Anda di halaman 1dari 38

F6 (HIPERTENSI)

*LATAR BELAKANG*

Pembangunan bidang kesehatan di Indonesia saat ini dihadapkan pada beban ganda, di
satu pihak penyakit menular masih merupakan masalah kesehatan masyarakat karena masih
banyak kasus belum terselesaikan, bahkan beberapa penyakit menular yang semula dapat
dikendalikan muncul kembali dengan penyebaran tidak mengenal batas- batas daerah maupun
batas antar negara. Dilain pihak telah terjadi peningkatan kasus penyakit tidak menular (PTM),
yang merupakan penyakit akibat gaya hidup serta penyakit-penyakit degeneratif.

Proporsi penyebab kematian karena penyakit kardiovaskuler tahun 1986, 1992, 1995
dan 2001 cenderung meningkat. Faktor risiko penyakit Kardiovaslerantara lain merokok,
obesitas, diet rendah serat tinggi lemak dengan akibat gangguan kadar lemak dalam darah, dan
kurangnya olah raga. Diperoleh data bahwa di Indonesia terdapat 28 % perokok pada usia 10
tahun ke atas, kurang aktivitas fisik merupakan proporsi terbanyak yaitu 92% dari penduduk
usia 15 tahun ke atas di pulau Jawa dan Bali terutama untuk kelompok perempuan. Overweight
dan obesitas lebih tinggi prevalensinya pada perempuan dan cenderung meningkat dengan
bertambahnya umur.

Sedangkan angka penderita Hipertensi kian hari semakin mengkhawatirkan, seperti


yang dilansir oleh The Lancet tahun 2000 sebanyak 972 juta (26%) orang dewasa di dunia
menderita Hipertensi. Angka ini terus meningkat tajam, diprediksikan oleh WHO pada tahun
2025 nanti sekitar 29% orang dewasa di seluruh dunia yang menderita hipertensi.

Pada saat ini hipertensi adalah faktor risiko ketiga terbesar yang menyebabkan kematian
dini, hipertensi berakibat terjadinya gagal jantung kongestif serta penyakit cerebrovaskuler.
Penyakit ini dipengaruhi oleh cara dan kebiasaan hidup seseorang, sering disebut sebagai the
killer disease karena penderita tidak mengetahui kalau dirinya mengidap hipertensi. Penderita
datang berobat setelah timbul kelainan organ akibat Hipertensi. Hipertensi juga dikenal sebagai
heterogeneouse group of disease karena dapat menyerang siapa saja dari berbagai kelompok
umur, sosial dan ekonomi. Kecenderungan berubahnya gaya hidup akibat urbanisasi,
modernisasi dan globalisasi memunculkan sejumlah faktor risiko yang dapat meningkatkan
angka kesakitan hipertensi.
*PERMASALAHAN*

I. Identitas Pasien
Nama : Ny.W
Umur : 74 tahun
Pekerjaan :-
Tanggal Periksa : 09 Februari 2021

II. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesa pada tanggal 09 Februari 2021
1. Keluhan Utama
Sakit Kepala
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan Sakit Kepala sejak lima hari ini.
Keluhan dirasakan terus menerus, berkurang dengan istirahat, pasien
biasanya rutin minum obat dari puskesmas namun sudah lima hari terakhir
ini obat sudah habis. Pasien pertama kali merasakan keluhan tersebut sejak
15 tahun lalu dan sudah terdiagnosis hipertensi, biasanya rutin minum obat
dan kontrol ke puskesmas namun lima hari ini tidak ada yang mengantarkan,
keluhan lain seperti mual muntah tidak ada. BAK dan BAB dirasakan seperti
biasa.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


a. Riwayat hipertensi : (+)
b. Riwayat DM : disangkal
c. Riwayat asma : disangkal
d. Riwayat sakit jantung : disangkal
e. Riwayat mondok : disangkal
f. Riwayat alergi : disangkal
4. Riwayat Kebiasaan
a. Riwayat merokok : disangkal
b. Riwayat konsumsi alkohol : disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat hipertensi : (+)
b. Riwayat DM : disangkal
c. Riwayat asma/alergi : disangkal
d. Riwayat sakit jantung : disangkal

III. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 09 Februari 2021

1. Keadaan Umum : Sakit sedang, Komposmentis.


2. Tanda Vital
a. Tensi : 150/ 100 mmHg
b. Nadi : 78 x/menit, irama reguler, isi dan tegangan cukup.
c. Pernapasan : 20 x/menit
d. Suhu : 36,9 °C per axiler
3. Status Gizi
BB = 45 kg
TB = TDP
4. Kulit
Ikterik (-), ekhimosis di kaki (-), turgor menurun (-), kulit kering (-).
5. Kepala
bentuk mesocephal, rambut warna hitam, sukar dicabut
6. Wajah
Simetris, eritema (-)
7. Mata
Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), perdarahan subkonjungtiva (-/-),
pupil isokor dengan diameter 3 mm/3 mm, reflek cahaya (+/+) normal,
oedem palpebra (-/-), strabismus (-/-), cowong (-/-)
8. Telinga
Sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid (-) gangguan fungsi pendengaran (-)
9. Hidung
Deviasi septum nasi (-), epistaksis (-), nafas cuping hidung (-), sekret (-)
10. Mulut
Sianosis (-), gusi berdarah (-), kering (-), stomatitis (-), pucat (-), papil lidah
atropi (-)
11. Leher
JVP (R+2) cm, trakea di tengah, simetris, pembesaran tiroid (-), pembesaran
kelenjar getah bening (-).
12. Thoraks
Bentuk normochest, simetris, retraksi intercostalis (-), pernafasan
abdominothorakal, sela iga melebar (-), pembesaran kelenjar getah bening
aksilla (-)
Jantung :
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak, pulsasi precardial, epigastrium dan
parasternal tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat.
Perkusi :
batas jantung kiri atas : spatium intercostale II, linea sternalis sinistra
batas jantung kiri bawah: spatium intercostale V, 1 cm medial linea
medio clavicularis sinistra
batas jantung kanan atas : spatium intercostale II, linea sternalis dextra
batas jantung kanan bawah : spatium intercostale IV, linea sternalis
dextra
pinggang jantung :spatium intercostale III, linea parasternalis
sinistra
Kesan : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : HR 78 x/menit, bunyi jantung I-II intensitas normal,bising (-),
gallop (-)
Pulmo
Inspeksi
Statis : simetris, sela iga tidak melebar, iga tidak mendatar.
Dinamis : pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela iga tidak
melebar, retraksi intercostal (-).
Palpasi
Statis : simetris
Dinamis : pergerakan kanan = kiri, fremitus raba kanan = kiri
Perkusi
Kanan : sonor
Kiri : sonor
Auskultasi
Kanan : Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan (-), Wheezing
(-).
Kiri: Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan (-), Wheezing (-).
13. Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada, distended (-), venektasi (-),
sikatrik (-).
Auskultasi : peristaltik (+) normal
Perkusi : tympani, pekak alih (-), ascites (-), undulasi (-)
Palpasi : supel (-), nyeri tekan (-), Ballotement (-), Hepar dan lien tidak
teraba
14. Ekstremitas : dalam batas normal

