Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH KEPERAWATAN GAWAT DARURAT NEUROMUSKULAR

ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN


MIASTHENIA GRAVIS

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 4
Dyah Ayu Widyaningsih NIM: P07220218005

Leny Adifa NIM: P07220218009

M. Balegh Prasta Pribadi NIM: P07220218017

Tika Norjanah NIM: P07220218034

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS
TAHAP SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN
2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya dan tidak lupa shalawat serta salam kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW. Sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah “Asuhan Keperawatan
Kegawatdaruratan Miasthenia Gravis” untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan
Gadar Neuromuskular.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan baik tulisan
maupun informasi yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, kami berterima kasih kepada Ibu
Ns. Arsyawina, SST., M.Kes, atas bimbingannya dalam menulis dan menyusun makalah ini,
sehingga penulis dapat membuat makalah sesuai dengan kaidah dalam membuat karya tulis.

Walaupun makalah ini masih banyak terdapat banyak kekurangan, kami sangat
mengharapkan kepada para pembaca untuk menyampaikan kritik dan saran yang sifatnya
membangun demi kebaikan dan kesempurnaan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini
dapat selalu bermanfaat bagi pembaca dan atas kekurangan dalam makalah ini kami mohon
maaf. Terakhir tidak lupa kami mengucapkan terima kasih.

Samarinda, 3 Maret 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii

DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1

A. Latar Belakang..............................................................................................................1

B. Rumusan Masalah.........................................................................................................1

C. Tujuan Penulisan..........................................................................................................1

D. Manfaat Penulisan........................................................................................................2

E. Sistematika Penulisan...................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................3

A. Konsep Dasar Miasthenia Gravis................................................................................3

B. Asuhan Keperawatan pada Kasus Miasthenia Gravis............................................15

BAB III PENUTUP..................................................................................................................31

A. Kesimpulan..................................................................................................................31

B. Saran.............................................................................................................................31

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................32

iii
BAB I
PENDAHU
LUAN

A. Latar Belakang
Myastenia gravis adalah salah satu karakteristik penyakit autoimun pada manusia.
Selama beberapa dekade terakhir telah dilakukan penelitian tentang gejala myastenia pada
kelinci yang diimunisasi dengan acetylcholine receptor (AchR). Sedangkan pada manusia
yang menderita miasthenia gravis, ditemukan adanya defisiensi dari AchR pada
neuromuscular junction.

Pada tahun 1977, karakteristik autoimun padagravis dan peran patogenik dari anti
bodi AchR telah berhasil ditemukan melalui beberapa penelitian. Hal ini meliputi
demonstrasi tentang sirkulasi antibodi AchR pada hampir 90% penderita myastenia
gravis, transfer  pasif IgG pada beberapa bentuk penyakit dari manusia ke tikus, lokalisasi
imun kompleks(IgG dan komplemen) pada membran post sinaptik, dan
efek menguntungkan dari plasmaparesis. Penyakit autoimun itu sendiri adalah suatu
jenis penyakit dimanaantibodi menyerang jaringan-jaringannya sendiri. Myasthenia
gravis dapat mnyerang otot apa saja, tapi yang paling umum terserang adalah ototyang
mengontrol gerakan mata, kelopak mata, mengunyah, menelan,
batuk dan ekspresi wajah. Bahu, pinggul, leher, otot yg mengontrol gerakan badan serta
otot yang membantu pernafasan juga dapat terserang.

Penyakit Myastenia gravis ini dapat mengganggu sistem sambungan saraf


(synaps). Pada penderita myastenia gravis, sel antibo di tubuh atau kekebalan akan
menyerang sambungan saraf yang mengandung acetylcholine (Ach), 
yaitu neurotransmiter yang mengantarkan
rangsangan dari saraf satu ke saraf lainnya. Jika reseptor mengalami gangguan maka akan
menyebabkan defisiensi, sehingga komunikasi antara sel saraf dan otot terganggu dan
menyebabkan kelemahan otot

iv
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah maka dapat dirumuskan
permasalahan yaitu “Bagaimanakah konsep dasar dan asuhan keperawatan kasus
miasthenia gravis pada kondisi gawat darurat”

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah maka didapat tujuannya yaitu :
1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui konsep dasar dan asuhan kegawatdaruratan pada kasus


miasthenia gravis.

2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui konsep miasthenia gravis
b. Untuk mengetahui pengkajian pada kasus miasthenia gravis
c. Untuk mengetahui diagnosa keperawatan pada kasus miasthenia gravis
d. Untuk mengetahui intervensi keperawatan pada kasus miasthenia gravis

D. Manfaat Penulisan
1. Manfaat teoritis
Hasil dari penyusunan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat
kepada pembaca untuk menambah pengetahuan dan wawasan mengenai
konsep dasar dan asuhan kegawatdaruratan pada kasus miasthenis gravis.
2. Manfaat praktis
Hasil dari penyusunan makalah ini diharapkan dapat dijadikan pembelajaran
yang nantinya dapat di pahami dan diaplikasikan dalam praktik keperawatan.

E. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut.
1. Makalah ini diawali dengan halaman judul, kata pengantar, dan daftar
isi.
2. BAB I yang merupakan pendahuluan dibagai menjadi beberapa sub-bab
seperti latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan,
manfaat, dan sistematika penulisan.

v
3. BAB II yang merupakan pembahasan yang berisi konsep dasar dan
asuhan kegawatdaruratan pada kasus miasthenia gravis.
4. BAB III yang merupakan penutup yang terbagi menjadi dua sub-bab seperti
kesimpulan dan saran

vi
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar Miasthenia Gravis


1. Definisi
Miastenia Gravis yang berarti “kelemahan otot yang serius” adalah satu-
satunya penyakit neuromuskuler yang menggabungkan kelelahan cepat otot-otot dan
waktu penyembuhan yang lama (penyembuhan butuh waktu 10 hingga 20 kali lebih
lama daripada normal).
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-
menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul karena
adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction.
Dimana bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan
pulih kembali.
Miastenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi transmisi
neuromuskular pada otot tubuh yang kerjanya dibawah kesadaran seseorang.
Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan dan umumnya terjadi
kelelahan pada otot-otot seseorang dan hal itu dipengaruhi oleh fungsi saraf kanial.

2. Etiologi
Kelainan primer pada Miastenia Gravis dihubungkan dengan gangguan
transmisi pada neuromuscular junction, yaitu penghubung antara unsur saraf dan
unsur otot. Pada ujung akson motor neuron terdapat partikel–partikel globuler yang
merupakan penimbunan asetilkolin (ACh). Jika rangsangan motorik tiba pada ujung
akson, partikel globuler pecah dan ACh dibebaskan dan dapat memindahkan gaya
saraf yang kemudian bereaksi dengan Ach Reseptor (AChR) pada membran
postsinaptik. Reaksi ini membuka saluran ion pada membran serat otot dan
menyebabkan masuknya kation, terutama Na, sehingga dengan demikian terjadilah
kontraksi otot.

vii
Penyebab pasti gangguan transmisi neromuskuler pada Miastenia gravis tidak
diketahui. Dulu dikatakan, pada Miastenia gravis terdapat kekurangan ACh atau
kelebihan kolinesterase, tetapi menurut teori terakhir, faktor imunologik yang
berperanan.
Klasifikasi Miasthenia Gravis berdasarkan The Medical Scientific Advisory
Board (MSAB) of The Myasthenis Gravis Foundation of America (MGFA) :
a. Kelas I kelemahan otot okular dan gangguan menutup mata, otot lain masih
normal
b. Kelas II kelemahan ringan pada otot selain okular, otot okular meningkat
kelemahnnya
c. Kelas IIa mempengaruhi ekstermitas, sedikit mempengaruhi otot-otot
oropheringeal
d. Kelas IIb mempengaruhi otot-otot pheringeal dan pernafasan juga ekstermitas
e. Kelas III kelemahan sedang otot selain okuler, meningkatnya kelemahan pada
otot okuler
f. Kelas IIIa memepengaruhi ekstermitas, sedikit mempengaruhi otot-otot
pharyngeal
g. Kelas IIIb mempengaruhi otot-otot pharyngeal dan pernafasan juga
ekstermitas
h. Kelas IV kelemahan berat pada selain otot okuler, kelemahan berat pada otot
okuler
i. Kelas IVa mempengaruhi ekstermitas, sedikit pengaruh pada otot-otot
oropharingeal
j. Kelas IVb terutama mempengaruhi otot-otot pernafasan dan oropharingeal
juga ekstermitas
k. Kelas V pasien yang membutuhkan intubasi (kecuali pada kasus post-
operatif).

