Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM


PERKEMIHAN

DOSEN PEMBIMBING:
Vina Asna Afifah, S.Kep.,Ns., M.Kep

Di Susun oleh:
1. Ike Erna Safitri (22020032)
2. Seli Ana (22020035)
3. Salma Nadiya (22020036)
4. Lutfiana Putri S (22020048)
5. Anisa Nganti S (22020052)
6. Pungkas Aprilia (22020054)
7. Prima Lucky Pradana (22019031)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ESTU UTOMO BOYOLALI
TAHUN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Kami panjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
Rahmat-nya, yaitu berupa nikmat kesehatan sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah ini.
Penulisan Makalah dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Keperawatan Medikal Bedah.
Makalah ini dapat diselesaikan atas proses bimbingan. Untuk itu kami berterima kasih
kepada Bapak Habid Al Hasbi, S.Kep, Ns, M.Kes selaku pembimbing yang telah
memberikan arahan kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran
dan usulan demi perbaikan makalah ini. Semoga makalah kami dapat memberikan manfaat
bagi pengembangan ilmu, terutama dalam pendidikan keperawatan dan kesehatan lainnya
khususnya ilmu Keperawatan Medikal Bedah.

Boyolali, 24 Maret 2022

Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Benigna prostat hiperplasia (BPH) adalah pembesaran kelenjar prostat non-kanker.
BPH di jumpai pada lebih dari pria berusia diatas 60 tahun. BPH dapat menyebabkan
penekanan pada uretra ditempat uretra menembus prostat sehingga berkemih menjadi
sulit, mengurangi kekuatan aliran urine, atau menyebabkan urine menetes (Corwin,2009).
Menurut Purnomo (2011) terjadinya BPH hingga saat ini belumdiketahui secara pasti,
tetapi beberapa hipotesis menyatakan bahwa BPH erat kaitannya dengan peningkatan
kadar dihidrotesteron (DHT) dan proses aging (penuaan).

Beningna Prostat Hiperplasia (BPH) dianggap menjadi bagian dari proses penuaan
yang normal. Walaupun demikian, jika menimbulkan gejala yang berat dan tidak segera
ditangani dapat menimbulkan komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita BPH yang
dibiarkan tanpa pengobatan adalah pembentuk batu vesika akibat selalu terdpat sisa urine
setelah buang air kecil, sehingga terjadi pengendapan batu. Bila terkena intravesika yang
tinggi tersebut diteruskan ke ureter dan ginjal, akan terjadi hidroureter dan hidronefrosis
yang akan menyebabkan penurunan fungsi ginjal, (Purnomo,2011).

Penyebab pembesaran prosetat menyebabkan rangsangan pada kandung kemih atau


vesika, sehingga vesika sering berkontraksi meskipun belum penuh, apabila vesika
menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urine sehingga pada akhir miksi akan
ditemukan sisa urine yang ada didalam kandung kemih. Karena selalu terdapat sisa urine
dapat terbentuk batu endapan kandung kemih atau vesikolithiasis (Sjamsuhidajat dan
Jong 2005).

Data prevalensi tentang BPH secara mikroskopi dan anatomi sebesar 40% dan 90%
terjadi pada rentang usia 50-60 tahun dan 80-90 tahun (Amalia Riski,2010). Di Indonesia
BPH merupakan urologi kedua setelah batu saluran kemih yang dijumpai di klinik urologi
dan diperkirakan 50% ada pria berusia diatas 50tahun. Angka harapan hidup di Indonesia,
rata-rata mencapai 65 tahun sehingga diperkirakan 2,5 juta laki-laki di Indonesia
menderita BPH (Pakasi,2009).

