Kel 4 Neuro-Miasthenia Gravis
Kel 4 Neuro-Miasthenia Gravis
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 4
Dyah Ayu Widyaningsih NIM: P07220218005
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya dan tidak lupa shalawat serta salam kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW. Sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah “Asuhan Keperawatan
Kegawatdaruratan Miasthenia Gravis” untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan
Gadar Neuromuskular.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan baik tulisan
maupun informasi yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, kami berterima kasih kepada Ibu
Ns. Arsyawina, SST., M.Kes, atas bimbingannya dalam menulis dan menyusun makalah ini,
sehingga penulis dapat membuat makalah sesuai dengan kaidah dalam membuat karya tulis.
Walaupun makalah ini masih banyak terdapat banyak kekurangan, kami sangat
mengharapkan kepada para pembaca untuk menyampaikan kritik dan saran yang sifatnya
membangun demi kebaikan dan kesempurnaan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini
dapat selalu bermanfaat bagi pembaca dan atas kekurangan dalam makalah ini kami mohon
maaf. Terakhir tidak lupa kami mengucapkan terima kasih.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan..........................................................................................................1
D. Manfaat Penulisan........................................................................................................2
E. Sistematika Penulisan...................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................3
A. Kesimpulan..................................................................................................................31
B. Saran.............................................................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................32
iii
BAB I
PENDAHU
LUAN
A. Latar Belakang
Myastenia gravis adalah salah satu karakteristik penyakit autoimun pada manusia.
Selama beberapa dekade terakhir telah dilakukan penelitian tentang gejala myastenia pada
kelinci yang diimunisasi dengan acetylcholine receptor (AchR). Sedangkan pada manusia
yang menderita miasthenia gravis, ditemukan adanya defisiensi dari AchR pada
neuromuscular junction.
Pada tahun 1977, karakteristik autoimun padagravis dan peran patogenik dari anti
bodi AchR telah berhasil ditemukan melalui beberapa penelitian. Hal ini meliputi
demonstrasi tentang sirkulasi antibodi AchR pada hampir 90% penderita myastenia
gravis, transfer pasif IgG pada beberapa bentuk penyakit dari manusia ke tikus, lokalisasi
imun kompleks(IgG dan komplemen) pada membran post sinaptik, dan
efek menguntungkan dari plasmaparesis. Penyakit autoimun itu sendiri adalah suatu
jenis penyakit dimanaantibodi menyerang jaringan-jaringannya sendiri. Myasthenia
gravis dapat mnyerang otot apa saja, tapi yang paling umum terserang adalah ototyang
mengontrol gerakan mata, kelopak mata, mengunyah, menelan,
batuk dan ekspresi wajah. Bahu, pinggul, leher, otot yg mengontrol gerakan badan serta
otot yang membantu pernafasan juga dapat terserang.
iv
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah maka dapat dirumuskan
permasalahan yaitu “Bagaimanakah konsep dasar dan asuhan keperawatan kasus
miasthenia gravis pada kondisi gawat darurat”
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah maka didapat tujuannya yaitu :
1. Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui konsep miasthenia gravis
b. Untuk mengetahui pengkajian pada kasus miasthenia gravis
c. Untuk mengetahui diagnosa keperawatan pada kasus miasthenia gravis
d. Untuk mengetahui intervensi keperawatan pada kasus miasthenia gravis
D. Manfaat Penulisan
1. Manfaat teoritis
Hasil dari penyusunan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat
kepada pembaca untuk menambah pengetahuan dan wawasan mengenai
konsep dasar dan asuhan kegawatdaruratan pada kasus miasthenis gravis.
2. Manfaat praktis
Hasil dari penyusunan makalah ini diharapkan dapat dijadikan pembelajaran
yang nantinya dapat di pahami dan diaplikasikan dalam praktik keperawatan.
E. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut.
1. Makalah ini diawali dengan halaman judul, kata pengantar, dan daftar
isi.
2. BAB I yang merupakan pendahuluan dibagai menjadi beberapa sub-bab
seperti latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan,
manfaat, dan sistematika penulisan.
v
3. BAB II yang merupakan pembahasan yang berisi konsep dasar dan
asuhan kegawatdaruratan pada kasus miasthenia gravis.
4. BAB III yang merupakan penutup yang terbagi menjadi dua sub-bab seperti
kesimpulan dan saran
vi
BAB II
PEMBAHASAN
2. Etiologi
Kelainan primer pada Miastenia Gravis dihubungkan dengan gangguan
transmisi pada neuromuscular junction, yaitu penghubung antara unsur saraf dan
unsur otot. Pada ujung akson motor neuron terdapat partikel–partikel globuler yang
merupakan penimbunan asetilkolin (ACh). Jika rangsangan motorik tiba pada ujung
akson, partikel globuler pecah dan ACh dibebaskan dan dapat memindahkan gaya
saraf yang kemudian bereaksi dengan Ach Reseptor (AChR) pada membran
postsinaptik. Reaksi ini membuka saluran ion pada membran serat otot dan
menyebabkan masuknya kation, terutama Na, sehingga dengan demikian terjadilah
kontraksi otot.
vii
Penyebab pasti gangguan transmisi neromuskuler pada Miastenia gravis tidak
diketahui. Dulu dikatakan, pada Miastenia gravis terdapat kekurangan ACh atau
kelebihan kolinesterase, tetapi menurut teori terakhir, faktor imunologik yang
berperanan.
