Anda di halaman 1dari 14

BPJS Kesehatan: Perlindungan Kesehatan

atau Jasa Keuangan Negara?

PADA 25 November 2011, pemerintah mengesahkan UU No. 24 Tahun 2011 Tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).[1] Dengan adanya UU BPJS,[2] pengelolaan program
asuransi sosial yang sebelumnya tersebar, hendak ditata ulang dan disentralisasi di bawah BPJS.

Jaminan kesehatan yang dulu dikelola secara tersebar, seperti PT Askes untuk PNS, PT
Jamosostek untuk pekerja swasta, dan sebagainya, dikonsolidasikan di bawah BPJS Kesehatan.
Sementara, program jaminan kecelekaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan
kematian yang dulu dikelola oleh PT Jamsostek, PT Taspen dan PT Asabri, disentralisasi di
bawah BPJS Ketenagakerjaan.

Selain mensentralisasi pengelolaan program asuransi sosial, UU BPJS juga memperluas


kepesertaan program asuransi sosial. Dulu cakupan program asuransi sosial bersifat terbatas,
seperti program Jamsostek hanya untuk pekerja swasta, program Taspen dan Askes untuk PNS,
serta program Asabri untuk Polri, TNI dan PNS Departemen Pertahanan.

Sekarang, pasal 14-18 UU BPJS mewajibkan semua penduduk yang memenuhi persyaratan
program jaminan sosial untuk mendaftarkan diri dan keluarganya sebagai peserta BPJS.
Tercakup di sini adalah pekerja asing yang sudah bekerja paling sedikit 6 bulan di Indonesia.
Mereka yang memenuhi syarat, tetapi tidak mendaftarkan diri, diancam dengan sanksi
administratif.

BPJS Kesehatan mulai beroperasi sejak 1 Januari 2014, sementara BPJS Ketenagakerjaan
beroperasi penuh pada 1 Juli 2015. Pada tanggal 1 Januari 2014, PT Askes dan PT Jamsostek
juga bubar dan berubah menjadi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Terkait program
yang berada di bawah pengelolaan PT Asabri dan PT Taspen, pengalihannya ke BPJS
Ketenagakerjaan diberi waktu sampai 2029.

Buruknya Layanan Kesehatan Pasien BPJS

Selama beroperasi, BPJS Kesehatan mengalami banyak masalah, terutama terkait warga miskin
yang menjadi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI). Salah satu masalah yang mencolok adalah
buruknya pelayanan kesehatan yang dialami oleh pasien BPJS Kesehatan. Misalnya, masalah
yang dialami oleh suami Ibu Iing (Siti Jamilah), anggota Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia
(SPRI), sebuah organisasi rakyat miskin.[3] Suami Ibu Iing terlambat didiagnosa menderita
penyakit jantung, sehingga akhirnya meninggal dunia.

Almarhum baru menerima diagnosa yang tepat setelah menerima berbagai diagnosa lain yang
tidak tepat. Pasalnya, pihak RS enggan menggunakan alat yang tepat dalam melakukan diagnosa.
Baru pada diagnosa yang kesekian, di RS yang kesekian, dengan menggunakan alat yang disebut
“teropong,” akhirnya diketahui fungsi jantung almarhum sudah menurun hingga hanya 30
persen. Tindakan yang harus dilakukan adalah operasi pemasangan ring pada jantung almarhum
dengan resiko kematian yang besar. Peristiwa ini pun berujung pada meninggalnya suami Ibu
Iing.

Masalah lain adalah penolakan pasien PBI oleh RS dengan alasan ketiadaan ruang rawat inap
kelas III. Dalam Perpres No. 111 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden
Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan,[4] manfaat kelas ruang perawatan yang bisa
didapat pasien PBI adalah ruang perawatan kelas III.

Meski penolakan ini bisa disebabkan oleh karena kamarnya memang tidak ada. Tetapi, bisa juga
kamarnya sebenarnya ada, namun pihak RS berbohong, karena enggan fasilitasnya dipakai oleh
pasien PBI. Pihak RS memang sering berbohong tentang ketersediaan ruang rawat inap bagi
pasien BPJS Kesehatan. Karena itu, ketika mengadvokasi pasien BPJS Kesehatan yang
membutuhkan ruang rawat inap, organiser SPRI biasanya memeriksa sendiri ke seluruh lantai RS
apakah ada kamar yang kosong atau tidak.

Kebohongan serupa juga ada saat pengambilan obat. Seringkali awalnya dikatakan bahwa obat
tertentu yang dibutuhkan tidak bisa diklaim. Namun, setelah ditekan, baru diakui bahwa obat
tersebut sebenarnya bisa diklaim. ”Tapi tetap obat dimainin juga, ada suruh beli, karena tidak
ditanggung katanya…. Saya langsung mengadu ke Rio. Ternyata Rio telepon. Tidak lama, itu
obat lancar. Tidak pakai beli, tidak apa,” kata Ibu Iing.[5] Petugas obat itu baru jujur kepada Ibu
Iing, setelah mendapat tekanan dari Rio Ayudhia, Sekretaris Wilayah SPRI DKI Jakarta.

