Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Thalassemia masih menjadi masalah kesehatan anak baik di dunia
maupun di Indonesia. Thalassemia merupakan salah satu penyakit genetik
bawaan terbanyak di dunia, dimana diperkirakan sebanyak 60.000 bayi lahir
setiap tahunnya dengan kelainan ini.1 Berdasarkan laporan World Health
Organization (WHO) tahun 2011 sekitar 5% penduduk dunia diduga
pembawa sifat untuk gangguan hemoglobin terutama thalassemia dan
penyakit sel sabit. Namun di beberapa daerah di dunia menunjukkan
persentase carrier sebesar 25% dengan perkiraan lebih dari 300.000 bayi
lahir dengan kelainan hemoglobin setiap tahunnya dan sebagian besar di
negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.2 Prevalensi thalassemia
di Indonesia berdasarkan Riskesdas 2007 adalah sebesar 1,5%. Sedangkan,
prevalensi untuk provinsi Jambi sebesar 0,3%.3
Tingginya perkiraan angka kejadian thalassemia akan berdampak
terhadap kondisi psikososial pasien, sosial ekonomi keluarga, ketersediaan
kantong darah untuk tranfusi pasien thalassemia, dan angka morbiditas dan
mortalitas yang terus meningkat.4
Pada pasien dengan thalassemia mayor biasanya menyebabkan anemia
kronis yang akan mempengaruhi daya ingat pasien thalassemia mayor
khususnya dalam belajar disekolah, sehingga tingkat kecerdasan pasien
thalassemia mayor mengalami penurunan intelegence quotient(IQ)5. Dengan
dilakukannya transfusi darah secara berulang kali dapat meningkatkan kadar
serum ferritin pada thalassemia mayor. Ferritin merupakan sejenis protein
dalam tubuh yang berfungsi sebagai pengikat zat besi.6 Oleh karena itu
diharapkan dengan bertambahnya kadar serum ferritin ditubuh pasien
thalasemia dapat meningkatnya hemoglobin sehingga mempengaruhi nilai
IQ pasien thalasemia. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk

1
2

mengukur tingkat kecerdasan (IQ) thalassemia mayor yaitu Culture Fair


Intelligence Test (CFIT) dengan skala.7
Menurut penelitian Cravens 1992, menyatakan bahwa IQ test pasien
Thalassemia mayor sama dengan orang normal, tetapi pada pasien
thalassemia mayor umur diatas 16 tahun kemungkinan akan terdapat
problematika.8
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk mengetahui
“Hubungan Serum Ferittin dengan Tingkat Keecerdasan pada Pasien
Thalassemia Mayor”. Pentingnya mengetahui hal tersebut agar penderita
thlassemia mayor mengetahui salah satu pengaruh serum ferritin terhadapa
tingkat kecerdasan.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan masalahnya sebagai
berikut: “adakah hubungan kadar serum ferritin dengan tingkat kecerdasan
pada pasien thalassemia mayor?”

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
1. Untuk mengetahui tingkatan kadar serum ferritin pada
penyandang thalassemia mayor
2. Untuk mengetahui tingkat kecerdasan pada penyandang
thalassemia mayor.
3. Untuk mengetahui hubungan tingkat kecerdasan dengan serum
ferritin pada thalassemia mayor
1.3.2 Tujuan Khusus
Untuk mengetahui hubungan kadar serum ferritin dengan tingkat
kecerdasan pada pasien thalassemia mayor.

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat penelitian ini sebagai berikut:
3

1.4.1 Bagi Penulis


Penelitian ini merupakan sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana kedokteran di Fakultas dan Ilmu
Kesehatan Universitas Jambi.
1.4.2 Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi dan
acuan selanjutnya untuk penelitian yang tertarik meneliti lebih
dalam tentang hubungan serum ferritin dengan tingkat kecerdasan
pada pasein thalassemia mayor.
1.4.3 Bagi Institusi Pendidikan FKIK Universitas Jambi
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi dan
referensi bagi institusi terkait tentang hubungan kadar serum
ferritin dengan tingkat kecerdasan pada pasien thalassemia mayor.
1.4.4 Bagi Masyarakat
Diharapkan masyarakat dapat mengetahui adanya hubungan
tingkat kecerdasan dengan serum ferritin.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Thalassemia Mayor


2.1.1 Definisi
Thalassemia mayor berasal dari kata Yunani, yaitu Thalassa
yang berarti laut. Yang dimaksud laut tersebut ialah Laut Tengah,
oleh karena penyakit ini mula mula ditemukan di sekitar Laut
Tengah.9

Thalassemia mayor adalah penyakit herediter yang diturunkan


orang tua kepada keturunannya akibat defisiensi jumlah produksi
rantai globin yang spesifik dalam hemoglobin. Thalassemia beta
mayor terjadi karena defisiensi sintesis rantai ß dan terdapat
kelebihan dari rantai α, sehingga kadar Hb A(α2ß2) menurun.
Sebagai kompensasi akan dibentuk banyak rantai γ dan δ yang akan
bergabung dengan rantai α yang berlebihan sehingga pembentukan
Hb F (α2γ2) dan Hb A2 (α2δ2)meningkat.1,5

Thalassemia mayor dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis


rantai hemoglobin yang mengalami gangguan menjadi thalassemia α
dan β. Sedangkan, secara klinis thalassemia diklasifikasikan menjadi:
1. Thalassemia minor(trait)
Pada penderita dengan thalassemia minor hanya memiliki satu
gen thalassemia beta (bersama dengan satu gen normal rantai
globin beta). Orang tersebut dikatakan heterozigot untuk
thalassemia beta. Thalassemia minor memiliki gejala anemia
ringan (sedikit penurunan Hb dalam darah).11 Penderita tidak
memerlukan tranfusi darah dalam hidupnya.12

4
5

2. Thalassemia mayor
Anak yang lahir dengan thalassemia mayor memiliki dua gen
untuk beta thalassemia dan tidak ada gen rantai beta normal.
Anak ini disebut homozigot untuk thalassemia beta. Hal ini
menyebabkan kekurangan yang mencolok dalam produksi rantai
beta dan dalam produksi Hb A. Thalassemia ini sering disebut
Anemia Cooley.13

2.1.2 Epidemiologi
Sebaran thalassemia mayor terlentang lebar dari Eropa Selatan
Mediteranian, Timur Tengah, dan Afrika sampai dengan Asia
Selatan, Asia Timur, Asia Tenggara.14
Meskipun sekitar 7% dari populasi dunia memiliki thalassemia
atau hemoglobinophaty, distribusi thalassemia terkonsentrasi di
"sabuk thalasemia" yang memanjang dari Mediteranian Timur
melalui Timur Tengah dan India untuk Asia Tenggara dan Selatan ke
Afrika utara.15
Frekuensi carrier β-thalassemia tergantung pada wilayah,
Sardinia, Siprus, dan Yunani memiliki frekuensi tertinggi di Eropa
(6%-19%) dan India, Thailand, dan Indonesia merupakan frekuensi
tertinggi di Asia (0,3%-15%).15

2.1.3 Patofisiologi
Thalassemia mayor terjadi karena delesi gen globin, tetapi
lebih lazim merupakan akibat kelainan pembacaan atau pemrosesan
DNA. Pada tingkat molekular, sekurang-kurangnya diketahui 100
mutasi yang mengakibatkan kelainan ini. Mutasi ini dapat
mengurangi produksi atau mengubah pemrosesan mRNA.
Pengurangan sintesis globin yang lebih berat ditemukan pada
homozigot atau heterozigot kombinasi disertai dengan hemolisis dan
anemia berat. Hemolisis merupakan akibat ketidakseimbangan
6

dalam sintesis dua tipe rantai globin mayor α dan β.16

Produksi terus tipe rantai globin lain pada kecepatan normal


mengakibatkan kelebihan rantai globin tidak mampu berperan
dalam pembentukan tetramer normal. Rantai globin yang tidak
dikombinasi tersebut dengan mudah mengendap di dalam eritrosit,
membentuk benda inklusi yang tidak larut.Pada β-thalassemia,
inklusi rantai-α4 yang berlebihan terbentuk dengan sangat cepat
selama maturasi eritroid sehingga hemolisis cepat terjadi dalam
sumsum tulang sebelum pelepasan retikulosit ke dalam sirkulasi.
Bila terbentuk, benda inklusi hemoglobin H dengan cepat diambil
dari eritrosit oleh sel RE limpa, mengakibatkan kerusakan
membran, fragmentasi, dan akhirnya terjadi hemolisis .16

