Anda di halaman 1dari 33

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gaya Kepemimpinan

2.1.1. Pengertian Gaya Kepemimpinan

Gaya kepemimpinan merupakan cara yang digunakan seorang

pemimpin untuk mempengaruhi perilaku bawahannya dimana gaya

kepemimpinan ini bertujuan untuk membimbing serta memotivasi

karyawan sehingga diharapkan akan menghasilkan produktivitas yang

tinggi. Gaya kepemimpinan (leadership style) seorang pemimpin akan

sangat berpengaruh pada kinerja karyawan atau bawahan. Pemimpin

harus dapat memilih gaya kepemimpinan sesuai dengan situasi yang

ada, jika gaya kepemimpinan yang diterapkan benar dan tepat maka

akan dapat mengarahkan pencapaian tujuan organisasi maupun

perorangan. Sebaliknya jika gaya kepemimpinan yang dipilih salah

dan tidak sesuai dengan situasi yang ada maka akan dapat

mengakibatkan sulitnya pencapaian tujuan organisasi.

Menurut Davis dan Newstrom (1995) “Gaya kepemimpinan

merupakan pola tindakan pemimpin secara keseluruhan seperti yang

dipersepsikan para pegawainya. Gaya kepemimpinan mewakili

filsafat, keterampilan, dan sikap pemimpin. Gaya kepemimpinan

tersebut berbeda-beda atas dasar motivasi, kuasa atau orientasi

terhadap tugas dan orang. Meskipun gaya itu secara berbeda-beda

14
15

terhadap berbagai pegawai, masing-masing gaya dibahas secara

terpisah untuk menyoroti perbedaannya.”

Kartono (2008:34) menyatakan gaya kepemimpinan adalah

sifat, kebiasaan, tempramen, watak dan kepribadian yang

membedakan seorang pemimpin dalam berinteraksi dengan orang

lain. Thoha (2010:49) mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan

merupakan norma prilaku yang digunakan oleh seseorang pada saaat

orang tersebut mencoba mempengaruhi prilaku orang lain atau

bawahan. Menurut Herujito (2006:188) mengartikan gaya

kepemimpinan bukan bakat, oleh karena itu gaya kepemimpinan

dipelajari dan dipraktekan dalam penerapannya harus sesuai dengan

situasi yang dihadapi. Sedangkan menurut Supardo (2006:4),

mengungkapkan bahwa gaya kepemimpinan adalah suatu cara dan

porses kompleks dimana seseorang mempengaruhi orang-orang lain

untuk mencapai suatu misi, tugas atau suatu sasaran dan mengarahkan

Instansi dengan cara yang lebih masuk akal.

Handoko (2001) mengemukakan tiga implikasi penting dari

definisi kepemimpinan yakni :

1. Kepemimpinan menyangkut orang lain, bawahan atau pengikut.

Pemimpin mengatur bawahan dengan memberikan pengarahan-

pengarahan dan motivasi kerja sehingga para karyawan dapat

bekerjasama dengan atasan untuk mewujudkan tujuan bersama.

Kesediaan para karyawan dalam menerima perintah dan


16

pengarahan dari pimpinan dipengaruhi berdasarkan seberapa

besar kedekatan antara karyawan dan pemimpin dimana

karyawan membantu pemimpin dalam proses pengambilan

keputusan meskipun pengambilan keputusan sendiri ditentukan

oleh pemimpin dan membantu proses kepemimpinan dapat

berjalan sesuai dengan apa yang dikehendaki.

2. Kepemimpinan menyangkut suatu pembagian kekuasaan yang

tidak seimbang antara para pemimpin dan karyawan. Pemimpin

mempunyai wewenang utuk mengarahkan dan dalam

pengambilan keputusan keputusan terletak di tangan pemimpin

sehingga karyawan tidak memiliki peranan di dalam menentukan

kebijakan yang ada. Para karyawan tidak dapat memberikan ide

atau gagasannya dalam proses pengambilan keputusan secara

langsung.

3. Kepemimpinan menyangkut pengaruh terhadap anggota

kelompok. Pemimpin tidak hanya dapat memberikan perintah

kepada para karyawan tetapi juga pemimpin harus dapat

melaksanakan perintahnya. Seorang pemimpin sangat

berpengaruh di dalam organisasi, begitu juga karyawan. Jika di

dalam organisasi tidak ada salah satu dari pelaksana organisasi,

maka dapat di pastikan organisasi tersebut tidak akan dapat

berjalan sesuai tujuan yang di tentukan. Karyawan diberikan

kebebasan dalam pengambilan keputusan dengan pemimpin


17

sebagai pengawasnya agar para karywan dapat lebih bertanggung

jawab atas keputusan yang ada.

Dari ketiga implikasi tersebut diatas, Handoko (2001) menyimpulkan

bahwa terdapat tiga gaya kepemimpinan yang umumnya di pakai

dalam organisasi yaitu: Gaya Kepemimpinan Demokratis, Gaya

Kepemimpinan Otoriter dan Gaya Kepemimpinan Bebas.

2.1.2. Jenis-jenis Gaya Kepemimpinan

White dan Lippit dalam Reksohadiprodjo (2001) mengemukakan tiga

(3) gaya kepemimpinan yaitu demokratis, otoriter, dan bebas. Berikut ini

merupakan penjelasan dari ketiga gaya kepemimpinan tersebut:

a. Gaya Kepemimpinan Demokratis

Kepemimpianan demokratis ditandai dengan adanya suatu

struktur yang pengembangannya menggunakan pendekatan

pengambilan keputusan yang kooperatif yang artinya atasan

menolak segala bentuk persaingan dan atasan dapat bekerjasama

dengan karyawan dalam mengambil keputusan. Dibawah

kepemimpinan demokratis bawahan cenderung bermoral tinggi,

dapat bekerja sama, mengutamakan mutu kerja dan dapat

mengarahkan diri sendiri. Kepemimpinan demokratis ialah

kepemimpinan yang aktif, dinamis dan terarah. Aktif dalam

menggerakkan dan memotivasi (Rivai, 2010).

