menerobos celah-celah bumi. Bagi mereka yang penyuka sunrise pasti sudah mengabadikan momen melihat matahari terbit. Tetapi enggan untuk Alfa, dia lebih senang berbaring ditempat tidur memeluk mimpi yang menurutnya lebih indah daripada dunia nyata.
Sudah mau menginjak waktu 2
tahun Alfa Kalisi Zulkarnain tidak bersekolah. Hari- harinya hanya dipenuhi dengan tugas online yang dikatakan PJJ atau daring (pelajaran jarak jauh). Rasa bosan terus menerus menggelayuti pikirannya.
**""*"
"Bangunlah Bung, Tidurmu sudah
terlalu panjang, bahkan mimpimu sudah tidak beraturan, waktu sudah hampir pagi.
Lihat tubuhmu yang muda dan
kuat, hanya jadi bangkai yang bernapas."
Suara itu tidak lain adalah suara
Nayanika Hakiki Rahayu atau yang biasa dipanggil dengan sebutan Kiki. (adik perempuan Alfa). Suara yang lirih tapi dengan kalimat yang sangat mengena. Alfa hanya menatap jengah adiknya itu. "Orang lain pada sibuk menyiapkan awal pagi mereka, sedangkan Mas Alfa hanya sibuk mendengkur." Celoteh Kiki
"Dengan mendengkur pun bisa
menghasilkan mimpi." Jawabku sekenanya
"Iya betul. Tetapi mimpinya tidak
beraturan." Sewot Kiki yang tau kalah.
Adikku yang satu ini emang
paling bijak jika mengenai definisi kehidupan. Kalau saja usianya sudah menginjak 17 tahun sepertiku mungkin dia sudah jadi jurnalis yang pandai berdebat. Namun, dengan usia yang masih 12 tahun ini dia mampu menyertak kakaknya dengan kata-kata yang sulit untuk dipahami.
"Mama tadi nyuruh Mas untuk
lihat papan poster di pos ronda kompleks rumah kita. Katanya sih tentang untuk anak-anak yang belajar jarak jauh." Ucapnya begitu sampai inti.
Setelah mendengarkan pernyataan
Kiki aku dengan sigap mengambil gadget ku guna mencari informasi yang terkandung di pos ronda kompleks rumahku. Baru saja aku ingin mengetik, Kiki menghentikan. "Poster itu tidak disebarluaskan dimedia sosial, dan bagi yang mengunggahnya maka akan dikenakan sanksi kata pemilik poster tersebut." Setelah berucap Kiki langsung meninggalkan kamar kakaknya.
Aku hanya bisa memaklumi
kedewasaan adikku yang sebelum waktunya itu Pukul 10.00 WIB artinya pagi sudah mau memasuki waktu siang, matahari juga sudah memancarkan sinar panasnya. Alfa mematuhi perintah ibunya untuk mencari informasi melalui poster yang ada di pos ronda kompleksnya.
Ia tak heran jika disepanjang
jalan tak menemukan seorang pun yang berlalu lalang. Virus covid 19 yang telah membuat orang- orang jaga jarak juga menghindari kerumunan itu sudah diterapkan sejak 5 bulan yang lalu. Termasuk juga untuk Alfa, sebelum ia pergi selalu menyiapkan masker guna mencegah terpaparnya virus itu.
Alfa sudah sangat hafal
dengan sikap adiknya (Kiki), dia sengaja mengkambinghitamkan ibunya guna agar Alfa mencari udara sejuk. Kiki pasti sudah melihat poster itu, namun enggan memberitahunya. Kiki itu pasti bersengaja agar kakaknya mencari tahu sendiri.
Dan sampailah Alfa di pos
ronda yang diceritakan adiknya itu. Disana terdapat poster yang berisikan cara untuk menjadi pandai walaupun tidak bersekolah. Matanya berbinar kala menemukan hal yang paling disukainya dalam poster tersebut. "Untuk mengurangi kejenuhan dirumah, kami adakan lomba menulis surat gubernur untuk tingkat SMA sederajat. Bertema bebas."
Alfa sangat berterimakasih
kepada Kiki. Meski terkadang menjengkelkan tetapi dia tahu cara menyenangkan orang lain walaupun caranya sedikit salah.
Setelah pulang dari berkeliling, Al
tidak langsung kembali kerumahnya. Dia singgah sejenak di sekolahnya. Tempat yang paling ia rindukan, sejuta kenangan yang belum usai disana. Al terhenyak dalam lamunannya.
"Dooorrrr."
