Anda di halaman 1dari 14

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian

Adapun keterbatasan penelitian dilakukan pada saat jam kerja dan di bawah ini
beberapa keterbatasan penelitian adalah sebagai berikut :

1. Responden dengan status bekerja hanya mempunyai waktu yang relatif singkat
dikarenakan responden harus membagi waktu bekerja dan mengisi kuesioner saat
penelitian berlangsung.

2. Untuk sebagian responden pada kunjungan pertama tidak dapat bertemu secara
langsung dengan responden, maka dari itu peneliti harus menemui responden di
lain hari untuk dilakukan penelitian.

3. Dalam pengisian form 24 hours Recall memiliki beberapa kekurangan seperti


terbatasnya daya ingat responden dalam memperkirakan asupan atau apa yang
mereka konsumsi.

4. Kejujuran saat menjawab pertanyaan kuesioner, sehingga tidak tertutup


kemungkinan ada jawaban yang tidak mewakili hasil sehingga data yang didapat
kurang akurat karena hanya berdasarkan perkiraan.

6.2 Pembahasan

6.2.1 Gambaran Obesitas pada Pegawai

Obesitas merupakan penumpukan lemak yang berlebih didalam


tubuh sehingga membuat berat badan diatas normal. Menurut Andriani
(2014) obesitas sering didefinisikan sebagai kondisi abnormal atau
kelebihan lemak yang serius dalam jaringan adiposa sehingga dapat
mengganggu kesehatan. Indeks massa tubuh (IMT) dapat mencerminkan
keadaan atau tingkatan dari masalah gizi pada orang dewasa. Indeks
massa tubuh dihitung dengan membagi antara berat badan dalam
kilogram dengan tinggi badan dalam meter kuadrat (Gibney, 2009).
Menurut kriteria Asia Pasifik, orang dewasa dapat dinyatakan obesitas
apabila indeks massa tubuhnya ≥ 25 kg/m2 (WHO, 2000).

Dalam penelitian ini, pemeriksaan obesitas dilakukan dengan cara pengukuran


antropometri. Pengukuran antropometri dilakukan untuk mengetahui status gizi
seseorang yaitu dengan membandingkan hasil pengukuran dengan standar yang ada
atau memasukkan beberapa hasil pengukuran ini kedalam rumus penilaian status gizi
tertentu. Pengukuran data antropometri adalah hasil dari pengukuran fisik pada
individu. Pengukuran antropometri yang dilakukan antara lain tinggi badan/panjang
badan dan juga berat badan(PERSAGI,2010). Alat pengukur tinggi badan dan berat
badan yang digunakan dalam penelitian ini adalah microtoise dan timbangan injak.
Alasan peneliti menggunakan pengukuran antropometri ini dikarenakan prosedurnya
sederhana, aman, dan dapat dilakukan dalam jumlah sampel besar, selain itu
pengukuran dengan cara ini tidak membutuhkan tenaga ahli, alatnya murah, mudah
dibawa, cepat, serta akurat.

Hasil penelitian menunjukan bahwa responden yang mengalami obesitas


sebanyak 38 responden atau sebesar 34,5% dan yang tidak mengalami obesitas
sebanyak 72 responden atau sebesar 65,5%. Obesitas perlu dilakukan penanganan atau
pencegahan karena obesitas dapat menyebabkan masalah kesehatan misalnya penyakit
diabetes melitus, tekanan darah tinggi (hipertensi), penyakit stroke, penyakit jantung
koroner, dan lain sebagainya.Tidak ada penyembuhan lain untuk masalah kelebihan
berat badan atau obesitas, kecuali dengan menjaga keseimbangan energi dalam tubuh
dengan aktivitas fisik dan perilaku hidup sehat (Wardlaw, 2007).

