Anda di halaman 1dari 14

BAB II

KERANGKA TEORITIS

A. Landasan Teori
1. Akhlak
a. Pengertian Akhlak
Akhlak secara etimologi berasal dari bahasa Arab, jamak dari khuluqun
yang artinya budi pekerti, perangai. Tingkah laku, atau tabiat. Secara terminologi,
terdapat beberapa pendapat ulama mengenai pengertian akhlak. Istilah-istilah
yang mereka kemukakan pada dasarnya memiliki pengertian yang sama yaitu:

1. Menurut Imam Al-Ghazali, akhlak adalah sifat yang tertanam dalam


jiwa dari padanya melahirkan perbuatan-perbuatan yang spontan
tanpa memerlukan pertimbangan dan pemikiran. Maka sifat tersebut
merupakan perbuatan terpuji menurut ketentuan akal dan norma
Agama dinamakan akhlak terpuji, tetapi jika ia menimbulkan
perbuatan jahat, maka dinamakan akhlak tercela.
2. Menurut Ibn Miskawaih, akhlak adalah keadaan jiwa seseorang
yang mendorongnya untuk melakukan perbuaan baik maupun buruk
tanpa melalui pertimbangan pikiran terlebih dahulu.
3. Menurut Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, akhlak adalah bentuk kejiwaan
yang tertanam dalam diri manusia, yang menimbulkan perbuatan
baik dan buruk, terpuji dan tercela dengan cara yang disengaja.
4. Menurut Dr. Ahmad Amin, akhlak adalah prilaku seseorang yang
merupakan sebuah kebiasaan.
5. Menurut Abu Bakar Jabir al-Jaziri akhlak merupakan bentuk dari
jiwa yang tentram dalam diri manusia, sehingga dapat
menumbulkan prilaku baik terpuji maupun tercela1.

1
Samsul Munir Amin, Ilmu Akhlak, (Jakarta: AMZAH, 2019), hlm. 3-5.
Dari beberapa penjelasan tentang akhlak diatas, maka dapat dikatakan
akhlak merupakan tingkah laku baik maupun buruk seseorang yang menjadi
kebiasaan baginya sehingga menjadi bentuk dari sifat dan kepribadian dirinya.
Dengan kata lain, akhlak yang menggambarkan bagaimana karakter atau
kepribadian manusia, sehingga baik dan buruknya manusia terlihat.

b. Bentuk-bentuk Akhlak
Dalam karyanya kita Ayyuhal Walad Al-Ghazali mengemukakan bentuk-
bentuk akhlak dalam pembinaan yaitu:

1) Akhlak Kepada Allah


Bentuk-bentuk akhlak kepada Allah menurut Imam Al-Ghazali
yaitu:
a) Istiqamah tak lain adalah menghaturkan seluruh diri semata
untuk melaksanakan perintah Allah.
b) Ibadah menurut Al-Ghazali ada tiga hal yang harus diketahui
yaitu menjaga perintah Agama, rela terhadap qadha’ dan
qadar Tuhan, dan Menanggalkan diri untuk memperoleh
kerelaannya.
c) Tawakkal adalah percaya penuh terhadap janji Allah.
Percayalah bahwa apa yang telah ditakdirkan untukmu akan
sampai ke tangan dan menghampirimu. Begitu juga
sebaliknya.
d) Ikhlas adalah mempersembahkan segala perbuatan semata
hanya kepada Allah. Sebentarpun hatimu tak boleh
beristirahat dan merasa nyaman karena orang lain
memujimu. Begitu sebaliknya, kau tak boleh sekali-kali
menghiraukan celaan atau cercaan mereka.Ketahuilah,
bahwa rasa pamer sesungguhnya lahir karena kamu
menganggap orang lain agung.Obatnya adalah keyakinan
dan penawarnya adalah anggapanmu sendiri.
e) Menghidupkan malam2.

