Kesultanan Cirebon Kel.1
Kesultanan Cirebon Kel.1
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas matakuliah Sejarah Islam Sunda
Dosen pengampu Dr. Ading Kusdiana, M.Ag.
Disusun oleh
Nadia Toyyibah (1205010131)
Nizma Faiza Maharani (12010140)
Reyno Herdianto (12010155)
Taopik Hidayat (1195010150)
Tatar Sunda adalah wilayah tempat bermukimnya suku Sunda. Tatar Sunda umumnya
disamakan dengan daerah Jawa Barat. Sebelum daerah Jawa bagian barat terpecah menjadi
provinsi Banten, Jakarta, dan Jawa Barat seluruh wilayah ini dianggap sebagai bagian dari
etnik Sunda. Oleh sebab itu, ketika membicarakan sejarah Sunda, selalu saja Cirebon,
Banten, dan Jakarta menjadi wilayah yang dianggap menjadi bagian dari Sunda. Akan tetapi,
kini Jakarta diklaim sebagai tempat bermukim etnik khusus bernama “Betawi”, dan orang-
orang Banten menganggap mereka bukan Sunda, melainkan “Banten”. Sebentar lagi, Cirebon
ingin berpisah dari Jawa Barat karena mereka merasa bukan “Sunda”. Mereka adalah etnik
tersendiri.
Sesungguhnya, kalau yang dilihat adalah perbedaan-perbedaan, tentu akan semakin banyak
wilayah yang ingin membentuk provinsi sendiri karena alasan etnisitas seperti kasus Banten
dan Cirebon. Akan tetapi, itu tidak berarti bahwa sungguh-sungguh Banten, Cirebon, dan
Betawi benar-benar bukan bagian dari “Tatar Sunda”, karena pada kenyataannya, pada
wilayah-wilayah itulah populasi masyarakat Sunda tersebar. Oleh sebab itu, bila berbicara
“Tatar Sunda” dalam sejarah, tentu wilayah-wilayah itu tetap merupakan bagian di dalamnya.
Sama seperti etnis Jawa yang umumnya berdiam di wilayah Jawa bagian tengah dan timur,
etnis Sunda pun mengalami proses sejarah yang panjang yang umumnya tidak terlampau
berbeda dengan yang dialami oleh etnis Jawa. Salah satu fase sejarah yang paling penting
adalah proses Islamisasi. Proses ini, sampai saat ini merupakan proses yang memberikan
kesan paling penting dam mendalam bagi masyarakat Sunda. Paling tidak, secara nominal,
mayoritas suku Sunda menganut Islam. Islam bahkan hampir menjadi bagian dari identitas
kesundaan. Dengan kata lain, kalau tidak Islam, agak aneh bahwa dia adalah orang Sunda,
sekalipun pada kenyataannya ada saja orang Sunda yang tidak Islam.
Sudah menjadi kebiasaan dalam historiografi kolonial bahwa Islamisasi akan dibenturkan
dengan pertahanan adat masyarakat lokal. Umpamanya ketika sejarawan-sejarawan kolonial
menceritakan proses Islamisasi di wilayah kebudayaan Jawa. Islamisasi yang sesungguhnya
adalah proses kebudayaan kemudian digambarkan dengan pristiwa-peristiwa politik. Jadilah
kemudian perang antara Demak dengan Majapahit (1526 M) sebagai diartikan perang antara
Islam dengan Hindu; atau Islam dengan kebudayaan Jawa. Dalam hal ini, Demak
disimbolkan sebagai wakil tradisi Islam sementara Majapahit disimbolkan sebagai wakil
kebudayaan Jawa.
Bila melihat hubungan antara Islam dengan kebudayaan setempat seperti demikian, maka
akan dapat disimpulkan bahwa Islam datang untuk menghancurkan “kebudayaan”
masyarakat setempat. Padahal, sejatinya proses Islamisasi di Indonesia, apalagi menyangkut
kebudayaan, pada umumnya merupakan proses yang damai, normal, dan wajar tanpa
kekerasan. Orang dengan sukarela menjadi Islam atau tidak. Sementara persoalan politik
sesungguhnya lebih banyak berkaitan dengan kepentingan kekuasaan, daripada dengan
kepentingan mempertahankan kebudayaan.