Klasifikasi Miasthenia Gravis berdasarkan The Medical Scientific Advisory
Board (MSAB) of The Myasthenis Gravis Foundation of America (MGFA) :
a. Kelas I kelemahan otot okular dan gangguan menutup mata, otot lain masih
normal
b. Kelas II kelemahan ringan pada otot selain okular, otot okular meningkat
kelemahnnya
c. Kelas IIa mempengaruhi ekstermitas, sedikit mempengaruhi otot-otot
oropheringeal
d. Kelas IIb mempengaruhi otot-otot pheringeal dan pernafasan juga ekstermitas
e. Kelas III kelemahan sedang otot selain okuler, meningkatnya kelemahan pada
otot okuler
f. Kelas IIIa memepengaruhi ekstermitas, sedikit mempengaruhi otot-otot
pharyngeal
g. Kelas IIIb mempengaruhi otot-otot pharyngeal dan pernafasan juga
ekstermitas
h. Kelas IV kelemahan berat pada selain otot okuler, kelemahan berat pada otot
okuler
i. Kelas IVa mempengaruhi ekstermitas, sedikit pengaruh pada otot-otot
oropharingeal
j. Kelas IVb terutama mempengaruhi otot-otot pernafasan dan oropharingeal
juga ekstermitas
k. Kelas V pasien yang membutuhkan intubasi (kecuali pada kasus post-
operatif).
3. Patofisiologi
Otot rangka dan otot lurik dipersarafi oleh nervus besar bermielin yang berasal
dari sel kornu anterior medula spinalis dan batang otak. Nervus ini mengirim keluar
aksonnya dalam nervus spinalis atau kranialis menuju perifer. Nervus yang
bersangkutan bercabang berkali-kali dan mampu merangsang 2000 serat otot rangka.
Kombinasi saraf motorik dan serabut otot yang dipersarafinya disebut unit motorik.
viii
Meskipun setiap neuron motorik mempersyarafi banyak serabut otot, tetapi setiap
serabut otot dipersyarafi oleh hanya satu neuron motorik.
Daerah khusus yang menghubungkan antara saraf motorik dengan serabut otot
disebut sinaps neuromuscular atau hubungan neuromuskular. Hubungan
neuromuskular adalah sinaps kimia antara saraf dan otot yang terdiri dari tiga
komponen dasar : elemen prasinaptik, elemen pasca sinaptik dan celah sinaptik.
Elemen prasinaptik terdiri dari akson terminal yang terdiri berisi vesikel sinaptik
dengan neurotransmiter asetilkolin. Asetilkolin disintesis dan disimpan dalam akson
terminal (Button). Membran plasma akson terminal disebut membran prasinaps.
Elemen pasca sinaps terdiri dari membran pasca sinaps atau ujung lempeng motorik
dari serat otot. Membran pasca sinaps dibentuk oleh invaginasi yang disebut saluran
sinaps membran otot atau sarkolema kedalam tonjolan akson terminal. Membran
pasca sinaps memiliki banyak lipatan yang sangat meningkatkan luas permukaan.
Membran pasca sinaps juga mengandung acethylcoline receptors (ACHRs)
dan mampu membangkitkan lempeng akhir motorik yang sebaliknya dapat
menghasilkan potensial aksi otot. Asetilkolinesterase yaitu enzim yang merusak
acethylcoline (ACH) juga terdapat dalam membran pasca sinaps. Celah sinaptik
mengacu pada ruangan antara membran prasinaps dan membran pasca sinaps. Apabila
impuls saraf mencapai taut neuromoskular, membran akson prasinaptik terminal
terdepolarisasi, menyebabkan pelepasan asetilkolin ke dalam celah sinaptik.
Acethylcoline menyeberangi celah sinaptik secara difus dan menyatu dengan bagian
acethylcoline receptors dalam membran pasca sinaptik. Masuknya ion Na secara
mendadak dan keluarnya ion K menyebabkan depolarisasi ujung lempeng, yang
diketahui sebagai ujung lempeng potensial. Ketika ujung lempeng potensial mencapai
puncak, maka ujung tersebut akan menghasilkan potensial-potensial aksi dalam
membran otot. Potensial aksi ini merangkai serangkaian reaksi yang menyebabkan
kontraksi serabut otot. Begitu terjadi transmisi melewati penghubung neuromuskular,
acethylcoline akan dirusak oleh enzim asetilkolinesterase. Pada orang normal, jumlah
acethylcoline yang dilepaskan lebih dari cukup untuk menyebabkan suatu potensial
aksi.
ix
Gambar 2.1
Neuromuscular junction (a) normal (b) myasthenia gravis
x
4. Pathway
Diplopia atau
Regurgitasi makanan Disfonia Kelemahan Gangguan
Ptosis
ke hidung saat menelan otot palatum Pertukaran Gas
(D.0003)
Risiko Jatuh Kesulitan
Risiko Aspirasi Gangguan
(D.0143) mengucapkan
(D.0006) Menelan
kata Sesak napas
(D.0063)
Gangguan Komunikas
Verbal (D.0119)
11
5. Tanda dan gejala
a. Kelemahan otot ekstrim dan mudah mengalami kelelahan.
b. Diplobia (penglihatan ganda).
c. Ptosis (jatuhnya kelopak mata).
