Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN

CIDERA KEPALA
DI RUANG HCU BEDAH RSUP Dr. M. Djamil Padang

Disususn Oleh:
Vivi Andriani, S.Kep
2114901052

Pembimbing Akademik Pembimbing Akademik

(Ns.Hidayatul Rahmi, M.Kep) (Ns, WilladyRasyid, M.Kep,Sp.Kep.M.B)

Pembimbing Klinik

(Ns. M. Fikri Al fikra, S.Kep)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ALIFAH PADANG
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah  SWT karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nyalah
sehingga, tugas ini dapat diselesaikan tanpa suatu halangan yang amat berarti. Tanpa
pertolongannya mungkin dapat menyelesaikan laporan pendahuluan ini.
Laporan pendahuluan ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang
“CEDERA KEPALA Penyusun menyadari bahwa laporan pendahulusn ini kurang dari
sempurna, untuk itu penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran, baik dari dosen
pembimbing maupun teman-teman atau pembaca agar pendahuluan ini ini dapat lebih
sempurna..
Semoga  laporan pendahuluan ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada
pembaca, dan semoga dengan adanya tugas ini Allah SWT senantiasa meridhoinya dan
akhirnya membawa hikmah untuk semuanya.

Padang, Januari 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................. i

DAFTAR ISI ................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang................................................................................... 1
B. Tujuan................................................................................................ 1
BAB II TINJAUAN TEORITIS
A. Pengertian........................................................................................... 2

B. Patofisiologi....................................................................................... 4

C. Manifestasi klinis .............................................................................. 8

D. Klasifikasi cidera kepala.................................................................... 8

E. Pemeriksaan penunjang...................................................................... 10

F. Komplikasi cidera kepala................................................................... 10

G. Pencegahan cidera kepala................................................................... 11

H. Penatalaksaan .................................................................................... 12

I. Woc ................................................................................................... 13

BAB III ASKEP TEORITIS

A. Pengkajian.......................................................................................... 15

B. Diagnosa keperawatan....................................................................... 19

C. Intervensi............................................................................................ 19

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan........................................................................................ 26
B. Saran .................................................................................................. 26

DAFTARPUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cedera kepala (trauma kepala) adalah masalah pada struktur kepala akibat
mengalami benturan yang berpotensi menimbulkan gangguan pada fungsi otak.
Masalah ini dapat berupa luka ringan, memar di kulit kepala, bengkak, perdarahan,
patah tulang tengkorak, atau gegar otak (Dash, H. 2018).

Menurut lokasi trauma, cedera kepala dapat dibagi menjadi trauma kulit
kepala, tengkorak dan otak. Cedera kepala yang paling sering terjadi dan
menyebabkan penyakit neurologhik yag cukup serius diakibatkan oleh kecelakaan
di jalan raya. Risiko utama pasien dengan cedera kepala adalah kerusakan otak
akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan
memnyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (Smeltzer dan Bare, 2015).
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian cedera kepala.
2. Untuk mengetahui patafisiologi cedera kepala
3. Untuk mengetahui manifestasi klnis cedera kepala.
4. Untuk mengetahui klasifikasi cedera kepala.
5. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang cedera kepala.
6. Untuk mengetahui komplikasi cedera kepala.
7. Untuk mengetahui penanganan cedera kepala.
8. Untuk mengetahui penatalaksanaan cedera kepal
9. Untuk mengetahui asuhan keperawatan teoritis Cedera kepala.

1
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Pengertian
Cedera kepala (trauma kepala) adalah masalah pada struktur kepala akibat
mengalami benturan yang berpotensi menimbulkan gangguan pada fungsi otak.
Masalah ini dapat berupa luka ringan, memar di kulit kepala, bengkak, perdarahan,
patah tulang tengkorak, atau gegar otak ( Padila 2012).
Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuitas tulang tengkorak yang
disebabkan oleh trauma. Hal ini dapat terjadi disertai atau tanpa kerusakan otak.
Adanya fraktur tengkorak biasanya dapat menimbulkan dampak tekanan yang kuat.
Fraktur tengkorak diklasifikasikan menjadi terbuka dan tertutup. Jika terjadi fraktur
tengkorak terbuka dipastikan lapisan duramater otak rusak, namun jika fraktur
tengkorak tertutup, duramater kemungkinan tidak rusak (Smeltzer dan Bare, 2015).

