkan beberapa RPU menjadikan bangkai

unggas sebagai pakan untuk ikan (SNI,1999). Hanya terdapat 2 RPU di Kota Depok

yang melakukan pemusnahan bangkai unggas dengan cara dibakar. Pembakaran

bangkai unggas ini bertujuan untuk tidak mengjindari agar lalat tidak hinggap pada

bangkai unggas. Salah satu makanan lalat ialah bangkai hewan terutama unggas.

Gambar 6.1

Contoh Pembuangan Bangkai Unggas

Pengelolaan sampah (limbah padat) seperti sisa usus atau jeroan, bulu, tulang dan

bagian lainnya ada benarnya telah dikelola dengan baik tetapi untuk manur atau

kotoran unggas masih belum diperhatikan. Berdasarkan hasil wawancara mayoritas

pengelola RPU masih tidak terlalu memperhatikan pengelolaan kotoran unggas.

Kotoran unggas masih dibiarkan menumpuk di kandang ataupun keranjang

pengangkutan unggas. Beberapa RPU membersihkan kotoran pada kandang unggas

melebihi dari dua minggu bahkan sampai dua bulan sekali. Hal yang menyebabkan

pengelola RPU tidak memedulikan perihal pembersihan kotoran unggas karena bau
83

yang dihasilkan tidak begitu mengganggu bagi mereka. Penumpukan kotoran unggas

adalah tempat perindukan yang paling disukai oleh lalat. Kelembaban (tidak terlalu

basah), tekstur (tidak terlalu padat) dan kesegaran dari manur unggas sangat sesuai

untuk menjadi tempat perindukan. Sedangkan untuk kotoran yang terdapat pada

keranjang unggas hanya di siram air sehingga ada kemungkinan masih menempelnya

kotoran pada keranjang unggas. Berdasarkan hasil observasi peneliti seringkali

ditemukan lalat hinggap pada keranjang unggas.

Pembuangan limbah cair di RPU dialiri dengan saluran pembuangan. Perawatan

saluran pembuangan air limbah harus diperhatikan sehingga aliran pembuangan dapat

mengalir lancar. Karena seringkali limbah padat seperti penumpukan bulu atau jeroan

unggas masuk kedalam saluran sehingga aliran tidak lancar dan dapat terjadi

genangan disekitar rumah potong. Genangan tersebut dapat menyebabkan bau dan

mengundang lalat untuk hinggap (Naik and Stenstrom, 2012).

D. Angka Kepadatan Lalat berdasarkan Sanitasi Lingkungan

1. Angka Kepadatan Lalat berdasarkan Ketersediaan Tempat Sampah

Sampah organik adalah salah satu tempat yang disukai lalat untuk berkembang

biak. Lalat betina menyimpan telurnya pada sampah organik yang telah membusuk

baik dari hewan maupun dari sayuran. Pada RPU, sampah organik adalah sisa dari

aktivitas pemotongan seperti jeroan unggas, bulu unggas manur unggas maupun

bangkai unggas. Untuk menghindari sampah di RPU menjadi tempat

perkembangbiakan lalat perlu adanya tempat penampungan sampah yang memenuhi

standar. Tempat sampah yang baik ialah tempat sampah yang berbahan kedap air,

kuat dan mudah dibersihkan. Tempat sampah pun sebaiknya tertutup sehingga tidak

menyababkan bau busuk. Peletakan tempat sampah juga sebaiknya yang mudah
84

dijangkau oleh petugas sehingga pembuangan sampah atau limbah padat mudah

dilakukan dan tidak terbuang sembarangan. Selain tempat sampah, ketersediaan

tempat pembuangan sampah sementara (TPS) pada RPU perlu diperhatikan sehingga

sampah dapat dipindahkan dari tempat sampah yang sudah penuh ke TPS terlebih

dahulu sebelum diangkut ke tempat pembuangan akhir atau dikelola dengan cara

lainnya.

Hasil penelitian diketahui masih terdapat RPU yang ketersediaan tempat

sampahnya tidak memenuhi syarat yaitu sebesar 6 RPU (50%). Mayoritas pada RPU

masih ditemukan sampah yang terbuang sembarangan (8,3%), tempat sampah di

tempat pemotongan pun masih mayoritas masih tidak ada (41,7%), tempat sampah

yang tertutup dan mudah dibersihkanpun masih rendah (41,7%). Sedangkan, hasil uji

chi square menunjukan bahwa nilai P value sebesar 0,015 (p < 0,05) yang artinya

terdapat hubungan yang signifikan antara ketersediaan tempat sampah dengan angka

kepadatan lalat di suatu RPU. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Kwasi

dan Kuitunen (2005) .

Berdasarkan hasil observasi peneliti melihat bahwa ketersedian TPS di RPU tidak

dipergunakan dengan maksimal. Tempat pembuangan sampah sementara pada

beberapa RPU masih diperuntukan hanya untuk sampah kering seperti daun kering,

ranting daun, karung yang tidak lagi terpakai, dan sebagainya. Sedangkan, sampah

basah dari sisa aktivitas pemotongan tidak di tampung pada TPS tetapi diletakan pada

karung ataupun keranjang unggas yang dijadikan tempat sampah dan diletakan di luar

RPU. Untuk RPU yang tidak memiliki TPS, sampah basah seperti bulu maupun

sampah kering dibuang diluar RPU berdekatan dengan kali atau sungai sehingga bau

busuk dari sampah tersebut dapat menarik lalat. Hal ini sesuai dengan penelitian
85

Dogra dan Aggarwal (2010) menyatakan bahwa pembuangan sampah di tempat

terbuka tanpa dapat meningkatkan angka kepadatan lalat.

Ketersediaan tempat sampah di tempat pemotongan di RPU Kota Depok masih

kurang sedangkan mayoritas limbah yang dihasilkan pada RPU ialah pada aktivitas

pemotongan. Tempat penampungan sampah khususnya bulu unggas yang digunakan

oleh RPU rata-rata menggunakan keranjang (untuk mengangkut unggas) ataupun

karung. Keranjang unggas yang digunakan pada RPU ialah berbahan plastik sehingga

masih dapat dikategorikan berbahan kedap air. Tetapi, keranjang unggas tersebut tidak

tertutup dan terdapat banyak lubang sehingga memungkinkan sampah akan terjatuh

jika diangkut. Beberapa alasan RPU lebih memilih menggunakan keranjang unggas

untuk dijadikan tempat sampah karena mudah diangkat, mudah dibersihkan dan

memanfaatkan barang yang ada. Sedangkan, untuk RPU yang menggunakan karung

sebagai tempat sampah meskipun tertutup tetapi memiliki kekurangan karena tidak

kedap air dan tidak mudah dibersihkan. Bahan karung yang tidak kedap air ini dapat

membuat air lindi dari sampah menetes. Mayoritas RPU yang mengunakan karung

hanya digunakan sekali pakai saja sehingga tidak perlu membersihkan karung lagi.

Ketidaktersediaan TPS dan tempat sampah pada tempat pemotongan yang

memenuhi syarat ini menyebabkan masih adanya sampah yang berserakan pada RPU

Kota Depok. Berdasarkan hasil dari observasi bahwa hanya terdapat satu RPU (8,3%)

yang tidak terdapat sampah terbuang sembarangan. Terdapat tiga metode

pengendalian lalat salah satunya ialah perbaikan sanitasi. Pada metode tersebut

bertujuan untuk mengurangi populasi dengan meminimalkan habitat larva lalat, yaitu

dengan cara mengurangi sumber. Pada RPU sumber dari habitat larva ialah sampah

dari hasil aktivitas pemotongan. Ketersediaan tempat sampah yang tidak memenuhi

syarat pada mayoritas RPU ini bisa diganti dengan kantong plastik yang dapat diikat
86

dengan rapat atau di tempat sampah dengan tutup rapat Penumpukan sampah dalam

keadaan suhu yang hangat dapat membantu mencegah lalat bertelur di sampah.