*PERENCANAAN & PEMILIHAN INTERVENSI*

I. DIAGNOSIS : Hipertensi Essensial


II. PENATALAKSANAAN
Tatalaksana pengendalian hipertensi dilakukan dengan pendekatan:

a. Promosi kesehatan diharapkan dapat memelihara, meningkatkan dan


melindungi kesehatan diri serta kondisi lingkungan sosial, diintervensi dengan
kebijakan publik, serta dengan meningkatkan pengetahuan dan kesadaran
masyarakat mengenai prilaku hidup sehat dalam pengendalian hipertensi.
b. Preventif dengan cara larangan merokok, peningkatan gizi seimbang dan
aktifitas fisik untuk mencegah timbulnya faktor risiko menjadi lebih buruk dan
menghindari terjadi rekurensi faktor risiko.
c. Kuratif dilakukan melalui pengobatan farmakologis dan tindakan yang
diperlukan. Kematian mendadak yang menjadi kasus utama diharapkan
berkurang dengan dilakukannya pengembangan manajemen kasus dan
penanganan kegawatdaruratan disemua tingkat pelayanan dengan melibatkan
organisasi profesi, pengelola program dan pelaksana pelayanan yang
dibutuhkan dalam pengendalian hipertensi.

d. Rehabilitatif dilakukan agar penderita tidak jatuh pada keadaan yang lebih
buruk dengan melakukan kontrol teratur dan fisioterapi Komplikasi serangan
hipertensi yang fatal dapat diturunkan dengan mengembangkan manajemen
rehabilitasi kasus kronis dengan melibatkan unsur organisasi profesi, pengelola
program dan pelaksana pelayanan di berbagai tingkatan.

Terapi Non-farmakologis:
Pengendalian faktor risiko yang dapat saling berpengaruh terhadap terjadinya
hipertensi, hanya terbatas pada faktor risiko yang dapat diubah, dengan usaha-usaha
sebagai berikut :
a. Mengatasi obesitas/menurunkan kelebihan berat badan
b. Mengurangi asupan garam didalam tubuh
c. Ciptakan keadaan rileks dan melakukan olah raga teratur
d. Berhenti merokok dan mengurangi konsumsi alkohol

Terapi famakologis:
Penatalaksanaan penyakit hipertensi bertujuan untuk mengendalikan angka
kesakitan dan kematian akibat penyakit hipertensi dengan cara seminimal mungkin
menurunkan gangguan terhadap kualitas hidup penderita. Pengobatan hipertensi dimulai
dengan obat tunggal , masa kerja yang panjang sekali sehari dan dosis dititrasi. Obat
berikutnya mungkin dapat ditarnbahkan selama beberapa bulan pertama perjalanan terapi.
Pemilihan obat atau kombinasi yang cocok bergantung pada keparahan penyakit dan
respon penderita terhadap obat anti hipertensi.
Beberapa prinsip pemberian obat anti hipertensi sebagai berikut :
a. Pengobatan hipertensi sekunder adalah menghilangkan penyebab hipertensi
b. Pengobatan hipertensi esensial ditujukan untuk menurunkan tekanan darah dengan
harapan memperpanjang umur dan mengurangi timbulnya komplikasi.
c. Upaya menurunkan tekanan darah dicapai dengan menggunakan obat anti hipertensi.
d. Pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang, bahkan pengobatan
seumur hidup.
Terapi farmakologis yang diberikan adalah:
- Terapi Oral:
R/ Amlodipin 10 mg No. X
S 1 dd 1 tab
R/ Captopril 25 mg No. XX
S 3 dd 1 tab

R/ Parasetamol 500 mg No.X


S 2 dd 1 tab k/p

R/ Vitamin B Complex No.X


S 1 dd 1 tab

Edukasi yang diberikan kepada pasien:


a. Menjelaskan kepada pasien bahwa hipertensi merupakan penyakit yang tidak dapat
sembuh namun dapat dikontrol dengan modifikasi gaya hidup dan obat
b. Mengontrol faktor risiko, antara lain menurunkan kelebihan berat badan, mengurangi
asupan garam sehari-hari, menciptakan keadaan rileks, melakukan olah raga teratur
c. Meminum obat secara teratur dan kembali kontrol sebelum obat habis
d. Rujukan dilakukan bilamana terapi yang diberikan di pelayanan primer belum dapat
mencapai sasaran pengobatan yang diinginkan atau dijumpai komplikasi penyakit
lainnya akibat penyakit hipertensi.

*PELAKSANAAN*

Tempat Pemeriksaan : Dusun Ngenep, Desa Terong, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul.

Tanggal : Selasa, 09 Februari 2021

Pasien: Lansia

Pasien datang pada kegiatan Posyandu Lansia yang dilaksanakan di Dusun Ngenep,
Desa Terong, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul.
Adapun alur pemeriksaannya meliputi:

1. Pendaftaran di meja yang di bantu oleh kader.

2. Penimbangan Berat Badan, Tinggi Badan, dan Tekanan Darah.


3. Pasien menunggu antrian untuk konsultasi dengan dokter

4. Konsultasi dengan dokter.

5. Pengambilan obat.

*MONITORING & EVALUASI*

Apabila pasien datang untuk kontrol, dilakukan evaluasi apakah keluhan yang
dialami sudah berkurang atau belum. Memeriksa tekanan darah pasien. Ditanyakan
apakah obat masih ada atau tidak. Jika tekanan darah masih belum memenuhi sasaran
setelah beberapa kali pengobatan dan modifikasi gaya hidup yang tepat atau ditemukan
komplikasi dari hipertensi, maka pasien perlu dirujuk ke dokter spesialis.
F6 (OSTEOARTRITIS GENU)

*LATAR BELAKANG*

Osteoartritis (OA) merupakan penyakit degenerasi pada sendi yang melibatkan


kartilago, lapisan sendi, ligamen, dan tulang sehingga menyebabkan nyeri dan kekakuan pada
sendi (Center for Disease Control and Prevention (CDC), 2014). Perhimpunan Reumatologi
Indonesia secara sederhana mendefinisikan osteoartritis sebagai suatu penyakit sendi
degeneratif yang terjadi karena proses inflamasi kronis pada sendi dan tulang disekitar sendi
tersebut (Hamijoyo, 2007).

Penyebab OA belum diketahui secara pasti, tetapi usia, jenis kelamin, ras, riwayat
keluarga yang menderita osteoartritis, obesitas, riwayat cedera dan aktifitas fisik yang
berlebihan merupakan faktor resiko terjadinya osteoartritis (Sambrook et. al, 2005).

Prevalensi osteoartritis di Eropa dan America lebih besar dari pada prevalensi di negara
lainnya. The National Arthritis Data Workgroup (NADW) memperkirakan penderita
osteoartritis di Amerika pada tahun 2005 sebanyak 27 juta yang terjadi pada usia 18 tahun
keatas (Murphy dan Helmick, 2013). Estimasi insiden osteoartritis di Australia lebih besar pada
wanita dibandingkan pada laki-laki dari semua kelompok usia yaitu 2,95 tiap 1000 populasi
dibanding 1,71 tiap 1000 populasi (Woolf dan Pfleger, 2003). Di Asia, China dan India
menduduki peringkat 2 teratas sebagai negara dengan epidemiologi osteoartritis tertinggi yaitu
berturut-turut 5.650 dan 8.145 jiwa yang menderita osteoartritis lutut (Fransen et. al, 2011).
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 hasil dari wawancara pada usia ≥ 15 tahun
rata-rata prevalensi penyakit sendi/rematik sebesar 24,7%. Provinsi Nusa Tenggara Timur
(NTT) merupakan provinsi dengan prevalensi OA tertinggi yaitu sekitar 33,1% dan provinsi
dangan prevalensi terendah adalah Riau yaitu sekitar 9% sedangkan di Jawa Timur angka
prevalensinya cukup tinggi yaitu sekitar 27% (Riskesdas, 2013). 56, 7% pasien di poliklinik
Reumatologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta didiagnosis menderita osteoartritis
(Soenarto, 2010).