Seorang pemimpin yang memiliki karakteristik gaya

kepemimpinan demokratis selalu akan memotivasi para karyawan


18

untuk dapat meningkatkan kinerja dari karyawan tersebut.

Dinamis dalam mengembangkan dan memajukan organisasi.

Terarah pada tujuan bersama yang jelas. Pada gaya kepemimpinan

ini memungkinkan setiap anggota untuk berpartisipasi secara aktif

dalam pertukaran pendapat, gagasan dan pandangan untuk dapat

memecahkan suatu permasalahan yang terjadi pada organisasi.

Dalam gaya kepemimpinan demokratis pemimpin mengutamakan

hubungan antar manusia yaitu hubungan antara bawahan dan

atasan yang memiliki tujuan untuk meningkatkan produktivitas

pegawai dengan sering mendorong bawahan untuk ikut andil

dalam menentukan pengambilan keputusan yang tepat.

Penerapan gaya kepemimpinan demokratis ini dapat

mempererat hubungan antar atasan dan bawahan, tumbuhnya rasa

saling memiliki dan terbinanya moral yang tinggi. Selain itu dalam

gaya kepemimpinan ini komunikasi dan koordinasi sangatlah

penting untuk dapat menentukan sebuah keputusan. Pada gaya

kepemimpinan demokratis ini proses pengambilan keputusan

membutuhkan waktu yang relatif lama karena harus menentukan

titik temu dari ide atau gagasan yang di ajukan dan diperlukan

adanya toleransi yang tinggi agar tidak terjadi perselisih

pemahaman.
19

b. Gaya kepemimpinan Otoriter (otokratis)

Menurut Rivai (2010), kepemimpinan otoriter adalah gaya

kepemimpinan yang menggunakan metode pendekatan kekuasaan

dalam mencapai keputusan dan pengembangan strukturnya,

sehingga kekuasaanlah yang paling diuntungkan dalam organisasi.

Kepemimpinan otoriter ialah kepemimpinan yang memusatkan

kuasa dan pengambilan keputusan ditetapkan oleh pemimpin

sendiri tanpa adanya diskusi maupun pertukaran pendapat dengan

bawahan. Dalam kepemimpinan otoriter ini pemimpin sebagai

pemikul tanggung jawab penuh atas keputusan yang telah di

ambilnya. Bawahan hanya bertugas sebagai pelaksana atas

keputusan yang telah ditetapkan pemimpin. Penerapan gaya

kepemimpinan ini dapat menjadikan karyawan untuk lebih

disiplin, dan tidak bergantung terhadap atasan kerja. Selain itu,

pada gaya kepemimpinan ini keputusan dapat diambil secara cepat

karena tidak melalui proses diskusi terlebih dahulu. Dengan tidak

diikutsertakan bawahan dalam pengambilan keputusan maka

bawahan tidak akan dapat belajar mengenai hal tersebut sehingga

produktivitas karyawan tidak akan cepat meningkat. Pada gaya

kepemimpinan ini, pemimpin sering bersikap individualis dimana

pemimpin tersebut sangat jarang untuk berkomunikasi dengan

bawahan sehingga hubungan antara pemimpin dan bawahan

kurang akrab. Gaya kepemimpinan itu sangat sesuai diterapkan


20

jika organisasi menghadapai keadaan darurat sehingga kinerja

karyawan dapat naik.

c. Gaya Kepemimpinan Bebas (Laissez faire)

Gaya kepemimpinan bebas (Laissez faire) adalah cara seorang

pimpinan dalam menghadapi bawahannya dengan memakai

metode pemberian keleluasaan pada bawahan. Pada gaya

kepemimpinan bebas ini pemimpin memberikan kebebasan secara

mutlak kepada bawahannya sedangkan pemimpin sendiri hanya

memainkan peranan kecil, pemimpin memfungsikan dirinya

sebagai penasihat yang dilakukan dengan memberi kesempatan

berkompromi atau bertanya bagi anggota kelompok yang

memerlukan. Bawahan memiliki kebebasan penuh untuk proses

pengambilan keputusan dan meneyelesaikan pekerjaan dengan

cara yang menurut karyawan paling sesuai dengan partisipasi

minimal dari pemimpin. Pemimpin tidak pernah melakukan

pengawasan terhadap sikap, tingkah laku perbuatan dan kegiatan

bawahan karena pemimpin telah percaya dan menyerahkan

sepenuhnya wewenang kepada bawahan sehingga pemimpin tidak

mengambil andil dalam proses kepemimpinannya.

Gaya kepemimpinan ini dapat mengembangkan dan

meningkatkan kemampuan karyawan dalam pengambilan

keputusan yang tepat serta kreativitas untuk memecahkan suatu

permasalahan. Dengan adanya kepemimpinan yang bebas ini para


21

karyawan dapat menunjukkan persoalan yang dianggap penting di

dalam organisasi dan tidak selalu bergantung pada atasan. Gaya

kepemimpinan ini juga memiliki sisi negatif yaitu, jika karyawan

terlalu bebas tanpa ada pengawasan yang kuat dari atasan, ada

kemungkinan penyimpangan dari peraturan dan prosedur yang ada

dapat terjadi. Pengambilan keputusan yang dapat memakan

banyak waktu bila karyawan kurang berpengalaman dan dapat

terjadi salah tindak.