2. Angka Kepadatan Lalat berdasarkan Ketersediaan SPAL Tahun 2018

Berdasarkan Standar Nasional Indonesia terkair RPU (1999), diharuskan untuk

RPU memiliki sarana penanganan limbah. Untuk limbah cair dari proses pemotongan

ditampung sementara kemudian dilakukan pengurasan jika sudah penuh. Berdasarkan

Keputusan Mentri Kesehatan No 519 Tahun 2014 menyatakan bahwa SPAL untuk

tempat pemotongan ayam sebaiknya dapat mengalir dengan lancar, kedap air

(permanen terbuat dari semen atau ubin), tidak menimbulkan bau, saluran tertutup

atau terdapat grease trap atau (perangkap lemak) dan tidak menjadi tempat

berkembang biaknya vektor sepert lalat.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa distribusi RPU yang ketersediaan SPAL

memenuhi syarat sebanyak 7 RPU (58,3%) sedangkan yang tidak memenuhi syarat 5

RPU (41,7%). Mayoritas RPU sudah memiliki SPAL yang memenuhi syarat. Tetapi,

mayoritas masih terdapat SPAL yang tidak tertutup atau tidak terdapat grease trap

(16,7%). Sedangkan untuk persyaratan lainnya seperti kepemilikan, kedap air dan

aliran limbah lancar mayoritas sudah memenuhi pesyaratan.

Berdasarkan hasil uji chi square menunjukan bahwa nilai P value sebesar 0,293

(p < 0,05) yang artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara ketersediaan

SPAL dengan angka kepadatan lalat di suatu RPU. Hal ini tidak sesuai pada

penelitian yang dilakukan oleh Collinet-Adler et al., (2015), ditemukan bahwa angka

kepadatan lalat tinggi pada saluran pembuangan air limbah.


87

Saluran pembuangan air limbah bertujuan untuk mengumpulkan pembuangan air

buangan sisa pencucian dari aktivitas RPU dan darah dari pemotongan unggas. Air

limbah yang dialiri dari saluran pembuangan tersebut akan diolah pada Instalasi

Pengolahan Air Limbah (IPAL). Akan tetapi, kepemilikan IPAL pada mayoritas RPU

masih tidak ada sehingga pembuangan air limbah dari saluran tersebut langsung

dibuang ke sungai atau kali di samping RPU. Dimana letak kedua belas RPU Kota

Depok berada di dekat sungai ataupun kali. Hal ini tidak sesuai dengan SNI (1999),

menyatakan bahwa RPU tidak boleh di dirikan di dekat sungai atau kali. Metode

pembuangan langsung ke sungai atau kali ini dianggap metode paling mudah dalam

pembuangan limbah. Namun, metode ini tidak dapat direkomendasikan mengingat

dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi sumber air.

Kondisi SPAL yang bersifat permanen (disemen ataupun dengan ubin) tidak

terbuat dari tanah bertujuan untuk menghindari kontaminasi langsung air limbah

terhadap tanah. Mayoritas RPU di Kota Depok pun sudah memenuhi persyaratan ini

tetapi ukuran diameter saluran yang masih tergolong kecil. Sehingga terdapat

kemungkinan air limbah masih dapat meluap dari saluran dan mengotori lantai RPU.

Genangan air limbah pada RPU ini dapat menyebabkan bau sehingga mengundang

lalat.

Saluran pembuangan air limbah pada mayoritas RPU masih terbuka dan tidak

terdapat grease trap sehingga limbah padat dapat terperangkap di saluran. Akan

tetapi, berdasarkan hasil observasi bahwa SPAL di RPU masih dapat mengalir lancar

meskipun tidak tertutup ataupun tidak terdapat grease trap. Hal ini karena perilaku

perawatan saluran pembuangan yang rutin dilakukan oleh pengelola RPU sehingga

tidak terdapat limbah padat yang dapat menghambat saluran limbah.


88

Ketersediaan saluran pembuangan air limbah pada RPU ada benarnya telah

memenuhi persyaratan. Tetapi, berdasarkan hasil observasi letak saluran mayoritas

hanya terdapat di pinggir tempat pemotongan saja sehingga masih terdapat genangan

darah dan limbah sisa aktivitas pemotongan lainnya seperti pencucian pisau.

Sehingga, angka kepadatan lalat pada tempat pemotongan pada beberapa RPU masih

tergolong tinggi meskipun perilaku pengelolaan limbah mayoritas telah tergolong

baik.

3. Angka Kepadatan Lalat berdasarkan Sanitasi Tempat Potong

Perilaku pengelolaan limbah yang baik serta ketersediaan tempat sampah dan

ketersediaan SPAL yang memenuhi syarat dapat mempengaruhi sanitasi tempat

pemotongan. Sanitasi adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan

melindungi kebersihan lingkungan dari subjeknya (Depkes RI,2014). Maka dari itu,

sanitasi tempat pemotongan dapat diperoleh dari adanya pembersihan tempat

pemotongan dan desinfeksi.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa distribusi RPU yang sanitasi tempat

potong baik diperoleh 4 RPU (33,3%) dan sanitasi tempat potong buruk diperoleh 8

RPU (66,7%). Mayoritas RPU masih memiliki sanitas tempat potong yang buruk.

Terdapat beberapa hal indikator sanitasi yang kurang seperti pemberian desinfektan

pada tempat potong dan peralatan serta masih terdapatnya limbah padat maupun

limbah cair pada RPU.

Dari hasil uji stastistik diperoleh nilai P value sebesar 0,010 artinya pada tingkat

kemaknaan 5% terdapat hubungan yang bermakna antara sanitasi tempat potong

dengan angka kepadatan lalat. Hal ini sesuai dengan penelitian dari Candra et, al
89

(2016) yang menyatakan bahwa sanitasi tempat terdapat hubungan dengan angka

kepadatan lalat.

Sanitasi tempat potong yang baik pada RPU dilakukan dengan cara melakukan

pembersihan pada tempat potong dan peralatan serta pemberian desinfektan sehingga

tidak akan terdapat limbah pada tempat potong maupun peralatan pemotongan.

Pembersihan bangunan, perlengkapan dan peralatan harus dilakukan secara teratur

dan benar untuk menghilangkan kotoran yang terlihat secara fisik seperti darah dan

bulu. Pembersihan dapat dilakukan dengan cara fisik dengan menggosok misalnya,

cara kimia dengan menggunakan deterjen dan zat-zat yang bersifat asam atau basa,

ataupun gabungan keduanya

Ketersedian air bersih untuk membersihkan RPU (100%) dan pembersihan

dengan cara menyikat pada tempat potong (83,3%) dan peralatan (91,7) mayoritas

sudah sesuai. Akan tetapi untuk pemberian desinfektan pada tempat potong maupun

pada peralatan masih kurang.Hanya terdapat 5 RPU (41,7%) yang sudah melakukan

desinfektan pada tempat pemotongan dan hanya terdapat 3 RPU (25%) . Tujuan dari

dilakukannya pemberian desinfektan pada RPU ialah usaha untuk mengurangi jumlah

mikroorganisme yang hidup, tetapi pada umumnya tidak dapat membunuh spora

bakteri. Disinfektan yang aktif tidak membunuh seluruh mikroorganisme tetapi

menurunkan jumlahnya sampai pada tingkat yang tidak membahayakan kesehatan

konsumen.

