Anda di halaman 1dari 11

A.

Konsep Kebutuhan Dasar Manusia


1. Pengertian Istirahat
Istirahat merupakan kondisi tubuh tenang, relaks dan tidak ada tekanan
emosional ataupun rasa gelisah. Keadaan isitirahat juga dapat diartikan
berhenti sebentar melakukan sesuatu untuk melepas lelah, bersantai dan
menyegarkan diri, ataupun terlepas dengan keadaan yang membosankan dan
menyulitkan. (Kasiati & Rosmalawati, 2016).
2. Pengertian Tidur
Tidur adalah keadaan dimana seseorang tidak sadar dan dapat bangun
dengan diberikan stimulus ataupun ransangan ataupun dapat dikatakan
sebagai keadaan tidak sadarkan diri yang relatif. (Kasiati & Rosmalawati,
2016)
3. Faktor yang Mempengaruhi Kuantitas dan Kualitas Tidur
a. Penyakit
b. Lingkungan
c. Latihan dan Kelelahan
d. Gaya Hidup
e. Stress Emosional
f. Stimulant dan Alkohol
g. Diet
h. Merokok. (Kasiati & Rosmalawati, 2016)
4. Gangguan Tidur yang Umum Terjadi
a. Insomnia
Insomnia adalah kebutuhan tidur yang tidak cukup secara kualitas
maupun kuantitas. Gangguan ini disebabkan oleh gannguan secara fisik
ataupun faktor mental.
b. Parasomnia
Parasomnia adalah perilaku yang dapat mengganggu tidur. Beberapa
perilaku yang termasuk dalam parasomnia misalnya, tidur berjalan,
mengigau dan mimpi buruk.
c. Hipersomnia
Hipersomnia merupakan kebalikan dari insomnia, dimana seseorang
mengalami kelebihan tidur terutamaan saat siang hari. Gangguan ini
biasanya disebabkan seperti kerusakan saraf yang menyebabkan periode
tidur REM terganggu.
d. Narkolepsi
Narkolepsi merupakan rasa kantuk yang tidak tertahankan yang
muncul secara tiba-tiba. Gangguan tidur ini juga sering disebut dengan
“sleep attack”. Gangguan ini juga disebabkan kerusakan secara genetik
system saraf pusat yang menyebabkan gangguan pada periode tidur REM.
e. Apnea Saat Tidur dan Mendengkur
Apnea saat tidur adalah terhentinya napas secara periodik saat tidur,
sedangkan mendengkur adalah gangguan tidur yang disebabkan adanya
hambatan dalam pengairan udara di hidung dan mulut pada saat tidur.
f. Enuresa
Enuresa merupakan buang air kecil yang tidak disadari pada saat
tertidur, gangguan ini sering disebut dengan isitilah mengompol. Enuresa
terbagi atas dua yaitu, enuresa nokturnal (mengompol saat tidur) dan
enures diurnal (mengompol saat bangun tidur). (Kasiati & Rosmalawati,
2016)

B. Patofisiologi

Patofisiologi gangguan tidur masih belum diketahui secara pasti,


namun beberapa mekanisme neurobologis dan psikologis telah diajukan.
Salah satu model yang digunakan untuk menjelaskan patofisiologi
gangguan tidur adalah model neurokognitif. Model ini menerangkan
bahwa faktor predisposisi, presipitasi, perpetuasi, dan neurokognitif
adalah faktor-faktor yang mendasari berkembangnya insomnia dan
menjadikannya gangguan kronik.

Model lain yang bisa digunakan untuk adalah model psychobiologic


inhibition, yang menunjukkan bahwa tidur yang baik membutuhkan
otomatisasi dan plastisitas. Otomatisasi artinya bahwa inisiasi tidur
dan maintenance tidur bersifat involunter, yang dikendalikan oleh
homeostatis dan regulasi sirkadian. Plastisitas adalah kemampuan sistem
tubuh untuk mengakomodasi berbagai kondisi lingkungan. Pada kondisi
normal, tidur terjadi secara pasif (tanpa atensi, niat, atau usaha). Situasi
hidup yang penuh dengan stres bisa memicu berbagai
respon arousal fisiologis dan psikologis, yang menimbulkan inhibisi
terhadap de-arousal yang berhubungan dengan tidur dan menimbulkan
gejala gangguan tidur.