3. Patofisiologi
Otot rangka dan otot lurik dipersarafi oleh nervus besar bermielin yang berasal
dari sel kornu anterior medula spinalis dan batang otak. Nervus ini mengirim keluar
aksonnya dalam nervus spinalis atau kranialis menuju perifer. Nervus yang
bersangkutan bercabang berkali-kali dan mampu merangsang 2000 serat otot rangka.
Kombinasi saraf motorik dan serabut otot yang dipersarafinya disebut unit motorik.
viii
Meskipun setiap neuron motorik mempersyarafi banyak serabut otot, tetapi setiap
serabut otot dipersyarafi oleh hanya satu neuron motorik.
Daerah khusus yang menghubungkan antara saraf motorik dengan serabut otot
disebut sinaps neuromuscular atau hubungan neuromuskular. Hubungan
neuromuskular adalah sinaps kimia antara saraf dan otot yang terdiri dari tiga
komponen dasar : elemen prasinaptik, elemen pasca sinaptik dan celah sinaptik.
Elemen prasinaptik terdiri dari akson terminal yang terdiri berisi vesikel sinaptik
dengan neurotransmiter asetilkolin. Asetilkolin disintesis dan disimpan dalam akson
terminal (Button). Membran plasma akson terminal disebut membran prasinaps.
Elemen pasca sinaps terdiri dari membran pasca sinaps atau ujung lempeng motorik
dari serat otot. Membran pasca sinaps dibentuk oleh invaginasi yang disebut saluran
sinaps membran otot atau sarkolema kedalam tonjolan akson terminal. Membran
pasca sinaps memiliki banyak lipatan yang sangat meningkatkan luas permukaan.
Membran pasca sinaps juga mengandung acethylcoline receptors (ACHRs)
dan mampu membangkitkan lempeng akhir motorik yang sebaliknya dapat
menghasilkan potensial aksi otot. Asetilkolinesterase yaitu enzim yang merusak
acethylcoline (ACH) juga terdapat dalam membran pasca sinaps. Celah sinaptik
mengacu pada ruangan antara membran prasinaps dan membran pasca sinaps. Apabila
impuls saraf mencapai taut neuromoskular, membran akson prasinaptik terminal
terdepolarisasi, menyebabkan pelepasan asetilkolin ke dalam celah sinaptik.
Acethylcoline menyeberangi celah sinaptik secara difus dan menyatu dengan bagian
acethylcoline receptors dalam membran pasca sinaptik. Masuknya ion Na secara
mendadak dan keluarnya ion K menyebabkan depolarisasi ujung lempeng, yang
diketahui sebagai ujung lempeng potensial. Ketika ujung lempeng potensial mencapai
puncak, maka ujung tersebut akan menghasilkan potensial-potensial aksi dalam
membran otot. Potensial aksi ini merangkai serangkaian reaksi yang menyebabkan
kontraksi serabut otot. Begitu terjadi transmisi melewati penghubung neuromuskular,
acethylcoline akan dirusak oleh enzim asetilkolinesterase. Pada orang normal, jumlah
acethylcoline yang dilepaskan lebih dari cukup untuk menyebabkan suatu potensial
aksi.

ix
Gambar 2.1
Neuromuscular junction (a) normal (b) myasthenia gravis

Pada Miastenia Gravis, konduksi neuromuskularnya terganggu. Jumlah


reseptor acethylcoline normal menjadi menurun yang terjadi akibat cedera autoimun
sehingga terjadi penurunan potensial aksi yang menyebabkan kelemahan pada otot.
Pada 90 % pasien gejala awal melibatkan otot okular yang menyebabkan ptosis dan
diplopia. Otot wajah, laring dan faring juga sering terlibat dalam Miastenia Gravis
yang dapat mengakibatkan regurgitasi melalui hidung ketika berusaha menelan dan
pasien dapat mengalami aspirasi, gangguan suara (disfonia). Kelemahan otot
pernapasan juga ditandai dengan batuk lemah dan akhirnya serangan dispnea, dan
ketidakmampuan membersihkan mukus dari cabang trakeobronkial. Selain itu terjadi
kelemahan otot ekstremitas yang menyebabkan pasien kesulitan untuk berdiri,
berjalan, atau bahkan menahan lengan di atas kepala (Misalnya ketika sedang
menyisir rambut).

x
4. Pathway

Cedera Autoimun, Gangguan sub imun

Simplikasi region pasca sinaps

Gangguan konduksi neuromuskular

Jumlah reseptor asetilkolin (Ach) pada membran post-sinaps

Hilangnya reseptor normal membran post-sinaps pada sambungan neuromuskular

Keruskan pada transmisi impuls saraf

Gangguan potensial aksi sel saraf

Gangguan kontraksi serabut otot

Penurunan kekuatan otot

Gangguan Mobilitas Fisik (D.0054)

Gangguan otot Gangguan otot wajah, laring, Kelemahan otot


okuler faring pernapasan

Diplopia atau
Regurgitasi makanan Disfonia Kelemahan Gangguan
Ptosis
ke hidung saat menelan otot palatum Pertukaran Gas
(D.0003)
Risiko Jatuh Kesulitan
Risiko Aspirasi Gangguan
(D.0143) mengucapkan
(D.0006) Menelan
kata Sesak napas
(D.0063)

Gangguan Komunikas
Verbal (D.0119)

11
5. Tanda dan gejala
a. Kelemahan otot ekstrim dan mudah mengalami kelelahan.
b. Diplobia (penglihatan ganda).
c. Ptosis (jatuhnya kelopak mata).

Gambar 2.2 Ptosis


d. Disfonia (gangguan suara).
e. Kelemahan diafragma dan otot-otot interkosal progressif menyebabkan gawat
napas.

6. Pemeriksaan Diagnostik
Ada banyak jenis penyakit yang memiliki gejala yang mirip dengan Miastenia
gravis sehingga anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap merupakan langkah
awal yang penting dalam mendiagnosis Miastenia gravis. anamnesis meliputi riwayat
keluarga, riwayat penyakit terdahulu, dan riwayat pengobatan. Belum ada satu tes
tunggal yang dapat diandalkan sepenuhnya dalam mendiagnosis Miastenia Gravis,
namun kombinasi anamnesis, pemeriksaan fisik, tes fungsi saraf, dan pemeriksaan
darah sering kali dapat menegakan diagnosis yang valid.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang detil serta digabungkan dengan
investigasi mendalam sering kali diperlukan untuk menyediakan petunjuk diagnostik.
Peninjauan yang sistematik terhadap kemampuan tes untuk mendiagnosis Miastenia
Gravis menyimpulkan bahwa hanya tes antibodi AChR dan single-fibre
electromyography (SFEMG) sudah tervalidasi.
a. Tes Ice Pacck
Metode singkat untuk membedakan ptosis akibat Miastenia Gravis dengan
penyebab lainnya yaitu test ice pack. Pendinginan dapat memperbaiki transmisi