Hal yang sama juga akan ditemukan saat menceritakan hubungan antara Sunda dengan Islam.
Hubungan ini, dalam sejarah selalu dikaitkan dengan ingatan perang antara Maulana
Hasanudin dari Banten dengan kerajaan Sunda di bawah pimpinan Ratu Samiam tahun 1579
yang berakhir dengan hancurnya kerajaan Sunda. Perang ini seolah memberikan pertanda
bahwa Islam dengan Sunda adalah seteru, sesuatu yang tidak dapat dipersatukan. Padahal,
dalam ingatan budaya masyarakat Sunda, perang tersebut sudah tidak pernah lagi menjadi
bagian yang penting untuk dijadikan identitas. Artinya, bagi mereka kejadian itu tidak
dianggap sebagai sesuatu yang penting dalam proses Islamisasi yang mereka alami. Bahkan
dalam alam pikiran masyarakat Sunda—sebagaimana nanati akan dijelaskan—sejarah
Islamisasi yang mereka alami tidak pernah dikaitkan dengan permusuhan terhadap kelompok
manapun.
Dalam catatan sejarah, Islam datang ke Tatar Sunda seiring dengan datangnya Islam ke
Tanah Jawa pada umumnya. Sama seperti di wilayah Jawa yang lain, puncak keberhasilan
dakwah Islam adalah pada masa Wali Songo. Di Tatar Sunda, anggota Wali Songo yang
menjadi penyebar Islam tersohor, bahkan sampai berhasil mendirikan kerajaan Islam di
Cirebon dan Banten adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Namun demikian,
Sunan Gunung Jati bukan orang pertama yang membawa Islam.
Dalam sumber-sumber lokal-tradisional dipercayai bahwa orang yang pertama kali memeluk
dan menyebarkan Islam di Tatar Sunda adalah Bratalegawa. Bratalegawa adalah putra kedua
Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora, penguasa Kerajaan
Galuh. Ia memilih hidupnya sebagai saudagar besar. Karena posisinya itu, ia tebiasa berlayar
ke Sumatera, Cina, India, Srilangka, Iran, sampai ke negeri Arab. Ia menikah dengan seorang
Muslimah dari Gujarat bernama Farhana binti Muhammad. Melalui pernikahan ini,
Bratalegawa memeluk Islam, kemudian menunaikan ibadah haji dan mendapat julukan Haji
Baharudin. Sebagai orang yang pertama kali menunaikan ibadah haji di kerajaannya, ia
dikenal dengan sebutan Haji Purwa. Ia kemudian menetap di Ciberon Girang yang saat itu
berada di bawah kekuasaan Galuh.
Bila cerita ini menjadi patokan, dapat disimpulkan bahwa Islam pertama kali dibawa ke Tatar
Sunda oleh pedagang dan pada tahap awal belum banyak pendukungnya karena masih
terlampau kuatnya pengaruh Hindu. Sementara kala waktunya, bila dikaitkan dengan
penguasa Kerajaan Galuh Sang Bunisora yang berkuasa selama 14 tahun dari tahun 1357
hingga 1371 M, maka dapat kita ketahui bahwa peristiwa Bratalegawa atau Haji Purwa di
atas terjadi sekitar abad ke-14.
Ada pula naskah tradisional lain yang menyebutkan cerita tentang Syekh Nurjati dari Persia.
Ia adalah ulama yang datang pada sekitar abad ke-14 bersama 12 orang muridnya untuk
menyebarkan Islam di daerah jawa Barat. Atas izin penguasa pelabuhan tempat ia mendarat,
ia diperbolehkan menetap di Muarajati (dekat Cirebon) dan mendirikan pesantren di sana.
Kisah ini terdapat dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari.
Ada lagi kisah tentang ulama yang datang dari Campa (sekitar Vietnam) bernama Syekh
Quro. Ia singgah di Karawang bersama-sama dengan kapal Laksamana Cheng Ho. Sementara
Cheng Ho melanjutkan misinya, Syekh Quro memilih tinggal di Karawang dan menikah
dengan Ratna Sondari putra penguasa Karawang. Ia diizinkan untuk mendirikan pesantren
hingga ia dapat menyebarluaskan ajaran Islam secara lebih leluasa.