6.2.2 Hubungan Aktivitas Sedentari dengan Obesitas pada Pegawai

Hasil penelitian didapatkan bahwa sebanyak 36 orang responden (70,6%) dengan


aktivitas sedentari rendah mengalami obesitas, sedangkan 28 responden (47,5%)
dengan aktivitas sedentari cukup yang tidak mengalami obesitas. Hasil uji chi square
didapatkan nilai p 0,024 (p<α). Hal ini juga sejalan dengan hasil penelitian oleh
Istiqamah yang menggunakan uji chi square juga didapatkan nilai p 0,000 (p<α).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
perilaku sedentari dengan kejadian obesitas pada karyawan di Universitas Sriwijaya.
Sedangkan nilai PR diperoleh nilai 2,657 (CI 95% 1,206-5,854), artinya responden
dengan aktivitas sedentari rendah beresiko 2,657 kali lebih besar mengalami obesitas
dibandingkan dengan yang aktivits sedentari cukup.

Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Kristianti (2002); Shields dan Tremblay
(2008); Manuha, Iqbal, Nageeb, dan Paranagama (2013) bahwa aktivitas sedentari
memiliki hubungan yang positif dengan obesitas. Hal ini dikarenakan aktivitas
sedentari merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya obesitas. Jadi semakin tinggi
tingkat aktivitas sedentari maka akan semakin tinggi pula tingkat obesitasnya.
Aktivitas sedentari memiliki efek samping yang berbahaya bagi kesehatan. Karena
kurang melakukan aktivitas fisik maka otot-otot dalam tubuh akan mengendur. Otot
yang kendur akan menghambat peredaran darah dan memperberat kerja jantung, hal
ini akan menimbulkan berbagai macam penyakit seperti penyakit jantung dan obesitas.
Didalam otot juga berfungsi sebagai tempat pembakaran lemak, jika otot lemah maka
pembakaran lemak tidah akan sempurna. Hasilnya adalah lemak terus menumpuk dan
menyebabkan obesitas.

6.2.3 Hubungan Umur dengan Obesitas pada Pegawai

Berdasarkan hasil analisis uji statistik, dapat dilihat bahwa nilai p yang
dihasilkan adalah p value < α yang berarti adanya hubungan yang bermakna antara
umur dengan obesitas. Diketahui, responden dengan umur ≥40 tahun berisiko 2,0 kali
lebih besar terkena obesitas dibandingkan dengan responden yang berumur < 40 tahun.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Namidin (2015) yang
mengatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara umur dengan obesitas.
Namun hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sikalak(2017) yang
mengatakan bahwa umur tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan obesitas
dengan nilai p = 0,707.
Berdasarkan hasil wawancara usia terhadap pegawai di Universitas Sriwijaya,
yang paling banyak terkena obesitas adalah responden dengan umur ≥40 tahun hal ini
dapat dikarenakan responden sudah lelah dalam bekerja sehingga kebanyakan dari
responden jarang melakukan aktivitas fisik. Selain itu massa otot dalam tubuh
cenderung menurun ketika semakin tua dan kurang aktif bergerak hal ini
menyebabkan perlambatan tingkat pembakaran kalori di dalam tubuh. Dengan
demikian semakin bertambahnya umur dengan tidak mengurangi asupan kalori, maka
tubuh akan semakin sulit untuk membakar kalori yang masuk, semakin lama
akibatnya akan terjadi penumpukan energi didalam tubuh dan berdampak pada
obesitas. Pada wanita dewasa saat menopause banyak wanita yang bertambah berat
badannya sekitar 5 kilogram dan memiliki lemak lebih di sekitar pinggang. Jenis
kelamin dan umur dalam asupan makanan diidentifikasi meningkat pada masa remaja
dan setelah itu menurun. Hubungan usia dengan penurunan asupan makanan
berhubungan dengan penurunan lambat pada pengeluaran energi dan di usia
pertengahan kedua yang lebih cepat dari yang pertama (Vassallo, 2007). Ditambahkan
oleh (Brown, 2005) setelah umur 40 seseorang memiliki resiko untuk mengalami
kenaikan berat badankarena pada masa itu kebanyakan orang dewasa mulai mencapai
puncak pencapaian karirnya. Secara fisiologi, komposisi tubuh sedikit berubah
bersamaan dengan perubahan hormon. Tapi perubahan komposisi tubuh ini lebih
dikarenakan oleh penurunan aktivitas fisik (Brown.2005)

6.2.4 Hubungan Jenis Kelamin dengan Obesitas pada Pegawai

Jenis kelamin menentukan besar kecilnya kebutuhan gizi seseorang. Pria lebih
banyak membutuhkan zat tenaga dan protein daripada wanita, tetapi dalam kebutuhan
zat besi wanita membutuhkan lebih banyak dari pada pria. Jenis kelamin merupakan
faktor gizi internal yang menentukan kebutuhan gizi seseorang, sehingga pada
gilirannya ada keterkaitan antara jenis kelamin dengan keadaan gizi (Apriadji,1986).