2.1.4 Manifestasi Klinis


Mulainya gejala klinis pada umur 6 bulan – 12 bulan, bayi
tampak pucat, iritabel, anoreksia, demam, dan sering terjadi
pembesaran abdomen.16
Pemeriksaan darah menunjukkan anemia hipokromik dan
mikrositik. Pada kadar hemoglobin yang rendah, iritabilitas,
kelelahan, lesu, dan anoreksia dapat terjadi pada orang tua maupun
anak, biasanya dapat menentukan kapan tranfusi perlu dilakukan.
Gagal jantung yang nyata dapat menyertai perburukan anemia yang
terjadi selama infeksi akut karena hipoplasia eritroid sementara.
Ikterus sklera biasanya ada, dan batu empedu bilirubin dapat
terbentuk pada remaja sebagai akibat hemolisis kronis dan
hiperbilirubinemia. Hipertropi kompensasi eritroid sumsum adalah
dengan mengorbankan tulang. Keterlibatan tulang kranium
menyebabkan pembesaran kepala karena penonjolan frontal dan
parietal; pembesaran maksila menyebabkan penonjolan gigi frontal
atas, dengan perpindahan bibir atas ke depan dan ke atas. Maloklusi
7

yang mencolok lazim ditemui.Penonjolan pipi nyata; jembatan


hidung melebar, mendalam, dan terdepresi; mata mempunyai
kemiringan mongoloid; dan lipatan epikantus sering timbul.
Ekspansi rongga sumsum tulang dapat juga menyebabkan nyeri
tulang dan rentan fraktur patologis tulang panjang dan vertebra.
Hematopoesis ektramedular kompensasi pada hati dan limpa
sehingga mengakibatkan hepatosplenomegali.16
Pada anak yang mendapat tranfusi darah akan mengurangi
angka mortalitas. Pertumbuhan tinggi dan berat badan cukup normal
selama umur 4-5 tahun pertama pada anak yang mendapat tranfusi
teratur. Setelahnya pertumbuhan dan maturasi seksual akan
terganggu sebagai akibat hemosiderosis tranfusi.16

2.1.5 Terapi
Penderita thalassemia mayor sampai saat ini belum ada obat
yang dapat menyembuhkan secara total. Pengobatan yang dilakukan
meliputi pengobatan terhadap penyakit dan komplikasinya.
Pengobatan terhadap penyakit dengan cara tranfusi darah,
splenektomi, induksi sintesa rantai globin, transplantasi sumsum
tulang dan terapi gen. Tranfusi darah dilakukan secara teratur setiap
3-4 minggu, dengan tujuan untuk mempertahankan kadar
hemoglobin minimal 100 g/L atau bahkan 120 g/L. Pengobatan
untuk mencegah komplikasi kelebihan dan penimbunan besi,
pemberian kelasi besi, kalsium, asam folat, imunisasi. Pemberian
vitamin C 100-250 mg/hari untuk meningkatkan ekskresi besi dan
hanya diberikan pada saat pemberian kelasi besi saja. Vitamin E
200-400 IU/hari untuk memperpanjang umur sel darah merah.
Transfusi harus dilakukan seumur hidup secara rutin setiap
bulannya.16,17
8

2.1.6 Komplikasi
Pasien thalassemia mayor akan memerlukan terapi suportif
utama, yaitu transfusi darah dengan tujuan mempertahankan kadar
Hb 9-10 g/dL. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan tumbuh
kembang anak dengan sedikit komplikasi. Tetapi komplikasi
penimbunan zat besi dalam tubuh dapat terjadi akibat tranfusi darah
yang dilakukan terus menerus.18,19
1. Komplikasi Jantung
Kelainan jantung khusunya gagal jantung kiri berkontribusi
lebih dari setengah terhadap kematian pada penderita
thalassemia. Penyakit jantung pada penderita thalassemia
mungkin bermanifestasi sebagai kardiomiopati hemosiderrhosis,
gagal jantung, hipertensi pulmonal, aritmia, disfungsi
sistolik/diastolik, efusi perikardial, miokarditis, atau
perikarditis.20
2. Komplikasi Endokrin danMetabolik
Umumnya komplikasi yang terjadi yaitu hipogonadotropik
hipogonadisme dilaporkan di atas 75% pasien. Pituitari anterior
adalah bagian yang sangat sensitif terhadap kelebihan besi yang
akan mengganggu sekresi hormonal antara lain disfungsi gonad.
Perkembangan seksual mengalami keterlambatan dilaporkan.
50% anak laki-laki dan perempuan mengalami hal tersebut,
biasanya anak perempuan akan mengalami amenore. Selama
masa kanak-kanak pertumbuhan bisa dipengaruhi oleh kondisi
anemia dan masalah endokrin. Masalah tersebut mengurangi
pertumbuhan yang harusnya cepat dan progresif menjadi
terhambat dan pada akhirnya anak dengan thalassemia akan
mengalami postur yang pendek. Komplikasi endokrin lainnya
adalah intoleransi glukosa (Diabetes Mellitus) yang disebabkan
oleh penumpukan besi pada pankreas. Disfungsi tiroid
9

dilaporkan terjadi pada pasien thalassemia dimana hipotiroid


merupakan kasus yang sering ditemui, biasanya terjadi
peningkatan kadar TSH. Selain hipotiroid, kasus lainnya dari
kelainan endokrin yang ditemukan yaitu hipoparatiroid.20
3. Komplikasi Metabolik
Kelainan metabolik yang sering ditemukan pada penderita
thalassemia mayor yaitu rendahnya massa tulang yang
disebabkan oleh hilangnya pubertas spontan, malnutrisi,
disfungsi multiendokrin dan defisiensi vitamin D, kalsium dan
zinc.20
4. Komplikasi Hepar
Setelah dua tahun dari pemberian tranfusi yang pertama
kali pembentukan kolagen dan fibrosis terjadi sebagai dampak
adanya penimbunan besi yang berlebihan. Penyakit hati lain
yang sering muncul yaitu hepatomegali, penurunan konsentrasi
albumin, peningkatan aktivitas aspartat dan alanin transaminase.
Adaupun dampak lain yang berkaitan dengan penyakit hati
adalah timbulnya Hepatitis B dan Hepatitis C akibat pemberian
tranfusi.20