6. Pemeriksaan Diagnostik
Ada banyak jenis penyakit yang memiliki gejala yang mirip dengan Miastenia
gravis sehingga anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap merupakan langkah
awal yang penting dalam mendiagnosis Miastenia gravis. anamnesis meliputi riwayat
keluarga, riwayat penyakit terdahulu, dan riwayat pengobatan. Belum ada satu tes
tunggal yang dapat diandalkan sepenuhnya dalam mendiagnosis Miastenia Gravis,
namun kombinasi anamnesis, pemeriksaan fisik, tes fungsi saraf, dan pemeriksaan
darah sering kali dapat menegakan diagnosis yang valid.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang detil serta digabungkan dengan
investigasi mendalam sering kali diperlukan untuk menyediakan petunjuk diagnostik.
Peninjauan yang sistematik terhadap kemampuan tes untuk mendiagnosis Miastenia
Gravis menyimpulkan bahwa hanya tes antibodi AChR dan single-fibre
electromyography (SFEMG) sudah tervalidasi.
a. Tes Ice Pacck
Metode singkat untuk membedakan ptosis akibat Miastenia Gravis dengan
penyebab lainnya yaitu test ice pack. Pendinginan dapat memperbaiki transmisi
12
neuromuskuler, sehingga pada pasien ptosis, penempatan es di kelopak mata akan
memperbaiki ptosis. Es dapat ditempatkan di dalam sarung tangan atau dibungkus
handuk dan diletakkan secara lembut di atas kelopak mata selama 2 menit atau 5 –
10 menit. Tes dikatakan positif bila terdapat resolusi ptosis. Pemeriksaan ini
memiliki sensitivitas 82% dan spesifisitas 96%.
b. Tes Endrofonium
Tes endrofonium atau tensilon merupakan tes yang memasukan
endrofonium klorida yang merupakan asetilkolinesterase kerja singkat
(shortacting) yang bertujuan untuk menunjukan reversibelitas kelemahan otot dan
hanya dapat dilakukan apabila terdapat kelemahan yang jelas yang dapat diukur
secara objektif. Pemeriksaan ini membutuhkan monitoring kardiorespirasi dan
hati-hati apabila terdapat kecurigaan besar terhadap miastenia gravis kongenital,
karena pasien sering menunjukkan perburukan klinis akibat pemberian
penghambat asetilkolinesterase. Tes ini berguna membantu diagnosis miastenia
gravis atau membedakan antara krisis miastenik dan krisis kolinergik.
Pemeriksaan ini membutuhkan waktu singkat dan durasi aksi obat yang cepat.
Sebelumnya harus di pastikan bahwa jalan napas pasien paten dan ventilasi
adekuat. Dosis inisial diberi kan dalam dosis kecil, yaitu 2 mg intravena. Bila
tidak timbul efek samping maka dosis selanjutnya diberikan 3 mg dan dinilai
adanya perbaikan kekuatan otot, ekspresi wajah, postur, dan fungsi respirasi
dalam 1 menit. Jika belum menunjukkan perbaikan, dosis tambahan 5 mg dapat
diberikan hingga dosis maksimal 10 mg total pemberian. Perbaikan ini dapat
bertahan selama 5 menit. Selama prosedur pemeriksaan ini pasien harus dipantau,
karena dapat timbul efek samping kolinergik, yaitu salivasi, lakrimasi,
berkeringat, flushing, fasikulasi perioral, bradikardi, blok konduksi jantung,
fibrilasi ventrikel, dan asistol. Atropin harus selalu disediakan sebagai antidotum.
Kekuatan otot dapat membaik setelah tindakan ini atau kelemahan masih dapat
tampak. Pemeriksa harus berhati-hati terhadap efek kolinergik yang tidak
diinginkan, seperti hipersalivasi yang dapat menyebabkan eksaserbasi distres
napas dan berisiko aspirasi. Waktu paruh edrofonium adalah 10 menit. Apabila
pasien tidak menunjukkan perbaikan klinis setelah pemberian dosis maksimal
edrofonium, berarti pasien mengalami krisis kolinergik atau ada penyebab
kelemahan lain selain miastenia gravis. Karena efeknya yang cepat, pengulangan
dosis sering diperlukan sebelum pasien mendapat antikolinesterase oral.
13
Sensitivitas tes ini sebesar 88% untuk Miastenia Gravis generalisata dan 92%
untuk Miastenia Gravis ocular, dengan spesifisitas sebesar 96% untuk kedua jenis
Miastenia Gravis. Tes ini sebaiknya dihindari untuk dilakukan pada orang tua.
c. Neurofisiologi
Repetitive nerve stimulation (RNS) dan SFEMG merupakan tes
neurofisiologi yang paling sering digunakan. Hasil dari tes ini dapat disalahartikan
pada pasien yang mengonsumsi inhibitor asetilkolin dosis tinggi secara kronis.
Apabila terdapat keraguan, maka apabila memungkinkan hentikan pemakaian obat
tersebut selama setidaknya 1 minggu sebelum dilakukan tes tersebut. 15 Stimulasi
RNS pada frekuensi 3 10 Hz menghasilkan penurunan amplitudo dari potensi
susunan otot aksi. Sekitar 80% dari tes mengahsilkan nilai positif pada 80% kasus
Miastenia Gravis generalisata, namun dapat negatif pada 50% kasus Miastenia
Gravis ocular, sehingga secara keseluruhan, sensitivitas dari tes ini mencapai
75%. Spesivisitas dari RNS bervariasi dan tergantung secara parsial terhadap saraf
mana yang dites. Single-fibre electromyography (SFEMG) merupakan tes
diagnostik yang paling sensitif pada Miastenia Gravis dan sebaiknya dilakukan
apabila RNS normal dan dicurigai terdapat penyait pada neuro muscular junction.