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa responden yang mengalami


obesitas didominasi oleh responden yang berjenis kelamin laki-laki, yaitu sebanyak 66
responden atau sebesar 40%, sedangkan untuk responden yang berjenis kelamin
perempuan yang mengalami obesitas hanya 44 responden atau sebesar 60%. Hasil uji
statistik menunjukkan bahwa nilai p value >α, yang artinya bahwa ada hubungan
antara jenis kelamin dengan obesitas pada pegawai di Universitas Sriwijaya. Hasil
analisis ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hapsari (2007)
pada karyawan di PT. Angkasa Citra Sarana Catering Service di Jakarta bahwa ada
hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan status gizi. Pada penelitian
tersebut, hasil uji statistik menunjukkan bahwa responden yang berjenis kelamin
laki-laki (35,4%) cenderung mengalami obesitas dibandingkan dengan responden yang
berjenis kelamin perempuan (27,5%). Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh dilakukan oleh Herviani (2004) dan Suthiono (2003) menemukan
adanya hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan status gizi.

Menurut Puspaatmaja (2011), komposisi tubuh antara perempuan dan laki-laki


berbeda. Setelah pubertas jika dibandingkan dengan laki-laki, perempuan cenderung
memiliki proporsi massa lemak tubuh yang lebih banyak. Myers (2004) menambahkan,
jenis kelamin merupakan faktor penting. Pria memiliki tingkat metabolisme istirahat
lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan, sehingga laki-laki membutuhkan lebih
banyak kalori untuk menjaga berat badan mereka. Tingkat metabolisme istirahat yang
lebih tinggi ini disebabkan oleh peningkatan massa tubuh tanpa lemak terutama pada
jaringan otot laki-laki dibandingkan wanita. Laki-laki cenderung makan lebih banyak
dibandingkan wanita karena massa otot laki-laki lebih besar. Selanjutnya, setelah
menopause tingkat metabolisme pada wanita menurun secara signifikan. Penurunan
metabolisme adalah alasan mengapa banyak wanita mulai mengalami peningkatan
berat badan pada saat menopause. Sejalan dengan teori diatas, menurut Ricci dan Chee
(2005) dan Giles Corti et al., (2003) bahwa ada hubungan yang bermakna antara jenis
kelamin dengan status gizi.

Berdasarkan hasil wawancara dari kuesioner yang telah dilakukan terhadap


pegawai Universitas Sriwijaya prevalensi obesitas terbanyak adalah pada responden
laki-laki. Hal ini disebabkan pada saat random nama yang dirandom lebih banyak
laki-laki daripada perempuan, sehingga pada hasil random lebih banyak diperoleh
nama perempuan, untuk itu jumlah responden perempuan yang sedikit dalam
penelitian ini tidak dapat merepresentasikan keadaan obesitas pada pegawai di
Universitas Sriwjaya Sementara menurut Garrow (1996), prevalensi obesitas cenderung
lebih besar pada wanita dari pada pria dikarenakan wanita memiliki sel lemak yang
lebih banyak dari pada pria.