2.2 Ferritin
Ferritin adalah protein penyimpanan zat besi utama yang ditemukan
pada jaringan tubuh manusia. Ferritin terdiri dari 24 subunit dengan 2 tipe
ferritin serum menyatakan cadangan protein penyimpanan zat besi dalam
tubuh dan juga merupakan protein fase akut yang nilainya akan meningkat
pada keadaan inflamasi akut atau kronis. Peningkatan kadar ferritin
menjadi penanda penyakit karsinoma metastatik, leukimia, limfoma,
penyakit hati (sirosis hepatis, kanker hati), zat besi berlebih
(hemokromatosis), hemosiderosis, anemia (hemolitik, pernisiosa,
thalassemia), infeksi, inflamasi kronis dan akut (penyakit ginjal,
10

neuroblastoma), dan kerusakan jaringan.21,22


Kadar serum ferritin yang tinggi yang ditemukan bersamaan dengan
saturasi transferrin yang tinggi, menandakan seorang individu mengalami
kelebihan besi.23 Pada penderita thalassemia beta mayor, besi hasil dari
pemecahan/penghancuran eritrosit disimpan dalam sel-sel RE yang makin
lama semakin banyak sehingga kesanggupan sel-sel RE untuk menyimpan
besi berkurang dan besi dilepaskan ke dalam plasma yang kemudian
diangkut oleh transferrin keseluruh tubuh. Akibatnya kadar besi serum iron
meningkat dan saturasi transferrin juga meningkat. Kandungan besi tubuh
normal 3-5 g/kgBB, pada anak thalassemia sekitar 0,75 g/kgBB.
Normalnya setiap orang menyerap 1 mg besi perhari dari pencernaan, pada
anak thalassemia sekitar 10 mg/hari. Setiap 1 unit darah segar atau
sebanyak 450 ml, mengandung 200-250 mg besi. Setiap cm kubik packed
cell mengandung 1-1,6 mg besi, dengan rata-rata transfusi pertahun
dibutuhkan 180 cc/kg/packed cell, tubuh mengakumulasi 200 mg/kgbb besi
setiap tahun. Kadar feritin serum pada penderita thalassemia beta mayor
meningkat dan ini mencerminkan jumlah kadar cadangan besi pada
penderita tersebut.23,24
Penentuan konsentrasi feritin serum atau plasma merupakan cara
tersering digunakan, karena noninvasif, walaupun kurang sensitif dan
spesifik, kurang berhubungan dengan konsentrasi besi hati. Interpretasi
kadar feritin dapat dipengaruhi berbagai kondisi yang menyebabkan
perubahan konsentrasi beban besi tubuh, termasuk defisiensi asam
askorbat, panas, infeksi akut, inflamasi kronis, kerusakan hati baik akut
maupun kronis, hemolisis dan eritropoiesis yang tidak efektif, semuanya
terjadi pada pasien thalassemia beta mayor. Kadar serum ferritin 2500
ng/mL dapat digunakan sebagai nilai ambang batas untuk mengidentifikasi
pasien yang termasuk ke dalam risiko tinggi terjadinya penyakit jantung
dan kematian dini.23,24,25
11

2.3 Tingkat Kecerdasan


Kecerdasan Intelegensi (IQ) :
2.3.1 Pengertian Intelegensi
Intelegensi dan keberhasilan dalam pendidikan adalah dua hal
yang saling keterkaitan. Di mana biasanya individu yang memiliki
intelegensi yang tinggi dia akan memiliki prestasi yang
membanggakan di kelasnya, dan dengan prestasi yang dimilikinya ia
akan lebih mudah meraih keberhasilan.26
Meskipun semua orang tahu apa yang dimaksud dengan
intelegensi atau kecerdasan, namun sukar sekali untuk mendefinisikan
hal ini secara tepat. Banyak sekali definisi yang diajukan para sarjana,
namun satu sama lain berbeda, sehingga tidak dapat memperjelas
persoalan.
Intelegensi berasal dari bahasa inggris " intelligence "yang juga
berasal dari bahasa latin yaitu "intellectus dan intelegentia atau
intellegere". Teori tentang intelegensi pertama kali di kemukakan oleh
spearman dan Wynn jones poll pada tahun 1951.27
Intelegensi berasal dari bahasa latin,yang berarti memahami. Jadi
intelegensi adalah aktifitas atau perilaku yang merupakan perwujudan
dari daya atau potensi untuk memahami sesuatu.
Pengertian Intelegensi menurut beberapa pakar psikologi di
antaranya adalah :
a. Claparedese danStern
Memberikan definisi intelegensi adalah penyesuaian diri secara
mental terhadap situasi atau kondisi baru.27
b. H.H.Goddard
Mendefinisikan intelegensi sebagai tingkat kemampuan
pengalaman seseorang untuk menyelesaikan masalah-masalah
yang langsung dihadapi dan untuk mengantisipasi masalah-
masalah yang akan datang.28
12

Tingkat kecerdasan seorang anak yang ditentukan secara


metodik oleh IQ (Intelligence Quotient) memegang peranan penting
untuk suksesnya anak dalam belajar. Menurut penyelidikan, IQ atau
daya tangkap seseorang dapat ditentukan seorang tersebut umur 3
tahun. Daya tangkap sangat dipengaruhi oleh garis keturunan genetik
yang dibawanya dari keluarga ayah dan ibu disamping faktor gizi
makan yang cukup. IQ atau daya tangkap ini dianggap takkan berubah
sampai orang dewasa, kecuali bila ada sebab kemunduran fungsi otak
seperti penuaan dan kecelakaan. IQ yang tinggi memudahkan seorang
murid belajar dan memahami berbagai ilmu. Daya tangkap yang
kurang merupakan penyebab kesulitan belajar pada seorang murid,
disamping faktor lain, seperti gangguan fisik (demam, lemah, sakit)
dan gangguan emosional. Awal untuk melihat IQ seorang anak adalah
pada saat ia mulai berkata-kata. Ada hubungan langsung antara
kemampuan bahasa si anak dengan IQ-nya. Apabila seorang anak
dengan IQ tinggi maasuk sekolah, penguasaan bahasanya akan cepat
dan banyak.27

2.3.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Intelegensi


Seseorang memiliki intellegensi yang berbeda-beda, perbedaan
intelegensi ini dapat dilihat dari tingkah laku dan perbuatannya.
Adanya perbedaaan ini tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor, antara lain:28
1. Faktor pembawaan
Faktor pembawaan merupakan faktor pertama yang
berperan di dalam intelegensi. Faktor ini ditentukan oleh sifat
yang dibawa sejak lahir. Batas kesanggupan atau kecakapan
seseorang dalam memecahkan masalah, antara lain ditentukan
oleh faktor bawaan. Oleh karena itu, di dalam satu kelas dapat
dijumpai anak yang bodoh, agak pintar, dan pintar sekali,
13

meskipun mereka menerima pelajaran dan pelatihan yang sama.28


2. Faktor minat dan pembawaan yang khas
Faktor minat ini mengarahkan perbuatan kepada suatu
tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan itu. Dalam diri
manusia terdapat dorongan atau motif yang mendorong manusia
untuk berinteraksi dengan dunia luas, sehingga apa yang diminati
oleh manusia dapat memberikan dorongan untuk berbuat lebih
giat dan lebih baik.28
3. Faktor pembentukan
Pembentukan adalah segala keadaan di luar diri seseorang
yang mempengaruhi perkembangan intelegensi. Di sini dapat
dibedakan antara pembentukan sengaja, seperti yang dilakukan di
sekolah dan pembentukan yang tidak disengaja, misalnya
pengaruh alam disekitarnya.29
4. Faktor kematangan
Di mana tiap organ dalam tubuh manusia mengalami
pertumbuhan dan perkembangan. Setiap organ manusia baik fisik
maupun psikis, dapat dikatakan telah matang, jika ia telah
tumbuh atau berkembang hingga mencapai kesanggupan
menjalankan fungsinya masing-masing. Oleh karena itu, tidak
mengherankan bila anak-anak belum mampu mengerjakan atau
memecahkan soal-soal matematika di kelas empat SD, karena
soal soal itu masih terlampau sukar bagi anak.Organ tubuhnya
dan fungsi jiwanya masih belum matang untuk menyelesaikan
soal tersebut dan kematangan berhubungan erat dengan umur.29
5. Faktor kebebasan
Faktor kebebasan artinya manusia dapat memilih metode
tertentu dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Di samping
kebebasan memilih metode, juga bebas dalam memilih masalah
yang sesuai dengan kebutuhannya.30
14

6. Stabilitas intelegensi dan IQ


Intelegensi bukanlah IQ. Intelegensi merupakan suatu
konsep umum tentang kemampuan individu, sedang IQ hanyalah
hasil dari suatu tes intelegensi itu (yang notabene hanya
mengukur sebagai kelompok dari intelegensi). Stabilitas
intelegensi tergantung perkembangan organik otak.31

