Anda di halaman 1dari 18

BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Rasa nyeri merupakan masalah yang umum terjadi di masyarakat dan
salah satu penyebab paling sering pasien datang berobat ke dokter karena rasa
nyeri mengganggu fungsi sosial dan kualitas hidup penderitanya. Hasil penelitian
The U.S. Centre for Health Statistic selama 8 tahun menunjukkan 32%
masyarakat Amerika menderita nyeri yang kronis dan hasil penelitian WHO yang
melibatkan lebih dari 25.000 pasien dari 14 negara menunjukkan 22% pasien
menderita nyeri, minimal selama 6 bulan. Pada populasi orang tua, prevalensi
nyeri meningkat menjadi 50%.
Rasa nyeri akan disertai respon stress, antara lain berupa meningkatnya
rasa cemas, denyut jantung, tekanan darah, dan frekuensi napas. Nyeri yang
berlanjut atau tidak ditangani secara kuat, memicu respon stress yang
berkepanjangan, yang akan menurunkan daya tahan tubuh dengan menurunkan
fungsi imun, mempercepat kerusakan jaringan, laju metabolisme, pembekuan
darah dan retensi cairan, sehingga akhirnya akan memperburuk kualitas kesehatan
(Hartwig & Wilson, 2006).
Nyeri adalah suatu sensasi yang tidak menyenangkan dan bisa dirasakan
sebagai rasa sakit. Nyeri dapat timbul di bagian tubuh manapun sebagai respon
terhadap stimulus yang berbahaya bagi tubuh, seperti suhu yang terlalu panas atau
terlalu dingin, tertusuk benda tajam, patah tulang, dan lain-lain. Rasa nyeri timbul
apabila terjadi kerusakan jaringan akibat luka, terbentur, terbakar, dan lain
sebagainya. Hal ini akan menyebabkan individu bereaksi dengan cara
memindahkan posisi tubuhnya (Guyton & Hall, 1997).
Pada dasarnya, rasa nyeri merupakan mekanisme pertahanan tubuh.
Meskipun nyeri berguna bagi tubuh, namun dalam kondisi tertentu, nyeri dapat
menimbulkan ketidaknyamanan bahkan penderitaan bagi individu yang
merasakan sensasi ini. Sensasi nyeri yang terjadi mendorong individu yang
bersangkutan untuk mencari pengobatan, antara lain dengan mengkonsumsi obat-
obatan penghilang rasa nyeri (Analgetik). Analgetik adalah obat yang digunakan
untuk menghambat atau mengurangi rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran
Saat ini telah banyak beredar obat-obatan sintetis seperti obat anti inflamasi non
steroid (AINS). Sebanyak 25% obat yang dijual bebas di pasaran adalah analgetik
asetaminofen. Obat ini banyak dipakai untuk bayi, anak-anak, dewasa, dan orang
lanjut usia untuk keluhan nyeri ringan dan demam (Kee, 1994).

B. TUJUAN
1. Untuk mengetahui efek obat analgetik yang paling efektif dari obat
asam asetat,Na CMC,asam mafenamat,natrium diklofenak,kalium
diklofenak,Meloxicam,paracetamol
2. Untuk mengetahui pengaruh metode geliat terhadap pengujian
analgetik pada hewan uji
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Nyeri

Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak

menyenangkan dan berkaitan dengan kerusakan jaringan. Nyeri bersifat

individu dan ambang nyeri pada setiap orang berbeda-beda (Roach, S. S.,

2004). Ambang nyeri didefinisikan sebagai tingkat (level) dimana nyeri

dirasakan untuk pertama kali. Nyeri timbul jika rangsang mekanik, termal,

kimia, atau listrik melampaui suatu nilai ambang tertentu (nilai ambang

nyeri). Adanya kerusakan jaringan akan mengakibatkan pembebasan

mediator nyeri yang menyebabkan perangsangan reseptor nyeri

(Mutschler, 1999).

