Anda di halaman 1dari 15

TUMPENG: SEBUAH KAJIAN DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI

ANTROPOLOGI

Mohammad Rondhi *

Abstrak

Tumpeng sebagai ekspresi budaya mengandung banyak makna. Melalui pendekatan psikologi
antropologi kita dapat mengungkap makna-makna tersebut. Tentu saja pendekatan ini bukan yang terbaik
tetapi paling tidak dapat memberi wawasan baru tentang perilaku manusia dan masyarakat lingkungannya.
Dalam tulisan ini tidak begitu banyak mengupas hal tersebut kecuali untuk mengurangi redundansi juga agar
tulisan ini lebih terfokus pada hal-hal yang belum banyak dibicarakan oleh para pakar. Ritual tumpengan
merupakan tindakan yang dilakukan oleh sekelompok orang atau organisasi sosial tertentu berdasarkan
pranata yang berlaku. Ritual tersebut kecuali merupakan realisasi dari sebuah sistem sosial juga merupakan
sarana untuk mencapai tujuan dari sistem sosial itu sendiri. Makna ritual tumpengan berbeda bagi tiap orang
meskipun keduanya berada dalam komunitas yang sama. Hal tersebut terjadi karena tiap orang mempunyai
latar belakang sejarah dan kepribadian yang berbeda. Makna ritual tumpengan tidak bisa ditafsirkan secara
seragam hanya dengan mengacu pada satu sistem simbol atau pranata yang berlaku. Bagi orang Jawa
membuat tumpeng adalah kebiasaan atau tindakan berdasarkan tradisi. Meskipun demikian tujuan orang
membuat tumpeng dapat berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi. Pembuatan nasi tumpeng
dengan bentuk kerucut atau gunungan bagi orang Jawa dapat dipahami sebagai simbolisasi dari
kelamin laki-laki (phallus). Dengan kata lain, tumpeng adalah simbol kejantanan. Kerucut atau gunungan
sering diabstraksikan menjadi bentuk segitiga dengan satu ujung di atas sebagai puncak. Ketiga titik dalam
segitiga dapat diartikan dua titik pada garis horizontal sebagai posisi ibu dan ayah sedangkan yang di puncak
diduduki oleh anak. Jadi gunungan yang berbentuk segitiga tersebut merupakan simbolisasi dari struktur
keluarga Jawa. Gunung juga bisa berarti bumi atau ibu pertiwi yaitu tempat kita dilahirkan, dibesarkan dan
bahkan setelah mati dikuburkan. Dengan demikian bentuk nasi tumpeng yang parabolik itu merupakan
simbolisasi dari perut atau rahim seorang perempuan. Dorongan untuk kembali ke pelukan seorang ibu adalah
dorongan bawah sadar yang diperoleh anak sejak masa kecil. Penyaluran terhadap hasrat bawah sadar
tersebut bermacam-macam, bisa lewat mimpi, lewat karya seni atau melalui kegiatan lainnya. Dengan kata
lain perilaku orang dewasa terhadap tumpeng tidak jauh berbeda dengan perilaku anak-anak. Membuat
tumpeng, memotong dan kemudian memakannya merupakan ekspresi bawah sadar dan juga katarsis bagi
orang Jawa.

Kata kunci: Tumpeng, gunungan, skemata, psikoanalisis, katarsis.

Pendahuluan

Setiap masyarakat mempunyai kebiasaan atau adat-istiadat yang khas yang senantiasa
dilakukan, dikerjakan, dan dipelihara secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi
berikutnya tanpa mengalami perubahan yang berarti. Adat-istiadat tersebut dipelihara oleh
masyarakat pemiliknya karena dianggap memiliki nilai atau makna yang luhur atau paling tidak
memiliki nilai fungsional bagi masyarakat tersebut. Salah satu adat-istiadat atau kebiasaan tersebut
adalah tradisi pembuatan nasi tumpeng bagi masyarakat Jawa. Tumpeng merupakan bentuk atau
tepatnya adalah cara penyajian makanan khas masyarakat Jawa yang berupa nasi dan lauk-
pauknya yang ditata atau dibentuk kerucut seperti gunung. Biasanya tumpeng dibuat atau
disajikan dalam rangka memperingati hari besar tertentu, sebagai pelengkap upacara
keagamaan tertentu, atau sebagai tanda rasa syukur dan juga sekaligus untuk memohon
keselamatan dan berkah dari Tuhan. Makanan yang berupa tumpeng dibuat

*
Penulis adalah dosen Seni Rupa FBS UNNES, seorang magister bidang antropologi
oleh orang atau sebuah institusi yang punya hajat dan kemudian disajikan kepada para tamu
undangan atau peserta upacara untuk dimakan bersama-sama setelah selesai acara pembacaan
doa. Jumlah dan ukuran nasi tumpeng dimaksud bervariasi tergantung kebutuhan dan jumlah
tamu atau peserta upacara. Satu buah tumpeng dapat dimakan bersama-sama antara delapan
hingga enambelas orang.
Kebiasaan membuat nasi tumpeng sebenarnya tidak hanya dilakukan oleh orang atau
masyarakat Jawa saja. Di tempat lain misalnya di Jawa Barat juga ada orang yang biasa membuat
nasi tumpeng dengan bentuk dan maksud yang tidak jauh berbeda. Yang menarik untuk dibicarakan
di sini adalah mengapa tumpeng tersebut berbentuk kerucut. Apakah bentuk tumpeng tersebut
merupakan representasi dari bentuk gunung? Apa makna di balik bentuk tumpeng tersebut?
Mengapa nasi tumpeng pada umumnya berwarna kuning? Untuk menjawab pertanyaan tersebut
tentu saja dapat dilakukan dengan mengkajinya dari berbagai sudut pandang. Kita dapat
mengkajinya dari aspek historis, semiotika, ekologis, estetika, ekonomi, dan lain sebagainya.
Kajian dari sudut pandang semiotika dan estetika sudah banyak dilakukan oleh para pakar,
demikian juga kajian dari sisi sejarah, maupun ekonomi. Kajian dari sudut pandang psikologi dan
antropologi belum banyak dilakukan dan oleh karena itu pula maka penulis mencoba
menganalisisnya dengan menggunakan pendekatan dua disiplin tersebut. Sebagai budaya rupa,
tumpeng mengandung makna yang sangat kaya dan perlu dilihat dengan menggunakan
berbagai kacamata dan sudut pandang.