6.2.6 Hubungan Asupan Karbohidrat dengan Obesitas pada Pegawai


Hasil penelitian didapatkan bahwa dari 110 responden yang mengalami obesitas,
sebanyak 43 orang (68,3%) dengan asupan karbohidrat berlebih, sedangkan sebanyak
21 orang (44,7%) dengan asupan karbohidrat cukup. Hasil uji chi square didapatkan
nilai p 0,022 (p<α). Hal ini sejalan dengan penilitian yang dilakukan oleh Putri yang
menyatakan ada hubungan antara asupan karbohidrat dengan obesitas dengan nilai p
0,000 (p<α). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan
antara asupan karbohidrat dengan kejadian obesitas pada pegawai di Universitas
Sriwijaya. Sedangkan nilai PR diperoleh nilai 2,662 (CI 95% 1,217-5,821), artinya
responden dengan asupan karbohidrat lebih beresiko 2,662 kali lebih besar mengalami
obesitas dibandingkan dengan responden yang memiliki asupan karbohidrat cukup.
Berdasar data penelitian sebanyak 43 orang yang mengalami obesitas dengan
asupan karbohidrat lebih. Sumber energi yang paling banyak berasal dari mie instan
yang menghasilkan 117 kkal energi, mie instan mengandung 15,6 gram karbohidrat di
setiap porsi selain itu ada konsumsi lain dengan frekuensi yang cukup banyak yaitu
nasi baik itu nasi goreng, nasi uduk dan nasi padang yang menyumbang kurang lebih
150-200 kkal energi di setiap porsinya. Pola makan responden yang terkadang makan
pada malam hari dengan porsi yang cukup besar baik itu nasi ataupun mie instan.
Hasil penelitian ini menunjukkan karbohidrat adalah salah satu asupan yang
paling tinggi dalam faktor resiko penyebab obesitas yaitu sebesar 57 orang yang
mengalami obesitas (96,6 %). Asupan karbohidrat yang tinggi akan memicu
peningkatan glukosa darah. Untuk menyesuaikan kondisi ini, pankreas mengeluarkan
hormon insulin ke dalam aliran darah untuk menurunkan kadar glukosa darah. Insulin
yang dirangsang oleh karbohidrat akan mendorong akumulasi lemak tubuh. Selain
mendorong akumulasi lemak tubuh, insulin juga berfungsi untuk tidak mengeluarkan
lemak yang tersimpan. Kondisi seperti ini tentu akan membuat seseorang dengan
asupan tinggi karbohidrat akan mengalami peningkatan berat badan dan sulit untuk
menurunkan berat badan.
Sumber asupan karbohidrat responden sebagian besar berasal dari nasi baik itu
nasi putih, nasi goreng, nasi padang maupun nasi uduk. Pola makan responden yang
sebagian besar mengkonsumsi nasi dan berbagai jenisnya dengan frekuensi yang cukup
tinggi, sebagian besar mengkonsumsi nasi uduk di pagi hari nasi padang di siang hari
dan nasi goreng atau nasi putih di sore dan atau malam hari. Hal ini terjadi karena
makanan pokok masyarakat Indonesia adalah nasi. Selain nasi, asupan karbohidrat
paling banyak juga berasal dari mie dan sebagian besar adalah mie instan. Karbohidrat
merupakan senyawa organik yang mengandung elemen hidrogen, oksigen dan karbon.

6.2.8 Hubungan Asupan Energi dengan Obesitas Pada Pegawai


Hasil penelitian didapatkan bahwa dari 110 responden yang mengalami obesitas,
sebanyak 42 orang (67,7%) dengan asupan energi berlebih, sedangkan yang tidak
mengalami obesitas, sebanyak 22 orang (45,8%) dengan asupan energi cukup. Hal ini
sejalan dengan penilitian yang dilakukan oleh Djovan yang menyatakan ada hubungan
antara asupan karbohidrat dengan obesitas dengan nilai p 0,000 (p<α). Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara asupan
karbohidrat dengan kejadian obesitas pada pegawai di Universitas Sriwijaya.
Sedangkan nilai PR diperoleh nilai 2,482 (CI 95% 1,140-5,405), artinya responden
dengan asupan karbohidrat lebih beresiko 2,482 kali lebih besar mengalami obesitas
dibandingkan dengan responden yang memiliki asupan karbohidrat cukup.
Berdasarkan data penelitian sebanyak 42 orang yang mengalami obesitas dengan
asupan energi lebih dengan rincian konsumsi sebagian besar pada karbohidrat dan
lemak yang berlebihan serta pola makan yang tidak teratur yaitu banyak kudapan
serta makan terlalu larut malam. Sumber energi yang paling banyak berasal dari nasi
baik itu nasi goreng, nasi uduk dan nasi padang yang menyumbang kurang lebih
150-200 kkal energi di setiap porsinya.
Hasil di ini sejalan dengan penelitian oleh Ika Kristina yang menyatakan bahwa
makan berlebih dapat menyebabkan akumulasi energi yang disimpan sebagai cadangan
energi. Hal ini juga sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Mustamin di
Makassar menyatakan bahwa ada pengaruh antara asupan energi dengan obesitas.