Sebagaimana Imam Al-Ghazali memberikan nasihat kepada


muridnya,
“Sufyan ats-Tsauri berkata “Sesungguhnya Allah menciptakan
angin diwaktu sahur yang sanggup mengusung dzikir dan istighfar kepada
Tuhan yang maha kekar.” Masih kata Sufyan “Jika malam datang
menyeruaklah suara dari bawah ‘arasy dan memanggil-manggil : ‘Hai,
hendaklah orang-orang yang beribadah segera bangun, kemudian
menunaikan shalat, sebagaimana di kehendaki Allah. Jika malam telah
larut maka menyeruak pula suara yang memanggil-manggil, “Ada baiknya
orang-orang yang patuh segera bangun. “Serta mereka bangun dan
menunaikan shalat hingga waktu sahur datang. Dan jika waktu sahur
datang , menyeruak pula orang-orang yang memanggil-manggil.:
“Hendaklah orang yang meminta ampun bangun.” Maka, bangunlah
mereka dan segera beristigfar.Datanglah kemudian waktu fajar. Kali ini,
suara itu juga memanggl-manggil, namun lain dengan panggilan-
panggilan sebelumnya. “Hai orang-orang yang lupa, bangunlah kalian.
“Para pelupa pun bangun.Merekapun terjingkat dari tempat tidur, persis
orang-orang mati yang mendadak dibangunkan dari kubur mereka3.

2) Akhlak Seorang Pendidik


Al-Ghazali mengistilahkan pendidik dengan istilah guru (muallim),
atau orang tua (al-walad)4.
Guru merupakan seseorang yang bertanggung jawab atas
pengajaran serta bertugas membimbing anak didiknya untuk mendekatkan
diri kepada Allah SWT. Menurut Al-Ghazali ciri-ciri seorang guru

2
Imam Al-Ghazali, Ayyuhal Walad, terj. Tholhatul Choir, (Yogyakarta: Pustaka
Hati, 2018), hlm. 49-50.
3
Imam Al-Ghazali, Ayyuhal Walad, terj. Tholhatul Choir, (Yogyakarta: Pustaka
Hati, 2018), hlm.25-26
4
Zainuddin, Seluk-Beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara,
1991), hlm. 50.
haruslah tidak berhasrat dan gila atau mabuk kepayang terhadap dunia
maupun kedudukan.Ia harus sudah pernah belajar kepada seorang guru
yang tajam penglihatannya (bashir). Ia harus sering berbuat kebaikan
kepada orang lain dan kuat menahan diri sendiri. Sedikit tidur serta
memperbanyak shalawat, shadaqah, dan puasa5.

Al-Ghazali juga mengemukakan syarat-syarat kepribadian seorang


guru yaitu:
a) Harus lembut dan kasih sayang terhadap anak didiknya dan
harus mecintai muridnya seperti anaknya sendiri.
b) Tidak menyembunyikan ilmu sedikitpun.
c) Tidak menuntut upah kepada muridnya.
d) Memberikan contoh yang baik.
e) Menanamkan sifat cinta terhadap Allah SWT6.

Syarat-syarat ini harus dimiliki seorang pendidik, karena


kepribadian guru lebih penting dari ilmu yang dimiliki, sama halnya
dengan adab itu lebih tinggi dari pada ilmu. Jadi kepribadian atau akhlak
seorang pendidik dalam mendidik murid lebih diutamakan.Karena murid
lebih cendrung mengikuti kebiasaan-kebiasaan baik atau buruk dari para
pendidiknya.Jadi, Al-Ghazali menganjurkan seorang pendidik hendaknya
memberi contoh yang baik sehingga hal itu dapat diteladani oleh muridnya.