Psikologi Antropologi

Psikologi dan antropologi adalah dua disiplin yang berbeda, baik dalam fokus kajian maupun
metode yang digunakan. Psikologi lebih terfokus pada kajian terhadap perilaku manusia
secara individual dengan metode eksperimen dan analisis kuantitatif sedangkan antropologi lebih
terfokus pada manusia sebagai anggota masyarakat dengan menggunakan metode empiris
dan analisis kualitatif. Kedua disiplin tersebut sama-sama mempelajari perilaku manusia namun
asumsinya terhadap manusia keduanya memiliki perbedaan yang mendasar. Psikologi menganggap
manusia sebagai makhluk individual dan otonom, sedangkan antropologi menganggap manusia
sebagai makhluk sosial dan kultural (Kaplan 1961).
Pandangan tersebut di atas tentu saja tidak sepenuhnya benar karena sekarang banyak para
ahli yang mengembangkan teorinya dengan pendekatan multidisiplin atau interdisiplin. Kita
mengenal kecuali psikologi individual juga ada yang disebut psikologi sosial atau psikologi lintas
budaya. Dalam bidang antropologi kecuali kita mengenal istilah antropologi budaya juga ada yang
disebut antropologi kognitif yang fokus kajiannya lebih terarah pada sistem kognisi individu
sebagai unsur masyarakat dengan pendekatan individualisme. Salah satu pendekatan yang
bersifat interdisiplin dalam antropologi yaitu psikologi antropologi atau pendekatan gabungan antara
psikologi dan antropologi. Pendekatan psikologi antropologi digunakan dalam upaya mencari
solusi yang terbaik serta untuk mengatasi kesenjangan antara dua disiplin tersebut. Psikologi
antropologi adalah ilmu yang menjembatani antara
kebudayaan dan kepribadian yaitu bidang yang menjadi fokus kajian dua disiplin yang berbeda
tersebut. Kebudayaan dan kepribadian adalah dua hal yang berbeda tetapi berkaitan (lihat
Danandjaja 1988:3; Singer 1961:65). Kita tahu bahwa manusia kecuali dipandang sebagai
makhluk individual dengan berbagai kepentingan, motif dan minat yang personal juga sebagai
makhluk sosial yang senantiasa berusaha hidup dan berperilaku sesuai dengan
lingkungannya.
Manusia adalah pribadi yang bertindak sesuai dengan sistem simbol atau aturan main
yang dimilikinya. Tindakan manusia kecuali ditentukan oleh faktor biologis juga oleh faktor
psikologis dan faktor kultural (Parsons 1964). Faktor biologis merupakan faktor bawaan dari suatu
organisme misalnya rasa lapar dan haus yang mendorong orang untuk mencari makan dan minum.
Faktor psikologis adalah faktor yang mendorong orang melakukan tindakan yang bersifat personal,
yang berbeda antara orang satu dengan lainnya. Faktor kultural menyebabkan seseorang
bertindak sesuai dengan norma masyarakat. Sebagai contoh misalnya ketika terjadi peristiwa
kecelakaan lalu lintas dan dalam kejadian itu ada korban yang terluka atau meninggal. Perilaku
orang yang melihat kejadian itu pasti berbeda- beda, ada yang ingin segera menolong korban
atau membawanya ke rumah sakit, namun ada pula yang malah menghindari kejadian itu karena
takut atau bahkan ada yang memanfaatkan peristiwa itu untuk mencuri dompet atau barang yang
berharga milik korban. Setiap orang mempunyai motif personal yang berbeda dalam setiap
tindakannya. Namun demikian sebagai makhluk yang berbudaya, manusia juga bertindak sesuai
dengan pola budaya yang dianutnya atau sesuai dengan sistem simbol yang dimilikinya. Kebiasaan
menolong orang yang terkena musibah meskipun tidak diberi imbalan merupakan tindakan yang
didasari oleh sistem budaya yang berlaku atau sistem simbol yang dimiliki oleh orang tersebut.
Kaitan antara personalitas dengan sistem sosial atau kebudayaan, jelas sangat erat
karena
personalitas dapat mempengaruhi sistem sosial atau sebaliknya. Meskipun demikian
keduanya bukanlah suatu entitas yang sama. Keduanya memiliki kesamaan (homologies) namun
tidak inklusif seperti konsep mikrokosmos dan makrokosmos dalam ajaran mistik Jawa itu.
Meskipun kedua entitas tersebut hampir sama namun keduanya jelas tidak bisa dipertukarkan atau
saling menggantikan. Juga tidak seperti konsep manunggaling kawula lan Gusti yang dalam ajaran
mistik Jawa berarti bersatunya antara makhluk (manusia) dengan Sang Pencipta (Tuhan). Konsep
manunggaling kawula lan gusti bisa juga berarti bersatunya antara raja (gusti) dan rakyat (kawula).
Rakyat (kawula) dan raja (gusti) adalah dua entitas yang berbeda namun satu tujuan. Rakyat
(kawula) tentu tidak bisa menggantikan posisi rajanya (gusti). Jadi, konsep tentang personalitas
atau kepribadian tidak sama persis dengan kebudayaan meski pun tujuan dan fungsinya
hampir sama.
Proses terbentuknya kepribadian dan kebudayaan tidak jauh berbeda, yakni melalui proses
pembelajaran sepanjang hidup. Kepridadian dan kebudayaan seseorang senantiasa berubah dan
berkembang sesuai dengan proses pembelajaran yang dialami oleh orang tersebut selama hidup.
Kepribadian seseorang tidak dibawa sejak lahir meski pun setiap orang memiliki pembawaan yang
berbeda-beda. Ada manusia yang lahir dengan kecerdasan intelektual tinggi dan ada juga manusia
yang lahir dengan kecerdasan emosionalnya yang lebih tinggi. Namun semuanya itu, menurut
pandangan kaum behavioris dapat berubah melalui proses pembelajaran dan pengaruh lingkungan.
Faktor lingkungan menurut faham behaviorisme dapat mempengaruhi kepribadian seseorang.
Pandangan tersebut tentu saja tidak selalu benar sebab bagi kaum humanis atau faham
konstruktivisme justru individulah yang dapat mengubah dirinya sendiri bukan lingkungannya.
Manusia adalah makhluk yang mampu mengubah dan juga dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungannya. Kebudayaan bagi individu merupakan payung yang dapat berfungsi sebagai
‘pelindung’ namun juga menjadi ‘penghambat’ perjalanan orang tersebut. Dikatakan ‘menghambat’
karena norma masyarakat sering kali membelenggu atau membatasi ruang gerak individu.
Karena itu pula maka seringkali ada orang yang sengaja membongkar batas norma tersebut
meskipun tidak selalu berhasil. Sebutan ‘abnormal’ atau ‘devian’ seringkali diberikan kepada mereka
yang berperilaku menyimpang dalam arti melewati batas norma sosial yang berlaku.