Rasa nyeri merupakan rasa yang sering dikeluhkan oleh pasien osteoartritis kepada
dokter pada awal mula datang ke pelayanan kesehatan atau Rumah Sakit. Rasa nyeri
merupakan kunci penting yang menunjukkan arah pasien tersebut sedang mengalami
ketidakmampuan. International Association for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri
sebagai pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan
jaringan yang aktual dan potensial (Melzack, 2009). Nyeri yang dirasakan pada penderita
osteoartritis termasuk nyeri neuromuskuloskeletal non-neurogenik, biasanya sering disebut
sebagai altralgia yaitu nyeri akibat proses patologik pada persendian. Proses terjadinya nyeri
pada persendian bisa disebabkan karena inflamasi, imunologik, non-infeksi, perdarahan dan
proses maligna (Mardjono dan Sidharta, 2010).
*PERMASALAHAN*

IV. Identitas Pasien


Nama : Ny.S
Umur : 78 tahun
Pekerjaan :-
Tanggal Periksa : 12 Desember 2020

V. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesa pada tanggal 12 Desember 2020
1. Keluhan Utama
Nyeri Kedua Lutut
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan Nyeri Kedua Lutut sejak minggu
belakangan ini. Keluhan dirasakan terus menerus, berkurang dengan
istirahat, awal muncul keluhan ketika beberapa minggu belakangan ini
pasien masih aktif bekerja di sawah. Pasien juga mengaku ketika bangun
tidur sendi lututnya terasa kaku yang berlangsung kurang lebih tiga puluh
menit. Pasien sudah pernah berobat ke puskesmas untuk keluhan kakinya
tersebut dan diberi obat pengurang rasa nyeri namun kembali sakit lagi
ketika obat sudah habis. BAK dan BAB dirasakan seperti biasa.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


g. Riwayat hipertensi : disangkal
h. Riwayat DM : disangkal
i. Riwayat asma : disangkal
j. Riwayat sakit jantung : disangkal
k. Riwayat mondok : disangkal
l. Riwayat alergi : disangkal
4. Riwayat Kebiasaan
c. Riwayat merokok : disangkal
d. Riwayat konsumsi alkohol : disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga
e. Riwayat hipertensi : disangkal
f. Riwayat DM : disangkal
g. Riwayat asma/alergi : disangkal
h. Riwayat sakit jantung : disangkal

VI. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 12 Desember 2020

1. Keadaan Umum : Sakit sedang, Komposmentis.


2. Tanda Vital
a. Tensi : 114/75 mmHg
b. Nadi : 88 x/menit, irama reguler, isi dan tegangan cukup.
c. Pernapasan : 20 x/menit
d. Suhu : 36,7 °C per axiler
3. Status Gizi
BB = 36 kg
TB = TDP
4. Kulit
Ikterik (-), ekhimosis di kaki (-), turgor menurun (-), kulit kering (-).
5. Kepala
bentuk mesocephal, rambut warna hitam, sukar dicabut
6. Wajah
Simetris, eritema (-)
7. Mata
Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), perdarahan subkonjungtiva (-/-),
pupil isokor dengan diameter 3 mm/3 mm, reflek cahaya (+/+) normal,
oedem palpebra (-/-), strabismus (-/-), cowong (-/-)
8. Telinga
Sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid (-) gangguan fungsi pendengaran (-)
9. Hidung
Deviasi septum nasi (-), epistaksis (-), nafas cuping hidung (-), sekret (-)
10. Mulut
Sianosis (-), gusi berdarah (-), kering (-), stomatitis (-), pucat (-), papil lidah
atropi (-)
11. Leher
JVP (R+2) cm, trakea di tengah, simetris, pembesaran tiroid (-), pembesaran
kelenjar getah bening (-).
12. Thoraks
Bentuk normochest, simetris, retraksi intercostalis (-), pernafasan
abdominothorakal, sela iga melebar (-), pembesaran kelenjar getah bening
aksilla (-)
Jantung :
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak, pulsasi precardial, epigastrium dan
parasternal tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat.
Perkusi :
batas jantung kiri atas : spatium intercostale II, linea sternalis sinistra
batas jantung kiri bawah: spatium intercostale V, 1 cm medial linea
medio clavicularis sinistra
batas jantung kanan atas : spatium intercostale II, linea sternalis dextra
batas jantung kanan bawah : spatium intercostale IV, linea sternalis
dextra
pinggang jantung :spatium intercostale III, linea parasternalis
sinistra
Kesan : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : HR 88 x/menit, bunyi jantung I-II intensitas normal,bising (-),
gallop (-)
Pulmo
Inspeksi
Statis : simetris, sela iga tidak melebar, iga tidak mendatar.
Dinamis : pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela iga tidak
melebar, retraksi intercostal (-).
Palpasi
Statis : simetris
Dinamis : pergerakan kanan = kiri, fremitus raba kanan = kiri
Perkusi
Kanan : sonor
Kiri : sonor
Auskultasi
Kanan : Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan (-), Wheezing
(-).
Kiri: Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan (-), Wheezing (-).
13. Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada, distended (-), venektasi (-),
sikatrik (-).
Auskultasi : peristaltik (+) normal
Perkusi : tympani, pekak alih (-), ascites (-), undulasi (-)
Palpasi : supel (-), nyeri tekan (-), Ballotement (-), Hepar dan lien tidak
teraba
14. Ekstremitas : dalam batas normal