2.3.3 Tes Intelegensi


Tes Intelegensi ialah suatu teknik atau alat yang digunakan untuk
mengungkap taraf kemampuan dasar seseorang yaitu kemampuan
dalam berfikir, bertindak dan menyesuaiakan diri, secara efektif.32

Orang yang berjasa menemukan tes inteligensi pertama kali ialah


seorang dokter bangsa Prancis Alfred Binet dan pembantunya Simon. 32
Tesnya terkenal dengan nama tes Tes Binet-Simon.33 Seri tes dari
Binet Simon ini, pertamakali diumumkan antara 1908-1911 yang
diberi nama : “Chelle Matrique de l‟inteligence” atau skala pengukur
kecerdasan. Tes binetsimon terdiri dari sekumpulan pertanyaan-
pertanyaan yang telah dikelompok kelompokkan menurut umur
(untuk anak-anak umur 3-15 tahun).33

Pertanyaan-pertanyaaan itu sengaja dibuat mengenai segala


sesuatu yang tidak berhubungan dengan pelajaran di sekolah. Seperti
mengulang kalimat, dengan tes semacam inilah usia seseorang diukur
atau ditentukan. Dari hasil tes itu ternyata tidak tentu bahwa usia
kecerdasan itu sama dengan usia sebenarnya (usia kalender). Sehingga
dengan demikian kita dapat melihat adanya perbedaan-perbedaan IQ
(Inteligentie Quotient) pada tiap-tiap orang/anak. Nilai tes intelegensi
sering dihubungkan dengan unsur usia, sehingga menghasilkan IQ
(satuan intelegensi) untuk mengetahui bagaimana kedudukan relatif
orang yang bersangkutan bila dibandingkan dengan sekelompok umur
15

sebayanya ini dapat di ungkapkan dengan tes.33

Hasil tes ini dipergunakan untuk membandingkan peolehan


(prestasi belajar) siswa dalam bidang studi dengan kemampuan mental
umum mereka lebih khusus,siswa-siswa yang mencapai prestasi
belajar di bawah kemampuan yang diharapkan dari padanya dapat
diidentifikasi. Pada gilirannya, sekolah bekerja sama dengan keluarga
dapat mencari sumber sumber ketidak cocokan antara prestasi dan
kemampuan mentaltersebut.34

Adapun model-model pengukuran intelegensi dapat berupa


manifestasi- manifestasi berikut :35
a. Mengukur intelegensi dengan menggunakan bilangan-
bilangan
b. Mengukur efisiensi dalam penggunaan bahasa
c. Mengukur kecepatan dalam pengamatan
d. Mengukur pemahaman tentang hubungan-hubungan
e. Mengukur dalam hal daya ingat
f. Mengukur daya hayal
Secara umum model test intelegensi memiliki dua sifat, yaitu :
1. Test intelegensi yang bersifat umum dengan memakai
bahan-bahan berupa kalimat, gambar dan angka yang di
gabungkan menjadi satu bentuk utuh.
2. Test intelegensi yang bersifat khusus, misalnya khusus test
kalimat, khusus test gambar dan khusus test angka.35

Rumus kecerdasan umum, atau IQ yang ditetapkan oleh para


ilmuwan adalah:35

umur mental anak


n= x 100=IQ
umur anak sesungguhnya
16

Contoh : Misalnya anak pada usia 3 tahun telah punya kecerdasan


anak-anak yang rata-rata baru bisa berbicara seperti itu pada
usia 4 tahun.

Inilah yang disebut dengan Usia Mental. Berarti IQ si anak adalah 4/3
x100 = 133.

Interpretasi atau penafsiran dari IQ adalah sebagai berikut35 :

Tabel 2.1 : Tingkat Kecerdasan


TINGKAT KECERDASAN SKOR IQ
Genius Di atas 140
Sangat Super 120-140
Normal 90-110
Bodoh 80-90
Perbatasan 70-80
Moron/ Dungu 50-70
Imblecile 25-50
Idiot 0-25

a. Culture Fair Intelligence Test (CFIT)


Culture Fair Intelligence Test (CFIT) Cattel dalam Kumara
(1989) mengembangkan Culture Fair Intelligence Test. Tes ini
menyajikan soal-soal yang menghendaki subyek memilih suatu
desain yang tepat paling berbeda dengan figur lainnya.236 CFIT
mengkombinasikan beberapa pertanyaan bersifat pemahaman
gambar-gambar sehingga dapat mengurangi sebanyak mungkin
pengaruh kecakapan verbal, iklim kebudayaan, dan tingkat
pendidikan. Tes ini membuat batasan yang lebih jelas antara
kemampuan dasar dengan hasil belajar khusus serta memberikan
analisis dan prediksi yang lebih baik dari potensi maksimal
17

individu.16 CFIT skala 2 untuk anak-anak usia 8-14 tahun dan


untuk orang dewasa yang memiliki kecerdasan di bawah normal.
Skala 3 untuk usia sekolah lanjutan atas dan orang dewasa
dengan kecerdasan tinggi.
Menurut skala Cattel, IQ diklasifikasikan sebagai:36
a) 140-169 : Very Superior
b) 120-139 : Superior
c) 110-119 : High Average
d) 90-109 : Average
e) 80-89 : Low Average
f) 70-79 : Borderline
g) 30-69 : Mantally Defective

2.3.4 Tujuan tes intelegensi


Ada banyak tujuan tes intelegensi di antaranya sebagai berikut:20
1. Tes intelegensi dapat digunakan menempatkan siswa pada
jurusan tertentu.
2. Untuk mengidentifikasi siswa yang memiliki IQ di atas
normal.
3. Tes intelegensi dapat digunakan untuk mendiagnosa
kesukaran pelajaran dan mengelompokkan siswa yang
memiliki kemampuansetara.
4. Tes intelegensi dapat digunakan untuk memprediksi hasil
anak dimasa yang akan datang, dan juga sebagai media untuk
mengawali proses konseling.
5. Tes intelegensi dapat digunakan siswa untuk mengenali dan
memahami dirinya sendiri dengan lebih baik, serta
mengetahui kemampuannya.
6. Untuk mengukur kemampuan verbal, mencakup kemampuan
yang berhubungan dengan simbol numerik dan simbol-simbol
18

abstraklainnya.
7. Alat prediksi kinerja yang efektif dalam banyak bidang
pekerjaan serta aktivitas-aktivitas lain dalam hidupsehari-hari.

2.4 Hubungan Serum Ferittin dengan Tingkat Kecerdasan


Penderita thalassemia mengalami anemia, dimana anemia ini menahun
yang menyebabkan eritropoesis yang tidak efektif proses hemoelisis dan
reduksi sintesa hemoglobin. Kekurangan asupan zat besi dapat
mengakibatkan rendahnya kadar hemoglobin dalam darah, sehingga
oksigen yang dibutuhkan oleh tubuh dan otak menjadi berkurang yang akan
berakibat timbulnya perubahan metabolisme di dalam otak. Perubahan
metabolisme dalam otak dapat mempengaruhi perubahan jumlah dan fungsi
sel di dalam otak, sehingga otak akan mengalami perubahan fungsi normal.
Berubahnya fungsi normal otak akan berpengaruh terhadap perkembangan
kecerdasan anak karena mengalami kesulitan berkonsentrasi. Dampak
negatif lain yang ditimbulkan adalah daya tahan tubuh berkurang sehingga
menyebabkan tubuh mudah terserang penyakit, serta kemampuan kinerja
intelektual juga menurun. Dengan penambahan zat besi pada serum ferritin
pada pasien thalassemia ini untuk melihat adanya hubungan bermakna
dengan tingkat kecerdasan.8,9,30
19

2.5 Kerangka Teori

Thalassemia

hemoelisis Reduksi sintesa Hb

Rendahnya kadar Hb di darah

Transfusi Darah Perubahan metabolism otak

Kadar serum ferritin ↑ Perubahan jumlah dan fungsi sel otak

Perubahan fungsi normal otak

Tingkat Kecerdasan (IQ)

Gambar 2.2 Kerangka Teori

2.6 Kerangka Konsep

SerumFerriti Tingkat
n Kecerdasan(I
Q)

Gambar 2.3 Kerangka Konsep

2.7 Hipotesis
Serum ferritin berhubungan dengan tingkat kecerdasan pada anak
Thalassemia mayor.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian


Jenis penelitian yang dilakukan adalah kuantitatif, dengan
menggunakan desain penelitian analitik yaitu penelitian yang dilakukan
untuk melihat hubungan antara variabel satu dengan variabel yang lain
dengan menggunakan metode pendekatan Cross Sectional. Pada
penelitian ini akan melihat hubungan kadar serum ferritin dengan
hubungan tingkat kecerdan pada anak thalassemia mayor.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Tempat penelitian ini dilaksanakan di RSUD H. Abdul Manap Kota
Jambi. Penelitian dilakukan dari bulan febuari 2019 kampus Kedokteran
Universitas Jambi Daerah Provinsi Jambi.

