Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PEMBAHASAN
2.1 Pneumotoraks
2.1.1 Definisi
Pneumotoraks adalah suatu keadaan dimana terdapatnya udara pada rongga potensial
diantara pleura visceral dan pleura parietal. Pada keadaan normal rongga pleura di penuhi
oleh paru – paru yang mengembang pada saat inspirasi disebabkan karena adanya tegangan
permukaaan ( tekanan negatif ) antara kedua permukaan pleura,adanya udara pada rongga
potensial di antara pleura visceral dan pleura parietal menyebabkan paru-paru terdesak sesuai
dengan jumlah udara yang masuk kedalam rongga pleura tersebut, semakin banyak udara
yang masuk kedalam rongga pleura akan menyebabkan paru –paru menjadi kolaps karena
terdesak akibat udara yang masuk meningkat tekanan pada intrapleura. Secara otomatis
terjadi juga gangguan pada proses perfusi oksigen kejaringan atauorgan, akibat darah yang
menuju kedalam paru yang kolaps tidak mengalami proses ventilasi, sehingga proses
oksigenasi tidak terjadi.
Pneumothorax adalah adanya udara dalam rongga pleura. Pneumothorax dapat terjadi
secara spontan atau karena trauma (British Thoracic Society 2003). Tension pneumothorax
disebabkan karena tekanan positif pada saat udara masuk ke pleura pada saat inspirasi.
Pneumothorax dapat menyebabkan cardiorespiratory distress dan cardiac arrest.
Pneumotoraks adalah pengumpulan udara atau gas dalam rongga pleura, yang berada
antara paru-paru dan toraks. Pneumotoraks dapat terjadi secara spontan pada orang tanpa
kondisi paru-paru kronis (biasa disebut Pneumotoraks Primer) dan orang dengan penyakit
paru-paru (Pneumotoraks Sekunder). Selain itu, banyak juga ditemui kasus pneumotoraks
yang disebabkan trauma fisik pada dada, cedera akibat ledakan atau komplikasi dari berbagai
pengobatan. Udara dapat ke luar dari paru-paru ke rongga pleura saat kantung udara di paru-
paru, atau bulla, meledak. Latihan fisik secara berlebihan dapat mendorong terjadinya
pneumotoraks. Komplikasi kondisi paru-paru seperti asma dan chronic obstructive
pulmonary disease juga dapat memicu kondisi ini.
1.1.2 Patogenesis
Udara dapat masuk ke dalam rongga pleura melalui lesi pada pleura, baik pleura
viseralis ataupun parietalis. Trauma pada dinding dada dapat merobek dinding dada
beserta pleura parietalis, dan akan terjadi pneumotoraks traumatik karena udara
atmosferlangsung menembus dinding dada dan masuk ke dalam rongga pleura. Jika lesi
berada pada pleura viseralis, udara atmosfer yang masuk akan melewati saluran napas
terlebih dahulu. Jika penyebab pneumotoraks tidak diketahui, kasusnya disebut sebagai
pneumotoraks spontan, biasanya penderitanya laki-laki muda yang memiliki habitus lebih
tinggi dan kurus.Jika pneumotoraks diketahui sebagai komplikasi suatu penyakit yang
mendasarinya, kasus ini disebut sebagai pneumotoraks akibat penyakit tersebut
(secondary to pneumotorax to emphysema) (Djojodibroto, 2016).
1.1.3 Etiologi
Di RSU Dr. Sutomo, lebih kurang 55% kasus Pneumothoraks disebabkan oleh
penyakit dasar seperti tuberkulosis paru aktif, tuberkulosis paru disertai fibrosis atau
emfisema lokal, bronchitis kronis dan emfisema. Selain penyakit tersebut diatas,
pneumotorak dapat terjadi pada wanita dapat terjadi saat menstruasi dan sering berulang,
keadaan ini disebut pneumothoraks katamenial yang disebabkan oleh endometriosis di
pleura.
Pneumotorak dapat terjadi secara artificial, dengan operasi atau tanpa operasi, atau
timbul spontan.
Pneumotoraks artifisial disebabkan tindakan tertentu atau memang disengaja untuk
tujuan tertentu, yaitu tindakan terapi dan diagnosis.
Pneumotorak traumatik terjadi karena penetrasi, luka tajam pada dada, dan karena
tindakan operasi.
Pneumotoraks spontan terjadi tanpa adanya trauma. Pneumotoraks jenis ini dapat
dibagi dalam:
1. Pneumotoraks spontan primer. Disini etiologi tidak diketahui sama sekali
2. Pneumothorak spontan sekunder. Terdapat penyakit paru atau penyakit dada sebagai
faktor predisposisinya.
2.1.3 Epidemiologi
Kekerapan pneumotoraks berkisar antara 2,4 – 17,8 per 100.000 penduduk per tahun.
Menurut Barrie dkk, seks ratio laki-laki : perempuan 5:1. Pneumotoraks lebih sering
ditemukan pada hemitoraks kanan daripada hemitoraks kiri. Pneumotoraks bilateral kira-kira
2% dari seluruh pneumotoraks spontan. Kekerapan pneumotoraks ventil 3 – 5% dari
pneumotoraks spontan.
Laki-laki lebih sering daripada wanita (4: 1); paling sering pada usia
20¬30 (4, 14) tahunPneumotoraks spontan yang timbul pada umur lebih dan 40
tahun sering disebabkan oleh adanya bronkitis kronik dan empisema. Lebih
sering pada orang -orang dengan bentuk tubuh kurus dan tinggi (astenikus) terutama pada
mereka yang mempunyai kebiasaan merokok .Pneumonotoraks kanan lebih sering terjadi
dari pada kiri.
2.1.4 Patofisiologi
Rongga dada mempunyai dua struktur yang penting dan digunakan untuk melakukan
proses ventilasi dan oksigenasi, yaitu pertama tulang, tulang – tulang yang menyusun struktur
pernapasan seperti tulang klafikula, sternum, scapula. Kemudian yang kedua adalah otot-otot
pernapasan yang sangat berperan pada proses inspirasi dan ekspirasi 6 .Jika salah satu dari
dua struktur tersebut mengalami kerusakan, akan berpengaruh pada proses ventilasi dan
oksigenasi. contoh kasusnya, adanya fraktur pada tulang iga atau tulang rangka akibat
kecelakaan, sehingga bisa terjadi keadaaan flail chest atau kerusakan pada otot pernapasan
akibat trauma tumpul, serta adanya kerusakan pada organ viseral pernapasan seperti, paru-
paru, jantung, pembuluh darah dan organ lainnya 4 di abdominal bagian atas, baik itu
disebabkan oleh trauma tumpul, tajam, akibat senapan atau gunshot.