Menurut tempat terjadinya, nyeri terbagi atas nyeri somatik dan

nyeri dalam (viseral). Dikatakan nyeri somatik apabila rasa nyeri berasal

dari kulit, otot, persendian, tulang, atau dari jaringan ikat. Nyeri somatik

dibagi atas dua kualitas yaitu nyeri permukaan dan nyeri dalam. Disebut

nyeri permukaan apabila rangsang bertempat di dalam kulit, sedangkan

disebut nyeri dalam apabila rangsang berasal dari otot, persendian tulang

dan jaringan ikat. Nyeri dalam (viseral) atau nyeri perut terjadi antara lain

pada tegangan organ perut, kejang otot polos, aliran darah kurang dan

penyakit yang disertai radang (Mutschler, 1999).

Nyeri dapat dibedakan berdasarkan durasi (waktu) timbulnya nyeri


yaitu: nyeri akut dan nyeri kronik. Nyeri akut merupakan sinyal bahaya

yang diperoleh dari sumber yang spesifik dan dapat diidentifikasi. Nyeri

akut menimbulkan refleks untuk menghindari sumber nyeri. Nyeri kronik

tidak memberi perlingungan dan tidak memberikan peringatan terhadap

jaringan yang terluka. Nyeri kronik biasanya terjadi karena kerusakan

syaraf, seperti: luka pada otak, pertumbuhan tumor, respon abnormal ka

rena kerusakan sistem saraf pusat (Anonim, 2001).

Nyeri berdasarkan intensitasnya dibedakan menjadi 4 jenis yaitu:

nyeri ringan, nyeri sedang, nyeri berat, dan nyeri kanker. Nyeri ringan

sampai nyeri sedang misalnya nyeri sakit kepala, gigi, otot, sendi

(rematik), perut, haid, nyeri akibat benturan atau kecelakaan (trauma)

efektif diobati dengan menggunakan analgetika perifer. Nyeri berat

misalnya nyeri setelah pembedahan atau fraktur

(patah tulang) yang lebih efektif bila diobati menggunakan analgetika

narkotik atau opioid (Tjay dan Rahardja, 2002).

2. Definisi Analgetik

Analgetika adalah golongan obat-obatan yang memiliki aktivitas

menekan atau mengurangi rasa nyeri. Efek ini dapat dicapai dengan

berbagai cara, seperti menekan kepekaan reseptor terhadap rangsang nyeri

mekanik, termik listrik, atau kimiawi di pusat atau dengan cara

menghambat pembentukan prostaglandin sebagai mediator sensasi nyeri


(Anonim, 1991). Obat ini dapat digunakan untuk menghilangkan rasa

nyeri tanpa menghilangkan kesadaran (Tjay dan Rahardja, 2002).

Rasa nyeri dapat dilawan dengan beberapa cara yakni dengan (1)

merintangi pembentukan rangsangan dalam reseptor-reseptor nyeri perifer

oleh analgetika perifer atau oleh anestetika lokal, (2) merintangi

penyaluran rangsangan nyeri dalam saraf-saraf sensoris, misalnya dengan

anestetika lokal, (3) blokade dari pusat nyeri dalam sistem saraf sentral

dengan analgetika sentral (narkotika) atau dengan anestetika umum (Tjay

dan Raharja, 2002).

Menurut Roach, S. S. (2004), obat yang digunakan dalam

mengatasi nyeri terdiri dari dua kelompok yaitu analgetika non-narkotik

dan analgetika narkotik.

a. Analgetika non-narkotik

Obat-obat ini meringankan rasa nyeri tanpa menurunkan

kesadaran dan tidak menyebabkan ketergantungan seperti penggunaan

analgetika narkotik. Analgetika non-narkotik terdiri dari senyawa

golongan salisilat, non-salisilat (seperti asetaminophen), dan nonsteroidal

anti-inflamatory drugs (NSAIDs). Obat ini digunakan untuk mengatasi

nyeri ringan hingga sedang (Roach, S. S., 2004).