3) Akhlak Seorang Pelajar


Menurut Al-Ghazali Akhlak seorang pelajar harus mempunyai niat
yang benar, dapat memanfaatkan waktu, mengamalkan ilmunya, dan
menghormati gurunya. Sebagaimana nasihat Al-Ghazali terhadap
muridnya “Barang siapa beruntung dan menemukan seorang guru
sebagaimana kuceritakan dan sang gurupun menerimanya, ada baiknya ia
5
Imam Al-Ghazali, Ayyuhal Walad,..hlm. 46.
6
Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang pola hubungan guru dan Murid,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 98-101.
memuliakan beliau lahir dan batin. Secara lahir, ia tidak boleh jauh-jauh
dan siap menghadirkan apa saja untuk sang guru. Ia tidak boleh
menyibukkan diri berdebat dan mencari-cari kesalahan dalam setiap
persoalan, meski ia tahu sang guru tengah berada dalam posisi yang salah.
Ia tidak boleh membentangkan sajadahnya didepan sang guru, kecuali saat
menunaikan shalat, itupun harus diangkat kembali begitu ia selesai
melaksanakannya. Secara batin, sudah seharusnya hati seorang murid tidak
mengingkari apa-apa yang secara lahir ia dengar dan ia terima dari sang
guru, perkataan maupun perbuatan. Hal ini tentunya agar tidak terperosok
ke lembah hitam kemunafikan7.

4) Akhlak Dalam Pergaulan


Manusia merupakan makhluk sosial yang hidupnya membutuhkan
orang lain dan dibutuhkan orang lain. Oleh karena itu, Imam Al-Ghazali
dalam kitab Ayyuhal Walad menjelaskan bahwa akhlak dalam pergaulan
seseorang harus mempunyai:
a) Berprilaku baik terhadap orang lain, seperti menolong
sesama, tidak bohong, jujur, sabar, dan menepati janji.
b) Tidak berlebihan dalam mencintai seseorang.Sebagaimana
nasihat Al-Ghazali terhadap muridnya.“Ananda hiduplah
sesukamu, besok kau akan mati juga. Kau boleh mencintai
apa saja yang kau suka, besok kau juga akan
meninggalkannya. Kau juga boleh berbuat apa saja yang
kau inginkan, besok kau juga akan menerima imbalannya” 8.
Disini Al-Ghazali menjelaskan bahwa apa saja yang manusia
lakukan didunia ini pasti akan ada pertanggung jawabannya
di akhirat kelak. Oleh karena itu, cintailah segala sesuatu
sewajarnya saja, karena berlebih-lebihan dalam mencintai

7
Imam Al-Ghazali, Ayyuhal Walad,..hlm. 47-48.
8
Ibid.,hlm. 19
sesuatu bukanlah akhlak yang baik dan Allah sangat
membenci.
c) Meminta maaf kepada orang lain. Dalam hidup memang
terkadang kita tak luput dari sebuah kesalahan baik yang kita
sengaja ataupun tidak, baik yang kita sadari atau tidak. Oleh
karena itu, seringlah kita meminta maaf kepada orang lain.
d) Memberi, menerima nasihat, dan melaksanakannya.
Sebagaimana nasihat Al-Ghazali kepada muridnya.“Perlu
kau tahu, menerima nasihat memang amat mudah, tetapi
mengamalkannya minta ampun sulitnya.Ya, benar-benar
sulit. Bagi pemuja hawa nafsu, nasihat sama rasanya
dengan menelan mentah-mentah pil yang amat pahit.
Sebaliknya, sesuatu yang dilarang justru menjadi sangat
digandrungi di hatinya”9.
e) Tidak iri dengan keberhasilan orang lain. Rasa iri dan dengki
dalam setiap perkataan dan perbuatan hanya akan menyulut
api yang menghanguskan seluruh ladang amalnya. Ya, Nabi
Muhammad dulu juga pernah bersabda:
ِ
َ َ‫َأحْلَ َس ُد يَْأ ُك ُل اْحلَ َسنَات َك َما تَْأ ُك ُل النَ َار احْلَط‬
‫ب‬
"Kedengkian akan memakan seluruh kebaikan sebagaimana
api melalap kayu bakar habis-habisan10.”