12
neuromuskuler, sehingga pada pasien ptosis, penempatan es di kelopak mata akan
memperbaiki ptosis. Es dapat ditempatkan di dalam sarung tangan atau dibungkus
handuk dan diletakkan secara lembut di atas kelopak mata selama 2 menit atau 5 –
10 menit. Tes dikatakan positif bila terdapat resolusi ptosis. Pemeriksaan ini
memiliki sensitivitas 82% dan spesifisitas 96%.
b. Tes Endrofonium
Tes endrofonium atau tensilon merupakan tes yang memasukan
endrofonium klorida yang merupakan asetilkolinesterase kerja singkat
(shortacting) yang bertujuan untuk menunjukan reversibelitas kelemahan otot dan
hanya dapat dilakukan apabila terdapat kelemahan yang jelas yang dapat diukur
secara objektif. Pemeriksaan ini membutuhkan monitoring kardiorespirasi dan
hati-hati apabila terdapat kecurigaan besar terhadap miastenia gravis kongenital,
karena pasien sering menunjukkan perburukan klinis akibat pemberian
penghambat asetilkolinesterase. Tes ini berguna membantu diagnosis miastenia
gravis atau membedakan antara krisis miastenik dan krisis kolinergik.
Pemeriksaan ini membutuhkan waktu singkat dan durasi aksi obat yang cepat.
Sebelumnya harus di pastikan bahwa jalan napas pasien paten dan ventilasi
adekuat. Dosis inisial diberi kan dalam dosis kecil, yaitu 2 mg intravena. Bila
tidak timbul efek samping maka dosis selanjutnya diberikan 3 mg dan dinilai
adanya perbaikan kekuatan otot, ekspresi wajah, postur, dan fungsi respirasi
dalam 1 menit. Jika belum menunjukkan perbaikan, dosis tambahan 5 mg dapat
diberikan hingga dosis maksimal 10 mg total pemberian. Perbaikan ini dapat
bertahan selama 5 menit. Selama prosedur pemeriksaan ini pasien harus dipantau,
karena dapat timbul efek samping kolinergik, yaitu salivasi, lakrimasi,
berkeringat, flushing, fasikulasi perioral, bradikardi, blok konduksi jantung,
fibrilasi ventrikel, dan asistol. Atropin harus selalu disediakan sebagai antidotum.
Kekuatan otot dapat membaik setelah tindakan ini atau kelemahan masih dapat
tampak. Pemeriksa harus berhati-hati terhadap efek kolinergik yang tidak
diinginkan, seperti hipersalivasi yang dapat menyebabkan eksaserbasi distres
napas dan berisiko aspirasi. Waktu paruh edrofonium adalah 10 menit. Apabila
pasien tidak menunjukkan perbaikan klinis setelah pemberian dosis maksimal
edrofonium, berarti pasien mengalami krisis kolinergik atau ada penyebab
kelemahan lain selain miastenia gravis. Karena efeknya yang cepat, pengulangan
dosis sering diperlukan sebelum pasien mendapat antikolinesterase oral.
13
Sensitivitas tes ini sebesar 88% untuk Miastenia Gravis generalisata dan 92%
untuk Miastenia Gravis ocular, dengan spesifisitas sebesar 96% untuk kedua jenis
Miastenia Gravis. Tes ini sebaiknya dihindari untuk dilakukan pada orang tua.
c. Neurofisiologi
Repetitive nerve stimulation (RNS) dan SFEMG merupakan tes
neurofisiologi yang paling sering digunakan. Hasil dari tes ini dapat disalahartikan
pada pasien yang mengonsumsi inhibitor asetilkolin dosis tinggi secara kronis.
Apabila terdapat keraguan, maka apabila memungkinkan hentikan pemakaian obat
tersebut selama setidaknya 1 minggu sebelum dilakukan tes tersebut. 15 Stimulasi
RNS pada frekuensi 3 10 Hz menghasilkan penurunan amplitudo dari potensi
susunan otot aksi. Sekitar 80% dari tes mengahsilkan nilai positif pada 80% kasus
Miastenia Gravis generalisata, namun dapat negatif pada 50% kasus Miastenia
Gravis ocular, sehingga secara keseluruhan, sensitivitas dari tes ini mencapai
75%. Spesivisitas dari RNS bervariasi dan tergantung secara parsial terhadap saraf
mana yang dites. Single-fibre electromyography (SFEMG) merupakan tes
diagnostik yang paling sensitif pada Miastenia Gravis dan sebaiknya dilakukan
apabila RNS normal dan dicurigai terdapat penyait pada neuro muscular junction.
Hasil SFEMG pasien miastenia gravis menunjukkan peningkatan jitter.

Gambar 2.3
Menunjukkan hasil SFEMG normal, sedangkan gambar B menunjukkan
peningkatan jitter

Sensitivitas dari SFEMG sebesar 99% pada MG generalisata dan sekitar


80% pada Miastenia gravis ocular. Spesivisitas SFEMG bervariasi dan tes yang
abnormal dapat ditemukan pada kondisi lain seperti sitopati mitokondrial,
penyakit motor neuron, atau radikulopati.
d. Pencitraan (Imaging)
Semua penderita Miastenia Gravis harus dilakukan CT-Scan dan MRI
thoraks untuk screening thymoma atau hyperplasia timus. Pencitraan mediastinum

14
sebaiknya diulang pada MG berulang setelah periode penyakit stabil untuk
mengeksklusi thymoma, yang dapat terjadi pada episode penyakit berikutnya.

e. Tes Antibodi
Semua pasien yang dicurigai menderita Miastenia Gravis harus dilakukan
tes antibodi anti-AChR. Sensitivitas dari tes ini mencapai 70 – 95% untuk MG
generalisata dan 50 – 75% untuk MG ocular. Konsentrasi antibodi anti-AChR
tidak dapat memprediksi keparahan pada individu penderita MG. Apabila antibodi
anti-AChR negatif, antibodi anti-MuSK harus dikerjakan. Pada pasien yang
seronegatif, terdapat angka serokonversi sebesar 15% setelah 1 tahun. Supresi
terhadap sistem imun dapat mengarahkan pada hilangnya antibodi yang
diperlukan untuk menegakan diagnosis MG. Deteksi terhadap antibodi anti-
striational dapat memberikan indikasi fenotip dan prognosis dari penyakit ini.

f. Diagnosis Banding
Berikut merupakan beberapa diagnosis banding Miastenia Gravis :

Penyakit Tampilan Klinis Pembeda

Botulisme Keterlibatan fungsi otonomik dan pupil

Congenital miastenia syndromes Onset pada bayi dan anak-anak,


seronegatif, tidak merespon terhadap
imunoterapi

Cranial nerves palsi Tampilan klinis pada area yang


dipersarafi

Guillain- Barre syndrome Pola asenden pada kelemahan otot


keterlibatan fungsi otonom, arefleksia,
tanda dan gejala sensoris

Inflamatory myopathies Tanpa kelemahan otot ocular kecuali


miositosis orbital, gejala konstitusional
umum; demam, 15 anoreksia, penurunan

15
berat badan

7. Komplikasi
Komplikasi myasthenia gravis yang paling berbahaya adalah myasthenic
crisis. Kondisi ini terjadi ketika otot tenggorokan dan diafragma terlalu lemah untuk
mendukung proses pernapasan, sehingga penderitanya mengalami sesak napas akibat
kelumpuhan otot-otot pernapasan.
Myasthenic crisis dapat dipicu oleh beberapa faktor, seperti infeksi saluran
pernapasan, stres, atau komplikasi dari prosedur operasi. Pada myasthenic crisis yang
parah, penderita bisa berhenti bernapas. Dalam kondisi ini, dibutuhkan alat bantu
napas (ventilator) untuk membantu penderita bernapas, sampai otot-otot pernapasan
dapat kembali bergerak.
Selain henti napas, penderita myasthenia gravis juga berisiko tinggi
mengalami penyakit autoimun lain, seperti tirotoksikosis, lupus, dan rheumatoid
arthritis.