Disain dan kontruksi bangunan di RPU harus sesuai dengan tujuan penggunaan

serta mudah untuk dirawat dan mudah dibersihkan. Lantai harus kedap air, tidak licin,

rata, tidak berlubang atau tidak retak, kuat menahan beban, serta landai ke arah

saluran pembuangan, mudah dibersihan dan didisinfeksi (Kementan,2005). Namun,


90

pada kenyataannya terdapat beberapa RPU yang lantai bangunannya tidak terbuat dari

keramik sehingga tidak kedap air dan licin. Lantai hanya menggunakan semen dan

terdapat banyak lubang sehingga seringkali terdapat genangan air di lubang tersebut.

Lantai bangunan yang tidak sesuai ini yang menyebabkan pemeliharaan dan

pembersihan setelah aktivitas pemotongan menjadi sulit. Pembersihan ada benarnya

sudah dilakukan tetapi masih tersisa limbah padat maupun limbah cair yang terdapat

di tempat pemotongan. Hal ini mengundang lalat untuk hadir di tempat pemotongan

karena luputnya pengangkutan sampah dan pembersihan limbah cair tersebut.

Berdasarkan SNI (1999) RPU memiliki daerah bersih dan daerah. Kedua daerah

tersebut dibuat terpisah antara daerah bersih (clean area) dan daerah kotor (dirty

area). Daerah kotor ialah daerah tempat untuk melakukan aktivitas pemotongan dari

penurunan unggas sampai penanganan jeroan. Sedangkan untuk daerah bersih lebih

diperuntukan untuk penanganan karkas setelah pemotongan. Pemisahan daerah kotor

dan bersih ini untuk menghindari kontaminasi bakteri terhadap daging unggas

(Kementan,2005). Akan tetapi, RPU di Kota Depok sebagian besar masih RPU

tradisional yang dikelola secara perseorangan dan kurang memperhatikan sanitasi

tempat potong sehingga daerah bersih dan daerah kotor tidak terpisah Pada penelitian

Komba et al., (2012) menyatakan bahwa lalat dapat menyebarkan bakteri E.colli dan

Salmonela pada daging unggas karena sanitasi tempat potong yang buruk. Maka dari

itu, pentingnya menjaga sanitasi tempat potong sehingga daging unggas dapat Aman

Sehat Utuh dan Halal (ASUH).


91

E. Angka Kepadatan Lalat berdasarkan Faktor Lingkungan

1. Angka Kepadatan Lalat berdasarkan Suhu

Faktor meteorologis seperti temperatur (suhu) ataupun hujan dapat

mempengaruhi jumlah lalat yang tertangkap pada fly trap (Tahir. dkk, 2008). Lalat

mulai aktif terbang pada suhu 150 C dan jumlah lalat akan semakin tinggi jika suhu

disekitarnya 200 C- 250 C dan akan berkurang jumlahnya pada temperatur <100C

dan pada 7,50 C lalat sudah tidak aktif dan pada diatas atau > 490 C terjadi kematian

lalat (Kemenkes RI,2008). Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Ihsan

(2013), pada suhu 30 oC -35oC perkembangan pradewasa lalat semakin cepat

dibandingkan suhu 16oC.

Pada tabel 5.6 diketahui bahwa rata-rata suhu RPU Kota Depok ialah 30,74oC.

Sedangkan suhu minimumnya mencapai 29,4oC dan suhu maksimumnya mencapai

32,1oC. Hasil uji statistik menujukan tidak terdapat hubungan bermakna rata-rata

suhu antara RPU yang memiliki angka kepadatan lalat tinggi dengan RPU yang

memiliki angka kepadatan lalat rendah. Hal ini sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Susilowati (2017) bahwa suhu tidak mempengaruhi terhadap angka

kepadatan lalat.

(Jaal, 2009) menyatakan bahwa lalat lebih menyukai daerah tropis karena suhu

yang hangat yaitu 250C hingga 350C khususnya pada tempat yang terdapat unggas

seperti peternakan dan tempat potong karena terdapat sumber makanan lalat yaitu

kotoran unggas. Suhu bukanlah faktor iklim utama yang mempengaruhi fluktuasi

populasi lalat karena suhu tidak mengalami perbahan yang signifikan sepanjang

tahun. Pada hasil pengukuransuhu di RPU Kota Depok pun tidak terdapat perbedaan

yang sangat signifikan. RPU yang memiliki angka kepadatan lalat tinggi memiliki
92

rata-rata suhu 30,6oC. Sedangkan, RPU yang memiliki angka kepadatan lalat rendah

memiliki rata-rata suhu 31oC. Pengukuran pada penelitian ini dilakukan pada bulan

Juli pada bulan ini Kota Depok masih musim kemarau (BMKG,2018). Angka

kepadatan lalat lebih tinggi pada musim panas dibandingkan pada musim

dingin(Ngoen-klan et al., 2011) Faktor lain yang mempengaruhi angka kepadatan lalat

ialah curah hujan dan kelembaban(Jaal, 2009).

Pada pengukuran kedua dan ketiga (07.00-11.00 dan 11.00-15.00), lalat yang

tertangkap pada fly trap lebih banyak dibandingkan pengukuran pada waktu lainnya

yang memiliki suhu lebih rendah. Pada waktu tersebut suhu bumi mengalami

peningkatan sehingga suhu di RPU pun menjadi lebih tinggi dibandingkan pada waktu

lainnya. Rata-rata bangunan RPU Kota Depok yang tidak memiliki jendela dan pintu

sehingga tidak ada pengaturan suhu di dalam ruangan. Berdasarkan SNI (1999), suhu

ruangan di rumah potong unggas maksimum adalah 35oC. Penghalang fisik berupa

kawat kasa pada pintu, jendela serta lobang angin dan membuat pintu dua lapis selain

dapat mencegah lalat masuk juga dapat mengatur suhu dalam ruangan tempat

pemotongan.

Saat ini perubahan suhu di dunia mengalami perubahan yang drastis. Perubahan

suhu di dunia saat ini adalah salah satu dampak dari pemanasan global dan perubahan

iklim. Keadaan ini dapat memicu perubahan kehidupan biologis berbagai agen

patogen seperti virus, bakteria, parasiter atau kapang, berbagai spesies hewan dan

berbagai vektor seperti lalat. Pada sebuah studi baru-baru ini mengidentifikasi bahwa

peningkatan suhu yang terkait dengan perubahan iklim yang diperkirakan akan secara

dramatis meningkatkan kepadatan populasi lalat dengan M. Domestica. (Alexander et

al., 2013)
93

2. Angka Kepadatan Lalat berdasarkan Kelembaban

Kelembaban adalah kandungan uap air yang terdapat di rumah potong unggas.

Pada penelitian ini kelembaban diukur dengan menggunakan thermohygrometer

setiap 4 jam sekali. Kelembaban berhubungan erat dengan suhu setempat, jika

kelembaban rendah maka suhu tinggi dan jika kelembaban tinggi maka suhu rendah.

Lalat akan mencapai kondisi fisik optimum pada suhu tinggi dan kelembaban yang

rendah. (Chandra, 2007). Kondisi lingkungan dengan kelembaban yang rendah sangat

mendukung lalat dapat hidup dan berkembang biak secara optimal

Pada tabel 5.7 diketahui bahwa rata-rata kelembaban RPU Kota Depok ialah

65%. Sedangkan kelembaban minimumnya mencapai 58% dan suhu maksimumnya

mencapai 69% . Hasil uji statistik menujukan tidak terdapat hubungan bermakna

rata-rata kelembaban antara RPU yang memiliki angka kepadatan lalat tinggi dengan

RPU yang memiliki angka kepadatan lalat rendah RPU yang memiliki angka

kepadatan lalat tinggi memiliki rata-rata kelembaban. 66,13%. Sedangkan, RPU yang

memiliki angka kepadatan lalat rendah memiliki rata-rata kelembaban 62,75%.