2.2. Gaya Kepemimpinan Demokratis

2.2.1. Pengertian Gaya Kepemimpinan Demokratis

Pemimpin sering disebut sebagai penghulu, pemuka, pelopor,

pembina, panutan, pembimbing, pengurus, penggerak, ketua, kepala,

penuntun, dan sebagainya. Menurut Siagian (2002:62), pemimpin

merupakan kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain.

Dalam hal ini mempengaruhi para bawahannya sedemikian rupa

sehingga orang lain mau melakukan kehendak pemimpin meskipun

secara pribadi hal itu tidak disenanginya, sedangkan Robbins

(2003:163) mengungkapkan kepemimpinan merupakan kemampuan

mempengaruhi suatu kelompok kearah pencapaian tujuan.

Winardi (2000:78) mengemukakan gaya kepemimpinan

demokratis adalah kepemimpinan yang aktif, dinamis, dan terarah.

Kegiatan pengendalian dilaksanakan secara tertib dan

bertanggungjawab. Pembagian tugas yang disertai pelimpahan


22

wewenang dan tanggungjawab yang jelas, memungkinkan setiap

anggota berpartisipasi secara aktif. Dengan kata lain, setiap anggota

mengetahui secara pasti sumbangan yang dapat diberikannya untuk

mencapai tujuan kelompok atau organisasinya. Selain itu dapat

diketahui bagaimana melaksanakannya secara efektif dan efisien.

Menurut Robbins (2003:167) gaya kepemimpinan demokratis

menggambarkan pemimpin yang cenderung melibatkan karyawan

dalam mengambil keputusan, mendelegasikan wewenang, mendorong

partisipasi dalam memutuskan metode dan sasaran kerja, dan

menggunakan umpan balik sebagai peluang untuk melatih karyawan.

2.2.2. Ciri-Ciri Gaya Kepemimpinan Demokratis

Pemimpin yang memiliki gaya kepemimpinan demokratis

menempatkan dirinya sebagai moderator ataupun koordinator. Berikut

ada beberapa ciri-ciri gaya kepemimpinan demokratis menurut

Robbins (2003:168):

a. Semua kebijakan terjadi pada kelompok diskusi dan keputusan

diambil dengan dorongan dan bantuan pemimpin.

b. Kegiatan-kegiatan didiskusikan, langkah-langkah umum untuk

tujuan kelompok dibuat dan jika dibutuhkan petunjuk-petunjuk

teknis, pemimpin menyarankan dua atau lebih alternatif prosedur

yang dapat dipilih.

c. Para anggota bebas bekerja dengan siapa saja yang mereka pilih

dan pembagian tugas ditentukan oleh kelompok.


23

d. Lebih memperhatikan bawahan untuk mencapai tujuan

organisasi.

e. Menekankan dua hal yaitu bawahan dan tugas.

2.2.3. Dimensi Gaya Kepemimpinan Demokratis

Seorang pemimpin bukanlah hanya seseorang yang dapat

memimpin saja, tetapi harus memiliki kekuatan, semangat untuk

mengubah sikap sehingga pegawai menjadi conform dengan

pemimpin. Berikut ini beberapa dimensi kepemimpinan demokratis

menurut Robbins (2009:187):

a. Perilaku

Perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri

yang mempunyai bentangan yang sangat luas.

b. Komunikasi

Komunikasi adalah suatu proses dimana suatu ide dialihkan dari

sumber kepada penerima atau dari pimpinan kepada bawahan

dan sebaliknya dengan maksud untuk mengubah tingkah laku

penerima.

c. Kemampuan

Kemampuan adalah kapasitas seorang individu untuk

melakukan suatu aktivitas.

d. Kualitas

Kualitas adalah suatu nilai yang melekat pada seseorang.


24

e. Pengembangan Diri

Pengembangan diri adalah pengembangan potensi diri dan

kepribadian seseorang untuk tujuan tertentu yang ingin dicapai.

2.3. Budaya Organisasi

2.3.1. Pengertian Budaya Organisasi

Menurut Robbins (2006), budaya perusahaan merupakan

persepsi bersama atau suatu sistem dari makna bersama yang dianut

oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dengan

organisasi lain. Sondang (2006) memberikan pengertian budaya

organisasi sebagai persepsi yang sama dikalangan anggota

organisasi tentang makna kehidupan bersama dalam organisasi. Hal

ini tercermin pada cara berperilaku pegawai dalam organisasi. Salah

satu implikasi seseorang agar diakui dan diterima sebagai anggota

organisasi adalah pegawai bersedia dan mampu melakukan berbagai

penyesuaian yang diperlukan sehingga tercipta kesepakatan

bersama. Budaya organisasi merupakan suatu persepsi bersama yang

dianut oleh anggota-anggota organisasi itu suatu sistem dari makna

bersama.

Menurut Robbins (2006), peran atau fungsi budaya didalam

suatu organisasi adalah:

a. Sebagai tapal batas yang membedakan secara jelas suatu

organisasi dengan organisasi lainnya.

b. Memberikan rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi.


25

c. Memudahkan penerusan komitmen hingga mencapai batasan

yang lebih luas daripada kepentingan individu.

d. Mendorong stabilitas sistem sosial, merupakan perekat sosial

yang membantu mempersatukan organisasi.

e. Membentuk rasa dan kendali yang memberikan panduan dan

membentuk sikap serta perilaku karyawan.

