Anda di halaman 1dari 7

Resume Mata Kuliah Ilmu Fiqih

Nama : Maura Maulidya

NIM : 1216000112

Kelas : 2D/Psikologi

Dosen Pembimbing : Drs. Anwar Supenawinata, M. Ag

Pengantar Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih

1. Pengertian Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih

Menurut keterangan yang diberikan para ulama, ilmu fiqih adalah


ilmu tentang syariat yang diperoleh dari dalil-dalil yang terperinci
dengan jalan istidlal atau ijtihad dari para ulama.
Al-Jurjaniy (1938:12) mendefinisikan ilmu fiqih sebagai:

Ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang amaliyah (mengenai


perbuatan dan perilaku) yang diambil dari dalil-dalilnya yang
terperinci.

Sedangkan Ushul Fiqih, kalimatnya berasal dari bahasa Arab, yang


terdiri dari kata ‘Ushul’, jamak dari ‘Ashlu’, yang artinya asal,
dasar, atau pokok. Dan ‘Fiqih’, artinya paham atau mengerti.

2. Keterkaitan Antara Ushul Fiqih dengan Fiqih

Hubungan Ushul Fiqih dengan Fiqih adalah hubungan antara asal


dengan cabang, pondasi dengan tembok,benih dengan pohon.
Melalui perantara Ushul Fiqih serta kaidah dan dhawabit yang
mengantarkan seorang ahli ushul padanya, maka seorang ahli fiqi
dapat mengistinbat hokum dan mengeluarkannya dari sumber-
sumber tasyri’ yang banyak dan beragam. Jika dalam
pengkajiannya, seorang ahli ushul.

3. Tujuan Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh

Tujuan dari ilmu fiqih adalah menerapkan hukum-hukum syariat


terhadap perbuatan dan ucapan manusia. Jadi, ilmu fiqih
merupakan rujukan seorang hakim dalam menentukan
keputusannya, rujukan seorang mufti dalam fatwanya, dan
rujukan seorang mukallaf untuk mengetahui hukum syara yang
berkenaan dengan ucapan dan perbuatannya. Hal tersebut
merupakan inti dari setiap undang-undang pada umat manapun,
karena sesungguhnya undang-undang itu hanya dimaksudkan
agar materi-materi dan hukum-hukumnya diterapkan pada
ucapan dan perbuatan manusia, dan memberitahukan kepada
setiap mukallaf terhadap hal-hal yang wajib dan haram atas
dirinya.

Adapun tujuan dari ilmu ushul fiqih adalah menerapkan kaidah-


kaidah dan teori-teorinya terhadap dalil-dalil yang rinci untuk
menghasilkan hukum syara untu menghasilkan hukum syara yang
ditunjuki dalil itu. Jadi, berdasarkan kaidah-kaidah dan
bahasannya, maka nash-nash syara dapat dipahami, hukum yang
menjadi dalalahnya sapat diketahui, dan sesuatu yang dapat
menghilangkan kesamaran lafal yang samar dapat diketahui, serta
dalil-dalil yang unggul ketika terjadi pertentangan antara satu dalil
dengan dalil lainnya juga dapat diketahui berdasarkan pada
kaidah-kaidah dan bahasasn-bahasannya. Dapat pula hukum
diistinbatkan dengan qiyas, istihsan, istishab, atau lainnya pada
kasus yang tidak terdapat nash mengenai hukumnya. Juga dengan
kaidah-kaidah dan bahasan-bahasannya ini pula, apa yang telah
diistinbathkan oleh para imam mujtahid dapat dipahami secara
sempurna. Di samping dapat juga diadakan perbandingan antara
madzhab yang berlainan mengenai hukum suatu kasus. Karena
sesungguhnya memahami hukum secara apa adanya dan
membandingkan antara dua hukum yang berbeda tidak akan
terjadi, kecuali dengan melihat dalil hukumnya dan cara
pengambilan hukum dari dalilnya itu. Dan hal ini tidak akan dapat
dilakukan kecuali dengan mengetahui ilmu ushul fiqih, yang
merupakan landasan dari fiqih perbandingan.

4. Sejarah Perkembangan Ushul Fiqih

Hukum fiqih merupakan hasil gaalian dari para ulama. Namun,


ada perselisihan tentang apakah Rasulullah berijtihad atau tidak.
Dan nyatanya Rasulullah berijtihad. Namun, ijtihad Nabi berbeda
dengan ijtihad para sahabat, tabi’in, dan lainnya. Ijtihad Nabi itu
tentu dapat dipastikan kebenarannya. Kalaupuun ada yang salah,
pada saat itu juga akan turun wahyu yang membenarkannya,
demi terjaganya syariat.

Orang pertama yang terkenal menyusun Ilmu Ushul Fiqih beserta


kaidah-kaidahnya adalah Imam Syafi’i. Bukunya berjudul “Ar-
Risalah”. Namun, ada juga sebagian ulaa yang menjelaskan bahwa
sebelum Imam Syafi’I, ada ulama Imam Abu Yusuf yang juga
membuat tulisan tentang ilmu ushul fiqih. Akan tetapi, karena
tidak dijaga dan tidak dikembangkan oleh murid-muridnya, tulisan
itu akhirnya menghilang.