Penelitian (Susanna et al., 2012) menyatakan bahwa kelembaban tidak mempengaruhi

terhadap angka kepadatan lalat. Seperti dengan suhu, kelembaban juga kurang

tergambar karena tidak ada perbedaan signifikan disetiap waktu dan tempatnya.

Lalat aktif pada suasana kelembaban antara 45% sampai dengan kelembaban

yang paling optimal yaitu 90% sesuai dengan kebutuhan hidup lalat (Kemenkes

,2008). Pada penelitian Ngoen-klan et al.,(2011), menyatakan terdapat hubungan

korelasi negatif antara lalat dengan kelembaban. Semakin kelembaban tinggi maka

angka kepadatan lalat semakin rendah Pada pengukuran malam hari sedari pukul

19.00 hingga 03.00 lalat yang tertangkap pada fly trap cenderung tidak ada. Pada

waktu tersebut kelembaban rata-rata sudah mencapai diatas 60%.


94

Lokasi RPU Kota Depok berada di sekitar pemukiman penduduk. Berdasarkan

hasil penelitian Ngoen-klan et al., (2011) terdapat beberapa tempat yang faktor

lingkungan (suhu dan kelembaban) tidak terlalu mempengaruhi angka kepadatan lalat

salah satunya ialah pemukiman penduduk. Hal ini karena pemukiman adalah

lingkungan yang cocok dengan kehidupan lalat atau mikrohabitat. Sehingga

perkembangbiakan lalat dapat terbentuk dengan baik.

F. Kajian Keislamaan

Lalat adalah serangga bersayap dua yang termaksud kedalam dari ordo

diptera. Pada Al-Quran lalat disebutkan sebanyak dua kali. Salah satunya ialah pada

pada penggalan surat Al-Hajj ayat 73 Allah menjadikan lalat sebagai perumpamaan.

ٌَُْ ‫َّإِ ْى ٌَ ْسلُ ْجُِ ُن ال ُّرثَبةُ َش ٍْئًب ََل ٌَ ْستَ ٌْقِ ُرٍُّ ِه‬

Artinya : Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat

merebutnya kembali dari lalat itu.

Pada penggalan ayat tersebut lalat menjadi perumpamaan karena seringkali lalat

dianggap sebagai serangga yang lemah sehingga manusia menyepelekan lalat padahal

apa yang sudah diambil lalat tidak akan dapat direbut kembali. Seiring perkembangan

sains modern diketahui bahwa lalat dapat menuturkan kekuatan enzim yang luar

biasa dalam proses pencernaan. Ketika lalat mengambil sesuatu di makanan lalat akan

mengeluarkan getah khusus yang berasal dari air liurnya. Lalu dengan kecepatan

tinggi mencapai sepersekian detik getah tersebut akan tercampur dengan makanan

sehingga lalat akan mudah menyerapnya. Dari kelebihan lalat tersebut, sains pun

menemukan bahwa lalat dapat menularkan virus-virus penyebab penyakit. {Citation}


95

Selain ayat tersebut terdapat pula hadist Nabi yang menerangkan mengenai

kelebihan tersebut

ِ ‫ إِ َذا َّقَ َع ال ُّرثَبةُ فِ ًْ إًَِب ِء أَ َح ِد ُك ْن فَ ْلٍَ ْغ ِو ْسَ ُ فَإًِأ َ َح ِد َجٌَب َح ٍْ َِ دَا ًء َّفِ ًْ اَخ‬: ‫ً قَب َل‬
َّ ‫َس ِش‬
‫ف‬ َّ ِ‫س أَ َّى الٌَّج‬
ٍ ًََ‫َع ْي أ‬

Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda : “Jika ada lalat jatuh ke

dalam minuman salah satu seorang di antara kamu, maka benamkanlah lalat itu lalu

buanglah. Sebab, pada salah satu lalatnya terdapat penyakit, dan pada satunya lagi

terdapat obat.” (HR.Bukhari).

Pada buku karya Nadiah Thayyarah (2014) menjelaskan bahwa apabila seekor

lalat hinggap di atas minuman atau makanan tubuhnya miring ke kiri maka akan

melepaskan bakteri dan parasit yang dibawanya. Apabila kita menenggelamkan

seluruh tubuhnya kedalam air, maka lalat merasa berada dalam bahaya. Sehingga ia

akan melepaskan antibiotik terhadap bakteri dan parasit yang telah dilepaskan

sehingga antibiotik tersebut membunuh bakteri dan parasit yang telah masuk ke dalam

minuman.

Meskipun lalat memiliki obat pada dirinya tetapi manusia tetap dianjurkan untuk

tidak menggap permasalahan lalat adalah hal yang kecil. Karena lalat dapat

menularkan lebih dari 30 jenis kuman penyakit dan membawa sekitar 5 juta pada

tubuhnya dan hidup diatas kotoran. Thayyarah (2014) menyataan bahwa obat dalam

tubuh lalat tidak selalu ada tetapi penyakit dalam tubuh lalat selalu ada sehingga

manusia masih perlu memperhatikan terhadap permasalahan lalat

Angka kepadatan lalat di suatu tempat tergolong tinggi maka perlu adanya

pengendalian lalat. Salah satu cara pengendalian lalat bisa dengan perbaikan

lingkungan.Tujuan dari perbaikan lingkungan ialah menjaga lingkungan sekitar untuk

tidak menjadi tempat perkembang biakan lalat (Kemenkes, 2004). Islam adalah
96

agama yang mengajarkan kebersihan. Islam sangat peduli dengan kebersihan manusia,

kebersihan rumah, kebersihan jalan, kebersihan masjid dan yang lainnya. Bahkan

Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa (Erwan, 2008)

‫الٌَّظَبفَةُ ِهيَ ْاْل ٌْ َوب ِى‬

Artinya : Kebersihan sebagian dari iman (HR. Muslim)

Majelis Ulama Indonesia (2014) pun telah mengeluarkan fatwa mengenai

pengelolaan sampah untuk mencegah kerusakan lingkungan. Salah satu hadis yang

menjadi pengingat dalam memutuskan fatwa tersebut ialah sebagai berikut

‫ٍف ٌُ ِحتُّ الٌَّظَبفَةَ َك ِسٌ ٌن ٌُ ِحتُّ ْال َك َس َم َج َْا ٌد ٌُ ِحتُّ ْالجُْ َد فٌََظُُِّْا أَ ْفٌٍَِتَ ُك ْن‬ َ ٍَّ‫َّللاَ طٍَِّتٌ ٌ ُِحتُّ الط‬
ٌ ‫ِّت ً َِظ‬ َّ ‫إِ َّى‬

)‫) زّاٍ التسهري‬

Artinya : ”Sesungguhnya Allah Ta‟ala itu baik (dan) menyukai kebaikan, bersih

(dan) menyukai kebersihan, mulia (dan) menyukai kemuliaan, bagus (dan) menyukai

kebagusan. Oleh sebab itu, bersihkanlah lingkunganmu”. (HR. At-Tirmidzi)

Dari hadis diatas menerangkan bahwa Allah menyukai kebersihan. Selain

kebersihan pada diri manusia sendiri kebersihan lingkungan harus dijaga dan

dipelihara. Dalam fatwa tersebut MUI merekomendasikan pada pelaku usaha untuk

mendorong kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam upaya pengembangan

pengelolaan sampah untuk kelestarian lingkungan dan menciptakan peluang ekonomi

ramah lingkungan dan berkelanjutan dengan tetap menjaga keseimbangan ekosistem.