2.3.2. Fungsi dan Karakteristik Budaya Organisasi

Fungsi budaya yang lainnya pada organisasi, menurut Tika (2006)

yaitu sebagai pola perilaku, yang berisi norma tingkah laku dan

menggariskan batas-batas toleransi sosial dan juga sebagai alat komunikasi

antara atasan dan bawahan maupun sebaliknya. Budaya organisasi dapat

diukur melalui karakteristik-karakteristik yang nampak dalam sebuah

organisasi. Robbins (2006) memberikan karakteristik budaya organisasi

sebagai berikut:

a. Inovasi dan keberanian mengambil resiko (Inovation and risk

taking), adalah sejauh mana organisasi mendorong para karyawan

bersikap inovatif dan berani mengambil resiko.

b. Perhatian terhadap detil (Attention to detail), adalah sejauh mana

organisasi mengharapkan karyawan memperlihatkan kecermatan,

analisis, dan perhatian terhadap rincian.

c. Berorientasi kepada hasil (Outcome orientation), adalah sejauh

mana manajemen memusatkan perhatian pada hasil dibandingkan


26

perhatian pada teknik dan proses yang digunakan untuk meraih

hasil tersebut.

d. Berorientasi kepada manusia (People orientation), adalah sejauh

mana keputusan manajemen memperhitungkan efek hasil-hasil

pada orang-orang didalam organisasi.

e. Berorientasi tim (Team orientation), adalah sejauh mana kegiatan

kerja diorganisasikan sekitar tim-tim hanya pada individu-

individu untuk mendukung kerjasama.

f. Agresifitas (Aggressiveness), adalah sejauh mana orang-orang

dalam organisasi itu agresif dan kompetitif untuk menjalankan

budaya organisasi sebaik-baiknya.

g. Stabilitas (Stability), adalah sejauh mana kegiatan organisasi

menekankan status quo sebagai kontras dari pertumbuhan.

Miller (1987), yang menyebutkan bahwa ada delapan nilai yang

menjadi karakteristik budaya perusahaan, yaitu:

a. Asas Tujuan, yaitu seberapa jauh karyawan memahami tujuan

yang hendak dicapai perusahaan.

b. Asas Konsensus, yaitu seberapa jauh perusahaan memberi

kesempatan kepada karyawan untuk turut serta dalam proses

pengambilan keputusan.

c. Asas Keunggulan, yaitu seberapa besar kemampuan perusahaan

menumbuhkan sikap untuk selalu menjadi yang terbaik dan

berprestasi lebih baik dari yang sudah dilakukan.


27

d. Asas Kesatuan, yaitu suatu sikap perusahaan tentang keadilan dan

pemihakan terhadap karyawan dan kelompok karyawan.

e. Asas Prestasi, yaitu sikap perusahaan terhadap prestasi

karyawannya.

f. Asas Empirik, yaitu sejauh mana perusahaan mau menggunakan

bukti-bukti empirik dalam pengambilan keputusan.

g. Asas Keakraban, yaitu kondisi pergaulan sosial antar karyawan

dalam perusahaan.

h. Asas Integritas, yaitu sejauh mana perusahaan mau bekerja

dengan sunguh-sungguh dalam mencapai tujuan perusahaan.

2.3.3. Dimensi Budaya Organisasi

Denison dalam Sobirin, (2007:194), diungkapkan bahwa Denison

mengaitkan budaya dengan efektivitas organisasi, dengan penjelasan secara

teoritik bahwa efektifitas organisasi dipengaruhi oleh empat faktor sebagai

berikut :

a. Fungsi dari nilai-nilai dan keyakinan para anggota organisasi.

b. Fungsi dari kebijakan dan praktik organisasi.

c. Fungsi dari nilai-nilai inti dan keyakinan organisasi yang

diterjemahkan ke dalam kebijakan dan praktik organisasi.

d. Fungsi dari hubungan antara nilai-nilai inti dan keyakinan

organisasi, kebijakan dan praktik organisasi serta lingkungan

organisasi.
28

Berdasarkan kerangka pikir tersebut, Denison selanjutnya

mengemukakan adanya empat dimensi budaya organisasi yang

terkait dengan tingkat efektivitas organisasi. Keempat dimensi

budaya tersebut adalah:

a Involvement

Merupakan dimensi budaya organisasi yang menunjukkan tingkat

partisipasi karyawan (Anggota Organisasi) dalam proses

pengambilan keputusan. Dimensi ini mempengaruhi efektivitas

organisasi melalui mekanisme informal dan struktur formal

organisasi.

b Consistency

Menunjukkan tingkat kesepakatan anggota organisasi terhadap

asumsi dasar dan nilai-nilai inti organisasi. Dimensi ini

mempengaruhi efektivitas melalui integrasi normatif yang

direfleksikan dalam kecocokan antara ideology dengan praktik

sehari-hari dan tingkat predictability system organisasi.

c Adaptability

Kemampuan organisasi dalam merespon perubahan-perubahan

lingkungan eksternal dengan melakukan perubahan internal

organisasi. Dimensi ini mempengaruhi efektivitas organisasi

melalui tingkat fleksibilitas kondisi internal organisasi dan fokus

organisasi terhadap aspek eksternal.


29

d Mission

Dimensi budaya yang menunjukkan tujuan inti organisasi yang

menjadikan anggota organisasi teguh dan fokus terhadap apa

yang dianggap penting oleh organisasi, dalam hal ini yang

dimaksud dalam mission adalah komitmen atau keteguhan

anggota organisasi terhadap suatu misi (Mission) yang

merupakan pengejawantahan dari sebuah nilai-nilai yang

dibangun oleh suatu perusahaan. Dimensi ini mempengaruhi

efektivitas organisasi melalui pemaknaan yang dilakukan oleh

anggota organisasi (pegawai/karyawan) terhadap eksistensi

organisasi dan arah kebijakan organisasi.