15. Status Lokalis: Tampak Pembesaran Sendi, Hangat pada perabaan, Krepitasi
(-).

*PERENCANAAN & PEMILIHAN INTERVENSI*

III. DIAGNOSIS : Osteoartritis Genu


IV. PENATALAKSANAAN
Pengelolaan pasien dengan OA bertujuan untuk untuk menghilangkan keluhan,
mengoptimalkan fungsi sendi, mengurangi ketergantungan dan meningkatkan
kualitas hidup, menghambat progresivitas penyakit dan mencegah komplikasi.
Pilar terapi: non farmakologis (edukasi, terapi fisik, diet/penurunan berat badan),
farmakologis (analgetik, kortikosteroid lokal, sistemik, kondroprotektif dan
biologik), dan pembedahan.
a) Edukasi:
Sangat penting bagi semua pasien OA diberikan edukasi yang tepat.
Dua hal yang menjadi tujuan edukasi adalah bagaimana mengatasi nyeri dan
disabilitas. Pemberian edukasi (KIE) pada pasien ini sangat penting karena
dengan edukasi diharapkan pengetahuan pasien mengenai penyakit OA
menjadi meningkat dan pengobatan menjadi lebih mudah serta dapat diajak
bersama-sama untuk mencegah kerusakan organ sendi lebih lanjut. Edukasi
yang diberikan pada pasien ini yaitu memberikan pengertian bahwa OA
adalah penyakit yang kronik, sehingga perlu dipahami bahwa mungkin
dalam derajat tertentu akan tetap ada rasa nyeri, kaku dan keterbatasan gerak
serta fungsi. Selain itu juga diberikan pemahaman bahwa hal tersebut perlu
dipahami dan disadari sebagai bagian dari realitas kehidupannya. Agar rasa
nyeri dapat berkurang, maka pasien sedianya mengurangi
aktivitas/pekerjaannya sehingga tidak terlalu banyak menggunakan sendi
lutut dan lebih banyak beristirahat. Pasien juga disarankan untuk kontrol
kembali sehingga dapat diketahui apakah penyakitnya sudah membaik atau
ternyata ada efek samping akibat obat yang diberikan.
b) Terapi Fisik:
Terapi fisik bertujuan untuk melatih pasien agar persendiannya tetap
dapat dipakai dan melatih pasien untuk melindungi sendi yang sakit. Pada
pasien OA dianjurkan untuk berolah raga tapi olah raga yang memperberat
sendi sebaiknya dihindari seperti lari atau joging. Hal ini dikarenakan dapat
menambah inflamasi, meningkatkan tekanan intraartikular bila ada efusi
sendi dan bahkan bisa dapat menyebabkan robekan kapsul sendi. Untuk
mencegah risiko terjadinya kecacatan pada sendi, sebaiknya dilakukan olah
raga peregangan otot seperti m. Quadrisep femoris, dengan peregangan
dapat membantu dalam peningkatan fungsi sendi secara keseluruhan dan
mengurangi nyeri. Pada pasien OA disarankan untuk senam aerobic low
impact/intensitas rendah tanpa membebani tubuh selama 30 menit sehari tiga
kali seminggu. Hal ini bisa dilakukan dengan olahraga naik sepeda atau
dengan melakukan senam lantai. Senam lantai bisa dilakukan dimana pasien
mengambil posisi terlentang sambil meregangkan lututnya, dengan cara
mengangkat kaki dan secara perlahan menekuk dan meluruskan lututnya.
c) Diet:
Diet bertujuan untuk menurunkan berat badan pada pasien OA yang
gemuk. Hal ini sebaiknya menjadi program utama pengobatan OA.
Penurunan berat badan seringkali dapat mengurangi keluhan dan
peradangan. Selain itu obesitas juga dapat meningkatkan risiko progresifitas
dari OA. Pada pasien OA disarankan untuk mengurangi berat badan dengan
mengatur diet rendah kalori sampai mungkin mendekati berat badan ideal.
Dimana prinsipnya adalah mengurangi kalori yang masuk dibawah energi
yang dibutuhkan. Penurunan energi intake yang aman dianjurkan pemberian
defisit energi antara 500-1000 kalori perhari, sehingga diharapkan akan
terjadi pembakaran lemak tubuh dan penurunan berat badan 0,5 – 1 kg per
minggu. Biasanya intake energi diberikan 1200-1300 kal per hari, dan paling
rendah 800 kal per hari. Formula yang dapat digunakan untuk kebutuhan
energi berdasarkan berat badan adalah 22 kal/kgBB aktual/hari, dengan cara
ini didapatkan defisit energi 1000 kal/hari. Pada pasien di anjurkan untuk
diet 1200 kal perhari agar mencapai BB idealnya yakni setidaknya mencapai
55 kg. Contoh komposisi makanan yang kami anjurkan adalah dalam sehari
pasien bisa memasak 1 gelas beras (550 kal), 4 potong tempe sedang (150
kal), 1 buah telur (100 kal), 2 potong ayam sedang (300 kal) dan 1 ikat
sayuran kangkung (75 kal).
d) Terapi Farmakologis:
Pada pasien OA biasanya bersifat simptomatis. Untuk membantu
mengurangi keluhan nyeri pada pasien OA, biasanya digunakan analgetika
atau Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS). Untuk nyeri yang ringan
maka asetaminophen tidak lebih dari 4 gram per hari merupakan pilihan
pertama. Untuk nyeri sedang sampai berat, atau ada inflamasi, maka OAINS
yang selektif COX-2 merupakan pilihan pertama, kecuali jika pasien
mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya hipertensi dan penyakit ginjal.
OAINS yang COX-2 non-selektif juga bisa diberikan asalkan ada perhatian
khusus untuk terjadinya komplikasi gastrointestinal dan jika ada risiko ini
maka harus dikombinasi dengan inhibitor pompa proton atau misoprostol.
Injeksi kortikosteroid intraartikuler bisa diberikan terutama pada pasien yang
tidak ada perbaikan setelah pemberian asetaminophen dan OAINS.
Tramadol bisa diberikan tersendiri atau dengan kombinasi dengan analgetik.

Terapi farmakologis yang diberikan adalah:


- Terapi Oral:
R/ Ibuprofen 400 mg No. X
S 2 dd 1 tab k/p
R/ Antasida doen No. X
S 3 dd 1 tab

R/ Vitamin B Complex No.X


S 1 dd 1 tab

Edukasi yang diberikan kepada pasien:


a. Menjelaskan kepada pasien bahwa Osteoartritis merupakan penyakit yang tidak
dapat sembuh dengan pengobatan kecuali dengan operasi.
b. Mengontrol faktor risiko, antara lain mengurangi aktivitas fisik yang berat terutama
karena usia yang sudah beranjak tua.

c. Rujukan dilakukan bilamana terapi yang diberikan di pelayanan primer belum dapat
mencapai sasaran pengobatan yang diinginkan atau dijumpai komplikasi penyakit
lainnya akibat penyakit osteoartritis.

*PELAKSANAAN*

Tempat Pemeriksaan : Dusun Tegallawas, Desa Jatimulyo, Kecamatan Dlingo, Kabupaten


Bantul.

Tanggal : Sabtu, 12 Desember 2020

Pasien: Lansia

Pasien datang pada kegiatan Posyandu Lansia yang dilaksanakan di Dusun


Tegallawas, Desa Jatimulyo, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul.
Adapun alur pemeriksaannya meliputi:

1. Pendaftaran di meja yang di bantu oleh kader.

2. Penimbangan Berat Badan, Tinggi Badan, dan Tekanan Darah.

3. Pasien menunggu antrian untuk konsultasi dengan dokter

4. Konsultasi dengan dokter.

5. Pengambilan obat.

*MONITORING & EVALUASI*

Apabila pasien datang untuk kontrol, dilakukan evaluasi apakah keluhan yang dialami sudah
berkurang atau belum. Jika ditemukan komplikasi seperti infeksi mengenai penyakitnya setelah
beberapa kali pengobatan dan modifikasi gaya hidup yang tepat maka pasien perlu dirujuk ke
dokter spesialis.
F6 (MYALGIA)

*LATAR BELAKANG*

Myalgia atau nyeri otot temasuk salah satu keluhan yang cukup sering diderita
manusia. Myalgia atau nyeri otot merupakan gejala dari banyak penyakit dan gangguan pada
tubuh. Penyebab umum myalgia adalah penggunaan otot yang terlalu tegang. Pemakaian otot
yang berlebihan dapat mengakhibatkan otot-otot yang digunakan mengalami kekurangan
oksigen, sehingga terjadi suatu proses oksidasi anaerob yang menghasilkan asam laktat.
Asam laktat inilah yang akan menimbulkan rasa pegal atau nyeri. Myalgia dapat dialami
dalam waktu singkat, misalnya otot kram, atau berlanjut sampai berhari-hari, bahkan
beberapa bulan atau menahun dapat menganggu penderita karena intensitas yang
berfluktuasi. Penyakit ini tidak mengancam aktivitas hidup penderita, namun bila timbul terus
menerus dapat menyebabkan penderita menjadi frustasi karena bisa saja menjadi hambatan
dalam hal bekerja maupun aktivitas harian lainnya yang ada akhirnya dapat menurunkan
kualitas hidup penderita (Muttaqin,2008).
*PERMASALAHAN*