Maka dari itu, memperhatikan sanitasi tempat pemotongan unggas adalah salah satu

cara untuk menjaga kelestatrian lingkungan.


97

Rumah Potong Unggas (RPU) adalah bangunan yang kompleks dengan desain

dan kontruksi bangunan khusus yang memenuhi persyaratan teknis dan higiene

tertentu serta digunakan sebagai tempat pemotongan unggas untuk dikonsumsi

masyarakat umum (Kementrian Pertanian, 2005). Persyaratan pemotongan di rumah

potong unggas ialah harus sesuai dengan syariat Islam Pada Surat Al-An‟ aam ayat

121 menjelaskan bahwa pemotongan hewan untuk dikonsumsi manusia harus dengan

mengucapkan nama Allah pada saat penyembelihan.

‫ق ۗ َّإِ َّى ال َّشٍَب ِطٍيَ لٍَُْحُْىَ إِلَ ٰى أَّْ لٍَِبِِ ِِ ْن لٍُِ َجب ِدلُْ ُك ْن َّإِ ْى أَطَ ْْتُ ُوُْ ُ ْن إًَِّ ُك ْن‬ َّ ‫َّ ََل تَأْ ُكلُْا ِه َّوب لَ ْن ٌ ُْر َك ِس ا ْس ُن‬
ٌ ‫َّللاِ َعلَ ٍْ َِ َّإًََُِّ لَُِ ْس‬

َ‫لَ ُو ْش ِس ُكْى‬

Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah

ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu

kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar

mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu

tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.

Dari paparan diatas dapat dikatakan bahwa menjaga lingkungan dalam kasus ini

ialah rumah potong unggas adalah salah satu cara untuk terhindar dari penyakit yang

dapat disebabkan oleh lalat. Menjaga lingkungan ini dapat di lakukan dengan

pengelolaan limbah yang baik di RPU dengan memenuhi sanitasi lingkungan sesuai

dengan syarat yang telah ditentukan.


BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terkait angka kepadatan lalat berdasarkan

perilaku pengelolaan limbah, sanitasi pengelolaan limbah dan faktor lingkungan di

Rumah Potong Unggas Kota Depok, didapatkan simpulan sebagai berikut :

1. Distribusi angka kepadatan lalat di RPU Kota Depok mayoritas tinggi yaitu 7

RPU (58,3%) yang memiliki angka kepadatan lalat kategori tinggi (>21 ekor).

2. Perilaku pengelolaan limbah di RPU Kota Depok mayoritas telah berperilaku

baik. Sebanyak 7 RPU (58,3%) yang telah memiliki perilaku pengelolaan

limbah baik.

3. Sanitasi lingkungan pengelolaan limbah di RPU Kota Depok Tahun 2018

meliputi ketersediaan tempat sampah yang memenuhi syarat sebanyak 6 RPU

(50%), ketersedian SPAL yang memenuhi syarat sebanyak 7 RPU (58,3%), dan

Sanitas tempat potong unggas yang baik sebanyak 4 RPU (33,3%).

4. Faktor lingkungan yang diukur ialah suhu di RPU Kota Depok tahun 2018 rata-

rata 30,74o C. Sedangkan rata-rata kelembaban di RPU Kota Depok tahun 2018

ialah 65%.

5. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antra perilaku pengelolaan limbah di

RPU dengan angka kepadatan lalat di RPU Kota Depok Tahun 2018 (p value

0,072)

6. Sanitasi lingkungan yang berhubungan dengan angka kepadatan lalat di RPU

Kota Depok Tahun 2018 yakni ketersediaan tempat sampah (p value 0,015) dan

sanitasi tempat potong (p value 0,010). Sedangkan untuk ketersediaan SPAL

98
99

tidak terdapat hubungan bermakna dengan angka kepadatan lalat (p value

0,293) di RPU Kota Depok Tahun 2018 .

7. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antra suhu dan kelembaban di RPU

dengan angka kepadatan lalat di RPU Kota Depok Tahun 2018

B. Saran
1. Bagi Rumah Potong Unggas

a. Pengelola RPU diharapkan menyediakan tempat sampah yang sesuai standar

di tempat-tempat yang dapat menghasilkan limbah seperti tempat

pemotongan dan tempat istirahat karyawan. Khususnya untuk RPU

1,2,3,5,6,8, 9 dan 12

b. Pengelola RPU diharapkan melakukan desinfektan di lingkungan RPU

setidaknya satu bulan sekali Khususnya untuk RPU 1,2,3,4,5,6,7,8,dan 9

c. Perlu adanya perbaikan kontruksi bangunan seperti menggunakan keramik

untuk lantai dan dinding sehingga pembersihan bangunan lebih mudah

dilakukan. Khususnya RPU 1,2,3,4,5,6 dan 12

d. Pengelola RPU diharapkan lebih memperhatikan pengelolaan limbah manur

dan bangkai ungggas sehingga tidak menarik lalat untuk datang. Khususnya

untuk RPU 1,2,3,5,6,7,8,dan 9

e. Perlu ada petugas khusus yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan

sanitasi dan kesehatan lingkungan. Khususnya untuk RPU 1,2,3,4,5,6,7,8,9

dan 12

f. Perlu melakukan monitoring terhadap sanitasi lingkungan di RPU

2. Bagi Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian dan Perikanan

a. Dinas diharapkan melakukan pembinaan dan pelatihan kepada pengelola

RPU di Kota Depok terkait pengelolaan limbah baik sarana sanitasi (tempat
100

sampah dan SPAL) dan sanitiasi tempat pemotongan sesuai dengan yang

telah ditetapkan

b. Dinas diharapkan melakukan koordinasi dengan puskesmas terkait kesehatan

pekerja dan masyarakat sekitar pemukiman di RPU

b. Dinas diharapkan dapat memberikan desinfektan serentak setidaknya satu

sekali dalam setahun kepada RPU di Kota Depok

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

a. Peneliti selanjutnya disarankan untuk melakukan penelitian mengenai faktor

lingkungan lainnya yang mempengaruhi angka kepadatan lalat seperti

pencahayaan

b. Peneliti selanjutnya disarankan untuk melakukan pengukuran angka

kepadatan lalat menggunakan fly trap selama 3 hari. Selain mendapatkan

gambaran angka kepadatan lalat hal ini juga sebagai bentuk pengendalian

lalat di RPU.
101

DAFTAR PUSTAKA

Adenusi, A.A., Adewoga, T.O.S., 2013. Human Intestinal Parasites In Non-Biting


Synanthropic Flies In Ogun State, Nigeria. Travel Med. Infect. Dis. 11, 181–189.

Alexander, K.A., Carzolio, M., Goodin, D., Vance, E., 2013. Climate Change Is Likely To
Worsen The Public Health Threat Of Diarrheal Disease In Botswana. Int. J. Environ.
Res. Public. Health 10, 1202–1230.

Al-Shami, S.A., Panneerselvam, C., Mahyoub, J.A., Murugan, K., Naimah, A., Ahmad,
N.W., Nicoletti, M., Canale, A., Benelli, G., 2016. Monitoring Diptera Species Of
Medical And Veterinary Importance In Saudi Arabia: Comparative Efficacy Of Lure-
Baited And Chromotropic Traps. Karbala Int. J. Mod. Sci. 2, 259–265.