Sumber-sumber tradisional ini, sekalipun dalam perspektif sejarawan Barat dianggap sebagai
sumber yang tidak otoritatif, namun untuk tidak dipercayai secara keseluruhan pun bukan
perkara yang tepat. Oleh sebab itu, sebagai informasi permulaan apa yang ditulis dalam
sumber-sumber tradisional di atas patut dipertimbangkan.
Bila sumber-sumber ini kita pegang, dapat disimpulkan bahwa Islam telah datang ke Tatar
Sunda sejak abad ke-12 atau ke-13. Akan tetapi, sebagaimana umumnya pengembangan
agama secara damai, tersebarnya Islam untuk sampai menjadi anutan mayoritas
membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Oleh sebab itu, bila pada abad ke-16, Kerajaan
Sunda runtuh, bukan berarti bahwa Islam yang menghancurkannya. Kehancuran Kerajaan
Sunda adalah karena kekuatannya secara politik semakin merosot sehingga mudah untuk
dihancurkan. Hanya saja, saat itu yang berhadap-hadapan dengan Kerajaan Sunda adalah
Kerajaan Banten sehingga banyak yang secara simplisistik menyebutkan bahwa hancurnya
simbol “kasundaan” adalah ketika Islam datang. Artinya, peristiwa politik antara Banten
dengan Pajajaran harus dilihat dalam konteks perebutan supremasi politik yang tidak selalu
harus berkaitan dengan masalah keyakinan, terutama dalam konteks Islamisasi di Tatar
Sunda.
Islamisasi di Tatar Sunda sendiri berlangsung secara laten jauh sebelum terjadi berbagai
konflik politik antara Kerajaan Islam Cirebon dan Banten dengan Kerajaan Pajajaran.
Menurut Hasan Mu’arif Ambary, Islamisasi di Nusantara, termasuk di Tatar Sunda melalui
tahap-tahap yang hampir seragam, yaitu: pertama, adanya kontak antara masyarakat
Nusantara dengan para pedagang, pelaut, atau musafir dari berbagai belahan dunia seperti
China, Arab, India, Asia Tenggara, Persia, dan sebagainya. Periode ini, berlangsung antara
abad ke-7 hingga abad ke-11. Kontak pergadangan ini menjadi argumentasi awal atas
kemungkinan bertemunya masyarakat Nusantara dengan para pedagang Muslim dari negara-
negara Islam.
Kesultanan Cirebon adalah kerajaan bercorak Islam pertama di tanah Sunda atau Jawa Barat.
Sejarah kerajaan yang wilayahnya pernah menjadi bagian dari Kerajaan Tarumanegara lalu
Pajajaran ini didirikan pada abad ke-15 Masehi, tepatnya tahun 1430. Awalnya, Cirebon
merupakan daerah bernama Kebon Pesisir atau Tegal Alang-Alang. Kerajaan Cirebon dirintis
oleh Raden Walangsungsang (Pangeran Cakrabuana), putra Raja Pajajaran dari Kerajaan
Sunda Galuh, yakni Prabu Siliwangi dengan permaisurinya, Nyai Subang Larang.
Setelah beranjak dewasa, ketiga anak Prabu Siliwangi dari permaisuri Nyai Subang Larang
dipersilakan meninggalkan Kerajaan Pajajaran yang menganut ajaran Sunda Wiwitan, Hindu,
atau Buddha. Putra sulung Prabu Siliwangi dari permaisuri, Raden Walangsungsang alias
Pangeran Cakrabuana, kehilangan haknya untuk bertakhta di Pajaran karena memilih
memeluk agama Islam seperti ibunya. Raden Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana
memilih untuk memperdalam agama Islam ke Tegal Alang-Alang atau Kebon Pesisir, lalu
diikuti oleh adiknya, Lara Santang. Dalam perjalanan, Raden Walangsungsang menikah
dengan Nyai Endang Geulis.