Contoh obat analgetik non narkotik yang digunakan dalam

percobaan ini adalah Asam Mefenamat, Natrium Diklofenak, Kalium

Diklofenak, Meloxicam, dan Paracetamol.


a. Asam Mefenamat

Asam mefenamat adalah salah satu jenis obat yang masuk dalam

golongan Obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS). Obat ini digunakan

untuk menghilangkan rasa sakit yang ringan hingga sedang, seperti pada

nyeri otot, kram menstruasi, sakit kepala, dan sakit gigi. Mekanisme kerja

asam mefenamat yaitu dengan cara menghalangi efek enzim yang

disebut cyclooxygenase (COX). Enzim ini membantu tubuh untuk

memproduksi bahan kimia yang disebut prostaglandin.Prostaglandin

ini yang menyebabkan rasa sakit dan peradangan. Dengan

menghalangi efek enzim COX, maka prostaglandin yang diproduksi akan

lebih sedikit, sehingga rasa sakit dan peradangan akan mereda atau

membaik.

b. Natrium Diklofenak

Natrium diklofenak mempunyai rumus molekul

C14H10Cl2NNaO2 dan bobot molekul 318,3 g/ml. Natrium diklofenak

memiliki nama struktural natrium2-[2-(2,6-dikloroanilin)fenil] asetat dan

nama dagang Voltaren®, Voltarol®,Diclon®, Diclofex®, Difene®,

Cataflam®, Rhumalgan®, Solaraze®, dan Abitren®. Pemeriannya

adalah kristal putih, tidak berbau, dan sedikit higroskopis. Natrium

diklofenak memiliki titik lebur 283ºC-285ºC. Natrium diklofenak larut

dalam alkohol, larut dalam air dengan kelarutan 14,18 mg/ml, praktis

tidak larut dalam eter, larut dalam metil alkohol (Lund, 1994). Nilai pH

dari larutan 1% natrium diklofenak dalam air adalah 7,0-8,5 (Sweetman,


2009).

Natrium diklofenak adalah agen Non-steroidal anti-inflammatory

drug (NSAID) yang umum digunakan dan sangat efektif sebagai

analgetik. Natrium diklofenak digunakan untuk kondisi akut dari nyeri,

gangguan muskuloskeletal dan arthritis. Mekanisme kerjanya dengan

menghambat enzim siklooksigenase (COX), sehingga sintesis

prostaglandin dihambat. Umumnya bersifat anti- inflamasi, analgetik,

dan antipiretik. Efek antipiretiknya baru terlihat pada dosis yang lebih

besar daripada efek analgetiknya, dan relatif lebih toksik daripada

antipiretik klasik. Absorbsi natrium diklofenak melalui saluran cerna

berlangsung cepat. Obat ini terikat 99% pada protein plasma dan

mengalami metabolisme lintas pertama di hati sebesar 40-50%.

Walaupun waktu paruh singkat yakni 1-3 jam, natrium diklofenak

diakumulasi di cairan sinovial, sehingga efek terapi di

sendi jauh lebih panjang dari waktu paruh obat tersebut. Efek samping

yang lazimadalah mual, gastritis, eritema kulit, dan sakit kepala sama

seperti obat NSAID, sehingga pemakaian obat ini harus berhati-hati pada

penderita tukak lambung (Wilmana, 1995).

c. Kalium Diklofenak

Kalium diklofenak merupakan Nonsteroidal Anti Inflammatory

Drug (AINS) yang banyak digunakan untuk penyakit–penyakit seperti

kerusakan musculoskeletal, arthritis, sakit gigi, dan dysmenorrheal

sebagai penghilang rasa sakit dan inflamasi. Diklofenak merupakan obat


Non Steroidal Anti Inflammatory (AINS) dengan efek antIIInflamasi,

analgesik dan antipiretik yang lebih baik dari NSAID lainnya. Diklofenak

bekerja dengan cara menghambat enzim cyclooxygenase 2 (COX 2).

