Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH WAKALAH DAN KAFALAH

Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas Fiqih Muamalah

Dosen Pengampu :
Unun Roudhotul Jannah, M. Ag.

Disusun Oleh : Kelompok 5

1. Septia Tweenty Free Zantinta (401210273)


2. Shaikha Fatmawati (401210274)
3. Sri Rahayu (401210289)

Ekonomi Syariah I

JURUSAN EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN ) PONOROGO
2022
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur senantiasa kami panjatkan pada kehadirat Allah SWT. atas limpahan
karunia serta kenikmatan kepada kami semua, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
dengan konsep WAKALAH dan KAFALAH ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada mata
kuliah Fiqh Muamalah dan menambah wawasan mengenai Wakalah dan Kafalah bagi pembaca
maupun penulis.

Kami mengucapkan terimakasih kepada Ibu Unun Roudhotul Jannah, M. Ag. selaku
dosen mata kuliah Fiqh Muamalah, kami menyadari bahwa makalah yang kami tulis masih jauh
dari kata sempurna sehingga kritik dan saran dapat diberikan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah “Wakalah dan Kafalah” ini dapat memberikan
manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.

Ponorogo, 19 Maret 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Wakalah
B. Dasar Hukum Wakalah
C. Rukun dan Syarat Wakalah
D. Macam-Macam Wakalah
E. Berakhirnya Akad Wakalah
F. Pengertian Kafalah
G. Dasar Hukum Kafalah
H. Rukun dan Syarat Kafalah
I. Jenis-Jenis Kafalah

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan
B. Saran
C. Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Wakalah dan Kafalah sering kita dengar baik dalam ekonomi syariah maupun
dalam lembaga keuangan syariah. Hal-hal tersebut dalam dunia perbankan terdapat dalam
produk jasa. Masyarakat awam pada umumnya tidak begitu memahami apa yang
dimaksud dengan wakalah dan kafalah ini.
Wakalah berupa penyerahan atau pendelegasian dari satu pihak kepihak lain dan
harus dilakukan dengan yang telah disepakati oleh sipemberi mandat. Hal ini terjadi
karena pada dasarnya tidak semua manusia dapat mengurusi segala urusannya secara
pribadi, sehingga ia butuh pendelegasian mandat kepada orang lain
Kafalah dalam dunia perbankan yaitu pemebrian asuransi, berarti pemberian
jaminan yang diberikan satu pihak kepada pihak lain dimana pemberi jaminan
bertanggungjawab atas pembayaran kembali suatu utang ynag menjadi hak penerima
jaminan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian wakalah dan kafalah ?
2. Apa dasar hukum wakalah dan kafalah ?
3. Apa saja rukun dan syarat wakalah dan kafalah ?
4. Bagaimana pelaksanaan kafalah ?
5. Bagaimana akhir dari wakalah ?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui apa pengertian wakalah dan kafalah ?
2. Mengetahui apa dasar hukum wakalah dan kafalah ?
3. Mengetahui apa saja rukun dan syarat wakalah dan kafalah ?
4. Mengetahui bagaimana pelaksanaan kafalah ?
5. Mengetahui bagaimana akhir dari wakalah ?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Wakalah

Wakalah berasal dari wazan wakala-yakilu-waklan yang berarti menyerahkan atau


mewakilkan urusan sedangkan wakalah adalah pekerjaan wakil. Al-Wakalah juga berarti
penyerahan (al Tafwidh) dan pemeliharaan (al-Hifdh).1 Menurut kalangan Syafi‟iyah arti
wakalah adalah ungkapan atau penyerahan kuasa (al-muwakkil) kepada orang lain (al-wakil)
supaya melaksanakan sesuatu dari jenis pekerjaan yang bisa digantikan (an-naqbalu anniyabah)
dan dapat dilakukan oleh pemberi kuasa, dengan ketentuan pekerjaan tersebut dilaksanakan pada
saat pemberi kuasa masih hidup.2 Wakalah dalam arti harfiah adalah menjaga, menahan atau
penerapan keahlian atau perbaikan atas nama orang lain, dari sini kata tawkeel diturunkan yang
berarti menunjuk seseorang untuk mengambil alih atas suatu hal juga untuk mendelegasikan
tugas apapun ke orang lain.3
Berdasarkan pengertian di atas, dapat dipahami bahwa wakalah adalah akad yang
memberikan kuasa kepada pihak lain untuk melakukan suatu kegiatan dimana yang memberi
kuasa tidak dalam posisi melakukan kegiatan tersebut. Akad wakalah pada hakikatya adalah
akad yang digunakan oleh seseorang apabila dia membutuhkan orang lain atau mengerjakan
sesuatu yang tidak dapat dilakukannya sendiri dan meminta orang lain untuk melaksanakannya.
Wakalah mempunyai beberapa makna yang berbeda menurut beberapa ulama, berikut ini
adalah masing- masing pandangan dari para ulama :
a. Menurut Hasbhy Ash shiddieqy, wakalah adalah akad penyerahan kekuasaan yang pada
akad itu seseorang menunjuk orang lain sebagai penggantinya dalam bertindak
(bertaṣarruf).4
b. Menurut Sayyid Sabbiq, wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada
orang lain dalam hal–hal yang boleh di wākilkan.5