Tekanan intrapleura adalah negatif, pada proses respirasi, udara tidak akan dapat
masukkedalam rongga pleura. Jumlah dari keseluruhan tekanan parsial dari udara pada
kapiler pembuluh darah rata-rata (706 mmHg). Pergerakan udara dari kapiler pembuluh
darah ke rongga pleura, memerlukan tekanan pleura lebih rendah dari -54 mmHg (-
36cmH2O) yang sangat sulit terjadi pada keadaan normal. Jadi yang menyebabkan masuknya
udara pada rongga pleura adalah akibat trauma yang mengenai dinding dada dan merobek
pleura parietal atau visceral, atau disebabkan kelainan konginetal adanya bula pada subpleura
yang akan pecah jika terjadi peningkatan tekanan pleura.
Alveoli disangga oleh kapiler yang mempunyai dinding lemah dan mudah robek,
apabila alveol tersebut melebar dan tekanan di dalam alveol meningkat maka udara dengan
mudah menuju ke jaringan peribronkovaskular. Gerakan nafas yang kuat, infeksi dan
obstruksi endobronkial merupakan beberapa faktor presipitasi yang memudahkan terjadinya
robekan. Selanjutnya udara yang terbebas dari alveol dapat mengoyak jaringan fibrotik
peribronkovaskular. Robekan pleura ke arah yang berlawanan dengan hilus akan
menimbulkan pneumotorak sedangkan robekan yang mengarah ke hilus dapat menimbulkan
pneumomediastinum. Dari mediastinum udara mencari jalan menuju ke atas, ke jaringan ikat
yang longgar sehingga mudah ditembus oleh udara. Dari leher udara menyebar merata ke
bawah kulit leher dan dada yang akhirnya menimbulkan emfisema subkutis. Emfisema
subkutis dapat meluas ke arah perut hingga mencapai skrotum.
Tekanan intrabronkial akan meningkat apabila ada tahanan pada saluran pernafasan
dan akan meningkat lebih besar lagi pada permulaan batuk, bersin dan mengejan.
Peningkatan tekanan intrabronkial akan mencapai puncak sesaat sebelum batuk, bersin,
mengejan, pada keadaan ini, glotis tertutup. Apabila di bagian perifer bronki atau alveol ada
bagian yang lemah, maka kemungkinan terjadi robekan bronki atau alveol akan sangat
mudah.
Paru-paru dibungkus oleh pleura parietalis dan pleura visceralis. Di antara pleura
parietalis dan visceralis terdapat cavum pleura. Cavum pleura normal berisi sedikit cairan
serous jaringan. Tekanan intrapleura selalu berupa tekanan negatif. Tekanan negatif pada
intrapleura membantu dalam proses respirasi. Proses respirasi terdiri dari 2 tahap : fase
inspirasi dan fase eksprasi. Pada fase inspirasi tekanan intrapleura : -9 s/d -12 cmH2O;
sedangkan pada fase ekspirasi tekanan intrapleura: -3 s/d -6 cmH2O.
Pneumotorak adalah adanya udara pada cavum pleura. Adanya udara pada cavum
pleura menyebabkan tekanan negatif pada intrapleura tidak terbentuk. Sehingga akan
mengganggu pada proses respirasi.
Pneumotorak dapat dibagi berdasarkan penyebabnya :
1. Pneumotorak spontan karena primer (ruptur bleb), sekunder (infeksi, keganasan),
neonatal
2. Pneumotorak yang didapat karena iatrogenik, barotrauma, trauma
Pneumotorak dapat dibagi juga menurut gejala klinis :
1. Pneumotorak simple : tidak diikuti gejala shock atau pre-shock
2. Tension Pnuemotorak : diikuti gejala shock atau pre-schock
Pneumotorak dapat dibagi berdasarkan ada tidaknya dengan hubungan luar menjadi :
1. Open pneumotorak
2. Closed pneumotorak
Secara garis besar ke semua jenis pneumotorak mempunyai dasar patofisiologi yang
hampir sama. Pneumotorak spontan terjadi karena lemahnya dinding alveolus dan pleura
visceralis. Apabila dinding alveolus dan pleura visceralis yang lemah ini pecah, maka akan
ada fistel yang menyebabkan udara masuk ke dalam cavum pleura. Mekanismenya pada saat
inspirasi rongga dada mengembang, disertai pengembangan cavum pleura yang kemudian
menyebabkan paru dipaksa ikut mengembang, seperti balon yang dihisap.
Pengembangan paru menyebabkan tekanan intralveolar menjadi negatif sehingga
udara luar masuk. Pada pneumotorak spontan, paru-paru kolaps, udara inspirasi ini bocor
masuk ke cavum pleura sehingga tekanan intrapleura tidak negatif. Pada saat inspirasi akan
terjadi hiperekspansi cavum pleura akibatnya menekan mediastinal ke sisi yang sehat. Pada
saat ekspirasi mediastinal kembali lagi keposisi semula. Proses yang terjadi ini dikenal
dengan mediastinal flutter.
Pneumotorak ini terjadi biasanya pada satu sisi, sehingga respirasi paru sisi
sebaliknya masih bisa menerima udara secara maksimal dan bekerja dengan sempurna.
Terjadinya hiperekspansi cavum pleura tanpa disertai gejala pre-shock atau shock dikenal
dengan simple pneumotorak. Berkumpulnya udara pada cavum pleura dengan tidak adanya
hubungan dengan lingkungan luar dikenal dengan closed pneumotorak.
Pada saat ekspirasi, udara juga tidak dipompakan balik secara maksimal karena
elastic recoil dari kerja alveoli tidak bekerja sempurna. Akibatnya bilamana proses ini
semakin berlanjut, hiperekspansi cavum pleura pada saat inspirasi menekan mediastinal ke
sisi yang sehat dan saat ekspirasi udara terjebak pada paru dan cavum pleura karena luka
yang bersifat katup tertutup, terjadilah penekanan vena cava, shunting udara ke paru yang
sehat, dan obstruksi jalan napas. Akibatnya dapat timbulah gejala pre-shock atau shock oleh
karena penekanan vena cava. Kejadian ini dikenal dengan tension pneumotorak.