Seperti kebanyakan AINS lainnya, diklofenak juga dikenal dapat

meningkatkan resiko pendarahan pada gastrointestinal dan efek samping

kardiovaskular akan tetapi diklofenak memiliki indeks terapi yang lebih

tinggi dibandingkan dengan AINS lainnya.

d. Meloxicam

Meloxicam memiliki nama kimia 4-Hidroksi-2-metil-N-(5-metil-

tiazol)-2H-1,2-benzotiazin-3-karboksamida 1,1-dioksi(C14H13N3O4S2).

Berat molekul 351,4 pKa 1 1,1 dan pKa 2 4,2 dan koefisian partisi dalam

n-oktanol/air 3,43 (Moffat et al., 2005). Meloxicam merupakan serbuk

berwarna kuning, praktis tidak larut air, sedikitlarut dalam aseton, larut

dalam dimetilformamida, sangat sedikit larut dalam etanol 96 % dan

dalam mentanol (Vallender et al., 2009).

Meloxicam adalah salah satu obat anti inflamasi non-steroid

(NSAID). Obat ini umumnya diindikasikan pada terapi simtomatik

berbagai jenis rematik, baik yang artikular maupun yang non artikular,

misalnya: artritis rematoid, osteoarthritis. Penggunaannya dalam jangka

panjang menyebabkan efek samping seperti perforasi gastrointestinal,

ulcer, bahkan pendarahan.

e. Paracetamol

Asetaminofen (parasetamol) mempunyai daya kerja analgesik,


antipiretik, tidak mempunyai daya kerja anti radang dan tidak

menyebabkan iritasi serta peradangan lambung (Sartono,1993). Hal ini

disebabkan parasetamol bekerja pada tempat yang tidak terdapat peroksid

sedangkan pada tempat inflamasi terdapat lekosit yang melepaskan

peroksid sehingga efek anti inflamasinya tidak bermakna. Parasetamol

berguna untuk nyeri ringan sampai sedang, seperti nyeri

kepala, mialgia, nyeri paska melahirkan dan keadaan lain (Katzung,

1992).

Parasetamol menghambat siklooksigenase sehingga konversi asam

arakhidonat menjadi prostaglandin terganggu. Setiap obat menghambat

siklooksigenase secara berbeda (Wilmana, 1995). Parasetamol

menghambat siklooksigenase pusat lebih kuat dari pada aspirin, inilah

yang menyebabkan parasetamol menjadi obat antipiretik yang kuat

melalui efek pada pusat pengaturan panas. Parasetamol

hanya mempunyai efek ringan pada siklooksigenase perifer

(Diphalma,1986). Inilah yang menyebabkan parasetamol hanya

menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri ringan sampai sedang.

Parasetamol tidak mempengaruhi nyeri yang ditimbulkan efek

langsung prostaglandin, ini menunjukkan bahwa parasetamol

menghambat sintesa prostaglandin dan bukan blokade langsung

prostaglandin. Obat ini menekan efek zat pirogen endogen dengan

menghambat sintesa prostaglandin, tetapi demam yang ditimbulkan

akibat pemberian prostaglandin tidak dipengaruhi, demikian pula


peningkatan suhu oleh sebab lain, seperti latihan fisik (Willmana, 1995).

b. Analgetika narkotik

Analgetik narkotik disebut juga opioida, adalah zat yang bekerja

terhadap reseptor opioid khas di sistem saraf pusat, hingga persepsi nyeri

dan respons emosional terhadap nyeri berkurang (Tjay dan Rahardja,

2002).

Analgetika kuat diindikasikan pada kondisi nyeri yang sangat

kuat. Di sini terutama nyeri akibat kecelakaan, nyeri karena operasi, dan

nyeri tumor (Mutschler, 1999).