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika. 2019. Perkiraan Musim Kemarau Tahun
2018 di Indonesia.

Badan Pusat Statistik Jawa Barat. 2016. Provinsi Jawa Bara Dalam Angka 2016

Badan Statistik. 2017. Jawa Barat dalam Angka 2017

Bello, Y.O., Oyedemi, D.T.A., 2009. The Impact Of Abattoir Activities And Management In
Residential Neighbourhoods: A Case Study Of Ogbomoso, Nigeria. J. Soc. Sci. 19, 121–
127.

Candra, A., Tang, U.M., Nazriati, E., 2016. Analisis Sanitasi Dan Strategi Pengendalian Lalat
Di Pelabuhan Kawasan Industri Dumai (Kid) Pelintung. J. Ilmu Lingkung. 10, 162–
178.

Chandra, B. (2007). Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran


EGC

Collinet-Adler, S., Babji, S., Francis, M., Kattula, D., Premkumar, P.S., Sarkar, R., Mohan,
V.R., Ward, H., Kang, G., Balraj, V., 2015. Environmental Factors Associated With
High Fly Densities And Diarrhea In Vellore, India. Appl. Environ. Microbiol. AEM–
01236.

Dewi,Dian Indra.2007. Lalat Dan Kehidupannya. BALABA, Ed 004.

Dogra, V., Aggarwal, A.K., 2010. Association Of Poultry Farms With Housefly And
Morbidity: A Comparative Study From Raipur Rani, Haryana. Indian J. Community
Med. Off. Publ. Indian Assoc. Prev. Soc. Med. 35, 473–477.
Https://Doi.Org/10.4103/0970-0218.74342

Ertlita, Dila Cahya Dan Waridin. 2007. Pengelolaan Dampak Limbah Pemotongan Ayam
Dan Dampaknya Terhadap Masyarakat Sekitar. Universitas Diponegoro
102

Erwan, A., 2008. Higienitas Perspektif Hadis: Kajian Hadis-Hadis Tentang Kebersihan
Makanan, Sumber Air, Rumah Dan Jalanan.

Food and Agriculture Organization. 1985. Slaughterhouse Cleaning and Sanitation.

Hermawanto, Hery. 2010. Biostatistika Dasar. Jakarta Timur : Trans Info Media.

Ihsan, Iif Miftahul.2013. Pengaruh Suhu Udara Terhadap Perkembangan Pradewasa Lalat
Rumah (Musc Domestica). Institut Pertanian Bogor

Iskandar, I., Rwanda, T. And Nadeak, E.S.M., 2015. Efektifitas Variasi Umpan Dalam
Penggunaan Fly Trap Di Tempat Pembuangan Akhir Ganet Kota
Tanjungpinang. Andalas Journal Of Public Health, 10(1).

Jaal, Z., 2009. Temporal Changes In The Abundance Of Musca Domestica Linn (Diptera:
Muscidae) In Poultry Farms In Penang, Malaysia. Trop. Biomed. 26, 140–148.

Kasiono, A.M., Umboh, J.M., Boky, H., 2016. Hubungan Antara Sanitasi Dasar Dengan
Tingkat Kepadatan Lalat Di Rumah Makan Pasar Tuminting Kota Manado. Ikmas 8.

Kementrian Lingkungan Hidup RI . 2011. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No.16


Tahun 2011 Tentang Pedoman Materi Muatan Rancangan Peraturan Daerah Tentang
Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga

Kementrian Kesehatan RI. 2003. Keputusan Menteri Kesehatan No 1098 Tahun 2003
Tentang Persyaratan Hygiene Sanitasi Rumah Makan Dan Restoran

Kementrian Kesehatan RI. 2008. Keputusan Mentri Kesehatan No. 519 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Pasar Sehat

Kementrian Kesehatan. 2008. Pedoman Pengendalian Lalat Di Pelabuhan

Kementrian Kesehatan. 2011. Peraturan Menteri Kesehatan No. 1077 Tentang Pedoman
Penyehatan Udara Dalam Ruang Rumah

Kementrian Kesehatan. 2013. Riset Kesehatan Dasar

Kementrian Kesehatan. 2014. Pedoman Pengendalian Lalat

Kementrian Kesehatan. 2016. Profil Kesehatan Tahun 2016

Kementrian Pertanian. 2005. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 381 Tahun 2005 Tentang
Pedoman Sertifikasi Kontrol Veteriner Unit Usaha Pangan Asal Hewan

Kementrian Pertanian RI. 2010. Peraturan Mentri Pertanian No 13 Tahun 2010 Tentang
Persyaratan Rumah Potong Hewan Ruminansia Dan Unit Penanganan Daging (Meat
Cutting Plant)
103

Kementrian Pertanian RI. 2010. Produksi Dan Penanganan Daging Ayam Yang Higienis

Kementrian Pertanian. 2017. Statistik Peternakan Dan Kesehatan Hewan

Kurniawan, Habib Alfa Eni. 2013. Studi Deskriptif Tingkat Kepadatan Lalat Di Pemukiman
Sekitar Rumah Pemotongan Unggas (RPU) Penggaron Kelurahan Penggaron Kidul
Kecamatan Pedurungan Kota Semarang. Universitas Negeri Semarang

Komba, Erick VG, Komba, Ewaldo V., Mkupasi, E.M., Mbyuzi, A.O., Mshamu, S., Mzula,
A., Luwumba, D., 2012. Sanitary Practices And Occurrence Of Zoonotic Conditions In
Cattle At Slaughter In Morogoro Municipality, Tanzania: Implications For Public Health.
Tanzan. J. Health Res. 14.

Koswara,Sutrisno. 2009. Pengolahan Unggas. Universitas Muhamadiyah Semarang

Lestari, Y., Nirmala, F., 2017. Analisis Dampak Kepadatan Lalat, Sanitasi Lingkungan Dan
Personal Higiene Terhadap Kejadian Demam Tifoid Di Pemukiman Uptd Rumah
Pemotongan Hewan (Rph) Kota Kendari Tahun 2017. J. Ilm. Mhs. Kesehat. Masy. 2.

Manalu, M., Marsaulina, I., Ashar, T., 2012. Hubungan Tingkat Kepadatan Lalat (Musca
Domestica) Dengan Kejadian Diare Pada Anak Balita Di Pemukiman Sekitar Tempat
Pembuangan Akhir Sampah Namo Bintang Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli
Serdang Tahun 2012. Lingkung. Dan Keselam. Kerja 2.

Masyudi, M., 2018. Pengaruh Sanitasi Dasar Terhadap Kepadatan Lalat Pada Warung Nasi
Dan Kantin (Studi Kasus Di Kecamatan Tangan-Tangan Kabupaten Aceh Barat Daya).
Maj. Kesehat. Masy. Aceh Makma 1.

Majelis Ulama Indonesia. 2014. Fatwa Pengelolaan Sampah Untuk Mencegah Kerusakan
Lingkungan. Diakses Dari Https://Mui-Lplhsda.Org/Fatwa-Majelis-Ulama-Indonesia-
Nomor-47-Tahun-2014-Tentang-Pengelolaan-Sampah-Untuk-Mencegah-Kerusakan-
Lingkungan/ Pada 15 Agustus 2018

Moses Laksono S. Dan Mera Kariana. 2010. “Peningkatan Produktivitas Dan Kinerja
Lingkungan Dengan Pendekatan Green Productivity Pada Rumah Pemotongan Ayam”.
Jurnal Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya
Penggunaan Fly Trap Di Tempat Pembuangan Akhir Ganet Kota Tanjungpinang. J.
Kesehat. Masy. Andalas 10, 82–86.