Hasil SFEMG pasien miastenia gravis menunjukkan peningkatan jitter.
Gambar 2.3
Menunjukkan hasil SFEMG normal, sedangkan gambar B menunjukkan
peningkatan jitter
14
sebaiknya diulang pada MG berulang setelah periode penyakit stabil untuk
mengeksklusi thymoma, yang dapat terjadi pada episode penyakit berikutnya.
e. Tes Antibodi
Semua pasien yang dicurigai menderita Miastenia Gravis harus dilakukan
tes antibodi anti-AChR. Sensitivitas dari tes ini mencapai 70 – 95% untuk MG
generalisata dan 50 – 75% untuk MG ocular. Konsentrasi antibodi anti-AChR
tidak dapat memprediksi keparahan pada individu penderita MG. Apabila antibodi
anti-AChR negatif, antibodi anti-MuSK harus dikerjakan. Pada pasien yang
seronegatif, terdapat angka serokonversi sebesar 15% setelah 1 tahun. Supresi
terhadap sistem imun dapat mengarahkan pada hilangnya antibodi yang
diperlukan untuk menegakan diagnosis MG. Deteksi terhadap antibodi anti-
striational dapat memberikan indikasi fenotip dan prognosis dari penyakit ini.
f. Diagnosis Banding
Berikut merupakan beberapa diagnosis banding Miastenia Gravis :
15
berat badan
7. Komplikasi
Komplikasi myasthenia gravis yang paling berbahaya adalah myasthenic
crisis. Kondisi ini terjadi ketika otot tenggorokan dan diafragma terlalu lemah untuk
mendukung proses pernapasan, sehingga penderitanya mengalami sesak napas akibat
kelumpuhan otot-otot pernapasan.
Myasthenic crisis dapat dipicu oleh beberapa faktor, seperti infeksi saluran
pernapasan, stres, atau komplikasi dari prosedur operasi. Pada myasthenic crisis yang
parah, penderita bisa berhenti bernapas. Dalam kondisi ini, dibutuhkan alat bantu
napas (ventilator) untuk membantu penderita bernapas, sampai otot-otot pernapasan
dapat kembali bergerak.
Selain henti napas, penderita myasthenia gravis juga berisiko tinggi
mengalami penyakit autoimun lain, seperti tirotoksikosis, lupus, dan rheumatoid
arthritis.
8. Penatalaksanaan
Penatalaksaan dari penyakit miastenia gravis dapat dibagi dibagi menjadi 3
pendekatan yaitu:
a. Penatalaksanaan Simptomatik
1) Anticholinesterase
Anticholinesterase atau cholisnesterase inhibitor bekerja menghambat
enzim hydrolisis dari ACh pada cholinergic synapse sehingga Ach akan
bekerja lebih lama pada neuromuscular junction.
Pyrodostigmine bromide dan neostigmine bromide merupakan obat
anticholinesterase yang paling sering digunakan. Menurut penelitian dari
Pyrodostigmine lebih dianjurkan karena memiliki efek samping yang lebih
minimal pada gastointestinal dan durasi kerja obat lebih lama. Efek samping
lain yang muncul yaitu akumulasi ACh pada muscarinic receptor pada otot
polos sehingga muncul stimulasi otot polos pada abdomen dan menyebabkan
16
abdominal cramping, peningkatan flatus, diare dan menurunnya frekuensi
buang air kecil. Jika efek samping muncul dapat diberikan propantheline 15
mg tiap dosis pyrodostigmine atau dengan dosis satu kali perhari.
Dosis awal pyrodostigmine pada orang dewasa berkisar antara 30-60
mg tiap 4-8 jam. Sedangkan pada bayi dan anak-anak diberikan 1 mg/kg dan
neostagmine 0,3 mg/kg. Dosis maksimum per hari dari pyrodostigmine adalah
360 mg atau 6 tablet. Krisis cholinergic kemungkinan akan terjadi jika
kelebihan dosis pyrodostigmine.
b. Terapi Immunomodulatory
1) Thymectomy
Keuntungan dari thymectomy adalah pasien akan memiliki potensi
untuk drug free remission. Thymectomy direkomendasikan pada pasien
dengan symptom Miastenia gravis yang muncul pada usia dibawah 60 tahun.
Respon dari thymectomy tidak dapat diprediksi dan gejala kemungkinan akan
menetap hingga beberapa bulan sampai tahun setelah operasi. Respon terbaik
dari thymectomy terjadi pada pasien perempuan usia muda. Pasien dengan
thymoma direkomendasikan untuk menghilang tumor tersebut dahulu sebelum
menjalani thymectomy
Thymectomy berulang dilaporkan meningkatkan keberhasilan terapi
pada beberapa pasien. Jaringan thymic dianjurkan untuk tidak diangkat pada
operasi pertama dan kedua dengan syarat pasien berespon baik pada operasi
pertama.
2) Plasma Exchange (PLEX)
PLEX bekerja dalam memperbaiki myastenic weakness secara
sementara. PLEX digunakan sebagai intervensi jangka pendek pada pasien
dengan perburukan symptom miastenia secara mendadak, untuk memperkuat
saat operasi, mencegah exacerbasi yang diinduksi kortikosteroid dan sebagai
terapi chronic intermittent untuk pasien yang telah gagal menjalani semua
terapi jenis lainnya.