Menurut tingkat keparahannya, cedera kepala dibagi menjadi tiga (Smeltzer


dan Bare, 2015) antara lain :

1. Cedera kepala ringan (kelompok risiko rendah)

a. Skor skala koma Glasgow 15 (sadar penuh, orientatif, atentif)

b. Tidak kehilangan kesadaran

c. Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang

d. Pasien dapat mengeluh pusing dan nyeri kepala

e. Pasien dapat menderita abrasi, laserasi, dan hematoma kulit kepala

f. Tidak ada kriteria cedera sedang atau berat

2. Cedera kepala sedang (kelompok risiko sedang)

a. Skor skala koma Glasgow 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)

b. Konkusi

c. Amnesia pasca trauma

d. Muntah

2
e. Tanda kemungkinan fraktur kranium

f. Kejang

3. Cedera kepala berat (kelompok risiko berat)

a. Skor skala koma Glasgow 3-8 (koma)

b. Penurunan derajat kesadaran secara progresif

c. Tanda neurologis fokal

d. Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium

1. Trauma tajam

Kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah yang menyebabkan robeknya


otak. Misalnya tertembak peluru atau benda tajam.
2. Trauma tumpul
Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya

3. Cedera akselerasi

Peristiwa gonjatan yang hebat pada kepala baik disebabkan oleh pukulan
maupun yang bukan pukulan.
4. Kontak benturan. Biasanya terjadi karena suatu benturan atau tertabrak suatu
obyek.
5. Kecelakaan lalu lintas

6. Jatuh

7. Kecelakaan kerja

8. Serangan yang disebabkan karena olahraga

9. Perkelahian

(Smeltzer dan Bare, 2015).


B. Patofisiologi

Cedera kepala yang terjadi waktu benturan, memungkinkan terjadinya


memar pada permukaan otak, laserasi cedera robekan, hemoragi, akibatnya akan
terjadi kemampuan autoregulasi cerebral yang menyebabkan hiperemia.
Peningkatan salah satu otak akan menyebabkan jaringan otak tidak dapat

3
membesar karena tidak ada aliran cairan otak dan sirkulasi dalam otak, sehingga
lesi akan mendorong jaringan otak. Bila tekanan terus meningkat akibatnya
tekanan dalam ruang kranium juga akan meningkat. Maka terjadilah penurunan
aliran darah dalam otak dan perfusi jaringan yang tidak adekuat, sehingga terjadi
masalah perubahan perfusi serebral. Perfusi yang tidak adekuat dapat
menimbulkan vasodilatasi dan edema otak. Edema akan menekan jaringan saraf
sehingga terjadi peningkatan tekanan intrakranial (Smeltzer dan Bare, 2015).

Dampak edema jaringan otak terhadap sistem tubuh lain (Smeltzer dan
Bare, 2015), antara lain :
1. Sistem Kardiovaskuler
Trauma kepala bisa menyebabkan perubahan fungsi jantung
mencakup aktivitas atipikal miokardial, perubahan tekanan vaskuler dan
edema paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan
gelombang T, P dan disritmia, vibrilisi atrium serta ventrikel takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, di
mana penurunan tekanan vaskuler pembuluh darah arteriol berkontraksi.
Aktivitas miokardium berubah termasuk peningkatan frekuensi jantung dan
menurunnya stroke work di mana pembacaan pembacaan CVP abnormal.

Tidak adanya stimulus endogen saraf simpatis mempengaruhi penurunan


kontraktilitas ventrikel. Hal ini bisa menyebabkan terjadinya penurunan curah
jantung dan meningkatkan atrium kiri, sehingga tubuh akan berkompensasi
dengan meningkatkan tekanan sistolik. Pengaruh dari adanya peningkatan
tekanan atrium kiri adalah terjadinya edema paru.
2. Sistem Respirasi
Adanya edema paru pada trauma kepala dan vasokonstriksi paru atau
hipertensi paru menyebabkan hiperapneu dan bronkho kontriksi. Terjadinya
pernafasan chynestoke dihubungkan dengan adanya sensitivitas yang
meningkat pada mekanisme terhadap karbondioksida dan episode pasca
hiperventilasi apneu. Konsenterasi oksigen dan karbondioksida dalam darah
arteri mempengaruhi aliran darah. Bila tekanan oksigen rendah, aliran darah
bertambah karena terjadi vasodilatasi, jika terjadi penurunan tekanan
karbondioksida akan menimbulkan alkalosis sehingga terjadi vasokontriksi
dan penurunan CBF (Cerebral Blood Fluid). Bila tekanan karbondioksida