Tumpeng sebagai Ekspresi Budaya

Ritual tumpengan merupakan tindakan yang dilakukan oleh sekelompok orang atau
organisasi sosial tertentu berdasarkan pranata yang berlaku. Ritual tersebut kecuali merupakan
realisasi dari sebuah sistem sosial juga merupakan sarana untuk mencapai tujuan dari sistem
sosial itu sendiri. Sistem sosial itu sendiri tidak lain adalah abstraksi dari sistem kepribadian
tiap anggota komunitas tersebut. Sistem sosial merupakan kumpulan orang-orang yang tinggal
dalam suatu wilayah tertentu.
Setiap komunitas memiliki karakteristik sendiri-sendiri. Karakter kelompok tersebut secara
struktural tentu saja ditentukan oleh karakteristik tiap-tiap anggotanya. Dari sifat-sifat anggota
masyarakatnya itu dapat dibedakan antara masyarakat primitif, tradisional, dan modern. Masyarakat
primitif tentu saja anggota masyarakatnya masih banyak yang menggunakan pola pikir mistik.
Masyarakat tradisional anggota masyarakatnya masih menggunakan pola pikir tradisional,
sedangkan pada masyarakat modern tentu saja anggota masyarakatnya banyak yang
menggunakan pola pikir modern. Dengan kata lain motif sebuah organisasi sosial dapat diketahui
lewat pemahaman terhadap motif atau pola pikir pribadi setiap anggota kelompok tersebut.
Pembagian masyarakat atau pengklasifikasian seperti tersebut di atas sebenarnya hanya ada
dalam tataran konsep sebab sekarang ini kenyataan seperti itu tidak ada atau sulit ditemukan.
Masyarakat kita dewasa ini khususnya masyarakat di perkotaan meskipun sudah tergolong maju
masih saja bertindak secara tradisional atau bahkan masih mempercayai hal-hal yang berbau
mistik. Demikian juga masyarakat kita yang tinggal di pedesaan, meskipun masih kental dengan
hal-hal yang bersifat tradisional ternyata ada juga yang berpola pikir sangat modern. Oleh karena
itu maka pemahaman terhadap kepribadian setiap anggota masyarakat dengan pendekatan
individual dalam rangka mengkaji perilaku masyarakat tersebut tentu saja sangat tepat dan
dibenarkan. Setiap orang meskipun sama dalam tindakan belum tentu sama dalam tujuan,
demikian pula sebaliknya.
Makna ritual tumpengan bagi orang satu bisa saja berbeda bagi orang lain meskipun
keduanya berada dalam komunitas yang sama. Hal tersebut terjadi karena tiap orang mempunyai
latar belakang sejarah dan kepribadian yang berbeda. Itulah yang dalam antropologi disebut ‘variasi
intrakultural’ (intracultural variety). Perbedaan atau variasi tersebut dalam kajian budaya tidak
perlu dipandang sebagai sebuah kekacauan tetapi justru sebagai sebuah kekayaan. Makna ritual
tumpengan tidak bisa ditafsirkan secara seragam hanya dengan mengacu pada satu sistem simbol
atau pranata yang berlaku bagi masyarakat itu.
Sebagian orang berpendapat bahwa makna tumpeng adalah tanda berserah diri dari
manusia kepada Tuhan-nya. Bentuk kerucut dari sebuah nasi tumpeng merupakan sombolisasi
perjalan suci manusia dari dasar menuju puncak tempat Tuhan bertahta. Bentuk tumpeng
secara spiritual merupakan simbolisasi hubungan antara manusia (mikrokosmos) dan Tuhan
(makrokosmos). Pendapat tersebut tentu saja tidak keliru namun kita harus tahu bahwa
tumpeng dibuat untuk berbagai kepentingan bukan hanya untuk kepentingan ritual tetapi juga
untuk keperluan yang lain. Pertanyaan tentang mengapa orang membikin tumpeng, tentu saja
jawabnya terserah pada orang yang membuatnya, sebab tidak semua orang membuat tumpeng
untuk kepentingan ritual keagamaan. Bisa saja orang membuat nasi tumpeng dengan maksud agar
nasi tersebut tidak cepat basi sebab nasi yang dipadatkan terbukti lebih awet. Juga ada anggapan
bahwa benda atau makanan yang ditempatkan dalam ruang yang berbentuk piramidal akan lebih
awet atau tidak cepat busuk. Jika anggapan tersebut teruji, tentu cukup alasan mengapa bangsa
Mesir kuno mengubur jasat rajanya dalam bangunan piramid. Tumpeng yang dibuat berbentuk
kerucut atau gunungan hampir sama dengan bentuk piramid bisa juga berfungsi seperti itu yaitu
agar nasi tidak cepat basi sebelum dimakan.
Bisa saja orang membuat tumpeng dengan bentuk seperti itu hanya untuk kepentingan
estetis atau praktis dan ekonomis. Secara visual bentuk kerucut atau piramidal tersebut
mengekspresikan kesatuan, keseimbangan, dan harmoni. Pola simetris dari sebuah piramid atau
kerucut menunjukkan adanya stabilitas dan juga kesederhanaan yang merupakan ciri-ciri bentuk
yang estetis. Dengan kata lain, pembuatan nasi tumpeng dengan pola bentuk kerucut agar tampak
indah, kuat atau kokoh, dan menyenangkan. Komposisi ‘piramidal’ memang menghasilkan kesan
bentuk yang stabil, utuh namun tetap dinamis. Dinamika visual tersebut terdapat pada dua garis