Sesampainya di Kebon Pesisir, mereka berguru kepada Syekh Nurul Jati. Di daerah pesisir
utara Jawa inilah Raden Walangsungsang mendirikan pedukuhan sebagai cikal-bakal
Kerajaan Cirebon. Setelah mendirikan pedukuhan, Raden Walangsungsang dan Lara Santang
menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekah. Di perjalanan, Lara Santang menikah dengan
Syarif Abdillah bin Nurul Alim. Dari pernikahan ini, Nyai Lara Santang melahirkan dua
orang anak laki-laki bernama Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Sepulang dari tanah
suci, dikutip dari Susilaningrat dalam Dalem Agung Pakungwati Kraton Kasepuhan Cirebon
(2013), Raden Walangsungsang kembali ke pedukuhan dan mendirikan pemerintahan yang
kemudian dikenal dengan nama Kerajaan atau Kesultanan Cirebon pada 1430 Masehi.
Pendirian Kesultanan Cirebon tidak terlepas dari pengaruh Kesultanan Demak di Jawa
Tengah yang merupakan kerajaan bercorak Islam pertama di Jawa sekaligus sebagai kerajaan
yang memungkasi riwayat Kerajaan Majapahit. Heru Erwantoro dalam "Sejarah Singkat
Kerajaan Cirebon" yang termaktub di jurnal Patanjala (2012) menyebutkan Walangsungsang
alias Cakrabuana wafat pada 1479. Tampuk kekuasaan kemudian dilanjutkan oleh Syarif
Hidayatullah. Seperti diketahui, Syarif Hidayatullah adalah keponakan Raden
Walangsungsang atau putra pertama dari adiknya, Nyai Lara Santang. Syarif Hidayatullah
pada akhirnya dikenal sebagai Sunan Gunung Jati (1479-1568).
Sebagaimana diketahui bahwa perkawinan Nyi Ratu Lara Santang atau Syarifah Muda’im
dengan Syarif Abdillah penguasa Kota Isma’illiyah telah dikaruniai dua orang putra yaitu
Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Sejak usia Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah
masih belia, ayahandanya telah menekankan agar menimba ilmu dari siapa saja ulama yang
mereka gurui dengan sungguh-sungguh. Kemungkinan diantara keduanya berlainan dalam
memilih guru, ulama yang diketahui menjadi guru Syarif Hidayatullah adalah Syekh
Tajmuddin Al Kubro dan Syekh Ataillah Sadzali. Bidang ilmu yang dipelajari pun tidak
berkisar tentang ilmu-ilmu agama dan ilmu sosial saja, ia juga mempelajari Ilmu tasawuf dari
ulama-ulama Baghdad. Sementara itu, Abdullah Iman/Walangsungsang menyiarkan agama
Islam di Caruban dan lambat laun banyak orang memeluk Islam hingga Abdullah mendirikan
Masjid Jelagrahan dan rumah besar.23 Masjid Jelagrahan ini adalah masjid pertama di
Cirebon dan masih ada hingga saat ini. Hingga saat ini perkembangan Caruban masih
signifikan didalam wilayah Caruban dengan makin banyaknya pemeluk Islam.
Penobatan wali kutub Sunan Gunung Jati ini merupakan hal yang sudah lama direncanakan
para mubaligh Islam. Strategi perluasan Islam oleh para mubaligh yang kebanyakan
keturunan nabi Muhammad S.A.W. ini termasuk di wilayah Asia Tenggara, termasuk
Indonesia. Oleh karena itu, para tokoh penyebar Islam ini menghendaki pengangkatan Sunan
Gunung Jati sebagai wali kutub dari daerah masrik/timur yang berkedudukan di Cirebon.
Pengangkatan Sunan Gunung Jati dilakukan setelah wafatnya wali kutub dari daerah
magrib/barat Syekh Abdul Qadir Jaelani.
Pernikahan Sunan Gunung Jati yang disertai penyerahan kekuasaan Pangeran Cakrabuana ke
Sunan Gunung Jati juga menjadi penanda bahwa pada sekitaran tahun 1479 Negara Cirebon
telah merdeka. Langkah besar yang diambil Sunan Gunung Jati adalah pada tahun 1483
menghentikan pengiriman bulubekti/upeti berupa garam dan terasi pada Kerajaan Pakuan
Pajajaran.31 Hal ini direstui oleh Pangeran Cakrabuana dan mendapat dukungan para
walisongo.
Dengan pemberhentian upeti Cirebon pada Pajajaran maka Kesultanan Cirebon dibawah
kepemimpinan Sunan Gunung Jati merdeka dan tidak berada dibawah pengaruh Kerajaan
Pajajaran yang Hindu.