4
bertambah akibat gangguan sistem pernafasan akan menyebabkan asidosis
dan vasodilatasi. Hal tersebut menyebabkan penambahan CBF yang
kemudian terjadi peningkatan tingginya TIK.
Edema otak akibat trauma adalah bentuk vasogenik. Pada kontusio
otak terjadi robekan pada pembuluh kapiler atau cairan traumatic yang
mengandung protein yang berisi albumin. Albumin pada cairan interstisial
otak normal tidak didapatkan. Edema otak terjadi karena penekanan
pembuluh darah dan jaringan sekitarnya. Edema otak ini dapat menyebabkan
kematian otak (iskemia) dan tingginya TIK yang dapat menyebabkan
terjadinya herniasi dan penekanan batang otak atau medula oblongata. Akibat
penekanan pada medulla oblongata menyebabkan pernafasan ataksia dimana
ditandai dengan irama nafas tidak teratur atau pola nafas tidak efektif.
3. Sistem Genito-Urinaria
Pada trauma kepala terjadi perubahan metabolisme yaitu
kecenderungan retensi natrium dan air serta hilangnya sejumlah nitrogen.
Retensi natrium juga disebabkan karena adanya stimulus terhadap
hipotalamus, yang menyebabkan pelepasan ACTH dan sekresi aldosteron.
Ginjal mengambil peran dalam proses hemodinamik ginjal untuk mengatasi
retensi cairan dan natrium.
4. Sistem Pencernaan
Setelah trauma kepala terdapat respon tubuh yang merangsang
aktivitas hipotalamus dan stimulus vagal. Hal ini akan merangsang lambung
untuk terjadi hiperasiditas. Hipotalamus merangsang anterior hipofise untuk
mengeluarkan steroid adrenal. Hal ini adalah kompensasi tubuh untuk
menangani edema serebral, namun pengaruhnya terhadap lambung adalah
terjadinya peningkatan ekskresi asam lambung yang menyebabkan
hiperasiditas. Selain itu juga hiperasiditas terjadi karena adanya peningkatan
pengeluaran katekolamin dalam menangani stress yang mempengaruhi
produksi asam lambung. Jika hiperasiditas ini tidak segera ditangani, akan
menyebabkan perdarahan lambung.
5. Sistem Muskuloskeletal
Akibat utama dari cedera otak berat dapat mempengaruhi gerakan
tubuh. Hemisfer atau hemiplegia dapat terjadi sebagai akibat dari kerusakan
pada area motorik otak. Selain itu, pasien dapat mempunyai control volunter

5
terhadap gerakan dalam menghadapi kesulitan perawatan diri dan kehidupan
sehari–hari yang berhubungan dengan postur, spastisitas atau kontraktur.
Gerakan volunter terjadi sebagai akibat dari hubungan sinapsis dari 2
kelompok neuron yang besar. Sel saraf pada kelompok pertama muncul pada
bagian posterior lobus frontalis yang disebut girus presentral atau “strip
motorik“. Di sini kedua bagian saraf itu bersinaps dengan kelompok neuron-
neuron motorik bawah yang berjalan dari batang otak atau medulla spinalis
atau otot-otot tertentu. Masing-masing dari kelompok neuron ini
mentransmisikan informasi tertentu pada gerakan. Sehingga pasien akan
menunjukan gejala khusus jika ada salah satu dari jaras neuron ini cedera.
Pada disfungsi hemisfer bilateral atau disfungsi pada tingkat batang
otak, terdapat kehilangan penghambatan serebral dari gerakan involunter.
Terdapat gangguan tonus otot dan penamilan postur abnormal, yang pada
saatnya dapat membuat komplikasi seperti peningkatan saptisitas dan
kontraktur.
C. Manifestasi Klinis
1. Cedera kepala ringan
a. Kebingungan, sakit kepala, rasa mengantuk yang abnormal dan sebagian
besar pasien mengalami penyembuhan total dalam jam atau hari
b. Pusing, kesulitan berkonsentrasi, pelupa, depresi, emosi, atau perasaannya
berkurang dan cemas,kesulitan belajar dan kesulitan bekerja.
2. Cedera kepala sedang
a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebingungan
bahkan koma
b. Gangguan kesadaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit
neurologik, perubahan tanda-tanda vital, gangguan penglihatan dan
pendengaran, disfungdi sensorik, kejang oto, sakit kepala, vertigo dan
gangguan pergerakan
(Smeltzer & Bare, 2015).
3. Cedera kepala berat
c. Amnesia dan tidak dapat lagi mengingat peristiwa sesaat sebelum dan
sesudah terjadinya penurunan kesehatan.
d. Pupil tidak ekual, pemeriksaan motorik tidak ekual, adanya cedera terbuka,
fraktur tengkorak dan penurunan neurologik

