Anda di halaman 1dari 3

TUGAS 1 KULIAH FILSAFAT ILMU DAN METODOLOGI

Nama : Rasvan Windhi


NPM : 2006509781
Tugas : Membuat Resume mengenai Positivisme dan Positivisme Logis serta Menulis
Manfaat Model Berfikir Positivisme dalam Pekerjaan

A. Positivisme
Positivisme merupakan istilah yang digunakan pertama kali oleh Saint Simon (sekitar
tahun 1825). Positivisme berakar pada empirisme karena kedekatan keduanya yang
menekankan logika simbolik sebagai dasar. Prinsip filosofik tentang positivisme
dikembangkan pertama kali oleh empiris Inggris Francis Bacon. Dalam psikologi pendekatan
positif erat dikaitkan dengan behaviorisme, dengan fokus pada observasi objektif sebagai
dasar pembentukan hukum. Tesis positivisme bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan
yang valid, dan fakta-fakta sajalah yang mungkin dapat menjadi obyek pengetahuan.
Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada
kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris
dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan.
Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu:
1. Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun
perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan
tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E.Littre,
P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.
2. Munculnya tahap kedua dalam positivisme – empirio-positivisme – berawal pada tahun
1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya meninggalkan
pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri
positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut
pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme.
3. Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan
tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta kelompok yang
turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah
Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis,
positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini
diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain.
Pendiri dan sekaligus tokoh terpenting dari aliran filsafat positivisme adalah Auguste
Comte (1798-1857). Filsafat Comte adalah anti-metafisis, ia hanya menerima fakta-fakta
yang ditemukan secara positif-ilmiah, dan menjauhkan diri dari semua pertanyaan yang
mengatasi bidang ilmu-ilmu positif. Semboyan Comte yang terkenal adalah savior pour
prvoir (mengetahui supaya siap untuk bertindak), artinya manusia harus menyelidiki gejala-
gejala dan hubungan-hubungan antara gejala-gejala ini supaya ia dapat meramalkan apa yang
akan terjadi.
Bagi Comte, untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang
kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu :
a. Metode ini diarahkan pada fakta-fakta;
b. Metode ini diarahkan pada perbaikan terus meneurs dari syarat-syarat hidup;
c. Metode ini berusaha ke arah kepastian; dan
d. Metode ini berusaha ke arah kecermatan.