C. Pemeriksaan Penunjang

Salah satu pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan adalah


meminta pasien untuk membuat sleep log, yaitu catatan harian mengenai
informasi pola dan kualitas tidur yang dialami pasien secara subyektif.
Selain untuk penegakan diagnosis, catatan ini juga bermanfaat untuk
monitoring respon terapi.

1. Polisomnografi

Instrument yang dikembangkan sebagai pemeriksaan penunjang untuk


gangguan tidur adalah Polisomnografi memonitor aktivitas otak
(elektroensefalografi), gerakan bola mata (elektrookulografi), aktivitas
otot (elektromyografi), jantung (EKG), respirasi, dan saturasi oksigen
Kebanyakan gangguan tidur dapat didiagnosis dengan anamnesis saja.
Namun polisomnografi dapat bermanfaat untuk mendiagnosis jenis
gangguan tidur spesifik, misalnya obstructive sleep apnea, mengorok, dan
narkolepsi.

D. Pentalaksaan Medis

Penatalaksanaan gangguan tidur sebaiknya mengedepankan


pendekatan non-farmakologis. American Family Physician baru-baru ini
mendorong klinisi untuk mengurangi pemakaian obat-obatan dalam tata
laksana gangguan tidur.

1. Terapi Nonfarmakologis
Terapi nonfarmakologis untuk gangguan tidur dapat berupa sleep
hygiene, cognitive behavioral therapy, dan stimulus control therapy.

a. Sleep Hygiene
Sleep hygiene mencakup perubahan gaya hidup, seperti kontrol
diet, olah raga teratur, mengurangi penggunaan stimulant dan alkohol.
Faktor lingkungan yang mungkin mengganggu tidur (misalnya suara,
cahaya, dan temperature) juga dikendalikan. Selain itu juga disarankan
untuk menghindari tidur siang dan makan malam yang berat.

b. Stimulus Control Therapy

Pasien yang mengalami gangguan tidur kronis cenderung


mengalami conditioning antara lingkungan tempat tidur dan jam tidur
dengan perilaku-perilaku yang bisa mengganggu tidur, seperti khawatir,
membaca, menggunakan smartphone, atau menonton TV di tempat
tidur. Stimulus control therapy ditujukan untuk menghilangkan perilaku-
perilaku yang mengganggu tidur ini dari tempat dan jam tidur. Instruksi
untuk terapi ini mencakup:

1. Berbaring di tempat tidur hanya ketika sudah mengantuk

2. Hindari aktivitas yang membuat tetap terjaga di tempat tidur

3. Tidur hanya di kamar tidur dan bukan di tempat lain, seperti sofa

4. Segera meninggalkan tempat tidur setelah bangun

5. Hanya masuk ke kamar tidur ketika sudah mengantuk

6. Selalu bangun pada waktu yang sama, meskipun jumlah jam tidur
malam berbeda-beda (dengan tanpa mempedulikan jumlah jam
tidur malam)

7. Hindari tidur di siang hari.

c. Sleep Restriction

Terapi ini dilakukan dengan membatasi waktu terjaga di tempat tidur


sebelum tidur. Sebelum terapi dimulai, pasien diminta membuat sleep
log selama 2 minggu untuk mengetahui perbandingan waktu benar-benar
tidur di tempat tidur dibandingkan dengan seluruh waktu yang dihabiskan
di tempat tidur (sleep efficiency). Pasien hanya diijinkan tidur sejumlah
waktu yang dihabiskan benar-benar tidur di tempat tidur (tapi tidak boleh
kurang dari 5 jam), sehingga pasien akan mengalami deprivasi tidur dan
peningkatan dorongan untuk tidur. Bila sleep efficiency sudah mencapai
90%, maka jam tidur ditambahkan 15 menit.

d. Cognitive Behavioral Therapy (CBT)