3.3 Subjek Penelitian


3.3.1 Populasi
Populasi penelitian ini adalah pasien thalassemia mayor
yang berumur 8-18 tahun. Populasi terjangkau penelitian ini
adalah pasien thalassemia mayor di RSUD H. Abdul Manap Kota
Jambi pada bulan November 2017 – Maret 2018 yaitu sebanyak
38 pasien berdasarkan data sekunder dari poliklinik anak.
3.3.2 Sampel
Sampel pada penelitian ini dihitung menggunakan rumus
penelitian analitik Lemeshow:

₂2
z 1 α ¿ P ( 1−P ) N
n= 2
d ( N−1 ) + z 1 α /₂² P(1−P)
1,96 x 0,5 ( 1−0,5 ) 38
n= 2
0,12 ( 38−1 )+1,96 x 0,5(1−0,5)
18,62
n=
1,0228
n=18,20

20
21

Keterangan :
n = Besar sampel minimal
z1α/₂² = Nilai Zα = 1,96 pada α 0,05 dua arah
d = Nilai kesalahan absolut yang dapat ditoleransi
12% (0,12)
N = Besar populasi (35)
P = Nilai proporsi, karena tidak diketahui maka
dianggap 50% (0,5)
Dari perhitungan diperoleh nilai n = 18. Untuk menghindari
drop out sampel ditambah 10% dari sampel yaitu 18 + 2 = 20 .
Maka besar sampel minimal yang didapatkan setelah
penghitungan adalah sebanyak 20 orang. Teknik pengambilan
sampel pada penelitian ini adalah total sampling dari populasi
terjangkau, artinya semua pasien thalassemia mayor di RSUD H.
Abdul Manap Kota Jambi tahun 2017 yang memenuhi kriteria
inklusi akan dijadikan sampel dalam penelitian.

3.4 Kriteria Inklusi dan Kriteria Eksklusi


3.4.1 Kriteria Inklusi
1. Pasien yang terdiagnosis menderita thalassemia mayor yang
telah di diagnosa dengan tes DNA berumur 8-18 tahun.
2. Pasien yang bersedia menjadi responden.
3.4.2 Kriteria Eksklusi
1. Pasien yang tidak bersedia menjadi responden.
2. Pasien yang meninggal ketika penelitian.

3.5 Variabel Penelitian


3.5.1 Variabel Bebas
Variabel bebas dalam peneitian ini adalah tingkat kecerdasan
pada anak thalssemia mayor.
3.5.2 Variabel Terikat
Variabel terikat dalam penelitian ini kadar serum ferritin pada
pemeriksaan laboratorium pasien thalassemia.
22

3.6 Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional

Variabel Defenesi Skala Alat Ukur Hasil Ukur


Operasional Pengukuran

Varibel Bebas

Intellegence kecerdasan Interval CFIT h) 140-169 :


Quotiont tunggal dari Very
(IQ) setiap Superior

individu yang i) 120-139 :


pada dasarnya Superior
hanya
j) 110-119 :
bertautan
High
dengan aspek
Average
kognitif dari
setiap k) 90-109 :
Average
individu.

l) 80-89 :
Low
Average

m) 70-79 :
Borderline

n) 30-69 :
Mantally
Defective

Variabel Terikat

Serum Konsetrasi Rasio IMMULITE Dalam satuan


23

Ferritin ferritin dalam 2000 ng/ml


serum tubuh
Laki-laki : 30-
pasien
400 ng/ml

Perempuan : 13-150
ng/ml

3.7 Instrumen Penelitian


Pada penelitian ini instrumen yang digunakan ialah lembar
pengumpulan data untuk mencatat data mengenai hasil kadar serum
ferritin dan alat tes CFIT untuk mengukur tingkat kecerdasan (IQ) anak
Thalassemia.

3.8 Metode Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini
berupa data primer yang diperoleh dari hasil pemeriksaan kadar serum
ferritin dan data sekunder yang diperoleh melalui hasil pemeriksaan
Intellegence Quotiont (IQ) yang dilakukan oleh saya sendiri didampingi
psikolog dengan menggunakan lembaran CFIT (Culture Fair Intelligence
Test).

3.9 Cara Kerja


a. Pemeriksaan Serum Ferritin
Pemeriksaan serum ferritin dilakukan oleh laboratorium
Prodia Jambi dengan metode immunochemiluminescence
menggunakan alat IMMULITE 2000. Bahan yang digunakan
adalah darah vena. Darah diambil 2 mL dimasukkan ke dalam
tabung, tulis identitas pasien pada tabung. Kemudian disentrifuge
3000 rpm selama 15 menit untuk memisahkan serum plasma.
Aliquot serum/plasma diambil menjadi 2 sampel minimal 0,5 mL
untuk masing-masing cup fisher/tabung menggunakan mikropipet
dan diberi identitas pasien.
24

Langkah kerja :
1. Kalibrasi alat Immulite 2000
2. Melakukan control
3. Pemeriksaan sampel

Cup fisher / tabung yang telah berisi serum diletakkan di


dalam disk alat immulite, kemudian kerjakan sesuai dengan
program pengerjaan sampel pada alat immulite.

Hasil pemeriksaan dikirimkan kepada peneliti dalam waktu


maksimal satu minggu pasca pengambilan sampel.

b. Pemeriksaan IQ – CFIT
Pemeriksaan IQ ini akan dilakukan oleh peneliti dan dibantu
mahasiswa psikologi FKIK UNJA dengan membagian cetakan
buku berwarna yang telah disediakan.
Langkah Kerja :
1. Kumpulkan sampel berumur 8 tahun sampai dengan 18 tahun
di ruangan yang telah ditentukan
2. Peneliti dan mahasiswa psikologi membagikan buku CFIT
kepada sampel
3. Sampel intruksikan untuk mengikuti tes dalam waktu 12 menit
4. Kemudian lembar jawaban dikumpulkan untuk dilihat hasil tes
5. Penilaian hasil tes.

3.10 Pengolahan dan Analisis Data


3.10.1 Pengolahan Data
Setelah data yang diperlukan dalam penelitian ini terkumpul,
maka dilakukan tahap pengolahan data melalui beberapa tahap
sebagai berikut :
a. Editing
Pada tahap ini peneliti akan melakukan pengecekan terhadap
kelengkapan data, kesinambungan data, dan kebenaran data
yang telah dikumpulkam dengan meneliti jawaban yang
25

didapatkan dari hasil pemeriksaan apakah data yang


terkumpul lengkap dan jelas.
b. Coding
Peneliti akan melakukan pengkodean data untuk
memudahkan dalam pengolahan data.
c. Entry data
Peneliti akan memasukkan data yang telah dilakukan coding
ke program komputer.
d. Cleaning
Setelah semua data dimasukkan peneliti akan mengecek
kembali untuk melihat apakah ada kesalahan seperti
pencatatan ganda, dan salah pengkodean lainnya sehingga
data siap untuk dianalisa berikutnya.