1
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Gema Insani, Jakarta, 2008, hlm. 120-121
2
Helmi Karim, Fiqh Muamalah, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 20
3
Muhammad Ayub, Understanding Islamic Finance, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2009, hlm. 529.
4
Teungku Muhammad Hasby Ash Shiddieqi, Hukum-Hukum Fiqh Islam ( Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001),
391.
5
Sayyid Sabiq, Fiqh al- Sunnah, juz V ( Beirut: Daar al- Fikr, 1983), 235.
c. Menurut Ulama Malikiyah ,Wakalah adalah tindakan seseorang mewakilkan dirinya
kepada orang lain untuk melakukan tindakan-tindakan yang merupakan hak nya yang
tindakan itu tidak di kaitkan dengan pemberian kuasa setelah mati, sebab jika dikaitkan
dengan tindakan setelah mati berarti sudah berbentuk wasiat.
d. Menurut ulama Syafi‟iyah mengatakan bahwa wakalah adalah salah suatu ungkapan
yang mengandung suatu pendelegasian sesuatu oleh seseorang kepada orang lain supaya
orang lain itu melaksanakan apa yang boleh di kuasakan atas nama pemberi kuasa.

B. Dasar Hukum Wakalah


Dasar hukum dari wakalah adalah boleh dilakukan dalam ikatan kontrak yang di
syariatkan dengan dasar hukum ibahah (di perbolehkan ), al-wakalah bisa menjadi sunnah,
makruh, haram, atau bahkan wajib sesuai dengan niat pemberi kuasa, pekerjaan yang di
kuasakan atau faktor lain yang mendasarinya dan mengikutinya. Para imam mazhab sepakat
bahwa perwakilan dalam akad (kontrak, perjanjian, transaksi) yang dapat digantikan orang lain
untuk melakukannya adalah dibolehkan selama dipenuhi rukun-rukunnya. Tiap-tiap hal boleh
dilakukan penggantian, selama hal tersebut bukanlah hal yang menyangkut ibadah yang bersifat
badaniah seperti sholat, puasa, dan lainnya tidak dapat diwakilkan. Sedangkan yang boleh
dilakukan penggantian adalah pekerjaan yang dapat dikerjakan orang lain, seperti jual-beli,
persewaan, pembayaran utang, menyuruh menuntut hak dan menikahkan maka hukumnya sah
memberi wakalah.
Landasan hukum wakalah adalah sebagai berikut:

a. Al-Qur’an
‫ ِإنِّ ْي َحفِيْظٌ َعلَ ْي ٌم‬،‫ض‬
ِ ْ‫اِجْ َع ْلنِ ْي َعلَى َخ َزاِئ ِن اَْألر‬

Artinya: “Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan Negara (Mesir); sesungguhnya aku
adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan". (Qs. Yusuf:55)

Ayat tersebut menyimpulkan bahwa dalam hal muamalah dapat dilakukan perwakilan dalam
bertransaksi, ada solusi yang bias diambil manakala manusia mengalami kondisi tertentu yang
mengakibatkan ketidak sanggupan melakukan segala sesuatu secara mandiri, baik melaui
perintah maupun kesadaran pribadi dalam rangka tolong menolong, dengan demikian seseorang
dapat mengakses atau melakukan transaki melaui jalan Wakalah.

b. Sunnah

)‫ث (رواه مالك في الموطأ‬ ِ ‫ فَ َز َّو َجاهُ َم ْي ُموْ نَةَ بِ ْنتَ ْال َح‬،‫ار‬
ِ ‫ار‬ ِ ‫ص‬َ ‫ث َأبَا َرافِ ٍع َو َر ُجالً ِمنَ اَْأل ْن‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َوآلِ ِه َو َسلَّ َم بَ َع‬
َ ِ‫ِإ َّن َرسُوْ َل هللا‬