Dalam penelitian ini penulis memilih karakteristik budaya

organisasi menurut Denison untuk digunakan sebagai indikator

dalam melakukan pengukuran terhadap budaya organisasi. Hal ini

dikarenakan penjelasan yang lebih mendalam jika dibandingkan

dengan karakteristik budaya perusahaan menurut pendapat lain.

Budaya organsasi meliputi/terdiri dari (McShane & Glinow, Ann.

2008:261) adalah:

1) Budaya pengendalian

Bagaimana peran eksekutif senior dalam memimpin organisasi,

tujuan dari budaya ini adalah untuk mengendalikan semua

karyawan (McShane & Glinow, Ann. 2008:261). Budaya

pengendalian meliputi:
30

a. Pimpinan memelihara pemahaman tatanan di tempat kerja

b. Eksekutif senior menerima manfaat khusus yang tidak tersedia

bagi karyawan lain

c. Eksekutif senior dihormati oleh para karyawan

d. Karyawan bekerja dalam aturan perusahaan

e. Sebagian besar keputusan perusahaan dibuat oleh eksekutif

puncak

f. Pihak manajemen menjaga segala sesuatunya dibawah kendali

2) Budaya kinerja

Mengukur nilai kinerja setiap individu maupun organisasi untuk

bekerja secara efektif dan efisien (McShane & Glinow, Ann.

2008:262). Budaya kinerja meliputi:

a. Perusahan selalu menghasilkan produk atau jasa yang sangat

dihormati pesaingnya

b. Karyawan secara terus-menerus selalu mencari cara untuk

bekerja secara lebih efektif

c. Merasa bangga ketika perusahaan mencapai tujuan kinerjanya.

d. Karyawan yang berkinerja terbaik dibayar paling banyak

e. Karyawan menyelesaikan pekerjaan mereka tepat waktu

f. Karyawan untuk mengeluarkan 110 persen untuk mencapai

kinerja puncaknya
31

3) Budaya hubungan

Yang berkaitan dengan pemeliharaan hubungan komunikasi,

kerjasama, dan saling bertukar pendapat maupun saran (McShane

& Glinow, Ann. 2008:262). Budaya hubungan meliputi:

a. Karyawan selalu bekerja bersama dengan baik dalam tim

b. Karyawan diperlakukan secara adil oleh perusahaan

c. Perusahaan bekerja dengan keras untuk membuat para

karyawan selalu bahagia

d. Perusahaan menyediakan bimbingan konseling untuk para

karyawan.

e. Karyawan selalu mendapat informasi tentang apa yang terjadi

di dalam perusahaan

f. Selalu mendengarkan konsumen dan merespon secara cepat

pada kebutuhan konsumen

4) Budaya responsive

Budaya yang menilai kemampuan untuk menjaga perbaikan

dengan lingkungan luar mencakup persaingan dan mendapatkan

peluang (McShane & Glinow, Ann. 2008:262). Budaya

responsive meliputi:

a. Karyawan beradaptasi secara cepat pada lingkungan yang baru

b. Perusahaan sedang berada dipuncak dari inovasi baru dalam

industri
32

c. Perusahaan selalu bereksperimen dengan gagasan-gagasan

baru di pasar

d. Perusahaan dimana perusahaan selalu memanfaatkan peluang-

peluang yang ada di pasar.

e. Perusahaan selalu bisa secara cepat mersepon pada hambatan

kompetitif.

2.4. Kepuasan Kerja

2.4.1. Pengertian Kepuasan Kerja

Menurut Malthis and Jackson (2011) kepuasan kerja adalah

keadaan emosi yang positif dari mengevaluasi pengalaman kerja

seseorang. Kepuasan kerja mempunyai banyak dimensi, secara umum

adalah kepuasan dalam pekerjaan itu sendiri, gaji, pengakuan,

hubungan antara supervisor dengan tenaga kerja, dan kesempatan

untuk maju.

Menurut Wibowo (2012: 503), kepuasan kerja memiliki dua

teori, dalam pendapatnya dikatakan bahwa teori kepuasan kerja

mencoba mengungkapkan apa yang membuat sebagian orang lebih

puas terhadap pekerjaanya daripada beberapa lainnya. Teori ini juga

mencari landasan tentang proses perasaan orang terhadap kepuasan

kerja. Di antara teori kepuasan kerja adalah two- factor theory dan

value theory.
33

1. Two- Factor Theory

Teori dua faktor ini merupakan teori kepuasan kerja yang

mengusulkan bahwa satisfaction (kepuasan) dan dissatisfaction

(ketidakpuasan) adalah bagian dari kelompok variabel yang

berbeda yaitu, motivators dan hygiene factors.

Pada teori ini, ketidakpuasan dihubungkan dengan kondisi di

sekitar pekerjaan itu seperti misalnya kondisi kerja, upah,

keamanan, hubungan antar karyawan dan atasan. Sebaliknya,

kepuasan ditarik dari faktor yang berkaitan dengan pekerjaan itu

sendiri atau hasil langsung dari pada pekerjaan itu seperti

misalnya sifat pekerjaan, prestasi dalam pekerjaan, promosi,

pengembangan karir dan acknowledgement.

2. Value Theory

Pada teori ini, kepuasan terjadi pada tingkat dimana hasil

pekerjaan diterima individu seperti yang diharapkan. Semakin

banyak orang yang menerima hasil, maka akan semakin puas.

Semakin dikit orang yang menerima, maka akan kurang puas.