Pertanyaannya, kenapa bisa muncul banyak masalah pelayanan buruk dalam BPJS Kesehatan?
Kenapa RS terlihat enggan fasilitasnya dipakai atau tidak serius dalam menangani pasien BPJS
Kesehatan? Banyak masalah pelayanan buruk ini berujung pada sistem tarif BPJS Kesehatan dan
logika akumulasi laba dari dunia fasilitas kesehatan Indonesia. Yang dimaksud dengan sistem
tarif di sini adalah sistem pembayaran klaim fasilitas kesehatan oleh BPJS Kesehatan.

Sistem Tarif BPJS Kesehatan

Sistem tarif BPJS Kesehatan diatur dalam Permenkes No. 59 Tahun 2014 Tentang Standar Tarif
Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan.[6] Di situ, kita bisa
lihat bahwa BPJS Kesehatan menerapkan sistem tarif yang berbeda untuk Fasilitas Kesehatan
Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL).

Yang dimaksud dengan FKTP adalah fasilitas kesehatan yang melakukan pelayanan kesehatan
yang bersifat non-speialistik, seperti Puskesmas atau klinik pratama. Sementara FKRTL adalah
fasilitas kesehatan yang melakukan pelayanan yang bersifat spesialistik atau subspesialistik,
seperti RS atau klinik utama. Untuk FKTP, diterapkan sistem tarif kapitasi dan non-kapitasi,
sementara untuk FKRTL diterapkan sistem tarif

BPJS
BPJS kesehatan
sebagai badan pelaksana program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), saat ini berupaya untuk
memberikan penyuluhan bagaimana masyarakat mampu mendapatkan pelayanan kesehatan yang
maksimal. Hal tersebut bisa terlaksana apabila masyarakat terdaftar sebagai peserta di BPJS.
Adapun alur Pelayanan BPJS adalah sebagai berikut:

1. Peserta BPJS membawa kartu BPJS Kesehatan atau kartu anggota Askes yang lama
mendatangi fasilitas kesehatan tingkat pertama tempat peserta terdaftar, (Puskesmas,
dokter keluarga, klinik TNI/Polri, dan fasilitas kesehatan setingkat itu). Pada tahap ini
peserta akan mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai kompetensi dan kapasitas fasilitas
kesehatan di tingkat pertama tersebut (seperti konsultasi kesehatan, laboratorium klinik
dasar dan obat-obatan).
2. Apabila setelah pemeriksaan awal pasien belum sembuh, maka pasien dirujuk ke fasilitas
kesehatan tingkat lanjutan (Rumah Sakit Pemerintah, Rumah Sakit Swasta, Rumah Sakit
TNI-Polri yang bekerjasama dengan BPJS kesehatan). Sedangkan untuk kondisi gawat
darurat, peserta BJPS bisa mendapatkan pelayanan fasilitas kesehatan tingkat lanjutan,
tanpa mendapatkan rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat pertama.
3. Di fasilitas Kesehatan Tingkat lanjutan, peserta menunjukkan kartu BPJS Kesehatan atau
kartu lama dan surat rujukan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama kepada petugas BPJS
kesehatan Center. Selanjutnya petugas akan menerbitkan surat Eligibilitas Peserta (SEP)
sebagai dokumen yang menyatakan bahwa peserta dirawat dengan biaya BPJS
Kesehatan.
4. Setelah mendapatkan SEP, pasien akan mendapatkan pelayanan kesehatan di Fasilitas
Kesehatan Tingkat Lanjutan, baik untuk pelayanan rawat jalan ataupun rawat inap.
Apabila penyakit pasien dapat ditangani tanpa harus mendapatkan perawatan inap, pasien
boleh pulang atau dirujuk kembali ke Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama. Sedangkan
untuk pasien dengan penyakit kronis, dapat masuk ke dalam program Pengelolaan
Penyakit Kronis (Prolanis) di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama tersebut.

Kader JKN-KIS adalah orang-orang yang menjadi mitra BPJS Kesehatan untuk menjalankan sejumlah
fungsi BPJS Kesehatan, antara lain fungsi pemasaran dan fungsi pengumpul iuran. Melalui kerja sama
ini, BNI akan membuka pendaftaran Kader JKN-KIS menjadi Agen46, sehingga mereka dapat
menampung pembayaran iuran JKN-KIS dari masyarakat melalui fasilitas perbankan BNI yang ada di
dalam aplikasi Agen46.

“Nantinya para Kader JKN-KIS yang menjadi Agen46 tersebut juga akan dibekali EDC mini ATM untuk
sarana transaksi pembayaran iuran. Dengan adanya kemudahan ini, diharapkan animo masyarakat untuk
membayar iuran tepat waktu dapat meningkat,” jelas Direktur Kepesertaan dan Pemasaran BPJS
Kesehatan Andayani Budi Lestari.

Selain itu, BPJS Kesehatan dan BNI juga siap bersinergi dalam hal pemasaran bersama dan
pengintegrasian kanal pembayaran iuran. Penyediaan layanan jasa perbankan milik BNI diharapkan
semakin mempermudah masyarakat untuk melakukan pembayaran iuran JKN-KIS.

“Harapan kami, dengan tersedianya Deliver Channel, Payment Point Online Bank (PPOB), dan mitra BNI
yang tersebar di berbagai daerah, kedisiplinan peserta JKN-KIS dalam membayar iuran meningkat,
sehingga sustainibilitas program JKN-KIS terus terjaga,” kata Andayani.
BPJS KETENAGA KERJAAN

Anda mungkin juga menyukai