B. Positivisme Logis
Perkembangan positivisme mencapai puncaknya dalam sebuah aliran pemikiran yang
dikenal sebagai positivisme logis atau empirisme logis. Disebut positivisme logis atau
empirisme logis karena aliran ini menekankan dengan kuat bahwa hanya pengalaman empiris
menjadi sumber pengetahuan rasional. Di luar pengalaman empiris, tidak ada pengetahuan
rasional karena akal budi tidak dapat menilai benar-salahnya menurut hukum-hukum
pemikiran yang logis.
Aliran positivisme logis atau empirisme logis dikenal juga dengan nama Lingkaran Wina
karena dibentuk oleh sekelompok pemikir dari Universitas Wina pada awal Abad XX.
Menurut kelompok intelektual ini, hanya pengalaman nyata (fakta) dapat disusun dalam
proposisi empiris dan dapat dijelaskan oleh akal budi secara logis serta dapat dibuktikan
secara matematis. Apa yang dapat dipikirkan tetapi tidak dapat disusun dalam proposisi
empiris tidak bisa dijelaskan oleh akal budi secara logis dan oleh sebab itu tidak dapat
dibuktikan secara matematis. Dengan kata lain, hanya pernyataanpernyataan mengenai
pengalaman empiris dapat diuji kebenarannya secara ilmiah. Sebaliknya, pernyataan-
pernyataan spekulatif dalam filsafat dan teologi tidak dapat diuji kebenarannya secara ilmiah
menurut hukumhukum logika dan matematika.
Komunitas intelektual yang bergabung dalam Lingkaran Wina meyakini bahwa hanya
pernyataan empiris bersifat nyata sehingga dapat diuji benar atau salah. Dengan kata lain,
proposisi empiris menciptakan makna pengetahuan (make sense), masuk akal. Lain halnya
dengan proposisi metafisis tidak memberi makna pengetahuan yang pasti karena sifatnya
yang spekulatif dan ambigu (nonsense). Kemampuan akal budi mempertimbangkan
pengalaman empiris berdasarkan hukumhukum logika dan membuktikannya secara
matematis sehingga ada kepastian mengenai kebenaran yang diklaim sebagai pengetahuan.
Karena hukumhukum logika dan matematika bersifat universal maka dapat digunakan untuk
menguji kebenaran pengetahuan dari setiap pengalaman yang berulang terjadi dalam
kehidupan manusia dengan hasil yang sama.
Seluruh pandangan positivisme diangkat oleh positivisme logis, hanya perbedaannya
positivisme logis lebih menekankan pada analisa bahasa dan prinsip verifikasi. Positivisme
logis merupakan sebuah model epistemologi era kontemporer yang di dalam langkah-langkah
progresinya menempuh jalan melalui observasi, eksperimentasi dan komparasi sebagaimana
diterapkan dalam penelitian ilmu alam, juga memakai model penelitian dengan menggunakan
presisi verifiabilitas, konfirmasi dan eksperimentasi dengan derajat optimal, dengan maksud
agar sejauh mungkin dapat melakukan prediksi dengan derajat ketepatan yang optimal pula.
C. Manfaat Model Berfikir Positivisme dalam Pekerjaan
Dalam dunia kerja sangat dibutuhkan pemikiran positivisme. Dengan menerapkan pola
pikir berdasarkan ajaran positivisme di dalam rapat atau diskusi, kita akan terbiasa untuk
tidak menerima mentah-mentah apa yang diberikan oleh atasan/rekan kerja. Kita akan
menjadi pribadi yang bersikap kritis, mencari solusi terhadap permasalahan dan mencari
kebenaran atas suatu permasalahan berdasarkan fakta-fakta yang ada.
Di lingkungan kerja saya, yaitu Bagian Sumber Daya Manusia (Bagian SDM) Direktorat
Jenderal Perbendaharaan (DJPb), atasan sangat mengapresiasi terhadap pegawai yang
memiliki sikap kritis dan jiwa inovasi yang tinggi. Hal itu sesuai dengan bidang pekerjaan di
Subbagian kami, yaitu Subbagian Perencanaan Strategis dan Manajemen Talenta (Subbag
PSMT). Secara berkala, atasan akan mengajak kami berdiskusi dan membahas mengenai hal-
hal apa saja yang dapat memberikan nilai tambah bagi masing-masing individu di dalam
pekerjaan yang pada akhirnya akan meningkatkan kinerja dan membantu organisasi untuk
berkembang ke arah yang lebih baik.
Contohnya saja, secara berkala akan diminta kepada setiap pegawai untuk membuat suatu
kajian mengenai pelaksanaan manajemen sumber daya manusia yang sedang berjalan. Jika
ada hal yang dirasa masih kurang, kami sebagai tim akan bersama-sama memikirkan
bagaimana caranya untuk memperbaiki kekurangan tersebut dengan menganalisis fakta-fakta
berdasarkan pemikiran ilmiah. Fakta-fakta yang ada di lapangan di analisis untuk kemudian
ditemukan apa yang menyebabkan terjadinya kesenjangan/kekurangan. Setelah ditemukan
kesenjangan tersebut, akan dianalisis bersama dan ditemukan cara terbaik untuk
memperbaikinya.
Walaupun model berfikir positivisme ini memberikan banyak manfaat, namun tidak
semua hal di dalam pekerjaan harus kita terapkan dengan pendekatan positifisme. Ada
dimensi-dimensi di dalam kehidupan dan pekerjaan yang abstrak dan kualitatif yang kita
butuhkan yang berseberangan dengan pemikiran positivisme. Karena lingkungan kerja kami
yang berhubungan langsung dengan kepentingan individu/pegawai, tentunya banyak
keputusan dalam kepegawaian yang dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan di luar
fakta dan data yang seharusnya, contohnya pertimbangan kemanusiaan. Misalnya saja terkait
pertimbangan mutasi pegawai. Idealnya setiap pegawai akan dimutasi secara berkala sesuai
dengan pola mutasinya, baik pegawai laki-laki maupun perempuan. Jika kita berpikir
objektif, yang mana merupakan pola pikir positivisme, pegawai laki-laki dan perempuan akan
mendapatkan pola mutasi yang sama. Tetapi di DJPb, kebijakan pola mutasi untuk pegawai
perempuan bersifat lebih subjektif, dengan juga mempertimbangkan homebase/tempat tinggal
dengan suami, kondisi/keadaan kota yang akan ditempati (apakah layak untuk menempatkan
pegawai perempuan di sana), dan pertimbangan khusus lain.

Anda mungkin juga menyukai