Pada open pneumotorak terdapat hubungan antara cavum pleura dengan lingkungan
luar. Open pneumotorak dikarenakan trauma penetrasi. Perlukaan dapat inkomplit (sebatas
pleura parietalis) atau komplit (pleura parietalis dan visceralis). Bilamana terjadi open
pneumotorak inkomplit pada saat inspirasi udara luar akan masuk ke dalam cavum pleura.
Akibatnya paru tidak dapat mengembang karena tekanan intrapleura tidak negatif. Efeknya
akan terjadi hiperekspansi cavum pleura yang menekan mediastinal ke sisi paru yang sehat.
Saat ekspirasi mediastinal bergeser ke mediastinal yang sehat. Terjadilah mediastinal flutter.
Bilamana open pneumotorak komplit maka saat inspirasi dapat terjadi hiperekspansi
cavum pleura mendesak mediastinal ke sisi paru yang sehat dan saat ekspirasi udara terjebak
pada cavum pleura dan paru karena luka yang bersifat katup tertutup. Selanjutnya terjadilah
penekanan vena cava, shunting udara ke paru yang sehat, dan obstruksi jalan napas.
Akibatnya dapat timbulah gejala preshock atau shock oleh karena penekanan vena cava.
Kejadian ini dikenal dengan tension pneumotorak.
2.1.6 Klasifikasi
Menurut Dewi (2011), klasifikasi pneumotoraks adalah sebagai berikut:
A. Berdasarkan penyebabnya pneumotoraks dapat dibagi menjadidua yaitu:
1. Pneumotoraks spontan
Yaitu setiap pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba. Pneumotoraks ini
dapat diklasifikasikan lagi dalam dua jenis, yaitu:
a. Pneumotoraks spontan primer
Pneumotoraks ini disebabkan oleh ruptur kistakecil udara subpleural di
apeks (“blebs”) tetapi jarang menyebabkan gangguan fisiologis yang
signifikan. Biasanya menyerang laki-laki (L:P 5:1) muda (20-40 tahun)
bertubuh tinggi tanpa penyakit paru penyebab. PSP merupakan jenis paling
sering pada pneumotoraks (prevalensi 8/10/tahun pada orang dengan tinggi
badan >1,9 m). Setelah PSP kedua, mungkin terjadi rekurensi
(>60%).Pleurodesis untuk menyebabkan fusi pleura viseralis dan parietalis
yang menggunakan tindakanmedis (misalnya insersi bleomisin atau talkum
ke dalam pleura) atau pembedahan (misalnya abrasi lapisan pleura)
dianjurkan (Ward, 2007).
b. Pneumotoraks spontan sekunder (SP)
SP dihubungkan dengan penyakit respirasi yangmerusak arsitektur paru,
paling sering bersifat (misalnya penyakit paru obstruktif kronik/PPOK,
asma), fibrotik atau infektif (misalnya pneumonia), dan kadang-kadang
gangguan langka atau herediter (misalnya sindrom Marfan, fibrosis kistik).
Insidensi SP meningkat seiring bertambahnya usia dan memberatnya
penyakit paru penyebab. Pasien tersebut biasanya dirawat di rumah sakit
karena meskipun SP kecil, pada pasien dengan cadangan respirasi yang
berkurang, dapat terjadi komplikasi yang lebih serius daripada PSP besar.
Pasien ICU dengan penyakit paru sangat beresiko mengalami SP karena
tekanan tinggi (“barotrauma”)dan distensi pada alveolar (“volutrauma”)
akibat ventilasi mekanis. Strategi ventilasi “protektif” yang menggunakan
ventilasi bertekanan rendah, dengan volume terbatas mengurangi risiko
tersebut (Ward, 2007).
2. Pneumotoraks traumatik (iatrogenik)
Yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat trauma, baiktrauma penetrasi maupun
bukan, yang menyebabkan robeknya pleura, dinding dada maupun paru.
Pneumotoraks jenis ini juga dapat diklasifikasikan lagi kedalam dua jenis,
yaitu:
a. Pneumotoraks traumatik non-iotrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi
karena jejas kecelakaan misalnya jejas pada dinding dada, barotrauma.
b. Pneumotoraks traumatik iotrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi
akibat komplikasi dari tindakan medis. Pneumotoraks jenis inipun masih
dibedakan menjadi dua, yaitu:
1) Pneumotoraks traumatik iotrogenik aksidental.
Pneumotoraks traumatik iotrogenik aksidental adalah suatu
pneumotoraks yang terjadi akibat tindakan medis karena kesalahan
atau komplikasi dari tindakan tersebut, misalnya pada parasentesis
dada, biopsi pleura.
2) Pneumotoraks traumatik iotrogenik artifisial (deliberate).
Adalah suatu pneumotoraks yang sengaja dilakukan dengan cara
mengisikan udara ke dalam rongga pleura. Biasanya tindakan ini
dilakukan untuk tujuan pengobatan, misalnya pada pengobatan
tuberkulosis sebelum era antibiotik, maupun untuk menialai
permukaan paru.
B. Berdasarkan jenis fistulanya, maka pneumotoraks dapat diklasifikasikan ke dalam
tiga jenis, yaitu:
1. Pneumotoraks tertutup (Simple Pneumothorax)
Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada
dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar.Tekanan
didalam rongga pleura awalnya mungkin positif, namun lambat laun
berubah menjadi negatif karena diserap oleh jaringan paru disekitarnya.Pada
kondisi tersebut paru belum mengalami re-ekspansi, sehingga masih ada
rongga pleura, meskipun tekanan didalamnya sudah kembali negatif.Pada
waktu terjadi gerakan pernapasan, tekanan udara di rongga pleura tetap
negatif.
2. Pneumotoraks terbuka (open pneumothorax)
Yaitu pneumotoraks dimana terdapat hubungan antara rongga pleura dengan
bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar (terdapat luka terbuka pada
dada). Dalam tekanan ini tekanan intrapleura sama dengan tekanan udara
luar. Pada pnuemotoraks terbuka tekanan intrapleura sekitar nol. Perubahan
tekanan ini sesuai dengan perubahan tekanan yang disebabkan oleh gerakan
pernapasan.