"Rasulullah SAW mewakilkan kepada Abu Rafi' dan seorang Anshar untuk mengawinkan (qabul
perkawinan Nabi dengan) Maimunah r.a." (HR. Malik dalam al-Muwaththa').

c. Ijma
Para ulama berpendapat dengan ijma atas dibolehkannya wakalah. Mereka mensunnahkan
wakalah dengan alasan bahwa wakalah termasuk jenis ta‟awun atau tolong menolong atas dasar
kebaikan dan takwa.6

C. Rukun dan Syarat Wakalah


Menurut kelompok Hanafiah, rukun wakalah itu hanya ijab qabul, akan tetapi jumhur
ulama tidak memiliki pendapat yang serupa, mereka berpendirian bahwa rukun dan syarat
wakalah sekurang-kurangnya terdapat empat rukun diantaranya yaitu:
a. Rukun
1. Orang yang memberi kuasa (al-Muwakkil)
2. Orang yang diberi kuasa (al-Wakil)
3. Perkara/hal yang dikuasakan (al-Taukil)
4. Pernyataan Kesepakatan (Ijab dan Qabul)

b. Syarat-syarat
1. Muwakkil (yang mewakilkan)
Muwakkil merupakan orang yang berwakil disyaratkan sah melakukan apa yang
diwakilkan, sebab milik atau di bawah kekuasaannya orang yang berwakil disyaratkan

6
Muhammad Syafi’i Antonio, Op. Cit., hlm. 122.
sah melakukan apa yang diwakilkan, sebab milik atau di bawah kekuasaannya. Syarat-
syarat muwakkil adalah:
1) Pemilik sah yang dapat bertindak terhadap sesuatu yang diwakilkan.
2) Orang mukallaf atau anak mumayyiz dalam batas-batas tertentu, yakni dalam hal-hal
yang bermanfaat baginya seperti mewakilkan untuk menerima hibah, menerima sedekah
dan sebagainya.
2. Wakil (yang mewakili)
Syarat-syarat wakil adalah sebagai berikut:
1) Cakap hukum, cakap bertindak hukum untuk dirinya dan orang lain, memiliki
pengetahuan yang memadai tentang masalah yang diwakilkan kepadanya, serta amanah
dan mampu mengerjakan pekerjaan yang dimandatkan kepadanya.
2) Dapat mengerjakan tugas yang diwakilkan kepadanya.
3) Wakil adalah orang yang diberi amanat.
3. Perkara yang diwakilkan/obyek wakal
Sesuatu yang dapat dijadikan obyek akad atau suatu pekerjaan yang dapat dikerjakan
orang lain, perkara-perkara yang mubah dan dibenarkan oleh syara’, memiliki identitas
yang jelas, dan milik sah dari al-Muwakkil, misalnya: jual-beli, sewa-menyewa,
pemindahan hutang, tanggungan, kerjasama usaha, penukaran mata uang, pemberian gaji,
akad bagi hasil, talak, nikah, perdamaian dan sebagainya.
4. Pernyataan Kesepakatan (Ijab-Qabul)
Kesepakatan kedua belah pihak baik lisan maupun tulisan dengan keikhlasan memberi
dan menerima baik fisik maupun manfaat dari hal yang ditransaksikan.7