Nadeak, E.S.M., Rwanda, T., Iskandar, I., 2017. Efektifitas Variasi Umpan Dalam

Naik, K.S., Stenstrom, M.K., 2012. Evidence Of The Influence Of Wastewater Treatment On
Improved Public Health. Water Sci. Technol. 66, 644.
104

Nida, Kotrun. 2014. Hubungan Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Dengan Daya Tarik
Vektor Musca Domestica (Lalat Rumah) Dengan Risiko Diare Pada BADUTA Di
Kelurahan Ciputat Tahun 2014. Universitas Islam Negeri Jakarta

Ngoen-Klan, R., Moophayak, K., Klong-Klaew, T., Irvine, K.N., Sukontason, K.L., Prangkio,
C., Somboon, P., Sukontason, K., 2011. Do Climatic And Physical Factors Affect
Populations Of The Blow Fly Chrysomya Megacephala And House Fly Musca
Domestica? Parasitol. Res. 109, 1279–1292.

Nurita, A.T., Abu Hassan, A., Nur Aida, H., 2008. Species Composition Surveys Of
Synanthropic Fly Populations In Northern Peninsular Malaysia. Trop. Biomed. 25, 145–
153.

Notoatmodjo Soekidjo. 2012. Metodelogi Penelitian Kedokteran. Rineka Cipta, Jakarta

Parakkasi, A. And Hardini, S.Y.P.K., 2014. Pengolahan Limbah Ternak.

Pebriyanti, I.R., Nirmala, F., 2017. Vol. 2/No. 6/Mei 2017; Issn2502-731x, Identifikasi
Kepadatan Lalat Dan Sanitasi Lingkungan Sebagai Vektor Penyakit Kecacingan Di
Pemukiman Sekitar Rumah Pemotongan Hewan (Rph) Kota Kendari Tahun 2017. J. Ilm.
Mhs. Kesehat. Masy. 2.

Purnomo, H.P., 2005. Identifikasi Jenis Dan Kepadatan Lalat Di Kandang Peternakan Ayam
Desa Serdang Kecamatan Tanjung Bintang Kabupaten Lampung Selatan Species (Phd
Thesis). Diponegoro University

Savithra, Wahyu Khairani. 2018. Analisis Higiene Sanitasi, Tingkat Pengetahuan Pengelola
Dan Kadar Timbal Pada Daging Bebek Di Tempat Potong Unggas Tahun 2017.
Universitas Sumatera Utara Medan

Sihombing, D.T.H. 2000. Teknik Pengelolaan Limbah Kegiatan/Usaha Peternakan. Pusat


Penelitian Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor.

Sumantri, Arif. 2010. Kesehatan Lingkungan dan Perspektif Islam. Jakarta;Pranada Media
Group

SNI 01-6160-1999. Rumah Potong Unggas Diakses Di


Https://Dokumen.Tips/Documents/Sni-Rumah-Potong-Unggas-Rpu.Html Pada
Tanggal 1 April 2018
.
Rejeki, S., 2015. Sanitasi Hygiene Dan K3 (Kesehatan Dan Keselamatan Kerja). Cetakan
Pertama Penerbit Rekayasa Sains Bdg.

Tanjung, N., 2017. Efektifitas Berbagai Bentuk Fly Trap Dan Umpan Dalam Pengendalian
Kepadatan Lalat Pada Pembuangan Sampah Jalan Budi Luhur Medan Tahun
2016. Pannmed, 11(3), P.217
105

Thayyarah, Nadia. 2014. Buku Pintar Sains Dalam Al-Quran. Jakarta; Zaman

Yunita, Lestari Dkk . 2017. Analisis Dampak Kepadatan Lalat, Sanitasi Lingkungan Dan
Personal Higiene Terhadap Kejadian Demam Tifoid Di Pemukiman Uptd Rumah
Pemotongan Hewan (RPH) Kota Kendari Tahun 2017. Universitas Halu Oleo

World Health Organization,1986. Vector Control Series The Housefly Training And
Information Guide
106

LAMPIRAN
107

KUESIONER PENELITIAN

HUBUNGAN SANITASI LINGKUNGAN PENGELOLAAN LIMBAH DENGAN


INDIKATOR ANGKA KEPADATAN LALAT DI RUMAH POTONG UNGGAS
KOTA DEPOK TAHUN 2018

Saya Saffanah Nuriyah, mahasiswa Fakultas Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta Program Studi Kesehatan Masyarakat saat ini sedang melakukan penelitian skripsi
dengan judul

“ Hubungan Sanitasi Lingkungan Pengelolaan Limbah Dengan Indikator Angka


Kepadatan Lalat Di Rumah Potong Unggas Kota Depok Tahun 2018 “ . Untuk itu saya
mohon bantuan kepada Bapak / Ibu unruk mengisi kuesioner ini dengan sebaik-baiknya.
Kerahasiaan dari jawaban anda pada kuesioner ini daat dijamin, untuk itu saya mohon isilah
pertanyaan sesuai dengan kondisi yang sebenar-benarnya dan mendekati kenyataan. Terima
kasih

Depok,......Juli 2018

Responden

(.....................................)
108

Identitas Responden :
Nama Petugas :
No. Hp :
Alamat RPU :
Tanggal Wawancara :
Jumlah unggas potong/ hari :

No Pertanyaan Jawaban Ruang Entri

A. Perilaku Penanganan Limbah


A1. Apakah sampah dipisah antara 0 = Tidak
organik dan anorganik? 1 = Ya
A2. Apakah sampah dipisah antara 0 = Tidak
sampah basah dan sampah 1 = Ya
kering?
A3. Apakah sampah selalu diangkut 1 0 = Tidak
x 24 jam ? 1 = Ya
A4. Apakah bangkai unggas dibakar 0 = Tidak
di tempat terpisah? 1 = Ya
A5. Apakah saluran pembuangan air 0 = Tidak
limbah (SPAL) atau drainase 1 = Ya
selalu dibersihkan dari padatan?
A6. Apakah kotoran unggas selalu 0 = Tidak
dibersihkan setiap harinya? 1 = Ya
A7. Apakah kandang unggas selalu 0 = Tidak
dibersihkan setiap harinya? 1 = Ya
B. Sanitasi Tempat Potong
B1. Apakah air bersih yang digunakan 0 = Tidak
untuk unggas cukup untuk 1 = Ya
melakukan pembersihan?
B2. Apakah pembersihan tempat 0 = Tidak
pemotongan dilakukan dengan 1 = Ya
cara menyikat?
B3. Apakah tempat pemotongan 0 = Tidak
dilakukan dengan pemberian 1 = Ya
desinfektan?
B4. Apakah pembersihan peralatan 0 = Tidak
pemotongan dilakukan dengan 1 = Ya
cara menyikat ?
B5. Apakah pembersihan peralatan 0 = Tidak
pemotongan dilakukan dengan 1 = Ya
cara pemberian desinfektan?
109

LEMBAR OBSERVASI

Inspeksi Sanitasi Pengelolaan Limbah di Rumah Potong Unggas

No. Objek Ya Tidak

B. Sanitasi Tempat Potong

B6. Tidak terdapat limbah padat (kotoran,


bulu dll) di area pemotongan

B7. Tidak terdapat limbah cair (darah, sisa


pencucian dll) di area pemotongan

B8. Peralatan bersih dari darah

B9. Tidak terdapat limbah padat (kotoran,


bulu dll) di area pemotongan

C. Ketersediaan Tempat Sampah


C1. Mempunyai Tempat Penampungan
Sampah Sementara
C2. TPS tidak bau, tidak ada sampah
berserakan