Pada inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu ekspirasi tekanan jadi
positif.Selain itu, pada saat inspirasimediastinum dalam keadaan normal,
tetapi pada saat ekspirasi mediastinum bergeser kearah sisi dinding dada yang
terluka (sucking wound).
3. Pneumotoraks ventil (tension pneumothorax)
Adalah pneumotoraks dengan tekanan intrapleura yang positif dan makin
lama makin tambah besar karena ada fistel di pleura viseralis yang bersifat
ventil.Pada saat inspirasi udara masuk melalui trakea, bronkus serta
percabangannya dan selanjutnya terus menuju pleura melalui fistel yang
terbuka.Waktu ekspirasi udara di dalam rongga pleura tidak dapat
keluar.Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura makin lama makin tinggi
dan melebihi tekanan atmosfer.Udara yang terkumpul dalam rongga pleura
ini dapat menekan paru sehingga sering menimbulkan gagal napas.
C. Berdasarkan luasnya paru yang mengalami kolaps, maka pneumotoraks dapat
diklasifikasikan menjadi dua yaitu:
a. Pneumotoraks parsialis, yaitu pneumotoraks yang menekan pada sebagian kecil
paru (<50% volume paru).
b. Pneumotoraks totalis, yaitu pneumotoraks yang mengenai sebagian besar paru
(>50% volume paru).
2.1.7 Pemeriksaan penunjang
Menurut Sudoyo (2006), untuk menentukan diagnose pada pneumotorak dapat
dilakukan cara sebagai berikut :
1. GDA : Variable tergantung dari derajat fungsi paru yang dipengaruhi,
gangguan mekanisme pernapasan dan kemampuan
mengkompensasi. P4CO2 mungkin normal atau menurun, saturasi
O2 biasanya menurun.
2. Sinar X dada : Menyatakan akumulasi urada atau cairan pada era pleura, dapat
menunjukkan penyimpanan struktur mediatinal jantung.
3. Torasentesis : Menyatakan darah atau cairan sero anguinora (hemotorak)
4. HB : Mungkin menurun, menunjukkan kehilangan darah (Doenges,
2005)
2.1.8 Komplikasi
Menurut Corwin, (2009) ada 2 komplikasi pada pneumotoraks yaitu:
1. Tension pneumotorax dapat menyebabkan pembuluh darah kolaps, akibatnya
pengisian jantung menurun sehingga tekanan darah menurun. Paru yang sehat juga
dapat terkena dampaknya.
2. Pneumotoraks dapat menyebabkan hipoksia dan dispnea berat.
Kematian dapat terjadi.
Menurut Williams, (2013) komplikasi pneumotoraks adalah gangguan paru dan
gangguan sirkulasi yang fatal.
2.1.9 Penatalaksanaan
Dasar pengobatan pneumotoraks tergantung pada: berat dan lamanya keluhan atau
gejala, adanya riwayat pneumotoraks sebelumnya, jenis pekerjaan penderita. Sasaran
pengobatan adalah secepatnya mengembangkan paru yang sakit sehingga keluhan- keluhan
juga berkurang dan mencegah kambuh kembali.
Pneumotorak mula-mula diatasi dengan pengamatankonservatif bila kolaps paru-paru
20% atau kurang. Udara sedikit demi sedikit diabsorpsi melaului permukaan pleura yang
bertindak sebagai membran basah, yang memungkinkan difusi oksigen dan karbondioksida.
Tindakan Dekompresi
Membuat hubungan rongga pleura dengan dunia luar dengan cara:
1. menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk ronga pleura
2. membuat hubungan dengan dunia luar melalui kontra ventil:
Dapat memakai infus set
Jarum abbocath
Pipa water sealed drainage (WSD)
Penghisapan terus-menerus (Continous suction)
Pencabutan drain
Tindakan bedah
Dicari lubang penyebab pneumotoraks dan dijahit
Dekortikasi
Reseksi
Pleurodesis
Pengobatan tambahan
Bila terdapat proses lain di paru, pengobatan ditujukan terhadap proses penyebabnya:
Terhadap bronkitis kronis:
Terhadap proses tuberkulosis paru untuk mencegah obstipasi dan memperlancar defakasi
Istirahat total
Tindakan dekompressi yaitu membuat hubungan rongga pleura dengan udara luar, ada beberapa
cara :
1. Menusukkan jarum melalui diding dada sampai masuk ke rongga pleura, sehingga tekanan
udara positif akan keluar melalui jarum tersebut.
2. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil, yaitu dengan :
a) Jarum infus set ditusukkan ke dinding dada sampai masuk ke rongga pleura.
b) Abbocath : jarum Abbocath no. 14 ditusukkan ke rongga pleura dan setelah mandrin
dicabut, dihubungkan dengan infus set.
c) WSD : pipa khusus yang steril dimasukkan ke rongga pleura.
Ciri :
Paru pada sisi yang terkena akan kolaps (parsial atau total)
Tidak ada mediastinal shift
Pemeriksaan Fisik : bunyi napas menurun, hyperresonance (perkusi), pengembangan
dada menurun
Ciri :
1. Terjadi peningkatan intra toraks yang progresif, sehingga terjadi : kolaps total paru,
mediastinalshift (pendorongan mediastinum ke kontralateral), deviasi trakhea , venous
return menurun → hipotensi & respiratory distress berat.
2. Tanda dan gejala klinis : sesak yang bertambah berat dengan cepat, takipneu, hipotensi,
JVP meningkat, asimetris statis & dinamis.
3. Merupakan keadaan life-threatening tidak perlu foto Rontgen.
Penatalaksanaan :
1. Dekompresi segera : large-bore needle insertion (sela iga II, linea mid-klavikula)
2. Water Sealed Drainage (WSD)
3. Open Pneumothorax : Open pneumothorax terjadi karena luka terbuka yang cukup besar
pada dada sehingga udara dapat keluar dan masuk rongga intra toraks dengan mudah.
Tekanan intra toraks akan sama dengan tekanan udara luar. Dikenal juga sebagai sucking-
wound. Terjadi kolaps total paru.