D. Macam - Macam wakalah


Macam-macam Wakalah Wakalah terbagi menjadi, muthlaq dan muqayyad sebagai
berikut:
a. Wakalah muthlaqah adalah wakalah yang terbebas dari setiap batasan. Misalnya, “Aku
wakilkan padamu untuk menjual rumahku”. Kemudian ada seseorang mewakilkan orang
lain untuk menjual sesuatu tanpa ada ikatan harga tertentu, pembayaran kontan atau
diangsur, di kampung atau di kota, maka yang terbebas dari setiap batasan. Misalnya,
7
Dewan Syariah Nasional, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, Gaung Persada,
Jakarta, 2006, hlm. 65-67.
“Aku wakilkan padamu untuk menjual rumahku”. Maka wakil dapat menjualnya dengan
harga layak dan tidak terbatas dengan harga tertentu ia wakil (orang yang mewakili) tidak
boleh menjualnya dengan seenaknya saja. Dia harus menjual sesuai dengan harga pada
umumnya, dan dengan penjualan tunai, sehingga dapat dihindari ghubn (kecurangan)
kecuali bila yang dikenal di kalangan para pedagang dan untuk hal yang lebih berguna
bagi yang mewakilkan.Imam Syafi’i berpendapat bahwa wakil tersebut boleh menjual
sebagaimana kehendak wakil itu sendiri. Dengan demikian, perkataan jual beli
menunjukkan adanya dua perbuatan dalam satu peristiwa, yaitu satu pihak menjual dan
pihak lain membeli. Maka terjadilah peristiwa hukum jual beli yang terlihat bahwa dalam
perjanjian jual beli terlibat dua pihak yang saling menukar.
b. Wakalah muqayyadah adalah wakalah dimana muwakil membatasi tindakan wakil dan
menentukan cara melaksanakan tindakan tersebut. Misalnya, “Aku wakilkan padamu
untuk menjual rumahku ini dengan harga sekian. Maka wakil dapat menjualnya dengan
harga layak dan tidak terbatas dengan hari tertentu.Jika perwakilan bersifat terikat, wakil
berkewajiban mengikuti apa saja yangtelahditentukan oleh orang yang mewakilkan. Ia
tidak boleh menyalahinya kecuali kepada yang lebih baik dan bermanfaat bagi orang
yang mewakilkan. Bila yang mewakili menyalahi aturan-aturan yang telah disepakati
ketika akad, penyimpangan tersebut dapat merugikan pihak yang mewakilkan, maka
tindakan tersebut batal menurut pandangan imam Syafi’i. Sedangkan menurut madzhab
Hanafi tindakan itu tergantung pada kerelaan orang yang mewakilkan. Jika yang
mewakilkan membolehkannya, maka penjualannya menjadi sah, bila tidak meridhainya
maka menjadi batal.

E. Pengertian kafalah

Al-Kafalah menurut bahasa berarti al-ḍaman (jaminan),hamalah (beban), dan za’amah


( tanggungan).Sedangkan menurut terminology hukum Islam yang dimaksud dengan kafalah,
para fuqaha berbeda redaksi dalam merumuskannya.
Menurut fuqaha Hanafi al-kafalah memiliki dua pengertian yaitu: Pertama, al-kafalah
adalah menggabungkan ẓimah kepada ẓimah yang lain dalam penagihan, dengan jiwa, hutang
atau benda. Kedua, al-kafalah adalah menggabungkan ẓimah kepada ẓimah yang lain dalam
pokok hutang.
Menurut mazhab Maliki bahwa al-kafalah ialah orang yang mempunyai hak mengerjakan
tanggungan pemberi beban serta bebannya sendiri disatukan, baik menanggung pekerjaan yang
sesuai (sama) maupun pekerjaan yang berbeda.
Menurut fuqaha Hambali bahwa yang dimaksud dengan al-kafalah adalah iltizam sesuatu
yang diwajibkan kepada orang lain serta kekekalan benda tersebut dibebankan atau iltizam orang
yang mempunyai hak menghadirkan dua harta (pemiliknya) kepada orang yang mempunyai hak.
Menurut Mazhab Syafi’I bahwa yang dimaksud al-kafalah adalah akad yang menetapkan
iltizam hak yang tetap pada tanggungan (beban) yang lain atau menghadirkan zat benda yang
dibebankan atau menghadirkan badan orang yang berhak menghadirkannya.
Menurut Wahbah Zuhayli al-kafalah adalah kesediaan memberikan hak sebagai jaminan
pihak lain, menghadirkan seseorang yang mempunyai kewajiban membayar hak tersebut atau
mengembalikan harta benda yang dijadikan barang jaminan. Al-kafalah juga kerap digunakan
sebagai istilah sebuah perjanjian yang menyatakan kesiapan memenuhi semua hal yang telah
disebutkan sehingga al-kafalah itu sama dengan mengintegrasikan suatu bentuk tanggungan ke
tanggungan yang lain.
Dari beberapa definisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud al-kafalah
merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk
memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian lain, al-kafalah juga
berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada
tanggungjawab orang lain sebagai penjamin.