Pada pasien BPH biasanya terjadi obstruksi pada prostat hiperplasi. Untuk
menghilangkan adanya obstruksi pada prostat hiperplasi, maka perlu dilakukan terapi
berupa medikamentosa, pembedahan, atau tindakan enduorologi lain yang kurang invasif.
Akan tetapi sampai saat ini tindakan terbaik untuk menyelesaikan masalah pada pasien
BPH adalah sebagai tindakan operasi atau prostatektomi (Haryono,2013).
Tindakan operasi memungkinkan sekali munculnya masalah kesehatan diantaranya
seperti perubahan rasa nyaman nyeri, cemas karena adanya perubahan fungsi tubuh,
aktifitas seksual terganggu, serta muncul masalah infeksi. Dalam hal ini peran perawat
adalah dapat membantu klien dalam memeuhi kebutuhan post operasi (Brunner &
Suddarth)
1.2 Batasan Masalah

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah
‘’Bagaimana gambaran Asuhan Keperawatan terhadap pasien

1.4 Tujuan
1.4.1 Tujuan Umum

1.4.2 Tujuan Khusus

1.5 Manfaat
1.5.1 Manfaat Teoritis
1.5.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi BPH
Benigna Prostat Hyperlapsia (BPH) adalah suatu kondisi yang terjadi sebagai hasil dari
pertumbuhan dan pengendalian hormon prostat (Yuliana elin, 2011).
BPH Adalah keadaan dimana suatu prostat mengalami pembesaran memanjng keatas ke
dlam kandung kemih dan menyumbat aliran urine dengan cara menutupi orifisium uretra.
(Smeltzer dan Bare, 2002)
Hiperplasi prostat adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum pada
pria > 50 tahun) yang menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretra dan pembiasan aliran
urinarius. (Doenges, 1999).
Pendapat lain mengatakan bahwa BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat
(secara umum pada pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi
uretra dan pembatasan aliran urinrius (Marilynn, E.D, 2000).

Kesimpulan dari empat pengertian dapat disimpulkan bahwa BPH adalah pembesaran
progresif dan kelenjar prostat, bersifat jinakdisebabkan oleh hyperlapsi beberapa atau semua
komponen prostat yang mengakibatkan prostatika dan umumnya terjadi pada pria dewasa
lebih dari 50tahun.

2.2 Etiologi BPH


Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui. Namun yang
pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen. Faktor lain yang erat
kaitannya dengan BPH adalah proses penuaan
Menurut Roger Kirby (1994) karena etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa
hipotesa antara lain:
a. Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel dan stoma
dan kelenjar prostat menglami hiperplasi

b. Perubahan keseimbangan hormon estrogen – testosteron


Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan
testosteron yang menyebabkan hiperplasi stroma

c. Interaksi stroma – epitel


Peningkatan eoidemal growth faktor atau fibroblast growth factor dan penurunan
transforming growth factor beta menyebabkan hyperplasi stroma dan epitel.

d. Berkurangnya sel yang mati


Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel
dari kelenjar prostat.