Implikasi teori ini menekankan bahwa aspek pekerjaan perlu

diubah untuk mendapatkan kepuasan kerja. Teori ini juga

mengusulkan bahwa kepuasan kerja dapat diperoleh dari banyak

faktor. Oleh karena itu, Wibowo (2012:504) menganjurkan

bahwa cara yang efektif untuk memuaskan pekerja adalah dengan


34

menemukan apa yang mereka inginkan dan apabila mungkin

memberikannya.

2.4.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja

Menurut Sutrisno (2009:80) ada beberapa faktor yang

mempengaruhi kepuasan kerja, yaitu:

a. Faktor psikologi

Merupakan faktor yang berhubungan dengan kejiwaan karyawan,

yang meliputi minat, ketentraman dalam kerja, sikap terhadap

kerja, bakat dan keterampilan.

b. Faktor sosial

Merupakan faktor yang berhubungan dengan interaksi sosial antar

karyawan maupun karyawan dengan atasan.

c. Faktor fisik

Merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik

karyawan, meliputi jenis pekerjaan, pengaturan waktu dan waktu

istirahat, perlengkapan kerja, keadaan ruangan, suhu, penerangan,

pertukaran udara, kondisi kesehatan karyawan, umur, dan

sebagainya.

d. Faktor finansial

Merupakan faktor berhubungan dengan jaminan serta kesehatan

karyawan, yang meliputi sistem dan besarnya gaji, jaminan sosial,

macam-macam tunjangan, fasilitas yang diberikan, promosi, dan

sebagainya.
35

Menurut Kreitner dan Kinicki dalam Wibowo (2012: 504-505)

terdapat lima faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya kepuasan

kerja, yaitu sebagai berikut:

a. Need Fulfillment (pemenuhan kebutuhan)

Kepuasan ditentukan oleh tingkatan karakteristik pekerjaan

memberikan kesempatan pada individu untuk memenuhi

kebutuhannya.

b. Discrepancies (perbedaan)

Kepuasan merupakan suatu hasil memenuhi harapan. Pemenuhan

harapan mencerminkan perbedaan antara apa yang diharapkan dan

yang diperoleh individu dari pekerjaan. Apabila harapan lebih besar

daripada apa yang diterima, orang akan tidak puas. Sebaliknya

diperkirakan individu akan puas apabila mereka menerima manfaat

di atas harapan.

c. Value attainment (pencapaian nilai)

Value attainment atau pencapaian nilai adalah bahwa kepuasan

merupakan hasil dari persepsi pekerjaan memberikan pemenuhan

nilai kerja individual yang penting.

d. Equity (keadilan)

Kepuasan terdapat dari seberapa adil seorang individu diperlakukan

di tempatnya bekerja.
36

e. Dispositional / genetic components (komponen genetik)

Kepuasan kerja sebagian merupakan fungsi sifat pribadi dan faktor

genetik. Perbedaan individu mempunyai arti penting dalam

menentukan kepuasan kerja seperti halnya karakteristik lingkungan.

Aspek-aspek lain yang mempengaruhi kepuasan kerja yang

disebutkan oleh Robbins (2009:121):

a. Kerja yang secara mental menantang

Pegawai cenderung menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi

mereka kesempatan untuk menggunakan keterampilan dan

kemampuan mereka dan menawarkan tugas, kebebasan, dan

umpan balik mengenai betapa baik mereka mengerjakannya.

Contoh: Target yang harus dicapai agar mendapat promosi jabatan.

b. Ganjaran yang pantas

Para pegawai menginginkan balas jasa yang adil yang didasarkan

pada tuntutan pekerjaan, tingkat keterampilan individu.

Contoh: Upah yang adil dan layak, promosi jabatan

c. Kondisi kerja yang mendukung

Pegawai peduli akan lingkungan kerja baik untuk kenyamanan

pribadi maupun memudahkan mengerjakan tugas.

Contoh: Temperatur (suhu), cahaya, kebisingan.


37

d. Rekan kerja yang mendukung

Orang-orang mendapatkan lebih daripada sekedar uang atau

potensi yang berwujud dari dalam kerja. Bagi kebanyakan

pegawai, bekerja juga mengisi kebutuhan akan interaksi sosial.

Contoh: Rekan kerja yang ramah dan perilaku atasan

e. Kesesuaian kepribadian dengan pekerjaan

Pada hakikatnya orang yang tipe kepribadiannya kongruen (sama

dan sebangun) dengan pekerjaan yang mereka pilih seharusnya

mendapatkan bahwa mereka mempunyai bakat dan kemampuan

yang tepat untuk memenuhi tuntutan dari pekerjaan mereka.

Contoh: Pegawai yang ramah dan murah senyum cocok menjadi

customer service.

2.4.3. Manfaat Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja mempunyai arti penting baik bagi pegawai

maupun perusahaan/kantor, terutama untuk menciptakan keadaan

positif di dalam lingkungan kerja. Berikut ini manfaat kepuasan kerja

bagi pegawai dan perusahaan/kantor:

1) Bagi pegawai:

a. Pegawai lebih produktif.

b. Pegawai akan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap

perusahaan/kantor tempat mereka bekerja.

c. Pegawai memiliki komitmen yang tinggi terhadap pekerjaan

mereka.
38

d. Pegawai akan loyal terhadap perusahaan.

e. Pegawai akan menyelesaikan pekerjaannya sesuai dengan

standart waktu yang telah ditentukan sehingga menghemat

waktu.

2) Bagi perusahaan/kantor:

a. Menarik dan memelihara pegawai yang berkualitas.

b. Membangkitkan semangat kerja dan kedisiplinan pegawai.

c. Mempertahankan pegawai untuk tetap bekerja di perusahaan

terutama pegawai ahli/profesional yang sangat besar

peranannya demi kemajuan perusahaan.

d. Terhindar dari permasalahan-permasalahan yang ditimbulkan

oleh pegawai.

