Anda di halaman 1dari 5

Prolog

Allah Yang Esa, hanya disembah;


Pada-Nya sarwa sujud terkalah,
Musuh-Nya hancur, sial dan tulah,
Sinar-Nya terang, kurnia-Nya curah.

Milik-Mu, Tuhan, suria dan bulan,


Fana-Mu tiada, lemah-Mu bukan;
Hanya dari-Mu selurus jalan,
Tali bahgia polan bin polan.

Arasy dan Kursi gagah genggam-Mu,


Adam disaksi dengan tanggam-Mu,
Segenap paksi rapi benam-Mu,
Punahlah sangsi dalam hikam-Mu.

Menebar laut, menghampar darat,


Dalam tahu-Mu surat dan sirat,
Suasa tawhid-Mu tiada kan karat,
Harapan insan saat sekarat.

Tujuh petala tiada tonggak,


Memayung takzim gemunung pasak,
Allāh Yang Esa, tiada termusytak,
Jawapan kami di lahad kelak.

Semesta waham dan takbur walau,


Nan Mahatinggi, Pencipta, Engkau,
Basah bertasbih ganang dan bukau,
Iblis digila syaitan disasau.

Tiada kan Kausiakan kami,


Meskipun hancur dimamah bumi,
Segala bakti seluruh demi,
Tiada Kaubiar tanpa bersemi.

Seseni tubuh pun kan Kaucantum,


Debar kiamat mula berdentum,
Setengah wajah puspa menguntum,
Purnama girang, setanggi harum.

Hinalah, duhai,
insan dan leta,
Daif, binasa, hamba dan beta,
Engkaulah Raja takhta dan geta,
Hari dibongkar semua sengketa.

Pencipta insan!
hanya pada-Mu,
Hatiku nyaman, dipuput salju,
Dunia haloba, rawan dan sendu,
Begitu liar memusnahkanku.

Ampunlah raung leta nistawan,


Sedari silam mengusung rawan;
Bisa nestapa yang tak terlawan,
Sepergi jantung dipanggil awan.

Ampunlah murka yang t’lah kuhunus,


Tekad yang punah, asa yang putus;
Hati nan nazak, limpa nan hangus,
Insan nan kafūr, insan nan ya’ūs.

Tuhan, mengapa hamba dibentuk?


Umur yang lapang atau yang suntuk,
Disanjung orang atau dikutuk,
Tiada pernah kuminta tunjuk.

Kukenang lumpur Adam dan Hawa,


Selut pembuka tangis dan tawa,
Arasy di sana, syurga menghawa;
Pesisir insan mula sendawa.

Ingin kutanya : “Lumpur hai selut,


Adakah rahsia di alam lāhūt,
Dicatat qalam atau disebut;
Kasihku tidak diambil maut?”

Tuhanku, duhai Yang Mahatahu,


S’telah malaikat bungkam membatu,
;
Kasihku tidak diambil maut?”

Zulmat gelita Kulim serata,


Tengkujuh ratap berdukacita,
Sesal di kalbu sesak gempita;
Guruh kenangan antara kita.

Semilir fajar berpuput lagi,


Unggas tertawa puspa pelangi,
Nian firdausi di kala pagi,
Benderang bumi ria berbagi.

Kerambil tinggi
mula bergoyang,
Buahnya jatuh ke ladang orang,
Tempurung ada di tepi longkang,
Tupai gemirang menyambut siang.

Aci bertanam
apek membubu,
Bermula hidup hilir dan hulu,
Namun kasmaran menahan rindu,
Bahgia bumi yang tak terbagi.

Gohong di tanah suram dan sukar,


Sesak nafasku s’telah terdengar;
Namun salah nan jijik dan besar,
Tetap melakar rentung dan ular.

“Apalah isi di
bawah sana?”
Angan s’orang yang masih bernyawa;
“Apalah gambar apalah rupa?
Sengeri ini, Tuhan, kenapa?”

Segersang hamba apalah kudrat,


Untuk menjawab untuk selamat;
Bangkitlah pula k’pada akhirat,
Dibaca ‘kitab baik dan jahat’.
Batin penyairsunyinya sering,
Paginya suram malamnya gering;
Gurindam silam dengarnya nyaring,
Sengeri ini, Tuhan, kenapa?”

Ampunlah noda hamba durjana,


Jauh disampuk dunia yang fana;
Hingga terjunam ke gaung hina:
Retak wajahnya sial merana.

Batin didera taring nestapa,


Pedih lukanya tersiat jua;
Perit kutahan apakan daya,
Selain tangis pekat gelita

Di dalam lahad teramat ngeri


Gentarnya duhai tiada terperi
Hanya bertatih seorang diri
Mengemis doa anak dan istri

Anda mungkin juga menyukai