3. Hewan Uji

Hewan percobaan atau hewan laboratorium adalah hewan yang

sengaja dipelihara dan diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model,

dan juga untuk mempelajari dan mengembangkan berbagai macam bidang

ilmu dalam skala penelitian atau pengamatan laboratorik. Animal model

atau hewan model adalah objek hewan sebagai imitasi (peniruan)

manusia (atau spesies lain), yang digunakan untuk menyelidiki fenomena

biologis ataupatobiologis (Hau & Hoosier Jr., 2003).

Rustiawan menguraikan beberapa alasan mengapa hewan

percobaan tetap diperlukan dalam penelitian khususnya di bidang

kesehatan, pangan dan gizi antara lain:

1. Keragaman dari subjek penelitian dapat diminimalisasi,

2. Variabel penelitian lebih mudah dikontrol

3. Daur hidup relatif pendek sehingga dapat dilakukan penelitian yang


bersifat multigenerasi,

4. Pemilihan jenis hewan dapat disesuaikan dengan kepekaan hewan

terhadap materi penelitian yang dilakukan,

5. Biaya relatif murah,

6. Dapat dilakukan pada penelitian yang berisiko tinggi,

7. Mendapatkan informasi lebih mendalam dari penelitian yang dilakukan

karena kita dapat membuat sediaan biologi dari organ hewan yang

digunakan,

8. Memperoleh data maksimum untuk keperluan penelitian simulasi, dan

9. Dapat digunakan untuk uji keamanan, diagnostik dan toksisitas

Berdasarkan tujuan penggunaan hewan uji, maka hewan uji dapat

diklasifikasikan menjadi :

1. Exploratory (penyelidikan) Hewan Uji ini digunakan untuk memahami

mekanisme biologis, apakah termasuk mekanisme dasar yang normal

atau mekanisme yang berhubungan dengan fungsi biologis yang

abnormal.

2. Explanatory (penjelasan) Hewan Uji ini digunakan untuk memahami

lebih banyak masalah biologis yang kompleks.

3. Predictive (perkiraan) Hewan Uji ini digunakan untuk menentukan dan

mengukur akibat dari perlakuan, apakah sebagai cara untuk pengobatan

penyakit atau untuk memperkirakan tingkat toksisitas suatu senyawa

kimia yang diberikan.

Agar tujuan dari percobaan tercapai dengan baik, secara efektif dan
efisien maka didalam memilih hewan percobaan penting untuk

mempertimbangkan beberapa faktor berikut

a. Apakah hewan percobaan tersebut memiliki fungsi fisiologi,

metabolik dan prilaku serta proses penyakit yang sesuai dengan

subyek manusia atau hewan lain dimana hasil penelitian tersebut akan

digunakan

b. Apakah dari sisi karakteristik biologi maupun prilaku hewan tersebut

cocok dengan rencana penelitian atau percobaan yang dilakukan

(misalnya cara penanganan, lama hidup, kecepatan berkembang biak,

tempat hidup dsb.). hal ini sangat berguna alam pelaksanaan penelitian

atau percobaan dengan hewan

c. Apakah tinjauan kritis dari literatur ilmiah menunjukkan spesies

tersebut telah memberikan hasil yang terbaik untuk penelitian sejenis

atau termasuk hewan yang paling sering digunakan untuk penelitian

yang sejenis.

d. Apakah spesimen organ atau jaringan yang akan digunakan dalam

penelitian itu mencukupi pada hewan tersebut dan dapat diambil

dengan prosedur yang memungkinkan.

e. Apakah hewan yang akan digunakan dalam penelitian memiliki

standar yang tinggi baik secara genetik maupun mikrobiologi.