8. Penatalaksanaan
Penatalaksaan dari penyakit miastenia gravis dapat dibagi dibagi menjadi 3
pendekatan yaitu:
a. Penatalaksanaan Simptomatik
1) Anticholinesterase
Anticholinesterase atau cholisnesterase inhibitor bekerja menghambat
enzim hydrolisis dari ACh pada cholinergic synapse sehingga Ach akan
bekerja lebih lama pada neuromuscular junction.
Pyrodostigmine bromide dan neostigmine bromide merupakan obat
anticholinesterase yang paling sering digunakan. Menurut penelitian dari
Pyrodostigmine lebih dianjurkan karena memiliki efek samping yang lebih
minimal pada gastointestinal dan durasi kerja obat lebih lama. Efek samping
lain yang muncul yaitu akumulasi ACh pada muscarinic receptor pada otot
polos sehingga muncul stimulasi otot polos pada abdomen dan menyebabkan
16
abdominal cramping, peningkatan flatus, diare dan menurunnya frekuensi
buang air kecil. Jika efek samping muncul dapat diberikan propantheline 15
mg tiap dosis pyrodostigmine atau dengan dosis satu kali perhari.
Dosis awal pyrodostigmine pada orang dewasa berkisar antara 30-60
mg tiap 4-8 jam. Sedangkan pada bayi dan anak-anak diberikan 1 mg/kg dan
neostagmine 0,3 mg/kg. Dosis maksimum per hari dari pyrodostigmine adalah
360 mg atau 6 tablet. Krisis cholinergic kemungkinan akan terjadi jika
kelebihan dosis pyrodostigmine.

b. Terapi Immunomodulatory
1) Thymectomy
Keuntungan dari thymectomy adalah pasien akan memiliki potensi
untuk drug free remission. Thymectomy direkomendasikan pada pasien
dengan symptom Miastenia gravis yang muncul pada usia dibawah 60 tahun.
Respon dari thymectomy tidak dapat diprediksi dan gejala kemungkinan akan
menetap hingga beberapa bulan sampai tahun setelah operasi. Respon terbaik
dari thymectomy terjadi pada pasien perempuan usia muda. Pasien dengan
thymoma direkomendasikan untuk menghilang tumor tersebut dahulu sebelum
menjalani thymectomy
Thymectomy berulang dilaporkan meningkatkan keberhasilan terapi
pada beberapa pasien. Jaringan thymic dianjurkan untuk tidak diangkat pada
operasi pertama dan kedua dengan syarat pasien berespon baik pada operasi
pertama.
2) Plasma Exchange (PLEX)
PLEX bekerja dalam memperbaiki myastenic weakness secara
sementara. PLEX digunakan sebagai intervensi jangka pendek pada pasien
dengan perburukan symptom miastenia secara mendadak, untuk memperkuat
saat operasi, mencegah exacerbasi yang diinduksi kortikosteroid dan sebagai
terapi chronic intermittent untuk pasien yang telah gagal menjalani semua
terapi jenis lainnya.
Menurut typical PLEX protocol, 2 hingga 3 liter dari plasma
dikeluarkan sebanyak 3 kali dalam seminggu hingga kondisi membaik yaitu
sekitar 5 hingga 6 kali penukaran. Perbaikan klinis biasanya dijumpai pada
minggu pertama. Perbaikan klinis biasanya akan bertahan hingga 3 bulan dan
17
efek akan menghilang kecuali diikuti dengan thymectomy atau terapi
immunosuppresive. Pengulangan PLEX terbukti tidak memberikan manfaat
kumulatif dan tidak dianjurkan digunakan sebagai terapi kronis kecuali terapi
lain mengalami kegagalan atau kontraindikasi.
Efek samping dari PLEX antara lain transitory cardiac arrythmia,
nausea, kepala terasa ringan, menggigil, obscured vision, dan pedal edema.
Thrombus, thrombophebitis, subacute bacterial endocarditis, pneumothorax,
brachial plexus injury merupakan komplikasi yang mungkin terjadi akibat dari
pemasangan rute akses peripheral venipuncture.
3) Intravenous Immunoglobulin (IGiv)
Indikasi dari IGiv memiliki kesamaan dengan PLEX. Intravenous
immunoglobulin merupakan alternatif dari PLEX khususnya pada pasien
anak-anak maupun pasien dengan vena akses yang sulit ditemukan dan jika
PLEX tidak tersedia. IGiv juga tidak direkomendasikan sebagai terapi kronis
kecuali karena mengalami kegagalan atau kontraindikasi.
Perbaikan klinis dilaporkan terjadi pada 50 hingga 100 persen pasien
setelah diberikan dosis 3 mg/kg selama 2 hingga 4 hari. Perbaikan klinis akan
bertahan hingga beberapa minggu atau bulan. Dosis minimum masih belum
ditentukan karena masih belum ada penelitian yang mendukung mengenai hal
tersebut. Menurut Gajdos P (2006) dosis 1 mg/kg sama efektifnya dengan
dosis 2 mg/kg dalam mengobati miastenia crisis.
Efek samping yang sering terjadi antara lain demam, sakit kepala
maupun menggigil. Reaksi tersebut dapat diringankan dengan pemberian
acetaminophen atau aspirin dengan dipenhidramine sebelum pemberian IGiv.
Pasien dengan selective IgA deficiency kemungkinan akan mengalami reaksi
anafilaksis terhadap IGiv. Oleh karena hal tersebut maka dianjurkan untuk
melakukan tes kadar IgA sebelum melakukan terapi ini.

c. Terapi Immunosuppresant
1) Kortikosteroid
Prednisone dilaporkan dapat menghilangkan gejala pada lebih dari
75% pasien dengan Miastenia Gravis. Perbaikan kondisi klinis biasanya akan
muncul 6 hingga 8 minggu setelah pemberian prednisone pertama. Respon
terbaik terjadi pada pasien dengan onset muda. Pasien dengan thymoma
18
biasanya akan membaik dengan prednisone setelah dilakukan pengangkatan
tumor.
Dosis awal prednison yang dianjurkan yaitu 1,5 hingga 2 mg/kg
perhari. Dosis akan dipertahankan hingga perbaikan klinis muncul yang
biasanya terjadi pada minggu kedua. Kemudian dosis akan diturunkan setiap
bulannya hingga mencapai dosis terendah untuk terapi maintance, dimana
idealnya 20 mg setiap harinya. Penurunan dosis untuk tiap orang akan
bervariasi. Pasien dengan initial response yang buruk dianjurkan untuk
menggunakan dosis alternatif yaitu 100- 120 mg dan turunkan dosis 20 hingga
60 mg tiap bulan.
Efek samping dari pemberian prednison jangka lama antara lain
hypercortism. Tingkat keparahan dari hypercortism meningkat seiring dengan
pemberian dosis tinggi lebih dari 1 bulan. Efek samping akan membaik jika
dosis diturunkan dan menjadi minimal pada dosis dibawah 20 mg per hari.
Efek samping dapat diminimalkan dengan diet rendah lemak, rendah sodium
dan pemberian supplemental kalsium. Wanita dengan postmenopause harus
diberikan supplement vitamin D atau biphosphate. Pasien dengan gastric ulcer
atau gastritis memerlukan H2 antagonist. Prednison tidak boleh digunakan
pada penderita tuberkulosis. Prednison akan bekerja lebih baik jika
dikombinasikan dengan azathioprine, cyclosporine, mycophenolate atau obat
immunosuppresant lainnya.

Nama Obat Onset Kerja Obat Efek Samping

Azathioprine 4 hingga 8 minggu Sering: Flu-like syndrome


(reaksi alergi)
Dosis Awal: 50 mg/hari.
Jarang: Leukopenia,
Dosis dinaikan 50 mg tiap Hepatotoxicity
minggu hingga dosis
mencapai 150 atau 200
mg/hari.

Cyclosporine A 2 hingga 3 bulan Renal toxicity

19
hypertension
Dosis Awal: 5 hingga 6
mg/kg per hari.

Pengaturan dosis
berdasarkan kadar serum
CYA. Dosis terbaik jika
kadar CYA antara 75 ng
hingga 150 ng.

Cyclophosphmide Bervariasi Leukopenia, rambut

Dosis: 150 hingga 200 mg rontok, cystitis


per hari.

Mycophenolate Mofetil 2 hingga 4 bulan Diare, Leukopenia ringan.