I. Identitas Pasien
Nama : Ny.TP
Umur : 60 tahun
Pekerjaan :-
Tanggal Periksa : 19 Januari 2021

II. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesa pada tanggal 19 Januari 2021
1. Keluhan Utama
Nyeri dibagian leher
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan Nyeri dibagian leher sejak tiga hari
belakangan ini. Pasien mengatakan keluhan ini muncul saat bangun tidur
dan tidak berkurang sampai saat ini, pasien mengatakan keluhan semakin
sakit bahkan setelah dikerok dan dipijat. Pasien mengaku tidur dengan
bantal yang tinggi saat malam sebelum sakit. Pasien tidak mengeluhkan
keluhan lain seperti pusing, mual ataupun muntah. BAK dan BAB
dirasakan seperti biasa.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


a. Riwayat hipertensi : disangkal
b. Riwayat DM : disangkal
c. Riwayat asma : disangkal
d. Riwayat sakit jantung : disangkal
e. Riwayat mondok : disangkal
f. Riwayat alergi : disangkal
4. Riwayat Kebiasaan
e. Riwayat merokok : disangkal
f. Riwayat konsumsi alkohol : disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga
i. Riwayat hipertensi : disangkal
j. Riwayat DM : disangkal
k. Riwayat asma/alergi : disangkal
l. Riwayat sakit jantung : disangkal

III. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 19 Januari 2021

1. Keadaan Umum : Sakit sedang, Komposmentis.


2. Tanda Vital
a. Tensi : 1145/74 mmHg
b. Nadi : 76 x/menit, irama reguler, isi dan tegangan cukup.
c. Pernapasan : 20 x/menit
d. Suhu : 36,6 °C per axiler
3. Status Gizi
BB = 55 kg
TB = 153 cm
4. Kulit
Ikterik (-), ekhimosis di kaki (-), turgor menurun (-), kulit kering (-).
5. Kepala
bentuk mesocephal, rambut warna hitam, sukar dicabut
6. Wajah
Simetris, eritema (-)
7. Mata
Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), perdarahan subkonjungtiva
(-/-), pupil isokor dengan diameter 3 mm/3 mm, reflek cahaya (+/+)
normal, oedem palpebra (-/-), strabismus (-/-), cowong (-/-)
8. Telinga
Sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid (-) gangguan fungsi pendengaran
(-)
9. Hidung
Deviasi septum nasi (-), epistaksis (-), nafas cuping hidung (-), sekret (-)
10. Mulut
Sianosis (-), gusi berdarah (-), kering (-), stomatitis (-), pucat (-), papil
lidah atropi (-)
11. Leher
JVP (R+2) cm, trakea di tengah, simetris, pembesaran tiroid (-),
pembesaran kelenjar getah bening (-).
12. Thoraks
Bentuk normochest, simetris, retraksi intercostalis (-), pernafasan
abdominothorakal, sela iga melebar (-), pembesaran kelenjar getah bening
aksilla (-)
Jantung :
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak, pulsasi precardial, epigastrium dan
parasternal tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat.
Perkusi :
batas jantung kiri atas : spatium intercostale II, linea sternalis sinistra
batas jantung kiri bawah: spatium intercostale V, 1 cm medial linea
medio clavicularis sinistra
batas jantung kanan atas : spatium intercostale II, linea sternalis
dextra
batas jantung kanan bawah : spatium intercostale IV, linea sternalis
dextra
pinggang jantung :spatium intercostale III, linea parasternalis
sinistra
Kesan : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : HR 76 x/menit, bunyi jantung I-II intensitas normal,bising (-),
gallop (-)
Pulmo
Inspeksi
Statis : simetris, sela iga tidak melebar, iga tidak mendatar.
Dinamis : pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela iga tidak
melebar, retraksi intercostal (-).
Palpasi
Statis : simetris
Dinamis : pergerakan kanan = kiri, fremitus raba kanan = kiri
Perkusi
Kanan : sonor
Kiri : sonor
Auskultasi
Kanan : Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan (-), Wheezing
(-).
Kiri: Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan (-), Wheezing (-).
13. Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada, distended (-), venektasi (-),
sikatrik (-).
Auskultasi : peristaltik (+) normal
Perkusi : tympani, pekak alih (-), ascites (-), undulasi (-)
Palpasi : supel (-), nyeri tekan (-), Ballotement (-), Hepar dan lien
tidak teraba
14. Ekstremitas : dalam batas normal

15. Status Lokalis: Tidak tampak deformitas, edema ataupun krepitasi.

*PERENCANAAN & PEMILIHAN INTERVENSI*

V. DIAGNOSIS : Myalgia
VI. PENATALAKSANAAN
Pengelolaan pasien dengan Myalgia bertujuan untuk untuk menghilangkan
keluhan, mengoptimalkan fungsi otot, mengurangi ketergantungan dan
meningkatkan kualitas hidup, menghambat progresivitas penyakit dan mencegah
komplikasi. Pilar terapi: non farmakologis dan farmakologis.
a) Non-Farmakologis:
- Jika merupakan suatu gejala penyakit, pengobatan utama ditujukan
pada penyakit tersebut.
- Meningkatkan aliran darah atau suhu dalam otot membantu untuk
mengurangi akumulasi zat metabolik yang merugikan. Dapat dilakukan
dengan melakukan olahraga ringan, fisioterapi dan terapi akupuntur.
- Dapat beristirahat dan mengurangi aktivitas yang memicu timbulnya
nyeri. Hal ini dilakukan agar otot yang cedera apat mengalami
pemulihan selama istirahat.
b) Farmakologis:
Terapi pada penyakit myalgia adalah menggunakan obat analgesik
opium dan NSAID karena mempunyai efektifitas yang relatif untuk
meredakan nyeri dan Vitamin untuk membantu melancarkan peredaran
darah dan mengatasi myalgia yang diakibatkan oleh kekurangan vitamin.
Terapi farmakologis yang diberikan adalah:
- Terapi Oral:
R/ Asam Mefenamat 500 mg No. X
S 2 dd 1 tab k/p
R/ Vitamin B Complex No.X
S 1 dd 1 tab

Edukasi yang diberikan kepada pasien:


a. Menjelaskan kepada pasien bahwa Myalgia muncul karena aktivitas fisik yang
berlebihan, kurangnya istirahat dan kesalahan dalam melakukan gerakan tubuh.
b. Mengontrol faktor risiko, antara lain mengurangi aktivitas fisik yang berat
terutama karena usia yang sudah beranjak tua. Jika tidur jangan terlalu
menggunakan bantal yang terlalu tinggi kecuali dalam kondisi tertentu seperti
sesak napas.

*PELAKSANAAN*

Tempat Pemeriksaan : Dusun Ngenep, Desa Terong, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul.

Tanggal : Selasa, 19 Januari 2021

Pasien: Lansia

Pasien datang pada kegiatan Posyandu Lansia yang dilaksanakan di Dusun Ngenep,
Desa Terong, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul.
Adapun alur pemeriksaannya meliputi:

1. Pendaftaran di meja yang di bantu oleh kader.

2. Penimbangan Berat Badan, Tinggi Badan, dan Tekanan Darah.

3. Pasien menunggu antrian untuk konsultasi dengan dokter

4. Konsultasi dengan dokter.


5. Pengambilan obat.

*MONITORING & EVALUASI*

Apabila pasien datang untuk kontrol, dilakukan evaluasi apakah keluhan yang dialami sudah
berkurang atau belum. Jika ditemukan komplikasi mengenai penyakitnya setelah beberapa
kali pengobatan dan modifikasi gaya hidup yang tepat maka pasien perlu dirujuk ke dokter
spesialis.
F6 (DYSPEPSIA)