Terdapat sejumlah alasan yang membuat Kerajaan Cirebon mengalami masa keemasan pada
saat dipimpin Sunan Gunung Jati:
Sejarah Cirebon dimulai dari kampung Kebon Pesisir, pada tahun 1445 dipimpin oleh
Ki Danusela.
Caruban Larang terus berkembang dan pada tahun 1479 sudah disebut sebagai Nagari Cerbon
yang dipimpin oleh Tumenggung Syarif Hidayatullah bergelar Susuhunan Jati. Susuhunan
Jati meninggal pada tahun 1568 dan digantikan oleh Pangeran Emas yang bergelar
Panembahan Ratu.
Pada tahun 1649 Pangeran Karim yang bergelar Panembahan Girilaya, menggantikan
Panembahan Ratu. Panembahan Girilaya wafat pada tahun 1666, untuk sementara Pangeran
Wangsakerta diangkat sebagai Susuhunan Cirebon dengan gelar Panembahan Toh Pati.
Tahun 1677 Cirebon terbagi, Pangeran Martawijaya dinobatkan sebagai Sultan Sepuh
bergelar Sultan Raja Syamsuddin, Pangeran Kertawijaya sebagai Sultan Anom bergelar
Sultan Muhammad Badriddin. Sultan Sepuh menempati Kraton Pakungwati dan Sultan
Anom membangun kraton di bekas rumah Pangeran Cakrabuwana. Sedangkan Sultan Cerbon
berkedudukan sebagai wakil Sultan Sepuh. Hingga sekarang ini di Cirebon dikenal terdapat
tiga sultan yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Sultan Cirebon.
Keberadaan ketiga sultan juga ditandai dengan adanya keraton yaitu Keraton Kasepuhan,
Keraton Kanoman, dan Keraton Kacirebonan. Di luar ketiga kesultanan tersebut terdapat satu
keraton yang terlepas dari perhatian. Keraton tersebut adalah Keraton Gebang.
Menelusuri Cirebon dan kawasan pantai utara Jawa Barat memang akan banyak menjumpai
tinggalan yang berkaitan dengan sejarah Cirebon dan Islamisasi Jawa Barat. Beberapa
bangunan sudah banyak dikenal masyarakat seperti Keraton Kasepuhan, Kanoman, dan
Kacirebonan, Taman Sunyaragi, serta kompleks makam Gunung Sembung dan Gunung Jati.
Sepeninggal Sunan Gunung Jati yang wafat pada 1568, Kesultanan Cirebon mulai diincar
bangsa-bangsa asing, terutama Belanda alias VOC. *Sebab Runtuhnya Kerajaan Cirebon*
Setelah masa-masa kejayaan muncul, akhirnya Cirebon harus runtuh dan berakhir menjadi 2
bagian kerajaan yaitu kesultanan Kasepuhan dan kesutanan Kanoman. Penyebab runtuhnya
pemerintahan Cirebon karena adanya masalah politik yang terjadi di antara kerajaan Mataram
Islam, kerajaan Banten serta VOC Belanda. Hal ini dimulai ketika Panembahan Girilaya
memimpin tahun 1649-1662. Pada waktu itu Panembahan Girilaya datang untuk berkunjung
ke Mataram. Namun di tengah kunjungannya itu, Sultan Mataram meminta agar kerajaan
Cirebon memutus hubungan dengan Banten. Mataram ingin menjadikan Cirebon sebagai
bawahannya. Namun Panembahan Girilaya menolak. Karenanya, Panembahan Girilaya dan 2
putra mahkotanya ditahan di Mataram.
Tahun 1662, Panembahan Girilaya wafat dan selama 16 tahun Cirebon tidak memiliki
pemimpin. Setelah 16 tahun, terjadilah pemberontakan Trunojoyo, dimana rakyat Banten dan
Cirebon bersatu menguasai istana Mataram. Sultan Mataram melarikan diri namun akhirnya
wafat dalam pelarian. Sementara 2 putra mahkota berhasil diselamatkan dan diangkat
menjadi sultan. Karena adanya 2 sultan inilah, pada akhirnya kesultanan Cirebon terpecah
menjadi 2 bagian kerajaan.Setelah terlibat polemik selama bertahun-tahun, akhirnya Cirebon
menyerah. Dikutip dari buku Sejarah Daerah Jawa Barat (1982) terbitan Tim Direktorat
Jenderal Kebudayaan RI, pada 1681 ditandatangani perjanjian antara para pemegang otoritas
Cirebon dengan Belanda. Perjanjian tersebut membuat VOC berhak memonopoli
perdagangan di wilayah Cirebon. Selain itu, wilayah Kesultanan Cirebon menjadi protektorat
yang berada wilayah di bawah naungan Belanda. Antara tahun 1906 hingga 1926, Belanda
secara resmi menghapus kekuasaan pemerintahan Kesultanan Cirebon. Cirebon terbebas dari
cengkeraman Belanda pada 1942 dan akhirnya menjadi bagian dari Republik Indonesia sejak
1945.