6.2.9 Hubungan Asupan Protein dengan Obesitas pada Pegawai


Hasil penelitian didapatkan bahwa dari 110 responden yang mengalami obesitas,
sebanyak 35 orang (71,4%) dengan asupan protein berlebih, sedangkan yang tidak
mengalami obesitas, sebanyak 29 orang (47.5%) dengan asupan protein cukup. Hasil uji
chi square didapatkan nilai p 0,020 (p<α). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
ada hubungan yang signifikan antara asupan protein dengan kejadian obesitas pada
karyawan di Universitas Sriwijaya. Sedangkan nilai PR diperoleh nilai 2,759 (CI 95%
1,242-6,127), artinya responden dengan asupan protein lebih beresiko 2,759 kali lebih
besar mengalami obesitas dibandingkan dengan responden yang memiliki asupan
protein cukup.
Berdasarkan data penelitian sebanyak 35 orang yang mengalami obesitas dengan
asupan protein lebih. Sumber energi yang paling banyak berasal dari protein hewani
yaitu daging ayam, daging sapi dan daging ikan yang menyumbang kurang lebih
200-300 kkal energi di setiap porsinya. Daging ayam menyumbang 302 gram protein,
daging sapi menyumbang 207 gram protein serta daging ikan menyumbang 113 gram
protein. Selain dari protein hewani responden juga mengkonsumsi asupan protein dari
nabati yaitu sebagian besar adalah konsumsi tahu dan tempe sebanyak 80 gram dan
menghasilkan 320 kkal energi.
Hasil penelitian ini menunjukkan protein adalah salah satu asupan yang paling
rendah dalam faktor resiko penyebab obesitas yaitu hanya 41 orang yang mengalami
obesitas (67 %). Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang menyatakan apabila
asupan protein berlebih maka asam amino akan mengalami deaminasi. Nitrogen
dikeluarkan dari trigliserida melalui proses lipogenesis kemudian disimpan dalam
tubuh. Hal inilah yang menyebabkan kenaikan jaringan lemak yang akhirnya
menyebabkan status gizi lebih.
Hasil penelitian menunjukkan rata-rata asupan protein sebagian responden adalah
cukup yaitu sebesar 141 orang (65%) Asupan protein responden sebagian besar
didapat dari konsumsi ayam, daging, telur, tempe dan tahu. Protein penting dalam
pertumbuhan sel baru, memperbaiki sel, memproduksi senyawa esensial, meregulasi
keseimbangan cairan, resistensi terhadap penyakit, bertindak sebagai transpor dalam
suatu mekanisme, dan sebagai sumber tenaga.