Suara itu mengagetkan Alfa, dan
seketika lamunannya sirna. Dan yang mengejutkan Alfa itu adalah Bumi.
"Eh kamu toh, Mi. Mengejutkan
ku saja."
Ucap Alfa yang masih
menstabilkan detak jantungnya.
"Hehehe. Habisnya kamu aku
perhatikan bengong melulu."
Tandasnya. "Bukan bengong sih tapi lebih tepatnya rindu sama sekolah kita."
Alfa menghela nafas berat.
Bukan hanya Alfa yang rindu akan
suasana sekolah, Namun bagi Arya Bumi Bagaskara sekolah bukan hanya tempat menimba ilmu tetapi juga sebagai sarana pembentukan karakter diri.
"Oh ya, kamu ikut berpartisipasi
tidak dalam ajang lomba menulis??"
Bumi sengaja menanyakan itu
agar keduanya tidak dalam keheningan semata.
"Pastinya mengikuti. Kamu juga
berpartisipasi?"
Tanya Alfa yang bersemangat
ketika menyangkut masalah cuplikan-cuplikan pendek.
"Tentunya. Aku akan membuat
kalimat yang semenarik mungkin agar bisa dibaca minimal sampai ke tangan gubernur kita."
Ucap Bumi mendeklarasikan
pemikirannya. "Bagus tuh. Ini hari sudah mau petang. Aku pulang dulu."
memandangi langit senja, berharap akan ada harapan baru untuk sebuah esok.
"Saya sangat paham akan
dewasanya seseorang.
Diantara kalian pasti ada yang
terpengaruhi akan gaji.
Iya, seperti pepatah mengatakan;
tangan jika sudah digaji kerjanya serius, kaki kalau sudah digaji kinerjanya bagus, lidah jika sudah digaji bicaranya pun halus.
Namun, bukan untuk itu saya
bersuara disini.
Meski hanya berlandaskan kertas
pun dengan tinta hitam.
Dengarlah ini wahai orang yang
memiliki jabatan, dengarlah suara hati bocah 17 tahun ini.
Kami butuh pendidikan, sekolah
dan jalinan pertemanan.
Kalian tidak akan mengerti
bagaimana rasanya belajar tanpa guru secara langsung. Kami lelah, sangat begitu lelah.
Tidakkah kalian mengerti
penderitaan kami dirumah.
Jangan menjadi egois, kalian
digaji sesuai nominasi yang tertera. Tapi apalah kami.
Kalian mengatakan; Jadilah anak
negeri yang dengan sejuta prestasi. Anak negri yang cerdas dan kreatif.
Tapi apa pada kenyataannya;
kalian jauhkan kami dari pendidikan yang sebenarnya, pemahaman kami tak dapat. Canggihnya teknologi tak menjadikan kami semua cerdas."
(By : Alfa Kalisi
Zulkarnain).
Alfa hanya tersenyum puas
melihat hasil deklarasinya yang epic dan tidak terlalu formal. Ia berharap semoga ini bisa membawa perubahan terhadap pendidikan bagi semua orang.
"Ini bukan tentang deklarasi,
Namun suara hati kami.
Kami yang masih mengenyam
pendidikan harus pupus bukan karena adanya kesukaran, Tapi hanya karena dampak si kecil Corona. Apakah kalian tahu wahai orang dewasa, orang yang pandai akan ilmu, luas akan pemikiran.
Mau menjadi apa kami, mau
seperti apa kami nantinya tanpa sekolah.
Sekolah yang tanpa tatap, hanya
berlandaskan kemajuan teknologi, minim akan menyerapan ilmu.
Katakanlah orang dewasa mau
menjadi seperti apa kami ini ??
Semuanya berjalan layaknya air
yang mengalir, Namun mengapa tidak dengan pendidikan kami.
Tolong jangan egois. Kami butuh
ilmu dari guru kami, bukan tugas daring yang tiada henti."
(By : Arya Bumi
Bagaskara).
Bumi sengaja mendeklarasikan
seperti yang tertera di kertas putihnya. Setelah musim gugur ia berharap akan ada musim semi begitu pula fikirnya untuk sebuah pendidikan. Ia tidak egois, meski bumi tergolong siswa yang pandai. Namun, ia juga faham akan penderitaan mereka yang kurang akan ilmu pengetahuan dan pendidikan.
Setelah Alfa menyelesaikan
deklarasinya itu, dia langsung pergi bergegas menuju ke kantor pos. Dia tidak mengharapkan supaya dia yang memenangkan lomba menulis itu.