Setelah Ar-Risalah Imam Syafi’I, barulah muncul kitab-kitab Ushul


Fiqih lainnya. Bentuk dan metode kitab-kitab Ushul Fiqih tersebut
terkadang sama, karena diringkas dari kiab-kitab yang ada
sebelumnya. Kemudian muncullah kitab Irsyadul Fukhul karangan
Imam Asy-Syaukany yang menngevaluasi kitab-kitab tersebut.
Kemudian, kitab Irsyadul Fukhul ini dirangkum lagi oleh muridnya
dan diberi nama Husulul Makmul.

Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih

1. Ilmu Fiqih

Hukum-hukum fiqih tumbuh bersamaan dengan pertumbuhan


agama Islam, karena agama Islam merupakan himpunan dari
akidah, akhlak, dan hukum amaliyah. Hukum amaliya ini pada
masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam terbentuk dari
hukum-hukum yang terdapat di dalam al-Qur’an dan berbagai
hukum yang dibuat oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
sebagai fatwa terhadap suatu kasus, atau suatu putusan terhadap
persengketaan, atau suatu jawaban dari pertanyaan. Kompilasi
hukum-hukum fiqih pada periode yang pertma terbentuk dari
hukum-huku Allah dan rasul-Nya, dan sumbernya adalah al-
Qur’an dan as-Sunnah.
Pada masa sahabat, mereka dihadapkan pada berbagai kejadian
dan munculnya hal-hal baru yang tidak pernah diihadapi kaum
muslimin sebelumnya, dan tidak pernah muncul pada masa
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Maka para mujtahid,
berijtihad dengan memberi putusan hukum, fatwa, dan
menetapkan hukum syarriat, dan sejumlah hhukum yang mereka
istinbatkan melalui ijtihad mereka, dengan berpedoman pada
kompilasi hukum yang pertama. Maka, pada periode kedua,
kompilasi hukum fiqih terbentuk dari hukum-hukum Allah dan
Rasul-Nya, serta fatwa sahabat dan putusan mereka. Seangkan
sumber yang mereka gunakan adalah al-Qur’an, as-Sunnah, dan
ijtihad para sahabat.

Pada periode kedua ini hukum-hukum tersebut belum


terkodifikasikan dan belum ada penetapan hukum terhadap
berbagai kasus fiktif. Akan tetapi, penetapan hukum Islam hanya
berkenan dengan peristiwa dan kasus-kasus yang terjadi saja.
Hukum-hukum ini belum menjelma menjadi bentuk ilmiah. Akan
tetapi, hanya sekadar penyelesaian incidental terhadap peristiwa-
peristiwa yang factual. Kompilasi hukum ini belum dinamakan
sebagai ilmu fiqih, dan tokoh-tokoh dari kalangan sahabat pada
masa itu belum disebut sebagai fuqaha’

Pada masa tabi’in dan tabi’it tabi’in serta para imam mujtahid,
yaitu sekitar dua abad hijriyah yang kedua dan ketiga, Negara
Islam meluas dan banyak orang non Arab yang memeluk agama
Islam. Kau muslim dihadapkan pada berbagai kejadian dan
kesulitan baru, bermacam-macam pengkajian, aneka ragam teori,
dan gerakan pembangunan fisik dan intelektualitas yang
membawa para mujahid memperluas ijtihad dan membentuk
hukum Islam pada banyak kasus serta terbukanya pintu penelitian
dan analisis bagi mereka. Hal tersebut semakin memperluas
medan pembentukan ilmu fiqih, apalagi ditetapkan pua sejumlah
hukum untuk kasus-kasus yang fiktif. Kemudian hukum-hukum
yang ada, disandarkan pada dua kompilasi hukum yang terdahulu,
maka himpunan fiqih pada periode ketiga ini terbentuk dari
hukum Allah dan Rasul-Nya, fatwa para sahabat dan putusan
hukum mereka, serta fatwa para mujtahid dan istimbath mereka.
Sedangkan sumber hukumnya adalah al-Qur’an, as-Sunnah, dan
ijtiad para sahabat serta para imam mujtahid.

Pada masa ini dimulailah kodifikasi hukum-hukum tersebut


bersamaan dengan mulainya kodifikasi as-Sunnah. Hukum-hukum
tersebut menjelma menjadi susunan ilmiah, karena ia telah
dilengkapi dengan dalil-dalilnya, illatnya, dan prinsip-prinsip
umum yang berasal darinya. Tokoh-tokoh yang berperan di
dalamnya disebut fuqaha’, sedangkan ilmunya dinamakan ilmu
fiqih.
REFERENSI

Djalil, Basiq. Ilmu Ushul Fiqih: 1&2, Prenadamedia Group, Jakarta: 2010

Dan lain-lain

Anda mungkin juga menyukai