CBT untuk insomnia menggunakan pendekatan kognitif untuk


mengatasi distrosi kognitif dan miskonsepsi mengenai insomnia,
pendekatan perilaku (seperti stimulus control dan sleep restriction), dan
pendekatan edukasional (misalnya sleep hygiene). CBT untuk insomnia
bisa dilakukan secara interpersonal maupun dalam bentuk group therapy.

e. Maintenance Patensi Jalan Nafas

Untuk mereka yang mengalami gangguan tidur yang terkait dengan


gangguan jalan nafas, maka bisa dipertimbangkan untuk
pemberian dental-oral appliance, pengaturan posisi tidur, penurunan berat
badan, atau tindakan operatif.

2. Terapi Farmakologis
Obat-obatan yang bisa digunakan untuk menangani gangguan tidur
adalah benzodiazepine (alprazolam, clonazepam), agonis reseptor
melatonin (ramelteon, tasimelteon), Z-drugs (zolpidem, zopiclone,
eszopiclone, zaleplon), orexin antagonist (suvorexant), antidepresan
(mirtazapine, trazodone, amitriptyline), dan antihistamin.

Penggunaan obat sebaiknya diberikan dalam durasi singkat atau


sebagai tambahan untuk terapi nonfarmakologis. Obat dipilih dengan
mempertimbangkan

- Keluhan utama gangguan tidur yang dialami (misalnya kesulitan memulai


tidur atau mempertahankan tidur)

- Frekuensi terjadinya gangguan tidur (setiap malam atau intermiten)

- Durasi pemberian obat yang direncanakan

- Umur dan komorbiditas yang dimiliki pasien

Untuk pasien yang mengalami kesulitan untuk memulai tidur


(insomnia inisiasi), bisa diberikan obat-obat short-acting (misalnya
alprazolam, zolpidem).Terdapat studi yang menyebutkan
bahwa suplementasi magnesium bermanfaat pada insomnia pasien
dewasa, tetapi mekanisme dan efikasinya masih membutuhkan studi lebih
lanjut. Untuk pasien yang mengalami gangguan untuk mempertahankan
tidur bisa diberikan obat dengan aksi yang lebih panjang (misalnya
eszopiclone, suvorexant).

Pasien-pasien yang mempunyai komorbiditas kecemasan atau depresi,


bisa diberikan antidepresan yang mempunyai properti sedatif (misalnya
trazodone, mirtazapine). Untuk mereka yang mengalami gangguan irama
sirkadian, bisa diberikan obat golongan melatonin agonis atau orexin
antagonis.

Farmakoterapi untuk narkolepsi dan hipersomnia adalah modafinil,


armodafinil, metifenidat, atau sodium oxybate. Untuk gangguan perilaku
terkait tidur REM bisa diberikan clonazepam, melatonin, agonis dopamine
(pramipexole, ropinirole), dan gabapentin.

E. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian keperawatan adalah adalah mengumpulkan data pasien
secara objektif dan subjektif yang dilakukan penilaian secara keseluruhan
(fisik, psikosisosial, spiritual dan kultural) serta mengumpulkan informasi
peluang promosi kesehatan, risiko dan potensi masalah keperawatan lainnya.
(Herdman & Kamitsuru,2015)