diagonal yang mengarah pada satu titik pusat yaitu puncak piramid atau kerucut. Kecuali itu, bentuk
piramid atau kerucut juga menghasilkan dinamika arah yaitu gerakan dari bawah ke atas. ‘Modulasi’
bentuk kerucut, yaitu bagian bawah atau dasar lebih besar dan secara teratur berubah mengecil
pada bagian atas menghasilkan kesan gerak dari bawah ke atas. Kesan gerak dari bentuk yang
besar ke arah bentuk yang kecil tersebut terjadi karena kebiasaan kita di dalam mengamati
segala sesuatu.
Teori persepsi menjelaskan bahwa proses pengamatan biasanya bergerak dari bagian yang
besar (global) ke arah bagian yang kecil (detail). Kebiasaan melakukan pengamatan seperti itu
tampak universal atau hampir terjadi di mana pun dan oleh siapa pun. Kebiasaan berpikir
menurut kukum sebab akibat juga merupakan pola pikir yang universal dan juga natural. Hukum
termodinamika (laws of
thermodynamics) mengatakan bahwa energi bergerak dari positif ke arah negatif. Udara yang ada di
ruang dengan tekanan yang tinggi akan bergerak menuju ruang yang tekanannya rendah.
Pergerakan tersebut menghasilkan apa yang disebut ‘entropi’ (entropy) yaitu keadaan seimbang
atau ‘homeostatis’ dalam arti tanpa tekanan atau tanpa energi. Air yang berada di daerah yang
tinggi akan bergerak ke bawah dan ketika air tersebut berada di daerah yang paling rendah maka
air tersebut akan tenang dan tidak akan bergerak lagi. Dalam keadaan seperti itulah ‘entropi
maksimum’ terjadi. Untuk menggerakkan air yang dalam keadaan entropi tersebut perlu energi
baru misalnya energi panas atau energi mekanik. Dengan panas matahari maka air di laut atau air
di daerah rendah akan diubah menjadi uap dan turun sebagai air hujan. Dengan bantuan tenaga
mekanik, misalnya kincir angin, juga dapat menaikkan air ke tempat yang lebih tinggi sehingga
terjadi proses ‘entropi negatif’.
Ada berbagai jenis energi namun yang paling menonjol dalam pengamatan ada dua,
yaitu: energi panas dan energi gravitasi. Energi panas berasal dari matahari yang berupa cahaya
dan dari bumi yang berupa panas bumi atau magma. Penelitian yang telah dilakukan para ahli
menunjukkan adanya penurunan energi matahari atau ada peningkatan ‘entropi’. Jika matahari
tidak lagi memancarkan panasnya, atau ketika matahari tidak lagi memancarkan energinya, maka
pada saat itulah terjadi ‘entropi maksimum’ yaitu keadaan seluruh dunia dengan temperatur yang
sama. Keadaan seperti itu tentu akan menyebabkan berhentinya dinamika kehidupan di dunia ini
sebab tidak adanya energi berarti tidak ada kehidupan (Bell 1964:8). Dari uraian tersebut di
atas menunjukkan bahwa kebiasaan kita melihat dari yang besar ke yang kecil merupakan perilaku
alami dan perilaku itu sesuai dengan hukum alam yaitu hukum termodinamika.
Seandainya ada orang yang melakukan tindakan yang berbeda atau kebalikan dari apa yang
disebutkan di atas tentu saja tidak keliru. Tindakan seseorang bisa saja menyimpang atau tidak
sesuai dengan hukum alam tersebut karena sebagai manusia ia adalah makhluk yang tidak hanya
mampu beradaptasi dengan lingkungan tetapi juga mampu berkreasi atau mencipta lingkungannya.
Manusia mampu beradaptasi atau menyesuaikan diri dan juga mampu mengubah lingkungannya
sesuai dengan daya kreativitasnya. Berbeda dengan binatang yang struktur kognisinya tampak
sudah terpola, seragam, dan tidak berubah, manusia memiliki struktur kognisi yang tidak seragam
dan berkembang sesuai dengan proses sosialisasi dan enkulturasi yang dialaminya. Manusia
bertindak atau berperan dalam masyarakat sesuai dengan pengetahuan budayanya (cultural
knowledge). Bagaimana orang membuat dan juga memaknai sebuah nasi tumpeng juga
tergantung pada pengetahuan budaya tersebut.
Struktur pengetahuan (knowledge structures) atau ‘skemata’ (schemata) tiap orang tidak
sama persis karena tergantung pada proses pembelajarannya. Manusia belajar dan mendapat
pengetahuan melalui proses sosialisasi (socialization) dan proses enkulturasi (enculturation).
Melalui proses sosialisasi seseorang mempelajari peran dan tugas-tugas yang rutin dalam
bermasyarakat. Dari proses belajar tersebut seseorang akan mendapatkan pengetahuan yang
berkaitan dengan situasi. Pengetahuan tentang situasi inilah yang membuat orang dapat atau
berperilaku sesuai dengan situasi
atau peran rutin yang harus dimainkannya. Melalui proses sosialisasi seseorang belajar
tentang ‘pengetahuan situasi’ (situation knowledge). Selanjutnya pengetahuan tentang situasi
tersebut oleh individu diinternalisasikan dalam diri pribadinya lewat proses yang disebut enkulturasi
(enculturation). Lewat proses enkulturasi ini seseorang mempelajari pengetahuan dan tindakan
dalam konteks yang lebih luas (Holland 1985:401). Dari proses enkulturasi inilah seseorang