F. Berakhirnya Akad Wakalah


Berakhirnya Akad wakalah akan berakhir apabila:
1. kematiaan atau kegilaan salah satu dari yang berakad
2. diselesaikannya pekerjaan yang dituju dalam perwakilan.
3. pemecatan wakil oleh muwakkil meskipun wakil tidak mengetahuinya15. Sementara
pendapat para ulama Hanafi, wakil harus mengetahui pemecatan.
4. Pengunduran diri wakil.
5. Keluarnya muwakkal fih dari kepemilikan muwakil.
G. Dasar hukum kafalah
Hukum al-kafalah adalah mubah, yang legalitas akadnya para fuqaha mendasarkaN pada
dalil nash dari Q.S. Yusuf ayat72: “ penyeru-penyeru itu berseru,’kami kehilangan piala raja dan
barang siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh makanan seberat beban unta dan
aku menjamin terhadapnya”.9 Ibnu Abbas menafsirkan, kata “za’im”dalam ayat tersebut
bermakna kafil atau penjamin.10
Sebagian ulama fiqh berpendapat, ayat di atas tidak cukup kuat untuk dijadikan sebagai
dasar legalitas akad kafalah.Tetapi lebih tepat sebagai dasar pijakan bagi akad ju’alah. Dalam
konteks ini, nabi Yusuf as mengumumkan sayembara,barang siapa yang berhasil mengembalikan
piala raja yang hilang, maka ia berhak mendapatkan hadiah dan beliau akan menjaminnya.
Ada beberapa hadis sebagai dasar hukum kafalah, diantaranya hadis yang diriwayatkan
oleh Abu Dawud “penjamin adalah seseorang yang bertanggung jawab.”11 Danhadis al-Bukhari
dan Muslim, Rasulullah saw kedatangan sebuah jenazah, lalu beliau bertanya, “apakah dia
meninggalkan sesuatu?” Para sahabat menjawab, “tidak” Beliau kembali bertanya,”Apakah ia
mempunyai kewajiban hutang?” Para sahabat menjawab,“tiga dinar” lalu beliau bersabda,
“shalatilah teman kalian tersebut. “Abu Qatadah berkata, “ Shalatilah dia wahai Rasulullah, dan
saya bersedia menanggung hutangnya, “lalu beliau menshalatinya”.
Disamping itu, ulama fiqh juga berpegang pada ijma’ sahabat dan praktik-praktik yang
dilakuka khulafaur rasyidin dan sahabat tabi’in. Diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud akan
menanggung (menjamin) keluarga kaum murtad setelah mereka diminta untuk bertaubat.

H. Rukun dan syarat kafalah

Rukun al-kafalah terdiri atas kafil (penjamin/penanggung), makful ‘anhu (tertanggung),


makful lahu ( penerima hak tanggungan), makful bih (obyek tanggungan), dan sighat ‘aqd
( pernyataan ‘ijab dan qabul).
a. Kafil
Ulama fiqh mensyaratkan seorang kafil harus cakap melakukan tindakan hukum ( ahliyah
al-‘aqd) yaitu baligh, berakal sehat dan mampu melaksanakan tatanan agama dalam
pengelolaan harta, karena kafalah merupakan sebuah tindakan yang berkenaan dengan
harta. Sehingga akad kafalah tidak boleh dilakukan oleh anak kecil, orang-orang safih
ataupun orang yang terhalang untuk melakukan transaksi (mahjur ‘alaih). Karena bersifat
charity, akad kafalah harus dilakukan oleh seorang kafil dengan penuh kebebasan, tanpa
adanya paksaan. Kafil memiliki kebebasan penuh untuk menjalankan pertanggungan.
b. Makful ‘anhu (tertanggung)
Dia adalah orang yang berhutang, syarat utama yang harus melekat pada diri makful
‘anhu adalah kemampuannya menerima obyek pertanggungan, baik dilakukan oleh diri
pribadinya atau orang lain yang mewakilinya dan dikenal baik oleh pihak kafil.
c. Makful lahu (penerima tanggungan)
Makful lahu (penerima tanggungan) disyaratkan baligh, berakal dan dikenali oleh kafil
guna memastikan bahwa pertanggungan yang menjadi bebannya mudah untuk dipenuhi.
Demikian pula makful lahu sebagai orang yang memiliki piutang harus mengenal
penjamin (kafil), karena karakter manusia dalam pembayaran hutang ditinjau dari segi
mudah dan sulitnya penagihan hutang bermacammacam.
d. Makful bih (obyek pertanggungan/kekayaan atau piutang yang menjadi jaminan).
Obyek pertanggungan disyaratkan, pertama: Merupakan tanggungan bagi makful ‘anhu,
berupa hak yang sudah pasti mengikat pada saat akad berlangsung, sehingga
penanggungan perkara yang belum wajib hukumnya tidak sah, misalnya menjamin harga
atas transaksi barang sebelum serah terima. Kedua: Obyek pertanggungan berupa hak
milik yang telah mengikat atau paling tidak statusnya akan mengikat.
e. Sighat ‘aqd
Sighat kafalah bisa diekspresikan dengan ungkapan yang menyatakan adanya
kesanggupan untuk menanggung sesuatu, sebuah kesanggupan untuk menunaikan
kewajiban. Seperti ungkapan “aku akan menjadi penjaminmu” atau “ saya akan menjadi
penjamin atas kewajibanmu terhadap seseorang” atau ungkapan lain yang sejenis. Ulama
tidak mensyaratkan kalimat verbal yang harus diucapkan dalam akad kafalah, semuanya
dikembalikan kepada adat kebiasaan. Intinya, ungkapan tersebut menyatakan
kesanggupan untuk menjamin sebuah kewajiban.