6
(Smeltzer & Bare, 2015).
D. Klasifikasi Cedera Kepala
Ada banyak istilah yang digunakan untuk menggunakan atau mengklasifikasikan pasien
dengan cidera kepala antara lain:  
1. Terbuka 
Cidera kepala terbuka berarti pasien mengalami lasersi kulit kepala seperti halnya
peluru menembus otak.
2. Tertutup 
Dapat disamakan pada pasien dengan gegar otak ringan dengan edema serebral yang
luas  bisa diakibatkan karena adanya benturan. Cedera kepala tertutup terdiri dari:
1. Kontusio  serebral : Merupakan gambaran area otak yang mengalami memar,
umumnya pada permukaan dan terdiri dari area hemoragi kecil-kecil yang tersebar
melalui substansi otak pada daerah tersebut, tanda gejalanya seperti defisit neurologis
vokal, edema serebral. Hal ini menimbulkan efek peningkatan TIK.
2. Hematoma Epidural : Merupakan suatu akumulasi darah pada ruang antara tulang
tengkorak bagian dalam dan lapisan meningen paling luar (durameter). Hematom ini
terjadi karena robekan arteri meningeal tengah dan arteri meningeal frontal. Kasus ini
biasanya berhubungan dengan fraktur tulang tengkorak.
3. Hematoma Subdural : Merupakan akumulasi darah dibawah lapisan meningeal
durameter dan diatas lapisan araknoid yang menutupi otak. Hal ini disebabkan karena
adanya robekan permukaan vena atau pengeluaran kumpulan darah vena (sinus).
4. Hematoma intrakranial : Merupakan pengumpulan darah 25ml atau lebih dalam
parenkim otak. Dari hasil radiologi sulit dibedakan antara kontusio otak dengan
perdarahan dalam substansi otak. Biasanya terjadi pada fraktur depresi tulang
tengkorak atau cedera penetrasi peluru.
Cedera kepala menurut Gaslow Coma Skala
1. Cedera kepala ringan : CGS : 13-15, Tidak ada konklusi, pasien dapat mengeluh nyeri
kepala dan pusing, pasien dapat menderita abrasi, laserasi atau hematoma kulit kepala.
2. Cedera kepala sedang : CGS : 9-12, konkusi, amnesia pasca trauma, muntah, tanda
fraktur tengkorak, kejang.
3. Cedera kepala berat : GCS : kurang atau samadengan 8, penurunan derajat kesadaran
secara progresif, Tanda neurologist fokal.
E. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang menurut (Smeltzer & Bare, 2015) adalah :

7
1. CT-Scan
Untuk melihat letak lesi dan adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek.
2. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Menggunakan medan magnetik kuat dan frekuensi radio. Bila bercampur
gelombang yang dipancarkan tubuh, akan menghasilkan citra MRI yang dapat
digunakan unutk mendiagnosis tumor, infark atau kelainan lain di pembuluh
darah.
3. Angiografi serebral
Untuk menunjukkan kelainan lain sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan
otak akibat edema, pendarahan trauma. Digunakan untuk mengidentifikasi dan
menentukan kelainan serebral vaskuler.
F. Komplikasi Cedera Kepala
Jika tidak ditangani dengan baik, penderita cedera kepala sedang hingga berat
sangat rentan mengalami komplikasi, baik sesaat setelah trauma atau beberapa
minggu setelahnya. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi menurut (Dash, H.
2018) :
1. Penurunan kesadaran
2. Vertigo
3. Kejang berulang atau epilepsi setelah trauma
4. Kerusakan saraf dan pembuluh darah
5. Stroke
6. Infeksi, seperti meningitis
7. Penyakit degenerasi otak, seperti demensia, penyakit Alzheimer, dan penyakit
Parkinson.
G. Pencegahan Cedera Kepala
Pencegahan cedera kepala dapat dilakukan dengan langkah-langkah menurut (Dash, H.
2018) adalah :
1. Menggunakan alat pengaman saat berolahraga.
2. Selalu menggunakan alat keselamatan, seperti helm atau pelindung kepala, jika
bekerja di lingkungan yang berisiko menimbulkan cedera kepala.
3. Memasang pegangan besi di kamar mandi dan di samping tangga untuk
mengurangi risiko terpeleset.
4. Memastikan lantai selalu kering dan tidak licin.
5. Memasang penerangan yang baik di seluruh bagian rumah.

8
6. Memeriksa kondisi mata secara rutin, terutama jika mengalami gejala gangguan
penglihatan, seperti buram atau penglihatan berbayang
Anak-anak juga rentan mengalami cedera kepala saat bermain. Berikut adalah
langkah-langkah yang dapat dilakukan orang tua untuk mencegahnya:
a. Mengunci pintu rumah saat tidak ada pengawas.
b. Memasang tralis jendela, khususnya jika Anda tinggal di rumah tingkat.
c. Meletakkan keset kering di depan pintu kamar mandi agar tidak terpeleset.
d. Mengawasi anak dan memastikan mereka bermain dengan aman

H. Penatalaksanaan
1. secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan stress berat kepala
ialah sebagai berikut: observasi 24 jam .
2. jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu. makanan atau
cairan, pada stress berat ringan bila muntah-muntah, hanya cairan infus
dextrosa 5 %, amnifusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya
kecelakaan), 2 - 3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
3. berikan terapi intravena bila ada indikasi. 
4. pada anak diistirahatkan atau tirah baring.
5. terapi obat-obatan. 
1) dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral,
takaran sesuai dengan berat ringanya trauma. 
2) terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi
vasodilatasi. 
3) pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20 % atau
glukosa 40 % atau gliserol 10 %. .
4) antibiotika yang mengandung barrier darah otak (p3enisillin) atau untuk
infeksi anaerob diberikan metronidasol. .
5) pada stress berat berat. lantaran hari-hari pertama didapat penderita
mengalami penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium
dan elektrolit maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak
cairan. dextosa 5 % 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua dan
dextrosa 5 % 8 jam ketiga. pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah
makanan diberikan melalui nasogastric tube (2500 - 3000 tktp). 
6. pembedahan bila ada indikasi.