Pengujian dilakukan terhadap mencit putih jantan (Mus musculus)

karena mencit memiliki banyak keunggulan sebagai hewan percobaan

yaitu siklus hidup yang relatif pendek, variasi sifat-sifatnya


tinggi dan mudah dalam penanganannya. Berat badan bervariasi, tetapi

umumnya pada umur empat minggu berat badan mencapai 18-20 g. Mencit

jantan dewasa memiliki berat 20-40 g (Fransius, 2008).

4. Penggunaan Larutan Asam Asetat dan Na. CMC

Asam asetat adalah senyawa asam organik yang berfungsi sebagai iritan

yang dapat merusak jaringan secara lokal dan menyebabkan nyeri rongga

perut pada pemberian intraperitonial (Wulandari dan Hendra, 2011). Asam

asetat digunakan sebagai penginduksi rasa nyeri pada pengujian efek

analgesik. Dalam pengujian ini, asam asetat menyebabkan peradangan pada

dinding rongga perut sehingga menimbulkan respon geliat berupa kontraksi

otot atau peregangan otot perut. Timbulnya respon geliat akan muncul

maksimal 5-20 menit setelah pemberian asam asetat dan biasanya geliat

akan berkurang 1 jam kemudian (Puente, et al., 2015).

Asam asetat secara tidak langsung bekerja dengan cara mendorong

pelepasan prostaglandin sebagai hasil produk dari COX ke dalam

peritoneum. Asam asetat juga dapat merangsang sensitifitas nosiseptif

terhadap obat NSAID, sehingga asam asetat cocok digunakan untuk

mengevaluasi aktivitas analgesik (Prabhu et al., 2011). Hal ini dikarenakan

adanya kenaikan ion H+ akibat turunnya pH dibawah 6 yang akan

menyebabkan luka pada abdomen sehingga menimbulkan rasa nyeri

(Wulandari dan Hendra, 2011). Penggunaan asam asetat sebanyak 10

ml/KgBB pada metode writhing test diketahui dapat menimbulkan


respon .geliat yang baik pada mencit mulai dari 5 menit pertama setelah

penyuntikan (Gupta, et al., 2015).

Na. CMC berfungsi sebagai Kontrol negatif yang digunakan sebagai

pembanding dan pelarut untuk pembuatan larutan kontrol positif dan

pembuatan larutan uji, yaitu untuk mengetahui jika Na. CMC sebagai

kelompok kontrol negatif tidak mempunyai pengaruh terhadap hewan uji

dan tidak mempunyai efek analgetik.

5. Metode Uji Analgesik

Metode yang digunakan untuk pengujian aktivitas analgesik suatu senyawa

meliputi metode rangsangan panas (Singh, et al., 2015), metode

rangsangan mekanik (Turner, 1965), metode rangsangan listrik (Nilsen,

1961), dan metode rangsangan kimia (Parmar dan Prakash, 2006).

a. Metode Rangsangan Panas

Metode ini cocok digunakan untuk mengevaluasi analgesik sentral

(Gupta, et al., 2015). Prinsip pada metode ini adalah menggunakan

rangsangan panas sebagai penginduksi rasa nyeri. Hewan percobaan

diletakkan diatas pelat panas (hot plate) dengan suhu tetap, yaitu 55℃.

pada hewan percobaan akan memberikan respon terhadap nyeri dalam

bentuk menjilat kaki belakang atau loncat (Puspitasari, et al., 2003).