*LATAR BELAKANG*

Dispepsia adalah adanya perasaan nyeri dan tidak nyaman yang terjadi di bagian perut
atas ditandai dengan rasa penuh, kembung, nyeri, beberapa gangguan mual-mual, perut keras
bahkan sampai muntah (Simadibrata dkk, 2014). Pravelensi penderita dispepsi cukup tinggi
dan cenderung mengalami kenaikan setiap tahunnya. Menurut penelitian sebelumnya,
pravalensi dispepsia scara global sebesar 3,5-27%, di Amerika Serikat sebesar 23 – 25,8%, di
India sebesar 30,4%, New zealand 34,2%, Hongkong 18,4%, dan di Inggris sebesar 38 –
41%. Pada praktek dokter umum ditemukan sekitar 30% dan pada praktek dokter spesialis
gastroenterologist sebanyak 70% dengan keluhan dispepsia. Di Indonesia sendiri, menurut
data profil kesehatan Indonesia 2007, dispepsia menempati urutan ke 10 dari penyakit lainnya
di rumah sakit (Ernalia.,dkk 2015). Pada populasi umum ditemukan sekitar 15- 30%
(Djojoningrat, 2009). Mayoritas pasien Asia dengan dispepsia yang belum diinvestigasi dan
tanpa tanda bahaya merupakan dispepsia fungsional. Berdasarkan hasil penelitian di negara-
negara Asia (Cina, Hong Kong, Indonesia, Korea, Malaysia, Singapura, Taiwan, Thailand,
dan Vietnam) didapatkan 43-79,5% pasien dengan dispepsia adalah dispepsia fungsional.
Dari hasil endoskopi yang dilakukan pada 550 pasien dispepsia dalam beberapa senter di
Indonesia pada Januari 2003 sampai April 2004, didapatkan 44,7 % kasus kelainan minimal
pada gastritis dan duodenitis; 6,5% kasus dengan ulkus gaster; dan normal pada 8,2% kasus
(Djojoningrat, 2009).

Pada lambung terdapat faktor agresif yaitu asam lambung dan juga faktor defensif
yaitu prostaglandin E supaya keadaan didalam lambung tetap normal. Namun pada sindrom
dispepsia terdapat kenaikan dari faktor agresif sehingga akan menimbulkan sindrom
dispepsia. Gejala – gejala atau sindrom yang dirasakan penderita dispepsia menurut kriteria
roma III adalah nyeri epigastrium, rasa terbakar di epigastrium, rasa penuh atau rasa tidak
nyaman setelah makan, rasa kembung pada saluran cerna atas, mual, muntah, sendawa, dan
rasa cepat kenyang (Simadibrata dkk, 2014). Faktor yang dapat menyebabkan terjadinya
dispepsia antara lain adalah sekresi asam lambung yang berlebih, kebiasaan pola makan,
infeksi bakteri helicobacter Pylori, tukak peptik, dan psikologis. Gangguan psikologis yang
terkait dengan dispepsia biasanya adalah kecemasan dan juga depresi (Djojoningrat, 2009).

Dispepsia merupakan kumpulan gejala berupa rasa nyeri atau ketidaknyamanan yang
berpusat di perut bagian atas. Rasa tidak nyaman secara spesifik meliputi rasa cepat kenyang,
rasa penuh, rasa terbakar, kembung di perut bagian atas dan mual. Gejala tersebut bersifat
umum dan merupakan 30% sampai 40% dari semua keluhan lambung yang disampaikan
kepada dokter ahli Gastroenterologi (O’Mahony dkk, 2006 ). Gejala–gejala yang timbul
disebabkan berbagai faktor seperti gaya hidup merokok, alkohol, berat badan berlebih, stres,
kecemasan, dan depresi yang relevan dengan terjadinya dispepsia (Abdullah & Gunawan,
2012).
Berdasarkan penyebab dan keluhan gejala yang timbul maka dispepsia dibagi 2 yaitu
dispepsia organik dan dispepsia fungsional. Dispepsia organik apabila penyebab dispepsia
sudah jelas, misalnya adanya ulkus peptikum, karsinoma lambung, dan cholelithiasis yang
bisa ditemukan secara mudah melalui pemeriksaan klinis, radiologi, biokimia, laboratorium,
maupun gastroentrologi konvensional (endoskopi). Sedangkan dispepsia fungsional apabila
penyebabnya tidak diketahui atau tidak didapati kelainan pada pemeriksaan gastroenterologi
konvensional atau tidak ditemukan adanya kerusakan organik dan penyakit-penyakit sistemik
(Djojoningrat, 2006).
*PERMASALAHAN*

I. Identitas Pasien
Nama : Ny.n
Umur : 61 tahun
Pekerjaan :-
Tanggal Periksa : 17 Desember 2020

II. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesa pada tanggal 17 Desember 2021
1. Keluhan Utama
Nyeri Ulu Hati
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan nyeri ulu hati sejak kurang lebih dua
hari ini, keluhan bermula saat pasien telat makan dan setelah itu makan-
makanan yang pedas, pusing dan perut kembung serta lidah terasa pahit
juga dirasakan pasien, keluhan dada terasa terbakar (-). Keluhan lain
seperti mual, muntah dan pusing disangkal pasien. BAK dan BAB
dirasakan seperti biasa.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


a. Riwayat hipertensi : disangkal
b. Riwayat DM : disangkal
c. Riwayat asma : disangkal
d. Riwayat sakit jantung : disangkal
e. Riwayat mondok : disangkal
f. Riwayat alergi : disangkal
4. Riwayat Kebiasaan
g. Riwayat merokok : disangkal
h. Riwayat konsumsi alkohol : disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga
m. Riwayat hipertensi : disangkal
n. Riwayat DM : disangkal
o. Riwayat asma/alergi : disangkal
p. Riwayat sakit jantung : disangkal

III. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 17 Desember 2020

1. Keadaan Umum : Sakit sedang, Komposmentis.


2. Tanda Vital
a. Tensi : 132/82 mmHg
b. Nadi : 84 x/menit, irama reguler, isi dan tegangan cukup.
c. Pernapasan : 20 x/menit
d. Suhu : 36,4 °C per axiler
3. Status Gizi
BB = 51 kg
TB = 150 cm
4. Kulit
Ikterik (-), ekhimosis di kaki (-), turgor menurun (-), kulit kering (-).
5. Kepala
bentuk mesocephal, rambut warna hitam, sukar dicabut
6. Wajah
Simetris, eritema (-)
7. Mata
Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), perdarahan subkonjungtiva
(-/-), pupil isokor dengan diameter 3 mm/3 mm, reflek cahaya (+/+)
normal, oedem palpebra (-/-), strabismus (-/-), cowong (-/-)
8. Telinga
Sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid (-) gangguan fungsi pendengaran
(-)
9. Hidung
Deviasi septum nasi (-), epistaksis (-), nafas cuping hidung (-), sekret (-)
10. Mulut
Sianosis (-), gusi berdarah (-), kering (-), stomatitis (-), pucat (-), papil
lidah atropi (-)
11. Leher
JVP (R+2) cm, trakea di tengah, simetris, pembesaran tiroid (-),
pembesaran kelenjar getah bening (-).