9
(Smeltzer & Bare, 2015)

10
Gambar Cidera Kepala

11
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS

A. PENGKAJIAN
I. Identitas Klien

Nama klien, tempat/tanggal lahir, Dx medik, jenis kelamin, Status Kawin, agama,
pendidikan, alamat, tanggal masuk RS, dan Sumber Informasi
Identitas Keluarga Klien
Keluarga terdekat yang bisa dihubungi, nama pendidikan, pekerjaan dan alamat.
II. Keluhan utama

Biasanya pasien mengeluh nyeri pada luka infeksi dan biasanya bengkak.
III. Riwayat Kesehatan

a. Riwayat kesehatan sekarang

Menggambarkan perjalanan penyakit yang saat ini di alami pasien dan sejak kapan
merasakan keluhan.
b. Riwayat kesehatan dahulu

Menggambarkan apakah pasien dulunya pernah mengalami penyakir penyakit yang


sama atau penyakit lainnya. Penting dikaji untuk menetukan apakah pasien
mempunyai penyakit yang tidak melemahkan kemampuan untuk melawan infeksi
(misalnya diabetes mellitus
c. Riwayat kesehatan keluarga

Menggambarkan apakah ada salah satu dari anggota keluarga klien yang mengalami
riwayat penyakit sama atau penyakit lainnya seperti: DM, Hipertensi, Asma, TBC
dan lain-lain.

12
IV. Pemeriksaan fisik

1. Tanda-tanda vital

TD, N, S, RR
2. Pemeriksaan kepala

Inspeksi (I): biasanya bentuk kepala pasien simetris


Palpasi (P): biasanya tidak ada benjolan
3. Pemeriksaan mata

Inspeksi (I): biasanya konjunctiva anemis, sklera bewarna putih


4. Telinga

Inspeksi (I): biasanya bersih, sekret tidak ada


Tes bising (pendengaran) masih dalam keadaan normal
5. Hidung

Inspeksi (I): mulut bersih, keadaan gigi lengkap, tidak ada karies gigi
Palpasi (P): tidak ada masalah
6. Mulut dan tenggorokan

Inspeksi (I): mulut bersih, keadaan gigi lengkap, tidak ada karies gigi
Palpasi (P): tidak ada masalah
7. Leher

Inspeksi (I): simetris kiri dan kanan


Palpasi (P): tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
8. Thorak

Inspeksi (I): Biasanya dada berbentuk simetris


Pola nafas : Tidak ada masa
Perkusi : biasanya tidak ada edema
Auskultasi : tidak ada masalah
9. Paru

13
Inspeksi (I): biasanya pernafasan meningkat
Palpasi (P): pergerakan simetris
Perkusi (P): suara sonor, tidak ada redup
Auskultasi (A): suara nafas normal tidak ada wheezing atau suara tambahan
10. Jantung

Inspeksi (I): tidak tampak ictus jantung


Palpasi (P): nada meningkat, iktus tidak teraba
Auskultasi (A): Suara I dan II tunggal
11. Abdomen

Inspeksi (I): bentuk simetris dan datar


Palpasi (P): tugor baik
Perkusi (P): tidak ada nyeri tekan
Auskultasi (A): tidak ada bising usus biasanya normal ± 20kali/menit
12. Genetalia

Tidak ada pembesaran lymphe dan kesulitan BAB


13. Kulit

Biasanya pada selulitis kulit bermasalah dan bernanah


14. Ekstermitas

Inspeksi (I): adanya luka pada ekstermitas, kekuatan otot +/+


Palpasi (P): ada masalah
V. Pola nutrisi

Menggambarkan asupan nutrisi, ketidakseimbangan cairan elektrolit, kebiasaan makan,


frekuensi, nafsu makan dan pola makan.
VI. Pola eliminasi

Menggambarkan pola eliminasi klien yang terdiri dari frekuensi, warna, konsentrasi, dan
bau.
VII. Pola tidur dan istirahat

14
Menggambarkan penggunaan waktu tidur dan waktu senggang, lama tidur, kebiasaan
tidur serta kesulitan tidur
VIII. Pola aktivitas dan latihan

Menggambarkan kegiatan dalam pekerjaan, olahraga, dan kegiatan di waktu luang


IX. Pola bekerja

Menggambarkan jenis pekerjaan, lama pekerjaan, dan jumlah jam kerja


X. Aspek psikologis

Menggambarkan pola pikir dan persepsi, persepsi dalam hubungan/komunikasi kebiasaan


seksual dan spiritual
XI. Informasi penunjang

Menggambarkan diagnosa medik, terapi pengobatan, dan pemeriksaan laboratorium,


rontgen, EKG, USG dan CT Scan.