mendapatkan apa yang disebut ‘pengetahuan personal’ (personal knowledge). Dua jenis
pengetahuan tersebut, yaitu pengetahuan situasi dan pengetahuan personal akan menghasilkan
struktur pengetahuan atau ‘skemata’ pada diri seseorang. Pemahaman terhadap struktur
pengetahuan atau ‘skemata’ pada diri seseorang biasanya dilakukan melalui ‘penelitian atribusi’
(attribution research). Asumsi yang dikembangkan dalam ‘penelitian atribusi’ adalah yang
menyatakan bahwa tindakan seseorang dapat dipahami dari aspek situasi dan aspek personalnya.
Bagi orang Jawa, pembuatan tumpeng adalah kebiasaan atau tindakan berdasarkan tradisi.
Meskipun demikian tujuan orang membuat tumpeng bisa berbeda-beda sesuai dengan situasi dan
kondisi yang ada. Karena tujuannya berbeda, maka secara visual bentuk tumpeng tersebut
juga bervariasi. Secara fisik, tumpeng adalah sebuah artifak (artifact) yaitu karya ciptaan manusia.
Sebuah artifak biasanya mempunyai fungsi tertentu sesuai dengan tujuan pembuatnya. Tujuan
orang membuat nasi tumpeng bermacam-macam antara lain: sebagai sajen (sesaji), sadaqah
(sedekah) dan punjung (bulubekti). Sajen (sesaji) merupakan pemberian manusia kepada yang
maha kuasa. Sadaqah (sedekah) merupakan pemberian (gift) dari orang yang kaya kepada orang
miskin atau orang dari strata atas ke strata bawah, dari atasan kepada bawahan. Pemberian
tersebut bisa diartikan sebagai tanda kasih sayang atasan kepada bawahannya. Punjung (bulubekti)
merupakan pemberian orang dari strata rendah ke strata yang lebih tinggi misalnya pemberian
anak kepada orang tuanya sebagai tanda kesetiaan dan pengabdian. Makna pemberian
tersebut tentu saja lebih bersifat spiritual dari pada material. Pendapat ini tentu saja hanya
berdasarkan satu sudut pandang dan tentu tidak harus demikian. Tumpeng, kecuali mempunyai
makna spiritual juga mempunyai makna material. Kajian berdasarkan pertimbangan untung rugi
(costs and benefits) seperti yang dilakukan para penganut pandangan ‘materialisme budaya’
(cultural materialism) menunjukkan bahwa di balik kegiatan saling memberi, misalnya kegiatan
tukar-menukar cindera mata, atau benda lainnya, mengandung aspek ekonomi atau kegiatan yang
dapat memberi keuntungan material (Miller 1987: 120).
Tumpeng adalah artifak atau hasil pekerjaan manusia yang termasuk dalam kategori ‘budaya
rupa’ (visual culture). Semua karya visual mengandung pesan sesuai dengan bentuk dan
konteksnya. Sebagai media komunikasi, tumpeng mengandung berbagai pesan atau informasi baik
mengenai subjek penyampai pesan maupun subjek sasaran. Dari tumpeng yang mereka buat dapat
diketahui siapa mereka dan siapa pula sasarannya. Tumpeng yang dibuat oleh orang dari
strata bawah akan berbeda dengan tumpeng yang dibuat oleh orang dari strata atas. Tumpeng
sebagai sajen, berbeda dengan tumpeng sebagai sadaqah maupun punjung.
Secara umum bentuk tumpeng tampak seragam dengan sedikit variasi sesuai dengan selera
dan tujuan pembuatnya. Keseragaman bentuk tersebut kecuali terikat oleh norma tradisi juga
mengandung aspek komunikasi. Sebuah komunikasi akan berhasil jika menggunakan prinsip
pengulangan (redundansi). Redundansi atau pengulangan adalah hal yang dapat diramalkan
(predictable) atau konvensional dalam suatu pesan. Lawan dari redundansi tersebut adalah entropi
(Fiske, 1990). Prinsip pengulangan tersebut dilakukan untuk mengurangi tingkat entropi dalam
komunikasi. Tujuan komunikasi adalah untuk mengurangi tingkat entropi dari positif ke arah negatif
atau ‘negentropi’ (negentropy). Komunikasi yang ‘negentropi’ adalah komunikasi yang efektif dan
efisien yang ‘prediktabel’ (Fiske 1990; Bell 1964). Pesan yang disampaikan dalam bentuk yang
kacau (disorder) akan menghasilkan tingkat entropi tinggi yaitu tidak dipahaminya pesan yang
disampaikan. Media penyampai pesan yang bentuknya kacau tentu membutuhkan banyak
energi untuk memahaminya. Hal ini tentu berbeda dengan media komunikasi yang terorganisasi
atau terancang dengan baik.
Penggunaan bentuk-bentuk yang konvensional memudahkan dalam komunikasi. Karya seni
yang menggunakan bentuk-bentuk yang tidak konvensional akan sulit dipahami misalnya karya seni
modern. Sebaliknya karya seni klasik atau tradisional, karena bentuknya konvensional maka mudah
dipahami. Dengan demikian sebagai media komunikasi, bentuk tumpeng yang konvensional akan
mengurangi tingkat entropi dan meningkatkan ‘redundansi’ meskipun komunikasi yang
demikian sesungguhnya tidak mempunyai nilai berita (news). Meskipun nilai beritanya rendah,
tumpeng sebagai sarana komunikasi budaya sangat efektif dan penting sebagaimana penggunaan
seni tradisional untuk menyebarkan informasi pembangunan.