Dosis: 2 g per hari (dibagi


menjadi 2 dosis)

d. Planning Terapi
1) Ocular Miastenia
Direkomendasikan untuk memulai terapi dengan cholinesterase
inhibitor terlebih dahulu, jika hasilnya tidak memuaskan maka tambahkan
prednison. Thymectomy dapat diindikasikan jika pasien usia muda dengan
kelemahan okuler persistent walaupun sudah mendapat terapii cholinesterase
inhibitor. Jika kelemahan pasien berkembang dari otot okuler menjadi general
miastenia maka digunakan protokol generalized miastenia.
2) Generalized Miastenia, Onset sebelum umur 60 tahun.
Thymectomy direkomendasikan kepada semua pasien.
Immunosuppresion dengan prednison atau obat lainnya, PLEX, atau keduanya
digunakan sebagai preoperatif pasien dengan oropharingeal atau gangguan
respiratory untuk meminimalisir resiko operasi. Immunosuppresion
direkomendasikan jika terdapat kelemahan yang persistent setelah

20
thymectomy atau tidak terjadi perbaikan gejala setelah 12 bulan setelah
operasi.
3) Generalized Miastenia, Onset setelah umur 60 tahun.
Cholinesterase inhibitor digunakan untuk terapi awal. Jika respon
terapi kurang baik, maka perlu ditambahkan azathioprine. Jika respon terapi
tetap kurang baik, dapat digunakan prednison maupun mycophenolate mofetil
sebagai pengganti azathioprine.

e. Prognosis
Gejala awal yang dialami sebagian besar pasien adalah kelemahan otot-
otot ekstraokuler, yang biasanya terjadi pada tahun pertama. Hampir 85% dari
pasien tersebut akan mengalami kelemahan pada otot-otot ekstremitas tiga tahun
berikutnya. Kelemahan orofaring dan eksteremitas pada fase awal jarang
ditemukan. Tingkat keparahan yang berat ditemukan saat tahun pertama pada
hampir dua pertiga pasien, dengan krisis myastenik terjadi pada 20% pasien.
Gejala bisa diperberat dengan adanya kondisi sistemik yang menyertai, contohnya
ISPA akibat virus, gangguan tiroid, dan kehamilan. Pada fase awal penyakit,
gejala bisa berfluktuasi dan membaik, walaupun perbaikan jarang yang bersifat
permanen. Relapses and remissions berlangsung sekitar tujuh tahun, diikuti fase
inaktif selama sekitar sepuluh tahun. Sebelum penggunaan imunomodulator,
mortality rate pada miastenia gravis masih besar, yaitu sebesar 30%. Dengan
adanya imunoterapi dan perkembangan alat-alat terapi intensif, resiko kematian
ini dapat diturunkan menjadi kurang dari 5%.

B. Asuhan Keperawatan pada kasus Miasthenia Gravis


1. Pengkajian
a. Pengkajian Primer 
Pengkajian cepat untuk mengidentifikasi dengan segera masalah
aktual/potensial dari kondisi life threatning (berdampak terhadap kemampuan
pasien untuk mempertahankan hidup). Pengkajian tetap berpedoman pada
inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi jika hal tersebut memungkinkan. Prioritas
penilaian dilakukan berdasarkan :
1) Airway dengan kontrol servikal

21
Kaji :
a) Ada/tidaknya sumbatan jalan nafas
b) Buka jalan nafas dengan jaw thrust atau head til chin lift
c) Adakah obtruksi jalan nafas (cairan atau darah)
d) Kaji gurgling dan stridor
2) Breathing dan ventilasi
Kaji :
a) Pergerakan dinding dada simetris atau tidak
b) Pola pernafasan cepat dan dangkal, pasien mengeluh sesak
c) Terdapat otot bantu pernafasan
d) Adanya suara nafas tambahan (pada pasien dengan riawayt penyakit paru
akan ditemukan suara napas tambahan seperti ronki dan wheezing)
3) Circulation
Kaji :
a) Evaluasi denyut nadi distal, kekuatan dan irama
b) Takikardia - stress penafasan – shock
c) Amati warna kulit, suhu dan kondisi
4) Disability
Kaji : Penilaian neurologis secara cepat yaitu tingkat kesadaran, ukuran dan
reaksi pupil, serta menilai fungsi motorik dan sensorik ekstremitas.
5) Eksposure
Kaji : Pakaian klien di buka untuk melakukan pemeriksaan seluruh tubuh,
serta menjaga suhu klien agar tidak hipotermi

b. Pengkajian Sekunder
Pengkajian sekunder dilakukan setelah masalah ABC yang ditemukan
pada pengkajian primer diatasi. Pengkajian sekunder meliputi pengkajian objektif
dan subjektif dari riwayat keperawatan (riwayat penyakit sekarang, riwayat
penyakit terdahulu, riwayat pengobatan, riwayat keluarga) dan pengkajian dari
kepala sampai kaki.
1) Riwayat pasien :
S (Sign and symptom): Gejala klinis miastenia gravis antara lain adalah
keluhan utama seperti badan lemah dan sesak napas. Keluhan badan lemah
disertai dengan kelopak mata sebelah kanan berat untuk membuka, pandangan
22
mata ganda, sulit untuk menelan ludah, serta napas terasa berat. Keluhan
membaik bila pasien beristirahat. Selain itu pada beberapa pasien dijumpai
gejala minggu sebelumnya merasakan badan lemah, pasien menderita batuk
berdahak dan demam.
A (allergies): kaji apakah pasien ada riwayat alergi. Pada pasien dengan reaksi
alergi tipe II (hipersensitivitas 2), dimana tipe alergi ini menyebabkan
kerusakan pada sel tubuh (anemia hemolitik autoimun) dapat memicunya
terjadinya miastheia gravis.
M (medicattion) : kaji riwayat pengobatannya pasien. Obat seperti Succiny
Choline Cloride (Suksametonium klorida) berfungsi sebagai pelemas otot, hal
ini dapat memburuk keadaan pasien yang menderita miasthenia gravis.
P (past medical history) : Selain dari pasien yang sebelumnya sudah pernah
terdiagnosa Miasthenia Gravis, pasien dengan infeksi atau viurs juga dapat
memicu gangguan neuromuskular, terlebih pada keadaan autoimun lainnya
seperti anemia hemolitik autoimun.
L (last oral intake solid liquid) : kaji makanan terakhir yang dikonsumsu
sebelumnya. Ada beberapa makanan yang harus dihindari penderita autoimun
karena dapat memicu imunitas bekerja lebih berat, seperti makanan berkalori
tinggi dan konsumsi gula berlebih.
E (event leading to injuri ilmes) : Selain disebabkan oleh infeksi dan
autoimun, Myasthenia Gravis dapat juga dijumpai atau dipicu oleh kejadian
pembedahan/trauma.
2) Tanda-tanda vital
a) Tekanan darah : tekanan darah pada cenderung mengalami peningkatan
dan penurunan
b) Irama dengan kekuatan nadi meningkat
c) Irama, kedalaman dan penggunaan otot bantu pernapasan: klien dengan
miastenia gravis mengalami pernapasan dispnea, risiko terjadi aspirasi dan
gagal pernafasan akut, kelemahan otot diagfragma
d) Suhu tubuh klien normal
3) Pemeriksaan fisik head to toe
a) Kepala dan leher
- Terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang menyebabkan suara
penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice) serta
23
regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidung penderita.
Selain itu, penderita miastenia gravis akan mengalami kesulitan dalam
mengunyah serta menelan makanan, sehingga dapat terjadi aspirasi
cairan yang menyebabkan penderita batuk dan tersedak saat minum.
- Kelemahan otot ekstraokular yang menyebabkan palsi okular, jatuhnya
mata atau dipoblia. Serta biasanya kelemahan otot- otot kstraokular
terjadi secara asimetris. Hal ini merupakan tanda yang sangat penting
untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan pada muskulus
rektus lateralis dan medialis akan menyebabkan terjadinya suatu
pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang ditandai dengan terbatasnya
kemampuan adduksi salah satu mata yang disertai nystagmus pada
mata yang melakukan abduksi.
- Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan
miastenia gravis. Ditandai dengan kelemahan otot-otot rahang pada
miastenia gravis yang menyebakan penderita sulit untuk menutup
mulutnya, sehingga dagu penderita harus terus ditopang dengan
tangan. Otot-otot leher juga mengalami kelemahan, sehingga terjadi
gangguan pada saat fleksi serta ekstensi dari leher.
b) Thoraks
Dispnea, risiko terjadi aspirasi dan gagal pernafasan akut, kelemahan otot
diagragma. kelemahan otot-otot pernapasan yang dapat menyebabkan
gagal napas akut, dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat
dan tindakan intubasi cepat sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot faring
dapat menyebabkan kolapsnya saluran napas atas dan kelemahan otot-otot
interkostal serta diafragma dapat menyebabkan retensi karbondioksida
sehingga akan berakibat terjadinya hipoventilasi.
c) Ekstremitas
Adanya gangguan aktifitas/ mobilitas fisik, kelemahan otot yang berlebih.
Otot-otot anggota tubuh atas lebih sering mengalami kelemahan
dibandingkan otot-otot anggota tubuh bawah.Musculus deltoid serta fungsi
ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta jari-jari tangan sering kali
mengalami kelemahan. Otot trisep lebih sering terpengaruh dibandingkan
otot bisep. Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan

24
melakukan dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan dengan melakukan
plantarfleksi jari-jari kaki dan saat melakukan fleksi panggul.
d) Eliminasi
Menunjukkan berkurangnya volume pengeluaran urin, yang berhubungan
dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal
e) Sistem pencernaan
Kesulitan mengunyah- menelan, disfagia, dan peristaltik usus turun,
hipersalivasi, hipersekresi
4) Pemeriksaan penunjang
a) Pemeriksaan laboratorium
b) Pemeriksaan EEG
c) Pemeriksaan radiologis : CT-Scan & MRI

2. Diagnosis Keperawatan (SDKI)


Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada kasus Dislokasi, Sprain
dan Strain berdasarkan SDKI (2015), diantaranya :
1. (D.0005) Pola Napas Tidak Efektif b.d gangguan neuromuskular
2. (D.0063) Gangguan Menelan b.d akalasia
3. (D.0119) Gangguan Komunikasi Verbal b.d gangguan neuormuskular
4. (D.0054) Gangguan Mobilitas Fisik b.d penurunan kekuatan otot
5. (D.0006) Risiko Aspirasi d.d gangguan menelan
6. (D.0143) Risiko Jatuh d.d gangguan penglihatan (ptosis)

3. Rencana Tindakan Keperawatan (SLKI-SIKI)


Rencana tindakan keperawatan yang terdiri dari tujuan dan kriteria hasil sesuai
SLKI dan intervensi keperawatan sesuai SIKI , diantaranya :

Tujuan dan Kriteria Hasil


No. Diagnosa Keperawatan Intervensi Keperawatan (SIKI)
(SLKI)

1. D.0003 Gangguan Setelah dilakukan intervensi Manajemen Ventilasi Mekanik


Pertukaran Gas b.d keperawatan selama minimal 1 x I.01013 :
ketidakseimbangan 8 jam, ertukaran gas meningkat,
ventilasi-perfusi Observasi :
dengan kriteria hasil (L.01003):
1.1 Identifikasi indikasi ventilator
1. Tingkat kesadaran mekanik (kelelahan otot napas)
meningkat 1.2 Monitor efek ventilator terhadap

25
2. Dispnea menurun status oksigenasi
3. Napas cuping hidung
Terapeutik :
menurun
4. P02 membaik 1.3 Atur posisi kepala 40-60° untuk
5. Pola napas membaik mencegah aspirasi
1.4 Siapkan bag-valve mask di samping
tempat tidur untuk antisipasi
malfungsi mesin

Kolaborasi :

1.5 Kolaborasi pemilihan mode


ventilator
1.6 Kolaborasi penggunaan PS atau
PEEP untuk meminimalkan
Hipoventilasi alveolus

2. D.0063 Gangguan Setelah dilakukan intervensi Pencegahan Aspirasi I.01018:


Menelan b.d akalasia keperawatan selama minimal 1x
8 jam, status menelan Observasi :
meningkat, dengan kriteria hasil
(L.06052) : 2.1 Monitor tingkat kesadaran, batuk,
1. Reflek menelan meningkat muntah dan kemampuan menelan
2. Usaha menelan meningkat 2.2 Monitor status pernapasan
3. Frekuensi tersedak menurun
4. Refluks lambung menurun Terapeutik :
5. Produksi saliva membaik 2.3 Pertahankan posisi semi fowler
pada pasien tidak sadar
2.4 Pertahankan kepatenan jalan napas
2.5 Pertahankan pengembangan balon
ETT
2.6 Lakukan suction jika produksi
sekret meningkat
Edukasi :
2.7 Ajarkan strategi mencegah aspirasi

3. D.0119 Gangguan Setelah dilakukan intervensi Manajemen Lingkungan I.14514:


Komunikasi Verbal b.d keperawatan selama minimal 1x
gangguan neuormuskular 8 jam, maka komunikasi verbal Observasi :
meningkat, dengan kriteria hasil
(L.13118): 3.1 Identifikasi keamanan dan
1. Kemampuan berbicara kenyamanan lingkungan
meningkat Terapeutik :
2. Kesesuaian ekspresi 3.2 Atur suhu lingkungan yang sesuai
wajah/tubuh 3.3 Hindari paparan langsung dengan
3. Respons perilaku membaik cahaya matahari atau cahaya yang
tidak perlu
3.4 Izinkan keluarga untuk
mendampingi pasien
3.5 Berikan bel atau alat komunikasi
untuk memanggil perawat

Edukasi :

3.6 Jelaskan cara membuat lingkungan

26
yang nyaman
3.7 Ajarkan pasien dan
keluarga/pengunjung tentang upaya
pencegahan infeksi
4. D.0054 Gangguan Setelah dilakukan intervensi Dukungan Mobilisasi I.05173:
Mobilitas Fisik b.d keperawatan selama minimal 1x
penurunan kekuatan otot 8 jam, mobilitas fisik Observasi :
meningkat, dengan kriteria hasil
(L.05042): 4.1 Identifikasi adanya nyeri atau
1. Pergerakan ekstremitas keluhan fisik lainnya
meningkat 4.2 Identifikasi toleransi melakukan
2. Kekuatan otot meningkat pergerakan
3. Nyeri menurun Terapeutik :
4. Kecemasan menurun
5. Kelelahan fisik menurun 4.3 Fasilitasi aktivitas ambulasi dengan
alat bantu
4.4 Libatkan keluarga untuk membantu
pasien dalam meingkat pergerakan
4.5 Edukasi :
4.6 Jelaskan tujuan dan prosedur
ambulasi
4.7 Anjurkan melakukan mobilisasi
dini
4.8 Ajarkan ambulasi sederhana yang
harus dilakukan

5. D.0006 Risiko Aspirasi Setelah dilakukan intervensi Penghisapan Jalan Napas I.01020 :
d.d gangguan menelan keperawatan selama minimal
1x8 jam, tingkat aspirasi Observasi :
menurun, dengan kriteria hasil
(L.01006): 5.1 Identifikasi kebutuhan dilakukan
1. Tingkat kesadaran penghisapan
meningkat 5.2 Monitor status oksigenasi
2. Kemampuan menelan Terapeutik :
meningkat
3. Dispnea menurun 5.3 Gunakan tekniks aseptik
4. Kelamahan otot menurun 5.4 Gunakan prosedural steril dan
diposibel
5.5 Lakukan penghisapan kurang dari
15 detik
5.6 Lakukan penghisapan ETT dengan
tekanan rendah (80-90 mmHg)
5.7 Lakukan penghisapan hanya
sepanjang ETT untuk
meminimalkan invasif

Edukasi :

5.8 Anjurkan bernapas dalam dan pelan


selama insersi kateter suction

6. D.0143 Risiko Jatuh d.d Setelah dilakukan intervensi Pencegahan Jatuh I.14540 :
gangguan penglihatan keperawatan selama minimal
1x8 jam, tingkat jatuh menurun,

27
(ptosis) dengan kriteria hasil (L.14138): Observasi :
1. Jatuh dari tempat tidur
menurun 6.1 Identifikasi faktor risiko jatuh
2. Jatuh saat berdiri menurun 6.2 Identifikasi faktor lingkungan yang
3. Jatuh saat duduk menurun meningkatkan risiko jatuh
4. Jatuh saat berjalan menurun
Terapeutik :