15
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko perdarahan b.d trauma, riwayat jatuh
2. Pola nafas tidak efektif b.d hambatan upaya napas
3. Resiko perdarahan b.d trauma atau Riwayat jatuh
4. Resiko infeksi b.d kerusakan integritas kulit
5. Nyeri ajut berhubungan b.d agen cedera fisiologis (cedera kepala)
6. Resiko perfusi serebral tidak efektif b.d cedera kepala
7. Resiko ketidak seimbangan cairan b.d trauma /perdarahan
INTERVENSI
N Diagnosa Keperawatan SLKI SIKI
o
1. Pola nafas tidak efektif Pola Napas Pemantauan Respirasi
Penyebab :  Ventilasi semenit  Monitor frekuensi, irama,
 Depresi pusat  Kapasitas vital kedalaman dan upaya napas
Pernapasan  Diameter thorak  Monitor pola napas
 Hambatan upaya anterior posterior  Monitor kemempuan batuk
napas  Tekanan ekspirasi efektif
 Deformitas dinding  Tekanan inspirasi  Monitor produksi sputum
dada  Monitor sumbatan jalan
 Tidak Dyspnea
 Deformitas tulang napas
 Penggunaan otot
dada  Palpasi kesimetrisan
 Gangguan ekspansi paru
bantu napas
neuromuscular  Auskultasi bunyi napas
 Pemanjangan
 Gangguan neurologis  Monitor saturasi oksigen
ekspirasi
 Imaturitas neurologis  Monitor nilai AGD
 Tidak Ortopnea
 Penurunan energy  Monitor foto thorax
 Pernapasan pursed lip
 Obesitas  Atur interval pemantauan
 Pernapasan cuping
 Posisi tubuh hidung respirasi sesuai kondisi
menghambat ekspansi pasien
paru  Frekuensi napas normal
 Kedalaman napas  Dokumentasikan hasil
 Sindrom hipoventilasi pemantauan
normal Ekskursi dada
 Kerusakan inervasi  Jelaskan tujuan dan prosedur
diafragma pemantauan
 Cedera pada  Informasikan hasil
medulla spinalis pemantauan
 Efek agen
farmakologi
 Kecemasan

16
Gejala mayor
Subjektif :
dyspnea
Objektif
 Penggunaan otot bantu
pernapasan
 Fase ekspirasi
memanjang
 Pola napas
abnormal Gejala
minor
Subjektif :
ortopnea
Objektif
 Pernapasan pursed lip
 Pernapasan cuping
hidung
 Diameter thorak
anterior posterior
meningkat
 Ventilasi
semenit menurun
 Kapasitas vital
menurun
 Tekanan
ekspirasi menurun
 Tekanan
 inspirasi menurun
 Ekskursi dad
berubah
2. Resiko perdarahan b/d Setelah diberikan asuhan Pencegahan perdarahan
keperawatan selama 1. Observasi
trauma, riwayat jatuh a. Monitor tanda dan gejala
1x24 jam diharapkan
Faktor Risiko: perdarahan
Tingkat perdarahan
 Aneurisma b. Monitor nilai
menurun dengan kriteria hematokrit/hrmoglobin
 Gangguan
hasil : sebelum
gastrointestinal
 Kelembapan membarane dan setelah kehilangan darah
 Gangguan fungsi hati mukosa meningkat
(mis. Sirosis hepatis)  Kelembapan kulit c. Monitor tanda-tanda vital
 Komplikasi ortostatik
meningkat d. Monitor koagulasi (mis.
kehamilan (mis.  Kognitif meningkat
 Gangguan koagulasi Prothrombin time,
 Hemoptisis menurun

17
 Efek agen  Hematemesis menurun fibrinogen, degradasi fibrin)
farmakologis  Hematuri menurun 2. Terapeutik
 Tindakan  Perdarahan anus menurun  Pertahankan bed rest selama
pembedahan  Distensi abdomen perdarahan
 Trauma menurun  Batasi tindakan invasif, jika
 Kurang terpapar  Perdarahan vagina perlu
informasi tentang menurun  Gunkan kasur pencegah
pencegahan  Perdarahan pasca operasi dekubitus
perdarahan  Hindari pengukuran suhu
menurun
 Proses keganasan rektal
 Hemoglobin membaik
 Hematokrit membaik 
 Tekanan darah membaik 3. Edukasi

 Jelaskan tanda dan gejala


perdarahan
 Anjurkan menggunakan kaus
kaki saat ambulasi
 Anjurkan meningkatkan
asupan cairan untuk
menghindari konstipasi
 Anjurkan
menghindari aspirin atau
Antikoagulan
 Anjurkan meningkatkan
makanan dan vitamin K
 Anjurkan segera lapor segera
jika terjadi perdarahan
4. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian obat
pengontrol perdarahan, jika
perlu
 Kolaborasi pemberian
produk darah, jika perlu
 Kolaborasi pemberian
pelunak tinja, jika perlu

Perawatan area insisi


1. Observasi

 Perisa lokasi insisi


adanya kemerahan
bengkak atau tanda-tanda
dehisen atau eviserasi
 Monitor penyembuhan area
insisi
 Monitor tanda dan gejaka-

18
gejala infeksi
Terapeutik
 Bersihkan area insisi
dengan pembersihan yang
tepat
 Usa p area insisi dari
area yang bersih
 menuju area yang kurang
bersih.
 Berikan salep asepti, jika
perlu
4. Edukasi
 Ajarkan meminimalkan
penekanan pada
 area insisi
Ajarkan cara merawat area
insisi.