12. Thoraks
Bentuk normochest, simetris, retraksi intercostalis (-), pernafasan
abdominothorakal, sela iga melebar (-), pembesaran kelenjar getah bening
aksilla (-)
Jantung :
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak, pulsasi precardial, epigastrium dan
parasternal tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat.
Perkusi :
batas jantung kiri atas : spatium intercostale II, linea sternalis sinistra
batas jantung kiri bawah: spatium intercostale V, 1 cm medial linea
medio clavicularis sinistra
batas jantung kanan atas : spatium intercostale II, linea sternalis
dextra
batas jantung kanan bawah : spatium intercostale IV, linea sternalis
dextra
pinggang jantung :spatium intercostale III, linea parasternalis
sinistra
Kesan : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : HR 78 x/menit, bunyi jantung I-II intensitas normal,bising (-),
gallop (-)
Pulmo
Inspeksi
Statis : simetris, sela iga tidak melebar, iga tidak mendatar.
Dinamis : pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela iga tidak
melebar, retraksi intercostal (-).
Palpasi
Statis : simetris
Dinamis : pergerakan kanan = kiri, fremitus raba kanan = kiri
Perkusi
Kanan : sonor
Kiri : sonor
Auskultasi
Kanan : Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan (-), Wheezing
(-).
Kiri: Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan (-), Wheezing (-).
13. Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada, distended (-), venektasi (-),
sikatrik (-).
Auskultasi : peristaltik (+) normal
Perkusi : tympani, pekak alih (-), ascites (-), undulasi (-)
Palpasi : supel (-), nyeri tekan ulu hati (+), Ballotement (-), Hepar dan
lien tidak teraba.
14. Ekstremitas : dalam batas normal

*PERENCANAAN & PEMILIHAN INTERVENSI*

1. DIAGNOSIS : Dispepsia
2. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan dispepsia awal terdiri dari pengkajian riwayat penyakit untuk
mengetahui semua gejala dispepsia sangat penting untuk mengetahui apa masalah
utama dari pasien. Hal ini penting karena penatalaksanaan dispepsia bertujuan
untuk mengendalikan gejala daripada pengobatan permanen penyakitnya.
Pemeriksaan fisik yang lengkap untuk menyingkirkan adanya gangguan struktural
seperti pemeriksaan endoskopi sangatlah diperlukan. Langkah selanjutnya adalah
menentukan tujuan dari terapi. Langkah ini harus memperhatikan tujuan dasar
dilakukannya pengobatan yaitu tidak hanya mencegah kematian, tetapi juga
menolong kehidupan. Tujuan terapi pada pasien dispepsia fungsional adalah
bagaimana pasien mampu mengelola kekhawatiran terhadap penyakitnya dan
mampu meningkatkan kualitas kesehatannya.
Terapi Non-farmakologis:
Pengendalian faktor risiko yang dapat saling berpengaruh terhadap terjadinya
hipertensi, hanya terbatas pada faktor risiko yang dapat diubah, dengan usaha-usaha
sebagai berikut :
a. Mengatasi obesitas/menurunkan kelebihan berat badan
b. Mengurangi kebiasaan mengkonsumsi makan-makanan yang pedas.
c. Makan tepat waktu.
d. Ciptakan keadaan rileks dan melakukan olah raga teratur
e. Berhenti merokok dan mengurangi konsumsi alkohol

Terapi famakologis:
Penanganan gangguan dispepsia fungsional dapat diberikan secara
farmakologi berdasarkan disiplin Ilmu Penyakit Dalam dan Ilmu Psikiatri.
Beberapa terapi farmakologi yang bisa diberikan pada pasien dispepsia fungsional :
antasida, Histamine H2 receptor antagonists (H2RA), Proton pump inhibitors
(PPI), Cytoprotective or mucoprotective agents, Prokinetic agents, obat-obat anti
H. Pylori, dan obat-obat psikotropik antara lain : antipsikotik, antidepressant,
antianxiety, mood stablizer. Walaupun pada pemeriksaan endoskopi tidak
ditemukan adanya suatu kelainan struktural, tetapi pemberian farmakologi masih
termasuk didalam penanganan gangguan dispepsia fungsional. Penanganan ini
lebih dikenal dengan nama Somatoterapi
Terapi farmakologis yang diberikan adalah:
- Terapi Oral:
R/ Ranitidin 150 mg No. X
S 2 dd 1 tab
R/ Vitamin B Complex
No.X S 1 dd 1 tab
Edukasi yang diberikan kepada pasien:
a. Menjelaskan kepada pasien bahwa dispepsia penyakit yang dapat sembuh jika
mampu menghindari faktor risikonya.
b. Mengontrol faktor risiko, antara lain menurunkan kelebihan berat badan,
mengurangi makan-makanan yang pedas, makan tepat waktu, menciptakan
keadaan rileks, melakukan olah raga teratur
c. Meminum obat secara teratur dan kembali kontrol sebelum obat habis
d. Rujukan dilakukan bilamana terapi yang diberikan di pelayanan primer belum
dapat mencapai sasaran pengobatan yang diinginkan atau dijumpai komplikasi
penyakit lainnya akibat penyakit hipertensi.

*PELAKSANAAN*

Tempat Pemeriksaan : Dusun Sanggrahan II, Desa Muntuk, Kecamatan Dlingo, Kabupaten
Bantul.

Tanggal : Selasa, 17 Desember 2020

Pasien: Lansia

Pasien datang pada kegiatan Posyandu Lansia yang dilaksanakan di Dusun


Sanggrahan II, Desa Muntuk, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul.
Adapun alur pemeriksaannya meliputi:

1. Pendaftaran di meja yang di bantu oleh kader.

2. Penimbangan Berat Badan, Tinggi Badan, dan Tekanan Darah.

3. Pasien menunggu antrian untuk konsultasi dengan dokter

4. Konsultasi dengan dokter.

5. Pengambilan obat.

*MONITORING & EVALUASI*

Apabila pasien datang untuk kontrol, dilakukan evaluasi apakah keluhan yang
dialami sudah berkurang atau belum. Ditanyakan apakah sudah mampu menghindari
faktor risiko dan apakah pengobatan sebelumnya membuat keluhan membaik atau
tidak, jika belum dan membuat kondisi pasien menjadi buruk, maka pasien perlu
dirujuk ke dokter spesialis.
F6 (COMMON COLD)

*LATAR BELAKANG*

Pembangunan kesehatan sebagai bagian dari upaya membangun manusia seutuhnya


antara lain diselenggarakan melalui upaya kesehatan anak yang dilakukan sedini mungkin
sejak anak masih dalam kandungan (Departemen Kesehatan (Depkes), 2010). Penyakit
infeksi merupakan penyebab utama tingginya angka kesakitan ( mordibity) dan angka
kematian (mortality) terutama pada negaranegara berkembang. Penyakit infeksi adalah suatu
penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme baik bakterial, virus, maupun fungi
(Darmadi, 2008).

Salah satu penyakit infeksi yang angka kejadiannya cukup sering baik di dunia
maupun di Indonesia adalah common cold. Common cold yang juga disebut Infeksi Saluran
Pernapasan Atas (ISPA) adalah infeksi primer di nasofaring dan hidung yang sering
mengeluarkan cairan. (Ngastiyah, 2011).

Common cold merupakan salah satu jenis penyakit infeksi saluran pernapasan akut
(ISPA) atau infeksi virus . Common cold atau salesma, pada masyarakat sering diidentifikasi
sebagai batuk pilek. Selesma adalah iritasi atau peradangan selaput lendir hidung akibat
infeksi dari suatu virus. Selaput lendir yang meradang memproduksi banyak lendir sehingga
hidung menjadi tersumbat dan sulit bernafas. Tandanya di antaranya pilek, mata
mengeluarkan banyak air, kepala pusing dan seringkali demam ringan. Lendir yang terbentuk
mengakibatkan batuk dan bersin. Virus yang menyebabkan adalah rhinovirus (dalam bahasa
Yunani, Rhino adalah hidung, dan virus adalah jasad renik terkecil dengan ukuran 0,02 – 0,3
mikron jauh lebih kecil dari bakteri biasa).
*PERMASALAHAN*