Tumpeng dan Psikoanalisis

Menurut pandangan psikoanalisis, perilaku manusia dipengaruhi oleh aspek atau naluri
bawah sadar. Dengan kata lain, orang seringkali tidak menyadari motif tindakan yang dia
lakukan sendiri. Orang tidak menyadari mengapa ia membentuk nasi tumpeng seperti kerucut atau
gunungan. Menurut Freud (lihat Danandjaja 1988:29) manusia memiliki dua macam dorongan
yaitu dorongan untuk melindungi diri dan dorongan untuk berkembang biak. Dorongan untuk
berkembang biak itu disebut libido atau tenaga seks (sexual energy). Libido mempunyai cakupan
luas yaitu kecuali nafsu birahi, juga rasa kasih sayang ibu terhadap anak, rasa sayang terhadap
teman yang dikasihinya. Bahkan rasa birahi tidak saja ditujukan pada lawan jenis tetapi juga
pada sesama jenis bahkan pada diri sendiri. Dalam keadaan yang menyimpang bahkan
ditujukan pada binatang atau benda-benda mati.
Perilaku seksual juga tidak selalu berupa hubungan antar kelamin tetapi juga bubungan
dengan alat tubuh lainnya misalnya kelamin dengan mulut (oral), kelamin dengan dubur (anal) dan
sebagainya. Perilaku seksual yang tidak lazim tersebut sebenarnya sudah terjadi ketika anak masih
kecil misalnya ketika anak memain-mainkan alat kelaminnya saat kencing, atau memainkan
duburnya ketika buang air
besar. Juga menurut Freud, libido berpusat pada tiga daerah erotik (erotic zones) yaitu: mulut,
dubur, dan genital. Kenikmatan seksual pertama kali diperoleh anak dari mulut, kemudian
dubur dan selanjutnya genital (Danandjaja 1988). Kenikmatan erotis pertama yang diperoleh anak
yaitu ketika anak menjusu ibunya. Itulah sebabnya segala sesuatu yang dipegang anak akan selalu
dimasukkan ke mulutnya tidak peduli benda itu enak dimakan atau tidak.
Tahapan berikutnya, anak merasakan kenikmatan ketika buang air besar atau sesuatu yang
keluar dari duburnya termasuk kentut. Bahkan kesukaan anak terhadap musik menurut Freud
dimulai ketika anak tertarik dan menikmati suara kentutnya (lihat Ehrenzweig 1971). Ada juga
yang berpendapat bahwa rasa musikal anak dimulai ketika ia sedang menyusu dan pada saat
itulah dia mendengar irama detak jantung sang ibu. Mana yang lebih dulu membentuk cita rasa
musikal, suara kentut atau denyut jantung sang ibu, tampaknya perlu penelitian lebih lanjut.
Bagi anak akan tampak bahwa segala sesuatu yang indah berawal dari sebuah
kenikmatan, yaitu kepuasan akibat terlampiaskannya dorongan seksual atau libido meskipun
hal itu tidak disadarinya. Dorongan seksual anak tentu saja tidak pernah disadari karena
bersifat laten dan pelampiasannya tidak mengenal norma. Memain-mainkan alat kelamin sendiri
bagi anak bukan sesuatu perbuatan yang menyimpang, lain halnya jika itu dilakukan oleh orang
yang telah dewasa. Bagi orang dewasa pelampiasan nafsu seksual seringkali sangat
terselubung dan bahkan simbolis. Perilaku tersebut berjalan seiring dengan makin
berkembangnya factor ego dan superego seseorang. Id atau dorongan bawah sadar tidak pernah
reda meskipun ego dan superego seseorang berkembang pesat. Ego adalah sistem kognisi
seseorang, sedangkan superego adalah sistem norma yang diperoleh atau dipelajari seseorang
sepanjang hidupnya. Orang yang egonya sangat kuat bisa menjadi manusia egois yang tidak peduli
pada orang lain. Demikian juga orang yang memiliki superego yang sangat kuat akan menjadi
altruis yang tidak lagi mementingkan kepentingan diri sendiri.
Pembuatan nasi tumpeng dengan bentuk kerucut atau gunungan bagi orang Jawa
dapat dipahami sebagai simbolisasi dari kelamin laki-laki (phallus). Dengan kata lain, tumpeng
adalah simbol kejantanan. Perlu diketahui bahwa kemaskulinan bagi orang Jawa merupakan hal
penting karena laki- laki dipandang sebagai kepala rumah tangga dan perempuan sebagai kanca
wingking. Sikap tersebut tentu saja tidak berarti mendudukkan kaum perempuan dalam posisi
marginal. Justru perempuan atau ibu rumah tangga dalam hal ini menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari struktur keanggotaan keluarga seutuhnya. Jika yang di belakang adalah istri
maka yang di depan adalah suami dan yang di tengah tentu saja anak. Bagi orang Jawa, suatu
keluarga menjadi lengkap jika ketiga unsur tersebut ada. Anak menjadi bagian penting dari struktur
keluarga sehingga dalam pembicaraan sehari-hari atau jika kita bertemu dengan teman lama, yang
ditanyakan biasanya adalah jumlah anak kita, jadi bukan penghasilan kita.
Kerucut atau gunungan sering diabstraksikan menjadi bentuk segitiga dengan satu ujung di
atas sebagai puncak. Ketiga titik tersebut bisa berarti dua titik pada garis horizontal sebagai posisi
ibu dan
ayah sedangkan yang di puncak diduduki oleh anak. Jadi gunungan yang berbentuk segitiga
tersebut merupakan simbolisasi dari struktur keluarga Jawa yang terdiri atas: ayah, ibu, dan
anak.
Tumpeng tentu saja tidak selalu menjadi simbolisasi dari kemaskulinan orang Jawa
karena bentuk tumpeng di Jawa ternyata cukup bervariasi. Nasi tumpeng ternyata tidak selalu
berbentuk kerucut tetapi ada yang berbentuk setengah bola atau seperti bentuk kubah masjid.
Tumpeng yang bentuknya setengah bola tentu saja tidak tepat jika dianggap sebagai simbol
kejantanan. Bentuk tumpeng yang setengah bola tersebut akan lebih tepat jika dianggap
sebagai simbol kefemininan. Gunung memang tidak harus dilukiskan dengan bentuk kerucut tetapi
bisa dengan bentuk parabola.
Gunung juga bisa berarti bumi atau ibu pertiwi yaitu tempat kita dilahirkan, dibesarkan
dan bahkan setelah mati dikuburkan. Dalam kesenian wayang kulit, dikenal istilah gunungan lanang
dan gunungan wadon. Bentuk gunungan tersebut sebenarnya hampir sama, bedanya pada
gunungan lanang terdapat gambar atau pahatan rumah joglo, sedangkan pada gunungan wadon
gambar rumah joglo tersebut diganti dengan gambar kolam atau blumbang.
Gunung dapat disamakan dengan perut ibu atau kandungan (womb) tempat kita disemaikan