Aspek yang perlu dikaji pada klien untuk mengidentifikasi mengenai


gangguan kebutuhan istirahat dan tidur meliputi pengkajian mengenal:
a. Riwayat tidur
1) Pola tidur, seperti jam berapa klien masuk kamar untuk tidur, jam
berapa biasa bangun tidur, dan keteraturan pola tidur klien;
2) Kebiasaan yang dilakukan klien menjelang tidur, seperti membaca
buku, buang air kecil, dan lain-lain;
3) Gangguan tidur yang sering dialami klien dan cara mengatasinya;
4) Kebiasaan tidur siang; apakah klien biasa tidur siang? Jam berapa?
Berapa lama?
5) Lingkungan tidur klien. Bagaimana kondisi lingkungan tidur apakah
kondisinva bising, gelap, atau suhunya dingin? dan lain lain;
6) Peristiwa yang baru dialami klien dalam hidup. Perawat mempelajari
apakah peristiwa, yang dialami klien, yang menyebabkan klien
mengalami gangguan tidur?;
7) Status emosi dan mental klien. Status emosi dan mental memengaruhi
terhadap kemampuan klien untuk istirahat dan tidur. Perawat perlu
mengkaji mengenai status emosional dan mental klien, misalnya
apakah klien mengalami stres emosional atau ansietas?, juga dikaji
sumber stres yang dialami klien.
b. Perilaku deprivasi tidur yaitu manifestasi fisik dan perilaku yang timbul
sebagai akibat gangguan istirahat tidur, seperti:
1) Penampilan wajah, misalnya adakah area gelap di sekitar mata,
bengkak di kelopak mata, konjungtiva kemerahan, atau mata yang
terlihat cekung;
2) Perilaku yang terkait dengan gangguan istirabat tidur, misalnya apakah
klien mudah tersinggung, selalu menguap, kurang konsentrasi, atau
terlihat bingung;
3) Kelelahan, misalnya apakah klien tampak lelah, letih, atau lesu.
c. Gejala Klinis Gejala klinis yang mungkin muncul: perasaan lelah, gelisah,
emosi, apetis, adanya kehitaman di daerah sekitar mata bengkak,
konjungtiva merah dan mata perih, perhatian tidak fokus, sakit kepala.
d. Penyimpangan Tidur Kaji penyimpangan tidur seperti insomnia,
somnambulisme, enuresis, narkolepsi, night terrors, mendengkur, dan
lain- lain.
e. Pemeriksaan fisik
1) Tingkat energi, seperti terlihat kelelahan, kelemahan fisik, terlihat lesu.
2) Ciri-ciri diwajah, seperti mata sipit, kelopak mata sembab, mata
merah, semangat.
3) Ciri-ciri tingkah laku, seperti oleng/ sempoyongan, menggosok-gosok
mata, bicara lambat, sikap loyo. Data penunjang yang menyebabkan
adanya masalah potensial, seperti obesitas, deviasi septum, TD
rendah, RR dangkal dan dalam
f. Diagnosa keperawatan Diagnosis keperawatan yang mungkin ditemukan
pada klien dengan gangguan pemenuhan istirahat tidur antara lain:
a. Gangguan Pola Tidur
b. Gangguan Rasa Aman
c. Ansietas
g. Intervensi Keperawatan dan Rasional

Intervensi keperawatan merupakan tindakan keperawatan selanjutnya


yang dilakukan setelah merumuskan diagnosa keperawatan. Dalam
perumusan intervensi keperawatan harus sesuai dengan diagnosis yang
mendesak, tingkat pemenuhan batasan karakteristik yang tinggi, faktor
berhubungan barulah kemudian faktor yang berisiko. Hal ini agar proses
keperawatan yang dilakukan spesifik dan dilakukan secara berurutan.
(Herdman & Kamitsuru, 2015)
Intervensi keperawatan ialah segala rencana dan perlakuan yang
diberikan oleh perawat kepada pasien dengan berdasarkan ilmu pengetahuan
untuk mencapai tujuaan (outcome). Sedangkan tindakan keperawatan adalah
tindakan yang dilakukan perawat sebagai bentuk pengimplementasian dari
intervensi keperawatan. (PPNI, 2018)
h. Implementasi

Implementasi keperawatan adalah pelaksanaan seluruh intervensi


keperawatan yang telah direncanakan oleh perawat kepada pasien. Dalam
melakukan pengimplementasian dilaksanakan sesuai dengan “validasi,
penugasan, keterampilan interpersonal, intelektual, dan teknikal”. (Rohayati,
2019)
Implementasi dalam pemenuhan kebutuhan istirahat dan tidur yaitu
dilakukan sesuai dengan intervensi dan kebutuhan pasien.
i. Evaluasi