Menurut typical PLEX protocol, 2 hingga 3 liter dari plasma
dikeluarkan sebanyak 3 kali dalam seminggu hingga kondisi membaik yaitu
sekitar 5 hingga 6 kali penukaran. Perbaikan klinis biasanya dijumpai pada
minggu pertama. Perbaikan klinis biasanya akan bertahan hingga 3 bulan dan
17
efek akan menghilang kecuali diikuti dengan thymectomy atau terapi
immunosuppresive. Pengulangan PLEX terbukti tidak memberikan manfaat
kumulatif dan tidak dianjurkan digunakan sebagai terapi kronis kecuali terapi
lain mengalami kegagalan atau kontraindikasi.
Efek samping dari PLEX antara lain transitory cardiac arrythmia,
nausea, kepala terasa ringan, menggigil, obscured vision, dan pedal edema.
Thrombus, thrombophebitis, subacute bacterial endocarditis, pneumothorax,
brachial plexus injury merupakan komplikasi yang mungkin terjadi akibat dari
pemasangan rute akses peripheral venipuncture.
3) Intravenous Immunoglobulin (IGiv)
Indikasi dari IGiv memiliki kesamaan dengan PLEX. Intravenous
immunoglobulin merupakan alternatif dari PLEX khususnya pada pasien
anak-anak maupun pasien dengan vena akses yang sulit ditemukan dan jika
PLEX tidak tersedia. IGiv juga tidak direkomendasikan sebagai terapi kronis
kecuali karena mengalami kegagalan atau kontraindikasi.
Perbaikan klinis dilaporkan terjadi pada 50 hingga 100 persen pasien
setelah diberikan dosis 3 mg/kg selama 2 hingga 4 hari. Perbaikan klinis akan
bertahan hingga beberapa minggu atau bulan. Dosis minimum masih belum
ditentukan karena masih belum ada penelitian yang mendukung mengenai hal
tersebut. Menurut Gajdos P (2006) dosis 1 mg/kg sama efektifnya dengan
dosis 2 mg/kg dalam mengobati miastenia crisis.
Efek samping yang sering terjadi antara lain demam, sakit kepala
maupun menggigil. Reaksi tersebut dapat diringankan dengan pemberian
acetaminophen atau aspirin dengan dipenhidramine sebelum pemberian IGiv.
Pasien dengan selective IgA deficiency kemungkinan akan mengalami reaksi
anafilaksis terhadap IGiv. Oleh karena hal tersebut maka dianjurkan untuk
melakukan tes kadar IgA sebelum melakukan terapi ini.
c. Terapi Immunosuppresant
1) Kortikosteroid
Prednisone dilaporkan dapat menghilangkan gejala pada lebih dari
75% pasien dengan Miastenia Gravis. Perbaikan kondisi klinis biasanya akan
muncul 6 hingga 8 minggu setelah pemberian prednisone pertama. Respon
terbaik terjadi pada pasien dengan onset muda. Pasien dengan thymoma
18
biasanya akan membaik dengan prednisone setelah dilakukan pengangkatan
tumor.
Dosis awal prednison yang dianjurkan yaitu 1,5 hingga 2 mg/kg
perhari. Dosis akan dipertahankan hingga perbaikan klinis muncul yang
biasanya terjadi pada minggu kedua. Kemudian dosis akan diturunkan setiap
bulannya hingga mencapai dosis terendah untuk terapi maintance, dimana
idealnya 20 mg setiap harinya. Penurunan dosis untuk tiap orang akan
bervariasi. Pasien dengan initial response yang buruk dianjurkan untuk
menggunakan dosis alternatif yaitu 100- 120 mg dan turunkan dosis 20 hingga
60 mg tiap bulan.
Efek samping dari pemberian prednison jangka lama antara lain
hypercortism. Tingkat keparahan dari hypercortism meningkat seiring dengan
pemberian dosis tinggi lebih dari 1 bulan. Efek samping akan membaik jika
dosis diturunkan dan menjadi minimal pada dosis dibawah 20 mg per hari.
Efek samping dapat diminimalkan dengan diet rendah lemak, rendah sodium
dan pemberian supplemental kalsium. Wanita dengan postmenopause harus
diberikan supplement vitamin D atau biphosphate. Pasien dengan gastric ulcer
atau gastritis memerlukan H2 antagonist. Prednison tidak boleh digunakan
pada penderita tuberkulosis. Prednison akan bekerja lebih baik jika
dikombinasikan dengan azathioprine, cyclosporine, mycophenolate atau obat
immunosuppresant lainnya.
19
hypertension
Dosis Awal: 5 hingga 6
mg/kg per hari.
Pengaturan dosis
berdasarkan kadar serum
CYA. Dosis terbaik jika
kadar CYA antara 75 ng
hingga 150 ng.
d. Planning Terapi
1) Ocular Miastenia
Direkomendasikan untuk memulai terapi dengan cholinesterase
inhibitor terlebih dahulu, jika hasilnya tidak memuaskan maka tambahkan
prednison. Thymectomy dapat diindikasikan jika pasien usia muda dengan
kelemahan okuler persistent walaupun sudah mendapat terapii cholinesterase
inhibitor. Jika kelemahan pasien berkembang dari otot okuler menjadi general
miastenia maka digunakan protokol generalized miastenia.
2) Generalized Miastenia, Onset sebelum umur 60 tahun.
Thymectomy direkomendasikan kepada semua pasien.