6.3 Pastikan roda tempat tdiur dan


kursi roda selalu dalam kondisi
terkunci
6.4 Pasang handraill tempat tidur
6.5 Atur tempat tidur mekanis pada
posisi terendah
6.6 Dekatkan beal pemanggil dalam
jangkauan pasien

Edukasi :

6.7 Anjurkan memanggil perawat jika


membutuhkan bantuan untuk
berpindah
6.8 Ajarkan cara menggunakan bel
untuk memanggil perawat

28
C. Algoritma

Pasien dengan Miasthenia Gravis

Kelas I Kelas II Tanda


Kelas dan gejala
IIa Kelas : Kelemahan
IIb Kelas III Kelasotot
IIIa ekstrim danKelas
Kelas IIIb mudahIV Kelas IVa Kelas IVb Kelas V
Kelemahan Kelemahan Mempengarmengalami kelelahan,
Mempengar Kelemaha kelemahan
Memepenga diafragma
Mempen dan otot-otot
Kelemahan Mempengar Terutama Pasien
otot okular ringan pada uhi interkosal progressif
uhi otot-otot n sedangmenyebabkan
ruhi gawat
garuhi napas.
berat pada uhi mempengar yang
dan otot selain ekstermitas, pheringeal otot selain ekstermitas, otot-otot selain otot ekstermitas, uhi otot-ototmembutuhk
gangguan okular, otot sedikit dan okuler, sedikit pharynge okuler, sedikit pernafasan an intubasi
menutup okular mempengar pernafasan meningkat mempengar al dan kelemahan pengaruh dan (kecuali
mata, otot meningkat uhi otot-ototjugaPengkajian nya Primeruhi otot-otot Pengkajian Sekunder
pernafasa berat pada pada otot- oropharinge pada kasus
lain masih kelemahnnya oropheringe ekstermitas kelemahan pharyngeal n juga otot okuler otot al juga post-
normal al pada otot ekstermit oropharinge ekstermitas operatif)
okuler as al

Test Wartenberg/ Tes Pita Suara, Uji Tensilon, Uji Elektrodiagnostik,


Tests Ice Pacck Prostigmin, Uji Kinin, Tes Laboratoroium Pulmonary Function Test

Negatif Positif Negatif Positif Negatif Positif

Lakukan MRI Berikan


pada otak Antikolinesterase Tidak ada disfungsi Disfungsi bulbar
bulbar yang parah yang parah

Berikan Evaluasi untuk


Antikolinesterase timektomi Gangguan
Aspirasi
pernapasan

Jika tidak membaik Evaluasi risiko


pembedahan, FVC Tidak Ya Tidak Ya

Risiko baik Risiko buruk Hiperkapnia Intubasi di ICU

Lakukan timektomi Observasi


Tidak Ya
hemodinamik

Evaluasi status klinis Bi PAP di ICU


Stabil

Berikan Observasi
Immunosupresan hemodinamik Tidak Ya

29
Medikasi Stabil Pertimbangkan
pemberian PLEX/IgIV

Tidak Ya

30
D. Telaah Jurnal
1.
Judul Studi Kasus : Status Pernafasan Pada Pasien Myasthenia Gravis
di Ruang Azalea RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung

(Listia, Kalay, dkk 2020)

Latar Belakang Myasthenia gravis (MG) merupakan penyakit autoimun kronis


yang dimediasi oleh antibodi terhadap acetylcholin receptor
(AChR) pada membran postsynaptic dari tautan otot saraf.
Hilangnya situs AchR mengakibatkan kelemahan pada otot
rangka yang berhubungan dengan pernafasan serta pergerakan
ekstrimitas. Sebanyak 15 % – 20 % pasien dengan MG
setidaknya mengalami satu kali myasthenic crisis. Myasthenic
crisis merupakan keadaan darurat medis yang terjadi akibat
kelemahan otot-otot pernafasan sehingga pasien mengalami
penurunan status pernafasan.

Tujuan Untuk mengetahui karakteristik dan menganalisis status


pernafasan pasien dengan MG

Metode Penelitian yang dilakukan merupakan bagian dari praktik klinik


Penelitian Comprehensive Medical Surgical Nursing Analisis dengan
menggunakan metode penelitian deskriptif pendekatan observasi
stadi kasus. Dilakukan di ruang Azalea RSUP Dr. Hasan Sadikin

Bandung pada tanggal 21 – 26 November 2019.

Sampel yang diambil dalam studi kasus ini merupakan pasien


MG dengan riwayat gagal nafas dengan frekuensi nafas >25x/
Menit, pernah dirawat intensive sebelumnya dengan nilai saturasi
oksigen < 90%, dengan teknik pengambilan sampel yaitu
consecutive sampling.

Sebelum melakukan studi kasus, observer melakukan


pengumpulan data yang diawali dengan koordinasi izin ruangan
kepada kepala ruangan dan perawat untuk melakukan studi kasus.

Kemudian Observer melakukan chek rekam medis pasien untuk


memilih pasien yang sesuai dengan kriteria inklusi yang telah
ditentukan. Berdasarkan hasil rekam medik, kami menemukan 2
pasien yang dapat menjadi sampel. kemudian observer
menjelaskan tujuan observasi kepada pasien setelah pasien
menyetujui untuk menjadi responden penelitian selanjutnya
responden meminta mengisi informed consent yang telah dibuat

31
oleh observer.

Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data berupa


form

pengkajian keperawatan RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung dan


lembar observasi status pernafasan pasien MG yang merupakan
standar pengukuran status pernafasan berdasarkan Nursing
Outcome Classification. Adapun status pernafasan yang
diobservasi meliputi frekuensi pernafasan, irama pernafasan,
kedalaman pernafasan, kesulitan bernafas, suara nafas tambahan,
pola nafas, saturasi oksigen, kesimetrisan ekspansi paru, lokasi
trakea, kelelahan otot diafragma dengan pergerakan parasoksikal,

penyedotan jalan nafas, sekresi pernafasan, keluhan sesak nafas,


bantuan terapi oksigen, penggunaan otot bantu nafas, pernafasan
cuping hidung, dan GCS Bulechek et al (2013).

Hasil Karakteristik pasien dalam studi ini adalah pasien MG dengan


riwayat gagal nafas, jenis kelamin perempuan, dengan klasifikasi
klinis MG IIb dan IIIb. Hasil Kedua pasien mengalami keluhan
kesulitan bernafas namun saat diobservasi pasien kedua
mengalami dua kali gagal nafas karena melakukan aktivitas
seperti berbicara lama, mengedan, dan tertawa berlebih yang
mengakibatkan kelemahan pada otot-otot pernafasan sehingga
terjadi peningkatan frekuensi pernafasan dan penurunan saturasi
oksigen.

Kesimpulan Intervensi dan edukasi serta emotional support yang tepat


mengenai aktivitas serta observasi status pernafasan secara
berkala dibutuhkan pasien MG agar dapat mengontrol dan
mencegah terjadinya gagal nafas yang dapat menyebabkan
kematian.

2.
Judul Status Emosional dan Kualitas Hidup Pada Pasien Miastenia
Gravis

Latar Belakang Miastenia gravis merupakan kelainan autoimun yang menyerang


neurotransmitter di tautan neuromuskular dan menghambat
terjadinya kontraksi di otot. Kelemahan otot yang terjadi
menyebabkan keterbatasan aktivitas fisik serta terganggunya
kesejahteraan psikologis dan interaksi sosial yang dapat
mempengaruhi kualitas hidup pasien dengan miastenia gravis.

32
Keseluruhan proses penyakit dan pengobatan tidak hanya
berdampak pada sisi fisiologis namun sisi psikologis pasien pun
dapat mengalami perubahan. Pasien dan keluarga seringkali
mengalami respon psikososial seperti kecemasan, frustasi, marah,
kebencian, ketakutan, penolakan, merasa bersalah, depresi, dan
ketidakmampuan atau ketidak-berdayaan. Hal tersebut didukung
dengan hasil penelitian sebelumnya yang melibatkan pasien
dengan miastenia gravis di Jerman yang membuktikan bahwa
adanya kelainan psikologis seperti depresi yang terjadi pada
pasien miastenia gravis. Hilang timbulnya gejala miastenia gravis
serta fase akut dan kronis yang dialami oleh pasien menjadi
penyebab munculnya kelainan psikologis dan emosional bagi
pasien juga keluarga. Pasien dengan gangguan neurologik akan
mengalami gangguan neuropsikotik serta masalah emosional
yang akhirnya akan mempengaruhi status fungsional dan kondisi
klinis pasien secara keseluruhan.