Pada tahun 1430 keraton ini didirikan oleh Pangeran Cakrabuana. Nama lainnya adalah
Keraton Pakungwati (mengambil dari nama putrinya Ratu Ayu Pakungwati). Pada keraton ini
akan dijumpai bangunan masjid megah karya para Wali yang ada di sebelah keraton. Selain
itu ada alun-alun di sebelah timur keraton. Di bagian depan dan belakang juga akan dijumpai
gerbang keraton dan khususnya di bagian depan akan menemukan 2 bangunan bernama
Pancaratna dan Pancaniti.
Dibuat pada tahun 1549 oleh Panembahan Losari (cucu Sunan Gunung Jati). Bentuknya
yang unik dengan bagian depan kereta terdapat belalai gajah, naga berkepala tiga dan badan
serta sayap Buroq. Biasanya kereta ini digunakan ketika kirab. Namun di tahun 1945, sudah
tidak lagi digunakan dan ketika kirab hanya menggunakan kereta duplikatnya saja.
Patung berbentuk macan putih yang ada di depan keraton-keraton Cirebon. Patung ini
dulunya merupakan lambang keluarga dari Prabu Siliwangi.
4. Keraton Kacirebon
Keraton ini ada di kelurahan Pulasaren, Pekalipan, Kota Cirebon. Dibangun pada tahun
1800 M, saat ini digunakan sebagai museum penyimpanan barang-barang peninggalan
terdahulu.
5. Keraton Kanoman
Keraton yang merupakan rumah bagi Sultan Muhammad Emiruddin dan keluarganya ini
dibangun oleh Pangeran Kertawijaya. Ada 2 kereta yang disimpan di keraton ini yaitu kereta
Jempana dan kereta Paksi Naga Liman.
6. Keraton Keprabon
Bangunan ini didirikan Pangeran Raja Adipati bukan sebagai tempat tinggal, melainkan
tempat untuk menimba ilmu agama Islam.
Makam salah satu Walisongo ini selalu ramai dikunjungi masyarakat yang ingin berziarah
hingga saat ini. Sunan Gunung Jati merupakan salah satu penyiar agama Islam. Makamnya
terletak di lintasan Cirebon-Indramayu.
Masjid yang dibangun tahun 1840 M ini diprakarsai oleh Sunan Gunung Jati dengan
menunjuk Sunan Kalijaga sebagai perancang bangunannya. Membangun masjid ini dulunya
melibatkan 500 orang dan merupakan masjid tertua yang ada di Cirebon.
Bangunan Islam peninggalan Cirebon lainnya selain masjid adalah Tajuq Agung atau
Mushola Agung. Bangunan ini dulunya adalah tempat ibadah kerabat keraton. Di samping
mushola terdapat pos bedug Samogiri yang merupakan bangunan tanpa dinding dan atapnya
berbentuk limas.
Bangunan ini merupakan alun-alun yang ada di sebelah timur Keraton Kasesekita
Dulunya alun-alun ini digunakan untuk acara resmi keraton, namun saat ini berganti menjadi
pasar tempat berjualan poci atau teko buatan masyarakat sekitar.
Kutagara Wadasan merupakan bangunan gapura yang dicat putih. Pondasinya sangat
kokoh dengan bentuk khas Cirebon. Ada pula Kuncung yang digunakan sebagai tempat
parkir kendaraan sultan pada jaman dahulu.
Regol yang berarti gerbang berbentuk seperti gapura beratap. Regol Pengada dibuat pada
masa kepemimpinan Sunan Gunung Jati pada tahun 1529.