C3. Tersedia tempat sampah di tempat


pemotongan

C4. Tempat sampah bahan kedap air


C5. Tempat sampah tertutup

C6. Tempat sampah mudah dibersihkan


D. Saluran Pembuangan Air Limbah

D1. Mempunyai saluran pembuangan air


limbah
D2. Saluran pembuangan air limbah hasil
pemotongan terpisah dengan saluran dari
jamban
D3. Saluran limbah cair tertutup
D4. Aliran air limbah lancar
110

FORMULIR PENGUKURAN KEPADATAN LALAT

1. Lokasi Pengamatan :
2. Waktu Pengukuran :
Pengukuran 1 :
Pengukuran 2 :
Pengukuran 3 :
Pengukuran 4 :
Pengukuran 5 :
Pengukuran 6 :

3. Lingkungan Fisik
P-1 P-2 P-3 P-4 P-5 P-6

Temperatur

Kelembaban

4. Hasil Pengamatan
Titik P-1 P-2 P-3 P-4 P-5 P-6 Total
(N)
Tempat istirahat
petugas potong
Tempat pemotongan

Tempat
Pembuangan
Sampah Sementara

5. Rata-rata kepadatan Lalat :


(X) = Total (N) / 6
111

OUTPUT ANALISIS UNIVARIAT

A. Angka Kepadatan Lalat

Kat_lalat

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tinggi 7 58,3 58,3 58,3

Rendah 5 41,7 41,7 100,0

Total 12 100,0 100,0

B. Perilaku Pengelolaan Limbah

Statistics
PengelolaanLimbah

N Valid 12

Missing 0

PengelolaanLimbah

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid buruk 7 58,3 58,3 58,3

baik 5 41,7 41,7 100,0

Total 12 100,0 100,0

C. Ketersediaan Tempat Sampah

TempatSampah

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak Memenuhi Syarat 6 50,0 50,0 50,0

Memenuhi Syarat 6 50,0 50,0 100,0

Total 12 100,0 100,0


112

D. Ketersediaan SPAL

SaluranLimbah

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak Memenuhi Syarat 5 41,7 41,7 41,7

Memenuhi Syarat 7 58,3 58,3 100,0

Total 12 100,0 100,0

E. Sanitasi Tempat Potong

Tempat_potong

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Buruk 8 66,7 66,7 66,7

Baik 4 33,3 33,3 100,0

Total 12 100,0 100,0

F. Suhu

Statistics
Rata_Suhu

N Valid 12

Missing 0
Mean 30,742
Median 30,767
a
Mode 29,4
Std. Deviation ,9016
Minimum 29,4
Maximum 32,1

a. Multiple modes exist. The


smallest value is shown
113

G. Kelembaban

Statistics
Rata_Lembab

N Valid 12

Missing 0
Mean 65,00
Median 67,00
Mode 69
Std. Deviation 4,390
Minimum 58
Maximum 69

OUTPUT ANALISIS BIVARIAT

A. Angka Kepadatan Lalat berdasarkan Pengelolaan Limbah

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

PengelolaanLimbah *
12 100,0% 0 0,0% 12 100,0%
Kat_lalat

PengelolaanLimbah * Kat_lalat Crosstabulation

Kat_lalat

Tinggi Rendah Total

PengelolaanLimbah buruk Count 6 1 7

% within PengelolaanLimbah 85,7% 14,3% 100,0%


baik Count 1 4 5

% within PengelolaanLimbah 20,0% 80,0% 100,0%


114

Total Count 7 5 12

% within PengelolaanLimbah 58,3% 41,7% 100,0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 5,182 1 ,023
b
Continuity Correction 2,831 1 ,092
Likelihood Ratio 5,555 1 ,018
Fisher's Exact Test ,072 ,045
Linear-by-Linear Association 4,750 1 ,029
N of Valid Cases 12

a. 4 cells (100,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,08.
b. Computed only for a 2x2 table

B. Angka Kepadatan Lalat berdasarkan Ketersediaan Tempat Sampah

TempatSampah * Kat_lalat Crosstabulation

Kat_lalat

Tinggi Rendah Total

TempatSampah Tidak Memenuhi Syarat Count 6 0 6

% within TempatSampah 100,0% 0,0% 100,0%

Memenuhi Syarat Count 1 5 6

% within TempatSampah 16,7% 83,3% 100,0%


Total Count 7 5 12

% within TempatSampah 58,3% 41,7% 100,0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 8,571 1 ,003
b
Continuity Correction 5,486 1 ,019
Likelihood Ratio 10,894 1 ,001
Fisher's Exact Test ,015 ,008
115

Linear-by-Linear Association 7,857 1 ,005


N of Valid Cases 12

a. 4 cells (100,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,50.
b. Computed only for a 2x2 table

C. Angka Kepadatan Lalat berdasarkan Ketersediaan SPAL

SaluranLimbah * Kat_lalat Crosstabulation

Kat_lalat

Tinggi Rendah Total

SaluranLimbah Tidak Memenuhi Syarat Count 4 1 5

% within SaluranLimbah 80,0% 20,0% 100,0%

Memenuhi Syarat Count 3 4 7


% within SaluranLimbah 42,9% 57,1% 100,0%
Total Count 7 5 12

% within SaluranLimbah 58,3% 41,7% 100,0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 1,656 1 ,198
b
Continuity Correction ,480 1 ,488
Likelihood Ratio 1,736 1 ,188
Fisher's Exact Test ,293 ,247
Linear-by-Linear Association 1,518 1 ,218
N of Valid Cases 12

a. 4 cells (100,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,08.
b. Computed only for a 2x2 table

D. Angka Kepadatan Lalat berdasarkan Sanitasi Tempat Potong

Tempat_potong * Kat_lalat Crosstabulation

Kat_lalat

Tinggi Rendah Total


Tempat_potong Buruk Count 7 1 8

% within Tempat_potong 87,5% 12,5% 100,0%


116

Baik Count 0 4 4

% within Tempat_potong 0,0% 100,0% 100,0%


Total Count 7 5 12

% within Tempat_potong 58,3% 41,7% 100,0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 8,400 1 ,004
b
Continuity Correction 5,186 1 ,023
Likelihood Ratio 10,272 1 ,001
Fisher's Exact Test ,010 ,010
Linear-by-Linear Association 7,700 1 ,006
N of Valid Cases 12

a. 4 cells (100,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,67.
b. Computed only for a 2x2 table

E. Angka Kepadatan Lalat berdasarkan Suhu

Group Statistics

Kat_lalat N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Rata_Suhu Tinggi 7 31,112 ,8855 ,3347

Rendah 5 30,223 ,6955 ,3110

F. Angka Kepadatan Lalat berdasarkan Kelembaban

Group Statistics

Kat_lalat N Mean Std. Deviation Std. Error Mean


Rata_Lembab Tinggi 7 64,71 4,309 1,629

Rendah 5 65,40 4,980 2,227


117

Ranks

Kat_lalat N Mean Rank Sum of Ranks

Rata_Lembab Tinggi 7 5,50 38,50

Rendah 5 7,90 39,50

Total 12

a
Test Statistics

Rata_Lembab

Mann-Whitney U 10,500
Wilcoxon W 38,500
Z -1,151
Asymp. Sig. (2-tailed) ,250
b
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,268

a. Grouping Variable: Kat_lalat


b. Not corrected for ties.
118

Hasil Pengukuran Hasil Pengukuran


Angka Kepadatan Lalat Angka Kepadatan Lalat

Konstruksi RPU

Penyedian Air Penumpukan Bulu

Pembersihan Keranjang Unggas Wawancara

Anda mungkin juga menyukai