Immunosuppresion dengan prednison atau obat lainnya, PLEX, atau keduanya
digunakan sebagai preoperatif pasien dengan oropharingeal atau gangguan
respiratory untuk meminimalisir resiko operasi. Immunosuppresion
direkomendasikan jika terdapat kelemahan yang persistent setelah
20
thymectomy atau tidak terjadi perbaikan gejala setelah 12 bulan setelah
operasi.
3) Generalized Miastenia, Onset setelah umur 60 tahun.
Cholinesterase inhibitor digunakan untuk terapi awal. Jika respon
terapi kurang baik, maka perlu ditambahkan azathioprine. Jika respon terapi
tetap kurang baik, dapat digunakan prednison maupun mycophenolate mofetil
sebagai pengganti azathioprine.
e. Prognosis
Gejala awal yang dialami sebagian besar pasien adalah kelemahan otot-
otot ekstraokuler, yang biasanya terjadi pada tahun pertama. Hampir 85% dari
pasien tersebut akan mengalami kelemahan pada otot-otot ekstremitas tiga tahun
berikutnya. Kelemahan orofaring dan eksteremitas pada fase awal jarang
ditemukan. Tingkat keparahan yang berat ditemukan saat tahun pertama pada
hampir dua pertiga pasien, dengan krisis myastenik terjadi pada 20% pasien.
Gejala bisa diperberat dengan adanya kondisi sistemik yang menyertai, contohnya
ISPA akibat virus, gangguan tiroid, dan kehamilan. Pada fase awal penyakit,
gejala bisa berfluktuasi dan membaik, walaupun perbaikan jarang yang bersifat
permanen. Relapses and remissions berlangsung sekitar tujuh tahun, diikuti fase
inaktif selama sekitar sepuluh tahun. Sebelum penggunaan imunomodulator,
mortality rate pada miastenia gravis masih besar, yaitu sebesar 30%. Dengan
adanya imunoterapi dan perkembangan alat-alat terapi intensif, resiko kematian
ini dapat diturunkan menjadi kurang dari 5%.
21
Kaji :
a) Ada/tidaknya sumbatan jalan nafas
b) Buka jalan nafas dengan jaw thrust atau head til chin lift
c) Adakah obtruksi jalan nafas (cairan atau darah)
d) Kaji gurgling dan stridor
2) Breathing dan ventilasi
Kaji :
a) Pergerakan dinding dada simetris atau tidak
b) Pola pernafasan cepat dan dangkal, pasien mengeluh sesak
c) Terdapat otot bantu pernafasan
d) Adanya suara nafas tambahan (pada pasien dengan riawayt penyakit paru
akan ditemukan suara napas tambahan seperti ronki dan wheezing)
3) Circulation
Kaji :
a) Evaluasi denyut nadi distal, kekuatan dan irama
b) Takikardia - stress penafasan – shock
c) Amati warna kulit, suhu dan kondisi
4) Disability
Kaji : Penilaian neurologis secara cepat yaitu tingkat kesadaran, ukuran dan
reaksi pupil, serta menilai fungsi motorik dan sensorik ekstremitas.
5) Eksposure
Kaji : Pakaian klien di buka untuk melakukan pemeriksaan seluruh tubuh,
serta menjaga suhu klien agar tidak hipotermi
b. Pengkajian Sekunder
Pengkajian sekunder dilakukan setelah masalah ABC yang ditemukan
pada pengkajian primer diatasi. Pengkajian sekunder meliputi pengkajian objektif
dan subjektif dari riwayat keperawatan (riwayat penyakit sekarang, riwayat
penyakit terdahulu, riwayat pengobatan, riwayat keluarga) dan pengkajian dari
kepala sampai kaki.
1) Riwayat pasien :
S (Sign and symptom): Gejala klinis miastenia gravis antara lain adalah
keluhan utama seperti badan lemah dan sesak napas. Keluhan badan lemah
disertai dengan kelopak mata sebelah kanan berat untuk membuka, pandangan
22
mata ganda, sulit untuk menelan ludah, serta napas terasa berat. Keluhan
membaik bila pasien beristirahat. Selain itu pada beberapa pasien dijumpai
gejala minggu sebelumnya merasakan badan lemah, pasien menderita batuk
berdahak dan demam.
A (allergies): kaji apakah pasien ada riwayat alergi. Pada pasien dengan reaksi
alergi tipe II (hipersensitivitas 2), dimana tipe alergi ini menyebabkan
kerusakan pada sel tubuh (anemia hemolitik autoimun) dapat memicunya
terjadinya miastheia gravis.
M (medicattion) : kaji riwayat pengobatannya pasien. Obat seperti Succiny
Choline Cloride (Suksametonium klorida) berfungsi sebagai pelemas otot, hal
ini dapat memburuk keadaan pasien yang menderita miasthenia gravis.
P (past medical history) : Selain dari pasien yang sebelumnya sudah pernah
terdiagnosa Miasthenia Gravis, pasien dengan infeksi atau viurs juga dapat
memicu gangguan neuromuskular, terlebih pada keadaan autoimun lainnya
seperti anemia hemolitik autoimun.
L (last oral intake solid liquid) : kaji makanan terakhir yang dikonsumsu
sebelumnya. Ada beberapa makanan yang harus dihindari penderita autoimun
karena dapat memicu imunitas bekerja lebih berat, seperti makanan berkalori
tinggi dan konsumsi gula berlebih.
E (event leading to injuri ilmes) : Selain disebabkan oleh infeksi dan
autoimun, Myasthenia Gravis dapat juga dijumpai atau dipicu oleh kejadian
pembedahan/trauma.