3. Risiko Infeksi : SLKI: SIKI:


 Penyakit Kronis Tingkat Infeksi
(mis. Diabetes Kriteria Hasil: Pencegahan Infeksi
mellitus)  Monitor tanda dan gejala
 Efek prosedur invasif  Tidak ada demam infeksi local dan sistemik
 Malnutrisi (36.5- 37oC)  Batasi jumlah pengunjung
 Peningkatan  Tidak ada kemerahan  Berikan perawatan kulit pada
paparan  Tidak ada nyeri area edema
organisme  Vesikel normal  Cuci tangan sebelum dan
pathogen  Tidak ada letargi sesudah kontak dengan
lingkungan  Tidak ada cairan pasien dan lingkungan
 Ketidakadekuatan berbau busuk pasien
pertahanan tubuh  Tidak ada  Pertahanakan teknik
primer: sputum aseptic pada pasien
 Gangguan peristaltic berwarna berisiko tinggi
hijau  Jelaskan tanda dan gejala
 Kerusakan integritas kulit infeksi
 Tidak ada piuria
 Perubahan sekresi pH  Tidak mengalami  Ajarkan cara mencuci tangan
 Penurunan kerja siliaris malaise dengan benar
 Ketuban pecah lama  Tidak menggigil  Ajarkan etika batuk
Ketuban pecah sebelumnya  Tidak ada letargi  Ajarkan cara memeriksa
 Merokok kondisi luka atau luka
 Tidak mengalami
 Statis cairan tubuh gangguan kognitif operasi
 Ketidakadekuatan  Kadar sel darah putih  Anjurkan meningkatkan asupan
pertahanan tubuh sekunder normal (9000-30000 nutrisi

19
 Penurunan hemoglobin sel/mm)  Anjurkan meningkatkan asupan
 Imununosupresi cairan
 Leukopenia  Kolaborasi pemberian
 Supresi respon inflamasi imunisasi jika perlu
 Vaksinasi tidak adekuat
4. nyeri akut berhubungan LIKI SIKI
dengan Agen cedera fisiologis Setelah dilakukan asuhan Manajemen nyeri
(cedara kepala bagian keperawatan selama 2 x 24 Observasi
 Identifikasi lokasi,
belakang). jam diharapkan nyeri pada karakteristik, durasi,
pasien berkurang dengan frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri
kriteria hasil : Tingkat  Identifikasi skala nyeri
Nyeri  Identifikasi respon nyeri
 Nyeri berkurang dengan nonverbal
skala 2  Identifikasi factor yang
 Pasien tidak mengeluh memperingan
nyeri  dan memperberat nyeri
 Identifikasi pengetahuan
 Pasien tampak tenang dan keyakinan
Kontrol Nyeri  tentang nyeri
 Melaporkan bahwa  kualitas hidup pasien
nyeri berkurang  Monitor efek samping
penggunaan
 dengan menggunakan
 Terapeutik
manajemen nyeri
 Fasilitasi istirahat tidur
Mampu mengenali nyeri
 Kontrol lingkungan yang
(skala,
memperberat
 intensitas, frekuensi dan
 nyeri ( missal:
tanda nyeri)
suhu ruangan,
Status Kenyamanan pencahayaan
dan
 Menyatakan rasa
kebisingan).
nyaman setelah nyeri
 Beri teknik non
berkurang
farmakologis untuk
meredakan nyeri
(aromaterapi, terapi pijat,
hypnosis, biofeedback,
teknik imajinasi
terbimbimbing, teknik tarik
napas dalam dan kompres
hangat/ dingin)
Edukasi
 Jelaskan penyebab,

20
periode dan pemicu nyeri
 Jelaskan strategi meredakan
nyeri
 Anjurkan menggunakan
analgetik secaraTepat
 Anjurkan monitor nyeri
secara mandiri
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu

5. Resiko perfusi serebral tidakSLKI : SIKI : Pemantauan Respirasi


1. Observasi
efektif berhubungan dengan Setelah dilakukan asuhan a. Monitor tanda dan gejala
keperawatan selama 2 x 24
cedera kepala jam diharapkan perfusi perdarahan
b. Monitor tanda vital
serebral tidak efektif c. Memonitor TIK
menurun dengan kriteria d. Memonitor pernapasan
hasil :
 Tekanan intracranial dan setelah kehilangan darah
tidak ada deviasi dari a. Monitor tanda-tanda vital
kisaran normal ortostatik
 Muntah tidak ada b. Monitor MAP
 Penurunan tingkat 2. Terapeutik
kesadaran tidak ada  Minimalkan stimulus
dengan menyediakan
lingkungan yang tenang
 Hindari menuver
Valsava
 Hindari penggunaan
PEEP
 Hindari pemberian
cairan IV hipotonik
 Pertahankan suhu tubuh
normal