e. Teori sel stem


Sel stem yang meningkat mengakibatkan poliferasi sel transit.
Manifestasi Klinik
1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
Manifestasi klinis timbul akibat peningkatan intrauretra yang pada
akhirnya dapat menyebabkan sumbatan aliran urine secara bertahap. Meskipun
manifestasi dan beratnya penyakit bervariasi, tetapi ada beberapa hal yang
menyebabkan penderita datang berobat, yakni adanya LUTS1.
Untuk menilai tingkat keparahan dari LUTS, bebeapa ahli/organisasi
urologi membuat skoring yang secara subjektif dapat diisi dan dihitung sendiri
oleh pasien. Sistem skoring yang dianjurkan oleh WHO adalah International
Prostatic Symptom Score (IPSS). Sistem skoring IPSS terdiri atas tujuh
pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan LUTS dan satu pertanyaan
yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien. Dari skor tersebut dapat
dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu:
Ringan : skor 0-7
Sedang : skor 8-19
Berat : skor 20-35
2. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan dapat berupa gejala obstruksi antara lain, nyeri pinggang,
benjolan di pinggang (hidronefrosis) dan demam (infeksi, urosepsis)9.
3. Gejala diluar saluran kemih
Tidak jarang pasien berobat ke dokter karena mengeluh adanya hernia
inguinalis atau hemoroid, yang timbul karena sering mengejan pada saat
berkemih sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intraabdominal9.
Patofisiologi
Pertama kali BPH terjadi salah satunya karena faktor bertambahnya usia,
dimana terjadi perubahan keseimbangan testosterone, esterogen, karena
produksi testosterone menurun, produksi esterogen meningkat dan terjadi
konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer.
Keadaan ini tergantung pada hormon testosteron, yang di dalam sel-sel
kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron
(DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah
yang secara langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat
untuk mensistesis protein sehingga mengakibatkan kelenjar prostat
mengalami hyperplasia yang akan meluas menuju kandung kemih sehingga
mempersempit saluran uretra prostatika dan penyumbatan aliran urine.
Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat
mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan
tahanan itu (Presti et al, 2013).
Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan anatomi dari buli-
buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan
divertikel buli-buli. Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi.
Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada saluran
kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal
dengan gejala-gejala prostatismus. Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra,
otot detrusor masuk ke dalam fase dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi
untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin. Retensi urine ini diberikan obat-
obatan non invasif tetapi obat-obatan ini membutuhkan waktu yang lama, maka
penanganan yang paling tepat adalah tindakan pembedahan, salah satunya adalah
TURP (Joyce, 2014) .
TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra
menggunakan resektroskop, dimana resektroskop merupakan endoskop
dengan tabung 10-3-F untuk pembedahan uretra yang dilengkapi dengan
alat pemotongan dan counter yang disambungkan dengan arus listrik.
Trauma bekas resectocopy menstimulasi pada lokasi pembedahan sehingga
mengaktifkan suatu rangsangan saraf ke otak sebagai konsekuensi
munculnya sensasi nyeri (Haryono, 2012)
Jenis/Klasifikasi
Menurut R. Sjamsuhidajat dan Wim De Jong ( 2010 ), klasifikasi BPH
meliputi :
a. Derajat 1 : Biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberi pengobatan
konservatif.
b. Derajat 2 : Merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya
dianjurkan reseksi endoskopik melalui uretra ( trans urethral resection / TUR ).
c. Derajat 3 : Reseksi endoskopik dapat dikerjakan, bila diperkirakan prostate sudah
cukup besar, reseksi tidak cukup 1 jam sebaiknya dengan pembedahan terbuka,
melalui trans retropublik / perianal.
d. Derajat 4 : Tindakan harus segera dilakukan membebaskan klien dari retensi urine
total dengan pemasangan kateter
Stadium
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4 stadium
a. Stadium 1
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai
habis.
b. Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine walaupun
tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa ridak enak
BAK atau disuria dan menjadi nocturia.
c. Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
d. Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes
secara periodik (over flow inkontinen).
Komplikasi
Menurut Widijanto ( 2011 ) komplikasi BPH meliputi :
a. Aterosclerosis
b. Infark jantung
c. Impoten
d. Haemoragik post operasi
e. Fistula
f. Struktur pasca operasi dan inconentia urin
g. Infeksi
Pencegahan (Primer, Sekunder, Tersier)
Peran dan Fungsi Perawat
Penatalaksanaan ( Farmakologi dan Non Farmakologi)
Menurut Haryono (2012) penatalaksaan BPH meliputi :
1. Terapi medikamentosa
a. Penghambat adrenergik, misalnya prazosin, doxazosin, afluzosin.
b. Penghambat enzim, misalnya finasteride
c. Fitoterapi, misalnya eviprostat
2. Terapi bedah
Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung beratnya
gejala dan komplikasi, adapun macam-macam tindakan bedah meliputi:
a. Prostatektomi
Prostatektomi suprapubis , adalah salah satu metode mengangkat
kelenjar melalui insisi abdomen yaitu suatu insisi yang di buat
kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat diangkat dari atas.
Prostaktektomi perineal, adalah mengangkat kelenjar melalui suatu
insisi dalam perineum.
Prostatektomi retropubik, adalah suatu teknik yang lebih umum di
banding [endekatan suprapubik dimana insisi abdomen lebih
rendah mendekati kelenjar prostat yaitu antara arkuspubis dan
kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih.
b. Insisi prostat transurethral (TUIP)
Yaitu suatu prosedur menangani BPH dengan cara memasukkan
Instrumen melalui uretra. Cara ini diindikasikan ketika kelenjar prostat
berukuran kecil (30 gr / kurang) dan efektif dalam mengobati banyak
kasus dalam BPH.
c. Transuretral Reseksi Prostat (TURP)
Adalah operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra
menggunakan resektroskop dimana resektroskop merupakan endoskopi
dengan tabung 10-3-F untuk pembedahan uretra yang di lengkapi
dengan alat pemotong dan counter yang di sambungkan dengan arus
listrik.
Konsep Asuhan Keperawatan

Anda mungkin juga menyukai