Penatalaksanaan :
2.1.7 Prognosis
a. Head tilt
Bila tidak sadar, pasien dibaringkan dalam posisi terlentang dan
horizontal, kecuali pada pembersihan jalan napas dimana bahu dan kepala
pasien harus direndahkan dengan posisi semilateral untuk memudahkan
drainase lendir, cairan muntah atau benda asing. Kepala diekstensikan dengan
cara meletakkan satu tangan di bawah leher pasien dengan sedikit
mengangkat leher ke atas. Tangan lain diletakkan pada dahi depan pasien
sambil mendorong / menekan ke belakang. Posisi ini dipertahankan sambil
berusaha dengan memberikan inflasi bertekanan positif secara intermittena
(Alkatri, 2007).
b. Chin lift
Jari - jemari salah satu tangan diletakkan bawah rahang, yang kemudian
secara hati – hati diangkat ke atas untuk membawa dagu kearah depan. Ibu
jari tangan yang sama, dengan ringan menekan bibir bawah untuk membuka
mulut, ibu jari dapat juga diletakkan dibelakang gigi seri (incisor ) bawah
dan, secara bersamaan, dagu dengan hati – hati diangkat. Maneuver chin
lift tidak boleh menyebabkan hiperekstensi leher. Manuver ini berguna pada
korban trauma karena tidak membahayakan penderita dengan
kemungkinan patah ruas rulang leher atau mengubah patah tulang tanpa
cedera spinal menjadi patah tulang dengan cedera spinal.
c. Jaw thrust
Penolong berada disebelah atas kepala pasien. Kedua tangan pada
mandibula, jari kelingking dan manis kanan dan kiri berada pada angulus
mandibula, jari tengah dan telunjuk kanan dan kiri berada pada ramus
mandibula sedangkan ibu jari kanan dan kiri berada pada mentum
mandibula. Kemudian mandibula diangkat ke atas melewati molar pada
maxila (Arifin, 2012)
d. Oropharingeal Airway (OPA)
Airway orofaringeal digunakan untuk membebaskan jalan napas pada
pasien yang kehilangan refleks jalan napas bawah (Kene, davis, 2007).
Teknik yang dapat dilakukan adalah : Posisikan kepala pasien lurus
dengan tubuh. Kemudian pilih ukuran pipa orofaring yang sesuai dengan
pasien. Hal ini dilakukan dengan cara menyesuaikan ukuran pipa oro-faring
dari tragus (anak telinga) sampai ke sudut bibir. Masukkan pipa orofaring
dengan tangan kanan, lengkungannya menghadap ke atas (arah terbalik),
lalu masukkan ke dalam rongga mulut. Setelah ujung pipa mengenai
palatum durum putar pipa ke arah 180 drajat. Kemudian dorong pipa dengan
cara melakukan jaw thrust dan kedua ibu jari tangan menekan sambil
mendorong pangkal pipa oro-faring dengan hati-hati sampai bagian yang
keras dari pipa berada diantara gigi atas dan bawah, terakhir lakukan fiksasi
pipa orofaring. Periksa dan pastikan jalan nafas bebas. Fiksasi pipa oro-
faring dengan cara memplester pinggir atas dan bawah pangkal pipa,
rekatkan plester sampai ke pipi pasien (Arifin, 2012).
e. Nasopharingeal Airway
Pada penderita yang masih memberikan respon, airway nasofaringeal
lebih disukai dibandingkan airway orofaring karena lebih bisa diterima dan
lebih kecil kemungkinannya merangsang muntah (ATLS, 2004).
Teknik yang dapat dilakukan adalah : Posisikan kepala pasien lurus
dengan tubuh. Pilihlah ukuran pipa naso-faring yang sesuai dengan cara
menyesuaikan ukuran pipa naso-faring dari lubang hidung sampai tragus
(anak telinga). Pipa nasofaring diberi pelicin dengan KY jelly (gunakan kasa
yang sudah diberi KY jelly). Masukkan pipa naso-faring dengan cara
memegang pangkal pipa naso-faring dengan tangan kanan, lengkungannya
menghadap ke arah mulut (ke bawah). Masukkan ke dalam rongga hidung
dengan perlahan sampai batas pangkal pipa. Patikan jalan nafas sudah
bebas.
f. Airway definitif
Terdapat tiga jenis airway definitif yaitu : pipa orotrakeal, pipa
nasotrakeal, dan airway surgical (krikotiroidotomi atau trakeostomi).
Penentuan pemasangan airway definitif didasarkan pada penemuan -
penemuan klinis antara lain (ATLS, 2004):
1. Adanya apnea
2. Ketidakmampuan mempertahankan airway yang bebas dengan cara-
cara yang lain
3. Kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi darah
atau vomitus
4. Ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway
5. Adanya cedera kepala yang membutuhkan bantuan nafas (GCS < 8)
6. ]Ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang adekuat dengan
Pemberian oksigen tambahan lewat masker wajah
c. Nadi
Pemeriksaan nadi dilakukan pada nadi yang besar seperti a. femoralis dan
a. karotis (kanan kiri), untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama.
Dalam keadaan darurat yang tidak tersedia alat-alat, maka secara cepat kita
dapat memperkirakan tekanan darah dengan meraba pulsasi (Haffen, Karren,
1992):
a. Jika teraba pulsasi pada arteri radial , maka tekanan darah minimal 80
mmHg sistol
b. Jika teraba pulsasi pada arteri brachial , maka tekanan darah minimal 70
mmHg sistol
c. Jika teraba pulsasi pada arteri femoral , maka tekanan darah minimal 70
mmHg sistol
d. Jika teraba pulsasi pada arteri carotid , maka tekanan darah minimal 60
mmHg sistol
Range skor : 3-15 (semakin rendah skor yang diperoleh, semakin jelek
kesadaran). Penurunan tingkat kesadaran perlu diperhatikan pada empat
kemungkinan penyebab (Pre-Hospital Trauma Life Support Committee 2002) :
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik adalah pemeriksaan tubuh untuk menentukan adanya
kelainan – kelainan dari sustu sistem atau suatu organ tubuh dengan cara
melihat (inspeksi), meraba (palpasi), mengetuk (perkusi) dan mendengarkan
(auskultasi). (Raylene M Rospond, 2009)
Pemeriksaan fisik digunakan untuk mendapatkan data objektif dari riwayat
kesehatan pasien. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan bersamaan dengan
wawancara. Fokus pengkajian fisik adalah pada kemampuan fungsional pasien.