dan dari sana pulalah kita dilahirkan (Ehrenzweig1971:130). Dengan demikian bentuk nasi tumpeng
yang parabolik itu merupakan simbolisasi dari perut atau rahim seorang perempuan. Bagi anak kecil
kadang muncul dorongan untuk kembali ke rahim ibunya dan itu tentu saja tidak disadari. Dorongan
tersebut hampir sama ketika ada orang yang ingin kembali ke kampung halamannya setelah
tinggal lama di perantauan bahkan jika meninggal dunia ada yang ingin dikubur di tempat
kelahirannya. Dorongan untuk kembali ke pelukan seorang ibu adalah dorongan bawah sadar yang
diperoleh anak sejak masa kecil. Kehangatan pelukan ibu, detak jantung, nikmatnya air susu ibu
dan lain sebagainya tentu saja akan melekat dan tersimpan dalam alam bawah sadar kita dan hal
itu sering kali mendorong kita untuk mencari jalan keluarnya. Penyaluran terhadap hasrat bawah
sadar tersebut bermacam-macam, bisa lewat mimpi, lewat karya seni, atau kegiatan lainnya yang
sesuai dengan norma. Dengan membuat tumpeng dan menyantapnya maka dorongan bawah
sadar atau id tersebut dapat tersalurkan.
Mengapa nasi tumpeng kecuali putih seringkali berwarna kuning? Persoalan warna
kecuali mengandung nilai estetis juga simbolis. Secara visual tumpeng yang berwarna putih dengan
variasi warna lauk-pauknya tentu akan tampak lebih indah dibanding dengan warna kuning. Dengan
demikian penggunaan warna kuning pada tumpeng tentu mempunyai tujuan tertentu. Kita tahu
bahwa kuning dalam kategori warna menurut budaya Jawa adalah sama dengan warna emas, yaitu
sesuatu benda yang berharga. Benda yang terbuat dari emas merupakan benda berharga yang
biasanya dimiliki oleh para raja, bangsawan, orang kaya, dan para dewa. Dengan demikian
tumpeng dengan warna kuning merupakan simbol sesaji atau penghormatan kepada Yang
Maha Kuasa.
Kuning juga identik dengan warna kulit seorang gadis yang dipandang cantik Gadis Jawa
yang dipandang cantik dan juga seksi biasanya dibayangkan atau dilukiskan sebagai
perempuan yang berkulit kuning atau kuning langsat. Penari wanita Jawa biasanya sebelum
menari harus berdandan dan memakai lulur supaya kulitnya tampak kuning. Warna yang sama juga
digunakan pada wayang
kulit terutama untuk tokoh perempuan, kesatria, dan para raja dengan menggunakan prada (emas).
Warna kuning secara psikologis juga menunjukkan sesuatu yang telah masak atau telah cukup
umur misalnya warna buah-buahan atau dedaunan. Padi yang telah siap dipanen adalah padi yang
warnanya telah berubah dari hijau menjadi kuning. Demikian juga warna buah yang siap dipetik atau
telah matang biasanya berwarna kuning. Ikan yang telah dimasak baik digoreng maupun
dipanggang akan berwarna kuning. Demikian juga telor mata sapi yang paling enak adalah
bagian yang berwarna kuning. Jadi warna kuning pada makanan merupakan tanda bahwa
makanan tersebut enak untuk dimakan.
Warna-warna yang digunakan pada tumpeng adalah warna-warna yang dipersepsi sebagai
warna makanan yaitu: putih, hijau, kuning, sedikit merah dan hitam. Warna biru tidak dikenal
sebagai warna makanan, maka tidak ada dalam sajian nasi tumpeng maupun dalam masakan
lainnya. Menurut psikoanalisis dorongan untuk mendapatkan makanan adalah sama dengan
dorongan seksual yang berada dalam wilayah bawah sadar. Dorongan tersebut dapat muncul
sebagai ekspresi seni misalnya pada lukisan buah-buahan atau lukisan yang menggambarkan
situasi meja makan. Orang yang haus sayuran akan menyukai lukisan pemandangan, demikian juga
orang yang haus daging akan menyukai lukisan tentang binatang dan lain sebagainya.
Bagi anak kecil, antara bentuk gunung dengan bentuk payudara sulit dibedakannya. Anak
kecil tidak bisa membedakan antara ujung jempol tangannya dengan puting susu ibunya. Mengisap
jempol tangannya sendiri bagi anak kecil sama nikmatnya dengan mengisap puting susu ibunya. Ia
juga tidak bisa membedakan antara buah semangka dan pecahan gelas, sehingga semuanya akan
dimasukkan ke dalam mulutnya meskipun itu bisa berbahaya. Sikap atau pandangan tidak
membedakan (undifferentiated vision) tersebut juga terdapat pada orang dewasa ketika mereka
tidak membedakan antara gunung dengan rahim perempuan atau ketika hendak membedakan
antara bentuk tumpeng yang berwarna kuning dengan bentuk payudara.
Tumpeng sebagai simbol keperempuanan tampaknya juga tidak dibedakan dengan tumpeng
sebagai simbol kejantanan. Inilah yang disebut multiplicity of symbolism. Sikap tidak membedakan
tersebut kecuali ditentukan oleh aturan main (rule of the game) atau konvensi, juga oleh faktor
bawah sadar yang terbentuk pada masa kanak-kanak. Charles Darwin (dalam Arnheim
1966:56) juga mengatakan bahwa ekspresi seseorang mencakup keduanya, baik instingtif dari
alam bawah sadar maupun konvensi dari hasil belajar.
Mengapa sebelum dimakan, tumpeng harus dipotong pada bagian ujungnya? Jika tumpeng
dipandang sebagai simbol kelamin laki-laki maka tidak jauh beda dengan acara khitanan. Khitan
dapat dipandang sebagai simbol bahwa seorang anak laki-laki telah menginjak dewasa atau dengan
kata lain telah siap melakukan hubungan seksual. Kegiatan memotong tumpeng setelah selesai
melakukan upacara juga berarti merusak bentuk tumpeng tersebut dan sekaligus memakannya.
Anak kecil kadang melakukan kegiatan destruktif dengan menggigit puting susu ibunya dengan
maksud untuk melampiaskan rasa kekesalan atau rasa greget terhadap sesuatu yang ada
dimulutnya itu. Rasa kesal, penasaran terhadap sesuatu juga dirasakan oleh orang dewasa dan
itu juga dilakukan terhadap
tumpeng. Dengan kata lain perilaku orang dewasa terhadap tumpeng tidak jauh berbeda
dengan perilaku anak-anak terhadap sesuatu dalam upaya memuaskan libidonya. Membuat
tumpeng, memotong, dan kemudian memakannya merupakan ekspresi bawah sadar dari masa
kanak-kanak dan juga ruang katarsis bagi orang dewasa Jawa.