"Lhu Alfa sudah sampai dahulu
disini?"
Ucap Bumi yang baru saja
mengirim suratnya di kantor pos.
"Iya donk. Semakin cepat semakin
lebih baik."
Jawab Alfa dengan senyum
menawannya.
"Menurutmu siapa yang akan
menang?"
Tanya Bumi yang mengalihkan
pembicaraan menuju lebih menarik.
"Siapapun yang menang itu
tidaklah begitu penting. Tapi setidaknya deklarasi kita ada yang mau membaca meski hanya sebatas deklarasi tersirat."
Alfa membalasnya.
"Bener itu. Mungkin memang
kritik dan hujatan kita tidak didengar. Tapi setidaknya kita memberi tahu kepada semesta, bahwa kita bukan bagian dari mereka." Ucap Bumi yang menggelorakan kalimatnya.
"Yasudah mari pulang. Berharap
saja pada esok waktu."
Tandas Alfa
Kiki yang melihat Alfa baru
kembali langsung menanyakan sesuatu yang membuatnya penasaran.
"Mas Al habis pergi kemana?"
Tanyanya ketika melihat Alfa
"Kepo."
Jawab Alfa dengan senyum
jahilnya.
"Orang nanya serius malah
dijawab asal"
Ucap Kiki dengan kesalnya.
"Bukan urusanmu. Anak kecil dan
pengangguran seperti mu hanya boleh bermain boneka dan menonton TV saja."
Alfa sengaja meledek adiknya
membuat suasana hatinya lebih terasa seru. "Pengangguran itu hanya diperuntukkan bagi mereka yang sudah lulus SMA namun tidak bekerja atau membangun usaha."
Lagi dan lagi Kiki menyertak
kakaknya hingga Alfa terbungkam tak dapat menjawab.
"Tuh makanya jangan meledek
adikmu. Kena batunya kan."
Mama Alfa menertawai kedua
polah anak-anaknya itu.
"Mama dulu mengidam apa sih?
Kok aku bisa punya adik yang tumbuh dewasa sebelum waktunya itu???"
Alfa menjadi sewot
"Pastinya Mama gak ngidam
pengen makan Ayam Sambal Padang. Karena dulu susah mendapatkan ayam hasilnya jadi ileran kayak Mas Al."
Kiki berhasil meledek kakaknya
Alfa yang merasa terpojok itu
hanya bisa mendengus kesal. "Sudah tidur mendengkur ileran pula."
Kiki semakin gencar meledek
kakaknya. Ia lantas berlari menuju kamar nya, kala melihat Alfa geram dan ingin memukulnya tetapi Kiki berhasil menghindar sambil tertawa girang Alfa terus saja berlari mengejar adiknya itu. Ibu mereka hanya bisa tersenyum geli sambil menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah kedua anak-anak nya seperti tikus dan kucing yang tak pernah akur.
Di siang hari yang panas, berteduh
di bawah pohon rindang memanglah paling menyejukkan. Apalagi ditambah dengan seteko air dingin beserta camilan kue kering. Membuat Alfa dan Kiki menikmati masa bersantai selama Pandemi Corona. Mereka memenangkan sejenak pikiran di samping halaman rumah.
" Al, tadi ada kawanmu yang
mencarimu. Ada di depan pintu gerbang."
Mama Alfa memberitahu tahu
karena ada teman anaknya yang ingin menemui Alfa. Al yang masih berbaring santai di halaman rumah lekas pergi menemui tamunya.
Dan siapa yang datang, tak lain
dan tak bukan adalah Arya Bumi Bagaskara, alias Bumi. "Ada apa Bum, ayo duduk di teras aja."
Ajak Alfa mempersilahkan
tamunya yang berada didepan gerbang pintu rumah.
"Gak usah ah. Aku juga tidak
berlama-lama. Aku hanya ingin menyampaikan amanah."
Ucap Bumi seraya menyerahkan
sekotak seperti kado. Dengan sigap Alfa menerimanya dengan ramah.
"Ini bingkisan untuk pemenang
pertama karya deklarasi tersirat mu."
Teras Bumi.
Alfa hanya mengangguk mengerti.
"Yasudah aku mau pulang."
Pamit Bumi seraya pergi
meninggalkan rumah Alfa.
Alfa hanya dapat bersyukur pada
Tuhan Yang Maha Esa, karena telah diberikan kesempatan untuk menyumbangkan suara hatinya melalui deklarasi tersirat. Meski hanya tersirat setidaknya ada yang membaca isi dari tulisannya itu... ...........TAMAT..........