Metode dan langkah pemeriksaan fisik :
a. Inspeksi
Merupakan metode pemeriksaan pasien dengan melihat langsung seluruh
tubuh pasien atau hanya bagian tertentu yang diperlukan. Inspeksi adalah
kegiatan aktif, proses ketika perawat harus mengetahui apa yang dilihatnya
dan dimana lokasinya.
Cara pemeriksaan :
- Posisi pasien dapat tidur, duduk atau berdiri
- Bagian tubuh yang diperiksa harus terbuka
- Bandingkan bagian tubuh yang berlawanan (kesimetrisan) dan
abnormalitas
b. Palpasi
Palpasi adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan perabaan dan
penekanan bagian tubuh dengan menggunakan jari atau tangan. Tangan dan
jari adalah intrumen yang sensitif digunakan untuk mengumpulkan data.
Teknik palpasi dibagi menjadi dua :
- Palpasi ringan : ujung – ujung jari pada satu atau dua tangan
digunakan secara simultan. Tangan diletakkan pada area yang dipalpasi,
jari – jari ditekan kebawah perlahan sampai ada hasil
- Palpasi dalam : untuk merasakan isi abdomen, dilakukan dua tangan.
Satu tangan untuk merasakan bagian yang dipalpasi, tangan lainnnya
untuk menekan kebawah.
Cara pemeriksaan :
c. Perkusi
Adalah suatu tindakan pemeriksaan dengan mendengarkan bunyi getaran
atau gelombang suara yang dihaantarkan kepermukaan tubuh dari bagian
tubuh yang diperiksa. Pemeriksaan dilakukan dengan ketokan jari atau
tangan pada permukaan tubuh karakter bunyi yang dihasilkan dapat
menentukan lokasi, ukuran, bentuk dan kepadatan struktur dibawah kulit.
Sifat gelombang suara yaitusemakin banyak jaringan, semakin lemah
hantarannya dan udara atau gas paling resonan.
Cara pemeriksaan :
- Posisi pasien dapat tidur, duduk, atau berdiri
- Pastikan pasien dalam keadaan rileks
- Minta pasien untuk nafas dalam agar meningkatakan relaksasi otot
- Kuku jari pemeriksa harus pendek, tangan hangat dan kering
- Lakukan perkusi secara seksama dan sistematis
- Bandingkan atau perhatikan bunyi yang dihasilkan oleh perkusi. Bunyi
timpani mempunyai intensitas keras, nada tinggi, waktu agak lama dan
kualitas seprti drum (lambung). Bunyi resonan mempunyai intensitas
menengah, nada rendah, waktu lama, kualitas bergema (paru normal).
Bunyi hipersonar mempunyai intensitas amat keras, waktu lebih lama,
kuaalitas ledakan (empisema paru). bunyi pekak mempunyai intensitas
lembut sampai menengah, nada tinggi, waktu agak lama, kualitas seprti
petir (hati).
d. Auskultasi
Adalah pemeriksaan fisik yang dilakukan dengan cara mendengarkan suara
yang dihasilkan oleh tubuh. Biasanya menggunakan stetoskop. Hal – hal
yang di dengarkan adalah bunyi jantung, suara nafas, dan bising usus.
Penilaian pemeriksaan auskultasi meliputi :
- Frekuensi yaitu menghitung jumlah getaran per menit.
- Durasi yaitu lam bunyi yang terdengar
- Intensitas bunyi yaitu ukuran kuat atau lemahnya suara
- Kualitas yaitu warna nada atau variasi suara
- Rales : suara yang dihasilkan dari eksudat lengket saat saluran saluran
halus pernafasan mengembang pada inspirasi. Misalnya pada pasien
pneumonia dan TBC.
- Ronchi : nada rendah dan sangat kasar tedengar baik saat inspirasi
maupun saat ekspirasi. Ciri khas ronchi adalah akan hilang bila pasien
batuk. Misalnya pada edema paru.
- Wheezing : bunyi yang terdengar “ngik”. Bisa dijumpai pada fase
inspirasi maupun ekspirasi. Misalnya pada bronkitis akut, asma.
- Pleura friction rub : bunti yang terdengar kering seperti suara gosokan
amplas pada kayu. Misalnya pada pasien dengan peradanga pleura.
Cara pemeriksaan :
Tindakan :
c) Rambut
Tujuan :
- Untuk menbetahui warna, tekstur dan percabangan pada
rambut
- Untuk mengetahui mudah rontok dan kotor
Tindakan
d) Kuku
Tujuan :
- Untuk mengetahui keadaan kuku: warna dan panjang
- Untuk mengetahui kapiler refill
Tindakan :
2) Pemeriksaan kepala
Tujuan :
- Untuk mengetahui bentuk dan fungsi kepala
- Untuk mengetahui luka dan kelainan pada kepala
Tindakan :
a) Mata
Tujuan :
- Untuk mengetahui bentuk dan fungsi mata
- Untuk mengetahui adanya kelainan atau peradangan pada mata
Tindakan :
Tindakan :
c) Telinga
Tujuan :
- Untuk mengetahui keadaan telinga luar, saluran telinga,
gendang telinga
- Untuk mengetahui fungsi pendengaran
Tindakan :
Telinga Luar :
Telinga Dalam :
3) Leher
Tujuan :
- Untuk menentukan struktur integritas leher
- Untuk mengetahui bentuk leher dan organ yang berkaitan
- Untuk memeriksa sistem limfatik
Tindakan :
4) Dada / Thorax
a) Paru / pulmonalis
Tujuan :
- Untuk mengetahui bentuk, kesimetrisan, ekspansi paru
- Untuk mengetahui frekuensi, irama pernafasan
- Untuk mengetahui adanynyeri tekan, adanya massa,
peradangan, edema, taktil fremitus
- Untuk mengetahui batas paru dengan organ disekitarnya
- Mendengarkan bunyi paru / adanya sumbatan aliran udara
Tindakan :
- Auskultasi :
Gunakkan diafragma stetoskop untuk dewasa dan bell
pada anak
Letakkan stetoskop pada interkostalis, menginstruksikkan
pasien untuk nafas pelan kemudian dalam dan dengarkkan
bunyi nafas: vesikuler/wheezing/creckels
b) Jantung / Cordis
Tindakan :
- Inspeksi : Amati denyut apek jantung pada area midsternu
lebih kurang 2 cm disamping bawah xifoideus
- Palpasi :
Merasakan adanya pulsasi
Palpasi spasium interkostalis ke-2 kanan untuk
menentukkan area aorta dan spasium interkosta ke-2 kiri
letak pulmonal kiri.