6.2.10 Hubungan Asupan Lemak dengan Obesitas pada Pegawai


Hasil penelitian didapatkan bahwa dari 110 responden yang mengalami obesitas,
sebanyak 37 orang (68,5%) dengan asupan lemak berlebih, sedangkan yang tidak
mengalami obesitas, sebanyak 27 orang (48,2%) dengan asupan lemak. Hasil uji chi
square didapatkan nilai p 0,034 (p<α). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
Sugiyanti, Hardinsyah dan Afriansyah yaitu ada hubungan antara responden dengan
asupan lemak lebih dengan kejadian obesitas (p=0,000). Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara asupan lemak dengan
kejadian obesitas pada karyawan di Universitas Sriwijaya. Sedangkan nilai PR
diperoleh nilai 2,482 (CI 96% 1,140-5,405), artinya responden dengan asupan lemak
lebih beresiko 2,482kali lebih besar mengalami obesitas dibandingkan dengan
responden yang memiliki asupan lemak cukup.
Berdasarkan angka kejadian pada data diatas, bahwa asupan tertinggi yang
dihasilkan lemak dikarenakan pola makan yang tidak teratur, ngemil pada malam hari,
serta memakan makanan yang tinggi minyak seperti goreng-gorengan. Selain itu
pengolahan makan sebagian besar makanan yang dikonsumsi responden adalah dengan
digoreng menggunakan minyak. Setiap 5 gram minyak mengandung 45 kkal dan 5
gram lemak, rata-rata konsumsi makanan dengan bahan campuran minyak ataupun
diolah dengan cara digoreng adalah 4-6x/hari dengan total mencapai 30 gram, dan dari
30 gram minyak tersebut dapat menghasilkan 270 kkal dan 30 gram lemak.
Hasil penelitian ini menunjukkan lemak adalah salah satu asupan tertinggi kedua
setelah karbohidrat sebagai faktor resiko penyebab obesitas yaitu sebesar 74 orang
yang mengalami obesitas (82,2 %). Simpanan lemak didalam tubuh berasal dari asupan
lemak yang berlebih atau kombinasi antara zat-zat gizi lain, seperti karbohidrat, lemak
dan protein. Glukosa dan asam amino yang tidak digunakan juga akan mengalami
proses pembentukan lemak (lipogenesis). Kemudian akan terjadi akumulasi
penumpukkan lemak di dalam tubuh, apabila berlangsung terus menerus akan
menyebabkan obesitas.
Asupan lemak responden didapatkan dari banyak sumber makanan, karena
sebagian besar makanan yang yang dikonsumsi diolah dengan cara digoreng, makanan
tersebut antara lain gorengan seperti tahu, tempe, pisang dan lauk seperti telur, ikan
dan ayam. Oleh karena itu akumulasi lemak di dalam tubuh menjadi semakin
bertambah, karena satu sendok makan minyak memberi 100 kalori, sehingga 1 porsi
gorengan akan menyumbang lebih dari satu sendok makan minyak

6.2.11 Hubungan Asupan Serat dengan Obesitas pada Pegawai

Ketidakmampuan penelitian ini menunjukan adanya hubungan asupan serat


dengan obesitas mungkin disebabkan oleh instrumen recall. Menurut Gibson (2005)
kekurangan recall adalah tergantung dari daya ingat responden. The flat slope
syndrome yaitu kecenderungan bagi responden yang kurus untuk melaporkan
konsumsinya lebih banyak (over estimate) dan bagi responden gemuk melaporkan
lebih sedikit (under estimate) sehingga dapat mempengaruhi asupan dari responden.
Selain itu pada hasil penelitian kebiasaan mengonsumsi sayuran dan buah-buahan
sebagai sumber serat utama sangat rendah. Didapatkan dari wawancara saat recall,
banyak responden yang mengakui jarang mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan
dan hanya mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan dalam jumlah sedikit (kurang
dari normal) dalam sehari. Berdasarkan hal tersebut peneliti menganjurkan untuk
menambah konsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan sebanyak 2-3 porsi per hari.

Sumber makanan yang mengandung serat diantaranya ialah kacang-kacangan,


sayur-sayuran, dan buah-buahan (Almatsier, 2010). Dalam pedoman gizi seimbang,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia menganjurkan untuk mengkonsumsi
protein nabati (sayur-sayuran, kacang-kacangan, tahu, tempe, dll) sebanyak 3-4 porsi
perhari dan buah-buahan sebanyak 2-3 porsi per hari (Kemenkes RI, 2015).

