Anda di halaman 1dari 1

Menyusul penerapan kebijakan desentralisasi, Bombana menjadi

daerah baru di Propinsi Sulawesi Tenggara pada tahun 2003. Daerah tersebut berjalan
dengan relatif 67 POLITIKA, Vol. I, No. 2 Oktoberl 2010 stabil dalam politik hingga
lokasi penambangan emas ditemukan pada tahun 2008. Tak lama kemudian, banyak
kelompok kepentingan terlibat konflik berdasarkan perebutan kekuasaan untuk
menguasai lokasi penambangan emas seperti pemerintah pusat, provinsi, daerah,
pemilik tanah tradisional, penambang informal, dan perusahaan. Beberapa dari mereka
saling bersaing sementara yang lain membuat kolaborasi. Konflik sebenarnya berakar
pada keluhan masa lalu dan hukum yang kabur. Hukum yang kabur ini dimanfaatkan oleh
masing-masing kelompok untuk mencapai tujuannya. Sayangnya, konflik ini menyebabkan
degradasi lingkungan di kemudian hari karena masing-masing kelompok berlomba untuk
mengeksploitasi situs tersebut. Lokal sekarang begitu berani menantang pusat.
Misalnya daerah
pemerintah tidak mematuhi perintah wakil presiden dan gubernur untuk membebaskan
lokasi penambangan informal. Pemerintah daerah berpendapat bahwa undang-undang
desentralisasi menjamin kekuasaannya dalam mengelola sumber daya alam. Di sisi
lain, pemerintah pusat dan provinsi bertindak atas nama undang-undang serupa.
Sementara itu, pemerintah daerah ditantang oleh para penambang informal dan pemilik
tanah tradisional. Kelompok-kelompok terakhir ini juga percaya bahwa undang-undang
desentralisasi pada dasarnya menjamin hak mereka atas situs. Eksploitasi hukum
semacam ini mewarnai konflik lokasi pertambangan di Bombana. Sektor yang paling
menderita
Yang paling menderita adalah lingkungan termasuk sungai, sawah dan kolam ikan, dan
hutan di sekitarnya
lokasi. Tahi Ite, Langkowala, dan
Sungai Wumbubangka misalnya telah tercemar merkuri baik oleh perusahaan maupun
kegiatan penambangan informal. Apalagi sungai-sungai tersebut mencemari Selat
Tiworo yang selama ini dikenal sebagai daerah penangkapan ikan utama provinsi.
Kegiatan penambangan juga menyebabkan kekurangan pasokan air untuk sawah dan tambak
ikan baik di Kecamatan Lantari jaya maupun Kecamatan Rarowatu Utara. Akibatnya,
jumlah panen menurun dibandingkan sebelum penambangan. Selain itu, aktivitas
pertambangan berdampak pada hutan termasuk Taman Nasional Rawa Aopa. Beberapa
spesies telah hilang dan berpotensi punah selamanya.
Berdasarkan permasalahan di atas, artikel ini mengusulkan rekomendasi sebagai
berikut. Pertama, pemerintah pusat tidak boleh terlibat dalam konflik dan harus
menjadi mediator bagi seluruh kelompok kepentingan. Semua kepentingan kelompok ini
harus diakomodasi dan diatur secara adil dalam seluruh konstitusi (dari undang-
undang nasional hingga peraturan desa). Pemerintah pusat harus memastikan bahwa
konstitusi itu sendiri tidak memiliki kontradiksi. Dengan kata lain, semua
peraturan di tingkat lokal harus konsisten dengan peraturan nasional untuk mencegah
kemungkinan hukum bersinggungan dan dimanfaatkan oleh kelompok kepentingan
tertentu. Kedua, terkait dengan kerusakan lingkungan, pemerintah pusat
harus melakukan moratorium sesegera mungkin. Artinya semua aktivitas yang
berhubungan dengan situs harus dihentikan. Selama masa moratorium, pemerintah pusat
bersama seluruh kelompok kepentingan merumuskan skema terbaik kegiatan pertambangan
berkelanjutan di daerah. Skema tersebut harus memuat sanksi bagi mereka yang tidak
mematuhi kesepakatan. Selain itu, skema juga harus mempertimbangkan dampak kegiatan
penambangan terhadap mata pencaharian yang luas termasuk sawah, kolam ikan dan
penangkapan ikan di laut. Terakhir, skema tersebut harus memperhatikan hutan
lindung dan Taman Nasional Rawa Aopa. Bahkan aktivitas pertambangan yang
berkelanjutan harus dilarang di kawasan ini.

Anda mungkin juga menyukai