Palpasi spasium interkostalis ke-5 kiri untuk mengetahui
area trikuspidalis/ventikuler amati adanya pulsasi
Dari interkosta ke-5 pindah tangan secara lateral 5-7 cm ke
garis midklavicula kiri dimana akan ditemukkan daerah
apical jantung atau PMI ( point of maximal impuls)
temukkan pulsasi kuat pada area ini.
Untuk mengetahui pulsasi aorta palpasi pada area
epigastika atau dibawah sternum
- Perkusi :
Perkusi dari arah lateral ke medial untuk menentukkan
batas jantung bagian kiri,
Lakukan perkusi dari sebelah kanan ke kiri untuk
mengetahui batas jantung kanan.
Lakukan dari atas ke bawah untuk mengetahui batas atas
dan bawah jantung
Bunyi redup menunjukkan organ jantung ada pada daerah
perkusi
- Auskultasi :
Menganjurkkan pasien bernafas normal dan menahanya
saat ekspirasi selesai
Dengarkkan suara jantung dengan meletakkan stetoskop
pada interkostalis ke-5 sambil menekan arteri carotis
( Bunyi S1: dengarkan suara “LUB” yaitu bunyi dari
menutupnya katub mitral (bikuspidalis) dan tikuspidalis
pada waktu sistolik; Bunyi S2: dengarkan suar a “DUB”
yaitu bunyi menutupnya katub semilunaris (aorta
dan pulmonalis) pada saat diastolic; Adapun bunyi : S3:
gagal jantung “LUB-DUBCEE…” S4: pada pasien
hipertensi “DEE..-LUB-DUB”)
5) Perut / Abdomen
Tujuan :
- Untuk mengetahui bentuk dan gerak-gerakkan perut
- Untuk mendengarkan bunyi pristaltik usus
- Untuk mengetahui respon nyeri tekan pada organ dalam abdomen
Tindakan :
- Inspeksi : Amati bentuk perut secara umum, warna kulit, adanya
retraksi, penonjolan, adanya ketidak simetrisan, adanya asites
- Palpasi : Palpasi ringan: Untuk mengetahui adanya massa dan
respon nyeri tekan letakkan telapak tangan pada abdomen secara
berhimpitan dan tekan secara mmerata sesuai kuadran.Palpasi
dalam: Untuk mengetahui posisi organ dalam seperi hepar, ginjal,
limpa dengan metode bimanual/2 tangan
a) Hepar
- Letakkan tangan pemeriksa dengan posisi ujung jari keatas
pada bagian hipokondria kanan, kirakira pada interkosta ke 11-
12
- Tekan saat pasien inhalasi kira-kira sedalam 4-5 cm, rasakan
adanya organ hepar. Kaji hepatomegali
b) Limpa
- Metode yang digunakkan seperti pada pemeriksaan hepar
- Anjurkan pasien miring kanan dan letakkan tangan pada bawah
interkosta kiri dan minta pasien mengambil nafas dalam
kemudian tekan saat inhalasi tenntukkan adanya limpa.
- Pada orang dewasa normal tidak teraba
c) Renalis
- Untuk palpasi ginjal kanan letakkan tangan pada atas dan
bawah perut setinggi Lumbal 3-4 dibawah kosta kanan.
- Untuk palpasi ginjal kiri letakkan tangan setinggi Lumbal 1-2
di bawah kosta kiri.
- Tekan sedalam 4-5 cm setelah pasien inhalasi jika teraba
adanya ginjal rasakan bentuk, kontur, ukuran, dan respon nyeri
6) Genetalia
Tujuan :
- Untuk mengetahui adanya lesi
- Untuk mengetahui adanya infeksi (gonorea, shipilis, dll)
- Untuk mengetahui kebersihan genetalia
Tindakan :
- Genetalia laki-laki :
Inspeksi :Amati penis mengenai kulit, ukuran dan kelainan
lain.Pada penis yang tidak di sirkumsisi buka prepusium dan
amati kepala penis adanya lesi. Amati skrotum apakah ada
hernia inguinal, amati bentuk dan ukuran
Palpasi :Tekan dengan lembut batang penis untuk mengetahui
adanya nyeri. Tekan saluran sperma dengan jari dan ibu jari
- Genetaliawanita :
Inspeksi :Inspeksi kuantitas dan penyebaran pubis merata atau
tidak. Amati adanya lesi, eritema, keputihan/candidiasis
Palpasi : Tarik lembut labia mayora dengan jari - jari oleh satu
tangan untuk mengetahui keadaan
clitoris, selaput dara, orifisium dan perineum
Tujuan :
- Untuk mengetahui kondisi rectum dan anus
- Untuk mengetahui adanya massa pada rectal
- Untuk mengetahui adanya pelebaran vena pada rectal/hemoroid
Tindakan :
Tindakan :
a) Muskuli / otot
- Inspeksi : mengenai ukuran dan adanya atrofi dan hipertrofi
(ukur dan catat jika ada perbedaan dengan meteran)
- Palpasi : pada saatotot istirahat dan pada saat otot kontraksi
untuk mengetahui adanya kelemahan dan kontraksi tiba-tiba
b) Skeletal / tulang
- Inspeksi : Amati kenormalan dan abnormalan susunan
tulang
- Palpasi : untuk mengetahui adanya nyeri tekan
dan pembengkakkan
c) Persendian
- Inspeksi : lihatsemua persendian untuk mengetahui adanya
kelainan sendi
- Palpasi : amati apakah ada nyeri tekan
- Kaji range of mosion/rentang gerak (abduksi-aduksi, rotasi,
fleksi-ekstensi, dll)
d) System neurologi
Tujuan :
- Untuk mengetahui integritas sistem persyrafan yang meliputi
fungsi nervus cranial, sensori, motor dan reflek
Tindakan :
A. PENGKAJIAN
Identitas Pasien
Nama : Tn.
Umur : 35 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan :-
Agama :-
Tanggal Masuk RS :-
Penanggung Jawab :
PENGKAJIAN PRIMER
Tidak ada
Grade...........%
- Suhu : 37 C
a.
Monitoring SaO2 : tidak terkaji
b.
Monitoring EKG : tidak terkaji
c.
Pemasangan NGT : tidak terkaji
d.
Kateter Urine : tidak terkaji
e.