I. Identitas Pasien
Nama : Tn. US
Umur : 63 tahun
Pekerjaan :-
Tanggal Periksa : 23 Januari 2021

II. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesa pada tanggal 23 Januari 2021
1. Keluhan Utama
Batuk Pilek
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan batuk disertai pilek yang dialami
kurang lebih dua hari ini, batuk tidak berdahak hanya tenggorokan terasa
gatal dan kering. Hidung tersumbat dan ingus berwarna bening. Pasien
tidak mengeluhkan demam, pusing serta sesak napas. Awal mula keluhan
dimulai ketika pasien kehujanan pulang dari sawah. BAK dan BAB
dirasakan seperti biasa.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


a. Riwayat hipertensi : disangkal
b. Riwayat DM : disangkal
c. Riwayat asma : disangkal
d. Riwayat sakit jantung : disangkal
e. Riwayat mondok : disangkal
f. Riwayat alergi : disangkal
4. Riwayat Kebiasaan
a. Riwayat merokok : disangkal
b. Riwayat konsumsi alkohol : disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat hipertensi : disangkal
b. Riwayat DM : disangkal
c. Riwayat asma/alergi : disangkal
d. Riwayat sakit jantung : disangkal

III. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 23 Januari 2021

1. Keadaan Umum : Sakit sedang, Komposmentis.


2. Tanda Vital
a. Tensi : 125/78 mmHg
b. Nadi : 80 x/menit, irama reguler, isi dan tegangan cukup.
c. Pernapasan : 20 x/menit
d. Suhu : 36,9 °C per axiler
3. Status Gizi
BB = 60 kg
TB = 165 cm
4. Kulit
Ikterik (-), ekhimosis di kaki (-), turgor menurun (-), kulit kering (-).
5. Kepala
bentuk mesocephal, rambut warna hitam, sukar dicabut
6. Wajah
Simetris, eritema (-)
7. Mata
Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), perdarahan subkonjungtiva
(-/-), pupil isokor dengan diameter 3 mm/3 mm, reflek cahaya (+/+)
normal, oedem palpebra (-/-), strabismus (-/-), cowong (-/-)
8. Telinga
Sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid (-) gangguan fungsi pendengaran
(-)
9. Hidung
Deviasi septum nasi (-), epistaksis (-), nafas cuping hidung (-), sekret (+)
10. Mulut
Sianosis (-), gusi berdarah (-), kering (-), stomatitis (-), pucat (-), papil
lidah atropi (-)
11. Leher
JVP (R+2) cm, trakea di tengah, simetris, pembesaran tiroid (-),
pembesaran kelenjar getah bening (-).

12. Thoraks
Bentuk normochest, simetris, retraksi intercostalis (-), pernafasan
abdominothorakal, sela iga melebar (-), pembesaran kelenjar getah bening
aksilla (-)
Jantung :
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak, pulsasi precardial, epigastrium dan
parasternal tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat.
Perkusi :
batas jantung kiri atas : spatium intercostale II, linea sternalis sinistra
batas jantung kiri bawah: spatium intercostale V, 1 cm medial linea
medio clavicularis sinistra
batas jantung kanan atas : spatium intercostale II, linea sternalis
dextra
batas jantung kanan bawah : spatium intercostale IV, linea sternalis
dextra
pinggang jantung :spatium intercostale III, linea parasternalis
sinistra
Kesan : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : HR 78 x/menit, bunyi jantung I-II intensitas normal,bising (-),
gallop (-)
Pulmo
Inspeksi
Statis : simetris, sela iga tidak melebar, iga tidak mendatar.
Dinamis : pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela iga tidak
melebar, retraksi intercostal (-).
Palpasi
Statis : simetris
Dinamis : pergerakan kanan = kiri, fremitus raba kanan = kiri
Perkusi
Kanan : sonor
Kiri : sonor
Auskultasi
Kanan : Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan (-), Wheezing
(-).
Kiri: Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan (-), Wheezing (-).
13. Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada, distended (-), venektasi (-),
sikatrik (-).
Auskultasi : peristaltik (+) normal
Perkusi : tympani, pekak alih (-), ascites (-), undulasi (-)
Palpasi : supel (-), nyeri tekan ulu hati (-), Ballotement (-), Hepar dan
lien tidak teraba.
14. Ekstremitas : dalam batas normal

*PERENCANAAN & PEMILIHAN INTERVENSI*

3. DIAGNOSIS : Common Cold


4. PENATALAKSANAAN
Common cold merupakan penyakit yang disebabkan oleh rhinovirus yang
bersifat akan sembuh dengan sendirinya saat virus mati karena masa hidup virus
terbatas atau disebut self limiting disease bergantung pada daya tahan tubuhnya.
Namun, karena belum ditemukan antivirus khususnya untuk rhinovirus ini, maka
hanya gejala-gejala yang muncul saja yang diobati jika dirasakan mengganggu
penderita. Jadi pengobatan hanya bersifat meringankan atau menghilangkan gejala
saja, tanpa membunuh virus penyebabnya.
Terapi Non-farmakologis:
Terapi tanpa obat untuk anak mencakup peningkatan retensi cairan, istirahat
cukup, makan bernutrisi, termasuk hati-hati membersihkan saluran hidung,
meningkatkan kelembaban udara atau penguapan hangat, larutan garam, dan larutan
nasal. Larutan garam dapat membantu membran mukosa mengeluarkan mukus.
Makanan dan minuman seperti teh dengan lemon dan madu, sop ayam, dan air
daging hangat membantu meredakan pilek dan meningkatkan retensi cairan.

Terapi famakologis:
Dekongestan merupakan pilihan terapi untuk pilek. Hidung tersumbat diobati
dengan dekongestan topikal atau oral. Antihistamin dapat mengurangi bersin,
sedangkan batuk biasanya sembuh sendiri, tetapi dapat diobati dengan
dextromethorpan atau antitusif, dan demam diobati dengan antipiretik.

Terapi farmakologis yang diberikan adalah:


- Terapi Oral:
R/ N-Asetil Sistein 200 mg No. X
S 2 dd 1 tab

R/ Parasetamol 500 mg No. X


S 2 dd 1 tab

R/ Chlorpheniramine Maleate 4 mg No. X


S 2 dd 1 tab
R/ Vitamin C 50 mg No.X
S 1 dd 1 tab

Edukasi yang diberikan kepada pasien:


a. Menjelaskan kepada pasien bahwa penyakit common cold ini dapat sembuh
dengan sendirinya walaupun beberapa kasus perlu pengobatan.
b. Mengontrol faktor risiko, antara lain menghindari penyebab munculnya keluhan,
menjaga daya tahan tubuh.

*PELAKSANAAN*

Tempat Pemeriksaan : Dusun Tangkil, Desa Muntuk, Kecamatan Dlingo, Kabupaten


Bantul.

Tanggal : Sabtu, 23 Januari 2021

Pasien: Lansia

Pasien datang pada kegiatan Posyandu Lansia yang dilaksanakan di Dusun Tangkil,
Desa Muntuk, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul.
Adapun alur pemeriksaannya meliputi:

1. Pendaftaran di meja yang di bantu oleh kader.

2. Penimbangan Berat Badan, Tinggi Badan, dan Tekanan Darah.

3. Pasien menunggu antrian untuk konsultasi dengan dokter

4. Konsultasi dengan dokter.

5. Pengambilan obat.
*MONITORING & EVALUASI*

Apabila pasien datang untuk kontrol, dilakukan evaluasi apakah keluhan yang dialami
sudah berkurang atau belum. Ditanyakan apakah sudah mampu menghindari faktor risiko dan
apakah pengobatan sebelumnya membuat keluhan membaik atau tidak, jika belum dan
membuat kondisi pasien menjadi buruk, maka pasien perlu dirujuk ke dokter spesialis.

Anda mungkin juga menyukai