Edukasi
 Jelaskan tanda dan gejala
perdarahan
 Anjurkan menggunakan
kaus kaki saat
 Anjurkan meningkatkan
makanan dan vitamin
 Anjurkan segera lapor segera
jika terjadi perdarahan
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian sedasi
dan inti konvulsan, jika perlu

21
 Pemberian diuretik osmosis,
jika perlu
 Kolaborasi pelunak tinja,
jika perlu
Observasi
 Indentifikasi penyebab
ketergantunag dan
penyalahan zat
 Periksa tanda dan gejala
intoksikasi
3. Terapeutik
 Bersihkanarea
insisi dengan
pembersihan yang tepat
 Usap area insisi dari
area yang bersih
4. Edukasi
 Ajarkan pemberian obat
inhalasi
 Ajarkan cara merawat area
insisi.

6. Risiko Ketidak seimbangan Setelah dilakukan Manajemen cairan


Cairan:Berisiko intervensi keperawatan  Monitor status hidrasi
selama 1 x 24 jam maka (mis, frekuensi nadi,
mengalami penurunan, keseimbangan cairan kekuatan nadi, akral,
peningkatan, atau meningkat dengan kriteria pengisian kapiler,
percepatan perpindahan hasil: kelembaban mukosa,
cairan dari intravaskuler,  Asupan cairan turgor kulit, tekanan
interstisial atau meningkat darah)
intravaskuler  Haluaran urin  Monitor berat badan harian
Faktor Risiko meningkat  Monitor berat badan
 Prosedur pembedahan  Keseimbangan sebelum dan
mayor membran mukosa sesudah dialisis
 Trauma/ perdarahan  Asupan makanan  Monitor hasil pemeriksaan
 Luka bakar meningkat laboratorium (mis,
 Aferesis  Tidak terjadi Edema hematokrit, Na, K, Cl,
 Asites  Tidak ada Dehidrasi berat jenis urine, BUN)
 Obstruksi intestinal  Tekanan darah normal  Monitor status
 Peradangan pankreas  Denyut nadi radial hemodinamik (mis,
 Penyakit ginjal dan normal MAP, CVP, PAP, PCWP
kelenjar  Tekanan arteri rata-rata jika tersedia)
 Disfungsi intestinal  Membran mukosa Terapeutik
lembab  Catat intake output dan
Kondisi Klinis Terkait  Mata tidak cekung hitung balans cairan 24
 Prosedur pembedahan  Turgor kulit < 2 detik jam
 Berikan asupan cairan,

22
mayor  Berat badan meningkat sesuai kebutuhan
 Penyakit ginjal dan  Berikan cairan intravena,
kelenjar jika perlu
 Perdarahan Kolaborasi
 Luka bakar Kolaborasi pemberian diuretik,
jika perlu
Pemantauan cairan observasi
 Monior frekuensi dan
kekuatan nadi
 Monitor frekuensi napas
 Monitor tekanan darah
 Monitor berat badan
 Monitor waktu pengisian
kapiler
 Monitor elastisitas turgor kulit
 Monitor jumlah, warna
dan berat jenis urine
 Monitor kadar albumin dan
protein total
 Monitor pemeriksaan serum
(mis, osmolaritas serum,
hematokrit, natrium, kalium,
BUN)
 Monitor intake dan output
cairan
 Identifikasi tanda- tanda
hipovolemia (mis,
frekuensi nadi meningkat,
nadi teraba lemah, tekanan
darah menurun, tekanan
nadi menyempit, turgor
kulit menurun, membran
mukosa kering, volume
urine menurun, hematokrit
meningkat, haus, lemah,
konsentrasi urine
meningkat, berat badan
menurun dalam waktu
singkat)
 Identifikasi tanda- tanda
hipervolemia (mis, dispnea,
edema perifer, edema
anasarka, JVP menigkat,
CVP menigkat, refleks
hepatojugular positif, berat
badan menurun dalam waktu

23
singkat)
 Identifikasi faktor risiko
ketidakseimbangan cairan
(mis, prosedur pembedahan
mayor, trauma/perdarahan,
luka bakar, aferesis, obstruksi
intestinal, peradangan
pankreas, penyakit ginjal dan
kelenjar,

BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat di simpulkan bahwa Cedera kepala (trauma capitis)
adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang
mengakibatkan Luka di kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak,
dan kerusakan jaringa otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis.

B. Saran
Semoga para yang membaca laporan pendahuluan ini bisa menjadikan pedoman
dalam pembuatan laporan pendahuluan dan saya juga menyadari masih banyak
kekurangan dalam laporan pendauluan ini maka dari itu saya menerima saran yang
mendukung untuk pembuatan laporan pendahuluan selanjutnya.

24

Anda mungkin juga menyukai