3.10.2 Analisis Data


a. Analisis Univariat
Analisis univariat untuk mendeskripsikan variabel bebas dan
terikat dan memberikan gambaran karakteristik subjek.
Variabel bebas dan terikat dideskripsikan dalam bentuk
numerik (nilai rerata beserta simpangan bakunya). Penyajian
hasil ini dalam bentuk tabel dan deskriptif.
b. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dimaksudkan untuk mengetahui hubungan
ataupun korelasi antara variabel dependen (Serum Ferritin)
dengan variabel independent (skor IQ). Sebelum dilakukan
uji hipotesis, dilakukan uji Kolmogorov Smirnof untuk
menguji homogenitas/sebaran data. Sebaran data dianggap
normal apabila nilai p>0,05. Bila sebaran data tidak normal,
maka dilakukan transformasi data terlebih dahulu sebelum
dilakukan uji hipotesis. Uji hipotesis yang digunakan adalah
uji korelasi Pearson (bila bermakna normal) dan uji korelasi
Spearmann (bila tidak bermakna normal) dengan derajat
kemaknaan p < 0,05.
26

3.11 Etika Penelitian


Dalam penelitian ini peneliti mengajukan surat permohonan izin untuk
mengambil data primer kepada pihak RSUD H. Abdul Manap Kota
Jambi. Pada saat pengumpulan data dan informasi, peneliti akan menjaga
kerahasiaan dan informasi yang tertera pada rekam medis pasien dengan
cara merahasiakan nama pasien dan mengganti dengan kode nomor
rekam medis pada lembar pengumpulan data.

3.12 Keterbatasan Penelitian


Keterbatasan penelitian ini, peneliti tidak dapat mengontrol usia
responden karena responden yang terbatas

3.13 Alur Penelitian


a. Pemilihan sampel
Sampel penelitian ini diperoleh dari pendataan jumlah pasien
thalassemia mayor di RSUD H. Abdul Manap yang memenuhi
kriteria Inklusi dan Eksklusi. Setelah didata peneliti menentukan
jumlah sampel minimal dengan rumus penelitian lameshow. Dari
perhitungan jumlah sampel minimal adalah 20. Sehingga didapatkan
jumlah keseluruhan 31 pasien. Sampel diminta untuk mengisi
informed concernt dan lembar penelitian. Kemudian sampel diminta
untuk melakukan tes IQ yang didampingi oleh tim psikologi sampai
memenuhi jumlah yang di butuhkan.kemudian hasil dikumpulkan,
diolah, dan ditabulasi serta dilakukan uji normalitas dengan uji
Kolmogorov snirnov bila varian normal dilakukan uji pearson dan
bila varian tidak normal dilakukan uji spearmann.

b. Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam pengumpulan sampel ini merupakan
data primer. Diperoleh dari responden yang memenuhi kriteria
inklusi dan ekslusi melalui kuesioner yang dibagikan pada sampel
thalassemia mayor. Sedangkan data yang didapat dari hasil
pengukuran IQ kemudian dikumpulkan dalam bentuk tabel dan
diolah dan dianalisis.
27

c. Pengolahan Data
Pengolahan dan analisa data dilakukan dengan menggunakan SPSS.
Pengolahan dan analisa data sebagai berikut.
1. Data dioleh dengan sistem tabulesi manual
2. Seluruh data diuji terlebih dahulu apakah terdistribusi normal
atau tidak dengan menggunakan uji Kolmogorov smirnof bisa
varian normal dilakukan uji pearson dan bila varian tidak normal
dilakukan uji spearman.
3. Dilakukan uji pearson untuk melihat hubungan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Pada penelitian ini pokok penelitian untuk melihat signifikansi dari
korelasi antara kadar serum ferritin dengan tingkat kecerdasan pada Pasien
thalassemia mayor di RSUD H. Abdul Manap Kota Jambi pada bulan
November 2017 – Maret 2018.
4.1.1 Karakteristik Responden
1. Karakteristik Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan hasil analisis, dapat dikelompokkan
tanggapan pasien mengenai jenis kelamin sebagai berikut:
Tabel 4.1 Jenis Kelamin Pasien

Jenis Kelamin Frekuensi %


Laki-laki 18 58%
Perempuan 13 42%
Jumlah 31 100%
Sumber: Data primer yang diolah 2020

Berdasarkan pada tabel di atas, pasien yang berjenis


kelamin laki-laki terdapat sebanyak 18 pasien (58%),
sementara yang berjenis kelamin perempuan terdapat sebanyak
13 pasien (42%). Hal ini menunjukkan bahwa sampel dalam
penelitian ini didominasi oleh pasien yang berjenis kelamin
laki-laki.

2. Karakteristik Pasien Berdasarkan Usia


Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat
dikelompokkan tanggapan pasien berdasarkan usia dengan
hasil sebagai berikut:

28
29

Tabel 4.2 Usia Pasien


Usia Frekuensi %
< 10 tahun 5 16%
11 - 15 Tahun 17 55%
>15 Tahun 9 29%
Jumlah 31 100%
Sumber: Data primer yang diolah 2020

Berdasarkan pada tabel di atas, dari 31pasien penelitian


bahwa terdapat sebanyak 5 pasien (16%) yang berusia kurang
dari 10 tahun. Kemudian terdapat sebanyak 17 pasien (55%)
yang berusia antara 11 hingga 15 tahun. Selanjutnya terdapat
sebanyak 9 pasien (29%) yang berusia lebih dari 15 tahun. Hal
ini menunjukkan pasien pada penelitian ini di dominasi oleh
pasien yang berusia antara 11 hingga 15 tahun.

3. Karakteristik Pasien Berdasarkan Pekerjaan Orang Tua


Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat
dikelompokkan tanggapan pasien berdasarkan pekerjaan orang
tua dengan hasil sebagai berikut:
Tabel 4.3 Pekerjaan Orang Tua Pasien
Pekerjaan Orang Tua Frekuensi %
PNS 4 13%
Swasta 7 23%
Petani 7 23%
Wirausaha 7 23%
Buruh 3 10%
Pedagang 3 10%
Jumlah 31 100%
Sumber: Data primer yang diolah 2020
30

Berdasarkan pada tabel di atas, dari 31 pasien penelitian


bahwa terdapat sebanyak 4 pasien (13%) yang orang tuanya
bekerja sebagai PNS. Kemudian terdapat sebanyak 7 pasien
(23%) yang orang tuanya bekerja swasta. Selanjutnya terdapat
sebanyak 7 pasien (23%) yang orang tuanya bekerja sebagai
petani. Sementara terdapat sebanyak 7 pasien (23%) yang
orang tuanya bekerja sebagai wirausaha. Lalu terdapat
sebanyak 3 pasien (10%) yang orang tuanya bekerja sebagai
buruh dan terdapat sebanyak 3 pasien (10%) yang orang
tuanya bekerja sebagai pedagang. Hal ini menunjukkan pasien
pada penelitian ini di dominasi oleh pasien yang orang tuanya
bekerja sebagai swasta, petani, dan wirausaha.

4. Karakteristik Pasien Berdasarkan Pendidikan Terakhir


Orang Tua
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat
dikelompokkan tanggapan pasien berdasarkan pendidikan
terakhir orang tua dengan hasil sebagai berikut:
Tabel 4.4 Pendidikan Terakhir Orang Tua Pasien
Pendidikan Terakhir Orang Tua Frekuensi %
SD 11 35%
SLTP 3 6%
SLTA 13 42%
DIII 1 3%
S1 4 13%
Jumlah 31 100%
Sumber: Data primer yang diolah 2020

Berdasarkan pada tabel di atas, dari 31 pasien penelitian


bahwa terdapat sebanyak 11 pasien (35%) yang orang tuanya
memiliki pendidikan terakhir SD. Kemudian terdapat sebanyak
31

3 pasien (6%) yang orang tuanya memiliki pendidikan terakhir


SLTP. Selanjutnya terdapat sebanyak 13 pasien (42%) yang
orang tuanya memiliki pendidikan terakhir SLTA. Lalu
terdapat sebanyak 1 pasien (3%) yang orang tuanya memiliki
pendidikan terakhir DIII atau diploma dan terdapat sebanyak 4
pasien (13%) yang orang tuanya memiliki pendidikan terakhir
S1. Hal ini menunjukkan pasien pada penelitian ini di dominasi
oleh pasien yang orang tuanya memiliki pendidikan terakhir
SLTA.