Tujuan Untuk mengetahui hubungan antara status emosional dengan


kualitas hidup pasien dengan miastenia gravis.

Metode Penelitian ini merupakan deskriptif analitik dengan design studi


Penelitian cross sectional dan teknik Snowball Sampling. Adapun kriteria
inklusi pada penelitian adalah; 1) Mengidap penyakit Miastenia
Gravis yang ditandai dengan keanggotaan di Yayasan Miastenia
Gravis Indonesia, 2) Berdomisili di area Pulau Jawa, 3)
Kesadaran Compos Mentis. Kriteria Ekslusi; 1) Tidak memiliki
gangguan kognitif yang mempengaruhi kemampuan berpikir.
Gambaran karakteristik yang diteliti pada penelitian ini meliputi
usia, jenis kelamin, lama menderita, status emosional meliputi;
depresi, ansietas, dan stress, serta kualitas hidup responden.

Instrumen pada penelitian ini yaitu kuesioner untuk menilai status


emosional yang dialami oleh responden dengan menggunakan
kuesioner DASS 21 dan MG-PRO untuk pengukuran kualitas
hidup yang dikembangkan berdasarkan WHO-QOL sejak tahun
2012.

Uji statistik yang digunakan pada ujia bivariate menggunakan


One Way ANOVA

Hasil Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa sebagian besar


responden berjenis kelamin perempuan dengan presentase
sebesar 73.3%.

Pada analisis status emosional, peneliti membagi variabel


tersebut menjadi tiga yakni depresi, ansietas, dan stress. Sebagian

33
besar responden tidak menunjukkan gejala depresi (42.7%),
namun pada responden yang menunjukkan gejala depresi
sebagian besar berada pada kategori depresi sangat berat (26.7%).
Ansietas yang ditunjukkan oleh responden sebagian besar dalam
kategori sangat berat (57.3%). Sebagian besar responden
menunjukkan stress dalam rentang normal (30.7%).

Sehingga hasil penelitian menunjukan adanya hubungan yang


signifikan antara status emosional dengan kualitas hidup pasien
dengan miastenia gravis (p<0.05).

Gejala psikologis seringkali muncul pada pasien-pasien dengan


gangguan neurologi atau persarafan. Tidak hanya aspek fisik
pada

pasien miastenia gravis yang mengalami penurunan fungsi namun


begitu pula dengan status emosional pasien. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa masalah psikologis pada pasien miastenia
gravis akan mempengaruhi kualitas hidup pasien dan keluarga
serta meningkatkan angka mortalitas dan morbiditas.

Kesimpulan Kualitas hidup bukan merupakan diagnosa keperawatan namun


merupakan salah satu indikator keberhasilan dalam pemberian
intervensi keperawatan bagi pasien miastenia gravis. Minimnya
pengkajian terkait status emosional pada pasien di layanan
kesehatan seringkali membuat aspek psikologis termasuk
didalamnya status emosional khususnya pada pasien miastenia
gravis tidak terkaji. Perlunya pengkajian status emosional pada
pasien dibutuhkan di pusat layanan kesehatan. Kolaborasi
perawat ruangan dengan perawat spesialis keperawatan jiwa
diharapkan dapat dilakukan guna meminimalisir dampak
psikologis dari penyakit serta menyiapkan pasien ketika keluar
dari pusat layanan kesehatan.

34
E. SOP
POLITEKNIK Standar Operasional Prosedur (SOP)
KESEHATAN
Tes Pita Suara
KEMENKES
KALTIM Definisi : Suatu pemeriksaan atau tes klinik sederhana guna
melihat adanya kelemahan atau kelumpuhan otot ketika
beraktivitas.

Tujuan : Untuk mengetahui adanya kelemahan atau kelumpuhan

Jl. Wolter otot yang berulang setelah aktivitas dan membaik setelah

Monginsidi No. 38 istirahat, guna mendukung diagnosis penyakit Myasthenia

Samarinda Gravis

Journal :

Nandar, Shahdevi (2015). Kegawatan Pada Neuromuskular.


Universitas Brawijaya

Indikasi : Myastenia Gravis

Kontraindikasi :-

Fase Orientasi

a. Salam terapeutik
b. Evaluasi/validasi kondisi pasien
c. Kontrak : topik, waktu/tempat
Fase Kerja

Persiapan Alat

Kursi atau tempat tidur

Persiapan Pasien

1. Mengkaji pasien terhadap tindakan yang akan dilakukan


2. Memberitahu dan menjelaskan kepada pasien mengenai
prosedur yang akan dilakukan

35
Cara Kerja

1. Mencuci tangan
2. Mengatur posisi pasien rileks (fowler atau duduk)
3. Minta pasien untuk menghitung dari angka 1-100 dengan
suara yang keras. Tes positif jika lama-kelamaan suara
terdengar makin lemah dan menjadi kurang terang.
Pasien menjadi anartris dan afonia
4. Setelah suara pasien menjadi parau maka anjurkan
beristirahat. Kemudian tampak bahwa suaranya akan
kembali baik.
5. Mencuci tangan dan dokumentasikan.
Sikap

1. Sabar dan teliti


2. Peka terhadap rekasi pasien

36
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Miastenia Gravis yang berarti “kelemahan otot yang serius” adalah satu-satunya
penyakit neuromuskuler yang menggabungkan kelelahan cepat otot-otot dan waktu
penyembuhan yang lama (penyembuhan butuh waktu 10 hingga 20 kali lebih lama
daripada normal). Penanganan gawat darurat pada Miasternia Gravis meliputi primary
survey, meliputi airway, breathng, circulation, disability, exposure dan secondary survey,
meliputi pengkajian head to toe, pemeriksaan semua lubang, kaji tanda-tanda vital, dan
pemeriksaan penunjang.

B. Saran
Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua, dengan adanya makalah ini kita
bisa mengetahui manajemen kegawatdaruratan Miasthenia Gravis, sebagai salah satu
tenaga kesehatan dalam masyarakat harus mampu menghadapi persaingan untuk bagian
dari pemeliharaan kesehatan dan memilih kemajuan ilmu pengetahun dan teknologi
dibidang kesehatan dalam kumpulan metode untuk mengumpulkan, menampilkan,
menganalisis, dan menggambarkan kesimpulan dari data tetapi tidak meninggalkan nilai-
nilai budaya dalam upaya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas.

37
DAFTAR PUSTAKA

Engel A. 2004. Miastenia Gravis and Miastenia Syndromes. Annals of Neurology.


Volume 16: Page: 519-534
Grob D, Brunner N., Namba T., Pagala M. 2008. Lifetime Course of Miastenia
Gravis. Muscle Nerve;37:141-49
Juel VC, Massey JM. 2007. Miastenia Gravis. Orphanet Journal of Rare
Diseases.2(44):1-13.
Khadilkar SV, Sahni AO, Patil SG. 2004. Miastenia gravis. JAPI. November;
52:897-903.
PPNI. 2017. Standar Diagnosa Keperwatan Indonesia: Definisi dan Indikator
Diagnotik, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI
PPNI. 2017. Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI
PPNI. 2017. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI
Rianawati, Sri Budi, dkk. 2015. Continuing Neurologi Education 4 : Update
Neurological Disease on Clinical Pratice. Malang : UB Press.
Sanders D.B., Juel V.C.2008. MuSK-antibody positive miastenia gravis:questions
from clinic. J Neuroimmunol; 201-202:85-89.
Vernino S., Lennon V.A.2004. Autoantibody Profiles and Neurological Correlations
of Thymoma. Clin Cancer Res; 18: 678-80

38

Anda mungkin juga menyukai