Evaluasi keperawatan merupakan bentuk tindakan keperawatan yang


terakhir setelah melakukan pengkajian hingga implementasi keperawatan,
dengan tujuan untuk mengevaluasi ataupun sebagai bentuk penilaian terhadap
proses keperawatan yang telah dilakukan. (Herdman & Kamitsuru, 2015)
Hal yang perlu dievaluasi dalam pemenuhan kebutuhan istirahat dan
tidur pada pasien yaitu menggunakan format SOAP:
S : Pasien mengatakan dapat tidur dalam jangka waktu 20-30 menit, pada
waktu tidur tidak sering terbangun, jika terbangun akan mudah tidur kembali,
meningkatnya waktu tidur sesuai yang diharapkan, mengingat kembali mimpi
yang dialaminya, menyatakan perasaannya tenang sesudah tidur, bebas dari
kecemasan dan depresi, dapat bekerja dengan baik dan penuh konsentrasi,
klien dan keluarga mampu menjelaskan faktor-faktor yang dapat
meningkatkan tidur O : Pasien tampak tenang saat di wawancarai setelah
bangun tidur
A : Masalah teratasi
P : Intervensi dihentikan. (Kasiati & Rosmalawati, 2016)

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN


4.1. Kesimpulan
4.2. Saran
Sesuai dengan kesimpulan diatas,maka saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:
1. Bagi Pasien
Setelah adanya pendidikan kesehatan yang dilakukan selama proses pemberian
asuhan keperawatan diharapkan klien dan keluarga dengan mandiri untuk
mencegah,meningkatkan dan mempertahankan kesehatan baik individu ataupun
masyarakat sehingga tercapai kesehatan yang optimal.
2. Bagi Pelayanan Keperawatan
Dapat dijadikan bahan masukan bagi perawat di rumah sakit khususnya RSUP
Tajuddin Chalid Makassar dalam melakukan tindakan asuhan keperawatan pada
kasus Anemia dengan Kebutuhan dasar Gangguan Pola Tidur
DAFTAR PUSTAKA

Ariga, R. A. (2020). Konsep Dasar Keperawatan. (S. Z. Nasution, R. Amelia, F. A.


Ariga, & S. Ariga, Ed.). Yogyakarta: Deepublish. Diambil dari
https://books.google.co.id/books?id=sdEOEAAAQBAJ&pg=PA83&dq=buku+p
rinsip+legal+etik+keperawatan&hl=id&sa=X&ved=2ahUKEwjg8qGusJHvAhU
DIbcAHbkLAWMQ6AEwBnoECAkQAg#v=onepage&q=buku prinsip legal
etik keperawatan&f=false
Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2015). DIAGNOSIS KEPERAWATAN : Definisi &
Klasifikasi 2015-2017. (T. H. Herdman & S. Kamitsuru, Ed.) (Edisi 10). Jakarta:
EGC.
Kasiati, & Rosmalawati, N. W. D. (2016). Kebutuhan Dasar Manusia I. Jakarta
Selatan: Pusdik SDM Kesehatan; Badan Penegmbangan dan Pemberdayaan
Sumber Daya Manusia Kesehatan. Diambil dari
http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-
content/uploads/2017/08/Kebutuhan-dasar-manusia-komprehensif.pdf
PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator
Diagnostik (Edisi 1). Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan
Keperawatan (Edisi 1). Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan. Jakarta: DPP PPNI.
Rohayati, E. (2019). Keperawatan Dasar I. (A. Rahmawati, Ed.). Cirebon: Lovrinz
Publishing. Diambil dari
https://books.google.co.id/books?id=bY8dEAAAQBAJ&printsec=frontcover&d
q=Keperawatan+dasar&hl=id&sa=X&ved=2ahUKEwiphoXMyY7vAhWG8XM
BHV9XCdYQ6AEwBHoECAUQAg#v=onepage&q=Keperawatan
dasar&f=false
Utami, N. W., Agustine, U., & Happy, R. E. (2016). Etika Keperawatan Dan

K. Pavlova M, Latreille V. Sleep Disorders. The American Journal of Medicine


2019;132:292–9. [https://www.amjmed.com/article/S0002-9343(18)30944-6/fulltext]

Anda mungkin juga menyukai