2) Tanda-tanda vital
a) Tekanan darah : tekanan darah pada cenderung mengalami peningkatan
dan penurunan
b) Irama dengan kekuatan nadi meningkat
c) Irama, kedalaman dan penggunaan otot bantu pernapasan: klien dengan
miastenia gravis mengalami pernapasan dispnea, risiko terjadi aspirasi dan
gagal pernafasan akut, kelemahan otot diagfragma
d) Suhu tubuh klien normal
3) Pemeriksaan fisik head to toe
a) Kepala dan leher
- Terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang menyebabkan suara
penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice) serta
23
regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidung penderita.
Selain itu, penderita miastenia gravis akan mengalami kesulitan dalam
mengunyah serta menelan makanan, sehingga dapat terjadi aspirasi
cairan yang menyebabkan penderita batuk dan tersedak saat minum.
- Kelemahan otot ekstraokular yang menyebabkan palsi okular, jatuhnya
mata atau dipoblia. Serta biasanya kelemahan otot- otot kstraokular
terjadi secara asimetris. Hal ini merupakan tanda yang sangat penting
untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan pada muskulus
rektus lateralis dan medialis akan menyebabkan terjadinya suatu
pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang ditandai dengan terbatasnya
kemampuan adduksi salah satu mata yang disertai nystagmus pada
mata yang melakukan abduksi.
- Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan
miastenia gravis. Ditandai dengan kelemahan otot-otot rahang pada
miastenia gravis yang menyebakan penderita sulit untuk menutup
mulutnya, sehingga dagu penderita harus terus ditopang dengan
tangan. Otot-otot leher juga mengalami kelemahan, sehingga terjadi
gangguan pada saat fleksi serta ekstensi dari leher.
b) Thoraks
Dispnea, risiko terjadi aspirasi dan gagal pernafasan akut, kelemahan otot
diagragma. kelemahan otot-otot pernapasan yang dapat menyebabkan
gagal napas akut, dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat
dan tindakan intubasi cepat sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot faring
dapat menyebabkan kolapsnya saluran napas atas dan kelemahan otot-otot
interkostal serta diafragma dapat menyebabkan retensi karbondioksida
sehingga akan berakibat terjadinya hipoventilasi.
c) Ekstremitas
Adanya gangguan aktifitas/ mobilitas fisik, kelemahan otot yang berlebih.
Otot-otot anggota tubuh atas lebih sering mengalami kelemahan
dibandingkan otot-otot anggota tubuh bawah.Musculus deltoid serta fungsi
ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta jari-jari tangan sering kali
mengalami kelemahan. Otot trisep lebih sering terpengaruh dibandingkan
otot bisep. Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan
24
melakukan dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan dengan melakukan
plantarfleksi jari-jari kaki dan saat melakukan fleksi panggul.
d) Eliminasi
Menunjukkan berkurangnya volume pengeluaran urin, yang berhubungan
dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal
e) Sistem pencernaan
Kesulitan mengunyah- menelan, disfagia, dan peristaltik usus turun,
hipersalivasi, hipersekresi
4) Pemeriksaan penunjang
a) Pemeriksaan laboratorium
b) Pemeriksaan EEG
c) Pemeriksaan radiologis : CT-Scan & MRI
25
2. Dispnea menurun status oksigenasi
3. Napas cuping hidung
Terapeutik :
menurun
4. P02 membaik 1.3 Atur posisi kepala 40-60° untuk
5. Pola napas membaik mencegah aspirasi
1.4 Siapkan bag-valve mask di samping
tempat tidur untuk antisipasi
malfungsi mesin
Kolaborasi :
Edukasi :
26
yang nyaman
3.7 Ajarkan pasien dan
keluarga/pengunjung tentang upaya
pencegahan infeksi
4. D.0054 Gangguan Setelah dilakukan intervensi Dukungan Mobilisasi I.05173:
Mobilitas Fisik b.d keperawatan selama minimal 1x
penurunan kekuatan otot 8 jam, mobilitas fisik Observasi :
meningkat, dengan kriteria hasil
(L.05042): 4.1 Identifikasi adanya nyeri atau
1. Pergerakan ekstremitas keluhan fisik lainnya
meningkat 4.2 Identifikasi toleransi melakukan
2. Kekuatan otot meningkat pergerakan
3. Nyeri menurun Terapeutik :
4. Kecemasan menurun
5. Kelelahan fisik menurun 4.3 Fasilitasi aktivitas ambulasi dengan
alat bantu
4.4 Libatkan keluarga untuk membantu
pasien dalam meingkat pergerakan
4.5 Edukasi :
4.6 Jelaskan tujuan dan prosedur
ambulasi
4.7 Anjurkan melakukan mobilisasi
dini
4.8 Ajarkan ambulasi sederhana yang
harus dilakukan
5. D.0006 Risiko Aspirasi Setelah dilakukan intervensi Penghisapan Jalan Napas I.01020 :
d.d gangguan menelan keperawatan selama minimal
1x8 jam, tingkat aspirasi Observasi :
menurun, dengan kriteria hasil
(L.01006): 5.1 Identifikasi kebutuhan dilakukan
1. Tingkat kesadaran penghisapan
meningkat 5.2 Monitor status oksigenasi
2. Kemampuan menelan Terapeutik :
meningkat
3. Dispnea menurun 5.3 Gunakan tekniks aseptik
4. Kelamahan otot menurun 5.4 Gunakan prosedural steril dan
diposibel
5.5 Lakukan penghisapan kurang dari
15 detik
5.6 Lakukan penghisapan ETT dengan
tekanan rendah (80-90 mmHg)
5.7 Lakukan penghisapan hanya
sepanjang ETT untuk
meminimalkan invasif
Edukasi :
6. D.0143 Risiko Jatuh d.d Setelah dilakukan intervensi Pencegahan Jatuh I.14540 :
gangguan penglihatan keperawatan selama minimal
1x8 jam, tingkat jatuh menurun,
27
(ptosis) dengan kriteria hasil (L.14138): Observasi :
1. Jatuh dari tempat tidur
menurun 6.1 Identifikasi faktor risiko jatuh
2. Jatuh saat berdiri menurun 6.2 Identifikasi faktor lingkungan yang
3. Jatuh saat duduk menurun meningkatkan risiko jatuh
4. Jatuh saat berjalan menurun
Terapeutik :
Edukasi :
28
C. Algoritma
Berikan Observasi
Immunosupresan hemodinamik Tidak Ya
29
Medikasi Stabil Pertimbangkan
pemberian PLEX/IgIV
Tidak Ya
30
D. Telaah Jurnal
1.