2.4.4. Dimensi Kepuasan Kerja

Kepuasan merupakan suatu sikap yang dimiliki oleh individu

sehubungan dengan jabatan atau pekerjaan mereka. Kepuasan timbul

karena aneka macam dari pekerjaan. Winardi (2009:217) mengatakan

kepuasan kerja diukur menggunakan Indeks Deskriptif Jabatan (Job

Descriptive Index). Ada 6 (enam) dimensi kepuasan kerja yaitu:

Pekerjaan, Rekan kerja, Gaji/upah, Promosi, Kondisi kerja dan

Pengakuan.

2.4.5. Ketidakpuasan Kerja Karyawan

Ketidakpuasan karyawan dapat dinyatakan dengan sejumlah

cara. Misalnya, berhenti, karyawan dapat mengeluh, tidak patuh,


39

mencuri milik organisasi, atau mengelakkan sebagian dari tanggung

jawab kerja mereka. Robbins dan Judge dalam Wibowo (2012: 515-

516) menunjukkan empat respon atau tanggapan yang berbeda satu

sama lain, yang dapat didefinisikan sebagai berikut:

a. Exit (keluar)

Ketidakpuasan ditunjukkan melalui perilaku diarahkan pada

meninggalkan organisasi, termasuk mencari posisi baru atau

mengundurkan diri.

b. Voice (suara)

Ketidakpuasan ditunjukkan melalui usaha secara aktif dan

konstuktif untuk memperbaiki keadaan, termasuk menyarankan

perbaikan, mendiskusikan masalah dengan atasan, dan berbagai

bentuk cara lainnya.

c. Loyalty (kesetiaan)

Ketidakpuasan ditunjukkan secara pasif, tetapi dengan menunggu

secara optimistik hingga membaiknya kondisi, termasuk dengan

berbicara bagi organisasi dihadapan kritik luar dan mempercayai

organisasi dan manajemennya untuk melakukan hal yang terbaik

dan tepat.

d. Neglect (pengabaian)

Ketidakpuasan ditunjukkan dengan membiarkan kondisi

memburuk, termasuk keterlambatan atau tingkat absen yang

tinggi, mengurangi usaha dan meningkatkan tingkat kesalahan.


40

2.5. Kinerja Karyawan

2.5.1. Pengertian Kinerja Karyawan

Keberhasilan suatu organisasi dipengaruhi oleh kinerja (job

performance) karyawan, untuk itu setiap perusahaan akan berusaha

untuk meningkatkan kinerja karyawannya dalam mencapai tujuan

organisasi yang telah ditetapkan. Budaya organisasi yang tumbuh dan

terpelihara dengan baik akan mampu memacu organisasi kearah

perkembangan yang lebih baik. Di sisi lain, kemampuan pemimpin

dalam menggerakkan dan memberdayakan karyawan akan

mempengaruhi kinerja. Menurut Bangun (2012:231) kinerja

karyawan adalah hasil pekerjaan yang dicapai seseorang berdasarkan

persyaratan-persyaratan pekerjaan (job requirement). Suatu pekerjaan

mempunyai persyaratan tertentu untuk dapat dilakukan dalam

mencapai tujuan yang disebut juga sebagai standar pekerjaan (job

standart ).

Menurut Suwarto (2014:76) kinerja adalah tentang perilaku

atau apa yang dilakukan karyawan, bukan tentang apa yang dihasilkan

atau diakibatkan dari kerja mereka. Sistem manajemen kinerja secara

khas mencakup pengukuran kinerja dan hasil (yakni, bagaimana

pengeraanya dan apa hasil kerjanya). Kinerja bersifat evaluatif

(apakah membantu memajukan atau justru menghambat tujuan

organisasi) dan bersifat multi dimensional (yakni, diperlukan banyak

perilaku untuk menggambarkan kinerja karyawan).


41

Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa

dengan hasil kerja yang dicapai oleh seorang karyawan dalam

melakukan suatu pekerjaan dapat dievaluasi tingkat kinerja

pegawainya, maka kinerja karyawan harus dapat ditentukan dengan

pencapain target selama periode waktu yang dicapai organisasi.

Menurut Simanjuntak (2001) kinerja dipengaruhi oleh:

a. Kualitas dan kemampuan pegawai. Yaitu hal-hal yang

berhubungan dengan pendidikan/pelatihan, etos kerja, motivasi

kerja, sikap mental dan kondisi fisik pegawai.

b. Sarana pendukung, yaitu hal yang berhubungan dengan lingkungan

kerja (keselamatan kerja, kesehatan kerja, sarana produksi,

teknologi) dan hal-hal yang berhubungan dengan kesejahteraan

pegawai (upah/gaji, jaminan sosial, keamanan kerja).

c. Supra sarana, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan

kebijaksanaan pemerintah dan hubungan industrial manajemen.

2.5.2. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Kinerja

Menurut Mangkunegara (2005: 14), kinerja (performance)

dipengaruhi oleh tiga faktor:

1. Faktor individual yang terdiri dari; Kemampuan dan keahlian, latar

belakang, dan demografi.

2. Faktor psikologis yang terdiri dari; Persepsi, attitude (sikap),

personality (kepribadian), pembelajaran dan motivasi.


42

3. Faktor organisasi yang terdiri dari; Sumber daya, kepemimpinan,

penghargaan, struktur dan job-design.