2. Pemikiran Akhlak al-Ghazali


a. Biografi
Al-Ghazali adalah seorang ulama ahli pikir, ahli Filsafat Islam, dan
ahli Tasawuf sangat mahir dalam bidang keagamaan.Abu Hamid bin
Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali merupakan nama lengkap al-Ghazali,
karenanya beliau mendapat gelar Hujjatul-Islam. Al-Ghazali lahir pada
tahun 1050M/450 H di Tus, suatu kota kcil di Khurasan (Iran). Nama Al-
9
Ibid., hlm. 6
10
Ibid.,, hlm. 58
Ghazali terkadang diucapkan dengan dua Z menjadi Al-Ghazzali berasal
dari kata Ghazzal, artinya tukang pital benang, karena memital benang wol
merupakan pekerjaan ayahnya. Selain itu nama al-Ghazali terkadang juga
diucapkan dengan satu Z menjadi Al-Ghazali diambil dari kata ghazalah
yaitu nama kampung kelahiran Al-Ghazali. Yang terakhir inilah yang
banyak di pakai.Ayah Al-Ghazali merupakan seorang tasawuf yang shaleh,
dan gemar mempelajari ilmu tasawuf. Karenanya ia hanya mau makan dari
hasil usaha tangannya sendiri dari menenun wol11.

Ayah al-Ghazali juga terkenal sebagai pencinta ilmu dan selalu


berdoa untuk anak-anaknya agar kelak menjadi seorang ulama. Akan
tetapi, ajal tidak memberi kesempatan kepadanya untuk menyaksikan
keberhasilan anak-anaknya sesuai dengan doanya. Sebelum meninggal ia
masih sempat menitipkan Al-Ghazali bersama saudaranya Ahmad, kepada
seorang sufi sahabatnya untuk dididik dan di bimbing dengan baik. Akan
tetapi sufi yang juga menjalani kecendrungan hidup yang sangat sederhana
ini tidak mampu memberikan tambahan nafkah kepada al-Ghazali dan
saudaranya. Maka, Al-Ghazali dan saudaranya diserahkan kesuatu
madrasah yang menyediakan biaya hidup bagi para muridnya. Disinilah
Al-Ghazali bertemu dengan seorang guru sufi kenamaan pada masa itu
yaitu Yusuf Al-Nassaj, yang menjadi titik awal bagi perkembangan
intelektual dan spritual al-Ghazali yang kelak akan membawanya menjadi
seorang ulama besar yang berpengaruh dalam perkembangan pemikiran
Islam12.
Adapun guru al-Ghazali pada waktu itu adalah Ahmad Ibnu
Muhammad Al Radzikani. Semasa mudanya al-Ghazali belajar di Nisyapur
dan di Khurasan, yang pada saat itu merupakan salah satu pusat ilmu
pengetahuan yang penting di dunia Islam. Kemudian AL-Ghazali menjadi

11
Abu Ammar Al-Jawi, Syarah Ayyuhal Walad, (Sukoharjo: Pustaka Arafah,
2020), hlm. 36.
12
Muhammad bin Muhammad Abu Hamid Al-Ghazali, Ayuhal Walad,
(Solo:Pustaka Arafah, 2019) hlm. 18-21
murid Imam al-Haramain Al Juwaini yang merupakan guru besar di
Madrasah An-Nizhfirniyah Nisyapur. Al Ghazali belajar teologi, hukum
Islam, Filsafat, logika, sufisme, dan ilmu-ilmu alam13.

Pada akhirnya, Al-Ghazali kembali ke kampung halamannya di


Thusi. Dan setahun kemudia beliau menghembuskan nafas terakhirnya di
usia 53 tahun, pada hari Senin tanggal 14 Jumadil Akhir Tahun 505 H, dan
dikuburkan di pekuburan Ath-Thabaran.Al-Ghazali adalah seorang ulama
multi talenta dan penulis yang sangat produktif. Ia menulis lebih dari 100
karya dalam bidang akidah, fikih, ushul fikih, akhlak tasawuf, filsafat, dan
lainnya. Adapun beberapa karya imam al-Ghazali adalah Ihya’
Ulumuddin, danAyyuhal Walad14.