Judul Studi Kasus : Status Pernafasan Pada Pasien Myasthenia Gravis
di Ruang Azalea RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung
31
oleh observer.
2.
Judul Status Emosional dan Kualitas Hidup Pada Pasien Miastenia
Gravis
32
Keseluruhan proses penyakit dan pengobatan tidak hanya
berdampak pada sisi fisiologis namun sisi psikologis pasien pun
dapat mengalami perubahan. Pasien dan keluarga seringkali
mengalami respon psikososial seperti kecemasan, frustasi, marah,
kebencian, ketakutan, penolakan, merasa bersalah, depresi, dan
ketidakmampuan atau ketidak-berdayaan. Hal tersebut didukung
dengan hasil penelitian sebelumnya yang melibatkan pasien
dengan miastenia gravis di Jerman yang membuktikan bahwa
adanya kelainan psikologis seperti depresi yang terjadi pada
pasien miastenia gravis. Hilang timbulnya gejala miastenia gravis
serta fase akut dan kronis yang dialami oleh pasien menjadi
penyebab munculnya kelainan psikologis dan emosional bagi
pasien juga keluarga. Pasien dengan gangguan neurologik akan
mengalami gangguan neuropsikotik serta masalah emosional
yang akhirnya akan mempengaruhi status fungsional dan kondisi
klinis pasien secara keseluruhan.
33
besar responden tidak menunjukkan gejala depresi (42.7%),
namun pada responden yang menunjukkan gejala depresi
sebagian besar berada pada kategori depresi sangat berat (26.7%).
Ansietas yang ditunjukkan oleh responden sebagian besar dalam
kategori sangat berat (57.3%). Sebagian besar responden
menunjukkan stress dalam rentang normal (30.7%).
34
E. SOP
POLITEKNIK Standar Operasional Prosedur (SOP)
KESEHATAN
Tes Pita Suara
KEMENKES
KALTIM Definisi : Suatu pemeriksaan atau tes klinik sederhana guna
melihat adanya kelemahan atau kelumpuhan otot ketika
beraktivitas.
Jl. Wolter otot yang berulang setelah aktivitas dan membaik setelah
Samarinda Gravis
Journal :
Kontraindikasi :-
Fase Orientasi
a. Salam terapeutik
b. Evaluasi/validasi kondisi pasien
c. Kontrak : topik, waktu/tempat
Fase Kerja
Persiapan Alat
Persiapan Pasien
35
Cara Kerja
1. Mencuci tangan
2. Mengatur posisi pasien rileks (fowler atau duduk)
3. Minta pasien untuk menghitung dari angka 1-100 dengan
suara yang keras. Tes positif jika lama-kelamaan suara
terdengar makin lemah dan menjadi kurang terang.
Pasien menjadi anartris dan afonia
4. Setelah suara pasien menjadi parau maka anjurkan
beristirahat. Kemudian tampak bahwa suaranya akan
kembali baik.
5. Mencuci tangan dan dokumentasikan.
Sikap
36
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Miastenia Gravis yang berarti “kelemahan otot yang serius” adalah satu-satunya
penyakit neuromuskuler yang menggabungkan kelelahan cepat otot-otot dan waktu
penyembuhan yang lama (penyembuhan butuh waktu 10 hingga 20 kali lebih lama
daripada normal). Penanganan gawat darurat pada Miasternia Gravis meliputi primary
survey, meliputi airway, breathng, circulation, disability, exposure dan secondary survey,
meliputi pengkajian head to toe, pemeriksaan semua lubang, kaji tanda-tanda vital, dan
pemeriksaan penunjang.
B. Saran
Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua, dengan adanya makalah ini kita
bisa mengetahui manajemen kegawatdaruratan Miasthenia Gravis, sebagai salah satu
tenaga kesehatan dalam masyarakat harus mampu menghadapi persaingan untuk bagian
dari pemeliharaan kesehatan dan memilih kemajuan ilmu pengetahun dan teknologi
dibidang kesehatan dalam kumpulan metode untuk mengumpulkan, menampilkan,
menganalisis, dan menggambarkan kesimpulan dari data tetapi tidak meninggalkan nilai-
nilai budaya dalam upaya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas.
37
DAFTAR PUSTAKA
38