Selang waktu antara pemberian stimulus nyeri dan terjadinya respon

disebut waktu reaksi. Peningkatan waktu reaksi ini dapat dijadikan

parameter untuk mengevaluasi aktivitas analgesik (Adeyemi, et al.,

2002).
b. Metode Rangsangan Mekanik

Metode ini dilakukan dengan menggunakan tekanan sebagai

penginduksi nyeri. Penggunaan rangsangan mekanik dapat digunakan

pada hewan percobaan seperti, anjing, tikus, dan mencit. Prinsip kerja

dari metode ini adalah dengan cara menekan kaki atau ekor hewan

percobaan menggunakan alat yang diperlukan dalam memberikan

nyeri sebelum dan sesudah diberi obat (Turner, 1965).

c. Metode Rangsangan Listrik

Metode ini dilakukan menggunakan aliran listrik sebagai

penginduksi nyeri (Vohora dan Dandiya, 1992). Bentuk respon

terhadap nyeri, hewan akan menunjukkan gerakan atau cicitan. Arus

listrik dapat ditingkatkan sesuai dengan kekuatan analgesik yang

diberikan. Metode ini dapat dilakukan terhadap kera, anjing, kucing,

kelinci, tikus dan mencit (Nilsen, 1961).

d. Metode Rangasangan Kimia (Geliat)

Salah satu dari metode rangsangan kimia ini adalah metode

Writhing Test. Prinsip dari metode ini adalah melihat dan mengamati

jumlah respon geliat pada hewan uji (mencit) yang disebabkan oleh

pemberiaan induksi asam asetat secara intraperitonial. Larutan asam

asetat ini berfungsi sebagai pemicu rasa nyeri pada mencit. Larutan

asam asetat juga diketahui dapat berguna sebagai iritan yang cocok

untuk menghasilkan respon geliat (Parmar dan Prakash, 2006).


Respon geliat ini ditandai dengan bagian perut menyentuh dasar

kaki tempat berpijak, terjadi kontraksi perut atau tarikan pada bagian

perut, kedua pasang kaki ditarik ke belakang, badan meliuk, dan

membengkokkan kepala ke belakang (Marlyne, 2012). Setelah

mengamati jumlah geliat, selanjutnya dilakukan perhitungan

persentase proteksi analgesik dan persentase efektivitas analgesik


BAB III
METODE KERJA

A. Alat dan Bahan


1. Alat
a. Alat suntik dan jarum oral

2. Bahan
a. Tablet asam mefenamat
b. Tablet kalium diklofenak
c. Tablet natrium diklofenak
d. Tablet meloxicam
e. Tablet paracetamol
f. Larutan asam asetat 0,5%
g. Natrium CMC 0,5%
h. Aquadest

B. Metode kerja
1. Pembuatan larutan larutan asam asetat 0,5%
larutan asam asetat dibuat dari asam asetat glacial (0,5%) dengan
cara mengencerkan menggunakan rumus V1 C1 = V2 C2.
2. Pembuatan larutan na CMC 0,5%
dibuat dengan cara menimbang secara seksama 0,5 gram na CMC
dan ditaburkan sedikit demi sedikit diatas air panas sambil diaduk
hingga mengembang. Lalu dimasukkan kedalam labu ukur 100 ml dan
ditambahkan air hingga 100 ml.
3. Cara kerja metode geliat
a. Sebanyak 18 hewan uji dibagi menjadi 6 kelompok (masing-
masing kelompok terdiri dari 3 ekor mencit)
b. Setiap hewan uji diberikan perlakuan secara oral :
1. Kelompok 1 suspensi NA CMC dan larutan asam asetat
2. Kelompok 2 diberi suspensi asam mafenamat
3. Kelompok 3 diberi suspensi natrium diklofenak
4. Kelompok 4 diberi suspensi kalium diklofenak
5. Kelompok 5 diberi suspensi meloxicam
6. Kelompok 6 diberi suspensi paracetamol
4. Setelah seluruh hewan uji mendapat masing-masing perlakuan, 5 menit
kemudian seluruh hewan uji diberi suntikan i.p.dengan larutan asam
asetat 0,5 % v/v dosis 25 mg/kgBB
5. Berapa menit kemudian mencit mulai menggeliat (perutnya kejang dan
kaki ditarik kebelakang)
6. Catat jumlah geliat kumulatif yang timbul pada menit ke 15,30,60,90
dan 120 pada tabel berikut

Anda mungkin juga menyukai