Simpulan

Tumpeng sebagai ekspresi budaya mengandung banyak makna. Melalui pendekatan


psikologi antropologi kita dapat mengungkap makna-makna tersebut. Tentu saja pendekatan ini
bukan yang terbaik tetapi paling tidak dapat memberi wawasan baru tentang perilaku manusia dan
masyarakat lingkungannya. Kajian terhadap tumpeng dari kacamata religi, mitos, maupun semiotika
juga sudah sering dilakukan. Tulisan ini tidak begitu banyak mengupas hal tersebut kecuali untuk
menghindari redundansi juga agar tulisan ini lebih terfokus pada hal-hal yang belum banyak
dibicarakan oleh para pakar.
Manusia adalah pribadi yang bertindak sesuai dengan sistem simbol atau aturan main
yang dimilikinya. Tindakan manusia kecuali ditentukan oleh faktor biologis juga oleh faktor
psikologis dan faktor kultural. Kaitan antara personalitas dengan sistem sosial sangat erat karena
personalitas dapat mempengaruhi sistem sosial atau sebaliknya. Meskipun demikian keduanya
bukanlah suatu entitas yang sama. Keduanya memiliki kesamaan (homologies) namun tidak
inklusif.
Ritual tumpengan merupakan tindakan yang dilakukan oleh sekelompok orang atau
organisasi sosial tertentu berdasarkan pranata yang berlaku. Ritual tersebut kecuali merupakan
realisasi dari sebuah sistem sosial juga merupakan sarana untuk mencapai tujuan dari sistem
sosial itu sendiri. Makna ritual tumpengan bagi orang satu bisa saja berbeda bagi orang lain
meskipun keduanya berada dalam komunitas yang sama. Hal tersebut terjadi karena tiap orang
mempunyai latar belakang sejarah dan kepribadian yang berbeda. Makna ritual tumpengan tidak
bisa ditafsirkan secara seragam hanya dengan mengacu pada satu sistem simbol atau pranata
yang berlaku. Bisa saja orang membuat tumpeng dengan bentuk seperti itu hanya untuk
kepentingan estetis atau praktis dan ekonomis semata. Secara visual bentuk kerucut atau piramidal
mengekspresikan kesatuan, keseimbangan, dan harmoni. Dengan kata lain, pembuatan nasi
tumpeng dengan bentuk kerucut agar tampak indah, kuat, atau kokoh dan menyenangkan.
Bagi orang Jawa membuat tumpeng adalah kebiasaan atau tindakan berdasarkan
tradisi. Meskipun demikian tujuan orang membuat tumpeng bisa berbeda-beda sesuai dengan
situasi dan kondisi. Tujuan orang membuat nasi tumpeng bermacam-macam antara lain: sebagai
sajen (sesaji), sadaqah (sedekah) dan punjung (bulubekti). Sajen (sesaji) merupakan pemberian
manusia kepada Yang Maha Kuasa. Sadaqah (sedekah) merupakan pemberian (gift) dari
orang yang kaya kepada orang miskin atau orang dari strata atas ke strata bawah, dari atasan
kepada bawahan. Pemberian
tersebut bisa diartikan sebagai tanda kasih sayang. Punjung (bulubekti) merupakan pemberian
orang dari strata rendah ke strata yang lebih tinggi sebagai tanda kesetiaan dan pengabdian.
Pembuatan nasi tumpeng dengan bentuk kerucut atau gunungan bagi orang Jawa
dapat dipahami sebagai simbolisasi dari kelamin laki-laki (phallus). Perlu diketahui bahwa
kemaskulinan bagi orang Jawa merupakan hal penting karena laki-laki dipandang sebagai
kepala rumah tangga dan perempuan sebagai kanca wingking. Kerucut atau gunungan sering
diabstraksikan menjadi bentuk segitiga dengan satu ujung di atas sebagai puncak. Ketiga titik
tersebut bisa berarti dua titik pada garis horizontal sebagai posisi ibu dan ayah sedangkan yang di
puncak diduduki oleh anak. Jadi gunungan yang berbentuk segitiga tersebut merupakan simbolisasi
dari struktur keluarga Jawa yang terdiri atas: ayah, ibu, dan anak.
Gunung memang tidak harus dilukiskan dengan bentuk kerucut tetapi bisa dengan
bentuk parabola. Gunung juga bisa berarti bumi atau ibu pertiwi, yaitu tempat kita dilahirkan,
dibesarkan, dan bahkan setelah mati dikuburkan. Dengan demikian bentuk nasi tumpeng yang
parabolik itu merupakan simbolisasi dari perut atau rahim seorang perempuan. Bagi anak kecil
kadang muncul dorongan untuk kembali ke rahim ibunya dan itu tentu saja tidak disadari. Dorongan
untuk kembali ke pelukan seorang ibu adalah dorongan bawah sadar yang diperoleh anak sejak
masa kecil. Penyaluran terhadap hasrat bawah sadar tersebut bermacam-macam, bisa lewat mimpi,
lewat karya seni atau melalui kegiatan lainnya.
Warna yang digunakan pada tumpeng adalah warna-warna yang dipersepsi sebagai warna
makanan yaitu: putih, hijau, kuning, sedikit merah, dan hitam. Menurut psikoanalisis dorongan untuk
mendapatkan makanan sama dengan dorongan seksual yang berada dalam wilayah bawah sadar.
Dengan kata lain perilaku orang dewasa terhadap tumpeng tidak jauh berbeda dengan perilaku
anak- anak. Membuat tumpeng, memotong dan kemudian memakannya merupakan ekspresi bawah
sadar dan juga katarsis bagi orang Jawa.

Daftar Pustaka

Arnheim, R.1966. Toward A Psychology of Art: Collected Essays. Berkeley and Los Angeles:
University of California Press.

Bell, B.D. 1962. Intelligent Machines: An Introduction to Cybernetics. New York: Blaisdell Publishing
Company.

Danandjaja, J. 1988. Antropologi Psikologi: Teori, Metode dan Sejarah Perkembangannya. Jakarta:
Rajawali Pers

Dougherty, Y. W. D. 1985. Directions in Cognitive Antropology. Chicago: University of Illinois Press

Dundes, A. 1980. Interpreting Folklore. Bloomington: Indiana University Press.


Ehrenzweig, A. 1971. The Hidden Order of Art: A Study in the Psychology of Artistic
Imagination.
Berkley and Los Angeles: University of California Press.

Fiske, J. 1990. Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif.
Yosaf Iriantoro (penerjemah). Bandung: Jalasutra.

Holland, D.C. 1985. “From Situation to Impression: How Americans Get to Know Themselves and
One Another”. In Dougherty, Y. W. D. 1985. Directions in Cognitive Antropology.
Chicago: University of Illinois Press

Kaplan, B. (ed). 1961. Studying Personality Cross Culturally. NewYork: Harper & Row,

Publisher. Kaplan, B. 1961. “Personality Study and Culture”. In Kaplan, B. 1961. Studying

Personality Cross
Culturally. NewYork: Harper & Row, Publisher.

Miller, D. 1987. Material Culture and Mass Consumption. Cambridge: Basil Blackwell
.
Mirzoeff, N. 1998. Visual Culture Reader. London: Routledge.

Parsons, T. 1964. The Social System. New York: The Free

Press

Singer, M. 1961. “A Survey of Culture and Personality Theory and Research”. In Kaplan, B.
1961.
Studying Personality Cross Culturally. NewYork: Harper & Row, Publisher.

Spiro, M. E. 1961. “Social Systems, Personality, and Functional Analysis”. In Kaplan, B. 1961.
Studying Personality Cross Culturally. NewYork: Harper & Row, Publisher.

Anda mungkin juga menyukai