I. Jenis kafalah
Secara garis besar, akad kafalah dapat dibedakan menjadi dua : kafalah bil mal dan kafalah
bin-nafs.
1) Kafalah bil mal merupakan jaminan pembayaran barang atau pelunasan hutang atau
kafalah yang berupa kewajiban yang harus dipenuhi oleh kafil dengan pemenuhan berupa
harta. Akad kafalah bil mal akan berakhir ketika obyek pertanggungan (makful bihu)
sudah terbayarkan kepada penerima tanggungan (makful lahu), baik oleh tertanggung
(makful ‘anhu) ataupun oleh pihak penanggung (kafil). Pihak penerima tanggungan
melakukan hibah atas obyek pertanggungan, baik kepada pihak tertanggung ataupun
kepada kafil.
Kafalah bil mal dibedakan menjadi tiga macam:
a. kafalah bi al-dayn yaitu kewajiban membayar hutang yang menjadi tanggung
jawab orang lain. Hutang yang menjadi obyek kafalah disyaratkan : Pertama,
Hutang telah pasti pada waktu jaminan tersebut diberikan apabila hutang itu
belum pasti, maka kafalah-nya dianggap tidak sah. Kedua, Hutang diketahui oleh
kafil.
b. Kafalah bi‘ainawbiat-taslim ( Kafalah atas suatu barang maupun penyerahannya ),
yaitu kewajiban kafil untuk menyerahkan benda-benda tertentu yang berada di
tangan orang lain. Seperti menyerahkan barang yang telah dijual kepada
seseorang yang pada saat jual beli terjadi ternyata barang tersebut berada di
tangan ghăsib.
c. Kafalah bi al-aib, maksudnya adalah kafalah atas barang yang telah terjual (dibeli
seseorang) atas bahaya atau resiko cacat yang mungkin terjadi atas barang
tersebut, karena waktu yang terlalu lama atau karena suatu hal lainnya, maka ia
(pembawa barang) sebagai jaminan untuk hak pembeli pada penjual, seperti jika
terbukti barang yang dijual adalah milik orang lain atau barang tersebut adalah
barang gadai.
2) Kafalah bin-nafs, merupakan akad pemberian jaminan atas diri (personal guarantee).
Yaitu kewajiban kafil untuk menghadirkan seseorang ke hadapan orang yang
mempunyai hak (makful lahu ).
Menurut sebagian ulama fiqh kafalah bin-nafs adalah kesediaan menghadirkan
tertanggung (makful ‘anhu) kehadapan pihak penerima tanggungan (makful lahu) untuk
suatu tujuan dengan seizin tertanggung. Kafalah ini dibolehkan jika pertanggungan
tersebut menyangkut persoalan hak manusia sebab kafalah ini hanya menyangkut badan
dan bukan menyangkut harta. Kafalah jiwa ini sudah berlaku sejak permulaan Islam dan
selanjutnya menjadi ijma para ulama.
Akad kafalah bin-nafs akan berakhir ketika obyek jaminan (makful bihi) telah
menyerahkan diri dan hadir di hadapan makful lahu, dan menyelesaikan akad
pertanggungan. Demikian juga apabila kafil (penjamin/penanggung) mendapatkan
pembebasan dari makful lahu, maka akad kafalah berakhir atau ketika makful ‘anhu
meninggal dunia.

Anda mungkin juga menyukai