Pemeriksaan Lab : tidak terkaji
2. G: Give Comfort
a.
Onset : Pasien mengeluh nyeri dada,
sesak nafas yang semakin bertambah, dan bahu kiri
terasa nyeri.
b.
Predispositin/ problem : Pasien mengeluh nyeri
dada, sesak nafas yang semakin bertambah, dan bahu
kiri terasa nyeri ,dada terbentur stang motor dan
nyeri pada bahu sebelah kiri.
c.
Quality : -
d.
Region/ Range : Pasien mengatakan nyeri pada bahu
kiri.
e.
Severity :-
f.
Treatment :-
g.
Understanding :-
h.
Values :-
3. H1 (SAMPLE)
a.
Keluhan Utama : Pasien mengeluh nyeri dada,
sesak nafas yang semakin bertambah, dan bahu kiri
terasa nyeri.
b.
Sign/ Tanda Gejala : . Nafas cepat dan dangkal,
suara tambahan didapatkan (gurgling dan snoring). Terdapat
jejas pada thorax kanan, JVP meningkat, pergerakan dada
kanantertinggal, perkusi hipersonor, auskultasi vesicular
menurun, emfisema sub cuti (+). Regio bahu kiri terdapat jejas
(+), perdarahan aktif di femur dextra (+), oedem (+), deformitas
(+), nyeri tekan (+) dan krepitasi (+).
c.
Allergi :-
d.
Medication/ Pengobatan : -
e.
Past Medical History :-
f.
Last Oral Intake/ Makan terakhir : -
g.
Event leading injury : pasien mengendarai sepeda
motor dengan kecepatan tinggi, menabrak pohon
ketika menghindari hewan yang melintas.
Penderita terjungkal dan jatuh dari motor, dada
terbentur stang motor dan nyeri pada bahu
sebelah kiri.
4. H2 (head toe toe)
a.
Kepala dan wajah : -
b.
Leher : Tidak ada kaku leher, tidak ada krepitasi
tulang, tidak ada edema.
c.
Dada : Terdapat jejas pada thorax kanan, JVP
meningkat, pergerakan dada kanan tertinggal,
perkusi hipersonor, auskultasi vesicular
menurun, emfisema sub cuti (+).
d.
Abdomen dan Pinggang : -
e.
Pelvis dan Perineum : Tidak terdapat perdarahan maupun
cedera.
f.
Ekstremitas : perdarahan aktif di femur dextra (+), oedem (+),
deformitas (+), nyeri tekan (+) dan krepitasi (+).
5. Inspection of Back
KEPERAWATAN
DS :
Trauma
1. Sesak nafas Ketidakefektifan pola
tumpul
nafas
thorax
DO :
sinistra
1. Kesadaran GCS 8
2. Nafas cepat dan dangkal
3. Adanya suara tambahan
(gurgling dan snoring)
4. Nadi: 130 x/menit
5. TD: 90/70 mmHg
6. Suhu: 37 derajat C
7. RR: 32x/menit
8. Terdapat jejas pada thorax
kanan
9. JVP meningkat
10. Pergerakan dada kanan
tertinggal
11. Perkusi hipersonor
12. Auskultasi vesikuler menurun
13. Emfisema subcuti (+)
14. Regio bahu kiri terdapat jejas
(+)
DS Nyeri Akut
Agen
1. Pasien mengeluh nyeri
Pencedara
2. Bahu kiri terasa nyeri
Fisik
DO :
(D.0077)
1. Nyeri tekan (+)
2. Regio bahu kiri terdapat jejas
(+)
3. Emfisema subcuti (+)
4. Perdarahan aktif di femur
dextra (+)
5. Oedem (+)
6. Deformitas (+)
7. Krepitasi (+)
8. RR: 32x/menit
9. Terdapat jejas pada thorax
kanan
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
DIAGNOSA PRIMER
DIAGNOSA SEKUNDER
keperawatan
Ketidakefektifan Setelah dilakukan asuhan NIC LABEL:
Pola Nafas keperawatan selama 1x4 jam
Manajemen jalan nafas
pola pernafasan pasien efektif.
1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan
Dengan kriteria hasil
ventilasi
NOC LABEL:
2. Buka jalan nafas pasien dengan teknik chin lift
Status pernafasan ventilasi atau sebagaimana mestinya
1. Frekuensi nafas normal 3. Auskultasi suara nafas, catat area yang
2. Tidak ada ventilasinya menurun dan Adanya suara
nafas tambahan
suara nafas tambahan
Manajemen ventilasi mekanik invasif
3. Tidak ada retraksi pada
1. Monitor kondisi yang mengindikasikan
dinding dada
perlunya dukungan ventilasi
4. Pengembangan dinding dada
2. Konsultasikan dengan petugas kesehatan
simetris
dalam pemilihan jenis ventilator yang
5. Tidak ada gangguan
akan digunakan
suara pada saat auskultasi
3. Dapatkan data dasar pengkajian seluruh tubuh
pasien
4. Monitor adanya penurunan volume yang
dihembuskan dan peningkatan pernafasan
5. Dokumentasikan semua respon pasien terhadap
ventilator dan perubahan pada ventilator
6. Pastikan peralatan emergensi tersedia di sisi
tempat tidur pasien sepanjang waktu
Nyeri akut b.d Setelah dilakukan asuhan Manajemen Nyeri (I. 08238)
trauma tumpul keperawatan selama 1x4 jam
1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
Tingkat Nyeri menurun (L.08066)
kualitas, intensitas nyeri
2. Identifikasi skala nyeri
1. Keluhan nyeri menurun
3. Identifikasi respon nyeri non verbal
2. Meringis, sikap protektif, dan
4. Identifikasi faktor yang memperberat dan
gelisah menurun
memperingan nyeri
3. Kesulitan tidur menurun
5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang
4. Anoreksia menurun
nyeri
5. Mual muntah menurun
6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon
6. Frekuensi nadi dan tekanan
nyeri
darah membaik
7. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
7. Nafsu makan dan pola tidur
8. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang
membaik
sudah diberikan
9. Monitor efek samping penggunaan analgetik
10. Berikan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (mis. TENS, hypnosis,
akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi
pijat, aroma terapi, teknik imajinasi terbimbing,
kompres hangat/dingin, terapi bermain)
11. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
(mis. Suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan)
12. Fasilitasi istirahat dan tidur