b. Pemikiran Akhlak
Pemikiran Akhlak Imam Al-Ghazali dapat dilihat dalam berbagai
pendapatnya mengenai pembinaan akhlak seperti yang dikutip oleh
Abuddin Nata. Dimana Al-Ghazali mengemukakan hasil analisinya
terhadap rukun Islam yang lima itu dengan jelas mengandung konsep
pembinaan akhlak. Karena sesungguhnya pembinaan akhlak dalam Islam
juga berkaitan dengan pelaksanaan rukun Iman yang dalam ajaran Islam
erat hubungannya tentang mengerjakan serangkaian amal salih dan
perbuatan terpuji. Iman yang tidak disertai amal salih dinilai sebagai Iman
yang palsu. Sebagaimana dalam al-Qur’an QS. al-Baqarah ayat 8 yang
berbunyi:


Dan diantara manusia ada yang mengatakan: “ Kami beriman
kepada Allah di hariakhir, pada hal mereka itu sesungguhnya bukan
orang-orang yang beriman”. (QS. al-Baqarah, 2;8)15

13
Abu Ammar Al-Jawi, Syarah Ayyuhal Walad,..hlm. 40.
14
Ibid., hlm 47-51.
15
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf,(Jakarta: Rajawali Pres, 2010), hlm. 159-160
Dengan demikian dijelaskan bahwa Iman yang dikehendaki Islam
tidak hanya melalui ucapan dan keyakinan, akan tetapi Iman yang disertai
dengan perbuatan dan akhlak mulia, seperti yakin menerima ajaran yang
dibawa Rasul, mau mensucikan harta dan dirinya semata-mata hanya
karena Allah SWT. Hal ini menunjukkan keimanan itu harus membuahkan
akhlah yang memperlihatkan bahwa Islam sangat mendambakan
terwujudnya akhlak yang mulia. Adapun Rukun Islam yang lima itu
adalah:
1) Dua kalimat syahadat yaitu, bersaksi bahwa hanya Allah tidak ada
yang lain selain Allah, dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad itu
utusan Allah. Kalimat ini mengandung pernyataan bahwa selama
hidupnya manusia bersaksi dan mengakui baik secara lahir maupun
batin hanya tunduk kepada Allah SWT. Dengan demikian,
seseorang hanya melakukan sesuai dengan aturan dan tuntutan
Allah SWT yang menjadikan manusia memiliki akhlak mulia.
2) Menunaikan shalat lima waktu. Dengan mengerjakan shalat lima
waktu akan membawa pelakunya terhindar dari perbuatan tercela.
Bahwasannya dengan mengerjakan shalat diharapkan dapat
menghasilkan akhlak terpuji, yaitu bersifat sabar, ridho, fakir,
zuhud, dan tawadhu. Karena, Shalat juga dapat dijadikan sebagai
terapi dalam pembersihan jiwa sehingga mendukung akan
terbentuknya akhlak mulia.
3) Membayar zakat. Menurut al-Ghazali zakat dapat membersihkan
jiwa dan harta yang mampu mengangkat derajat manusia ke
jenjang yang lebih mulia. Zakat yang mengandung didikan akhlak
dapat menjauhkan diri dari sifat-sifat tercela seperti kikir, iri,
dengki, egois, dan riya’.
4) Menunaikan Puasa. Puasa yang dikerjakan bukan hanya sekedar
menahan diri dari haus dan lapar. Akan tetapi, juga menahan diri
dari segala hawa nafsu yang dapat merusak segala bentuk kewajiban
Agamanya. Puasa juga mengandung didikan akhlak senantiasa
dapat membersihkan diri dari perkataan-perkataan kotor dan keji.
Karenanya usaha membersihkan diri dengan puasa mendukung
terbentuknya akhlak yang mulia.
5) Ibadah Haji. Dalam ibadah Haji nilai pembinaan akhlak lebih besar
dibanding dengan rukun Islam dan bentuk ibadah lainnya. Karena
melaksanakan ibadah haji dalam Islam bersifat menyeluruh yang
menuntut banyak persyaratan seperti, sehat jasmani dan rohani,
sabar, ikhlas, dan ridho. Itu kenapa dalam rukun Islam menunaikan
haji bagi yang mampu, bukan hanya sekedar mampu dalam materi
namun juga dalam kesiapan diri yang hendak ibadah lebih dekat
dengan Allah SWT. Melaksanakan ibadah haji erat kaitannya
dengan pembinaan akhlak seperti yang terkandung pada ayat al-
Qur’an dibawah ini:




“Haji itu beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa
yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan
haji.Maka tidak boleh berkata jorok berbuat fasik dan bertengkar
didalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan
berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya.Berbekallah kamu,
karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan
bertakwalah kepada Allah hai orang-orang yang berakal.”(Q.S Al-
Baqarah:197).
Berdasarkan ayat al-Qur’an diatas, menggambarkan hubungan
antara rukun Iman dan Islam terhadap pembinaan akhlak, sebagaimana
dalam Islam pembinaan akhlak ditempuh dengan berbagai sarana
peribadatan dan lainnya secara bersamaan guna memperoleh akhlak mulia.

Selain itu, pemikiran akhlak Al-Ghazali mengenai pembinaan


akhlak juga terdapat dalam karyanya yaitu kitab Ihya’ Ulumuddin yang
bercorak Akhlak Tasawuf. Dalam kitab Ihya’ Ulumuddin ada tiga tahapan
dalam pembinaan akhlak yaitu:
1) Mujahadah
Mujahadah atau kesungguhan merupakan tahapan yang
mengharuskan seseorang untuk bersungguh-sungguh dalam memerangi
diri terhadap hawa nafsunya, serta membersihkan hati dari sifat-sifat
tercela16.

Kesungguhan dalam menahan hawa nafsu atas kenikmatan duniawi


yang dapat merusak diri dan membersihkan jiwa dari sifat-sifat tercela
seperti riya’, iri, dengki, hasud dan lain sebagainya merupakan tahapan
yang harus dilewati dalam pembentukan akhlak. Karena mujahadah
merupakan metode penghubung antara pengetahuan sebagai teori dengan
prilaku dan akhlak mulia sebagai buah dari usaha memerangi hawa nafsu.

2) Riyadhah
Riyadhah merupakan budi pekerti yang baik diusahakan dengan
latihan (riyadhah) guna mensucikan jiwa dengan melawan hawa nafsu
supaya pada kesudahannya menjadi kebiasaan17.

Latihan mensucikan jiwa dengan melawan hawa nafsu yang dapat


merusak segala bentuk kewajiban Agamanya yang diharapkan akan
membuahkan kebiasaan untuk melakukan perbuatan terpuji seperti sabar,
ikhlas, ridho, dan lain sebagainya.

Selain itu, menurut Al-Ghazali budi pekerti yang bagus itu


terkadang disebabkan oleh keterpaksaan dalam melatih diri untuk
melakukan perbuatan-perbuatan yang bagus. Sama halnya dengan jika kita

16
Imam Al Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, jilid VI Terjmh Moh. Zuhri. (Semarang :
CV. Asy Syifa’, 2003), hlm. 293
17
Imam Al Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, jilid V Terjmh Moh.Zuhri. (Semarang :
CV. Asy Syifa’, 2003), hlm. 128
berteman dengan orang yang melakukukan hal kebaikan maka baik pula
yang akan kita lakukan, begitu juga sebaliknya. Ini disebabkan karena
kebiasaan manusia itu mencuri dari kebiasaan baik dan buruknya
lingkungan sekitar18.

3) Pembiasaan
Pembiasaan merupakan metode tazkiyatun nafs yang menekankan
pengulangan perilaku terpuji sehingga cara-cara yang dilakukan hampir-
hampir tidak disadari oleh pelakunya19.