4.1.2 Deskripsi Variabel


1. Variabel Kadar Serum Ferritin
Ferritin adalah protein penyimpanan zat besi utama
yang ditemukan pada jaringan tubuh manusia.Peningkatan
kadar ferritin menjadi penanda penyakit karsinoma metastatik,
leukimia, limfoma, penyakit hati (sirosis hepatis, kanker hati),
zat besi berlebih (hemokromatosis), hemosiderosis, anemia
(hemolitik, pernisiosa, thalassemia), infeksi, inflamasi kronis
dan akut (penyakit ginjal, neuroblastoma), dan
kerusakanjaringanKadar serum ferritin yang tinggi yang
ditemukan bersamaan dengan saturasi transferrin yang tinggi,
menandakan seorang individu mengalami kelebihan besi.
Berdasarkan hasil kuesioner dan wawancara dengan pasien,
maka variabel kadar serum ferritin didapatkan seperti pada tabel
berikut:
Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Variabel Serum Ferritin
Serum Ferritin
Rata-rata 3721.61
Standar Deviasi 2172.79
Maksimum 11568
Minimum 553
Jumlah Sampel 31

Sumber: Data primer yang diolah 2020


32

Berdasarkan tabel di atas dengan jumlah sampel sebesar


31 pasien, dapat diketahui bahwa rata-rata kadar serum ferritin
yang digunakan pasien adalah sebesar 3721,61 dengan standar
deviasi sebesar 2172,79. Sementara kadar serum ferittin
tertinggi yang digunakan oleh pasien sebesar 11568 dan kadar
serum ferritin terendah sebesar 553.

2. Variabel Inteligentie Quotient (IQ)


Tes Intelegensi ialah suatu teknik atau alat yang
digunakan untuk mengungkap taraf kemampuan dasar
seseorang yaitu kemampuan dalam berfikir, bertindak dan
menyesuaiakan diri, secara efektif. Nilai tes intelegensi sering
dihubungkan dengan unsur usia, sehingga menghasilkan IQ
(satuan intelegensi) untuk mengetahui bagaimana kedudukan
relative orang yang bersangkutan bila dibandingkan dengan
sekelompok umur sebayanya ini dapat di ungkapkan dengan
tes.
Berdasarkan hasil kuesioner dan wawancara dengan
pasien, maka variabel kadar serum ferritin didapatkan seperti
pada tabel berikut:
Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Indeks Prestasi Kumulatif Pasien
IQ
Rata-rata 82.97
Standar Deviasi 8.89
Maksimum 111
Minimum 59
Jumlah Sampel 31

Sumber: Data primer yang diolah 2020

Berdasarkan tabel di atas dengan jumlah sampel sebesar


31pasien, dapat diketahui bahwa rata-rata IQ pasien adalah
sebesar 82,97 dengan standar deviasi sebesar 8,89. Sementara
IQ tertinggi pasien sebesar 111 dan IQ terendah sebesar 59.
33

4.1.3 Analisis Bivariat


1. Hubungan Serum Ferritin dengan Tingkat Kecerdasan
Analisis yang digunakan untuk mengetahui hubungan
antara serum ferritin dengan tingkat kecerdasan adalah
menggunakan korelasi Pearson, dengan syarat bahwa data yang
digunakan berdistribusi normal.Untuk itu sebelum dilakukan
analisis korelasi Pearson maka perlu dilakukan pengecekan
distribusi dari data.Pengecekan normalitas data dilakukan
dengan uji Kolmogorov Smirnov. Konsep dasar dari uji
normalitas Kolmogorov Smirnov adalah dengan
membandingkan distribusi data (yang akan diuji normalitasnya)
dengan distribusi normal baku dan merupakan uji beda antara
data yang diuji normalitasnya dengan data normal baku.
Hipotesis yang diajukan untuk uji normalitas:
H0 : Data berdistribusi normal
H1 : Data tidak berdistribusi normal
α =5%

Kriteria Uji:
1. Terima Ho jika p-value (sig) >0,05
2. Tolak Ho jika p-value (sig) ≤0,05

Hasil pengujian normalitas data terhadap kadar serum dan


tingkat kecerdasan (IQ) adalah sebagai berikut:
34

Tabel 4.7 Hasil Uji Normalitas Menggunakan Kolmogorov Smirnov

Kadar Serum IQ
N 31 31
Normal Parametersa,,b Mean 3721.6129 82.9677
Std. Deviation 2172.79325 8.88626
Most Extreme Differences Absolute .115 .159
Positive .115 .157
Negative -.072 -.159
Kolmogorov-Smirnov Z .639 .885
Asymp. Sig. (2-tailed) .809 .413
Sumber : Data yang Diolah, 2020

Berdasarkan tabel 8 dapat dilihat bahwa p-value (sig.)


bernilai 0,809 untuk kadar serum dan 0,413 untuk IQ. Karena
nilai p-value (sig.) bernilai lebih besar dari alpha (0,05) maka
Ho diterima. Artinya data kadar serum dan IQ berasal dari
populasi yang berdistribusi normal. Oleh karena itu data
tersebut memenuhi asumsi normalitas.

Langkah selanjutnya adalah melakukan analisis Korelasi


Pearson, dimana hipotesis perhitungan statistik inferensial
untuk melihat korelasi antara serum ferritin dengan tingkat
kecerdasan pada pasein thalassemia mayor adalah sebagai
berikut:
H0 : ρ = 0 ( Tidak terdapat hubungan antara serum ferritin
dengan tingkat kecerdasan)
H1 : ρ ≠ 0 (Terdapat hubungan antara serum ferritin dengan
tingkat kecerdasan)
α=0.05
Hasil pengujian terhadap hubungan antara aktivitas fisik
dan indeks prestasi kumulatif pasien adalah sebagai berikut:
35

Tabel 4.8 Korelasi Serum Ferritin dengan Tingkat Kecerdasan

Kadar Serum IQ
Kadar Serum Pearson Correlation 1 .038**
Sig. (2-tailed) .840
N 31 31
IQ Pearson Correlation .038** 1
Sig. (2-tailed) .840
N 31 31
Sumber : Data yang Diolah, 2020
Kriteria pengujian akan terima H1 apabila signifikansi <
α, dan terima H0 jika signifikansi > α. Berdasarkan uji statistik
Korelasi Pearson didapatkan dari tabel di atas bahwa nilai
signifikansi yaitu sebesar 0,840> α =0,05, maka H0 diterima
artinya tidak terdapat hubungan yang bermakna antara serum
ferritin dengan tingkat kecerdasan pada pasien thalassemia
mayor di RSUD H. Abdul Manap Kota Jambi.
Dari tabel tersebut juga di dapat bahwa korelasi Pearson
antara serum ferritin dengan tingkat kecerdasan memiliki nilai
0,038. Hal ini menunjukkan hubungan antara serum ferritin
dengan tingkat kecerdasan adalah hubungan yang rendah sekali.