Kinerja karyawan adalah tingkat keberhasilan karyawan dalam

melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Kinerja karyawan secara

umum dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal

(Taurisa dan Ratnawati, 2012: 170).

a. Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri

karyawan, yang meliputi: kepuasan kerja dan komitmen

organisasional.

b. Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar diri

karyawan, antara lain meliputi: kepemimpinan, keamanan dan

keselamatan kerja, serta budaya organisasi.

2.6. Hubungan Antar Variabel

2.6.1. Pengaruh Gaya Kepemimpinan Demokratis terhadap Kinerja

Karyawan

Dari penelitian terdahulu oleh Yugusna, Fathoni dan Andi T.H

(2016) mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan demokratis

berpengaruh positif signifikan terhadap kinerja karyawan.

Berdasarkan hasil penelitian terdahulu oleh Mardiana (2014)

menunjukan bahwa gaya kepemimpinan demokratis yang terdiri dari

indikator pemimpin dan bawahan sama-sama terlibat dalam

pengambilan keputusan dan pemecahan masalah, hubungan dengan

bawahan terjalin dengan baik, motivasi yang diberikan kepada


43

bawahan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kinerja

pegawai yang terdiri dari indikator ketepatan hasil kerja, ketelitian

hasil kerja, dan kerapian hasil kerja.

2.6.2. Pengaruh Gaya Kepemimpinan Demokratis terhadap Kepuasan

Kerja

Penelitian terdahulu oleh Anitha D.A, Muhammad Syaharudin

dan Markus Apriono (2015) menemukan bahwa gaya kepemimpinan

demokratis, lingkungan kerja fisik, lingkungan kerja psikis dan

motivasi berpengaruh signifikan secara parsial dan simultan terhadap

kepuasan kerja karyawan. Penelitian yang dilakukan oleh Ruslan

Rusady (2014) mengemukakan hasil penelitian menunjukkan bahwa

variabel gaya kepemimpinan otokratis, demokratis, dan bebas

berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja. dan variabel yang

memiliki pengaruh paling dominan terhadap kepuasan kerja adalah

gaya kepemimpinan demokratis. Athanasios dan Belias (2014) juga

mengatakan bahwa gaya kepemimpinan demokratis berpengaruh

positif terhadap kepuasan kerja. Penelitian yang dilakukan pada

perawat di pusat pelayanan kesehatan menunjukkan adanya pengaruh

yang negatif antara gaya kepemimpinan demokratis dan kepuasan

kerja (Wong, 2007).

2.6.3. Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kinerja Karyawan

Penelitian Yuwalliatin (2006), menunjukkan budaya

organisasi, motivasi, dan komitmen berpengaruh langsung terhadap


44

kinerja karyawan. Berdasarkan hasil analisis deskriptif oleh Adriyanti

(2014) hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel budaya

organisasi memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja

karyawan. Arif (2010) mengatakan budaya organisasi berpengaruh

positif terhadap kinerja karyawan, artinya apabila budaya organisasi

meningkat, maka kinerja karyawan akan meningkat.

2.6.4. Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kepuasan Kerja

Berdasarkan penelitian oleh Koesmono (2005) dapat

disimpulkan bahwa budaya organisasi berpengaruh terhadap motivasi

dan kepuasan kerja serta kinerja pada karyawan. Berdasarkan

penelitian oleh Ida dan Suprayetno (2008) menunjukkan bahwa

budaya organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap

kepuasan kerja karyawan.

2.6.5. Pengaruh Kepuasan Kerja terhadap Kinerja Karyawan

Dalam penelitian Chaterina (2012), membuktikan bahwa

terdapat pengaruh yang searah antara kepuasan kerja dan kinerja

karyawan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kepuasan kerja

yang dirasakan oleh karyawan, maka semakin tinggi tingkat kinerja

karyawannya. Indikator kepuasan kerja yang paling mendominasi

adalah kepuasan terhadap rekan kerja, dimana hal ini menunjukkan

bahwa ketika seorang karyawan merasa puas terhadap rekan kerja

mereka, maka ketika itu pula karyawan memandang pekerjaannya


45

sebagai sesuatu yang menyenangkan dan cenderung memiliki kinerja

yang baik.

Gaya
Kepemimpinan
Demokratis (X1) H1

H2
H3 Kinerja Karyawan
Kepuasan Kerja (Z)
(Y)

H4

Budaya Organisasi H5
(X2)

Gambar 2.1

Model Penelitian

2.7. Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah

penelitian, dimana rumusan masalah tersebut dinyatakan dalam bentuk

kalimat pertanyaan. Juga dapat dinyatakan sebagai jawaban teoritis terhadap

rumusan masalah penelitian, belum jawaban yang empirik dengan data.

(Sugiyono, 2015). Hipotesis dalam penelitian ini adalah :

H1: Diduga gaya kepemimpinan demokratis mempunyai pengaruh tidak

langsung yang signifikan terhadap kinerja karyawan karena dimediasi

oleh kepuasan kerja pada PT Madubaru PG PS Madukismo.


46

H2: Diduga gaya kepemimpinan demokratis mempunyai pengaruh

langsung yang signifikan terhadap kinerja karyawan pada PT Madubaru

PG PS Madukismo.

H3: Diduga kepuasan kerja mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap

kinerja karyawan pada PT Madubaru PG PS Madukismo.

H4: Diduga budaya organisasi mempunyai pengaruh tidak langsung yang

signifikan terhadap kinerja karyawan karena dimediasi oleh kepuasan

kerja pada PT Madubaru PG PS Madukismo.

H5: Diduga budaya organisasi mempunyai pengaruh langsung yang

signifikan terhadap kinerja karyawan pada PT Madubaru PG PS

Madukismo.

Anda mungkin juga menyukai