Pembiasaan yang menjadi penguat dari tahapan mujahadah dan


riyadhah yang telah dilakukan. Karena pembiasaan merupakan sebuah
tahapan berupa proses penanaman kebiasaan melakukan perbuatan terpuji.
Sehingga berdampak pada konsistensi perwujudan akhlak mulia dalam
prilaku.Melalui pembiasaan tersebut dapat tumbuh prilaku yang bersifat
reflek, tanpa ada dorongan-dorongan yang kuat.Hal ini dikarenakan
perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang serta bertahap dapat
menjadi kepribadian seseorang20.

Tahapan-tahapan ini yang sering digunakan dalam dunia pendidikan


sampai pada saat sekarang ini. Karena dalam pembinaan akhlak perlu
adanya proses pembersihan jiwa dengan tahapan-tahapan yang dapat
membersihkan jiwa dari perbuatan yang tercela dan menggantinya dengan
perbuatan yang terpuji serta dimantapkan dengan adanya proses
penanaman keduanya agar membuahkan akhlak mulia21.

B. Tinjauan Penelitian yang Relevan


Untuk menghindari adanya plagiasi dalam penulisan skripsi ini, penulis
mengambil beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini yaitu:
18
Ibid,.. 130-131.
19
Ibid,.. 133-134
20
Ibid,.. hlm 140-143
21
Ibid,.. hlm 160
1. Disma Fitriyani 2020, dengan judul skripsi “ Pembinaan Akhlak
santri dalam pengaplikasian materi jual beli di kantin madrasah
tsanawiyah darul hikmah Pekanbaru”. Skripsi ini membahas tentang
pembinaan akhlak santri melalui jual beli di Madrasah Tsanawiyah
Darul Hikmah Pekanbaru yang fokus penelitiannya pada pembinaan
akhlak terhadap aktifitas jual beli. Sedangkan skripsi penulis
memfokuskan pada pemikiran akhlak al-ghazali dalam pembinaan
akhlak santri.
2. Surya Rizki RSP 2021, dengan judul “Akhlak menurut al-Ghazali
(1050M-1111 M) dan Ibnu Miskawai (932 M- 1030 M)”. Skripsi ini
membahas tentang Akhlak menurut al-Ghazali dan akhlak menurut
Ibnu Miskawai, yang fokus penelitiannya terhadap pemikiran
akhlak al-Ghazali dan Ibnu Miskawai. Sedangkan skripsi penulis
memfokuskan penelitian hanya pada pemikiran akhlak al-Ghazali
dalam pembinaan akhlak Santri.
3. Lastri 2010, dengan judul “Pemikiran al-Ghazali tentang guru”.
Skripsi ini membahas tentang pemikiran-pemikiran al-ghazali
mengenai pengajar atau guru yang fokus pada pemikiran al-Ghazali
mengenai guru. Sedangkan skripsi penulis memfokuskan pada
pemikiran al-Ghazali mengenai akhlak dalam pembinaan santri.
4. Kariman 2019, dengan judul tesis “Konsep Pendidikan akhlak di
Pesantren perspektif Imam al-Ghazali”. Skripsi ini membahas
tentang Pendidikan akhlak Imam al-Ghazali di Pondok pesantren,
yang fokus penelitiannya pada pendidikan akhlak al-ghazali.
Sedangkan skripsi penulis memfokuskan masalah pada pemikiran
akhlak al-Ghazali dalam pembinaan akhlak santri pondok pesantren
modern raudhatussalam.
5. Abdul Rahman 2017, dengan judul tesis “Pendidikan akhlak meurut
Imam al-Ghazali dalam kitab Bid Yah Al-Hid dan Relevansinya
dengan pendidikan Karakter di Indonesia. Tesis ini membahas
tentang pendidikan akhlak al-Ghazali dalam kitab bid yah al-Hid
yang fokus penelitiannya terhadap relevansi pendidikan karakkter di
indonesia. Sedangkan sekripsi penulis fokus penelitiannya terhadap
pemikiran akhlak al-ghazali dalam pembinaan akhlak santri.

Anda mungkin juga menyukai