Berbeda halnya hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Langlois,
Garriguet, dan Findlay (2009), Gharib dan Rasheed (2011) yang membuktikan adanya
hubungan yang bermakna antara asupan serat dengan obesitas pada sampel remaja di
beberapa negara seperti Kanada dan Bahrain. Langlois, Garriguet, dan Findlay (2009)
menemukan asupan serat pada responden yang obesitas lebih sedikit dibandingkan
responden non-obesitas.
Asupan serat sangat berperan terhadap kejadian gizi lebih. Melalui waktu
singgah di lambung yang lebih lama, serat akan membuat rasa kenyang bertahan lama.
Hal tersebut dikarenakan serat dapat meningkatkan viskositas dan waktu pengosongan
lambung menjadi lebih lama (Du, 2009). Hal tersebut membuat seseorang tidak banyak
mengonsumsi makanan sehingga dapat mengontrol berat badan dan melancarkan
pencernaan. FAO/WHO (1998) menyatakan bahwa asupan serat dapat mencegah dan
berperan dalam kenaikan berat badan dan obesitas. Serat juga akan meningkatkan
sensitivitas insulin dan akan berperan dalam oksidasi lemak (Du, 2009).

Ada sejumlah studi yang menunjukkan bahwa makanan tinggi serat yang
dikonsumsi pada sarapan ataupun makan siang secara signifikan dapat mengurangi
asupan pada makan selanjutnya dibandingkan dengan makanan yang rendah serat
(Wati, 2011).
BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai hubungan aktivitas sedentari


dengan kejadian obesitas pada pegawai Universitas Sriwijaya dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:

1. Penelitian terdiri dari 110 responden yang menunjukkan kejadian obesitas sebayak
30 orang (27,3%). Dengan proporsi pegawai yang berusia lebih dari 40 tahun
sebanyak 41 orang (37,3%) dan pegawai yang berusia kurang dari 40 tahun dengan
jumlah 69 orang (62,7%). Didominasi oleh pegawai laki-laki yaitu sebanyak 66
orang (60%) dan pegawai perempuan dengan jumlah 44 orang (40%).
2. Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa terdapat hubungan secara signifikan
antara aktivitas sedentari dengan kejadian obesitas pada pegawai di Universitas
Sriwijaya (p-value=0,001).
3. Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa pegawai dengan aktivitas
sedentari rendah memiliki risiko 2,69 kali untuk mengalami obesitas
dibandingkan pegawai dengan aktivitas sedentari cukup setelah dikontrol
variabel asupan lemak.
7.2 Saran

1. Bagi Pegawai UNSRI


Bagi Pegawai untuk mengurangi/menghindari faktor-faktor
yang menyebabkan stres kerja yang berlebihan dengan cara berfikir
secara positif, lebih bijaksana dalam mengatur waktu dalam bekerja
agar tuntutan tugas dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu
dan tanggung jawab diluar pekerjaan seperti masalah pribadi dan
bisnis dapat diselesaikan, kesukaan/hobi dan rekreasi bersama
keluarga dapat dilakukan sebagai refreshing setelah bekerja. Beban
kerja fisik maupun mental disesuaikan dengan kemampuan atau
kapasitas diri. Meningkatkan semangat hidup serta kegiatan
spiritual (ibadah). Mengubah pola hidup dengan melakukan
olahraga secara teratur dengan frekuensi minimal 3 kali/minggu
dengan durasi minimal selama 30 menit dan
menghindari/mengurangi pola makan ditempat kerja yang berisiko
terhadap penyakit hipertensi.

2. Bagi Instansi
Bagi Instansi untuk memperhatikan dan melakukan
pemantauan kesehatan (skrining) yang teratur dengan interval
tertentu (minimal satu tahun sekali) pada pegawai. Meningkatkan
promosi kesehatan tentang bahaya/faktor risiko obesitas melalui
media elektronik/media cetak, pamflet dan sebagainya. Menghimbau
kepada seluruh pegawai agar menyempatkan diri untuk berolahraga
minimal 3 kali/minggu dengan durasi 30 menit, untuk menjaga
kesehatan, kebugaran tubuh, dan mengontrol tekanan darah selain
melalui pengobatan.

3. Bagi Peneliti Lain


Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, diketahui bahwa
terdapat variabel yang tidak terbukti berhubungan secara signifikan. Oleh
karena itu, penulis menyarankan untuk dilakukan penelitian sejenis dengan
jumlah sampel yang lebih banyak dan lokasi penelitian yang berbeda, serta
meneliti variabel-variabel lain yang diduga berhubungan agar terlihat
hubungan kausalitas yang lebih berpengaruh terhadap obesitas.

Anda mungkin juga menyukai