4.2. Pembahasan
4.2.1 Gambaran karakteristik Subjek Penelitian
Berdasarkan jenis kelamin, terdapat 58% penderita
thalasemia berjenis kelamin laki-laki dan 42% berjenis kelamin
perempuan. Jumlah penderita laki-laki lebih banyak daripada
jumlah penderita perempuan. Hasil ini sesuai dengan penelitian
Rejeki tahun 2012 di Yayasan Thalassemia Indonesia cabang
Banyumas yang melaporkan bahwa penderita thalassemia berjenis
kelamin lakilaki sebanyak 51,6% dan berjenis kelamin perempuan
sebanyak 48,4%.36 Usia anak saat penelitian berkisar antara 8
tahun sampai dengan 18 tahun dengan rata-rata usia 12,5 (12
tahun 5 bulan). Hasil penelitian ini tidak berbeda jauh dengan
36

penelitian Sivashankara, di Dharwad Karnataka yang meneliti


penderita thalassemia berusia 3 bulan sampai 15 tahun. Rata-rata
umur penderita 12,28 tahun ini berkaitan dengan jenis thalassemia
yang diderita, yaitu thalassemia mayor karena sebagian besar
sudah terdeteksi sejak usia balita.37

Berdasarkan pendidikan dan pekerjaan orang tua


responden dapat dilihat jika latar belakang orang tua
mempengaruhi kualitas hidup anak. Temuan ini sejalan dengan
penelitian Ghafoor, Leghari, Mustafa, dan Naveed di Pakistan dan
yang menemukan bahwa orang tua pasien talasemia memiliki
pengetahuan yang kurang mengenai talasemia pengetahuan orang
tua yang ikut dalam penelitian kurang (42,5%).38 Menurut teori
Notoatmodjo, tingkat pendidikan sangat mempengaruhi terdapat
pengetahuan. Dimana orang tua yang memiliki pengetahuan yang
baik cenderung memiliki anak dengan kualitas hidup yang normal
sementara orang tua dengan pengetahuan yang kurang cenderung
memiliki anak dengan kualitas hidup yang berisiko.39

4.2.2 Gambaran Serum Ferritin


Feritin serum salah satu petanda iron overload, berguna
dalam memonitor perubahan besi tubuh. Untuk memperkirakan
tingkat toksisitas zat besi, titik potong dimulai dari 1000 ng/mL.
Dari hasil penelitian rata-rata kadar serum ferritin yang digunakan
pasien adalah sebesar 3721,61 ng/mL Sementara kadar serum
ferittin tertinggi yang digunakan oleh pasien sebesar 11568
ng/mL dan kadar serum ferritin terendah sebesar 553ng/mL. Hal
ini menunjukkan serum ferritin pada penelitian ini lebih tinggi
dari nilai titik potongnya (1000 ng/mL) yang menunjukkan iron
overload yang tinggi akibat dari transfusi darah yang dilakukan
secara berulang.40 Nilai rerata serum ferritin pada penelitian ini
lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Bandyopadhyay dkk
dengan rerata kadar serum ferritin 1750 ng/mL. Pada penelitian
37

Cunningham dkk tahun 2004 juga memberikan hasil yang sama


yaitu rerata kadar serum ferritin 1696 ng/mL. 41 Hasil yang
berbeda didapatkan dari penelitian Choundry VP dkk di India
yang melaporkan bahwa rerata serum ferritin adalah 6723 ng/mL
lebih tinggi dari penelitian ini dan juga lebih tinggi dari nilai
ferritin normal yang direkomendasikan, yaitu kadar serum ferritin
pria berkisar dari 12-300 ng/mL dan untuk wanita berkisar dari
12-150 ng/mL.42

4.2.3 Gambaran Tingkat Kecerdasan


Hasil penelitian ini menunjukan, distribusi frekuensi tingkat
kecerdasan pada pasien thalassemia mayor dapat diketahui bahwa
rerata IQ pasien adalah sebesar 83,2 dengan standar deviasi
sebesar 10,7. Sementara IQ tertinggi pasien sebesar 112 dan IQ
terendah sebesar 59. Hasil penelitian ini jalan dengan Cynthia et
al dimana hasil penelitian menunjukan dari total 70 subjek dengan
prevelensi skor IQ tidak normal (< 85) adalah 37.1%. 6 dari 70
subjek adalah keterbelakangan mental ringan dan 2 dari 70 subjek
adalah keterbelakangan mental dengan terata IQ sebesar 88,8
dengan standard deviasi sebesar 16,9.43

4.2.4 Hubungan Antara Serum Ferritin dengan Tingkat


Kecerdasan Pasien
Untuk menganalisis hubungan antara serum ferritin dengan
tingkat kecerdasan pasien digunakan korelasi Pearson. Penelitian
ini menguji hipotesis null (H0) bahwa tidak terdapat hubungan
antara serum ferritin dengan tingkat kecerdasan pasien (dengan
alpha 5%). Berdasarkan uji statistik korelasi Pearson didapatkan
nilai p-value yaitu sebesar 0,515. Hasil ini menunjukkan bahwa p-
value > alpha yang mengakibatkan H0 diterima dan H1 ditolak.
Hal ini berarti tidak terdapat hubungan yang bermakna antara
kadar serum ferritin dengan tingkat kecerdasan pasien thalassemia
mayor di RSUD H. Abdul Manap Kota Jambi. Hasil pengujian ini
38

juga menunjukkan bahwa besar korelasi Pearson adalah sebesar


0,515 yang berarti bahwa terdapat hubungan yang rendah sekali
berarti antara kadar serum ferritin dengan tingkat kecerdasan
pasien thalassemia mayor. Hasil pengujian ini sejalan dengan
penelitian Septiana et al yang menyatakan bahwa tidak ada
hubungan yg signifikan diantara level serum feritin dengan IQ.44
Kemungkinan karena kurangnya tanda-tanda hemosiderosis di
otak yang disebabkan oleh kelebihan zat besi. Penelitian
sebelumnya melaporkan bahwa subjek ß-thalassemia mayor
berusia > 16 tahun dengan tanda hemosiderosis sistemik memiliki
skor tes neuropsikologis yang jauh lebih rendah. Selain itu, kadar
feritin serum juga memiliki spesifisitas yang rendah sebagai
penanda hemosiderosis karena kadarnya sangat rentan terhadap
infeksi. dan kondisi inflamasi. Hasil penelitian ini mirip dengan
Monastero et al, yang menunjukkan tidak ada hubungan yang
signifikan antara kadar feritin dan fungsi kognitif pada ß-
thalassemia mayor.45 Hal ini didukung juga dengan penelitian
Sungthong et al, bahwa fungsi kognitif meningkat dengan
meningkatnya konsentrasi hemoglobin pada anak dengan
defisiensi zat besi, namun tidak ada perubahan konsentrasi
hemoglobin pada anak dengan kadar serum ferritin normal.46
demikian juga dengan penelitian Chowdhury et al, bahwa tahap
penipisan zat besi ini dapat dikaitkan dengan keparahan gangguan
kognitif non-verbal dan serum ferritin tersebut bias menjadi
penanda sensitive untuk memprediksi perkembangan dari kognitif
non-verbal.47
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan yang telah diuraikan mengenai
hubungan antara serum ferritin dengan tingkat kecerdasan pada pasein
thalassemia mayor di RSUD H. Abdul Manap Kota Jambi, dapat
disimpulkan bahwa:
1. Tidak ada hubungan serum ferritin dengan tingkat kecerdasan pada
pasien thalassemia mayor.
2. Gambaran rata-rata kadar serum ferritin yang digunakan oleh
pasien sebesar 3657,1 dan gambaran rata-rata tingkat kecerdasan
atau IQ yang dimiliki pasien adalah sebesar 83,2.
5.2 Saran
Berdasarkan pengalaman saat melakukan penelitian dan analisa
terhadap hasil penelitian, peneliti memberikan saran sebagai berikut:
1. Bagi RSUD H. Abdul Manap Kota Jambi
Diharapkan hasil penelitian dapat membantu dokter untuk
melakukan pemantauan periodik terhadap kadar serum ferritin dan
dapat menambah informasi lengkap pasien untuk skor IQ.
2. Bagi pasien
Diharapkan pasien bisa mengetahui dan paham akan keterkaitan
antara kadar serum ferritin dan tingkat kecerdasan.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Diharapkan pada penelitian selanjutnya agar melakukan penelitian
mengenai serum.

44

Anda mungkin juga menyukai